Anda di halaman 1dari 11

1.

Latar Belakang

1.1. Pengertian Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Menurut Food Agriculture Organization (FAO) di dalam Furia (1980), BTP adalah

senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dalam jumlah dan ukuran tertentu dan

terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan, atau penyimpanan. Bahan ini berfungsi untuk

memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, dan tekstur, serta memperpanjang masa simpan, dan

bukan merupakan bahan utama (Wijaya,2011). Ironisnya, banyak pedagang yang menggunakan

BTP yang berbahaya seperti formalin dan pemutih. Formalin digunakan untuk mengawetkan

ikan, harga formalin yang cenderung murah dan mudah di dapat membuat pedagang

menambahkan formalin ke dalam bahan dagangannya.

1.2. Tujuan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan

Secara khusus penggunaan BTP di dalam pangan adalah untuk :

1 Mengawetkan pangan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan atau

mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan.

2 Membentuk pangan menjadi lebih baik, renyah dan lebih enak dimulut.

3 Memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera.

4 Meningkatkan kualitas pangan.

5 Menghemat biaya.

1.3. BTP yang dilarang digunakan

Peraturan Menteri Kesehatan No. 772/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan

Pangan tentang jenis bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam pangan, yaitu : Asam borat

dan senyawanya, asam salisilat dan garamnya, diatilpirokarbonat, dulsin, kalium klorat,

kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan Formalin (formaldehida).

1
2. Studi Kasus

2.1. Kasus Pelanggaran Keamanan Pangan Produk Perikanan

Terdakwa (Kasiamah) menggunakan atau mencampurkan bahan berupa formalin dan

pemutih pakaian untuk proses mengeringkan ikan-ikan, dengan maksud agar ikan-ikan yang

dikeringkan tersebut awet dan tahan lama, tidak cepat busuk serta berwarna putih bersih setelah

dijemur dan dikeringkan. Proses penambahannya yaitu formalin seberat 25 kg terlebih dahulu

dicampur dengan air sebanyak 500 L, selanjutnya air yang telah bercampur dengan formalin

tersebut akan diambil sebanyak 2 L dan dicampur dengan garam dan air sebanyak 1.500 L untuk

pemakaian atau untuk bahan-bahan pencampur ikan-ikan yang akan dikeringkan sebanyak 1.000

kg.

cara pengolahan ikan kering tersebut yaitu pertama-tama bahan baku berupa ikan

dimasukkan ke dalam kolam yang didalamnya telah diisi dengan air dan formalin, selanjutnya

dimasukkan garam sesuai dengan takarannya, setelah semuanya teraduk selanjutnya direndam

sekitar selama beberapa jam, selanjutnya baru ikan diangkat, selanjutnya pada saat ikan dijemur

terlebih dahulu dicelupkan ke dalam cairan pemutih agar ikan nantinya terlihat putih dan bersih,

setelah kering ikan tersebut dimasukkan ke dalam kerdus untuk selanjutnya terdakwa jual ke

sejumlah pembelinya di Jakarta dan Jogyakarta.

Bahwa tujuan terdakwa dalam mengolah ikan kering menggunakan formalin adalah agar

ikan kering olahannya dapat bertahan lama, sedangkan tujuan menggunakan cairan pemutih

adalah agar ikan kering olahannya terlihat putih dan bersih sehingga meningkatkan nilai jual ikan

kering tersebut. terdakwa mengetahui penggunaan formalin dan cairan pemutih tidak

diperkenankan dipergunakan pada bahan pangan termasuk ikan kering hasil olahannya.

2
3. Fakta-Fakta Formalin dan Pemutih

3.1. Formalin

Formalin adalah senyawa formaldehida dalam air dengan konsentrasi rata-rata 37% dan

metanol 15% dan sisanya adalah air. Formalin merupakan larutan jernih tidak berwarna, berbau

tajam, mengandung senyawa formaldehid (HCO) sekitar 37 persen dalam air (Ruth,

1996)Formalin mempunyai banyak nama atau sinonim, seperti formol, morbicid, methanal,

formic aldehyde, methyl oxide, oxymethylene, methylaldehyde, oxomethane, formoform,

formalith, oxomethane, karsan, methylene glycol, paraforin, poly-oxymethylene glycols,

superlysoform, tetraoxymethylene dan trioxane (Till, 1989). Formalin bukan pengawet makanan

tetapi banyak digunakan oleh industri kecil untuk mengawetkan produk makanan karena

harganya yang murah sehingga dapat menekan biaya produksi, dapat membuat kenyal, utuh,

tidak rusak, praktis dan efektif mengawetkan makanan (Widowati & Sumyati, 2006).

Formalin sangat umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Di sektor industri,

formalin banyak manfaatnya, misalnya sebagai anti bakteri atau pembunuh kuman, sehingga

formalin sering dimanfaatkan sebagai pembersih lantai, kapal, gudang, pakaian bahkan juga

dapat dipergunakan sebagai pembunuh lalat dan berbagai serangga lain. Dalam konsentrasi yang

sangat kecil (< 1%), formalin digunakan sebagai pengawet untuk berbagai bahan non pangan

seperti pembersih rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembut, shampo mobil, lilin dan karpet

(Yuliarti, 2007).

3.1.1. Kenapa menggunakan formalin?

Formalin dianggap bisa mengawetkan makanan karena formalin dapat mengikat protein

membentuk ikatan methylene (-NCHOH). Protein pada ikatan methylene ini tahan terhadap

kerusakan, baik yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme maupun oksidasi, sehingga

3
makanan tersebut terhindar dari kerusakan dan menjadi awet (Purawisastra dan Sahara, 2011),

Dengan demikian, ketika makanan berprotein disiram atau direndam larutan formalin, maka

gugus aldehida dari formaldehid akan mengikat unsur protein. Protein yang terikat tersebut tidak

dapat digunakan oleh bakteri pembusuk, sehingga makanan berformalin menjadi awet. Selain itu,

protein dengan struktur senyawa methylene tidak dapat dicerna (Go et al., 2008)

3.2. Pemutih Pakaian (Klorin)

Bahan kimia yang digunakan pada proses perebusan ikan umumnya adalah pemutih.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuliana dkk, 2011, Pengolah yang menggunakan

pemutih adalah sebanyak 15% dari 100% koresponden produsen ikan asin di jakarta. Padahal

mereka tahu kalau klorin ini biasanya dipakai untuk desinfektan air, pemutih pakaian dan lain

sebagainya (Arisman, 2009). Meskipun pemutih belum secara resmi dilarang oleh pemerintah,

tetapi tetap saja ada bahaya di balik penggunaannya, karena fungsi pemutih bukan untuk bahan

pangan.

Ciri-ciri ikan menggunakan zat pemutih dan tidak menggunakan zat pemutih

3.2.1. Kenapa menggunakan pemutih pakaian (klorin)?

Pemutih digunakan oleh pengolah untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada

tubuh ikan asin (Yuliana 2009). Bahan baku ikan asin yang dicuci dengan pemutih akan

berwarna mengkilap dan putih bersih. Produk ikan asin yang dihasilkan akan berpenampilan

4
menarik dan bersih, sehingga konsumen akan lebih tertarik dengan penampilan ikan asin tersebut

(Yuliana et al., 2011).

4. Bahaya Formalin dan Pemutih bagi Bahan Pangan

4.1. Bahaya Formalin

Formaldehida yang terdapat di dalam formalin dapat menyebabkan kanker saluran

pernapasan dan meningkatkan resiko leukemia (Norliana et al., 2009). International Agency for

Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan formaldehida ke dalam kelompok 1

(carcinogenic to humans) (IARC, 2006).

Menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety), secara umum ambang

batas aman formalin didalam tubuh adalah 1 miligram per liter. Bila formalin masuk ke tubuh

melebihi ambang batas tersebut, maka dapat mengakibatkan gangguan pada organ dan sistem

tubuh manusia. Akibat yang ditimbulkan tersebut dapat terjadi dalam waktu singkat atau jangka

pendek, dan dalam jangka panjang, baik melalui hirupan, kontak langsung atau tertelan

(Judarwanto, 2016).

Di dalam tubuh manusia, senyawa formaldehid dikonversi menjadi asam format yang

dapat meningkatkan keasaman darah, tarikan napas menjadi pendek dan sering, hipotermia, juga

koma, atau sampai kepada kematiannya. Selain itu juga dapat terjadi kerusakan hati, jantung,

otak, limpa, pankreas, sistem susunan saraf pusat dan ginjal. Di dalam jaringan tubuh, formalin

bisa menyebabkan terikatnya DNA oleh formalin, sehingga mengganggu ekspresi genetik yang

normal (Tarigan, 2005).

5
4.2. Bahaya Pemutih Pakaian (klorin)

Klorin merupakan bahan yang penting dalam industri tetapi harus diperhatikan bahaya-

bahayanya, karena bersifat racun terutama terhisap melalui pernafasan. Namun walaupun begitu

gasnya mudah untuk dikenali karena baunya sangat khas dan bersifat merangsang (iritasi)

terhadap selaput lendir pada mata, selaput lendir hidung, selaput lendir tenggorokan, tali suara

dan paru-paru (Arisman, 2009). Efek yang disebabkan oleh pemutih pakaian (Klorin) jika

tertelan adalah diare, penyakit seborrhea, kerapuhan kuku atau keratin, gangguan ginjal, dan

terhambatnya pembentukan tulang baru.

5. Solusi untuk konsumen dan produsen ikan berformalin dan pemutih

5.1. Solusi untuk konsumen

5.1.1. Perendaman dengan air panas

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh purawisastra (2011), Perendaman ikan

dalam air panas dapat menurunkan kandungan formalin makanan, yang besarnya tergantung dari

kandungan formalin dalam makanan tersebut.

5.1.2. Hindari produk ikan asin dengan ciri-ciri tertentu (Soesalit, 2013)

1. Tidak rusak sampai lebih dari 1 bulan pada suhu kamar

2. Bersih cerah

3. Tidak berbau khas ikan asin

4. Dijauhi lalat

5. Bau formalin

6
5.2. Solusi untuk produsen

Produsen harus mengganti bahan pengawet ikan dengan pengawet yang aman, baik yang

di izinkan/ dilegalkan oleh pemerintah ataupun mengganti bahan pengawet tersebut dengan

bahan alami. Contoh bahan pengawet ikan yang dilegalkan oleh pemerintah adalah Sulfit (dalam

bentuk kalium atau kalsium bisulfit atau metabisulfit) dengan kadar maksimum penggunaan

adalah sebesar <500 ppm. Sementara itu, bahan pengawet alami dapat dijumpai pada biji picung.

5.2.1. Sulfit

Sulfit dapat mengawetkan ikan dengan cara mengahambat pertumbuhan mikroba, dan

sulfit mampu mencegah perubahan warna dari ikan. Namun, Penggunaan sulfit juga dibutuhkan

kehati-hatian, karena kadar penggunaan sulfit >500 ppm dapat menyebabkan rasa ikan berubah,

dapat menyebabkan konsumen muntah-muntah dan dapat menghancurkan vitamin B1 (Ifata,

2008).

5.2.2. Biji Picung (Pangium edule)

Golongan flavonoid biji picung yang memiliki aktivitas antibakteri yakni asam sianida,

asam hidnokarpat, asam khaulmograt, asam gorlat dan tanin. Khusus senyawa asam sianida dan

tanin, kedua senyawa inilah yang mampu memberikan efek pengawetan terhadap ikan.

Kandungan sianida dalam kluwak dipengaruhi oleh kondisi tanah, musim, dan struktur

bijinya. Biji dengan struktur daging dan kulit yang keras mengandung sianida cukup tinggi, yaitu

rata-rata lebih dari 2.000 ppm. Sedangkan biji dengan struktur daging dan kulit lunak

mempunyai kandungan sianida rata-rata sekitar 1.000 ppm. Biji dengan struktur daging dalam

bentuk cairan dan kulit mudah pecah mengandung sianida sekitar 500 ppm yang sama dengan

kandungan sianida dalam daun (Yuningsih et al., 2004).

7
Efektivitas tannin pada biji picung dapat mengawetkan ikan baik dengan cara

mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme maupun secara langsung memusnahkan seluruh

atau sebagian mikroorganisme (Koswara, 2009).

Penelitian Indriyati (1987) melaporkan bahwa biji picung segar mempunyai aktivitas

antibakteri pembusuk ikan yaitu Bacillus sp, Micrococcus sp, Pseudomonas sp. dan koliform

yang tumbuh pada ikan mas(Cyrinus carpia) yang membusuk. Bakteri yang paling sensitive

adalah Micrococcus sp. dan yang paling resisten adalah koliform. Ekstrak biji picung sebanyak 3

% (b/v) mampu menghambat keempat bakteri tersebut, sedangkan konsentrasi ekstrak biji picung

lebih bersifat bakterisidal.

Pemanfaatan biji buah picung sudah dikenal lama nelayan di Banten. Mereka melumuri

ikan hasil ikan tangkapannya dengan cacahan biji buah picung. Mekanismenya sederhana,

pertama pengupasan biji picung, kedua dilakukan pencacahan daging biji picung, ketiga

pencampuran picung dengan garam, keempat pelumuran (campuran picung dan garam pada ikan

kembung segar), kelima pengemasan (dalam ember plastik tertutup, setiap hari dibuka selama 5

menit), simpan pada suhu kamar. Kombinasi 2 % biji buah picung dan 2 % garam dari total berat

ikan telah mampu mengawetkan ikan kembung segar selama 6 hari tanpa merubah mutu

(Koswara, 2009).

Gambar 1. Buah picung Gambar 2. Pohon picung

8
6. Cara mengekstrak tannin dari biji picung

6.1. Ekstraksi komponen bioaktif (Darusman et al., 1994) :

- Ekstraksi dimulai dengan pengumpulan daging biji picung untuk dikeringbekukan

dengan freeze dryer dan digiling halus.

- Selanjutnya 200 g serbuk biji picung segar dan biji picung terfermentasi masing-masing

dilarutkan dalam 1.000 mL akuades, dan dimaserasi selama 3 x 24 jam.

- Ekstrak kasar yang diperoleh disaring dengan kertas Whatman no. 42 dan dipekatkan

dengan evaporator pada suhu kamar (25°C).

- Ampas dari ekstrak akuades dilarutkan dalam 1.000 mL etanol 50% dan dimaserasi

kembali dengan cara yang sama sehingga diperoleh ekstrak etanol 50%.

- Selanjutnya ampas dari ekstraksi etanol 50% dimaserasi kembali menggunakan 1.000

mL n-heksana sehingga diperoleh ekstrak n-heksana.

- Ketiga macam ekstrak yang diperoleh, dimasukkan ke dalam botol tertutup dan

disimpan dalam freezer pada suhu -5ºC sampai saat akan digunakan.

6.2. Pembuatan larutan stok dan larutan uji (Anon., 1995) :

- Larutan stok dibuat dengan cara penimbangan ekstrak akuades, etanol 50%, dan n-

heksana masingmasing sebanyak 800 mg dan dilarutkan dengan pelarut masing-

masing.

- Kemudian ditambah dengan dapar fosfat pH 7 hingga volume 10 mL.

- Larutan stok yang memiliki konsentrasi 80 mg/mL tersebut, selanjutnya diencerkan

secara serial hingga mencapai konsentrasi 10; 20; 30; 40; 50; 60; 70; dan 80 mg/mL.

9
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Ditjen POM, Departemen Kesehatan R.I.,
Jakarta. 1290 pp.

Arisman. 2009. Gizi dalam daur kehidupan. EGC. Asih. Jakarta.

Darusman, L.K., Sajuthi, D., Sutriah, K., dan Pamungkas, D. 1994. Ekstraksi komponen bioaktif
sebagai bahan obat dari kerang-kerangan, bunga karang dan ganggang di Perairan P. Pari,
Kepulauan Seribu tahap II : Fraksinasi dan Bioassay. Makalah Seminar Nasional Hasil-
hasil Penelitian. DIKTI, Depdikbud.29 pp.

Furia, T. 1980. Handbook of food science 2nd edition Vol 1. CRC Press. New York.

Go A., Kim S, Baum J., dan Hecht M.H. 2008. Structure and dynamics of de novo proteins from
a designed superfamily of 4-helix bundles. Protein Science 17: 821–832.

IARC. 2006. IARC monographs on the evaluation of carcinogenic risks to humans:


Formaldehyde, 2-Butoxyethanol and 1-tert-Butoxypropan-2-ol. Lyon: WHO 18: 14-16.

Ifata MSG. 2008. hidup cerdas agar sehat. http://red-msg.blogspot.com/2008/06/sulfit-


dipermasalahkan.html?m=1. Diakses pada 5 September 2016.

Indriyati. 1987. Mempelajari aktivitas antibacterial biji picung (pangium edule) terhadap
beberapa bakteri pembusuk ikan secara invitro. Skripsi. Fakultas teknologi pertanian.
Institute pertanian bogor. Bogor.

Judarwanto W. 2006. Pengaruh formalin bagi sistem tubuh. (diunduh 19 agustus 2016). Tersedia
dari : URL: HYPERLINK http://puterakembara.org/archives8/00000066.shtml.

Koswara, S. 2009. Pengawet alami untuk bahan dan pangan. Ebookpangan.com. Jakarta.

Norliana S., et al. 2009. The health risk of formaldehyde to human beings. Am. J. Pharm. And
Toxicol. Makara sains 4(3): 98-106.

10
Peraturan Menteri Kesehatan No. 772/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan
tentang jenis bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam pangan.

Purawisastra, S., Sahara, E. 2011. Penyerapan formalin oleh beberapa jenis bahan makanan serta

penghilangannya melalui perendaman dalam air panas. PGM 34(1):63-74.

Ruth Francis-Floyd. 1996. Use of Formalin to Control Fish Parasites. one of a series of the
College of Veterinary Medicine, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food
and Agricultural Sciences, University of Florida. Florida.

Soesalit, A. 2013. Ciri ikan berformalin dan tidak berformalin.

Tarigan Dj.,Efek Toxicosis Formalin Terhadap Tenaga Kerja Pada Laboratorium Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Digitized by USU digital library.
Medan.

Til, H.P., R.A. Woutersen, V.J. Feron, V.H.M. Hollanders, H.E. Falke and J.J. Clary.. Two-year
drinking water study of formaldehyde in rats. Food Chem. Toxicol.1989. 27(2): 77-87.

Widowati W., Sumyati. 2006. Pengaturan tata niaga formalin untuk melindungi produsen
makanan dari ancaman gulung tikar dan melindungi konsumen dari bahaya formalin.
Pemberitaan Ilmiah Percikan 63: 33-40.

Wijaya, D. (2011). Waspadai Zat Aditif dalam Makananmu. Bukubiru. Jogjakarta.

Yuliarti, N. 2007. Awas! Bahaya di balik lezatnya makanan. Yogyakarta.

Yuningsih, R. Damayanti, Murdiati,dan Darmono. 2004. Laporan Hasil Penelitian APBN 2004.
Bogor: Balai Penelitian Veteriner.

11

Anda mungkin juga menyukai