Anda di halaman 1dari 13

Nama : Tatra Paramaresi

NIM : 1181003097

Komunikasi Organisasi Bab 4

Systems Approaches

The System Metaphor and Systems Concepts

Kartz dan Kahn (1978) berargumen bahwa organisasi harus terkonseptualisasi sebagai
sistem terbuka yang kompleks yang membutuhkan interaksi antar bagian-bagian
komponennya dan berinteraksi dengan lingkungan untuk bisa tetap bertahan. Meski
begitu, hampir semua sistem teori menganut aspek tertentu dari sistem metafora.
Pertama sistem terbentuk dari system components. Lalu kita meninjau bagaimana
sistem bekerja – system process. Pada akhirnya, kita mendiskusikan karakteristik unik
yang terdapat pada komponen-komponen dan proses tersebut – system properties.

· System Component

Dalam sistem organisasi, komponen ini adalah orang-orang dan departemen-


departemen yang menjalankan organisasi. Terdapat tiga konsep karakteristik sistem
komponen, yaitu:

1. Hierarchial Ordering

Komponen sistem tersusun dalam cara yang kompleks yang mencakup subsystem dan
supersystem – hierarchial ordering. Contohnya adalah pada sistem organisasi rumah
sakit. Sebuah rumah sakit terdiri dari beberapa departemen subsystem, termasuk unit
operasi, unit penyembuhan, ruang gawat darurat, laboratorium dan kantor. Subsytem
terdiri atas sebuah kelompok kecil atau individual. Sedangkan supersystem mencakup
organisasi yang lebih besar, seperti klinik, rumah sakit, perusahaan asuransi, dll.

2. Interdependence

Gagasan interdependence menunjukkan bahwa fungsi satu komponen dari sistem


bergantung pada komponen lain. Sebagai sistem, organisasi sangatlah saling
bergantung. Misalnya dalam rumah sakit, unit bedah tidak bisa berfungsi efektif tanpa
laboratorium yang menyediakan hasil tes. Laboratorium bergantung pada bagian
pembelian untuk suplai, seperti tabung reaksi dan kimiawi. Banyak unit rumah sakit
yang bergantung pada personal dan kantor bisnis untuk berurusan dengan tulis-menulis
kompensansi dan asuransi. Jadi, tidak ada komponen dalam rumah sakit yang dapat
berjalan efektif tanpa bantuan aktif dari bagian sistem lain.
3. Permeability

Ciri ketiga dari komponen sistem adalah memiliki permeable boundaries yang
memungkinkan informasi dan material mengalir masuk dan keluar. Tingkat dari
permeabilitas berbeda dari sistem ke sistem, ada yang relatif tertutup, dan ada yang
relatif terbuka. Misalnya, rumah sakit harus terbuka terhadap lingkungan luar sehingga
pasien, informasi, dan sumber daya dapat masuk dan keluar dari organisasi. Unit
rumah sakit harus terbuka satu sama lain untuk mempermudah aliran dari pasien,
informasi, dan sumber daya. Permeabilitas ke lingkungan luar juga dapat menyebabkan
masalah bagi sistem. Di organisasi, permeabilitas juga dapat menjadi racun.

· System Process

Sistem dicirikan dengan proses input-throughput-output. Sistem input material atau


informasi dari lingkungan melalui permeable boundaries. Sistem kemudian bekerja
pada input tersebut dengan beberapa jenis proses transformasi yakni throughput.
Akhirnya, sistem mengembalikan output yang telah berubah ke lingkungan. Misalnya,
pabrik perabotan akan memasukkan bahan mentah seperti kayu dan kain, mengubah
bahan tersebut menjadi kursi dan menghasilkan produk kepada pembeli melalui outlet
eceran. Terdapat dua jenis proses operasi input-throughput-output, yaitu:

1. Exchange

Aktifitas input dan output yang jelas. Baik masukan bahan dan informasi dan keluaran
dari hasil bahan dan informasi mencakup proses pertukaran dengan lingkungan luar
sistem. Proses pertukaran erat kaitannya dengan permeabilititas batas sistem.

