Anda di halaman 1dari 26

HUKUM KETENAGAKERJAAN

“PENGATURAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA ATAU


BURUH PENYANDANG DISABILITAS”

DOSEN PENGAMPU :

PATRICIA EKOWATI SURYANINGSIH, S.H, M.Hum

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5

1. KIKI TRIWULANDARI (B1A017150)


2. VARIZA PRAHA TANJUNG (B1A017152)
3. AFIFAH YOLANDA PUTRI (B1A017173)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BENGKULU

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul
”Pengaturan dan Perlindungan Bagi Pekerja atau Buruh Penyandang
Disabilitas” dengan baik.

Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan serta kasih
sayang yang diberikan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Ibu Patricia Ekowati Suryaningsih, S.H., M.Hum selaku dosen


pengampu mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan yang telah
memberikan bimbingan agar kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik-baiknya.

2. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-idenya dan koreksinya sehingga
makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Terimakasih.

Bengkulu, November 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................1
KATA PENGANTAR...................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................6
A. Pekerja atau Buruh Penyandang Disabilitas..............................6
B. Pengaturan Pekerja atau Buruh Penyandang Disabilitas........7
C. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja atau Buruh Penyandang
Disabilitas.............................................................................................10
BAB III PENUTUP..............................................................................23
A. Kesimpulan....................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................25

BAB I

PENDAHULUAN

3
A. Latar Belakang
Kelompok minoritas dimanapun berada sangat dekat dengan
perlakuan diskriminatif baik berupa perkataan maupun perbuatan. Salah satu
bagian dari kelompok minoritas yang ada adalah kelompok penyandang
disabilitas. Sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam
kondisi rentan, terbelakang, dan/atau miskin disebabkan masih adanya
pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak
penyandang disabilitas.
Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 yang
diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia terdapat 8,56 persen
penyandang disabilitas dari total populasi penduduk. Atau sekitar 22,5 juta
orang. Kemudian, data Kementerian Tenaga Kerja tahun 2013 menyebutkan
di antara penyandang disabilitas yang menganggur, 23,9 persen di antaranya
berstatus sebagai kepala rumah tangga. Akan tetapi dalam realitanya
ternyata penyandang disabilitas belum mendapat hak untuk hidup setara
seperti yang lain di Indonesia. Hal ini tampak dari data Bappenas yang
menyebut bahwa baru 25 persen penyandang disabilitas yang bisa bekerja
baik di sektoral, formal, dan informal. Dari jumlah tersebut, sekitar 39,9
persen penyandang disabilitas bekerja sebagai petani, 32,1 persen sebagai
buruh, 15,1 persen di sektor jasa, dan sisanya di perusahaan swasta maupun
wiraswasta.1
Sebagai bagian dari masyarakat umumnya, penyandang disabilitas
memiliki hak yang sama. Hak tersebut meliputi hak hidup, hak atas
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hak berumah tangga, hak politik, serta
hak pembangunan. Negara Kesatuan Republik Indonesia juga memiliki

1
Dythia Novianty, “Baru 25 Persen Penyandang Disabilitas di Indonesia yang Mandiri”,
https://www.suara.com/health/2018/08/15/133000/baru-25-persen-penyandang-disabilitas-di-
indonesia-yang-mandiri (Diakses Rabu, 15 Agustus 2018, pukul 13:30 WIB)

4
kewajiban yakni menjamin kelangsungan hidup setiap warga Negara,
sehingga para penyandang disabilitas mendapatkan haknya untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa adanya
diskriminatif.
Dalam mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi
pekerja/buruh penyandang disabilitas, pemerintah wajib berperan dan ikut
serta dengan cara memberikan pengaturan dan perlindungan hukum bagi
pekerja/buruh penyandang disabilitas untuk memperoleh haknya serta
pemerintah dapat menjamin pelaksaannya sebagaimana telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Pemerintah juga memberikan pedoman
kepada perusahaan tentang pengelolaan penyandang disabilitas ditempat
kerja dengan maksud untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas
memiliki kesempatan yang sama dengan yang lainnya di tempat kerja. 2
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penulisan makalah dengan judul: “PENGATURAN DAN PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI PEKERJA ATAU BURUH PENYANDANG DISABILITAS”

