Anda di halaman 1dari 5

EUTHANASIA

 Asal Usul Euthanasia


Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang
berarti kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang
dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan
dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan
perubahan norma-norma budayamaupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa
negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum.
Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa
memandang status hukumnya.

Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring
dengan perubahan norma-norma budayamaupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di
beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap
melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu
diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

 Eutanasia ditinjau dari Proses Pelaksanaannya


Bila ditinjau dari proses pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eutanasia
agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.

 Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien.
Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara
oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.

 Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan
sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan
sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan
membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah
suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.

 Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien.
Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan
bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakanoperasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa
sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif
seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang
menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan
menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin
membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan
pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai
upaya perlindungan medis.

 Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin


Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :

 Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan
keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan
dengan pembunuhan.

 Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan
perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi
apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan
misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien Kasus ini menjadi sangat kontroversial
sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.

 Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih
merupakan hal kontroversial.

 Praktik-praktik eutanasia di dunia


Praktik-praktik eutanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat

 Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai
Gangga.
 Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.

 Uruguay mencantumkan kebebasan praktik eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku


sejak tahun 1933.

 Di beberapa negara Eropa, praktik eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang


sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
 Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian, eutanasia dikategorikan sebagai kejahatan.
Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.

 Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya
adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan
eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam
praktik medis, biasanya tidak pernah dilakukan eutanasia aktif, namun mungkin ada praktik-praktik
medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif

 Aturan Hukum Tentang Euthanasia di Indonesia


Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh,
dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-
pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam
perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak
mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu
pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa :
Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan
norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan
etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP

 Dalam ajaran Islam

Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak


seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia.
Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh
karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al
Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat
yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah
engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu
saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim
lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang,
dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada
suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas
kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga .

 Kasus Hasan Kusuma - Indonesia


Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh
seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian
Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk
menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan
eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh
bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari
2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.
Dalam Undang-undang RI No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45 menjelaskan
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi. Dsebutkan bahwa setiap tindakan
kedokteran dan kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan. Persetujuan tersebut diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara
lengkap seperti diagnosis, tujuan tindakan, alternatif tindakan dan resiko, komplikasi serta prognosis
tindakan yang dilakukan (Williams, 2006).

Dari sudut pandang hukum menurut Achadiat (2002), Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) memang tidak pernah mencantumkan secara eksplisit istilah euthanasia dalam pasal-pasalnya,
namun bila dikaji lebih mendalam ternyata beberapa pasal mencakup pengertian itu. Pasal 344 yang
dikenal sebagai pasal euthanasia, menyebutkan “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya 12 tahun”. Pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP juga dapat dikatakan
bersangkut paut dengan masalah euthanasia.

Secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan
euthanasia oleh siapapun (termasuk para tenaga paramedis dan dokter), sebagaimana tercermin dalam
pasal-pasal KUHP tersebut. Tersirat dari pasal 334 di atas, yang telah jelas dilarang oleh KUHP adalah
euthanasia aktif, dengan atau tanpa permintaan pasien ataupun keluarganya. Menariknya, UU No.
23/1992 tentang kesehatan (yang dikenal sebagai UU Kesehatan) ternyata belum mengakomodasi soal
euthanasia ini dalam pasal-pasalnya, sedangkan di lain pihak beberapa pasal KUHP tadi masih belum
memberikan batasan yang tegas dalam hal euthanasia (Achadiat, 2002).
KASUS PEMICU II
PEMECAHAN MASALAH EUTHANASIA

Anda mungkin juga menyukai