Anda di halaman 1dari 50

1

PROPOSAL

HUBUNGAN ANTARA GRIT DENGAN ORGANIZATIONAL


CITIZENSHIP BEHAVIOR PADA KARYAWAN DI PT.X

Oleh:

Dhea Ranty

17081104

FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA

YOGYAKARTA
2020
2

DAFTAR ISI

BAB I PERMASALAHAN

a. Latar Belakang………………………………………………………………………..

b. Tujuan dan manfaat penelitian……………………………………………………….

d.1 Manfaat Teoritis…………………………………………………………………..

d.2 Manfaat Praktis…………………………………………………………….……..


BAB II KERANGKA TEORITIK

a. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)……….............................

2. Dimensi-Dimensi Organizational Citizenship Behavior ………………………...

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior……......

b. Grit

1. Pengertian Grit……………………...…………………………………………………….

2. Dimensi-Dimensi Grit...…………………………………………………………………

c. Hubungan antara Grit dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB)……………

d. Hipotesis Penelitian…………………………………………………………………

BAB III METODE PENELITIAN

a. Judul penelitian ……………………………………………………………………

b. Desain Penelitian…………………………………………………………………..

c. Identifikasi Variabel……...………………………………………………………..
3

d. Populasi & Sampel………………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..

LAMPIRAN………………………………………………………………………

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di tengah gejolak ekonomi dunia yang semakin pesat dan perkembangan

teknologi yang terlihat jelas seperti saat ini menciptakan banyak perubahan yang
4

terjadi di sekitar kita terutama di bidang teknologi. Berbagai kalangan mulai

memanfaatkan teknologi yang canggih dalam proses usahanya dan beberapa

perusahaan juga semakin berkembang dengan memanfaatkan teknologi yang ada.

Tentunya hal ini menciptakan persaingan antar berbagai perusahaan besar maupun

kecil. Setiap perusahaan tentunya berharap untuk terus berkembang dan

mempertahankan bisnisnya di berbagai situasi. Dalam rangka mencapai kesuksesan

dalam bisnis yang dijalankannya tentu perusahaan harus mengoptimalkan sumber

daya yang ada di dalamnya.

Suatu perusahaan memiliki berbagai macam sumber daya yang ada di

dalamnya, mulai dari sumber daya sebagai “input” yang kemudian di ubah menjadi

“output” berupa produk barang atau jasa, sumber daya yang meliputi modal/uang,

teknologi untuk menunjang proses produksi, metode atau strategi yang di gunakan

untuk beroperasi, serta sumber daya manusia. Diantara berbagai sumber daya yang

ada, sumber daya manusia menjadi asset bagi suatu perusahaan, terdapat suatu istilah

terkenal yaitu “our employees are our most important asset” atau dengan kata lain

sumber daya manusia (dalam hal ini adalah karyawan) merupakan aset terpenting

guna menyokong keberlangsungan suatu perusahaan (Lebow, 2018). Tentunya

perusahaan dapat berjalan dengan optimal bila di dukung oleh sumber daya manusia

yang berkerja secara optimal (Bangun, 2012). Faktor kunci yang memegang peranan

untuk menghadapi persaingan tersebut adalah peran karyawan,


5

Menurut Abdullah (2014) Karyawan adalah sumber daya manusia atau

penduduk yang bekerja di suatu institusi baik pemerintah maupun swasta atau bisnis.

karyawan merupakan pelaku utama dalam menggerakan tata laksana perusahaan

dalam rangka mencapai tujuan bersama (Widagdo, K. R., 2016). Karyawan memiliki

potensi yang luar biasa yang mengalahkan sumber daya organisasi lainnya, karena

karyawan mempunyai kemampuan fisik, kemampuan psikis, kemampuan

karakteristik, kemampuan pengetahuan dan keterampilan, serta pengalaman hidup

(Nawawi, 2007).

Tentunya peran karyawan menjadi sangat penting bagi penyelenggaraan

operasionalisasi ke arah pencapaian kinerja, tujuan, dan pengembangan organisasi

(Nursyamsi, 2013). Setiap karyawan akan berusaha untuk berperan sebagai agen

perubahan, tidak hanya sekedar mengandalkan kemampuannya saja, kemampuan

tanpa didukung dengan kemauan, tentu tidak akan menghasilkan peningkatan apapun

(Mutia, 2010). Oleh karena itu perkembangan suatu perusahaan menjadi sangat

penting dan salah satu faktor yang memperngaruhi efektitas organisasi adalah Sumber

daya manusia.

Setiap perusahaan pastinya menginginkan keberhasilan dalam bisnisnya dapat

bertahan mengikuti perkembangan zaman dan dapat bersaing dengan perusahaan

lainnya. Suatu perusahaan dapat bertahan apabila memiliki karyawan yang kompeten

dan berperilaku positif. Sehingga perusahaan akan berasa beruntung bila memiliki
6

karyawan dengan perilaku positif. Menurut Fauth, Bevan, dan Mills (2009)

keberhasilan organisasi tergantung pada masukan yang berasal dari ide-ide, inovasi,

dan kreativitas dari karyawan. Kesuksesan dan keberlanjutan suatu organisasi akan

sangat ditentukan oleh kesediaan karyawan untuk berperilaku tidak hanya

mengerjakan tugas-tugas pokok mereka, tetapi juga memiliki keinginan untuk

menjadi karyawan yang baik (good citizen) dalam organisasi (Mark ́oczy & Xin,

2004). Salah satu kunci keberhasilan perusahaan atau organisasi di tengah-tengan

dunia industri yang semakin mengglobal hari demi hari ini adalah sejauh mana orang-

orang di dalam organisasi tersebut secara sinergis berkontribusi positif, baik dalam

perencanaan maupun dalam pengimplementasikan rencana yang disusun dan di

arahkan untuk pencapaian tujuan. Hanya saja untuk membuat karyawan mau

berkontribusi secara positif walaupun tanpa imbalan merupakan hal yang sulit

ditemui, sehingga sangat penting bagi bagi perusahan atau organisasi untuk dapat

membuat karyawannya berkontribusi secara positif dengan kesadarannya sendiri

(Ardiansyah,2008).

Pada kenyataannya perkembangan sumber daya manusia di Indonesia masih

tertinggal jauh. Berdasarakan indeks sumber daya manusia yang di keluarkan world

economic forum pada tahun 2019, Indonesia menempati urutan ke-50 dari 141

negara. Sumber daya manusia di indonesia memang masih dianggap kalah saing

dalam urusan produktivitas tenaga kerja atau  pay and productivity (Bhima, 2019).
7

Salah satu penyebab turunnya daya saing karena kemampuan Sumber Daya Manusia

(SDM) Indonesia yang masih rendah (Andry, 2019). Tidak hanya itu, kualitas SDM

di Indonesia masih tertinggal jauh, berdasarkan bank dunia (world bank), indeks

modal manusia di Indonesia berada pada peringkat 87 dari 157 negara lebih ren

dah dari negara ASEAN lainnya seperti singapura (ke-1), Malaysia (ke-55) dan

Thailand (ke-65). Di lihat dari keadaan SDM di Indonesia saat ini, menunjukkan

bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia belum memadai dalam menghadapi

persaingan global. Sedangkan perusahaan pasti menuntut SDM yang berkualitas agar

mampu bertahan dan bersaing dengan perusahaan lainnya. Kesediaan para karyawan

untuk berkontribusi secara positif tersebut pada gilirannya akan menjadi sumber bagi

peningkatan efektivitas, efisiensi, dan kreativitas kerja (Bogler and Somech dalam

Ningtyas, 2005). Perilaku untuk bersedia memberikan kontribusi positif ini

diharapkan tidak hanya terbatas dalam kewajiban kerja secara formal, melainkan

idealnya lebih dari kewajiban formalnya (Bowler dalam Sofyandi, 2007).

Banyaknya ketidakseimbangan antara keingininan karyawan dan keinginan

perusahaan. Hal ini tentu karena karyawan yang mengharapkan imbalan atas beban

kerja yang dirasakannya atau perusahaan yang tidak memberi kesejahteraan pada

karyawan (Rini, 2013). kinerja ex-role menjadi salah satu penghambat dalam

tercapainya tujuan organisasi. Padahal untuk mencapai keunggulan dalam organisasi

harus mengusahakan kinerja individual yang setinggi - tingginya, karena pada


8

dasarnya kinerja individual mempengaruhi kinerja tim atau kelompok kerja dan pada

akhirnya mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan (Novliadi, 2006).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan menjadikan PT.X sebagai subjek

dalam penelitian ini. PT.X merupakan perusahan ritel yang besar dan memiliki

banyak cabang. Selain itu memiliki karyawan sekitar 700 orang. Karena lokasi PT.X

berada di Yogyakarta tentu saja budaya yang diterapkan dalam perusahaan ini

menggunakan budaya Yogyakarta, yang mana di Yogyakarta ini terkenal dengan

budaya yang ramah, sopan, sikap toleransi yang tinggi, rendah hati dan santun. Dilihat

dari budaya yang ada di Jogjakarta sangat cocok dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Amalina (2010) menunjukkan hasil bahwa keterampilan karyawan,

kesopanan, keramahan, rasa hormat, perhatian serta keterampilan komunikasi

karyawan berpengaruh pada nilai penjualan perusahaan hampir 50%. karena PT.X

adalah salah satu perusahaan ritel terbesar di Yogyakarta. Produk yang dijual

perusahaan ritel adalah produk rumah tangga yang sangat dibutuhkan berbagai

kalangan untuk kebutuhan setiap hari nya menyebabkan perkembangan bisnis ritel di

