Referat Fraktur Maksilofasial
Referat Fraktur Maksilofasial
PENDAHULUAN
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang
bersifat total maupun parsial. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan
tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan. 1 Fraktur maksilofasial merupakan
salah satu jenis fraktur yang sering terjadi di kota-kota besar sebagai akibat dari faktor luar
seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olahraga dan juga akibat dari
tindakan kekerasan.
Fraktur maksilofasial melibatkan tulang – tulang penyusun wajah atau tengkorak bagian
depan.3 Fraktur maksilofasial bisa terjadi hanya pada satu tempat ataupun kompleks, akibat
benturan dengan kekuatan rendah atau akibat kekuatan tinggi. Trauma maksilofasial juga
mengakibatkan jejas dan kegawatan dengan variasi yang sangat luas mulai dari memar;
ekskoriasi; berbagai vulnus pada jaingan lunak; sampai fraktur. Problem yang ditimbulkan selain
aspek fungsi juga perlu dipikirkan aspek estetik karena dapat meninggalkan kecacatan, sebab
dari cedera yang ditimbulkan akibat fraktur maksilofasial sering menimbulkan gangguan pada
jalan nafas, penciuman, penglihatan, mastikasi, serta otak, oleh karena itu penanganan fraktur
maksilofasial harus dilakukan secara intensif dan holistik. Bahkan tidak jarang mengakibatkan
deformitas berat sampai mengancam jiwa akibat gangguan saluran nafas bagian atas.3
Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan tindakan
darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial.
Penanganan khusus pada trauma maksilofasial harus dilakukan segera (immadiet) atau
pada waktu berikutnya (delayed) tergantung pada kondisi jaringan yang terkena trauma.5
1
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah :
1. Memahami dan menambah wawasan mengenai trauma maksilofasial.
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah dibidang kedokteran khususnya
dibagian Ilmu Bedah.
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior dibagian Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Riau RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Lefort 1 merupakan fraktur transversal yang melalui lantai rongga sinus maksila
diatas gigi, sehingga memisahkan prosesus alveolaris, palatum dan prosesus pterigoid
dari struktur tengkorak wajah diatasnya. 1
Lefort II membentuk patahan fraktur berbebntuk piramida. garis fraktur berjalan
diagonal dari lempeng pterigoid melewati maksila menuju tepi inferior orbita dan ke atas
melewati sisi medial orbita hingga mencapai hidung, sehingga memisahkan slveolus
maksila, dinding medial orbita dan hidung sebagai bagian tersendiri.1
Lefort III merupakan fraktur yang melewati sutura zigomatikofrontalis, berlanjut
kedasar orbita hingga sutura nasofrontalis. pada tipe ini tulang-tulang wajah terpisah dari
kranium.1
Gejala klinis yang ditimbulkan akibat fraktur maxilla dapat berupa nyeri, bengkak
terutama pada jaringan periorbita, hematom periorbita, maloklusi yaitu rasa tidak nyaman
ketika menggigit karena gigi geligi pada rahang atas tidak pas terkatup dengan gigi geligi
pada rahang bawah, laserasi intraoral, nyeri ketika mengunyah, krepitasi, deformitas,
floating maxilla, epistaksis, dan rinore.13
Penegakan fraktur maksila dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fraktur maxilla dilakukan dengan pemeriksaan
floating maxilla dengan cara dahi difiksasi dengan tangan kiri, kemudian maxilla
dipegang dengan ibu jari di luar dan telunjuk di palatum durum, gerakan maksila ke
depan dan ke belakang menunjukkan adanya fraktur maxilla. Floating maxilla akan lebih
nyata pada fraktur maxilla Le Fort II dan Le Fort III dibandingkan dengan Le Fort I.11
Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis fraktur maksila dapat
dilakukan dengan CT-scan 3D yang merupakan gold standard pemeriksaan pada pasien
yang dicurigai mengalami fraktur maksilofasial. Pemeriksaan fraktur maksila juga dapat
dilakukan dengan menggunakan foto polos Waters, Caldwel, submentovertek, dan
lateral.11
2.5 Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :1
a. Dislokasi, berupa perubahan posisi yang menyebabkan maloklusi terutama pada
fraktur mandibula
b. Pergerakan abnormal pada sisi fraktur
c. Rasa nyeri pada sisi fraktur
d. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi
daerah fraktur
e. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
f. Laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
g. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
h Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus.