2. Feedback

Informasi yang membantu memudahkan fungsi saling bergantung dari komponen


sistem. Terdapat dua jenis dari feedback:

a. Negative feedback, corrective feedback, atau deviation-reducing feedback yang


membantu menjaga fungsi sistem yang tetap. Misalnya, supervisor restoran melihat
pelayan berkata kepada pelanggan tentang menu spesial kemarin dibandingkan menu
spesial hari ini. Supervisor akan memberitahu pelayan tersebut mengenai
kesalahannya sehingga pelayan dapat berubah.

b. Positive, growth, atau deviation-amplifying feedback yang membantu mengubah


fungsi sistem melalui pertumbuhan dan pengembangan. Misalnya, supervisor restoran
menyadari bahwa semakin banyak pelanggan yang terganggu asap saat makan.
Supervisor akan mengusulkan kepada manajemen tertinggi bahwa restoran harus
diubah menjadi pembentukan

bebas rokok. Jenis feedback ini membantu mengubah keseluruhan sistem daripada
mempertahankannya dalam keadaan stabil.
· System Properties

Terdapat empat properties yang secara umum relevan, yaitu:

1. Holism

Sistem lebih dari total bagian-bagiannya. Sistem memiliki property ini karena sifat saling
bergantung dari komponen dan informasi yang mengalir melalui proses feedback dan
pertukaran.

2. Equifinality

Sistem dapat mencapai keadaan akhir yang sama dari kondisi awal yang berbeda-beda
dan langkah bervariasi.

3. Negative Entropy

Entropy adalah kecenderungan dari sistem tertutup untuk memburuk. Misalnya, jika
tubuh benar-benar tertutup dari lingkungannya (tidak menerima makanan, air, atau
oksigen), tubuh akan cepat memburuk. Sebaliknya, sistem terbuka dicirikan dengan
entropi negatif atau kemampuan mempertahankan diri dan tumbuh.

4. Requisite Variety

Properti ini menyatakan bahwa pekerjaan internal sistem harus bermacam-macam dan
rumit sebagaimana lingkungan tempat mereka melekat. Jika tim atau unit tidak mampu
menyadari, menyerap, dan berurusan dengan variasi di lingkungannya, mereka tidak
akan berkembang dan bertahan.

Three System Theories

· Cybernetic Systems Theory

Teori cybernetic systems berurusan dengan proses melalui fisikal, natural dan sistem
organisasi diarahkan untuk mencapai tujuan sistem. Cybernetic systems terdiri dari
beberapa komponen yang saling berhubungan, yaitu:

1. System goal yang terletak di pusat kontrol. Tujuan sistem adalah target untuk aspek
tertentu dari operasi sistem. Misalnya, tubuh manusia memiliki tujuan sistem untuk
menjaga temperatur sekitar 98.6o Fahrenheit.

2. Sistem menggunakan berbagai mechanism yang membantu menjaga tujuan sistem.


Namun, akan ada waktu ketika tingkah laku sistem tidak sesuai dengan tujuan sistem.
Misalnya, ketika badan terinfeksi, temperaturnya akan meningkat lebih dari 98.6o.
3. Pada proses cybernetic, feedback dikirimkan ke pusat kontrol dan
membandingkannya dengan tujuan. Jika terdapat perbedaan antara tujuan dan
feedback, mekanisme baru akan dibuat untuk mengatur sistem. Misalnya, ketika
temperatur lebih tinggi dari 98.6o seseorang akan berkeringat. Jika temperatur lebih
rendah dari 98.6o seseorang akan menggigil. Berkeringat dan menggigil adalah
mekanisme yang ada untuk mengatur tingkah laku sistem dan menjaganya sesuai
dengan tujuan sistem.

· Karl Weick’s Theory of Organizing

Karl Weick mendefinisikan proses organisasi sebagai menyelesaikan ketidakjelasan


dalam lingkungan dengan cara memberlakukan cara saling berkaitan tertanam dalam
proses kondisional terkait. Inti dari teori organisasi Weick adalah gagasan bahwa
organisasi berada dalam lingkungan, bukan hanya lingkungan secara fisik tetapi juga
information environment. Information environment juga diciptakan oleh individual
melalui proses enactment. Proses ini menyatakan bahwa anggota organisasi yang
berbeda-beda akan memberikan input informasi dengan makna berbeda dan
menciptakan lingkungan informasi yang berbeda-beda. Pada model Weick, tujuan
utama organisasi adalah mengurangi ketidakjelasan dalam lingkungan informasi.
Equivocality adalah ketidakpastian yang melekat dalam lingkungan informasi organisasi
dan terdapat banyak interpretasi yang bisa digunakan untuk kegiatan tertentu. Weick
menyatakan bahwa anggota organisasi menggunakan assembly rules dan
communication cycles. Assembly rules adalah prosedur yang membimbing anggota
organisasi dan berguna untuk sensemaking ketika lingkungan informasi tidaklah samar.
Namun, ketika ketidakjelasan di lingkungan tinggi dan terdapat banyak penjelasan yang
memungkinkan untuk peristiwa, anggota organisasi terlibat dalam communication
cycles. Melalui communication cycles, anggota organisasi mengenalkan dan memberi
reaksi terhadap ide yang membantu memahami lingkungan yang tidak jelas.

· “New Science” Systems Theory

Berdasarkan kerja fisika dan kosmologi, area teori memiliki cabang yang terkenal
dengan label chaos theory, complexity theory, dan self-organizing systems theory. Jika
diaplikasikan ke dalam studi komunikasi dan organisasi, area tersebut mengusulkan
cara baru berpikir mengenai organisasi sebagai different kinds dari sistem, dan sebagai
kelompok gagasan tersebut dapat dianggap sebagai new science. Inti dari gagasan
new science adalah gagasan bahwa tidak semua sistem di alam dan

masyarakat dijelaskan oleh fisika klasik. Sistem di new science tidak dilihat linear dan
berusaha menuju keseimbangan, tetapi sistem yang kompleks dan adaptif yang dapat
muncul dari gangguan, yang membuat perbedaan, yang sistem komplesk sering
dipertahankan dalam bentuk fraktarl, dan yang efek besar dapat berasal dari prubahan
sangat kecil. New science lebih menekankan pada pentingnya kompleksitas, informasi
fluktuatf, dan inovatif yang dapat muncul ketika sistem pada the edge of chaos.

Gagasan untuk komunikasi organisasi berasal dari new science mencakup:


1. The importance of relationships in organizations

Faktor ini diperoleh dari ide new science mengenai keterkaitan dan ketergantungan dari
kesatuan dalam fisika kuantum.

2. The importance of participation in organizational processes

Faktor ini ditekankan karena sifat partisipatif dari semesta dan karena partisipasi yang
dilakukan secara serius adalah jalan keluar dari ketidakpastian dan kualitas remang dari
ketidakobjektifan dari dunia yang kita tinggali.

3. The appreciation of organizational change and instability

Weatly menyatakan bahwa perubahan organisasi, bahkan pada sistem yang besar,
dapat diciptakan oleh kelompok kecil individual atau juara.

4. The importance of being open to the information environment

Dalam new science, perubahan terjadi pada ujung kekacauan ketika kita terbuka pada
ide di sekitar kita. Wheatley menyatakan kita perlu membuka gerbang untuk lebih
banyak informasi, di tempat yang lebih banyak, dan mencari informasi yang ambigu,
kompleks, dan tidak ada nilai langsung.

Methods For Studying Organizational System

· Network Analysis

Network analysis menyediakan maksud untuk menciptakan dan menganalisis peta


hubungan. Monge dan Eisenberg membedakan antara tradisi posisional dari network
analysis dan tradisi relasional. Tipifikasi tradisi posisional adalah organisasi chart formal
organisasi yang mendefinisikan aliran yang ditetapkan dari komunikasi dalam
organisasi (yang lebih pada struktur formal dan hierarki). Namun, Monge dan Eisenberg
mencatat skema formal seringkali merupakan refleksi buruk

dari sistem hubungan komunikasi yang sebenarnya. Tradisi relasional menganggap


hubungan komunikasi yang sebenarnya timbul melalui kegiatan dari sistem organisasi.

1. Properties of Networks

Tujuan dari network analysis adalah memetakan aliran yang bergerak pada anggota
jaringan. Beberapa cara untuk mengarakterisasi jaringan mencakup konten jaringan,
tipe jaringan, dan kepadatan jaringan.

a. Network content
Mengarah pada stuff yang mengalir melalui hubungan dalam jaringan. Misalnya, Tichy,
Tushman, dan Fombrun melihat konten jaringan menjadi empat kategori: barang dan
jasa, informasi, ekspresi perasaan, dan usaha untuk memengaruhi atau mengontrol.

b. Network mode

Mengacu pada medium komunikasi di mana hubungan jaringan terjadi. Sebelumnya


peneliti membedakannya atas media tulis dan face-to-face, kini perkembangan
teknologi komunikasi meningkatkan jumlah tipe jaringan.

c. Network density

Jaringan komunikasi yang tingkat padatnya tinggi terdapat banyak koneksi antara
anggota, sebaliknya kurang padatnya jaringan hubungannya lebih longgar.

Jaringan dapat dapat dilihat dari level analysis. Jaringan intraorganisasi akan melihat
koneksi antara individu dalam organisasi, sedangkan jaringan interorganisasi akan
melihat hubungan banyak organisasi. Dalam global dan masyarakat kompleks, jaringan
interorganisasi antara lain bisnis, pemerintah, dan organisasi nonpemerintah.

2. Properties of Network Links

Mengarakterisasi koneksi yang menghubungkan anggota. Tiga cara yang paling sering
digunakan yaitu strength, symmetry, dan multiplexity.

a. Strength

Didefinisikan dalam berbagai cara. Misalnya, hubungan yang kuat dapat terjadi ketika
terdapat kesepakatan yang baik dari alur komunikasi antara dua orang, yang telah
terjadi selama jangka waktu yang lama, atau pertukaran informasi yang dianggap
penting oleh partisipan jaringan.

b. Symmetry

Hubungan komunikasi mengacu pada dua orang yang terlibat dalam hubungan memiliki
jenis hubungan yang sama satu lain. Misalnya, hubungan sesama coworker adalah
simetris.

c. Multiplexity

Mengacu pada jenis konten yang berbeda yang mengalir melalui hubungan tertentu.

3. Network Roles

Melihat aktor individual dalam jaringan. Tiap node dalam jaringan dapat dideskripsikan
dalam berbagai cara. Salah satu caranya ialah menyadari peran jaringan. Network role
menjelaskan cara individu terhubung satu sama lain dan terhubung dengan berbagai
cara.

· Modeling Techniques

Network analysis berguna untuk menggambarkan dan menganalisis peta yang


menjelaskan sistem komunikasi organisasi. Namun, konsep teori sistem juga
menggabungkan proses kompleks dari tingkah laku. Modeling techniques
memungkinkan peneliti untuk menilai hubungan kompleks antara variabel melalui
evaluasi model kausal atau menilai perubahan dalam sistem komunikasi organisasi
melalui penggunaan analisis time-series dan teknik terkait.

Bab 5

Cultural Approaches

Dalam chapter ini kita akan meninjau dua perbedaan cara berfikir tentang budaya. Yang
pertama berawal dari business press yang terkenal tiga dekade yang lalu – melihat
budaya sebagai sesuatu yang dimiliki oleh organisasi. Berdasarkan pendekatan ini,
memiliki budaya yang “benar” bisa membangun atau menghancurkan sebuah
organisasi. Pendekatan yang kedua menganggap budaya adalah sebagaimana sebuah
organisasi. Edgar Schein, mengkonsepkan budaya sebagai sebuah asumsi, nilai, sikap,
dan artefak dimana sebuah organisasi sebagai usaha untuk beradaptasi dengan
kemungkinan organisasi-organisasi eksternal dan internal. Mari kita lihat metode
penelitian yang digunakan untuk menginvesitagi budaya organisasi.

Prescriptive Views of Cultural

Eisenberg dan Riley mengemukakan bahwa “kecepatan pada ‘budaya organisasi’


muncul sebagai lensa yang signifikan untuk para akademisi komunikasi dan akademisi
lainnya untuk menguji organisasi dan institusi yang sangat maju”. Konsep dari “budaya”
dimasukkan kedalam dunia bisnis dan akademik karena beberapa alasan:

1. Metafora dari budaya disuarakan oleh para akademisi dan praktisi. hal ini
menjelaskan organisasi dilihat sebagai arena kompleks dari sejarah dan nilai
dibandingkan sebagai institusi rasional.

2. Metafora dari budaya membuka area penelitian yang baru.

3. Budaya menjadi hal yang sering dibicarakan setiap harinya.


Deal and Kennedy’s “Strong Cultures”

Deal dan Kennedy (1982) berpendapat bahwa bisnis yang sukses bisa ditingkatkan
melalui pengembangan dari “strong” culture. Jika sebuah organisasi memiliki komponen
dari strong culture, ini akan menjadi tempat yang baik bagi invidu untuk bekerja dan
akan

meningkatnya performa dari individu dan organisasi. Deal dan Kennedy


mengidentifikasi empat kunci komponen dari strong cluture:

1. Values adalah kepercayaan dan visi yang di pegang oleh sebuah organisasi

2. Heroes adalah individu yang memberikan contoh dari value organisasi tersebut.

3. Rites and Rituals adalah upacara yang dilakukan oleh sebuah organisasi untuk
merayakan value dalam organisasi tersebut.

4. Cultural Network adalah sistem komunikasi yang dibentuk dan diperkuat melalui
value budaya organisasi tersebut.

Peters and Waterman’s “Excellent Cultures”

Peters dan Waterman mempelajari 62 organisasi yang dianggap “excellent” oleh


pekerjanya dan ahli organisasi. Lalu mereka mengidentifikasi “themes” yang
mengkarakteristikkan budaya dari organisasi tersebut. Beberapa peneliti menyebut
pendekatan ini sebagai “value engineering” karena ia menganjurkan kepercayaan
bahwa "Para pemimpin budaya yang efektif dapat menciptakan budaya 'kuat', yang
dibangun di sekitar nilai-nilai mereka sendiri” (Martin & Frost, 1996, p.602). Penting
untuk ditekankan bahwa nilai dalam pandangan budaya bahwa seseorang dapat
membuat kontribusi positif bagi kinerja organisasi dan bagi anggota organisasi.

Prespektif ini dianggap gagal dalam dua aspek penting:

1. Terlalu menyederhanakan kompleksitas dalam kehidupan organisasi dengan


mengasumsikan bahwa ada “formula” budaya tunggal untuk mencapai kesuksesan
organisasi.

2. Pendekatan prescriptive memperlakukan budaya sebagai “thing” dibandingkan


sebagai organization “has”. Karena masalah inilah, kebanyakan peneliti mencoba
menggambarkan dan memahami cara kompleks dimana budaya organisasi
dikembangkan dan dipertahankan.

Alternative Approaches To Culture

Setelah melihat budaya sebagai “thing” yang harus diatur, peneliti sekarang mulai
melihat budaya sebagai munculnya nilai-nilai dan terfragmentasi, praktek, narasi dan
artefak yang membuat organisasi tertentu "what it is". Putnam (1983) pendekatan
interpretatif ini mempertimbangkan “cara individu memahami dunia mereka, melalui
penerapan perilaku

komunikatif mereka”. Empat hal yang menggaris bawahi perbedaan antara pendekatan
presciptive dan pendekatan yang sekarang digunakan: culture is complicated, cilture is
emergent, culture is not unitary, dan culture is often ambiguous.

Organizational Cultures Are Complicated

Kompleksitas budaya organisasi didemonstrasikan oleh variasi luas dari “markers”.


Rites, ceremonies, values, belief systems, metaphors, stories, communication rules,
dan hallway talk adalah beberapa jendela dimana peneliti mencoba untuk memandang
organization’s culture. Lebih lanjut, beberapa peneliti berkonsentrasi pada satu tanda
budaya, sedangkan yang lainnya mencoba menganalisa manifestasi budaya yang
terjalin bersama. Keberagaman tanda budaya ini telah menjelaskan bahwa
organizational culture adalah fenomena yang sangat kompleks.

Organizational Cultures Are Emergent

Budaya organisasi adalah budaya yang secara sosial diciptakan melalui interaksi antar
anggota organisasi. Pacanowsky dan O’Donnell-Trujillo (1983) mengambil pendekatan
dalam ranah budaya di pekerjaan mereka “Organizational Communication as Cultural
Performance” pembelajaran budaya organisasi berkonsentrasi pada proses komunikasi
dimana budaya diciptakan. Mereka lebih lanjut menyatakan bahwa proses komunikasi
ini dapat dikonsepkan sebagai “performances” yang interactional, contextual, episodic,
dan improvisational.

· Cultural performance adalah interactional dimana mereka membutuhkan partisipasi


dari anggota organisasi.

· Cultural performance adalah contextual dimana mereka menambahkan situasi dan


arah organisasi.

· Cultural performance adalah episodic dimana mereka membedakan kejadian dalam


kehidupan organisasi.

Pacaniwsky dan O’Donnell-Trujillo menggaris bawahi proses komunikasi dimana


budaya organisasi muncul dan berubah sepanjang waktu.

Organizational Cultures Are Not Unitary

Para akademisi setuju bahwa organisasi dikarakteristikkan dengan sub-culture yang


beragam “may co-exist in harmony, conflict, or indifference to each other” (Frost, Moore,
Louis, Lundberg & Martin, 1991). Tapi, dimana variasi sub-culture ditemukan di
organisasi dan bagaimana mereka bekerja? Louis (1985) menjawab pertanyaan ini
dengan pertimbangannya akan sites of culture dan cultural penetration. Argumen Louis
pertama menyatakan bahwa ada beberapa tempat dimana budaya mungkin
berkembang dalam organisasi, mencakup “vertical slice” (contoh: divisi), “horizontal
slice” (contoh: level hierarki tertentu), atau spesifik work group. Martin (2002) juga
menyatakan bahwa sub-culture mungkin muncul disekitar jaringan kontak personal
datau kesamaan demografi. Oleh karenanya, subbudaya dapat muncul di berbagai
tempat dalam suatu organisasi. Satu pertimbangan lain dalam budaya organisasi
adalah sub-culture yang bervariasi dalam organisasi mungkin menggambarkan
pentingnya perbedaan dalam power dan interest (Alvesson, 1993). Dengan kata lain,
perbedaan ini juga menunjuk ke arah perpecahan fundamental dalam power dan
ideologi dalam sebuah organisasi.

Organizational Cultures Are Often Abiguous

Pendekatan budaya organisasi sekarang mencoba memahami cara dimana komunikasi


dan interaksi menciptakan sensasi unik di organisasi. Peneliti ini melihat jaringan
kompleks nilai, perilaku, sejarah, aturan dan metaphors yang disepakati dalam budaya
organisasi. Budaya secara sosial diciptakan melalui kinerja komunikatif anggota
organisasi. Peneliti juga mencoba melihat kesamaan dan perbedaan diantara
subbudaya yang bervariasi dan fluktuatif.

Schein’s Model of Organizational Culture

Edgar Schein adalah seorang akademisi menejemen dan konsultan yang tertarik
menjadi role leader dalam pengembangan dan pengutamaan dari sebuah budaya
organisasi. Model dari Schein ini membantu kita untuk mengerti bagaimana budaya
bisa dimengerti dalam variasi bentuk dan konteks organisasi.

A Definition of Culture

Schein (1992) mendefinisikan budaya dengan:

1. Schein mendefinisikan budaya sebagai group phenomenon. Seorang individu tidak


bisa memiliki sebuah budaya karena formasi budaya bergantung pada komunikasi.
Bagaimanapun, grup budaya dapat ada di banyak level, dari masyarakat dan negara
sampai organisasi kecil atau grup sosial. Schein mengakui bahwa budaya terkadang
fragmented. Bagimanapun, Schein percaya bahwa penting untuk menggarisbawahi
kebutuhan manusia akan stability, consistency, dan makna.

2. Schein mendefinisikan budaya sebagai a pattern of basic assumptions, sugesti yang


percaya bahwa budaya secara relatif bertahan dan sulit untuk mengubahnya. Schein
mengaku bahwa budaya organisasi juga melingkupi values, behaviors, rules, dan
physical artifacts.

3. Schein melihat budaya sebagai emergent and developmental process. Menurut


definisinya, budaya dipelajari dan ditemukan sebagai kebutuhan internal dan eksternal
grup. Ketika individu masuk ke organisasi, bagian paling besar dari “learning the ropes”
terdiri dari pengembangan pemahaman asumsi dan nilai yang membuat budaya
organisasi. Schein percaya bahwa “the new members’ interaction with old members will
be a more creative process of building a culture”

A Model of Culture

Setelah definisi budaya, Schein mengatur empat model yang menjelaskan variasi
elemen dalam budaya dalam tiga level yang berbeda.

· Level 1: Artifacts

Level yang paling terlihat dalam model Schein terdiri dari physical dan social
environment yang anggota organisasi ciptakan. Indikator budaya yang berbeda
termasuk dalam level observable ini. Artifak yang nyata diperlihatkan oleh anggota
organisasi dan perilaku mereka. Sebagaimana peneliti mencoba menginvestigasi dan
memahami budaya organisasi dengan mempertimbangkan manisfestasi yang terlihat
ini. Inverstigator akan melihat artifak yang beragam seperti arsitektur, furnitur,
tekhnologi, pakaian, dokumen tertulis, dan seni. Investigator akan melihat perilaku yang
membentuk pola komunikasi seperti forms of address, decision-making styles,
communication during meetings, the use

of various technologies dan meluas dimana work takes place in dispersed physical
locations.

· Level 2: Espoused Value

Level kedua dalam model Schein terdiri dari nilai individu dan grup. Values
menggambarkan kecenderungan atau what “ought” to happen. Contohnya: seorang
individu yang memegang hard work akan menghabiskan waktu yang lebih lama di
kanto. Manager yang memegang nilai inovatif akan menghargai pekerja yang datang
dengan ide baru. Oleh karenanya, level ini menggambarkan kepercayaan tentang
bagaimana sesuatu harus dikerjakan dalam organisasi.

1. Organisasi tidak memiliki value tapi individu memilikinya, individu dalam organisasi
mungkin memegang beragam nilai yang bervariasi yang akan berkontribusi pada
keberadaan subbudaya organisasi.

2. Nilai budaya terkadang individu mengatakan mereka memegang budaya tertentu tapi
perilaku mereka mendustai pernyataan mereka. Oleh karenanya, Schein melabeli label
kedua ini sebagai “espoused values” yang menekankan value dan behavior tidak selalu
cocok.

· Level 3: Basic Assumptions


Level Schein yang ketiga adalah “core” dari asumsi yang individu dalam grup pegang
tentang dunia dan bagaimana hal itu bekerja. Asumsi ini menjadi “taken for granted”
karena mereka dikuatkan terus menerus oleh grup dalam menyelesaikan masalah
internal dan eksternal. Schein percaya bahwa asumsi dasar ini dapat diungkapkan
dalam paradigma yang memandu budaya yang kuat. Definisi dan model Schein
kemudian menggambarkan budaya sebagai pola kompleks dari asumsi, values,
behaviours dan artifacts. Pola yang dikembangkan dalam grup mungkin konsisten. Oleh
karenaya, asumsi tentang dunia mungin direflesikan sebagai serangkaian nilai yang
menghasilakan behaviours dan artifacts. Dalam kasus ini, model Schein mungkin dilihat
sebagai sebuah “onion” dengan asumsi, nilai, dan perilaku serta artifacts yang
mereflesikan nilai tersebut.

Method For Studying Organizational Cultures

Pada diskusi awal kita tentang budaya orgnisasi, beberapa poin telah ditekankan.
Pertama, budaya organisasi direflesikan oleh serangkaian rumit assumptions, values,
bahaviours, dan artifatcs. Kedua, budaya organisasi berubah seiring waktu ketika grup
mengadaptasi kontigensi lingkungan. Ketiga, organisasi biasanya terdiri dari subbudaya
yang ada di beragam tingkat harmoni atau kompetisi. Keempat, budaya organisasi
diciptakan dan dipertahankan melalui interaksi komunikatif di anggota organisasi.
Metode penelitian kemudian digunakan untuk investigasi budaya.

Istilah ethnography artinya “the writing of culture,” dan metode enthnographic berbeda
secara dramatis dari tekhnik ilmu tradisisosial (Goodall, 2000). Untuk memulainya,
ethnographer mendekati budaya orgnaisasi sebagai sebuah “text” yang harus dibaca.
Agar bisa menguraikan text, ethnographer akan mencoba membaur dalam kehidupan
organisasi. Contohnya: ethnographer yang mencoba mempelajari restoran fast food
mungkin akan bekerja sebagai flipping burgers (participation observation); mungkin
menghabiskan banyak waktu menyaksikan interaksi di restauran (non-participation
observation); mungkin menganalisa training manuals dan work-related memos (archival
anyalisis); atau berbicara dengan pekerja tentang values, metaphor, heroes, rules, dan
stories. Sebenarnya, ethnographer mungkin akan melakukan hal-hal tersebut dengan
tujuan untuk minimize jarak diantara peneliti dengan budaya yang diinvestigasi.
Pemahaman yang mendalam tentang budaya didapatkan melalui personal experience
(Jackson, 1989).

Observasi tentang grup sosial, ethnographer mecoba mengembangkan pemahaman


tentang values dan assumptions saat bekerja. Dengan kata lain, melalui observasi
perilaku dan artifak (level 1) dan diskusi tentang nilai organisasi (level 2), peneliti
mengembangkan ide tentang asumsi yang dijalankan anggota organisasi (level 3) dan
bagaimana ketiga level berkaitan. Bantz (1993) mensistemkan proses in dalam
“organizational communication culture method.” Metode

ini menyatakan bahwa peneliti pertama harus mendapatkan pesan komunikasi


organisasi dan menganalisa pesan ini dengan vocabulary, themes, dan symbolic forms.
Dugaan dapat dibuat dari pesan dan symbolic forms yang terkai dengan organizational
norms, roles, motives, dan style.

Dengan menggunakan metode observasi dan dugaan, ethnographer akan menciptakan


mini-theory yang menjadi dasar observasi di budaya organisasi tertentu (Galser &
Strauss, 1967). Pertimbangkan lagi, departemen komnikasi yang selalu menggunakan
gelar formal. Jika seorang ethnographer bekerja di departemen tersebut, dia mungkin
mengobservasi perilaku dan artifak lainnya. Ia mungkin mencatat bahwa professor
lelaki selalu menggunakan kemeja dan dasi ketika mengajar dan profesor wanita yang
selalu menggunakan rok atau gaun. Ia mungkin mengobservasi bahwa anggota
organisasi mensosialisasikan dan terlibat dalam perilaku informal di luar universitas.
Melalui obsrevasi ini, ethnographer mulai membangun teori dasar tentang budaya
departemen. Teori tersebut mungkin berkisar tentang pentingnya tradisi dalam budaya
dan mendiskusikan cara dimana perilaku dan artifak mereflesikan nilai dasar ini.

Ketika peneliti budaya telah membangun teori dasar tentang budaya organisasi,
ethnograpgy dari budaya bisa ditulis menjadi social science article (literature review,
methods, results, discussion).

Lebih lanjut, ethnographer akan mencoba menjelaskan “cultural tale” untuk membantu
pembaca memahami organisasi secara mendalam dan detail. Van maanen (1988) telah
mendiskusikan 3 jenis cultural tales yang bisa ceritakan tentang budaya organisasi.
Pertama – a realist tale- seperti dokumentasi, ethnpgrapher mencoba menyediakan
sesuatu yang komplit dan objektif atas apa yang telah diobservasinya di organisasi.
Kedua, a confesionnal tale, yaitu tenang ethnoghrapher dan apa yang ditelitinya. Disini
peneliti berbicara secara personal tentang bagaiamana pengalamannya dalam
investigasi tersebut. Terakhir, imppresional tale adalah narasi dimana informasi tentang
budaya dibagi menjadi sebuah cerita yang memiliki alur drama. Critical tales- adalah
narasi yang mengekspresikan tujuan yang tidak terungkapkan dari kekuatan yang
menggerakan organisasi.

Oleh karenanya, peneliti yang terkait dalam budaya organisasi terkadang berbeda dari
peneliti tradisional social science. Peneliti biasanya menggunakan metode kualitatif dari
observasi, termasuk participant observation, nonparticipant observation, archival
analysis, dan interviews. Peneliti kemudian mencoba mendapatkan pemahaman
budaya yang menjadi dasar observasi. Akhirnya, peneliti membagikan pemahaman
budaya ini dengan pembacanya melalui cerita yang mereflesikan complex, emergent,
and interactional performance

Anda mungkin juga menyukai