Indonesia semakin berkembang dan banyak bermuculan perusahaan ritel di Indonesia

yang menjadi tantangan bagi PT.X untuk dapat pertahan di tengah persaingan yang

ada. Menurut Primantara (2017) menyampaikan bahwa dalam persaingan bisnis,

banyak perusahaan ritel yang bersaing antara satu dengan yang lain untuk

mempertahankan pelanggan yang telah menjadi customer setia supermarket. Kunci


9

keberhasilan dari bisnis ritel yang sukses terletak pada karyawan mampu beradaptasi,

memahami lingkungannya, serta memiliki kemampuan mendengarkan pelanggan

karena tidak setiap saat atasan akan turun langsung menghadapi pelanggan. Oleh

sebab itu setiap perusahaan ritel akan terus mencoba meningkatkan kualitas layanan

secara berkala. di karenakan PT.X memiliki banyak cabang, Tuntutan pekerjaan

karyawan akan sangat berat ditambah dengan tanggung jawabnya untuk melayani

konsumen. Sehingga karyawan PT.X tidak hanya di tuntut untuk melaksanakan tugas

dalam deskripsi pekerjaannya saja, melainkan di tuntut untuk bekerja melebihi

jobdesk dan jobspec agar meningkatkan penjualan. Beberapa karyawan di PT.X

bekerja tidak sesuai dengan perintah atasan, bahkan beberapa karyawan juga sering

menunda pekerjaan yang sudah menumpuk, serta kurangnya semangat karyawan

dalam menjalankan pekerjaannya. Pastinya setiap bisnis ritel akan menghadapi

persaingan yang ketat dan tuntutan karyawan yang semakin banyak sehingga beberapa

karyawan mengalami penurunan kinerja dan tidak produktif dari perilaku karyawan

yang seperti itu terkadang berakibat buruk pada kinerja perusahaan (wawancara

tanggal 12 okrober 2020).

Pastinya setiap perusahaan akan berusaha mencari karyawan berkualitas yang

memenuhi kriteria - kriteria yang ada dan perusahaan juga menginginkan karyawan

yang bersedia untuk melakukan tugas - tugas tugas pokok dalam deskripsi pekerjaan,

sukarela dalam membatu rekan kerjanya dan mampu beradaptasi dengan


10

lingkungannya. Perilaku seperti ini sering disebut dengan organizational citizenship

behavior (OCB). Ketika karyawan di PT.X memiliki organizational citizenship

behavior yang baik maka dapat memberikan keuntungan kepada PT.X itu sendiri,

sebagai perusahaan retail yang besar salah satu keuntungannya adalah produktivitas

PT.X akan meningkat, dengan pelayanan karyawan yang memuaskan terhadap kepada

konsumen akan meningkatkan kepuasan konsumen, dan menciptakan lingkungan

pekerjaan yang kondusif antara karyawan, perusahaan dan konsumen. Maka dari itu

organizational citizenship behavior sangat diperlukan oleh karyawan di PT.X. Hal ini

semakin menyadarkan bahwa karyawan dengan perilaku yang positif, seperti

organizational citizenship behavior atau disingkat dengan sebutan OCB, merupakan

perilaku yang menjanjikan keberhasilan bagi organisasi dalam jangka Panjang

(Chaitanya&Triparhi, 2017 :217). jika OCB tidak diperhatikan maka karyawan yang

memiliki OCB rendah dapat memberikan dampak yang kurang baik pada organisasi

(Allen, 2000).

Menurut Organ (2006) mendefinisikan organizational citizenship behavior

sebagai kontribusi karyawan yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja, tidak

berkaitan langsung atau eksplisit dengan sistem reward dan bisa meningkatkan fungsi

efektif organisasi. Ditambahkan oleh Robbins & Judge (2011) Perilaku tenaga kerja

atau karyawan yang bersedia melakukan pekerjaan diluar dari pekerjaan pokoknya

(Extra-role) ini disebut juga sebagai OCB. Menurut jahangi, Akbar dan Hag (2004)
11

organizational citizenship behavior atau OCB adalah bentuk kesediaan seseorang

untuk berkerja melampaui tugas pokok yang ada dalam sebuah pekerjaan. Orang

dengan OCB yang baik akan melakukan hal-hal lain yang bertujuan untuk membantu

orang lain secara peribadi atau juga membantu mengingatkan efektivitass organisasi

secara keseluruhan (Schermirhom, Osborn, Uhl Bien&Hunt, 2012) dan mampu

menghadapi dengan baik situasi yang kompetitif (Organ, dkk, 2006). Sedangkan,

Bolino, Trenly dan Blougood (2002) mendefinisikan organizational citizenship

behavior atau OCB sebagai keinginan dan motif karyawan yang berkerja melebihi

kewajiban pokok pekerjaannya untuk saling membantu dan memiliki minat yang

nyata daripada kegiatan dan tugas umum organisasi.

Organizational citizenship behavior atau OCB itu sendiri mengandung

dimensi-dimensi yang membuat seorang karyawan mampu meningkatkan efektivitas

organisasi yakni menurut Organ (2006) adalah altruism, courtesy, sportsmanship,

conscientiousness, dan civic virtue. Altruism (sikap menolong) yaitu perilaku

berinisiatif untuk membantu atau menolong rekan kerja dalam organisasi secara

sukarela. Courtesy (sikap hormat) yaitu perilaku individu yang menjaga hubungan

baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota dalam

organisasi. Sportsmanship (sikap toleransi) yaitu kesediaan individu menerima apapun

yang ditetapkan oleh organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak sewajarnya.

Conscientiousness (sikap sukarela) yaitu pengabdian atau dedikasi yang tinggi pada
12

pekerjaan dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam setiap aspek.

Kemudian civic virtue (sikap tanggung jawab) yaitu perilaku individu yang

menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki tanggung jawab untuk terlibat,

berpartisipasi, turut serta, dan peduli dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan

organisasi.

Berdasarkan pada penjelasan Organ dkk (2006), OCB dapat ditunjukan

pada beberapa perilaku seperti membantu rekan kerja yang membutuhkan

pertolongan, mau diajak berkerja sama dalam beberapa hal, memberikan suatu saran

yang membangun, berbagi pengetahuan tanpa di minta, menciptakan inovasi yang

bisa memberikan keuntungan untuk organisasi tanpa mengharapkan imbalan

setelahnya ataupun perilaku kecil yang sering tidak disadari oleh orang lain namun

sebenarnya sangat membantu organisasi menjadi lebih efektif dan efisien. OCB juga

dapat tercermin dari perilaku datang tepat waktu di tempat kerja, mengikuti peraturan

di tempat kerja, juga membantu teman yang sedang kesulitan di tempat kerja.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ariani (2011) pada karyawan atau staff

bank mengunakan metode survey menunjukkan bawah ada hubungan yang signifikan

antara organizational citizenship behavior dengan kinerja tugas. Perilaku OCB

mampu meningkatkan kinerja kinerja tenaga penjualan. Di temukan hubungan

signifikan antar dimesi OCB berkisar 17,1 % - 42,6 % pada koesioner yang di bagikan

pada staff bank artinya perilku OCB bisa di jadikan dasar penilaian kinerja karyawan.
13

Terlaksananya perilaku ocb dalam perusahaan menunjukan kinerja individu yang

melebihi standart berpengaruh dalam penilaian kinerja individu, pemberian

penghargaan atau upah, dan dalam rekrutmen dan seleksi karyawan. Selain itu

perilaku OCB yang terlihat pada karyawan juga menunjukan bahwa organisasi

tersebut efektif dalam melaksanakan kegiatannya, sehingga aktivitas yang berda di

luar standar pun dapat dilaksanakan dengan baik.

Melihat hal tersebut maka perlu kiranya mengetahui faktor-faktor yang

menyebabkan munculnya OCB pada karyawan. Menurut Organ, dkk (2006)

mengatkan bahwa terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya

OCB pada karyawan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Menurut Organ (2006),

organizational citizenship behavior dipengaruhi oleh 6 faktor, yaitu perceived

organizational support, suasana hati atau mood, persepsi terhadap kualitas interaksi

atasan-bawahan, masa kerja, jenis kelamin, budaya dan iklim organisasi. (1)

Perceived organizational support (POS) diartikan sebagai pekerja yang merasa bahwa

dirinya mendapat perhatian dari organisasi maka dirinya akan memberikan timbal

baliknya. (2) Suasana hati atau mood, merupakan karakteristik yang dapat berubah -

ubah. Sebuah suasana hati yang positif akan meningkatkan peluang seseorang untuk

membantu orang lain. (3) Persepsi terhadap kualitas interaksi atasan-bawahan,

diartikan interaksi atasanbawahan yang berkualitas tinggi akan meningkatkan rasa

percaya dan hormat bawahan pada atasannya sehingga bawahan termotivasi untuk
14

melakukan lebih dari yang diharapkan oleh atasan. (4) Masa kerja dapat berkorelasi

dengan organizational citizenship behavior karena variabel-variabel tersebut

mewakili “pengukuran” terhadap “investasi” karyawan di organisasi. (5) Jenis

kelamin, bahwa wanita cenderung lebih mengutamakan pembentukan relasi dan lebih

menunjukkan organizational citizenship behavior dari pada pria. (6) Budaya dan iklim

organisasi, menggunakan teori pertukaran sosial untuk berpendapat bahwa ketika

karyawan telah puas terhadap budaya dan iklim organisasi, maka akan memberikan

umpan balik yang positif yang berorientasi pada tugas dan pemeliharaan perusahaan.