2.6 Diagnosis
Diagnosis fraktur maksilofasial ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pendekatan awal terhadap pasien fraktur maksilofasial
sedikit berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadapat
saluran pernapasan, adekuatnya ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal. Sebelum
melakukan pemeriksan vital signs, gangguan saluran pernapasan dan perdarahan yang
mengancam jiwa pasien harus ditangani terlebih dahulu. Setelah itu baru dilakukan
pemeriksaan vital signs dan status neurologis pasien setidaknya mengenai tingkat
kesadaran, yaitu orientasi terhadap waktu dan tempat.
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan setelah pasien stabil, dapat dilakukan autoanamnesia bila
pasien sadar dan tidak terdapat gangguan berbicara atau alloanamnesis kepada
keluarga/orang yang mengantarkan pasien. Selain menanyakan keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, dahulu, keluarga dan alergi, juga ditanyakan etiologi dan mekanisme
terjadinya trauma agar dapat diperkirakan jenis fraktur dan keparahannya. Aspek yang
perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut : Bagaimana mekanisme cedera? Apakah
pasien kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan status mental? Jika demikian
berapa lama? Apakah ada gangguan penglihatan, kilatan cahaya, fotopobia, diplopobia,
pandangan kabur, nyeri, ada perubahan gerakan mata? Apakah pasien memiliki kesulitan
bernafas melalui hidung ? Apakah pasien memiliki manifestasi berdarah seperti keluar
darah dari hidung atau telinga? Apakah pasien mengalami kesulitan membuka atau
menutup mulut? Apakah pasien ada merasakan seperti kedudukan gigi tidak normal ?
b. Pemeriksaan Fisik
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis,
jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan
adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran
supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada
artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos,
ketajaman visual, kelainan gerakan okular dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi
terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
5. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
6. Periksa hidung meraba fraktur dan krepitasi.
7. Periksa septum hidung untuk hematoma, laserasi, fraktur, atau dislokasi,
8. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau
bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-
tanda krepitasi atau mobilitas.
Pemeriksaan fisik yang teliti dilakukan agar dapat mengetahui lokasi dan keadaan
fraktur dari tulang-tulang maksilofasial tersebut dengan tepat.12
Pemeriksaan fisik fraktur masilofasial meliputi pemeriksaan kepala, pemeriksaan
wajah bagian tengah, pemeriksaan mandibulla, pemeriksaan tenggorokan dan rongga
mulut.12
a. Pemeriksaan kepala
Pemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial. Pasien harus
dibersihkan dari semua darah dan benda asing. Dilakukan pemeriksaan cedera pada
jaringan lunak yang dapat dikarakteristikan menjadi abrasi, kontusion, luka bakar, avulsi,
dan laserasi.
Rangka kraniofasial terdiri dari pertautan dan penonjolan tulang, oleh karena itu
dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya step atau jarak, diskontinuitas, pergeseran, dan
hilangnya penonjolan. Dilakukan paslpasi terhadap kranium, naso-orbitals kompleks,
artikulasi zygomatik, dan mandibula.
b. Pemeriksaan wajah bagian tengah
Diawali dengan pemeriksan ada atau tidaknya mobilitas maksila sebagai struktur dari
maksila itu sendiri atau hubungannya dengan zygoma atau tulang nasal. Pemeriksaannya
dapat dilakukan dengan cara menekan kening pasien cukup kuat dengan satu tangan.
Dengan ibu jari dan telunjuk tanga lainnya mencengkram maksila pada satu sisi dan
digerakkan dengan tekanan yang stabil sehingga dapat diperoleh kepastian ada atau
tidaknya mobilitas maksila.
