Anda di halaman 1dari 7

Masalah Pendidikan, Buah dari Gagalnya Pemerintah Mengatasi Wabah

Oleh : Nurlini (Relawan Media)

Penyebaran wabah Covid-19 yang tak kunjung usai seolah tak ada hentinya
menimbulkan permasalah di berbagai sektor, salah satunya adalah sektor pendidikan.
Adanya wabah Covid-19 mendorong pemerintah dalam hal ini Kemendikbud
untuk melaksanakan pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di rumah secara daring, namun
ternyata dalam pelaksanaannya PJJ ini diperhadapkan dengan berbagai kendala
sebagaimana pernyataan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan
Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Beliau mengatakan, meski telah dilaksanakan sejak
Maret, penerapan PJJ di lapangan masih bermasalah. Ubaid mengatakan, ada banyak
kendala yang dihadapi masyarakat ketika metode ini diterapkan, utamanya terkait
infrastruktur pendidikan secara daring yang belum merata, bahkan di Ibukota Jakarta
sekalipun. "Kendala-kendala itu sudah menjadi keluhan merata dimana-mana,"
jelasnya. (www.lokadata.id10/8/2020).
Pemerintah memutuskan untuk memperbolehkan sekolah melakukan kegiatan
belajar mengajar secara tatap muka di daerah zona kuning, atau risiko rendah virus
corona, secara bertahap. Demikian hasil revisi Surat Keputusan Bersama (SKB)
empat Menteri tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran tahun ajaran baru di
masa pandemi. (www.bbc.com/07/08/2020)

Dilema Dibalik Kebijakan Pemerintah

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai solusi dari permasalahan


pendidikan di tengah pandemi menyisihkan dilema dikalangan masyarakat khusunya
orang tua, peserta didik, dan guru. Pasalnya setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
Kemendikbud dinilai tidak maksimal karena tidak didukung dengan tersedianya
fasilitas yang diperlukan, baik itu dalam pembelajan jarak jauh (PJJ) atau
pembelajaran secara tatap muka di daerah zona hijau dan zona kuning atau risiko
rendah virus corona. Belum lagi dilema yang dihadapi orang tua peserta didik yang
harus membagi waktu untuk mengurus urusan rumah tangga dan pekerjaan, juga
untuk mendampingi anak-anak dalam pembelajaran jarak jauh secara daring.
Kebanyakan orang tua merasa kewalahan dalam mendampingi anak dalam proses
belajar secara daring, karena tidak semua orang tua mampu membagi waktu untuk
mendampingi anak belajar di rumah, akhirnya anak-anak merasa stres dan bosan.
Ditambah lagi jika orang tua peserta didik tergolong sebagai masyarakat kurang
mampu dan memiliki keterbatasan pengetahuan dalam penggunaan teknolongi.
Jangankan memiliki fasilitas yang mendukung proses PJJ dan membeli kuota untuk
memenuhi kebutuhan hidup saja masih kesulitan, meskipun pemerintah sudah
mengeluarkan anggaran dana BOS untuk pembelian kuota jika teknologi yang
mendukung tidak dimiliki oleh peserta didik maka kebijakan tersebut tetap tidak
maksimal belum lagi jika penyalurannya tidak merata. Selain itu polemik yang
dihadapi ketika diberlakukan PJJ juga dialami oleh orang tua, anak didik dan guru
yang bermukim di wilayah terpencil yang memiliki kualitas jaringan yang terbilang
buruk juga fasilitas teknologi sekolah yang tidak memadai.
Seharusnya, sebelum diberlakukan PJJ terlebih dahulu haruslah dilakukan survei
yang 'menyeluruh' terhadap kondisi setiap wilayah, agar kebijakan yang dikeluarkan
tepat sasaran sehingga kendala-kendala seperti tidak memadainya teknologi yang
dimiliki oleh peserta didik dan terbatasnya jumlah teknologi yang disediakan sekolah
bisa teratasi, begitu pula perbaikan kualitas jaringan pada wilayah terpencil atau
wilayah dengan kualitas jaringan yang terbilang buruk sehingga anggaran dana BOS
untuk pembelian pulsa paket bagi peserta didik dianggap menjadi efektif, itupun jika
penyalurannya merata keseluruh Indonesia dan dikelola dengan baik dan amanah oleh
pihak sekolah, bukan hanya sekedar wacana.
Banyaknya polemik yang dihadapi orang tua, peserta didik dan guru
menghadirkan banyak tuntutan untuk memberlakukan kembali pembelajaran secara
tatap muka, dan tuntutan itu disambut baik oleh pemerintah dengan dikeluarkannya
kebijakan pembelajaran tatap muka di daerah zona hijau dan zona kuning atau daerah
dengan risiko rendah virus corona dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan
yang ketat.
Diperbolehkannya pembelajaran tatap muka bagi daerah resiko rendah virus
bukannya menjadi solusi justru semakin menuai polemik. Banyak orang tua yang
merasa khawatir jika diberlakukannya pembelajaran tatap muka ini menjadi kluster
baru penyebaran Covid-19. Pasalnya kebijakan pembelajaran tatap muka ini tidak
didukung dengan ketersediaan fasilitas pendukung yang menunjang terlaksananya
protokol kesehatan dengan ketat sebagaimana penyampaian Mendikbud.
Sama halnya dengan kebijakan pembelajaran jarak jauh, akan lebih baik jika
sebelum pemberlakuannya pembelajaran cecara tatap muka, terlebih dahulu dilakukan
survei ke sekolah-sekolah yang berada di daerah zona kuning, atau risiko rendah virus
corona untuk memantau ketersediaan fasilitas yang menunjang pelaksanaan protokol
kesehatan dalam proses pembelajaran tatap muka, seperti ketersediaan westafel atau
tempat cuci tangan dengan air bersih yang mengalir, sabun cuci tangan, masker/
pelindung wajah, bilik sterilisasi, dan yang lainnya dalam jumlah yang berbanding
lurus dengan jumlah peserta didik, juga mengantisipasi semua kemungkinan yang
dapat menyebabkan penyebaran wabah Covid-19 seperti menyediakan sarana
trasportasi khusus dari rumah peserta didik atau guru menuju ke Sekolah, hal ini
untuk meminimalisir penyebaran virus selama dalam perjalanan dari rumah menuju
sekolah dan sebaliknya.

