Anda di halaman 1dari 12

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA

KALIMANTAN TIMUR
Transforming Islamic Values for a Sustainable Future
UJIAN AKHIR SERTIFIKASI
SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2019/2020

Mata Kuliah : Aswaja Semester I


Fakultas : Farmasi, Teknik Ekonomi dan Bisnis, Fakultas
Ilmu Sosial dan Kependidikan.
Prodi/ Semester : Farmasi, Teknik Informatika, Teknologi
Industri Pertanian, Hubungan Internasional,
Arsitektur, Desain Interior, Teknik Industri,
Akuntansi, Ilmu Komunikasi, PAUD.
Hari/Tanggal :
Dosen Pengampu : Dr. H. Farid Wadjdy, M.Pd
Sifat Ujian : Open Book

SOAL
1. Jelaskan satu persatu makna “Ahlu”, “Sunnah”, “Al – Jama’ah.
2. Dari makna tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagaimana
pertanyaan soal nomor 1. Menurut pandangan atau pendapat
saudara/i apa sebenarnya Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut.
Jelaskan!
3. Sebutkan sumber Hukum Bidang Fiqih di Kalangan Islam Ahlussunnah
Wal Jama’ah.
4. Apa yang saudara/I ketahui tentang Qiyas dan beri contoh kasusnya.
5. Apa yang saudara/I ketahi dari Imam – Imam berikut ini :
a. Imam Abu Hasan Al Asy’ari
b. Imam Abu Mansur Al Maturidi
c. Imam Al Ghazali

- Selamat Mengerjakan -
1. Jelaskan satu persatu makna “Ahlu”, “Sunnah”, “Al – Jama’ah.
Jawaban :

1. Makna Sunnah
Sunnah secara bahasa bermakna jalan yang baik ataupun buruk. Diantar yang
menunjukan hal itu adalah sabda nabi SAW :

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelum kalian,sejengkal demi


sejengkal,sehasta demi sehasta. Hingga walau mereka masuk ke dalam lubang biawakpun
kalian akan mengikutinya.”
Rasulullah SAW juga bersabda :

“Barang siapa yang membuat sunnah yang baik maka baginya pahal dan pahal orang-orang
yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala orang-orang yang mengikutinya
sedikitpun. Dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk,maka baginya dosa dan
dosa orang-orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka.”

Ibnu Manzhur rahimahullah berkata ,”Sunnah adalah sirah (jalan) entah itu baik
ataupun buruk. Ibnu al-Atsir rahimahullah berkata,”Kata sunnah telah berulang kali
disebutkan dalam hadits dan hal-hal yang berkaitan denganya. Dan secara asal ia adalah
thoriqah atau sirah (jalan).

Pendefenisian sunnah berbeda-beda dikalangan para ulama sesuai dengan


bidangnya mereka masing-masing. Yang saya pilih adalah definisi paling masyhur dikalangan
ulama aqidah, bahwa sunnah adalah petunjuk yang berasal dari Rasulullah SAW dan
ditapaki oleh para sahabatnya, baik ilmu, keyakinan, perkataan, perbuatan dan
penetapanya. Sunnah juga bermakna lawan dari bid’ah.

