Anda di halaman 1dari 26

HUKUM AGRARIA LANJUTAN

Dosen Pengampuh :

M. Yamani, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh :

 Nama : Hengki Yophanda


Npm : B1A1170
 Nama : Sisi Ratna Sari
Npm : B1A1170
 Nama : Muhammad Ali Akbar
Npm : B1A117003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BENGKULU

TAHUN AJARAN 2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sebagai negara agraris, Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang melimpah ditambah
posisi Indonesia yang dinilai amat strategis. Tidak dipungkiri jika sebagian masyarakat
Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, meski profesi sebagai petani sering
dianggap sebelah mata. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 36,5% (41,20 juta
orang) dari 112,80 juta penduduk menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Ini
menunjukan bahwa pertanian pun ikut andil dalam mengurangi angka pengangguran di
Indonesia. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 berbunyi : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan di pergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat’’sehingga dalam hal ini pemerintah harus menjalankan prinsip–prinsip
pemerintahan dan memilik ketentuan – ketentuan khusus yang mengatur tentang apa saja
faktor dan pendukung yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa dan
negara. Akhirnya Indonesia telah memiliki ketentuan khusus yang mengatur tentang
pertanahan yaitu Undang – undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria dan Undang – undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Tanah
Pertanian Pangan Berkelanjutan . Sesuai dengan pasal 2 ayat 1, UUPA, maka sasaran hukum
Agraria meliputi : Bumi, Air dan Ruang Angkasa, termasuk Kekayaan Alam yang terkandung
di dalamnya. Sehingga terdapat aturan-aturan hukum yang mengatur tentang pemanfaatan
tanah.
Di dalam Undang – undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Tanah
Pertanian Pangan Berkelanjutan Menimbang bahwa lahan pertanian pangan merupakan
bagian dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang di kuasai oleh negara dan di
gunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat sebagaimana di amanatkan dalam Undang
– undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga dalam hal ini Pemerintah
harus benar – benar menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan
sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan
mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan
ekonomi nasional dan menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi setiap warga negara untuk
mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Karena makin meningkatnya
pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya
degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan, sehingga telah mengancam
daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan
pangan.
Pasal 44 ayat 1 Undang – Undang tersebut menyebutkan bahwa Lahan yang sudah di
tetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan di lindungi dan di larang di alih
fungsikan. Ayat 2 “Dalam hal untuk kepentingan umum,Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan sebagaimana di maksud pada ayat ( 1) dapat dialihfungsikan, dan di
laksanakan sesuai dengan ketentuan – ketentuan perundang- undangan). Problematika
pertanahan terus mencuat dalam dinamika kehidupan bangsa kita. Berbagai daerah di
nusantara tentunya memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda diantara
satu wilayah dengan wilayah lainya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekuensi dari
dasar pemahaman dan pandangan orang di Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang
Indonesia memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal dan memberikan penghidupan
sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengaturan hak milik atas tanah dalam hukum agraria?
2. Apa perbedaan hak milik individual dan hak milik kolektif?
3. Apa pengaruh kepemilikan tanah pertanian berkelanjutan dan tanah
perumahan perkotaan terhadap jumlah penduduk yang bertambah daan
kebutuhan pangan atau perumahan yang terus meningkat?
4. Bagaimana upaya pemerintah dalam meningkatkan fungsi tanah pertanian
dalam pemenuhan kebutuhan pangan, dengan jumlah penduduk yang terus
bertambah?
BAB II

KERANGKA TEORI

 Teori Konversi Lahan


Konversi lahan sawah akan berkaitan erat dengan teori sewa dan lokasi tanah. David
Ricardo dalam teori mengenai sewa tanah berpendapat bahwa penduduk akan tumbuh
sedemikian rupa sehingga tanah-tanah yang tidak subur akan digunakan dalam proses
produksi, dimana sudah tidak bermanfaat lagi bagi pemenuhan kebutuhan manusia yang
berada pada batas minimum kehidupan. (Reksohadiprojo-Karseno, 1985:25).
 Teori Kependudukan
Menurut Malthus (1798) dalam sebuah essay tentang prinsip mengenai kependudukan
yang berjudul principles of population, membuat ramalan bahwa jumlah populasi akan
mengalahkan pasokan makanan, yang menyebabkan berkurangnya jumlah makanan perorang
(Case and Fair, 1999:790). Malthus salah satu orang yang pesimis terhadap masa depan
manusia. Hal itu didasari dari kenyataan bahwa lahan pertanian sebagai salah satu faktor
produksi utama jumlahnya tetap. Kendati pemakaiannya untuk produksi pertanian bisa
ditingkatkan, peningkatannya tidak akan seberapa. di lain pihak justru lahan pertanian akan
semakin berkurang keberadaanya karena digunakan untuk membangun perumahan, pabrik-
pabrik serta infrastruktur yang lainnya.
 Teori Produksi Pertanian
Pada penyelenggaraan usaha tani, siapapun selalu berusaha agar hasil
panennyameningkat. Ilmu ekonomi secara tidak langsung petani membandingkan antara
hasilyang diharapkan akan diterima pada waktu panen dengan seluruh biaya yang
dikeluarkanuntuk pengolahan sawah. Hasil yang diperoleh Petani pada saat panen tersebut
disebut“ produksi”, sedangkan biaya yang dikeluarkan disebut “biaya produksi” (Rahim dan
Hastuti,2008:30).
 Teori Kebutuhan Pangan Wilayah
Acuan kualitatif untuk ketersediaan pangan adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG)
rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XV Tahun 2012, yaitu energi sebesar
2150 kkal/kapita/hari dan protein 57 gram/ kapita/hari. Kebutuhan beras sesuai AKG tersebut
setara dengan 0,6 kg/kapita/hari atau 219 Kg/kapita /tahun. Menurut Suhardjo (2009:66)
menyatakan bahwa dalam 100gram beras terdapat kandungan kalori sebesar352 Kkal,
sehingga untuk mendapatkan 2150 Kkal energi setara dengan 0,6 kg beras. Konsumsi
perkapita berdasarkan Susenas (Sensus Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2013, tingkat
konsumsi beras nasional sebesar 97,4 kg/kapita/tahun. Proyeksi konsumsi beras tingkat
nasional berdasarkan RPJMN bidang tanaman pangan dan pertanian tahun 2015-2019
ditetapkan sebesar 124,89 kg/kapita/ tahun (Depkes RI, 2013:109).
 Teori Ketahanan Pangan Wilayah
Konsep ketahanan pangan dapatditerapkan untuk menyatakan situasi panganpada
berbagai tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional, dan tingkat rumah tanggaserta
individu yang merupakan suatu rangkaian sistem hirarkis. Konsep ketahanan pangantersebut
intinya bertujuan untuk mewujudkan terjaminnya ketersediaan pangan bagi umatmanusia.
Terdapat tiga aspek yang menjadi indikator ketahanan pangan suatu wilayah,yaitu sektor
ketersediaan pangan, stabilitasekonomi (harga) pangan, dan akses fisikmaupun ekonomi bagi
setiap individu untuk mendapatkan pangan.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengaturan Hak Milik Atas Tanah Dalam Hukum Agraria