Namun, untuk semua itu diperlukan biaya yang tidak sedikit, sementara pada
kenyataannya akibat dari pandemi Covid-19 juga memberikan pengaruh besar pada
perekonomian Negara. Masalah pendidikan akibat pandemi menjadi tugas berat
pemerintah khususnya Kemendikbud, karena pendidikan merupakan hak masyarakat
yang harus dipenuhi oleh Negara.

Buah dari Kelalaian Pemerintah

Tidak dapat dipungkiri, bahwasanya kebijakan yang dikeluarkan sebagai solusi


dari permasalahan di sektor pendidikan memang tidaklah efektif sehingga
menimbulkan pro kontra dan menyisakan dilema di tengah-tengah masyarakat.
Namun perlu diketahui bahwasanya tidak efektifnya kebijakan bukanlah penyebab
utama pro- kontra dan dilema yang dirasakan masyarakat. Penyebabnya adalah
penyebaran Covid-19 yang semakin meningkat setiap harinya sehingga berimbas pada
bidang pendidikan dan penanganan dari pemerintah yang tidak maksimal. Semakin
meningkatnya penyebaran Covid-19 bermula dari kegagalan pemerintah melakukan
pencegahan pada awal-awal masa merembaknya kasus Covid-19. Bahkan pemerintah
seolah-olah menutupi penyebarannya ketika kasus pertama kali muncul hingga
enggan melakukan karantina wilayah apalagi mengambil kebijakam lock down total.
Hal ini karena banyaknya pertimbangan dari pemerintah khususnya untuk
menyelamatkan perekonomian Negara yang pada akhirnya menyebabkan penyebaran
Covid-19 terus menerus meningkat sampai hari ini. Kebijakan yang longgar pada
awal-awal merembaknya wabah Covid-19, ternyata memberikan sumbangan
permasalahan di berbagai sektor salah satunya adalah sektor pendidikan.
Wabah Covid-19 akhirnya memberikan PR besar bagi pemerintah khususnya
Kemendikbud dalam menangani berbagai masalah pendidikan akibat penyebarannya
yang tak kunjung usai. karena meskipun di tengah pandemi hak-hak masyarakat tetap
harus dipenuhi, salah satunya hak pendidikan anak. Seharusnya Negara wajib
memenuhi hak pendidikan anak untuk semua jenjang secara cuma-cuma tanpa
memberikan beban pada Masyarakat apalagi ditengah wabah seperti saat ini.

Pemerintah dalam Sistem Kapitalis-Sekuler Dalangnya!