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pekerja atau Buruh Penyandang Disabilitas


Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja
memberikan pengertian tentang tenaga kerja yang terdapat pada Pasal 1
Ayat 2 bahwa tenaga kerja yaitu setiap orang yang mampu melakukan

2
ILO, Pedoman ILO Tentang Pengelolaan Penyandang Disabilitas Di Tempat Kerja, Jakarta: Decent
Work, 2013, hlm. 21

5
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 3
Pekerja atau buruh menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 4
Sedangkan yang dimaksud dengan Penyandang Disabilitas dalam Pasal
1 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016 yaitu adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan
dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga
negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”
Menurut Pasal 1 Ayat (1) UU No.8 Tahun 2016 ada empat kategori
penyandang disabilitas, yaitu:
a) Penyandang Disabilitas Fisik;
b) Penyandang Disabilitas Intelektual;
c) Penyandang Disabilitas Mental; dan
d) Penyandang Disabilitas Sensorik.
Jadi, pekerja/buruh penyandang cacat merupakan penggabungan dari
dua asal kata, yaitu pekerja/buruh dan penyandang cacat. Pengertian
pekerja/buruh menurut Pasal 1 Angka (3) UU No. 13 Tahun 2003 dan
penyandang cacat menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016. Sehingga
dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian pekerja penyandang cacat adalah
setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, intelektual, mental dan/atau
sensorik, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan

3
Sedjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,
2010, hlm. 3.
4
Abdul Hakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014
hlm. 3.

6
baginya untuk melakukan pekerjaan secara selayaknya (efektif dan penuh)
dan bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor:
KEP-205/MEN/1999. Tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja
Penyandang Cacat, tenaga kerja penyandang cacat adalah tenaga kerja yang
mempunyai kelainan fisik dan/mental namun mampu melakukan kegiatan
secara selayaknya, serta mempunyai bakat, minat dan kemampuan untuk
melakukan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 5

B. Pengaturan Pekerja atau Buruh Penyandang Disabilitas


Pekerja atau buruh penyandang disabilitas memiliki hak fundamental
layaknya manusia pada umumnya dan penyandang disabilitas memperoleh
perlakuan khusus dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari kerentanan
terhadap berbagai pelanggaran HAM. Pengaturan-pengaturan mengenai
Pekerja atau buruh penyandang disabilitas adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara 1945


Sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai hak-hak
konstitusional, bentuk hukum hak-hak penyandang disabilitas dapat
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada pasal: Pasal 27
Ayat (2), Pasal 28D Ayat (2) , Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat
(1), ayat (2), ayat (4), ayat (5).
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

5
Mexy Andre Haurissa, Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Cacat Dikaitkan
Dengan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Jurnal Lex et Societatis, Universitas Sam
Ratulangi Vol. IV/No. 5/Mei/2016, hlm. 189.

7
Hak-hak pekerja atau buruh penyandang disabilitas juga diatur
dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
yaitu pada Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 42 yang
menyatakan bahwa pekerja atau buruh penyandang disabilitas berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dengan upah yang adil
serta berhak untuk mendapatkan jaminan sosial dan perlakuan
khusus.
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan) pada Pasal 67, penjelasan Pasal 5, dan Pasal 153
Ayat (1) huruf j. Penyandang disabilitas mendapatkan kesempatan
yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak
diatur dalam penjelasan pasal 5 UU Ketenagakerjaan yaitu : Setiap
tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai
dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan,
termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.
Dalam Pasal 67 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan dinyatakan adanya
perlindungan bagi pekerja/buruh penyandang cacat, yaitu:
“Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat
wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya.”
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
Pelaksanaan pemberian perlindungan bagi pekerja/buruh
penyandang disabilitas dilaksanakan sesuai dengan peraturan