Pasal-pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak-hak atas tanah adalah pasal
4 ayat (1) dan (2), 16 ayat (1) dan pasal 53. Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai
berikut:

1. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang-orang beserta badan-badan hukum.
2. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-
Undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi.

Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 4 diatas ditentukan dalam pasal 16 ayat
(1) yang bunyinya sebagai berikut: Hak-hak atas tanah sebagai dimaksud dalam pasal 4 ayat
(1) ialah:

a. Hak milik.
b. Hak guna usaha.
c. Hak guna bangunan
d. Hak pakai
e. Hak sewa
f. Hak membuka tanah
g. Hak memungut hasil hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai disebutkan
dalam pasal 53.

Adapun pengertian dari hak-hak yang terdapat dalam UUPA sebagai berikut:
1) Hak milik adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah dan memberi kewenangan untuk menggunakannya 13 bagi segala
macam keperluan selama waktu yang tidak terbatas, sepanjang tidak ada laranagan
khusus untuk itu (Pasal 20).
2) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah Negara, selama jangka waktu
yang terbatas, guna perusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan (Pasal 26).
3) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai hubungan diatas
tanah Negara atau milik orang lain, selama jangka waktu yang terbatas (Pasal 35).
4) Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah milik
orang lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewaanya.
5) Hak pakai adalah nama kumpulan dari hak-hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam surat keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan gadai tanah, perjanjian sewa- menyewa atau perjanjian
pengelolaan ataupun penggunaan tanah yang lain (Pasal 41).
6) Hak gadai adalah hak dari yang disebut memegang gadai, untuk menggunakan tanah
kepunyaan orang lain yang mempunyai utang padanya. Selama utang tersebut belum
dibayar lunas, tanah yang bersangkutan tetap berada dalam penguasaan pemegang
gadai (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 45 PRP Tahun 1960). 14
7) Hak pengelolaan menurut Keputusan BPN Nomor 9 Tahun 1999 tetap mengacu
kepada ketentuan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 adalah
sebagai berikut:
a) Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
b) Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan uasahanya.
c) Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan
yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi
peruntukan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak
atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat yang
berwenang menurut Keputusan BPN Nomor 3 Tahun 1999 dan tata caranya (Boedi
Harsono, 2007: 234).

Walaupun bermacam-macam, tetapi semua hak penguasaan atas tanah berisikan


serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk
diperbuat”, merupakan isi hak penguasaan. Itulah yang menjadi kriteria atau pembeda antara
hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah. Apabila Negara sebagai
penyelenggara memerlukan tanah untuk melaksanakan tugasnya, tanah yang bersangkutan
akan diberikan kepadanya oleh Negara selaku badan penguasa, melalui lembaga
pemerintahan yang berwenang. Tanah diberikan kepada lembaga tersebut dengan satu hak
atas tanah, untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, bukan sebagai Badan Penguasa yang
mempunyai hak menguasai yang disebut dalam pasal 2, tetapi sebagai badan hukum seperti
halnya perseorangan dan badan-badan hukum perdata yang diberi dan menjadi pemegang hak
atas tanah.1

B. Perbedaan Hak Milik Individual Dan Hak Milik Kolektif

Pemberian hak secara kolektif adalah pemberian hak atas sebidang tanah kepada
seorang atau sebuah badan hukum tertentu atau kepada beberapa orang atau badan hukum
secara bersama yang dilakukan dengan satu penetapan (Pasal 6 ayat (1) Permenag / KBPN
Nomor 9 Tahun 1999). Sedangkan pemberian hak atas tanah secara individu adalah
pemberian hak atas beberapa bidang tanah masing-masing kepada seorang atau sebuah badan
hukum atau kepada beberapa orang atau badan hukum sebagai penerima hak yang dilakukan
dengan satu penetapan (Pasal 6 ayat (2) Permenag / KBPN Nomor 9 Tahun 1999).

Notonagoro menegaskan bahwa hak milik yang memiliki fungsi sosial itu sebenarnya
mendasarkan atas diri individu, mempunyai dasar yang individualistis lalu ditempelkan
kepadanya sifat yang sosial, sedangkan jika berdasarkan PancasilaNotonagoro menegaskan
bahwa hak milik yang memiliki fungsi sosial itu sebenarnya mendasarkan atas diri individu,
mempunyai dasar yang individualistis lalu ditempelkan kepadanya sifat yang sosial,
sedangkan jika berdasarkan Pancasilahukum kita tidak berdasarkan atau corak individualistis,
tetapi bercorak dwi tunggal. Kepentingan masyarakat dan perseorangan haruslah saling
imbang untuk mengimbangi dwi tunggal. Dengan kata lain, di dalam hak milik tercantum
sifat diri dan disamping itu memiliki sifat kolektif. Jadi, bukan sifat hak milik privat
perorangan yang memiliki sifat kolektif atau melepaskan sifat individunya.2

1
http://digilib.unila.ac.id/9255/3/BAB%202.pdf halaman 13
2
Jurnal, Triana Rejekiningsih, Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Pada Negara Hukum (Suatu
Tinjauan Dari Teori, Yuridis Dan Penerapannya Di Indonesia), Universitas Sebelas Maret halaman
305
Konsep kepentingan dapat dirujuk dari teori kepentingan menurut Roscou Pound, yang
mengklasifikasikan kepentingan dalam tiga jenis, antara lain :

(1) kepentingan individual (pibadi);


(2) kepentingan umum;
(3) kepentingan sosial.