Pemeriksaan dengan palpasi dimulai dari arah superior ke inferior. Pemeriksaan dimulai
dari aspek medial dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan saluran
nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri. Palpasi diteruskan ke arah
menyilang cincin supraorbital menuju sutura zygomatikofrontalis. Cincin ingfraorbital
dipalpasi dari medial kearah lateral untuk mengevaluasi sutura zygomatikofrontalis.
Dilakukan pengamatan pada bagian-bagian yang mengalami nyeri tekan dan baal. Hal ini
dapat menunjukan adanya fraktur atau cedera pada persarafan. Arcus dari zygomatikus
juga dilakukan palpasi secara bilateral dan diamatin apakah terdapat tanda asimetri.
Selanjutkan juga dilakukan pemeriksaan pergeseran septum dengan memeriksa vestibulum
nasi.
Pemeriksaan mata secara lengkap juga dilakuka walaupun terkadang akan
mengalami kesulitan pada pasien dengan cedera neurologis. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan yaitu dengan menggunakan jari, deteksi gerakan jari, dan penggunaan sinar.
Hematoma artikuler merupakan kegawatdaruratan yang harus segera didiagnosa dan
ditangani. Mastodi harus diperiksa apakah terdapat ekimosis yang disertai hemotimpanum
dan otorrhea dimana merupakan tanda dari fraktur basis kranial. Laserasi yang ditemukan
ditelinbga merupakan kemungkinan cedera pada kondil mandibula.
Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus segera dilakukan pemeriksaan.
Hematoma septum hidung harus segera didiagnosis dan dievakuasi untuk menghindari
terjadinya nekrosis tulang rawan hidung.
Tiga persarafan trigeminal harus diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya
anestesi atau parestesi. Saraf kranialis tiga, empat, lima, enam, tujuh diperiksa adakah
palsi.
c. Pemeriksaan mandibula
Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah ataukan
mengalami pergeseran baik ke lateral atau inferior. Apabila ada meatus akustikus eksternus
penuh dengan darah dan cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan guna palpasi endaural
terhadap caput condillus pada saat istirahan dan bergerak. Pada fraktur subcondilus tertentu
dijumpai nyeri tekan. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari processus
kondilaris sampai simphisis mandibula. Fraktur pada mandibula diklasifikasikan berdasar
letak anatomi yaitu kondiler, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan daerah processus
koronoid. Selain itu tipe fraktur juga ditentukan.
d. Pemeriksaan tenggorokan dan rongga mulut
Pertama kali yang dilihat secara intraoral adalah oklusi. Dataran oklusi maksila
mandibula diperiksa kontinuitasnya dan diperiksa adakah step deformitas. Jaringan lunak
mulut diperiksa dalam kaitannya dengan luka, kontusio, abrasi, ekimoss, dan hematom.
Dasar mulut dilihat apakah terdapat bekuan darah atau serpihan gigi. Arcus zygomatikus
dan basisnya dipalpasi bilateral. Maksila diperiksa dengan memberikan tekanan pada
processus alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala. Adanya step atau
pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya fraktur dentoalveolar ataupun fraktur
rahang. Gigitan terbuka (open bite lateral) mengindikasikan fraktur mandibulla. Sedangkan
gigitan terbuka anterior menandakan Fraktur Le Fort.
2.6 Penatalaksanaan
Fraktur pada maksilofasial mempunyai cara penanganan pertama dengan
primary survey, resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif.
Medikamentosa bertujuan untuk mengurangi morbiditas pada pasien, dengan pemberian
analgetik, antibiotik, ATS, dan antiemetik. Prinsip penanganan fraktur maksila sama
dengan penanganan fraktur yang lain yaitu reposisi, fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi.
Tindakan penanganan fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur,
fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan
tidak bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai. Pada teknik
tertutup, fiksasi fraktur dan imobilisasi fraktur dilakukan dengan jalan menempatkan
peralatan fiksasi maksilomandibular misalnya dengan arch bar atau interdental wiring.
Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan, dan segmen
direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat (wiring) atau mini
plat dan skrup (mini plate).11,13
Reposisi terbuka pada fraktur maxilla bertujuan untuk melakukan koreksi
deformitas dan maloklusi yang dapat dilakukan dengan:11,13
1. Suspensi zygomatico circumferential wiring adalah tindakan operasi untuk stabilisasi
tulang maxilla yang patah dengan jalan menggantungkan ke arkus zigomatikus
dengan menggunakan kawat. Suspensi ini digunakan untuk fraktur maxilla Le Fort I
atau Le Fort II.
2. Suspensi fronto circumferential wiring ialah tindakan operasi untuk stabilisasi tulang
maxilla yang terlepas dari dasar tengkorak dengan jalan menggantungkan ke prosesus
zigomatikus tulang frontalis, bisa dilakukan untuk fraktur maxilla Le Fort I, II, dan
III.
3. Interoseus wiring adalah tindakan operasi untuk fiksasi antara dua fragmen tulang
yang patah dengan cara mengikat kedua fragmen menggunakan kawat kecil.
Pada fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah dapat
menutup. Dilakukan fiksasi intermaksilar menggunakan kawat baja atau mini-plate sesuai
garis fraktur sehingga oklusi gigi menjadi sempurna.11
Pada kebanyakan fraktur zigoma, intervensi tidak selalu diperlukan karena banyak
fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau hanya mengalami pergeseran minimal.
Indikasi operasi pada patah tulang zigoma adalah fraktur dengan deformitas disertai
diplopia, menyebabkan hiperaestesi, atau juga menyebabkan trismus. Reduksi fraktur
zigoma dilakukan melalui insisi kombinasi, sebagai prinsip umum kesegarisan (aligment)
os zigoma harus ditetapkan pada setidaknya 3 area dan difiksasi di setidaknya 2 area
dengan miniplate dan sekrup.1,11,13
Penanggulangan fraktur mandibula dilakukan dengan menggunakan mini atau
mikroplate yang dipasang dengan skrup. Pada fraktur tulang hidung yang mengakibatkan
terjadinya deviasi septum akibat dislokasi tulang hidung, digunakan cunam Asch dengan
cara memasukan masing-masing sisi (blade) ke dalam kedua rongga sambil menekan
septum dengan kedua sisi. Sesudah fraktur hidung dikembalikan pada keadaan semula
dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat
ditambah dengan antibiotika.11,14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Fraktur maksilofasial adalah fraktur pada tulang-tulang pembentuk wajah akibat langsung dari
trauma.
2. Fraktur maksilofasial melibatkan tulang – tulang penyusun wajah atau tengkorak bagian
depan dan bisa terjadi hanya pada satu tempat ataupun kompleks. Tulang-tulang maksilofasial
terdiri dari tulang-tulang pipih dan menonjol seperti tulang nasal, zigoma, maksila dan
mandibula sehingga lebih rentan terkena trauma dan terjadi fraktur. Diagnosa klinis fraktur
maksilofasial ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang.
3. Penatalaksanaan fraktur maksilofasial memiliki prinsip penatalaksaan yang sama dengan
penatalaksanaan kasus trauma pada umumnya. Penanganan dimulai dengan penilaian awal
pada primary survey, resusitasi, secondary survey, dan terapi definitif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jong de W, Sjamsuhidrajat R, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC ; 2000.
3. Mansjoer A S, Wardhani WI, Setiowulan. Kapita Selekta kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Fakultas kdokteran Universitas Indonesia. 2000
4. Fahrev. Penanganan Kegawatdaruratan Pada Pasien Trauma Maksilofasial. Skripsi. Departemen Bedah
mulut dan Maksilofasial. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan. 2009.
5. Murni M, Widiami D, Thamrin M. Trauma Muka. Dalam Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2001.
8. Pedersen WG, Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa: Purwanto. Jakareta: FGC;
1996. P. 221-261.
9. Fonseca R.J. Ortal and maxillofacial trauma. 3rd ed. St. Louis: Elsevier Saunders. 2005.
10. Soepardi AE. Buku ajar ilmu kesehatn telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi 6.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2009.
12. Herliana H. Fraktur maksilofasial. Program pendidikan dokter gigi spesialis bedah mulut
dan maksilofasial UNPAD. Bandung; 2010.
14. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus. Indonesian journal
of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1 tahun IX hal 41-50.