8
perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Sebelumnya,
penyandang disabilitas diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1997 Tentang Penyandang Cacat. Akan tetapi, pada konsideran
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 huruf d menyatakan bahwa
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan penyandang
disabilitas sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.
Pergeseran paradigma tentang penyandang disabilitas dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
pekerja/buruh penyandang disabilitas harus mendapatkan kesempatan
yang sama dalam upaya pengembangan dirinya melalui kemandirian
sebagai manusia yang bermartabat.
5. Pengaturan mengenai Pelatihan Kerja Dan Penempatan Tenaga Kerja
Penyandang Cacat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik
Indonesia No. KEP-205/MEN/1999.
6. Pengaturan mengenai Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 2019.
C. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja atau Buruh Penyandang
Disabilitas
Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau
perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai
dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif
di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan
hukum. Hubungan hukum adalah interaksi antara subjek hukum yang

9
memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat hukum (timbulnya hak dan
kewajiban).6
Untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan bagi Penyandang Disabilitas terdapat upaya
untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak,
kewajiban, dan peran para Penyandang Disabilitas didalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang memuat masalah
ketenagakerjaan bagi pekerja/buruh Penyandang Disabilitas yang
memberikan jaminan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, tanpa
adanya diskriminasi, dan hak untuk tidak diperbudak berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pelindungan hukum terhadap pekerja/buruh penyandang disabilitas
juga diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada
bagian penjelasan umum yang disebutkan: Perlindungan hukum terhadap
pekerja untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan
kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi tenaga kerja wanita, anak, dan
penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah , kesejahteraan, dan
jaminan sosial pekerja.
Secara teoritis, perlindungan tenaga kerja secara umum dibagi menjadi 3
(tiga) macam yaitu:7
1. Perlindungan Ekonomis
Perlindungan ekonomis yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan
usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang
cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari baginya beserta keluarganya,
termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu

6
Soesroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ke-8, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 49.
7
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja (Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja), Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 78.

10
diluar kehendaknya. Termasuk kedalam perlindungan ekonomis, antara lain
perlindungan upah, Jamsostek dan THR.
Menurut Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2019
Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas,
Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhnya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat menjalankan fungsi sosialnya. Diatur
juga dalam Pasal 57 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 bahwa “Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib memberikan bantuan dan akses permodalan
untuk usaha mandiri, badan usaha dan/atau koperasi yang diselenggarakan
oleh penyandang disabilitas.
Bentuk perlindungan ekonomis bagi pekerja atau buruh penyandang
disabilitas yaitu sebagai berikut:
a. Perlindungan Upah
Menurut Pasal 28D Ayat (2) yang menyatakan bahwa “setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Hal ini menyatakan ‘setiap
orang’ itu termasuk juga pekerja atau buruh penyandang disabilitas.
Perlindungan pengupahan juga diatur dalam Pasal 49 No. 8 Tahun
2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa
Pemberi Kerja wajib memberi upah kepada tenaga kerja Penyandang
Disabilitas yang sama dengan tenaga kerja yang bukan Penyandang
Disabilitas dengan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama.

b. Jaminan Sosial
Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu
tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memberikan

11
perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan
kondisi kemampuan keuangan negara. Mengembangkan jaminan
sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang
didanai oleh pemerintah. Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu
perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang
sebagai pengganti, sebagian penghasilan yang hilang, atau berkurang
dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami
oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit hamil, bersalin, hari
tua dan meninggal dunia, merupakan hak setiap tenaga kerja yang
sekaligus merupakan kewajiban dari pemberi kerja.
Pada hakikatnya program jaminan sosial tenaga kerja dimaksud
untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan
penghasilan keluarga yang sebagian yang hilang, program jaminan
sosial tenaga kerja juga mempunyai beberapa aspek, yaitu :
a) Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya
b) Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidik
kemandirian pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas
kasihan orang lain jika dalam hubungan kerja terjadi resiko-resiko
seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua dan lainnya.
Negara menjamin kesejahteraan sosial terutama pada jaminan
sosial bagi pekerja/buruh penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 93
UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang
menyatakan bahwa jaminan sosial diberikan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah untuk Penyandang Disabilitas miskin atau yang
tidak memiliki penghasilan. Jaminan sosial bagi pekerja atau buruh
penyandang disabilitas diberikan dalam bentuk asuransi kesejahteraan