Pendapat tersebut disertai penegasan lebih lanjut, bahwa kepentingan individu berasal
dari sudut urusan pribadi, domestik, dan hak milik. Sedangkan kepentingan umum dengan
tujuan khusus untuk kepentingan negara sebagai lembaga hukum dan sebagai penjaga
kepentingan sosial3

Hakmilikprivatmaupunkolektifkedua-
duanyaharusdiakuikarenaituadalahtermasuksifatmanusiasendiri.Hanyasajadapatdiadakanperb
edaanpadatitikberatnyayaitupadahakprivatataukolektif.Peletakantitikberatiniditentukanolehke
adaanmasyarakat,
dansifatnyadapattidakprinsipiiltapihanyagraduil.Meletakkantitikberatpadasalahsatuhak
(privatataukolektif) yang menyolok, padasaat-saattertentuakanmendapatkoreksidarikekuatan-
kekuatandalammasyarakat yang berdasarkankesadarandirimanusiaakansifatnya yang
monodualissebagaiindividudanmakhluksosialdalamsatukesatuandirimanusia.

C. Pengaruh Kepemilikan Tanah Pertanian Berkelanjutan Dan Tanah Perumahan


Perkotaan Terhadap Jumlah Penduduk Yang Bertambah Daan Kebutuhan
Pangan Atau Perumahan Yang Terus Meningkat
1. Ketentuan-Ketentuan Yang Mengatur Perubahan Penggunaan Tanah (Alih Fungsi
Lahan)

Permasalahan pertanahan pada dasarnya bersifat lintas sektoral dan multidimensional,


karena keterkaitannya dengan berbagai sektor dan kepentingan pembangunan. Dengan
demikian pengelolaan pertanahan memerlukan penanganan yang terkoordinasi. Upaya
pemerintah untuk terselenggaranya sinkronisasi pelaksanaan tugas dalam bidang
keagrariaan/pertanahan dengan berbagai sektor antara lain dengan Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang
Kehutanan, Pertambangan dan Transmigrasi dan Pekerjaan Umum, yang berisi instruksi

3
http://www.wcl.american.edu/journal/lawrev/10/nobleman.pdf
kepada (1) Menteri Dalam Negeri; (2) Menteri Pertanian; (3) Menteri Pertambangan; Menteri
Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi; (5) Menteri Pekerjaan Umum. Dalam
perkembangannya, mengingat bahwa tugas-tugas bidang pertanahan bersifat sektoral, upaya
preventif untuk mengendalikan perubahan peruntukkan penggunaan tanah dilaksanakan
dengan mekanisme perizinan, dalam bentuk izin lokasi, dan izin pembebasan tanah yang
diperoleh pemerintah pusat pelaksanannya dilimpahkan kepada Gubernur. Pelimpahan
wewenang dimaksud dalam rangka pengembangan pemukiman dan perindustrian, guna
mengendalikan perubahan penggunaan tanah pertanian untuk

penggunaan non pertanian, diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5
Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk
Keperluan Perusahaan. Dalam peraturan tersebut ditetapkan ketentuan bahwa dalam
menetapkan lokasi kegiatan non pertanian yang akan dikembangkan, perlu diperhatikan hal-
hal sebagai berikut:

1. Sejauh mungkin harus dihindarkan pengurangan arel tanah pertanian yang subur.
2. Sedapat mungkin dimanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang produktif.
3. Dihindarkan pemindahan penduduk dari tempat kediamannya.
4. Diperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemaran bagi
daerah lingkungan yang bersangkutan (Soni Harsono:14).

Dalam upaya sinkronisasi pelaksanaan tugas-tugas lintas sektoral, Gubernur dan


Walikota selaku kepala wilayah mempunyai wewenang koordinasi sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No.6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Instansi Vertikal di Daerah,
Gubernur dan Walikota dapat menetapkan salah satu instansi vertikal yang memiliki fungsi
utama dalam kegiatan lintas sektoral. Dalam keputusan presiden Nomor 53 Tahun 1989
tentang Kawasan Industri tidak mengurangi tanah pertanian dan tidak dilakukan diatas tanah
yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi sumber daya alam dan warisan budaya.

Petunjuk pelaksanaan dari Keputusan Presiden tersebut dijabarkan dalam Peraturan


Kepala Badan Pertanahan Nasional No.8 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemberiaan
Hak Atas Tanah untuk Keperluan Perusahaan Kawasan Industri. Selanjutnya
telahdikeluarkan pula Keputusan Presiden No.33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah
Bagi Pembangunan Kawasan Industri dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
No.6 Tahun 1990 tentang Penyajian Informasi Lingkungan (PIL) untuk kawasan industri.
Kedua-duanya mengatur hal-hal yang dimaksudkan untuk mengendalikan perubahan
peruntukkan penggunaan tanah-tanah pertanian untuk penggunaan lain, khususnya untuk
pembangunan kawasan industri. Apabila peraturan-peraturan dimaksud masih mengatur
perubahan peruntukkan penggunaan tanah secara parsial dan insidental, maka dalam lingkup
yang lebih luas, pada waktu ini telah dipersiapkan RUU Penataan Ruang dan RPP
Penatagunaan Tanah. Dengan adanya pengaturan tersebut, perubahan penggunaan tanah-
tanah pertanian untuk tujuan non pertanian diharapkan akan dapat terkendali.

Selain pengaturan- pengaturan tersebut diatas, adalah merupakan kenyataan bahwa


disana sini terjadi pendudukan tanah secara tidak sah, yaitu penguasaan tanah tanpa dilandasi
adanya izin dari yang berwenang. Dalam kaitannya dengan upaya penegakan hukum,
sebaiknya tindakan penerbitan dilakukan seawal mungkin, sebab apabila pendudukan secara
tidak sah tersebut dibiarkan berlarut-larut, penduduk sudah merasa satu dengan tanah yang
dipakainya, bahkan merasa mempunyai hak sebagai pemilik, dan terjadilah alih fungsi lahan
yang tidak terkendali. Dari hal diatas terlihat bahwa terjadinya alih fungsi lahan dalam
pelaksanaan pembangunan lebih banyak didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan
ekonomi, dan bukan karena lemahnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan.

Di beberapa daerah memang masih terjadi perbenturan kepentingan antar sektor dalam
penggunaan tanah, hal itu antara lain juga disebabkan masih lemahnya koordinasi dan
sinkronisasi dalam pembuatan kebijaksanaan yang berkaitan dengan tanah antara instansi
terkait. Dengan demikian yang diperlukan bukanlah pengaturan penanggulangan alih fungsi
lahan, akan tetapi pengendaliannya agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi pengembangan perekonomian pada umunya. Dalam kaitan tersebut, pengendalian dan
pengawasan pelaksanaan kebijaksanaan mengenai alih fungsi lahan atau tanah memerlukan
keterpaduan antara berbagai sektor pembangunan, agar terjaga keseimbangan pelaksanaan
pembangunan. Perlu selalu dilaksanakan pemantauan atas peraturan perundang-undangan
yang ada, disertai dengan upaya penegakan hukum termasuk pengenaan sanksi bagi para
pelanggarnya. Masalah alih guna tanah mempunyai hubungan dengan permasalahan tanah
terlantar, yaitu tanah yang tidak digunakan secara semestinya.4

Alih fungsi lahan pertanian bukan merupakan hal yang baru. Dengan semakin
meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan untuk menciptakan peluang kerja,
yang ditandai oleh semakin banyaknya investor ataupun masyarakat dan pemerintah dalam

4
http://digilib.unila.ac.id/9255/3/BAB%202.pdf halaman 30
melakukan pembangunan, maka semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan. Dipihak lain
jumlah lahan yang terbatas sehingga menimbulkan penggunaan lahan yang seharusnya
beralih ke penggunaan non-pertanian.

Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan pembangunan


pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan mendorong terjadinya alih
fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Menurut Pakpahan (1993), faktor-faktor yang
mempengaruhi alih fungsi atau konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dapat
dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di
tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk
melakukan konversi dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat
petani yaitu faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih
fungsi.

Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan
pertanian menjadi non-pertanian antara lain:

1. Faktor Kependudukan. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan


permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan
menciptakan tambahan permintaan lahan.
2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor
nonpertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani
disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif
rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang
terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya.
3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan
terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala
ekonomi usaha yang menguntungkan.
4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang
memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini
antara lain tercermin dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang cenderung
mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah nonpertanian.
5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (Law Enforcement)
dari peraturan-peraturan yang ada.
Menurut Kustiawan (1997) dalam hasil kajiannya menyatakan bahwa ada faktor yang
berpengaruh terhadap proses alih fungsi lahan pertanian sawah, yaitu (1) Faktor Eksternal
adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi yang
mendorong alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian, (2) Faktor-faktor Internal
adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong
lepasnya kepemilikan lahan, dan (3) Faktor Kebijaksanaan Pemerintah.Sebagai rujukan dapat
dilihat pada data Luas Lahan Pemukiman (Bangunan, Pekarangan) di Kecamatan Karawang
timur Tahun 2006-2011 :

Menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan luas lahan sawah pada tahun 2009
menyebabkan penurunan luas lahan pemukiman yang sangat drastis dengan laju 74,00
persen. Kemudian penurunan luas lahan yang terjadi pada tahun 2011 di wilayah ini
disebabkan karena adanya peningkatan luas lahan pemukiman sebesar 41,85 persen.

Adanya pembangunan jalan karawang bypass dengan tujuan untuk memudahkan jalur
transportasi juga menjadi salah satu pemicu banyak investor yang tertarik berinvestasi di
bidang property atau perumahan di Kecamatan Karawang Timur. Sampai tahun 2011, jumlah
perusahaan yang membangun perumahan di Kecamatan Karawang Timur terus bertambah.
Namun, jumlah perusahaan pembangun perumahan yang membangun diatas lahan sawah
mencapai 29 perusahaan yang tersebar di 4 desa dan 4 kelurahan. Berdasarkan data dari
Badan Pertanahan Nasional (2012), total luas perumahan yang dibangun diatas lahan sawah
luasnya mencapai 235,54 hektar . Jumlah perusahaan pembangun perumahan di setiap desa
dan kelurahan di Kecamatan Karawang Timur.Jumlah Perusahaan Pembangun Perumahan di
Lahan Sawah di Kecamatan Karawang Timur Tahun 2000-2011:

2. Faktor Penyebab Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan

Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia
terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik material maupun spiritual.
Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu:

 Pengunaan lahan pertanian; dan


 penggunaan lahan bukan pertanian.

Berkaitan dengan penggunaan lahan, salah satu ancaman terhadap ketahanan pangan
adalah alih fungsi lahan pertanian.Alih fungsi lahan mempunyai implikasi yang serius
terhadap produksi pangan, lingkungan fisik, serta kesejahteraan masyarakat pertanian dan
perdesaan yang kehidupannya bergantung pada lahannya.Alih fungsi lahan-lahan pertanian
subur selama ini kurang diimbangi oleh upaya-upaya terpadu mengembangkan lahan
pertanian melalui pencetakan lahan pertanian baru yang potensial.

Proses urbanisasi yang tidak terkendali telah berdampak pada meluasnya


aktivitasaktivitas perkotaan yang makin mendesak aktivitas-aktivitas pertanian di kawasan
perdesaan yang berbatasan langsung dengan perkotaan. Alih fungsi lahan berkaitan dengan
hilangnya akses penduduk perdesaan pada sumber daya utama yang dapat menjamin
kesejahteraannya dan hilangnya mata pencarian penduduk agraris.Konsekuensi logisnya
adalah terjadinya migrasi penduduk perdesaan ke perkotaan dalam jumlah yang besar tanpa
diimbangi ketersediaan lapangan kerja di perkotaan. Keadaan tersebut menyebabkan
ancaman terhadap ketahanan pangan yang dapat mengakibatkan Indonesia harus mengimpor
produk-produk pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dalam keadaan jumlah penduduk yang terus meningkat jumlahnya, ancaman-ancaman


terhadap produksi pangan telah memunculkan kerisauan keadaan rawan pangan pada masa
yang akan datang. Akibatnya dalam waktu yang akan datang Indonesia membutuhkan
tambahan ketersediaan pangan dan lahan pangan. 9 9 Alih fungsi lahan adalah perubahan
fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang
direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap
lingkungan dan potensi lahan. Konversi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk
penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar menurut Pasandaran,
11 (2006), ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama,yang merupakan
determinan konversi lahan, yaitu kelangkaan sumber daya lahan dan air, dinamika
pembangunan, dan peningkatan jumlah penduduk.

Dampak dari konversi lahan tidak hanya dirasakan oleh para pemilik lahan, tetapi dapat
dirasakan secara meluas oleh seluruh lapisan masyarakat. Disamping menurunnya
produktivitas, alih fungsi lahan berdampak lebih lanjut pada kekeringan dan serangan hama.
Konversi lahan bersifat irreversible (tidak dapat kembali), sementara upaya menanggulangi
penurunan produktivitas terkendala oleh anggaran pembangunan, keterbatasan sumberdaya
lahan dan inovasi teknologi.Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan upaya yang
tidak terpisahkan dari reforma agraria.Reforma agraria tersebut mencakup upaya penataan
yang terkait dengan aspek penguasaan/pemilikan serta aspek penggunaan/ pemanfaatan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam. Menurut Irawan12, alih fungsi lahan pada dasarnya terjadi akibat adanya
persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian.
Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga
fenomena ekonomi dan sosial, yaitu

1) keterbatasan sumberdaya lahan,


2) pertumbuhan penduduk dan
3) pertumbuhan ekonomi.
Luas lahan yang tersedia relatif terbatas, sehingga pertumbuhan penduduk akan
meningkatkan kelangkaan lahan yang dapat dialokasikan untuk kegiatan pertanian dan non
pertanian. Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian pangan menyebabkan makin sempitnya luas
lahan yang diusahakan dan sering berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani.
Oleh karena itu, pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan melalui perlindungan lahan
pertanian pangan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan
pangan, dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan petani dan masyarakat
pada umumnya.

Sementara itu,visi pembangunan (pertanian) berkelanjutan ialah terwujudnya kondisi


ideal adil dan makmur, dan mencegah terjadinya lingkaran malapetaka kemelaratan. Visi
ideal tersebut diterima secara universal sehingga pertanian berkelanjutan (sustainable
agriculture) menjadi prinsip dasar pembangunan pertanian secara global, termasuk di
Indonesia. Oleh karena itulah pengembangan sistem pertanian menuju usahatani
berkelanjutan merupakan salah satu misi utama pembangunan pertanian di Indonesia.

Pertanian pangan berkelanjutan memiliki peran dan fungsi penting bagi sebagian
masyarakat Indonesia yang memiliki sumber penghasilan di sektor agraris sehingga lahan
pertanian pangan memiliki nilai ekonomis, nilai sosial, budaya, dan religius.Namun
meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan serta kebutuhan lahan untuk
pembangunan, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan maka
perlu diupayakan meningkatkan kedaulatan pangan.

D. Upaya Pemerintah Dalam Meningkatkan Fungsi Tanah Pertanian Dalam


Pemenuhan Kebutuhan Pangan, Dengan Jumlah Penduduk Yang Terus
Bertambah

Upaya Pemerintah Mempertahankan Fungsi Lahan Tanah Pertanian di Kabupaten


Sragen dalam rangka mewujudkan kesejahteraan Upaya pemerintah dalam mempertahankan
fungsi lahan pertanian di kabupaten sragen yaitu :

a. Adanya Peraturan terkait dengan pangan di Kabupaten Sragen antara lain:


1) Perbup No. 64 Tahun 2009 tentang Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan
Kabupaten Sragen;
2) Perbup No. 40 Tahun 2013 tentang perubahan atas lampiran II Peraturan Bupati
Sragen Nomor 64 tahun 2009 tentang pembentukan Dewan Ketahanan Pangan
Kabupaten Sragen;
3) Perbup No. 11 Tahun 2014 tentang pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah.

Namun demikian, Pemerintah Kabupaten Sragen terus berupaya maksimal


meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya manajemen pangan. Setiap desa di wilayah
Sragen mulai mandiri menggerakkan program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).
Selain itu, sesuai program pemerintah pusat mengedukasi masyarakat menyesuaikan
makanan pokok non terigu dan non beras. Sampe dengan tahun 2016 terdapat 112 desa di
Sragen dari 20 kecamatan sudah melaksanakan program KRPL

Sebanyak 82 desa dibantu pemerintah, sedangkan sisanya 30 desa menjalankan


program secara mandiri. Program KRPL ini rencananya akan diadopsi ke seluruh
desa/kelurahan di Sragen, yakni 208 wilayah. KRPL ini merupakan upaya menciptakan desa
yang mandiri dalam hal pangan, misalnya menanam sayur dengan media yang terbatas, lantas
jika berlebih bisa diperdagangkan. Pada tahun 2016, Kabupaten Sragen kembali mendapat
penghargaan di tingkat provinsi dalam penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara 2016 untuk
kategori pelayan ketahanan pangan. (Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Sragen )

b. Pemerintah menyiapkan LP2B dengan mengatur Strategi pengendalian alih fungsi


lahan pertanian pangan produktif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Sragen Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Sragen Tahun 2011 - 2031 Pasal 3 ayat (2) huruf c meliputi:
a) Menetapkan lahan sawah irigasi menjadi lahan pertanian pangan
berkelanjutan;
b) Mengarahkan perkembangan kegiatan terbangun pada lahan-lahan yang
bukan lahan sawah irigasi dan/atau lahan kering kurang produktif;
c) Mengarahkan perkembangan kegiatan terbangun pada lahan-lahan yang
bukan lahan sawah irigasi dan/atau lahan kering kurang produktif;
d) mengembangkan dan merevitalisasi jaringan irigasi; dan. meningkatkan
produktivitas lahan pertanian
e) Dinas Pertanian melakukan sosialisasi lebih intensif terhadap petani,
Pendataan petani, memberikan subsidi meliputi benih, pupuk, pestisida,
peminjaman alat-alat mesin pertanian dengan tujuan agar petani untung
dalam melakukan usaha 9 pertanianya, hal ini diperlukan sebagai salah satu
instrumen pendukung pelaksanaan program LP2B. (Dinas Pertanian
Kabupaten Sragen)
f) Adanya Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 26 Tahun 2003
Tentang Irigasi.
g) Menentukan Kawasan Peruntukan Pertanian Pasal 55 Peraturan Daerah
Kabupaten Sragen Nomor 11 Tahun 2011 Kawasan peruntukan pertanian
h) Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
i) Memberikan Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pedoman
Pengaturan. Serta pemberian sanksi yaitu: peringatan tertulis, penghentian
sementara kegiatan, penghentian sementara pelayanan umum, penutupan
lokasi, pencabutan izin, pembatalan izin, pembongkaran bangunan,
pemulihan fungsi ruang, dan/atau denda administratif.

Hal tersebut telah diatur di dalam peraturan daerah Kabupaten Sragen Nomor 11 tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sragen Tahun 2011-2031. Tetapi di dalam
pelaksanaannya berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa pemerintah membiarkan saja
apabila terjadi alih fungsi lahan pertanian, (Wawancara satpol PP, tanggal 23 Oktober 2017)
tanpa ada peninjaun terhadap penggunaan lahan tersebut. Menurut Walter A. Friedlander
(1961) kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial
dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk
mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial
yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan
meningkatkan kesejahteraannya secara selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.
Apabila teori ini diterapkan pada masalah peralih fungsikan lahan di kabupaten Sragen, maka
tindakan pemerintah guna tidak mengenakan 10 sanksi terhadap masyarakat yang mengalih
fungsikan lahan mereka menurut penulis juga dapat dibenarkan.

Kebayakan masayarakat yang mengalih fungsikan lahan beralasan memang mereka hanya
mempunyai satu tanah tersebut. Maka pemerintah membolehkan alih fungsi tersebut. Hal
tersebut menurut penulis sudah sesuai dengan nilai kesejahteraan sosial berdasar teori diatas,
dimana pemerintah memberikan kelonggaran seprtiitu guna membantu mereka dalam
mempertahankan kehidupannya. Alih fungsi tersebut juga digunakan untuk membuat rumah,
yang kita tahu bahwa rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia untuk hidup.
Dengan pertimbangan seperti itu maka pemerintah juga telah memperhatikan kesejahteraan
dari masyarakatnya. Tindakan yang sedemikian itu walaupun mencakup aspek kesejahteraan
tetapi tidak boleh juga pemerintah lepas tangan begitu saja. Pemerintah perlu meninjau
kembali dan benar-benar memberi batasan yang jelas, berapa maksimal luas yang boleh
untuk dialihkan menjadi perumahan warga. Serta juga harus ada peninjauan yang rutin agar
tidak terjadi penyelewengan terhadap kelonggaran yang diberikan. 2. Hambatan pemerintah
dalam mempertahankan fungsi lahan tanah pertanian di kabupaten Sragen dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan Dalam upaya pemerintah mempertahankan fungsi lahan pertanian
terdapat hambatan-hambatan yang terjadi, sehingga hal tersebut tidak bisa dicegah
keberadaannya, antara lain :

1. Terus meningkatnya jumlah penduduk Kabupaten Sragen dari tahun ketahun


berdasarkan sensus penduduk tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Sragen adalah
863.997 jiwa, tahun 2012 jumlah penduduk 868.090 jiwa, tahun 2013 berjumlah
871.991 jiwa, tahun 2014 berjumlah 875.615 jiwa, dan pada tahun 2015 berjumlah
879.027 jiwa. (BPS Sragen) Dan jumlah pendudukpun selalu bertambah setiap
tahunnya. Secara tidak langsung berdampak pada 11 pemenuhan akan kebutuhan
pemukiman baru sehingga menggunakan lahan pertanian untuk dialih fungsikan
menjadi pemukiman.
2. Kurangnya kesadaran para masyarakat akan pentingnya lahan pertanian. Hal ini
dipengaruhi oleh informasi dan pengetahuan yang masyarakat dapatkan tentang
potensi sektor pertanian dan juga pengetahuan tentang bahaya alih fungsi lahan
pertanian. Sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kediri melalui
Dinas Pertanian kurang tepat mencapai sasaran kepada seluruh lapisan masyarakat.
3. Terus meningkatnya dunia industri di Kabupaten Sragen sehingga memanfaatkan
lahan pertanian sebagai tempat mendirikan industri. Karena para pengusaha lebih
memilih menjadikan Kabupaten Sragen sebagai tempat mendirikan indutri disebabkan
oleh perbedaan UMR dengan kabupaten dan kota seperti Surakarta, karanganyar,
sukoharjo, Semarang, dll. UMR di Kabupaten Sragen relatif lebih murah
dibandingkan dengan kabupaten/kota besar lainnya.
4. Tidak maksimalnya Dinas Pekerjaan Umum dan penataan ruang dalam menjalankan
fungsi koordinasi dengan dinas lain yang berkaitan dengan peralihan fungsi lahan
tersebut, sehingga penegakan hukumnya pun juga belum maksimal di laksanakan.
5. Lemahnya ekonomi masyarakat, sehingga masih banyak terjadi peralihan fungsi lahan
dikarenakan mereka hanya mempunyai sejenis lahan tersebut, dan terpaksa harus
digunakan sebagai perumahan.5

BAB IV

KESIMPULAN

Pengaturan Hak Milik Atas Tanah Dalam Hukum Agraria

Pasal-pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak-hak atas tanah adalah
pasal 4 ayat (1) dan (2), 16 ayat (1) dan pasal 53. Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang berbunyi
sebagai berikut:

1. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang beserta badan-badan hukum.
2. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang
untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air
serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut
Undang-Undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi.

Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 4 diatas ditentukan dalam pasal 16 ayat
(1) yang bunyinya sebagai berikut: Hak-hak atas tanah sebagai dimaksud dalam pasal 4 ayat
(1) ialah:

i. Hak milik.
j. Hak guna usaha.
k. Hak guna bangunan
l. Hak pakai
m. Hak sewa
n. Hak membuka tanah
o. Hak memungut hasil hutan

5
p. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai disebutkan
dalam pasal 53.

Perbedaan Hak Milik Individual Dan Hak Milik Kolektif

Pemberian hak secara kolektif adalah pemberian hak atas sebidang tanah kepada
seorang atau sebuah badan hukum tertentu atau kepada beberapa orang atau badan hukum
secara bersama yang dilakukan dengan satu penetapan (Pasal 6 ayat (1) Permenag / KBPN
Nomor 9 Tahun 1999). Sedangkan pemberian hak atas tanah secara individu adalah
pemberian hak atas beberapa bidang tanah masing-masing kepada seorang atau sebuah badan
hukum atau kepada beberapa orang atau badan hukum sebagai penerima hak yang dilakukan
dengan satu penetapan (Pasal 6 ayat (2) Permenag / KBPN Nomor 9 Tahun 1999).

Notonagoro menegaskan bahwa hak milik yang memiliki fungsi sosial itu sebenarnya
mendasarkan atas diri individu, mempunyai dasar yang individualistis lalu ditempelkan
kepadanya sifat yang sosial, sedangkan jika berdasarkan Pancasila Notonagoro menegaskan
bahwa hak milik yang memiliki fungsi sosial itu sebenarnya mendasarkan atas diri individu,
mempunyai dasar yang individualistis lalu ditempelkan kepadanya sifat yang sosial,
sedangkan jika berdasarkan Pancasila hukum kita tidak berdasarkan atau corak
individualistis, tetapi bercorak dwi tunggal. Kepentingan masyarakat dan perseorangan
haruslah saling imbang untuk mengimbangi dwi tunggal. Dengan kata lain, di dalam hak
milik tercantum sifat diri dan disamping itu memiliki sifat kolektif. Jadi, bukan sifat hak
milik privat perorangan yang memiliki sifat kolektif atau melepaskan sifat individunya

3. Ketentuan-Ketentuan Yang Mengatur Perubahan Penggunaan Tanah (Alih Fungsi


Lahan)

Permasalahan pertanahan pada dasarnya bersifat lintas sektoral dan multidimensional,


karena keterkaitannya dengan berbagai sektor dan kepentingan pembangunan. Dengan
demikian pengelolaan pertanahan memerlukan penanganan yang terkoordinasi. Upaya
pemerintah untuk terselenggaranya sinkronisasi pelaksanaan tugas dalam bidang
keagrariaan/pertanahan dengan berbagai sektor antara lain dengan Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang
Kehutanan, Pertambangan dan Transmigrasi dan Pekerjaan Umum, yang berisi instruksi
kepada (1) Menteri Dalam Negeri; (2) Menteri Pertanian; (3) Menteri Pertambangan; Menteri
Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi; (5) Menteri Pekerjaan Umum. Dalam
perkembangannya, mengingat bahwa tugas-tugas bidang pertanahan bersifat sektoral, upaya
preventif untuk mengendalikan perubahan peruntukkan penggunaan tanah dilaksanakan
dengan mekanisme perizinan, dalam bentuk izin lokasi, dan izin pembebasan tanah yang
diperoleh pemerintah pusat pelaksanannya dilimpahkan kepada Gubernur. Pelimpahan
wewenang dimaksud dalam rangka pengembangan pemukiman dan perindustrian, guna
mengendalikan perubahan penggunaan tanah pertanian untuk

penggunaan non pertanian, diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5
Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk
Keperluan Perusahaan.

4. Faktor Penyebab Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan

Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia
terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik material maupun spiritual.
Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu:

 Pengunaan lahan pertanian; dan


 penggunaan lahan bukan pertanian.

Alih fungsi lahan pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan
lahan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian. Sedangkan persaingan dalam
pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu

1) keterbatasan sumberdaya lahan,


2) pertumbuhan penduduk dan
3) pertumbuhan ekonomi.

Pengaruh Kepemilikan Tanah Pertanian Berkelanjutan Dan Tanah Perumahan


Perkotaan Terhadap Jumlah Penduduk Yang Bertambah Daan Kebutuhan Pangan
Atau Perumahan Yang Terus Meningkat

Pengelolaan pertanahan memerlukan penanganan yang terkoordinasi. Upaya


pemerintah untuk terselenggaranya sinkronisasi pelaksanaan tugas dalam bidang
keagrariaan/pertanahan

Upaya Pemerintah Dalam Meningkatkan Fungsi Tanah Pertanian Dalam


Pemenuhan Kebutuhan Pangan, Dengan Jumlah Penduduk Yang Terus Bertambah
Upaya Pemerintah Mempertahankan Fungsi Lahan Tanah Pertanian di Kabupaten
Sragen dalam rangka mewujudkan kesejahteraan Upaya pemerintah dalam mempertahankan
fungsi lahan pertanian di kabupaten sragen yaitu :

a. Adanya Peraturan terkait dengan pangan di Kabupaten Sragen antara lain:


 Perbup No. 64 Tahun 2009 tentang Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan
Kabupaten Sragen;
 Perbup No. 40 Tahun 2013 tentang perubahan atas lampiran II Peraturan Bupati
Sragen Nomor 64 tahun 2009 tentang pembentukan Dewan Ketahanan Pangan
Kabupaten Sragen;
 Perbup No. 11 Tahun 2014 tentang pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah
b. Pemerintah menyiapkan LP2B dengan mengatur Strategi pengendalian alih fungsi
lahan pertanian pangan produktif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Sragen Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Sragen Tahun 2011 - 2031 Pasal 3 ayat (2) huruf c meliputi:
a. Menetapkan lahan sawah irigasi menjadi lahan pertanian pangan
berkelanjutan;
b. Mengarahkan perkembangan kegiatan terbangun pada lahan-lahan yang bukan
lahan sawah irigasi dan/atau lahan kering kurang produktif;
c. Mengarahkan perkembangan kegiatan terbangun pada lahan-lahan yang bukan
lahan sawah irigasi dan/atau lahan kering kurang produktif;
d. mengembangkan dan merevitalisasi jaringan irigasi; dan. meningkatkan
produktivitas lahan pertanian
e. Dinas Pertanian melakukan sosialisasi lebih intensif terhadap petani,
Pendataan petani, memberikan subsidi meliputi benih, pupuk, pestisida,
peminjaman alat-alat mesin pertanian dengan tujuan agar petani untung dalam
melakukan usaha 9 pertanianya, hal ini diperlukan sebagai salah satu
instrumen pendukung pelaksanaan program LP2B. (Dinas Pertanian
Kabupaten Sragen)
f. Adanya Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 26 Tahun 2003 Tentang
Irigasi.
g. Menentukan Kawasan Peruntukan Pertanian Pasal 55 Peraturan Daerah
Kabupaten Sragen Nomor 11 Tahun 2011 Kawasan peruntukan pertanian
h. Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
i. Memberikan Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pedoman Pengaturan.
Serta pemberian sanksi yaitu: peringatan tertulis, penghentian sementara
kegiatan, penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi,
pencabutan izin, pembatalan izin, pembongkaran bangunan, pemulihan fungsi
ruang, dan/atau denda administratif.

Dalam upaya pemerintah mempertahankan fungsi lahan pertanian terdapat hambatan-


hambatan yang terjadi, sehingga hal tersebut tidak bisa dicegah keberadaannya, antara lain :

1. Terus meningkatnya jumlah penduduk Kabupaten Sragen dari tahun ketahun


berdasarkan sensus penduduk tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Sragen adalah
863.997 jiwa, tahun 2012 jumlah penduduk 868.090 jiwa, tahun 2013 berjumlah
871.991 jiwa, tahun 2014 berjumlah 875.615 jiwa, dan pada tahun 2015 berjumlah
879.027 jiwa. (BPS Sragen) Dan jumlah pendudukpun selalu bertambah setiap
tahunnya. Secara tidak langsung berdampak pada 11 pemenuhan akan kebutuhan
pemukiman baru sehingga menggunakan lahan pertanian untuk dialih fungsikan
menjadi pemukiman.
2. Kurangnya kesadaran para masyarakat akan pentingnya lahan pertanian. Hal ini
dipengaruhi oleh informasi dan pengetahuan yang masyarakat dapatkan tentang
potensi sektor pertanian dan juga pengetahuan tentang bahaya alih fungsi lahan
pertanian. Sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kediri melalui
Dinas Pertanian kurang tepat mencapai sasaran kepada seluruh lapisan masyarakat.
3. Terus meningkatnya dunia industri di Kabupaten Sragen sehingga memanfaatkan
lahan pertanian sebagai tempat mendirikan industri. Karena para pengusaha lebih
memilih menjadikan Kabupaten Sragen sebagai tempat mendirikan indutri disebabkan
oleh perbedaan UMR dengan kabupaten dan kota seperti Surakarta, karanganyar,
sukoharjo, Semarang, dll. UMR di Kabupaten Sragen relatif lebih murah
dibandingkan dengan kabupaten/kota besar lainnya.
4. Tidak maksimalnya Dinas Pekerjaan Umum dan penataan ruang dalam menjalankan
fungsi koordinasi dengan dinas lain yang berkaitan dengan peralihan fungsi lahan
tersebut, sehingga penegakan hukumnya pun juga belum maksimal di laksanakan.
5. Lemahnya ekonomi masyarakat, sehingga masih banyak terjadi peralihan fungsi lahan
dikarenakan mereka hanya mempunyai sejenis lahan tersebut, dan terpaksa harus
digunakan sebagai perumahan.6

DAFTAR PUSTAKA

6
Jurnal, Dwi Retnowati, Upaya Pemerintah Mempertahankan Fungsi Lahan Tanah Pertanian
Dikabupaten Sragen Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan, Universitas Sebelas Maret
Surakarta Halaman 7

Jurnal, Triana Rejekiningsih, Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Pada Negara Hukum (Suatu
Tinjauan Dari Teori, Yuridis Dan Penerapannya Di Indonesia), Universitas Sebelas Maret

file:///C:/Users/WINDOWS%2010pro/Downloads/8744-15930-2-PB%20(2).pdf

http://digilib.unila.ac.id/9255/3/BAB%202.pdf

http://www.wcl.american.edu/journal/lawrev/10/nobleman.pdf

Anda mungkin juga menyukai