2. Makna Jama’ah
Secara bahasa jama’ah berasal dari kata jam’u, juga dari kata ijtima
(perkumpulan/persatuan) yang merupakan lawan kata dari at-tafarruq (perpecahan).
Adapun jama’ah adalah jumlah yang banyak dari kalangan manusia, atau pohon atau
tumbuhan, atau sekelompok manusia yang dikumpulkan atau disatukan oleh satu tujuan
yang sama.Secara istilah kata jama’ah memiliki beberapa makna. Asy-Syaikh oleh Ibnu Abdul
Aziz Alu Syaikh rahimahullah dalam kitabnya syarhu al-aqidah al-washithiyyah
menyebutkan beberapa definisi jama’ah secara istilah yaitu :
1. Al-Jama’ah adalah as-sawadul a’zhom (Kebanyakan kaum muslimin).
2. Al-Jama’ah adalah jama’ah para ulama sunnah, atsar dan hadits. Baik mereka adalah
ulama yang belajar hadits dan mengajarkanya, atau para ahli fikih yang senantiasa belajar
dan mengajarkanya, atau para ahli bahasa yang belajar dan mengajarkanya.
3. Al-Jama’ah adalah para sahabat Nabi,perkataan ini dinukil dari Khalifah Umar Ibnu Abdil
Aziz rahimahullah.
4. Al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin secara umum.Akan tetapi ini adalah pendapat
yang keliru ,sebab Rasulullah SAW telah menyebutkan terjadinya perpecahan umat.
5. Al-Jama’ah adalah sebagian kaum muslimin yang senantiasa berkumpul diatas petunjuk
imam al-haq (Rasulullah SAW) mereka beragama sesuai petunjuknya,mendengar dan patuh
akan perintahnya dan mereka berbaiat kepadanya dengan bai’at syar’iyyah.Definisi ini
dipilih oleh Ibnu Jarir ath-Thobari rahimahullah dan para ulama lainnya.abdullah ibnu
mas’ud radhiyallahu’anhu berkata’’al jama’ah adalah siapa saja yang berada dalam
ketataan,walau engkau hanya seorang diri.

Kesimpulan Ma’na Ahlususunnah Wal Jama’ah

Dari penjelasan dari ma’na sunnah dan jama’ah diatas,dapat disimpulkan bahwa
ahlussunnah wal jama’ah adalah orang-orang yang komitmen terhadap sunnah nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam serta para sahabatnya dan bersatu di atasnya.ini menunjukan
bahwa 2 hal yng paling menonjol pada ahlussunah wal jama’ah.
1.komitmen pada sunnah dan menjauhi bid’ah.
2.komitmen pada persatuan dan menghindari perpecahan –bersambung inysa allah.

2. Dari makna tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagaimana pertanyaan


soal nomor 1. Menurut pandangan atau pendapat saudara/i apa sebenarnya
Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut. Jelaskan!

Jawaban :

Menurut pandangan saya tentang islam Ahlussunnah Wal Jama’ah memiliki definisi
Ahlussunnah Wal Jama’ah Ada 2 bagian yaitu :

A. Definisi Ahlussunnah Wal Jama’ah secara umum.


Satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengakui sunah Nabi SAW dan
Thoriqah para sahabatnya dalam hal Aqidah,Amaliyah,fisik(Fiqih) dan Hakikat(Tasawuf dan
Akhlak).

B. Definisi Ahlussunnah Wal Jama’ah secara khusus


Golongan yang mempunyai I’tikad atau keyakinan yang searah dengan keyakinan jama’ah
Asy’ari dan Maturidiyah
3. Sebutkan sumber Hukum Bidang Fiqih di Kalangan Islam Ahlussunnah Wal
Jama’ah.

Jawaban :
Didalam menetukan hukum fiqih,madzhab Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja) bersumber
kepada empat pokok : Al-Quran, Hadits/As-Sunnah,Ijma dan Qiyas.

1. Al-Qur’an
Al-Qura’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum.
Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia
dan diwajibkan untuk berpeganggan kepada Al-Qur’an.Allah berfirman dalam surat al-
Baqarah ayat 2: Al-Maidah Ayat 44-45,47:

“Kitab (Al-Qur’an ) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
(Al-Baqarah :2)

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”. Tentu dalam hal ini yang bersangkutan
dengan aqidah, lalu;

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka
mereka adalah orang-orang yang dhalim”. Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan
hak-hak sesama manusia”.

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka
mereka adalah golongan orang-orang fasik”. Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat
dan larangan-larangan Allah”.

2. Al-Hadits/Sunnah

Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena
Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah
menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl
ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut;

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras
sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)
Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua
setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.

3. Al-Ijma

Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW
seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum
dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid. Kemudian ijma’ ada 2 macam :
1. Ijma’ Bayani ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk
perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
2. Ijma’ Sukuti ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian
yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.

Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju
dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu
hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati. Karena para Ulama’
Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh
Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum Allah berfirman
dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ayat: 59

“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara
kamu”.

Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang
tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan
sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam.
Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut
dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466.

“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah
beserta orang banyak”.
Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431

  “Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau melihat
perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang terbanyak”.

4. Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari
kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam
hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-
far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti
disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah
beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu
wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.
Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits
Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak
dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai
makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam
Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman :

“Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai
pandangan”. (Al-Hasyr : 2)

“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah


bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan?
Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab;
dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam
Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan
pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya,
kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan
Rasulullah  SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya”.
Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah S.W.T dalam
Al-Qur’an :

  “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu
sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya
ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya,
menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”. (Al-Maidah: 95). Sebagaimana
madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari
pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan
Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Apa yang saudara/I ketahui tentang Qiyas dan beri contoh kasusnya.
Jawaban :

Berbicara masalah qiyas tentunya harus dipahami pengertian dari qiyas itu sendiri
sebagai sumber hukum yang ke 4 (empat) dari sumber hukum Islam.

Pengertian Qiyas dan Unsur-unsurnya

Qiyas secara etimologis berasal dari bahasa arab, yang artinya mengukur dan
menyamakan antara dua hal, baik yang konkrik, serti benda-benda yang dapat dipegang,
diukir dan sebagainya, maupun yang abstrak, seperti kebahagiaan, kepribadian dan
sebagainya. Qiyas menurut istilah ushul fiqhi, ialah menyamakan suatu masalah yang tidak
terdapat ketentuan hukumnya dalam nash (Al-Qur'an dan Sunnah), karena adanya
persamaan illat hukumnya (motif hukum) antara kedua masalah itu. Beberapa contoh
tentang qiyas sebagai berikut:

1. Dalam surah Al-maidah ayat 90 terdapat larangan keras minum khamar. Khamar
minuman keras yang dibuat dari anggur. Mengapa dilarang ? dan bagaimana bila
minuman keras itu dibuat dari bahan lainnya, seperti dari beras kentan, ketela dan
sebagainya ? Dalam hal ini, kita perlu meneliti illat hukumnya (sebab adanya
larangan keras minuman itu) ialah karena bisa memabukkan, dan dapat merusak
saraf otak/akal. Sudah tentu unsur memabukkan itu diterdapat di semua minuman
keras. Karena itu, dengan qiyas, semua jenis minuman keras diharamkan.
2. Berdasarkan hadits Nabi, orang yang membunuh orang yang mewariskan hartanya
itu gugur hak warisnya. Illat hukumnya (sebabnya), bahwa pembunuhannya di
maksudkan untuk mempercepat hak warisnya. Tetapi justru hak warisnya gugur,
sebagai hukuman atas kejahatannya. Demikian pula pembunuh orang orang yang
memberi wasiat, gugur hak wasiatnya, diqiyaskan dengan pembunuh orang yang
mewariskan hartanya, karena ada permaan illatnya.
3. Berdasarkan Surah Al-Juma'ah ayat 9, jual beli dilarang pada waktu sudah
dikumandangkan adzan pada hari jumat, karena jual beli itu bisa mengelahkan
sholatnya. Hanya saja larangan ini tidak sampai ketingkatan haram, tetapi makruh.
Demikian pula semua kegiatan bisnis dan nonbisnis diqiyaskan hukumnya dengan
jual beli, karena sama-sama bisa melengahkan sholat.

Pada ketiga contoh tersebut diatas, terdapat qiyas menurut istilah ushul fiqhi, karena
menyamakan suatu masalah yang tidak ada nash hukumnya dengan masalah yang telah ada
nash hukumnya berdasarkan persamaan illat hukumnya (motif hukumnya) yakni :
1. Pada contoh pertama, semua jenis minuman keras mempunyai unsur yang sama,
ialah memabukkan dan merusak saraf otak/akal.
2. Pada contoh kedua, kedua macam pembunuhan mempunyai motif yang sama, ialah
mempercepat waktu untuk menerima warisan.
3. Pada contoh ketiga, semua kegiatan bisnis pada waktu adzan sholat jum'at dapat
melengahkan/melupakan orang dari sholat jum'at yang wajib itu.
Dari contoh-contoh qiyas di atas, dapatlah diketahui bahwa qiyas itu mempunyai 4 (empat)
rukun unsur, yaitu :
1. Ashl (pokok), ialah masalah yang telah ada nashnya mengenai hukumnya. Ashl juga
disebut maqis 'alaih (yang disamai) dan musyabbah bih (yang diserupai).
2. Far' (cabang), ialah masalah yang tidak ada nashnya mengenai hukumnya. Far' juga
disebut maqis (yang disamakan) dan musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum ashl (hukum pokok), ialah hukum syara' yang telah ditetapkan nashnya untuk
pokok dan dikehendaki hukumnya berlaku juga untuk cabang.