12
sosial, bantuan langsung berkelanjutan, dan bantuan khusus. Bantuan
khusus mencakup pelatihan, konseling, perawatan sementara, atau
bantuan lain yang berkaitan. Hal ini telah dinyatakan bahwa
pemerintah menjamin kehidupan yang layak agar tercapainya
kesejahteraan bagi pekerja atau buruh penyandang disabilitas dengan
memberikan jaminan sosial.

c. Bantuan dan Akses Permodalan


Berdasarkan Pasal 57 UU No. 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib memberikan bantuan dan akses permodalan untuk usaha
mandiri, badan usaha, dan/atau koperasi yang diselenggarakan oleh
penyandang disabilitas.

d. Larangan Pemutusan Hubungan Kerja


Apabila pekerja atau buruh menjadi seorang disabilitas pada
masa kerja akibat dari kecelakaan kerja, pengusaha tetap bisa
mendapatkan manfaat dari keahlian dan pengalaman yang sudah
diperoleh dengan menempuh langkah untuk memungkinkan pekerja
tersebut tetap bekerja.
Larangan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh penyandang disabilitas diatur pada Pasal 153
Ayat (1) huruf j dan Pasal 153 Ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 yang
menyatakan bahwa ketika Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap,
sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang
menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan maka pemutusan hubungan

13
kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam hal
ini batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan. Hal ini bertujuan agar
pekerja/buruh yang mengalami cacat tetap pada saat masa kerja
mendapatkan perlindungan agar tetap berkerja dan tetap
mendapatkan penghidupan yang layak.
Larangan pemutusan hubungan kerja juga diatur dalam Pasal
11 huruf d UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
bahwa pekerja/buruh tidak boleh diberhentikan karena alasan
disabilitas. Pemberi kerja dapat memposisikan pekerja atau buruh
penyandang disabilitas dalam posisi yang memungkinkan ia
mengembangkan potensinya walaupun dengan keterbatasannya
tersebut.

2. Perlindungan Sosial
Perlindungan Sosial yaitu suatu perlindungan berkaitan dengan usaha
kemasyarakatan, yang tujuannnya memungkinkan pekerja untuk mengenyam
dan memperkembangkan prikehidupan sebagai manusia pada umumnya dan
sebagai anggota masyarkat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial
tersebut meliputi perlindungan terhadap buruh anak, buruh perempuan, dan
buruh penyandang cacat pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan
cuti.
Perlakuan yang bersifat diskriminatif masih sering dialami oleh
pekerja/buruh penyandang disabilitas dalam lingkungan kerja. Hal ini para
pekerja/buruh penyandang disabilitas mendapatkan perlindungan sosial
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945
dalam pasal 28I Ayat (2) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak

14
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
Diatur juga dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
Tentang Penyandang Disabilitas bahwa dalam penjelasannya penyandang
disabilitas mendapatkan perlindungan dalam proses rekrutmen, penerimaan,
pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan
karier yang adil dan tanpa Diskriminasi yang dijamin oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
Sebagai perlindungan sosial untuk mengembangkan karir para pekerja
penyandang disabilitas harus diberikan jaminan dan peluang yang sama
dengan lainnya. Pemberi kerja wajib untuk memberikan peluang pelatihan
tenaga kerja, peluang dalam proses rekrutmen, dan penempatan tenaga
kerja bagi pekerja/buruh penyandang disabilitas, yaitu sebagai berikut:
a. Perlindungan dari Perlakuan Diskriminatif
Perlindungan tenaga pekerja atau buruh penyandang disabilitas
dari tindakan yang bersifat diskriminatif juga diatur dalam penjelasan
pasal 5 dan pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Hal ini
pengusaha tidak boleh membeda-bedakan perlakuan dan diskriminasi
terhadap pekerja/buruh penyandang cacat. Diatur juga dalam Pasal 11
huruf d UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas bahwa
pekerja/buruh tidak boleh diberhentikan karena alasan disabilitas.

b. Mendapatkan Kesempatan Kerja

15
Pasal 28 I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa
“setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Kebijakan afirmasi atau
diskriminasi positif merupakan kebijakan yang dibuat untuk melindungi
hak kaum yang rawan mendapatkan diskriminasi, dan penyandang
disabilitas merupakan salah satu kaum tersebut. Bentuk pengaturan
tentang hak untuk mendapatkan pekerjaan bagi disabilitas dapat
berupa jaminan maupun perlindungan. 8 Salah satu bentuk kebijakan
afirmasi yang ditetapkan sebagai perlindungan hukum bagi
penyandang disabilitas tertuang pada Pasal 53 Ayat (1) dan Ayat (2)
UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, yaitu:
a) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,
dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling
sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah
pegawai atau pekerja.
b) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1%
(satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau
pekerja.
Apabila perusahaan swasta mempekerjakan pekerja/buruh
penyandang disabilitas, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib memberikan insentif sebagaimana telah diatur dalam Pasal 54
UU Penyandang Disabilitas.

c. Mendapatkan Pelatihan Kerja


8
Jazim Hamidi, Perlindungan Hukum terhadap Disabilitas dalam Memenuhi Hak Mendapatkan
Pendidikan dan Pekerjaan, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Universitas Brawijaya, Vol.
23/No.4/October/2016, hlm. 662.

16
Menurut Pasal 1 Angka 9 UU No. 13 Tahun 2003 pengertian
Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi,
memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja,
produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan
dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan
atau pekerjaan.
Menurut Pasal 46 Ayat 1 UU No. 8 Tahun 2016 yaitu bahwa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan kesempatan
kepada Penyandang Disabilitas untuk mengikuti pelatihan keterampilan
kerja di lembaga pelatihan kerja Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau swasta. Diatur juga pada Pasal 5 Kemenaker No. 22 Tahun
1999 Tentang Pelatihan Kerja Dan Penempatan Tenaga Kerja
Penyandang Cacat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik
Indonesia menyatakan bahwa:
a) Tenaga kerja penyandang cacat berhak mengikuti pelatihan
kerja yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja
pemerintah, swasta, maupun perusahaan;
b) Pelaksanaan pelatihan kerja dapat dilakukan secara khusus bagi
tenaga kerja penyandang cacat atau bersama-sama dengan
peserta pelatihan kerja lainnya;
c) Lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
yang peserta pelatihannya terdapat tenaga kerja penyandang
cacat, harus menerapkan persyaratan dan metode latihan kerja
yang telah ditetapkan, serta fasilitas pelatihan yang disesuaikan
dengan jenis dan derajat kecacatan tenaga kerja penyandang
cacat.

17
d. Penempatan dan Waktu Kerja Pekerja/Buruh Penyandang Disabilitas
Agar mendapatkan kesempatan yang sama dengan yang
lainnya serta guna untuk mengembangkan minat, bakat, dan
keterampilan tenaga, pemberi kerja harus menempatkan
perkerja/buruh penyandang disabilitas sesuai dengan kemampuan dan
keahlian yang dimilikinya. Pekerja/buruh penyandang disabilitas
memiliki perlindungan dalam masa ia bekerja yang telah diatur dalam
Pasal 47 UU No. 8 Tahun 2016, pemberi kerja harus memberikan
menempatkan dan memberi waktu kerja yang manusiawi, yaitu
sebagai berikut:
a) memberikan kesempatan untuk masa orientasi atau adaptasi di
awal masa kerja untuk menentukan apa yang diperlukan,
termasuk penyelenggaraan pelatihan atau magang;
b) menyediakan tempat bekerja yang fleksibel dengan
menyesuaikan kepada ragam disabilitas tanpa mengurangi
target tugas kerja;
c) menyediakan waktu istirahat;
d) menyediakan jadwal kerja yang fleksibel dengan tetap
memenuhi alokasi waktu kerja;
e) memberikan asistensi dalam pelaksanaan pekerjaan dengan
memperhatikan kebutuhan khusus Penyandang Disabilitas;dan
f) memberikan izin atau cuti khusus untuk pengobatan.
Penempatan pekerja atau buruh penyandang disabilitas juga diatur
dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. KEP 205/MEN/1999 Tentang
Pengaturan mengenai Pelatihan Kerja Dan Penempatan Tenaga Kerja
Penyandang Cacat pada Pasal 9 yang menjelaskan bahwa penempatan
tenaga kerja penyandang cacat dilakukan melalui proses penempatan

18
individual berdasarkan penerapan alat-alat baik reguler maupun khusus dan
teknik-teknik penyesuaian bagi tenaga kerja penyandang cacat ke jabatan
atau pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisik, kemampuan emosional
(stabilitas emosi), bakat yang dimiliki, keterampilan yang dimiliki,
kepribadian, minat, dan pendidikan.

3. Perlindungan Teknis
Perlindungan teknis yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha-
usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan
oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau bahan-bahan yang diolah
atau dikerjakan oleh perusahaan. Perlindungan teknis ini berkaitan dengan
K3 (keselamatan dan kesehatan kerja), yaitu perlindungan ketenaga kerjaan
yang bertujuan agar buruh dapat terhindar dari segala resiko bahaya yang
mungkin timbul ditempat kerja, baik disebabkan oleh alat-alat atau bahan-
bahan yang dikerjakan dari suatu hubungan kerja.
Menakertrans mengatakan bahwa pelaksanaan K3 merupakan salah
satu aspek perlindungan tenaga kerja yang sangat penting karena akan
mempengaruhi ketenangan bekerja, keselamatan, kesehatan, produktivitas
dan kesejahteraan tenaga kerja. Semua pihak harus menyadari bahwa
penerapan K3 merupakan hak dasar perlindungan bagi tenaga kerja, setiap
pekerja wajib mendapat perlindungan dari resiko kecelakaan kerja yang
dapat terjadi. 9
Perlindungan kerja tidak hanya ditentukan untuk kepentingan pekerja/buruh,
tetapi ada juga kepentingan bagi pengusaha dan pemerintah, yaitu:

9
Kompas, “Perlindungan Kerja Hak Pekerja”
https://amp.kompas.com/ekonomi/read/2011/01/12/21281736/perlindungan.kerja.hak.peker
ja (Rabu, 12 Januari 2011 | 21:28 WIB)

19
a) Bagi pekerja/buruh,adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja
akan menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga
pekerja/buruh dapat memusatkan perhatian pada pekerjaannya
semaksimal mungkin tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa
kecelakaan kerja
b) Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam
perusahaan akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat
mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial
c) Bagi pemerintah dan masyarakat,dengan adanya dan ditaatinya
peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direcanakan pemerintah
untuk mensejahterakan masyarakat akan tercapai dengan
meningkatnya produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.

Keselamatan kerja termasuk kedalam perlindungan teknis, yaitu


perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan teknis
bagi pekerja atau buruh penyandang disabilitas terbagi atas:

a. Penyediaan Aksesbilitas
Ketentuan tentang penyediaan aksesbilitas terhadap pekerja
atau buruh penyandang disabilitas diatur dalam pasal 67 Ayat (1) dan
Ayat (2) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa
pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib
memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya. Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yaitu UU No. 8 Tahun 2016. Dalam hal ini, perlindungan

20
sebagaimana yang adalah misalnya penyediaan aksesbilitas,
pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis
dan derajat kecacatannya.

b. Menyediakan Akomodasi dan Fasilitas


Sebagai penunjang pekerjaan para pekerja/buruh penyandang
disabilitas, maka pemberi kerja mempunyai kewajiban untuk
menyediakan akomodasi dan fasilitas bagi tenaga kerja sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 50 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) UU
Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa:
a) Pemberi Kerja wajib menyediakan Akomodasi yang Layak dan
fasilitas yang mudah diakses oleh tenaga kerja Penyandang
Disabilitas.
b) Pemberi Kerja wajib membuka mekanisme pengaduan atas
tidak terpenuhi hak Penyandang Disabilitas.
c) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyosialisasikan
penyediaan Akomodasi yang Layak dan fasilitas yang mudah
diakses oleh tenaga kerja Penyandang Disabilitas.
Berdasarkan Pasal 50 Ayat (4), apabila Pemberi Kerja yang tidak
menyediakan Akomodasi yang Layak dan fasilitas yang mudah diakses
oleh tenaga kerja Penyandang Disabilitas dikenai sanksi administratif
berupa:
a) teguran tertulis;
b) penghentian kegiatan operasional;
c) pembekuan izin usaha; dan
d) pencabutan izin usaha.

21
c. Unit Pelayanan Disabilitas
Dalam pasal 55 Ayat (2) huruf d dan huruf e yaitu bahwa,
Tugas unit layanan disabilitas sebagaimana dimaksud “menyediakan
pendamping kepada pemberi kerja yang menerima tenaga kerja
penyandang disabilitas dan mengoordinasikan Unit layanan
disabilitas,pemberi kerja, dan tenaga kerja dalam pemenuhan dan
penyediaan alat bantu kerja untuk menyadang disabilitas” merupakan
hal yang sangat membantu para pekerja/buruh penyandang disabilitas
dengan adanya layanan penyediaan alat bantu tersebut dapat
mengurangi adanya kecelakaan kerja yg akan dialami pekerja/buruh
tersebut, alat bantu kesehatan merupakan benda yang berfungsi
mengoptimalkan fungsi anggota tubuh penyandang disabilitas
berdasarkan rekomendasi dari tenaga medis hal itu dapat membantu
kemandirian penyandang disabilitas dalam melakukan kegiatan sehari-
hari.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pekerja atau buruh penyandang disabilitas merupakan penggabungan
dari dua asal kata, yaitu tenaga kerja dan penyandang disabilitas.
Pengertian tenaga kerja menurut Pasal 1 Angka (3) UU No. 13 Tahun
2003 dan penyandang disabilitas menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 8

22
Tahun 2016. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian
pekerja penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan pekerjaan secara selayaknya (efektif dan penuh) dan bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

2. Pengaturan mengenai pekerja atau buruh penyandang disabilitas diatur


dalam:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
c. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
d. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas;
e. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. KEP-
205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja Dan Penempatan Tenaga Kerja
Penyandang Cacat;
f. Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas.

3. Perlindungan Hukum bagi pekerja atau buruh penyandang disabilitas


meliputi:
a. Perlindungan ekonomi;
b. Perlindungan sosial;
c. Perlindungan teknis.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku
ILO, Pedoman ILO Tentang Pengelolaan Penyandang Disabilitas Di Tempat
Kerja, Jakarta: Decent Work
Sedjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia,
Jakarta: Rineka Cipta

24
Abdul Hakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Bakti
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja (Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan
Kerja), Jakarta, RajaGrafindo Persada
Soesroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ke-8, Sinar Grafika, Jakarta

Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor KEP-
205/MEN/1999 Tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga
Kerja Penyandang Cacat.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas.

Jurnal
Mexy Andre Haurissa, Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja
Penyandang Cacat Dikaitkan Dengan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.

Surat Kabar

25
Dythia Novianty, “Baru 25 Persen Penyandang Disabilitas di Indonesia yang
Mandiri”, Suara, 15 Agustus 2018.

Kompas,“Perlindungan Kerja Hak Pekerja” , Kompas, Rabu, 12 Januari 2011.

26

Anda mungkin juga menyukai