Kemudian faktor lain yang mempengaruhi OCB yaitu menurut Konovsky dan

Organ (1996); Organ et al (2006); Organ dan Ryan (1995); Podsakoff et al (2000)

(dalam Hendrawan, Sucahyawati, Indiyani, 2018) mengelompokkan faktor yang

mempengaruhi OCB antara lain adalah perbedaan individu dan juga sikap pada

pekerjaan dan variabel kontekstual lainnya. Salah satu perbedaan yang menonjol dari

setiap individu adalah dalam hal persistensi dan ketekunan bahkan sekalipun di dalam

menghadapi sebuah tantangan yang disebutkan oleh Ducworth memiliki Grit. Grit

merupakan suatu kecendrungan untuk dapat mempertahankan ketekunan serta

semangat demi tujuan yang bersifat jangka panjang, menantang dan menunjukan

individu (karyawan) mau bertahan (Duckworth dalam chrisantiana dan sembiring

2017).
15

Dari berbagai faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku OCB, peneliti

tertarik dengan faktor Grit. Orang dengan tingkat grit yang lebih tinggi cenderung

memiliki kinerja yang lebih baik daripada orang dengan grit yang lebih rendah

(Duckworth, Peterson, Matthews, & Kelly, 2007). Seseorang dengan grit yang lebih

tinggi berhasil dalam pekerjaan dibanding dengan individu yang memiliki grit rendah.

Hasil penelitian Suzuki, Tamesue, Asahi, dan Ishikawa pada tahun 2015 menunjukan

bahwa grit adalah prediktor yang kuat untuk performansi kerja dan juga performansi

akademik. Individu dengan derajat grit yang tinggi akan lebih tekun dalam bekerja,

tidak mudah menyerah jika mengalami kegagalan, bahkan dapat menjadikan

kegagalan sebagai cambuk untuk semakin berusaha mencapai tujuan (dalam Tiara dan

Rostiana, 2018). Hal ini menunjukan bahwa grit menjadi salah satu faktor yang

berkaitan dengaan bagaimana seseorang melakukan tugas, tanggung jawab, serta rasa

terikat di dalam suatu organisasi/ perusahaan.

Menurut Duckworth (2017) Grit (kegigihan) merupakan suatu kecenderungan

untuk dapat mempertahankan ketekunan serta semangat demi tujuan yang bersifat

jangka panjang, menantang dan menunjukkan individu (karyawan) mau bertahan. Grit

menupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh seseorang

guna mencapai tujuan berserta kemampuan bertahan dalam jangka waktu tertentu.

Grit ditunjukan dengan perilaku mau berkerja keras, bertahan dalam melewati

tantangan dan berpegang teguh kepada apa yang sudah menjadi pilihannya.
16

Duckworth (2007) mengungkapkan bahwa Grit mempunyai dua dimensi

yakni consistency of interest dan perseverance of effort. Dimensi pertama,

konsestensi Minat (Consestency of interst) dimensi ini mengacu pada kencendrungan

individu untuk bertahan pada keinginan yang sama dalam jangka waktu yang

Panjang. Menurut Suzuki, tamesue, asahi, ishikawa (2015) individu yang memiliki

grit lebih tinggi akan lebih engage pada pekerjaannya dibandingkan grit yang rendah.

Artinya orang yang memiliki grit tinggi akan menikmati apa yang mereka lakukan

dalam proses mencapi tujuan tersebut, dan terus-menerus berusaha dengan sikap

penuh harapan untuk meningkatkan level dan ketrampilan mereka Duckworth (2016).

Orang-orang yang mengejar kehidupan bermakna, kosisten terhadap minat nya dapat

memiliki pengaruh pro-sosial hal memiliki korelasi positif yang kuat dimna individu

tersebut tidak hanya mementingkan dirinya sendiri tetapi juga untuk organisasi dan

orang lain, sehingga memunculkan prilaku extra role seperti halnya membantu orang

lain yang merupakan ciri dari adanya perilaku OCB di likungan kerja. Kemudian

Dimensi kedua Menurut duckworth (2007) yaitu Kegigihan dalam Berusaha

(Perseverance of Effort) dimensi ini berkaitan dengan sejauh mana orang akan

berusaha keras dalam menghadapi tantangan. Upaya yang dilakukan sungguh-

sungguh oleh seseorang guna mencapai tujuan beserta kemampuan bertahan dalam

jangka waktu tertentu. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan perilaku mau bekerja

keras, bertahan dalam melewati tantangan dan berpegang teguh kepada apa yang
17

sudah menjadi pilihannya. Kegigihan biasanya lebih dilihat dari hasil dari pada

prosesnya. Mereka yang gigih dalam melakukan sesuatu yang mereka inginkan tidak

akan takut menghadapi tantangan,dan rintangan. Instrumen dominan dalam variabel

grit adalah "ketekunan usaha". karena grit hanya akan tercipta dalam jangka waktu

yang lama. Paul dan Garg (2012) mengungkapkan bahwa persistensi memiliki

hubungan yang positif dengan altruisme, etiket, kesadaran sipil, dan hati nurani, yang

merupakan sub-elemen dari OCB. Berdasarkan isi tersebut diharapkan kemauan

karyawan akan berdampak positif terhadap OCB.

Meskipun Pelea (2018) dan Ion, Mindu & Gorbănescu (2017) menyimpulkan

bahwa sulit untuk mempertimbangkan grit sebagai konsep yang dibangun sendiri

secara independen dalam memprediksi OCB, tetapi Zhou (2016) mengungkapkan

grit sebagai aspek non kognitif yang mempengaruhi hasil pekerjaan seseorang.

Suzuki dkk., ( 2015) menyimpulkan bahwa orang-orang yang berani cenderung

terlibat secara positif dalam pekerjaan mereka. Studi ini mengidentifikasi grit sebagai

prediktor kuat untuk prestasi kerja dan keterbukaan terhadap pengalaman

dikonfirmasi memiliki hubungan positif dengan grit. Datu et al., (2015) juga

menyimpulkan bahwa meskipun konsep grit terdiri dari dua dimensi yang meliputi

ketekunan usaha dan konsistensi kepentingan, hanya ketekunan usaha yang

berpengaruh positif baik perilaku maupun keterikatan emosional. Berdasarkan


18

penelusuran literatur ini, terdapat peluang untuk menguraikan lebih jauh tentang

hubungan antara grit dan OCB.

Terdapat penelitian yang di lakukan shanty, dkk. (2019) dengan sampel

sebanyak 110 orang karyawan di universitas x menunjukan adanya hubungan grit dan

organizational citizenship behavior. Grit dengan OCB-I menunjukan angka signifikan

0,04 sedangkan OCB-O menampilakan angkat signifikan sebesar 0,055 artinya hasil

penelitianya menunjukan bahwa terdapat korelasi antara grit dan OCBI secara positif

dan grit tidak berkorelasi dengan OCB-O. Hal ini menunjukan bahwa grit berkorelasi

dengan OCB yang bersifat personal dan tidak berkorelasi dengan OCB yang di

dasarkan pada organisasi.

Kemudian penelitian yang dilakuakan oleh oleh M.arifin, dkk. (2019)

mengungkapkan bahwa grit berpengaruh terhadap organizational citizenship

behavior (OCB). Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara grit dan ocb yang di mediasi oleh keterlibatan kerja, terdapat

pengaruh positif grit terhadap keterlibatan kerja dengan koefisien = 0,184 : p <0,01

serta pengaruh positif keterlibatan kerja terhadap OCB dengan koefisien = 0,428 : p

<0,01. Hubungan langsung antara grit dan OCB juga diamati signifikan dengan

koefisien = 0,249; p <0,01. Dengan demikian, keterlibatan kerja juga memediasi

sebagian hubungan antara grit dan OCB. grit berpengaruh positif terhadap

keterlibatan kerja dan keterlibatan kerja berpengaruh positif terhadap OCB. Dengan
19

demikian grit tetap menjadi prediktor OCB secara langsung atau melalui keterlibatan

kerja. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa grit berdampak pada munculnya

prilaku OCB.

Keterbatasan studi terdahulu tentang hubungan antara konsep Grit dengan

OCB, serta keterbatasan studi tentang implementasi dimensi Grit ini pada karyawan

memberi ruang bagi peneliti untuk mengembangkan sebuah prediktor baru dalam

menjelaskan pencapaian OCB di suatu organisasi atau perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengajuakan sebuah rumusan permasalah

dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara Grit dengan

Organizational citizenship behavior pada karyawan di PT.X ?

B. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah di uraikan di

atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan Grit

dengan organizational citizenship behavior pada karyawan pada karyawan

di PT.X.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut:


20

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap

perkembangan ilmu dan memperkaya pengetahuan khususnya di

bidang psikologi industri dan organisasi tentunya dan memperluas

pengetahuan baru mengenai hubungan antara Grit dengan

Organizational citizenship behavior pada karyawan.

b. Manfaat Praktis

1). Bagi Peneliti selanjutnya

Melalui penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk pihak peneliti

selanjutnya agar menjadi bahan pertimbangan dalam rangka

menyusun penelitian terkait organizational citizenship behavior pada

karyawan.

dapat memberikan informasi bagi perusahaan atau organisasi

mengenai hubungan antara Grit dengan Organizational citizenship

behavior

2). Bagi Perusahaan

Hasil Penelitian ini harapkan dapat memberikan informasi

tentang sejauhmana pentingnya karyawan memiliki Grit dalam

menjalani pekerjaannya, sehingga dapat menimbulkan seberapa besar

organizational citizenship behavior yang di tunjukkan pada karyawan


21

dan menguntungkan perusahaan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Organizational Citizenship Behavior

1. Definisi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Istilah Organizational Citizenship Behavior atau biasanya di singkat

dengan istilah OCB diperkenalkan oleh Organ diawal tahun 1980-an, namun

jauh sebelum tahun tersebut Bardnard (1938) telah mengunakan konsep

sejenis OCB dan menyebutnya sebagai kerelaan berkerja sama (willingness to

cooperate). Pada tahun 1964, Katz menggunakan konsep serupa dan

menyebutnya sebagai inovatif dan perilaku spontan (Budihardjo, 2014).

Menurut Organ, (1998 dalam Podsakoff & MacKenzie) Organizational

Citizen Behavior adalah sebuah tipe spesial dari kebiasaan kerja yang

mendefinisikan sebagai perilaku individu yang sangat menguntungkan untuk

organisasi dan merupakan kebebasan memilih, secara tidak langsung atau

secara eksplisit diakui sistem penghargaan formal. Ini berarti, perilaku tersebut

tidak termasuk ke dalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan

sehingga jika tidak di tampilkan pun tidak diberikan hukuman. Organ (2006)
22

mendefinisikan organizational citizenship behavior sebagai kontribusi

karyawan yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja, tidak berkaitan

langsung atau eksplisit dengan sistem reward dan bisa meningkatkan fungsi

efektif organisasi.

Seseorang yang memiliki OCB yang tinggi tidak akan dibayar dalam

bentuk uang atau bonus tertentu, namun OCB lebih kepada perilaku sosial dari

masing-masing individu untk berkerja melebihi apa yang di harapkan, seperti

toleransi pada situasi yang kurang ideal/menyenangkan di tempat kerja,

memberi saran saran yang membangun di tempat kerja, serta tidak membuang-

buang waktu di tempat kerja (Robbins,2001).

Menurut Bateman & Organ (1996) Organizational Citizen Behavior

adalah sikap membantu yang ditunjukan oleh anggota organisasi, yang

sifatnya konstruktif, di hargai oleh perusahaan tapi tidak secara langsung

berhubungan dengan produktifitas individu. Menurut Enhart (2004) dalam

Khalid dan Ali (2005) OCB didefinisikan sebagai perilaku yang mempertinggi

nilai dan pemeliharaan social lingkungan psikologi yang mendukung hasil

pekerjaan.

Sedangkan menutut Johns (1996) dalam Budiharjo (2014)

mengemukakan bahwa OCB memiliki karakteristik extra-role behavior yang

tidak termasuk dalam uraian jabatan, perilaku spontan/tanpa sasaran atau


23

perintah seseorang, perilaku yang bersifat menolong, serta perilaku yang tidak

mudah terlihat serta dinilai melalui evaluasi kinerja.

Organizational Citizen Behavior ini melibatkan beberapa perilaku

meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi sukarelawan untuk tugas-

tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di tempat

kerja. Perilaku-perilaku ini menggambarkan “nilai tambah karyawan” yang

merupakan salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku social yang

positif, konstruktif dan bermakna membantu (Aldag & Resckhe, 1997).

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, peneliti menarik

kesimpulan bahwa Organizational Citizenship Behavior merupakan sebuah

perilaku spontan individu yang secara sadar dan sukarela (extra-role behavior)

berkerja di luar deskripsi jabatan (job description) nya sifatnya menolong,

patuh terhadap aturan-aturan organisasi, walaupun tidak berkaitan langsung

dengan sistem reward namun sangat menguntungkan bagi perusahaan.

2. Dimensi-Dimensi Organizational Citizenship Behavior

Organ, Podsakof, dan Mackenzie (2006) mengemukakan lima dimensi

Organizational Citizenship Behavior sebagai berikut:

1. Altruism
24

Altruism (sikap menolong) yaitu perilaku berinisiatif untuk membantu atau

menolong rekan kerja baik yang berhubungan dengan tugas dalam organisasi

ataupun masalah pribadi orang lain secara sukarela. Contohnya adalah perilaku

seperti membantu seorang rekan yang tidak masuk kerja, membantu orang lain

yang memiliki beban kerja berat, memperhatikan perilaku seseorang yang

mempengaruhi pekerjaan orang lain, dan menyediakan bantuan dan dukungan

untuk karyawan baru tentang lingkungan kerja.

2. Courtesy

Courtesy (sikap hormat) yaitu perilaku individu yang menjaga hubungan

baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota

dalam organisasi. Usaha untuk mencegah masalah pekerjaan yang akan timbul

terhadap pihak luar ataupun relasi kerja. Seseorang yang memiliki dimensi ini

adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain. Contoh

perilaku dalam kategori ini adalah secara berkala memahami rekan kerja untuk

mencari tahu bagaimana pekerjaan akan berjalan, atau membiarkan orang lain

tahu bagaimana mencapainya.

3. Sportsmanship

Sportsmanship (sikap toleransi) yaitu kesediaan individu menerima apapun

yang ditetapkan oleh organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak

sewajarnya. Perilaku ini menunjukkan keinginan untuk memberikan toleransi


25

terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan

keberatan - keberatan. Contoh perilakunya antara lain kemauan untuk

bertoleransi tanpa mengeluh, menahan diri dari aktivitas - aktivitas mengeluh

dan mengumpat, tidak mencari-cari kesalahan dalam organisasi, dan tidak

mengeluh tentang segala sesuatu, serta tidak membesar - besarkan

permasalahan di luar proporsinya.

4. Conscientiousness

Conscientiousness (sikap sukarela) yaitu pengabdian atau dedikasi yang

tinggi pada pekerjaan dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam

setiap aspek. Perilaku ini merupakan perilaku sukarela yang bukan merupakan

kewajiban atau tugas pekerja. Ditandai dengan kerapian, ketepatan waktu,

kehati - hatian, kedisiplinan, dan dapat di percaya.

5. Civic virtue

Civic virtue (sikap tanggung jawab) yaitu perilaku individu yang

menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki tanggung jawab untuk terlibat,

berpartisipasi, turut serta, dan peduli dalam berbagai kegiatan yang

diselenggarakan organisasi. Perilaku yang menunjukkan keinginan untuk

bertanggung jawab atas kelangsungan organisasi, memberikan pendapat yang

konstruktif, mendukung serta mempertahankan tujuantujuan organisasi.

Contoh perilaku adalah menghadiri pertemuan, berperan aktif untuk


26

membantu kegiatan yang diselenggarakan organisasi, dan berpartisipasi dalam

kegiatan organisasi.

Sementara itu Podsakoff dkk ( 2000) membagi OCB menjadi tujuh aspek yaitu :

a. Perilaku membantu yaitu : perilaku membantu teman kerja secara

sukarela dan mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan

pekerjaan. Dimensi ini merupakan komponen utama dari OCB. Organ

(dalam Lo dan Ramayah, 2009) mengambarkan dimensi ini sebagai

perilaku altruisme, pembuat/penjaga ketenangan dan menyemangati

teman kerja. Dimensi ini serupa dengan konsep fasilitas interpersonal,

perilaku membantu interpersonal, OCB terhadap individu (OCB-I) dan

perilaku membantu orang lain.

b. Kepatuhan terhadap organisasi yaitu : perilaku yang melakukan

prosedur dan kebijakan perusahan melebihi harapan minimum

perusahaan. Karyawan yang mengintemalisasikan peraturan perusahaan

secara sadar akan mengikutinya meskipun pada saat sedang diawasi.