5. Apa yang saudara/I ketahi dari Imam – Imam berikut ini :


A. Imam Abu Hasan Al Asy’ari
B. Imam Abu Mansur Al Maturidi
C. Imam Al Ghazali
Jawaban :

A. Imam Abu Hasan Al-Asy’ari

Imam Abu Hasn Al-Asy’ari Beliau adalah pendiri paham Aswaja .Nama lengkapnya
adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin
Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais al Asy’ari. Beliau lahir
pada tahun 260 H/873M dan wafat pada tahun 935 M.

Perlu diketahui, Abul Hasan al-Asy’ari t melalui tiga marhalah (fase) dalam
kehidupannya.Fase pertama: Beliau berakidah Mu’tazilah, di didik oleh ayah tirinya, Abu Ali
al-Jubba’i, dalam pendidikan Mu’tazilah. Beliau berada dalam akidah Mu’tazilah ini selama
empat puluh tahun. Fase kedua: masa peralihan. Ketika itu beliau dalam posisi antara
akidah Mu’tazilah tulen yang tidak mengimani sifat-sifat Allah dan akidah Ahlus Sunnah yang
murni. Di masa tersebut beliau mulai mengkritisi pemikiran-pemikiran Mu’tazilah dan sering
beradu argumen dengan ayah tirinya. Namun, beliau belum kembali kepada akidah Ahlus
Sunnah secara total. Fase ketiga: Beliau kembali memeluk akidah Ahlus Sunah wal Jamaah
dan mengikuti prinsip-prinsip al-Imam Ahmad bin Hanbal. Hal ini beliau tegaskan di dalam
kitab-kitabnya bahwa beliau di atas akidah yang didakwahkan al-Imam Ahmad bin Hanbal.

Sebab Taubat Abu Hasan al-Asy’ari

Asy-Syaikh Hammad al-Anshari menyebutkan sebab bertaubatnya Abu Hasan Asy’ari .


Dihikayatkan dari Abu Hasan al-asy’ari, “Sejak beberapa malam, di dadaku muncul
(ganjalan) tentang masalah-masalah akidah. Aku pun bangun melaksanakan shalat dua
rakaat dan meminta agar Allah l memberi hidayah jalan yang lurus kepadaku. Kemudian
aku pun tidur. Ketika tidur aku bermimpi melihat Rasulullah. Aku keluhkan kepada beliau
sebagian masalahku. Rasulullah n berkata kepadaku, ‘Wajib atasmu berpegang dengan
sunnahku’, lalu aku terbangun.” (Lihat Abul Hasan al-Asy’ari karya asy-Syaikh Hammad al-
Anshari)
Berdasarkan fakta, para ulama ahli hadits seperti al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi dan
lain-lain berpandangan, bahwa karakter al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari yang gemar
mendalami ilmu akidah dan mengantarnya menjadi pemimpin Ahlussunnah wal Jama'ah
dalam bidang akidah, merupakan karakter bawaan dari leluhurnya yang memiliki cita-cita
luhur untuk menguasai ilmu pengetahuan dan mendalami persoalan akidah yang sangat
penting dengan bertanya secara langsung kepada Nabi Muhammad.

Dalam hal ini, al-Imam al Hafizh al Baihaqi berkata : Pertanyaan Penduduk Yaman
kepada Nabi Muhammad tersebut, menjadi bukti bahwa kajian tentang ilmu akidah dan
barunya alam telah mejadi warisan keluarga al Asy'ari dari leluhur mereka secara turun
temurun".Berdasarkan keterangan tersebut, tidak aneh bila dikemudian hari, dari kalangan
suku al-Asy'ari lahir seorang ulama yang menjadi pemimpin Ahlussunnah wal Jama'ah dalam
memahami dan mempertahankan akidah yang diajarkan oleh Nabi & dan sahabatnya, yaitu
al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari.