Sudah bukan rahasia umum, jika ada anggapan bahwa pemerintah pada awalnya
memandang wabah Covid-19 sebagai masalah yang tidak lebih penting dari masalah
ekonomi. Hal ini karena pada awalnya pemerintah telah memilih untuk abai terhadap
pencegahan wabah secara serius melalui karantina wilayah atau lock down total
karena lebih perduli dengan masalah perekonomian. Seperti inilah wajah asli
pemerintahan dalam sistem kapitalis-sekuler, setiap kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah yang bergelut di dalam sistem hina kapitalis-sekuler selalu diperhadapkan
dengan pertimbangan untung rugi dari aspek ekonomi. Harapan hati kebijakannya
mampu menyelesaikan masalah wabah Covid-19 ternyata malah menciptakan
masalah baru. Bahkan dalam sistem kapitalis-sekuler masalah keselamatan
masyarakat tidak lebih berharga dari materi. Kenyataan ini tentunya sangat
mengecewakan masyarakat, ibarat kata kita sudah mencintai negara dan para
pemimpinnya dengan sepenuh hati namun cinta itu tak pernah terbalaskan atau
bahkan dibalas dengan penderitaan yang berkepanjangan.

Demikianlah tabiat kapitalisme, sistem yang hanya mempertimbangkan untung


rugi dan berusaha menimbun dolar tanpa pernah tulus membalas cinta masyarakatnya
dengan kesejahteraan sesuai haknya. Mengharapkan kesejahteraan dari setiap
kebijakan pemerintah dalam kepemimpinan kapitalis-sekuler sama halnya berharap
dapat memeluk rembulan, itu mustahil!
Peran besar sistem kapitalis-sekiluler hanyalah melahirkan para pemimpin yang
tidak memiliki kesiapan menghadapi setiap permasalahan apalagi masalah wabah
Covid-19 yang semakin parah hari ini. Ketidaksiapan lahir dari buruknya tata kelola
pemerintahan akibat penerapan sistem kapitalis-sekuler.
Sistem ini menyebabkan buruknya tatakelola pemerintahan, hingga
pemerintahannya tidak memiliki kapabilitas dan tak mengerti caranya mengurus
negara apalagi masyarakat, yang mereka mengerti hanya bagaimana meraup
keuntungan yang besar dari negara dan masyarakat itu sendiri. Sehingga, masyarakat
perlu memahami dengan baik bahwa tetap mempertahankan sistem rusak ini jelas
hanya akan menambah kehancuran negeri tercinta dan hanya akan memperpanjang
durasi penderitaan yang dialami masyarakat.
Olehnya itu untuk mengakhiri wabah Covid-19 berikut semua masalah yang
muncul tak berkesudahan karenanya, haruslah tercipta tatakelola pemerintahan yang
mensejahterakan serta memberikan kebaikan untuk seluruh masyarakat dengan
kembali kepada sistem yang benar.
Islam Solusi Tunggal!

Sistem Islam adalah satu-satunya sistem yang benar dan mampu menyelesaikan
persoalan wabah yang menggerogoti setiap aspek kehidupan dewasa ini. Khalifah
sebagai pemimpin dalam sistem Islam dipilih demi menjalankan tugas memenuhi
kebutuhan seluruh masyarakat. Mereka tidak akan menghianati masyarakat dengan
mengingkari amanahnya karena sungguh mereka takut akan konsekuensinya di
pengadilan Akhirat kelak.

"Tidak seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin
rakyat, lalu dia tidak memperhatikan mereka dengan nasihat, kecuali dia tidak akan
mendapatkan surga". (HR Bukhari).

Khalifah sebagai pemimpin dalam sistem Islam tidak akan mengorbankan


keselamatan masyarakatnya hanya karena pertimbangan untung rugi secara materi.
Bagi mereka masyarakat adalah amanah dari Allah Swt. yang harus mereka jaga dan
sejahterakan. Jauh sebelum hari ini, sistem Islam sebelumnya sudah pernah
mengalami ujian berupa wabah seperti pandemi covid-19 ini. Dalam sejarah
penerapanya, sistem Islam sudah memberikan tuntunan di kala menghadapi wabah.
Nabi Muhammad SAW mengatakan jika dalam suatu daerah terdapat wabah, mereka
yang ada di daerah itu jangan keluar dari wilayah itu. Mereka yang ada di luar
wilayah itu, jangan datangi tempat wabah itu. Dalam istilah sekarang ini dikenal
sebagai lockdown atau karantina, baik semi-lockdown maupun lockdown total.

Adanya Wabah Covid-19 seharusnya memberi kesadaran bahwa kapitalis-sekuler


hanyalah sistem yang rusak dan tak mampu mengatasi masalah, bahkan solusi yang
ditawarkan untuk menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah baru yang tak
berkesudahan.
Saatnya bagi masyarakat untuk memperjuangkan sistem Islam sebagai sistem
alternatif yang mampu mengatasi masalah secara serius tanpa menimbulkan masalah
baru yang berkepanjangan. Tidak cukup jika kita hanya mengimani janji Allah akan
tegaknya sistem Islam. Lebih dari itu, kita semua harus turut mengambil peran
penting untuk memperjuangkannya.

Wallahu A'lam Bi Ash-shawab....

Anda mungkin juga menyukai