Dimensi ini serupa dengan konsep kepatuhan umum dan menaati

peraturan perusahaan.

c. Sportsmanship yaitu: tidak melakukan complain mengenai

ketidaknyamanan bekerja, mempertahanan sikap positif ketika tidak

dapat memenuhi keinginan pribadi, dan mengizinkan seseorang untuk


27

mengambil tindakan demi kebaikan kelompok (Organ, dalam Lo dan

Ramayah, 2009). Dimensi ini serupa dengan konsep menghargai

perusahaan dan tidak mengeluh.

d. Loyalitas terhadap organisasi yaitu: loyalitas terhadap organisasi,

meletakkan perusahaan diatas diri sendiri, mencegah dan menjaga

perusahaan dari ancaman eksternal, serta mempromosikan reputasi

organisasi (Dyne dan Ang, 1998)

e. Inisiatif individual yaitu: sama dengan apa yang disebut organ (dalam

Lo dan Ramayah, 2009) sebagai kesadaraan (conscientiousness) yang

merupakan derajat antusiasme dan komitmen ekstra pada kinerja

melebihi kinerja maksimal yang diharapkan. Dimensi ini serupa dengan

konsep kerja pribadi dan sukarela mengerjakan tugas.

f. Kualitas sosial yaitu: tindakan keterlibatan yang bertangungjawab dan

konstruktif dalam proses politik organisasi, bukan hanya

mengekspresikan pendapat mengenai suatu pemberian, tetapi juga

mengikuti rapat, dan tetap mengetahui isu yang melibatkan organisasi

(Organ, dalam Lo dan Ramayah, 2009).

g. Perkembangan diri yaitu: keterlibatkan dalam aktivitas untuk

meningkatkan kemampuan dan pengalaman seseorang sebagai

keuntungan bagi organisasi.


28

Sedangkan Graham (1991) dalam Bolino, Turnley dan Bloodgood (2002)

memberikan konseptualisasi OCB yang berbasis pada filosofi politik dan teori politik

modern dengan menggunakan perspektif teoritis ini, Graham mengemukakan tiga

bentuk OCB yaitu:

1. Ketaatan (Obedience) yang menggambarkan kemauan karyawan

untuk menerima dan mematuhi peraturan dan prosedur organisasi.

2. Loyalitas (Loyality) yang menggambarkan kemauan karyawan

untuk menempatkan kepentingan pribadi mereka untuk keuntungan

dan kelangsungan organisasi.

3. Partisipasi (Participation) yang menggambarkan kemauan

karyawan untuk secaraaktif mengembangkan seluruh aspek

kehidupan organisasi. Partisipasi terdiri dari:

a. Partisipasi sosial yang menggambarkan keterlibatan

karyawan dalam urusan-urusan organisasi dan dalam

aktivitas sosial organisasi. Misalnya: selalu menaruh

perhatian pada isu-isu aktual organisasi atau menghadiri

pertemuan-pertemuan tidak resmi.

b. Partisipasi advokasi, yang menggambarkan kemauan

karyawan untuk mengembangkan organisasi dengan

memberikan dukungan dan pemikiran inovatif. Misalnya:


29

memberi masukan pada organisasi dan memberi dorongan

pada karyawan lain untuk turut memberikan sumbangan

pemikiran bagi pengembangan organisasi.

c. Partisipasi fungsional, yang menggambarkan kontribusi

karyawan yang melebihistandar kerja yang diwajibkan.

Misalnya: kesukarelaan untuk melaksanakan tugasekstra,

bekerja lembur untuk menyelesaikan proyek penting, atau

mengikuti pelatihan tambahan yang berguna bagi

pengembangan organisasi.

Berdasarkan uraian diatas, Peneliti memilih dimensi-dimensi OCB yang

dikembangkan oleh Organ (2006) yaitu altruism, conscientiousness, sportsmanship,

courtesy, civic virtue. Alasannya karena dimensi-dimensi yang dibuat lebih rinci,

konkrit dan sesuai dengan tujuan penelitian. sehingga memudahkan peneliti dalam

pembuatan instrumen pengumpulan data.

3. Faktor-faktor Organizational Citizenship Behavior

Faktor-faktor yang mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior cukup

kompleks dan saling terkait satu sama lain. Menurut Organ (2006) organizational

citizenship behavior dipengaruhi oleh 6 faktor yaitu:


30

a. Perceived organizational support di artikan pekerja yang merasa bahwa

dirinya mendapat perhatian dari organisasi maka dirinya akan memberikan timbal

baliknya dengan terlibat dalam perilaku organizational citizenship behavior.

b. Suasana hati atau mood Merupakan karakteristik yang dapat berubah - ubah.

Kemauan seseorang untuk membantu orang lain juga dipegaruhi oleh mood.

Sebuah suasana hati yang positif akan meningkatkan peluang seseorang untuk

membantu orang lain.

c. Persepsi terhadap kualitas interaksi atasan-bawahan Diartikan sebagai

interaksi atasan - bawahan yang berkualitas tinggi akan meningkatkan rasa

percaya dan hormat bawahan pada atasannya sehingga bawahan termotivasi

untuk melakukan lebih dari yang di harapkan oleh atasan.

d. Masa kerja Masa kerja, dapat berkorelasi dengan organizational citizenship

behavior karena variabel-variabel tersebut mewakili “pengukuran” terhadap

“investasi” karyawan di organisasi. Karyawan yang telah lama bekerja dalam

suatu organisasi akan memiliki kedekatan dan keterikatan yang kuat terhadap

organisasi tersebut. Masa kerja yang lama juga akan meningkatkan rasa percaya

diri dan kompetensi karyawan dalam melakukan pekerjaannya, serta

menimbulkan perasaan dan perilaku positif terhadap organisasi yang

mempekerjakannya. Semakin lama karyawan bekerja dalam sebuah organisasi,

semakin tinggi persepsi bahwa karyawan memiliki investasi di dalamnya.


31

e. Jenis kelamin Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita cenderung

lebih mengutamakan pembentukan relasi dan lebih menunjukkan perilaku tolong

menolong (perilaku organizational citizenship behavior) dari pada pria.

f. Budaya dan iklim organisasi Menggunakan teori pertukaran sosial untuk

berpendapat bahwa ketika karyawan telah puas terhadap budaya dan iklim

organisasi, maka akan memberikan umpan balik yang positif yang berorientasi

pada tugas dan pemeliharaan perusahaan. Iklim organisasi yang positif

menyebabkan antar karyawan akan saling menghargai, saling menaruh

kepercayaan, dan saling tertarik satu sama lain. Karyawan di perlakukan oleh

para atasan dengan sportif dan merasa ingin lebih melakukan pekerjaannya

melebihi apa yang telah di syaratkan dalam uraian pekerjaan.

Selain faktor diatas, Konovsky dan Organ (1996); Organ et al (2006); Organ dan

Ryan (1995); Podsakoff et al (2000) (dalam Hendrawan, Sucahyawati, Indiyani, 2018)

mengelompokkan faktor yang mempengaruhi OCB antara lain adalah perbedaan

individu dan juga sikap pada pekerjaan dan variabel kontekstual lainnya. Salah satu

perbedaan yang menonjol dari setiap individu adalah dalam hal persistensi dan

ketekunan bahkan sekalipun di dalam menghadapi sebuah tantangan yang disebutkan

oleh Ducworth memiliki Grit. Grit merupakan suatu kecenderungan untuk dapat

mempertahankan ketekunan serta semangat demi tujuan yang bersifat jangka panjang,
32

menantang dan menunjukkan individu (karyawan) mau bertahan (Duckworth dalam

Chrisantiana dan Sembiring, 2017).

Sedangkan menurut Podsakoff (2002) mengemukakan bahwa organizational

citizenship behavior dipengaruhi oleh 3 faktor antara lain:

a. Perbedaan individu Termasuk sifat yang stabil yang di miliki individu.

Beberapa perbedaan individu yang telah diperiksa sebagai prekursor

untuk organizational citizenship behavior meliputi: kepribadian

(misalnya kesadaran dan keramahan), kemampuan, pengalaman,

pelatihan, pengetahuan, ketidakpedulian dengan penghargaan, dan

kebutuhan untuk otonomi.

b. Sikap kerja Merupakan emosi dan kognisi yang berdasarkan persepsi

individu terhadap lingkungan kerja.

c. Kontekstual Pengaruh eksternal yang berasal dari pekerjaan, bekerja

kelompok, organisasi, atau lingkungan. Variabel kontekstual meliputi:

karakteristik tugas (sikap pada pekerjaan dan gaya kepemimpinan) dan

karakteristik kelompok (budaya organisasi, profesionalisme dan

harapan peran sosial).

B. Grit

1. Definisi Grit (ketekunan)


33

Istilah grit pertama kali diperkenalkan oleh Duckworth, Peterson, Matthews, and

Kelly (2007 ) yang mendefinisikan grit sebagai “trait-level perseverance and passion

for long-term goals”. Duckworth et all (2007), mendefinisikan grit sebagai keuletan

serta dorongan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Grit termasuk ke dalam

kelompok trait personality yang menurut Angela lee duckworth (2007) merupakan

kecendrungan individu untuk mempertahankan ketekunan dan semangat untuk tujuan

jangka panjang yang menantang, dimana setiap individu bertahan dengan hal-hal yang

menjadi tujuan mereka dalam jangka waktu yang panjang sampa mereka mencapai

tujuan tersebut.

Individu yang gritty memandang sebuah pencapaian atau prestasi sebagai

marathon. Saat individu lain merasa kecewa dan bosan pada sesuatu sehingga

mendorong mereka untuk merubah Haluan dengan berganti tujuan atau bahkan

berhenti berusaha sama sekali, individu dengan grit yang inggi akan tetap berusaha

pada hal ataupun tujuan yang telah dipilihnya. Kelebihan individu yang memiliki grit

adalah daya tahan dan selalu memandang prestasi sebagai sebuah perlombaan. Grit

yang tinggi didalam diri individu akan memepertahankan usaha dan minat dalam

waktu jangka panjang dan akan bertahan menghadapi kesulitan, tantangan dan

kegagalan dalam setiap proses. dengan tetap berkerja keras.

Grit mampu memprediksi pencapaian dalam hal yang menantang melebihi

dari bakat (Duckworth dan Quinn, 2009). Secara khusus grit merupakan kapasitas
34

untuk mempertahankan usaha dan minat terhadap suatu tujuan yang membutuhkan

waktu berbulan-bulan atau bahkan lebih untuk dapat menyelesaikannya. Grit terkait

tetapi berbeda dengan kebutuhan akan berprestasi. Individu yang memiliki grit yang

tinggi tidak mudah beralih dari tujuan mereka (Duckworth dan Quinn, 2009).

Duckworth et.al (2007) memberikan penjelasan bahwa grit terkadan tumpeng tindih

dengan aspek kesuksesan yang didasarkan pada ketekunan individu dalam mencapai

tujuan. Akan tetapi, grit berbeda dalam hal stamina jangka panjang dibandingkan

intensitas jangka pendek.

Menurut Eskreis-Winkler(2014) grit menunjukkan stamina yang esktrem

dalam hal ketertarikan tertentu dan menerapkan usaha terhadap ketertarikan tersebut.

Grit tidak hanya mengenai bekerja keras terhadap suatu tertentu, tetapi lebih bekerja

secara tekun terhadap suatu tujuan yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih lama.

Duckworth (2008) kemudian menjelaskan bahwa grit adalah sifat non kognitif positif

berdasarkan semangat individu untuk tujuan jangka panjang, ditambah dengan

motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan. Grit merupakan ketahanan dalam berusaha

mengatasi hambatan atau tantangan untuk mencapai hasil yang diinginkan dan

berfungsi sebagai kekuatan pendorong dalam mencapai sesuatu. Mahasiswa dengan

grit yang tinggi memandang prestasi sebagai sebuah marathon dan keunggulannya

sebagai stamina.
35

Dua faktor yang menjadi struktur grit menurut Duckworth. Struktur ini

sesuai dengan teori grit yang melihat pada trait stamina yang memiliki dimensi minat

dan usaha. Grit untuk mencapai tujuan jangka panjang didasari dari semangat dan

motivasi individu yang berfungsi sebagai kekuatan pendorong dalam pencapaian

tujuan. Ketika orang lain mengubah tujuan utama dan mundur saat merasa kecewa

ataupun bosan namun orang yang memiliki grit tinggi selalu berusaha pada apa yang

sudah dipilihnya. Terkait dengan bidang psikologi, konsep umumnya yaitu rajin, tidak

putus asa, kesadaran dan kebutuhan untuk berprestasi.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa grit

merupakan suatu kegigihan dan semangat juang yang dimliki individu dengan

bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan untuk mencapi tujuan jangka Panjang.

2. Dimensi Grit

Duckworth (2007) mengidentifikasi dua faktor yang menjadi dimensi dalam grit yaitu

Consestency of interst dan Perseverance of Effort. Penjelasan masing-masing dimensi

adalah sebgai berikut :

a. Konsestensi Minat (Consestency of interst ) Duckworth, Peterson,

Matthews dan Kelly (2007) berpendapat bahwa individu yang mampu

memepertahakan satu tujuan dan tidak berubah-ubah, tidak


36

mengalihkan perhatian dan mempertahankan minat jangka panjang.

Individu gritty merupakan individu yang memiliki konsistensi pada

minat yang tinggi. Struktur grit ini dikenal sebagai kegigihan serta

memiliki semangat yang tinggi untuk mencapai tujuan jangka panjang.

b. Kegigihan dalam Berusaha (Perseverance of Effort) Kegigihan

biasanya lebih dilihat dari hasil dari pada prosesnya. Duckworth

mengatakan usaha yang cukup tinggi menunjukkan adanya

kemampuan untuk bertahan dalam menyelesaikan pekerjaan atau suatu

urusan yang sedang dikerjakan. Mereka yang gigih dalam melakukan

sesuatu yang mereka inginkan tidak akan takut menghadapi

tantangan,dan rintangan. Mereka yang gigih akan memiliki sifat rajin,

pekerja keras, dan berusaha mencapai tujuan jangka panjang.

Berdasarkan uraian diatas, Peneliti memakai dimensi-dimensi Grit menurut

Duckworth (2007) yaitu Konsestensi Minat (Consestency of interst) dan Kegigihan

dalam Berusaha (Perseverance of Effort) dalam pembuatan instrumen pengumpulan

data.

3. Faktor yang Mempengaruhi Grit


37

Menurut Duckworth (2016), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi grit

dalam diri atau internal diantaranya interest (minat), practice (latihan),

purpose (tujuan), hope (harapan) dan passion (gairah) :

a. Interest (Minat) Duckworth (2016), menjelaskan bahwa minat berawal

dari bagaimana cara menikmati apa yang individu lakukan. Individu-

individu akan jauh lebih bahagia dengan pekerjaan apabila mereka

melakukan sesuatu yang sesuai dengan minat pribadi mereka, serta

mereka juga akan mampu menunjukkan perfoma terbaik dalam

bekerja. Individu-individu yang memiliki minat dengan pekerjaan yang

dilakukan akan mampu bertahan lama dalam bekerja dan memiliki

kemungkinan sedikit untuk dropout.

b. Practice (Latihan) Duckworth (2016), dalam hasil penelitian yang

dilakukanya didapatkan bahwasannya individu yang memiliki grit

tinggi akan lebih banyak latihan dibandingkan mereka yang memiliki

grit yang rendah. Jumlah waktu atau berapa jam perhari melakukan

latihan tidak diprioritaskan namun yang dilihat adalah bagaiaman

kualitas dalam melakukan latihan tersebut.

c. Purpose (Tujuan) Bill Duckworth (2016), mengatakan bahwa tujuan

merupakan jawaban dari pertnyaan mengapa seseorang melakukan

suatu pekerjaan atau kegiatan. Awal dari tujuan yaitu motivasi, semua
38

orang memilki motivasi untuk melakukan sesuatu yang dinikmati.

Tujuan berkontribusi pada kesejahteraan, sebagian besar orang hampir

tidak mungkin mempertahankan minat tanpa tujuan sepanjang hidup,

kemudian penelitian yang dilakukan oleh Duckworth (2016),

didapatkan bahwa motivasi memiliki hubungan dengan grit. Motivasi

memiliki hubungan dorongan untuk engage dan dorongan untuk

berbuat baik. Dorongan untuk engage memiliki hubungan yang kuat

dengan komitmen dalam berusaha sepanjang waktu, sedangkan

dorongan untuk berbuat baik untuk orang lain memiliki hubungan yang

kuat dengan mempertahankan minat sepanjang waktu.

d. Hope (Harapan) Duckworth (2016), harapan merupakan kekuatan

untuk bangkit, dan harapan bukanlah tahap terkhir dari grit. Penting

untuk selalu memiliki harapan disetiap tahapan pencpaian, dari awal

hingga akhir sehingga belajar terus melangkah meskipun menghadapi

kesulitan meskipun dilanda keraguan. Individu yang gritty, memiliki

harapan terhadap masa depannya berupa perubahan yang dilakukan

setiap waktu, belajar dari kesalahankesalahan untuk lebih baik lagi,

yakin dan lebih optimis dalam mengejar masa depan, bukan

mengharapkan sebuah keajaiban.


39

e. Passion (gairah) menurut Duckworth (2016), menjelaskan awal dari

grit yaitu ketertarikan. Individu yang tertarik dengan aktivitas dari

awalnya itu modal utama untuk melakukan aktivitas itu dengan baik.

f.

C. Hubungan Antara Grit dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB)

pada karyawan

Setiap perusahaan pastinya menginginkan keberhasilan dalam bisnisnya dapat

bertahan mengikuti perkembangan zaman dan dapat bersaing dengan perusahaan

lainnya. Suatu perusahaan dapat bertahan apabila memiliki karyawan yang kompeten

dan berperilaku positif. Menurut Robbins dan Judge (2015) dalam dunia kerja yang

dinamis seperti saat ini, dimana tuntutan tugas semakin banyak dapat mengakibatkan

karyawan enggan mengeluarkan pendapat yang konstruktif, sulit membantu rekan

kerjanya, lebih sering terjadi konflik, dan kurang berlapang dada memahami

gangguan kerja yang terkadang sulit di prediksi sehingga karyawan menjadi tidak

bersemangat kerja. Hal - hal tersebut tentunya tidak akan terjadi ketika karyawan

memiliki perilaku OCB. Melakukan pekerjaan melebihi pekerjaan formal atau dapat

bahwa apa yang dikerjakan karyawan tidak selalu digerakan oleh hal-hal yang

menguntungkan bagi dirinya, namun dikarenakan karyawan tersebut akan

mempunyai perasaan puas jika dapat membantu atau mengerjakan sesuatu yang lebih
40

dari perannya, maka kondisi tersebut bisa disebut sebagai perilaku organizational

citizenship behavior (OCB).

Perilaku ini mampu meningkatkan produktifitas dan menciptakan lingkungan

pekerjaan yang kondusif antar karyawan, perusahaan dan konsumen. Untuk

memunculkan perilaku ini maka perlu di ketahui faktor yang mempengaruhinya.

Menurut Konovsky dan Organ (1996); Organ et al (2006); Organ dan Ryan (1995);

Podsakoff et al (2000) (dalam Hendrawan, Sucahyawati, Indiyani, 2018)

mengelompokkan faktor yang mempengaruhi OCB antara lain adalah perbedaan

individu dan juga sikap pada pekerjaan dan variabel kontekstual lainnya. Salah satu

perbedaan yang menonjol dari setiap individu adalah dalam hal persistensi dan

ketekunan bahkan sekalipun di dalam menghadapi sebuah tantangan yang disebutkan

oleh Ducworth memiliki Grit.

Satu konstruksi non-kognitif yang mendapat perhatian luas selama dekade

terakhir, yang dianggap sebagai prediktor penting dari kinerja akademis dan

mempengaruhi pencapaian peran tambahan, adalah grit atau ketekunan. Culin,

Tsukayama dan Duckworth (2014) mendefinisikan grit sebagai variabel psikologis

yang didasarkan pada psikologi positif, yang memprioritaskan ketekunan sebagai

indikator kesuksesan jangka panjang. Duckworth dan Gross (2014) menyatakan

bahwa grit merupakan kunci sukses dalam berbagai aspek kehidupan. Zhou (2016)

mengungkapkan grit sebagai aspek non kognitif yang mempengaruhi hasil pekerjaan
41

seseorang. Suzuki dkk. (2015) menyimpulkan bahwa orang-orang yang berani

cenderung terlibat secara positif dalam pekerjaan mereka. Studi ini mengidentifikasi

grit sebagai prediktor kuat untuk prestasi kerja dan keterbukaan terhadap pengalaman

dikonfirmasi memiliki hubungan positif dengan grit.

Maka perlu diketahui dimensi-dimensi yang terdapat di dalam Grit. Dimensi

yang pertama, konsestensi Minat (Consestency of interst). Menurut duckworth (2007)

dimensi ini mengacu pada kencendrungan individu untuk bertahan pada keinginan

yang sama dalam jangka waktu yang Panjang. Orang yang memiliki konsistensi

minat akan bertahan tidak mengubah tujuan, tidak mudah teralihkan dan

mempertahankannya dalam waktu yang Panjang. Menurut Suzuki, tamesue, asahi,

ishikawa (2015) individu yang memiliki grit lebih tinggi akan lebih engage pada

pekerjaannya dibandingkan grit yang rendah artinya orang yang memiliki grit tinggi

akan menikmati apa yang mereka lakukan dalam proses mencapi tujuan tersebut, dan

terus-menerus berusaha dengan sikap penuh harapan untuk meningkatkan level dan

ketrampilan mereka Duckworth (2016). Orang-orang yang mengejar kehidupan

bermakna, kosisten terhadap minat nya dapat memiliki pengaruh pro-sosial hal

memiliki korelasi positif yang kuat dimna individu tersebut tidak hanya

mementingkan dirinya sendiri tetapi juga untuk organisasi dan orang lain, sehingga

memunculkan prilaku extra role seperti halnya membantu orang lain yang

menandakan adanya perilaku OCB di likungan kerja.


42

Dimensi kedua Menurut duckworth (2007) yaitu Kegigihan dalam Berusaha

(Perseverance of Effort) Kegigihan biasanya lebih dilihat dari hasil dari pada

prosesnya. Mereka yang gigih dalam melakukan sesuatu yang mereka inginkan tidak

akan takut menghadapi tantangan,dan rintangan. Mereka yang gigih akan memiliki

sifat rajin, pekerja keras, dan berusaha mencapai tujuan jangka panjang. Datu et al.,

(2015) juga menyimpulkan bahwa meskipun konsep grit terdiri dari dua dimensi yang

meliputi ketekunan usaha dan konsistensi kepentingan, hanya ketekunan usaha yang

berpengaruh positif baik perilaku maupun keterikatan emosional. Instrumen dominan

dalam variabel grit adalah "ketekunan usaha". karena grit hanya akan tercipta dalam

jangka waktu yang lama. Paul dan Garg (2012) mengungkapkan bahwa persistensi

memiliki hubungan yang positif dengan altruisme, etiket, kesadaran sipil, dan hati

nurani, yang merupakan sub-elemen dari OCB. Berdasarkan isi tersebut diharapkan

kemauan karyawan akan berdampak positif terhadap OCB.

Kemudian kaitan Grit dengan OCB juga dapat disokong dengan teori Grit

yang menjelaskan terkait elemen Grit. Terdapat 4 elemen Grit yaitu yang pertama

passion yang merupakan kegigihan seorang karyawan dalam menjalankan rutinitas

pekerjaan sehari-hari karena adanya kecintaan terhadap bidang pekerjaan yang telah

dipilih dan ditekuni. Karyawan yang mencintai pekerjaannya, bersedia memberikan

peranan lebih sebagai bentuk kontribusinya terhadap perusahaan tempatnya bekerja.

Kedua, deliberate practice yaitu terus menerus berusaha melatih diri agar
43

kemampuannya dapat berkembang lebih optimal dan dapat mahir/menguasai suatu

hal. Bagi karyawan, dengan Grit dan OCB tinggi, karyawan akan senantiasa

memperlengkapi diri agar semakin mumpuni di dalam bidang pekerjaannya. Ketiga,

sense of purpose yakni tujuan yang jelas dalam hidup, dan berkaitan dengan

“something beyond money”, dimana tujuan tidak hanya berfokus kepada harta benda,

namun sebuah niat mulia yang memiliki harapan bahwa apa yang dilakukan dapat

bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan sekitarnya. Hal ini selaras dengan definisi

OCB dimana ketika seseorang secara sukarela mau melakukan suatu pekerjaan lebih

tanpa mengharapkan imbalan. Terakhir, hope dimana individu akan menjadi lebih

resilien terhadap rintangan atau hambatan apapun yang dihadapi karena memiliki

pengharapan bahwa segala usaha yang dilakukannya pasti akan membuahkan suatu

hasil yang baik dan optimal.

Berdasarkan perjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara

Grit dengan organizational citizenship behavior (OCB) yang menunjukan hubungan

yang positif, yang artinya semakin tinggi tingkat grit maka semakin tinggi tingkat

organizational citizenship behavior (OCB) karyawan. Dan sebaliknya, semakin

rendah tingkat grit maka semakin rendah pula organizational citizenship behavior

(OCB). Terdapat Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh shanty sudarji (2019)

menunjukan bahwa terdapat korelasi antara grit dengan OCB. Berdasarkan

penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara grit dan
44

organizational citizenship behavior (OCB) yang menunjukan hubungan yang positif,

yang artinya semakin tinggi tingkat grit maka semakin tinggi tingkat organizational

citizenship behavior (OCB) karyawan. Dan sebaliknya, semakin rendah tingkat grit

maka semakin rendah pula organizational citizenship behavior (OCB) pada

karyawan. Hasil korelasi menunjukan grit berkorelasi dengan OCB yang bersifat

personal dan tidak berkorelasi dengan OCB yang bersifat atau didasarkan pada

organisasi.

Kemudian hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh M.arifin, dkk. (2019) mengungkapkan bahwa grit berpengaruh

terhadap organizational citizenship behavior (OCB). Hasil penelitiannya

mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara grit dan ocb yang

di mediasi oleh keterlibatan kerja, grit berpengaruh positif terhadap keterlibatan kerja

dan keterlibatan kerja berpengaruh positif terhadap OCB. Dengan demikian grit tetap

menjadi prediktor OCB secara langsung atau melalui keterlibatan kerja.

D. Hipotesis

Pada penelitian ini, peneliti mengajukan hipotesis yaitu ada hubungan yang positif

antara Grit dengan Organizational Citizenship Behavior pada karyawan di PT.X.

Semakin tinggi Grit maka akan semakin tinggi pula organizational citizenship
45

behavior pada karyawan di PT.X. Sebaliknya semakin rendah Grit, maka akan

semakin rendah organizational citizenship behavior pada karyawan di PT.X.

2 Ringkasan Bab 1 dan Bab 2


A. Das Sollen :
Setiap perusahaan pastinya menginginkan keberhasilan dalam bisnisnya dapat bertahan
mengikuti perkembangan zaman dan dapat bersaing dengan perusahaan lainnya. Suatu
perusahaan dapat bertahan apabila memiliki karyawan yang kompeten dan berperilaku
positif. Sehingga perusahaan akan berasa beruntung bila memiliki karyawan dengan perilaku
positif. Menurut Fauth, Bevan, dan Mills (2009) keberhasilan organisasi tergantung pada
masukan yang berasal dari ide-ide, inovasi, dan kreativitas dari karyawan. Kesuksesan dan
keberlanjutan suatu organisasi akan sangat ditentukan oleh kesediaan karyawan untuk
berperilaku tidak hanya mengerjakan tugas-tugas pokok mereka, tetapi juga memiliki
46

keinginan untuk menjadi karyawan yang baik (good citizen) dalam organisasi (Mark ́oczy &
Xin, 2004)Salah satu kunci keberhasilan perusahaan atau organisasi adalah sejauh mana
orang-orang di dalam organisasi tersebut secara sinergis berkontribusi positif, baik dalam
perencanaan maupun dalam pengimplementasikan rencana yang disusun dan di arahkan
untuk pencapaian tujuan. Hanya saja untuk membuat karyawan mau berkontribusi secara
positif walaupun tanpa imbalan merupakan hal yang sulit ditemui, sehingga sangat penting
bagi bagi perusahan atau organisasi untuk dapat membuat karyawannya berkontribusi secara
positif dengan kesadarannya sendiri (Ardiansyah,2008).

B. Das sain:
Pada kenyataannya perkembangan sumber daya manusia di Indonesia masih tertinggal jauh.
Berdasarakan indeks sumber daya manusia yang di keluarkan world economic forum pada
tahun 2019, Indonesia menempati urutan ke-50 dari 141 negara. Sumber daya manusia di
indonesia memang masih dianggap kalah saing dalam urusan produktivitas tenaga kerja
atau pay and productivity (Bhima, 2019). Salah satu penyebab turunnya daya saing karena
kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang masih rendah (Andry, 2019).
Tidak hanya itu, kualitas SDM di Indonesia masih tertinggal jauh, berdasarkan bank dunia
(world bank), indeks modal manusia di Indonesia berada pada peringkat 87 dari 157 negara
lebih ren dah dari negara ASEAN lainnya seperti singapura (ke-1), Malaysia (ke-55) dan
Thailand (ke-65). Di lihat dari keadaan SDM di Indonesia saat ini, menunjukkan bahwa
kualitas sumber daya manusia Indonesia belum memadai dalam menghadapi persaingan
global. Sedangkan perusahaan pasti menuntut SDM yang berkualitas agar mampu bertahan
dan bersaing dengan perusahaan lainnya. Kesediaan para karyawan untuk berkontribusi
secara positif tersebut pada gilirannya akan menjadi sumber bagi peningkatan efektivitas,
efisiensi, dan kreativitas kerja (Bogler and Somech dalam Ningtyas, 2005). Di PT.X sendiri,
beberapa karyawan juga sering menunda pekerjaan yang sudah menumpuk, serta kurangnya
semangat karyawan dalam menjalankan pekerjaannya. Pastinya setiap bisnis ritel akan
menghadapi persaingan yang ketat dan tuntutan karyawan yang semakin banyak sehingga
beberapa karyawan mengalami penurunan kinerja dan tidak produktif dari perilaku karyawan
yang seperti itu terkadang berakibat buruk pada kinerja perusahaan
47

C. Definisi VT:
Menurut Organ (2006) mendefinisikan organizational citizenship behavior (OCB) sebagai
kontribusi karyawan yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja, tidak berkaitan langsung
atau eksplisit dengan sistem reward dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi.

D. Aspek-aspek VT:
Organizational citizenship behavior atau OCB itu sendiri mengandung dimensi-dimensi
yang membuat seorang karyawan mampu meningkatkan efektivitas organisasi yakni menurut
Organ (2006) adalah altruism, courtesy, sportsmanship, conscientiousness, dan civic virtue.
Altruism (sikap menolong) yaitu perilaku berinisiatif untuk membantu atau menolong rekan
kerja dalam organisasi secara sukarela. Courtesy (sikap hormat) yaitu perilaku individu yang
menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota
dalam organisasi. Sportsmanship (sikap toleransi) yaitu kesediaan individu menerima apapun
yang ditetapkan oleh organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak sewajarnya.
Conscientiousness (sikap sukarela) yaitu pengabdian atau dedikasi yang tinggi pada pekerjaan
dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam setiap aspek. Kemudian civic virtue
(sikap tanggung jawab) yaitu perilaku individu yang menunjukkan bahwa individu tersebut
memiliki tanggung jawab untuk terlibat, berpartisipasi, turut serta, dan peduli dalam berbagai
kegiatan yang diselenggarakan organisasi.

E. Definisi VB:
Menurut Duckworth (2017) Grit (kegigihan) merupakan suatu kecenderungan untuk dapat
mempertahankan ketekunan serta semangat demi tujuan yang bersifat jangka panjang,
menantang dan menunjukkan individu (karyawan) mau bertahan. Grit menupakan suatu
upaya yang dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh seseorang guna mencapai tujuan
berserta kemampuan bertahan dalam jangka waktu tertentu.

F. dimensi VB:
48

Menurut Duckworth (2007) mengidentifikasi dua faktor yang menjadi dimensi dalam grit
yaitu Consestency of interst dan Perseverance of Effort. Konsestensi Minat (Consestency of
interst ) artinya individu yang mampu memepertahakan satu tujuan dan tidak berubah-ubah,
tidak mengalihkan perhatian dan mempertahankan minat jangka panjang. Kemudian,
Kegigihan dalam Berusaha (Perseverance of Effort) artinya upaya yang dilakukan sungguh-
sungguh oleh seseorang guna mencapai tujuan beserta kemampuan bertahan dalam jangka
waktu tertentu. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan perilaku mau bekerja keras, bertahan
dalam melewati tantangan dan berpegang teguh kepada apa yang sudah menjadi pilihannya.
G. Dinamika Hubungan Grit dan OCB:
Perilaku organizational citizenship behavior (OCB) ini mampu meningkatkan produktifitas
dan menciptakan lingkungan pekerjaan yang kondusif antar karyawan, perusahaan dan
konsumen. Untuk memunculkan perilaku ini maka perlu di ketahui faktor yang
mempengaruhinya. Konovsky dan Organ (1996); Organ et al (2006); Organ dan Ryan (1995);
Podsakoff et al (2000) (dalam Hendrawan, Sucahyawati, Indiyani, 2018) mengelompokkan
faktor yang mempengaruhi OCB antara lain adalah perbedaan individu dan juga sikap pada
pekerjaan dan variabel kontekstual lainnya. Salah satu perbedaan yang menonjol dari setiap
individu adalah dalam hal persistensi dan ketekunan bahkan sekalipun di dalam menghadapi
sebuah tantangan yang disebutkan oleh Ducworth memiliki Grit.

Zhou (2016) mengungkapkan grit sebagai aspek non kognitif yang mempengaruhi hasil
pekerjaan seseorang. Satu konstruksi non-kognitif yaitu grit mendapat perhatian luas selama
dekade terakhir, yang dianggap sebagai prediktor penting dari kinerja akademis dan
mempengaruhi pencapaian peran tambahan. Untuk itu Maka perlu diketahui dimensi-dimensi
yang terdapat di dalam Grit. Dimensi yang pertama, konsestensi Minat (Consestency of
interst). Menurut duckworth (2007) dimensi ini mengacu pada kencendrungan individu untuk
bertahan pada keinginan yang sama dalam jangka waktu yang Panjang. Orang yang memiliki
konsistensi minat akan bertahan tidak mengubah tujuan, tidak mudah teralihkan dan
mempertahankannya dalam waktu yang Panjang. Menurut Suzuki, tamesue, asahi, ishikawa
(2015) individu yang memiliki grit lebih tinggi akan lebih engage pada pekerjaannya
dibandingkan grit yang rendah. Artinya orang yang memiliki grit tinggi akan menikmati apa
49

yang mereka lakukan dalam proses mencapi tujuan ersebut, dan terus-menerus berusaha
dengan sikap penuh harapan untuk meningkatkan level dan ketrampilan mereka Duckworth
(2016). Orang-orang yang mengejar kehidupan bermakna, kosisten terhadap minat nya dapat
memiliki pengaruh pro-sosial hal memiliki korelasi positif yang kuat dimna individu tersebut
tidak hanya mementingkan dirinya sendiri tetapi juga untuk organisasi dan orang lain,
sehingga memunculkan prilaku extra role seperti halnya membantu orang lain yang
menandakan adanya perilaku OCB di likungan kerja.

Dimensi kedua Menurut duckworth (2007) yaitu Kegigihan dalam Berusaha


(Perseverance of Effort) Kegigihan biasanya lebih dilihat dari hasil dari pada prosesnya.
Mereka yang gigih dalam melakukan sesuatu yang mereka inginkan tidak akan takut
menghadapi tantangan,dan rintangan. Mereka yang gigih akan memiliki sifat rajin, pekerja
keras, dan berusaha mencapai tujuan jangka panjang. Grit hanya akan tercipta dalam jangka
waktu yang lama. Paul dan Garg (2012) mengungkapkan bahwa persistensi memiliki
hubungan yang positif dengan altruisme, etiket, kesadaran sipil, dan hati nurani, yang
merupakan sub-elemen dari OCB. Berdasarkan isi tersebut diharapkan kemauan karyawan
akan berdampak positif terhadap OCB.

Terdapat Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh shanty sudarji (2019) menunjukan
bahwa terdapat korelasi antara grit dengan OCB. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa adanya hubungan antara grit dan organizational citizenship behavior
(OCB) yang menunjukan hubungan yang positif, yang artinya semakin tinggi tingkat grit
maka semakin tinggi tingkat organizational citizenship behavior (OCB) karyawan. Dan
sebaliknya, semakin rendah tingkat grit maka semakin rendah pula organizational citizenship
behavior (OCB) pada karyawan. Hasil korelasi menunjukan grit berkorelasi dengan OCB
yang bersifat personal dan tidak berkorelasi dengan OCB yang bersifat atau didasarkan pada
organisasi.
50

Anda mungkin juga menyukai