B. Imam Abu Mansur Al Maturidi

Imam Abu Mansur Al-Maturidi, atau lengkapnya Abu Mansur Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi As-Samarqandi Al-Hanafi adalah salah seorang ulama
Ahlu Sunnah wal Jama'ah dan imam aliran aqidah Maturidiyyah yang menganut sebagian
besar pengikut Mazhab Hanafi, serta seorang ahli ilmu kalam. Beliau lahir di sebuah kota
yang bernama maturid didaerah Samarqand (termasuk daerah Uzbekistan) pada tahun 853
M dan meninggal pada tahun 333 H/ 944 M. Ia adalah pendiri dari aliran Al-Maturidiyah
salah satu golongan aliran dari madzhab Ahlussunnah.Maturidi hidup sezaman dengan
Asy'ari, hanya saja maturidi tinggal di samarqand sedangkan asy'ari tinggal di bashrah.
Asy'ari adalah pengikut dari madzhab syafi'iyah sedangkan maturidi adalah pengikut dari
madzhab hanafiyah. Boleh jadi ada beberapa perbedaan pendapat antara kedua orang
tersebut, karena adanya perbedaan pendapat antara syafi'i dan abu hanifah sendiri.

Sebagai pengikut abu hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan
keagamaannya, al maturidi banyak pula memakai akal dalam sistim teologinya. Maturidi
mendasarkan fikiran-fikirannya dalam soal-soal kepercayaan kepada fikiran-fikiran Imam
Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya "al-fiqh al-akbar" dan "al-fiqh al-absat" dan
memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab tersebut. Oleh karena itu antara
teologi maturidi dan asy'ari terdapat perbedaan, sesungguhnya pun keduanya timbul
sebagai reaksi terhadap aliran Mu'tazilah.

Tetapi dalam soal perbuatan-perbuatan manusia, al maturidi sependapat dengan


golongan mu'tazilah bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-
perbuatannya.Dengan demikian dia mempunyai faham qadariah dan bukan
faham jabariyah atau kasb asy'ari.
Sama dengan asy'ari, al maturidi menolak ajaran mu'tazilah tentang al-salah wa al-
aslah,  tetapi disamping itu al maturidi berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban-
kewajiban tertentu, al maturidi juga tidak sefaham dengan mu'tazilah tentang masalah al-
Qur'an yang menimbulkan kehebohan waktu itu. Sebagaimana asy'ari ia mengatakan
bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.

Mengenai soal dosa besar al maturidi sefaham dengan al asy'ari yaitu bahwa orang
yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan tuhan
kelak di akhirat. Iapun menolak faham posisi menengah kaum mu'tazilah.

Tetapi dalam soal al-wa'd wa al-wa'id almaturidi sefaham dengan mu'tazilah. Janji-


janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tidak boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan juga dalam
soal anthropomorphisme al maturidi sealiran dengan mu'tazilah. Ia tidak sependapat
dengan dengan asy'ari bawha ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk
jasmani tak dapat diberi interpretasi atau ta'wil. Menurut pendapatnya tangan, wajah dan
sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan.

Salah satu pengikut penting dari dari al maturidi adalah Abu al-Yusuf Muhammad al-
Bazdawi (421-493 H). Nenek al-bazdawi adalah murid dari al maturidi, dan al bazdawi
mengetahui ajaran-ajaran al-maturidi dari orang tuanya. Al-bazdawi sendiri mempunyai
murid-murid dan salah seorang dari mereka adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-
537 H) pengarang buku al-'Aqa'idal nasafiah. Seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, al-bazdawi
tidak pula selamanya sefaham dengan al maturidi. Kemudian diantara tokoh aliran
Maturidiyah ini terdapat perbedaan faham sehingga dapat dikatakan bahwa dalam aliran
Maturidiyah terdapat dua golongan. Yaitu golongan Samarqand yaitu pengikut-pengikut al
maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdaw. Jika golongan
samarqand mempunyai faham-faham yang lebih dekat kepada faham mu'tazilah, maka
golongan bukhara cenderung lebih dekat kepada pemahaman aliran asy'ariyah.

