#023. Puisi (Ibu) PDF
#023. Puisi (Ibu) PDF
Distributor:
CV Adipura
Jl. Mangunegaran Kidul No. 8
Yogyakata 55131 Telp. 0274-373019
Iftitah: Rakyat adalah Tuanmu,
Ibunda yang di genggaman tangannya terletak
hitam putih nasibmu
Ibumu adalah di hadapan mata Tuhan
Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu Rakyat adalah
Bungkukkan badanmu Ibunda yang menyayangimu
Raih punggung tangan beliau Takutlah kepada air matanya, karena
Ciumlah dalam-dalam jika Ibunda menangis karena engkau
Hiruplah wewangian cintanya tusuk perasaannya,
Dan rasukkan ke dalam kalbumu Tuhan akan mengubah peranNya dari
Agar menjadi jimat bagi rizki Sang Penabur Kasih Sayang
dan kebahagiaanmu menjadi Sang Pengancam,
Sang Penyiksa yang maha dahsyat
Tanah air adalah Ibunda alammu Ibunda darahmu
Lepaskan alas kaki keangkuhanmu Ibunda tanah airmu
Agar setiap pori-pori kulitmu Ibunda rakyatmu
menghirup zat kimia kasih Adalah sumber nafkahmu,
sayangnya kunci kesejahteraanmu serta mata air
Sentuhkan keningmu pada kebahagiaan hidupmu
hamparan debu
Reguklah air murni dari Pejamkanlah mata,
kandungan kalbunya rasakan kedekatan cintanya
Karena Ibunda tanah airmu itulah Sebab ketika itu Tuhan sendiri yang
pasal pertama setiap kata ilmu dan mengalir dalam kehangatan
lembar pembangunan hidupmu darahnya
Kalau Ibunda membelai rambutmu
Rakyat adalah Ibunda sejarahmu Kalau Ibunda mengusap keningmu,
Rakyat bukan bawahanmu, memijiti kakimu
melainkan atasanmu Nikmatilah dengan syukur
Jangan kau tengok mereka ke bawah dan batin yang bersujud
kakimu, karena justru engkau Karena sesungguhnya Allah sendiri
adalah alas kaki mereka yang yang hadir dan maujud
bertugas melindungi kaki mereka Kalau dari tempat yang jauh engkau
dari luka-luka kangen kepada ibunda
Rakyat bukan anak buahmu Kalau dari tempat yang jauh ibunda
yang engkau berhak kangen kepada engkau,
menyuruh-nyuruh dan mengawasi dendangkanlah nyanyian puji-puji
untuk Tuhanmu
Karena setiap bunyi dijadikan kayu bakar nerakamu
kerinduan hatimu adalah
Sebaris lagu cinta Allah kepada segala Rakyat negerimu adalah
ciptaanNya ibunda sejarahmu
Demi nasibmu sendiri jangan
Kalau engkau menangis pernah injak kepala mereka
Ibundamu yang meneteskan air mata Demi keselamatanmu sendiri jangan
Dan Tuhan yang akan mengusapnya curi makanan mereka
Kalau engkau bersedih Demi kemashlahatan anak cucumu
Ibundamu yang kesakitan sendiri jangan pernah hisap darah
Dan Tuhan yang menyiapkan mereka
hiburan-hiburan Jangan pernah rampok tanah mereka
Sebab engkau tidak bisa menang
Menangislah banyak-banyak atas Ibundamu sendiri
untuk Ibundamu Dan ibundamu tidak pernah
Dan jangan bikin satu kalipun ingin mengalahkanmu
Ibumu menangis karenamu Sebab pemerintahmu tidak akan
Kecuali engkau punya keberanian bisa menang atas rakyatmu
untuk membuat Sebab rakyatmulah
Tuhan naik pitam kepada hidupmu ibunda yang melahirkanmu
kalau ibundamu menangis, Serta ia pulalah yang nanti akan
para Malaikat menjelma jadi butiran- menguburkanmu sambil menangis,
butiran air matanya karena ia tidak menjadi bahagia
Dan cahaya yang memancar dari oleh deritamu
airmata ibunda membuat para karena ibu sejarahmu itu
malaikat itu silau tidak bergembira oleh kejatuhanmu
dan marah kepadamu
Dan kemarahan para malaikat adalah Ibundamu,
kemarahan suci sehingga Allah tidak tanah airmu,
melarang mereka tatkala menutup rakyatmu
pintu sorga bagimu Tak akan pernah bisa engkau kalahkan
Ibu kandungmu adalah Engkau merasa menang sehari semalam
ibunda kehidupanmu Esok pagi engkau tumbang
Jangan sakiti hatinya, karena ibundamu Sementara Ibundamu,
akan senantiasa memaafkanmu tanah airmu, rakyatmu
Tetapi setiap permaafan ibundamu atas Tetap tegak di singgasana kemuliaan
setiap kesalahanmu akan digenggam
erat-erat oleh para malaikat untuk Emha Ainun Nadjib
mereka usulkan kepada Tuhan agar Senin, 15.12.1992
Anakmu Belum Juga Sembuh, Bu Anakmu dikepung rasa sia-sia, rasa
bersalah, rasa amat kotor, rasa banyak
bacot, rasa tak berbuat—dan Ibu duduk
19.8.1985, 07.12 abadi di hadapan jiwaku, dengan
Anakmu Belum Juga Sembuh, Bu. senyum yang bagai tak tertang-
gungkan.
Qul in-dlalaltu fa-innama adlillu
‘ala nafsi, a-inihtadaitu fa-bima yuha Mustinya anakmu bertugas menulis
ilayya rabbi, innahu sami’un qarib. buku, dan ia telah tuangkan rangka
Allahumma-j’al qalbi nur, wa-sami’i beserta judul-judulnya yang seram. Tapi
nur, wa-bashari nur, wa-lisani nur, wa- begitu jijik ia kepada dirinya sendiri.
yadayya nur, wa-rijlayya nur, wa jami’a Untuk apa semua reka-reka intelektual
jawarihi nur, ya nurul anwar. itu, sesudah sekian ratus tulisan
berakhir sebagai tulisan itu sendiri?
Semoga mendiang Ayah menyaksikan Buat apa ia melesat begitu tinggi ke
anaknya menuliskan beratus rasa langit-langit pikirannya, untuk kemudi-
dosanya ini, yang ia mulai pada hari an kaget ketika menatap sekelilingnya,
ulang tahun wafatnya yang kedua belas. dan meludah tatkala menemukan
Semoga jika tulisan anaknya ini wajahnya sendiri d kaca? Apa arti
ternyata mengandung dosa yang baru, semua kesibukan menggebu-gebu ini,
tak menghambat perjuangannya di sesudah rangkaian demi rangkaian
depan gerbang Allah. Semoga tegar dan kembang berangkat luruh oleh karena
cerahlah jiwanya di dalam menempuh tak ada potdan ladang? Sesudah sekian
proses cinta kasih-Nya yang kedua, tak aransemen lagu gagal memasuki irama
berkurang oleh anaknya yang lamban musik zaman yang dengan besar kepala
untuk menjadi shaleh seperti yang hendak diubahnya?
secara amat mendalam selalu dicita-
citakannya. Mungkin anakmu terlalu mendalam
melukisi fantasi sorgawinya, sehingga
Anakmu Belum Juga Sembuh, Bu. gagal memijakkan kaki secara utuh di
atas tanah kehidupan yang bersahaja.
untuk apa ia mengembara seperti orang Mungkin anakmu terlalu perduli ter-
gila sekian lama? menabung cemas, haap kekecewaannya atas dunia yang
kekacauan, syubhat di sekitar berlangsung tidak seperti yang dike-
keadannya, tuduhan dan pertanyaan hendakinya, padahal siapa tahu itu tak
yang barangkali tak terjawab hingga lebih dari kekecewaannya terhadap
kapan pun? dirinya sendiri. Mungkin anakmu
sedang kehabisan kepercayaan tehadap
dirinya sendiri.
Doa Ibu
Ibu, Ibu, lihatlah anakmu ternyata tak Pernah Ganti
hanya seekor anak ayam.
Seekor anak ayam
19.8.1985, 00.36
yang ciap-ciap kedinginan.
pantas awet sakit jiwanya.
Ibu, engkau duduk di hadapanku.
Apakah ia akan mati beku, Bu?
Ibu tak bisa mati dalam hidupku.
Tapi biarkan ia belajar mandi.
Sampai larut malam usia wadagku
nanti, Ibu memanggang cintaku.