C. Imam Al Ghazali

Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin ahmad
at-Thusi al-Ghazali, dan di beri gelar Hujjah al-Islam. Beliau lahir di Ghazaleh suatu desa
dekat Thus, bagian dari kota Khurasan, Iran pada tahun 450 H/1056 M. Ayahnya seorang
yang fakir dan saleh serta hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang,  mempunyai
keagamaan yang tinggi dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi
nasehat kepada umat.
Sebelum ayahnya meninggal, al-Ghazali dan saudaranya dititipkan kepada seorang
sufi untuk dipelihara dan  di didik. Karena ayahnya yang tidak berkecukupan dan harta
warisan yang ditinggalkan untuk anaknya itu tidak banyak jumlahnya maka sufi tersebut
menyekolahkan mereka ke sebuah madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para
muridnya guru al-Ghazali yang paling utama di madrasah ini adalah Yusuf al-Nassaj, seorang
sufi terkenal. Tentang ibunya, Margareth Smith mencatat bahwa ibunya masih hidup dan
berada di Baghdad ketika ia dan saudaranya, Ahmad, sudah terkenal.Pada masa kecilnya, al-
Ghazali juga belajar pada Ahmad bin Muhammad ar-Razikani at-Thusi ahli tasauf dan fikih di
kota kelahirannya, setelah  mempelajari dasar-dasar fikih ia merantau ke Jurjan sebuah kota
di Persia antara kota Tabristan dan Nisabur. Di Jurjan beliau memperluas wawasannya
tentang fikih dengan berguruh kepada seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Ismail bin
Mus’idah al-Ismail (Imam Abu Nasr al-Ismaili).

Pada masa mudanya, berangkat lagi ke Nizabur (tahun 473 H)  belajar kepada Imam
Abu al-Ma’ali al Juwaini. pusat ilmu pengetahuan penting di dunia Islam, kemudian ia
menjadi murid pada Imam al-Haramain al-Juwaini, seorang guru besar di Madrasah al-
Nizhamiyah. Ia belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam,
Ilmu kalam, ilmu fikih, filsafat, ilmu debat, dan mantik. Al-Ghazali dikenal seorang teolog
terkemuka, ahli hukum, pemikir, ahli tasauf dengan julukan sebagai hujjah al-Islam. al-
Ghazali juga belajar kepada sejumlah ulama. Setelah Imam al-Haramain meninggal dunia
(478 H/1085 M) Ghazali pergi ke majlis Wazir Nidham al-Mulk al-Saljuqi, yakni Wazir dari
Sultan Maliksyah di Naisabur.
Setelah mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan, menulis dan mengajar, maka
pada usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia dalam usia 54 tahun di kota kelahirannya
pada tanggal 14 jumadil akhir 505 H/ 19 Desember 1111 M dalam pangkuan saudaranya
Ahmad al-Ghazali. Al-Ghazali meninggalkan banyak karya yang ditulis dalam banyak
lapangan ilmu pengetahuan.

6. Jelaskan Pengertian Silaturrahmi dan Kemukakan 1 Ayat Al-Qur’an dan


Hadits Tentang Silaturrahmi?
Jawaban :

Menyambung silaturahmi adalah salah satu amalan yang mulia dan kewajiban dalam
agama. Banyak ayat Al Qur’an dan hadits yang menghasung kita untuk menyambung tali
silaturahim serta menjelaskan berbagai keutamaannya. Namun, sebagian orang salah
paham dalam memaknai silaturahim, yang kesalah-pahaman tersebut terjatuh pada
kesalahan dalam beragama. Semoga Allah memberi hidayah.
Allah Ta’ala memerintahkan untuk menyambung tali silaturahim, dalam firman-Nya:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa: 36).Bagi saya adalah silahturahmia hakikatnya
mengandung makna yang sama tapi penggunaan dalam kalimatnya berbeda Dan secara
hafiahnya berbeda. Intinya keterikatan hubungan dan siapa yang memutuskan hubungan
pada konteks janin,hubungan keluarga,hubungan anak dan orang tua itu akan terputus dari
surga yang di janjikan Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai