Anda di halaman 1dari 17

EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL

Ekonomi Politik Internasional menurut DR.Mohtar Mas’oed dalam bukunya Ekonomi


Politik Internasional tahun 1989/1990,didefinisikan sebagai studi tentang saling
hubungan antara ekonomi dan politik dalam arena internasional,yaitu bagaimana soal-
soal ekonomi seperti inflasi,defisit neraca perdagangan atau pembayaran,penanaman
modal asing, efisiensi produksi,dsb.berkaitan dengan urusan politik internasional dan
politik domestik.

Mohtar Mas’oed menambahkan lagi bahwa dalam pengertian yang lebih spesifik bisa
disebutkan bahwa fokus perhatian ekonomi politik internasional adalah hubungan antara
dinamika pasar dengan domestik keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pasar itu di
tingkat domestik maupun internasional. Ini berarti bahwa studi ekonomi politik
internasional adalah studi tentang hubungan antara politik domestik di berbagai negara
dengan ekonomi internasional; atau sebaliknya, ini adalah studi tentang dampak kekuatan
pasar yang beroperasi dalam ekonomi internasional terhadap politik domestik negara-
negara tertentu.

Sebagai contoh dapat kita lihat bagaimana gejolak harga minyak dunia ketika Amerika
Serikat mengancam Iran jika tetap berkuat untuk melakukan pengayaan uranium di
wilayah Iran. Walaupun Iran telah berkeras dan berjanji bahwa pengayaan uranium yang
digalakkan oleh pemerintahnya, murni untuk tujuan damai,Amerika Serikat tetap tidak
percaya. Akibatnya Amerika Serikat mengancam akan melakukan tindakan seperti yang
dilakukan olehnya terhadap Irak dan Afghanistan.

Akibat ancaman ini harga minyak mentah dunia sempat melonjak naik menjadi 72 dolar
AS per barel-nya untuk pertama kali. Hal ini disebabkan adanya ancaman dari Iran akan
membatasi aliran minyak dari ladang-ladang minyaknya, jika krisis Teheran semakin
memburuk. Tentu saja keadaan ini dijadikan serangan balik oleh Iran agar Amerika
Serikat tidak berkeras menyerang negaranya. Karena jika ini terjadi,Industri Amerika
Serikat akan terancam,mengingat banyaknya konsumsi minyah mentah oleh indsutri di
Amerika Serikat. Selain itu karena Iran juga adalah produsen minyak mentah nomor
empat terbesar di dunia, maka serangan terhadap Iran akan berpengaruh juga ke seluruh
dunia.

Sebaliknya harga minyak mentah yang meroket naik tersebut mengakibatkan ikut
naiknya pula harga kebutuhan pokok di Indonesia. Keadaan ini dikarenakan
pendistribusian kebutuhan pokok seperti beras, sayur mayur, dan sebagainya
menggunakan kenderaaan sebagai alat transportasi dan alat transportasi itu membutuhkan
bensin sebagai pembantu gerak dari mesin kenderaan. Dengan naiknya harga kebutuhan
pokok ini, mengakibatkan keadaan masyarakat semakin sengsara. Karena naiknya harga
kebutuhan pokok, tidak disertai dengan kenaikan pendapatan masyarakat.

Keadaan masyarakat yang resah dan tidak sejahtera akan menimbulkanberbagai


masalah.Masalah-masalah itu diantaranya adalah meningkatnya kemiskinan, kriminalitas
dan sebagainya. Kondisi politik negara juga akan ikut goyah, karena masyarakat tidak
sejahtera dan timbul huru-hara di mana-mana.

Dengan melihat adanya dampak timbal baik antara keadaan politik sutau negara atau
kawasan dengan keadaan ekonomi,maka kita perlu untuk mempelajari lebih mendalam
mata kuliah Ekonomi Politik Internasional ( EPI ). Hal ini penting agar ke depan kita bisa
menanggulangi akibat dari tidak stabilnya kondisi politik dunia saat ini,supaya keadaan
ekonomi kita bisa menjadi lebih baik di masa yang akan datang.

ditulis oleh bigloser pada pukul 2:30:00 PM


Tinjauan Konseptual atas Ekonomi
Politik Internasional
Juli 10, 2006 oleh Moderator

Oleh Asep Setiawan


Alumnus University of Birmingham dan Universitas Padjadjaran

Pendahuluan
Makin banyak kasus dalam hubungan internasional masalah ekonomi dan politik
terkait erat. Bantuan luar negeri yang diberikan kepada Indonesia dan negara
berkembang lainnya tak lepas dari kepentingan politik lembaga keuangan
internasional dimana para pemegang sahamnya didominasi dan dikuasai negara
Barat. Begitu masalah politik dalam negeri muncul maka Dana Moneter
Internasional dan Bank Dunia memberikan peringatan agar reformasi dilanjutkan
atau bantuan dihentikan.
Ancaman seperti itu tidak hanya diterima Indonesia tetapi juga negara besar
seperti Cina dimana perlakukan dari Amerika Serikat menentukan perdagangan
kedua negara. Ekspor Cina ke AS dikaitkan dengan kepentingan politik. Bila
terjadi pelanggaran hak asasi manusia maka dengan serta merta AS
mengancam akan meninjau lagi kebijakan perdagangannya kepada Cina.
Ketika Irak melancarkan serangan kepada Kuwait dan bahkan hingga kini ketika
Irak sudah mundur dari Kuwait, Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya masih
memberlakukan embargo perdagangan sebagai hukuman atas tindakan politik
dan militer pemerintah pimpinan Presiden Saddam Hussein. Demikian pula Iran
mengalami embargo perdagangan dari AS.
Kasus-kasus itu makin menunjukkan bahwa seusai Perang Dingin, masalah
ekonomi politik internasional makin kental dalam hubungan antar bangsa dan
bahkan antar benua. Ketika Indonesia dianggap tidak bisa mengendalikan
keamanan di Timor Timur pasca jajak pendapat, IMF langsung menghentikan
perundingan pemberian bantuan. Demikian pula Amerika Serikat menghentikan
kerja sama di bidang militer. Ini makin jelas bahwa tidak ada tindakan politik
bebas dari kepentingan ekonomi dan tidak ada pula sebuah kebijakan ekonomi
lepas dari kepentingan politik.
Makalah akan dibuka dengan tinjauan tentang pengertian dan cakupan studi
ekonomi politik internasional. Bagian kedua akan mengulas perjalanan historis
pemikiran ekonomi politik internasional.
Pengertian
Secara tradisional, demikian kata James E Alt dan Alberto Alesina (1996),
perilaku ekonomi berarti orang yang memaksimalkan nilai tukar sedangkan
perilaku politik menyangkut pemberian suara dan bergabung dengan kelompok
kepentingan.Eksistensi paralel dan eksistensi bersama “negara” dan “pasar”
dalam dunia modern ini melahirkan apa yang dinamakan “ekonomi politik”.
Tanpa kedua unsur itu takkan ada ekonomi politik.
Menurut Robert Gilpin (1987)[1] ketiadaan negara, mekanisme dan kekuatan
pasar akan menentukan kegiatan ekonomi. Hal ini akan menjadi fenomena
ekonomi murni. Sebaliknya tiadanya pasar, negara sendiri akan mengalokasikan
sumber-sumber ekonomi. Inilah dunia ilmuwan politik.
Meskipun tak ada dunia muncul dalam bentuk murni, pengaruh relatif negara
atau pasar memberikan perubahan sepanjang waktu dan dalam lingkungan yang
berbeda.
Menurut Gilpin, istilah ekonomi politik memiliki ambiguitas. Adam Smith dan
ekonom klasik menggunakannya untuk mengartikan apa yang sekarang disebut
ilmu ekonomi. Baru-baru ini, sejumlah pakar seperti Garu Becker, Anthony
Downs dan Bruno Frey mendefinisikan ekonomi politik sebagai aplikasi
metodologi formal ekonomi yang disebut model aktor rasional, untuk semua tipe
perilaku manusia.
Pakar lain menggunakan istilah ekonomi politik ini dengan pengertian
penggunaan teori ekonomi khusus untuk menjelaskan perilaku sosial,
permainan, tindakan kolektif dan teori Marxist. Sedangkan pakar lainnya
memakai istilah ekonomi politik untuk merujuk pada masalah yang dihasilkan
oleh interaksi kegiatan ekonomi dan politik.
Gilpin mengistilahkan ekonomi politik untuk mengindikasikan serangkaian
masalah yang dikaji dengan campuran yang lengkap metode analitik dan
perspektif teoritis. Sedangkan fokus interaksi itu adalah aktivitas manusia antara
negara dan pasar.
Formulasi ini sebenarnya tidak baru. Georg Hegel dalam Philosophy of Right
sudah mengkaji hubungan antara negara dan pasar. Charles Lindblom (1977)
mengusulkan “pertukaran” dan “otoritas” sebagai konsep utama ekonomi politik.
Peter Blau (1964) menggunakan “pertukaran” dan “paksaan”; Charles
Kindleberger (1970) dan David Baldwin (1971) merujuk pada “kekuasaan” dan
“uang”; Klaus Knorr (1973) memanfaatkan istilah “kekuasaan” dan “kekayaan”.
Sedangkan Oliver Williamson (1975) secara kontras memakai istilah “pasar” dan
“hirarki”, Richard Rosecrance (1986) mengkontraskan antara “pasar” dan
“teritorialitas”.
Meskipun negara menyangkut politik dan pasar menyangkut ekonomi sebagai
sesuatu yang terpisah dalam dunia modern, namun tak bisa dipisahkan secara
total. Negara mempengaruhi hasil dari aktivitas pasar dengan menentukan
karakter dan distribusi hak-hak properti serta aturan yang menguasai perilaku
ekonomi. Banyak orang yang yakin bahwa negara dapat dan bisa mempengaruhi
kekuatan pasar. Oleh karena itu secara signifikan mempengaruhi kegiatan
ekonomi. Pasar itu sendiri adalah sumber kekuasaan yang mempengaruhi
keputusan politik. Dependensi ekonomi mengukuhkan hubungan kekuasaan
merupakan ciri fundamental dunia ekonomi kontemporer.
Untuk lebih jelasnya, Balaam (1997)[2] menguraikan ekonomi politik
internasional dari untaian pengertian per kata. Internasional, katanya, merujuk
pada penanganan masalah yang berkaitan dengan lintas batas nasional dan
hubungan diantara dua atau lebih dari dua negara. Sedangkan istilah politik
merujuk pada keterlibatan kekuasaan negara untuk membuat keputusan tentang
siapa yang dapat, apa, kapan dan bagaimana dalam sebuah masyarakat.
Politik adalah proses pilihan kolektif, kompetisi kepentingan dan nilai-nilai
diantara aktor berbeda termasuk individu, kelompok, bisnis dan partai politik.
Proses politik adalah kompleks dan berlapis-lapis yang melibatkan negara
nasional, hubungan bilateral diantara negara bangsa dan banyak organisasi
internasionnal, aliansi regional dan kesepakatan global.
Pada akhirnya ekonomi politik internasional adalah menyangkut ekonomi yang
berarti sesuatu yang berkaitan dengan cara bagaimana sumber-sumber yang
langka dialokasikan untuk kegunaan yang berbeda-beda dan didistriusikan
diantara individu melalui proses pasar yang desentralisasi. Analisa ekonomi dan
analisa politik, tulis Balaam, sering melihat kepada masalah yang sama namun
analisa ekonomi berfokus tidak banyak kepada soal kekuasaan dan kepentingan
nasional Tetapi kepada masalah pendapatan dan kekayaan serta kepentingan
individual. Oleh sebab itu ekonomi politik, merupakan kombinasi dua cara
memandang secara utuh terhadap dunia dalam rangka mengetahui karakter
fundamental masyarakat.
Studi ekonomi politik internasional merupakan ilmu sosial yang didasarkan pada
satu kerangka masalah, isu dan kejadian dimana unsur ekononomi, politik dan
internasional terkait dan tumpang tindih sehingga menciptakan pola interaksi
yang kaya. Dunia merupakan sebuah tempat yang kompleks yang dihubungkan
dengan berbagai unsur yang saling berpengaruh. Mulai dari tingkat individu, elit
politik-ekonomi sampai tingkat nasional bahkan tingkat kawasan melahirkan
interaksi yang tidak sederhana. Kontak antar perbatasan dan antar nilai yang
berbeda bahkan antar kepentingan yang beraneka ragam menimbulkan berbagai
masalah.
Ilmu sosial berusaha untuk memahami pola dan karakter kondisi manusia di
muka bumi dengan menganalisa penyebab dan sumber konflik serta bagaimana
mereka menyelesaikannya. Studi ekonomi politik internasional ikut memberi andil
dalam memahami ketegangan yang melibatkan kepentingan ekonomi dan politik
antar bangsa. Menurut Balaam, ekonomi politik adalah bidang studi yang
menganalisa masalah yang muncul dari eksistensi paralel dan interaksi dinamik
“negara” dan “pasar” di dunia modern.
Interaksi ini yang mendefinsikan ekonomi politik dapat dilukiskan dalam sejumlah
cara. Untuk tingkat tertentu, ekonomi politik berfokus pada konflik fundamental
antara kepentingan individu dan kepentingan lebih luas masyarakat dimana
individu eksis.
Bisa juga dijelaskan bahwa ekonomi politik merupakan studi ketegangan antara
market (pasar) dimana individu terlibat dalam kegiatan untuk kepentingan sendiri
dan negara dimana individu yang sama melakukan tindakan kolektif yang
berlaku demi kepentingan nasional atau kepentingan yang lebih luas yang
didefinsikan masyarakat.[3]
“Negara” merupakan realisasi dari tindakan dan keputusan kolektif. Negara
sering diartikan lembaga-lembaga politik negara bangsa modern, kawasan
geografis dengan hubungan yang relatif koheren sistem pemerintah. Negara
bangsa itu sendiri merupakan sebuah lembaga legal dengan ruang lingkup jelas
teritorial dan penduduk serta pemernitah yang mampu memikul kedaulatan.
Misalnya wilayah Indonesia, rakyat Indonesia dan pemerintah Indonesia.
Namun demikian kita juga perlu mempertimbangkan secara lebih luas pengertian
“negara” dengan sesuatu yang kolektif dan perilaku politik yang terjadi pada
banyak tingkat. Uni Eropa, misalnya, bukanlah sebuah negara-bangsa. Uni
Eropa adalah organisasi negara bangsa. Namun demikian organisasi ini
membuat pilihan dan kebijakan yang dapat mempengaruhi seluruh kelompok
negara bangsa dan penduduknya sehingga seperti sebuah negara.
Sementara itu market (pasar) merupakan realisasi tindakan dan keputusan
individu. Pasar biasanya diartikan lembaga-lembaga ekonomi kapitalisme
modern. Pasar merupakan lingkungan tindakan manusia yang didominasi oleh
kepentingan individu dan dikondisikan oleh kekuatan kompetisi. Kekuatan pasar
memotivasi dan mengkondisikan perilaku manusia. Individu didorong oleh
kepentingan pribadi untuk memproduksi dan mensuplai barang dan jasa yang
langka atau mengupayakan tawar menawar produk atau pekerjaan bergaji tinggi.
Mereka didorong oleh kekuatan kompetisi pasar untuk membuat produk lebih
baik,lebih murah atau lebih menarik.
Masyarakat terdiri dari unsur negara dan masyarakat. Negara dan masyarakat
biasanya merefleksikan sejarah, budaya dan nilai-nilai sistem sosialHubungan
antara ekonomi politik itu dapat dilukiskan sebagai berikut
Masyarakat
Politik
Ekonomi
Ekonomi Politik Internasional
Eksistensi paralel antara negara (politik) dan pasar (ekonomi) menciptakan
ketegangan fundamental yang memberikan ciri pada ekonomi politik. Negara dan
pasar tidak selalu konflik namun mereka tumpang tindih sehingga ketegangan
fundamentalnya tampak.
Menurut Balaam, ekonomi politik adalah disiplin intelektual yang menyelidiki
hubungan yang tinggi antara ekonomi dan politik. Ekonomi politik internasional
adalah kelanjutan dari penyelidikan di tingkat internasional. Ekonomi politik jelas
bukan hanya cara mempelajari atau memahami
Pemikiran ekonomi politik telah berkembang sejak beberapa abad lalu. Kini
aktualitas ekonomi politik semakin kuat karena pada kenyataannya kehidupan
ekonomi tak bisa dipisahkan dari kehidupan politik. Demikian pula sebaliknya,
keputusan politik banyak yang berlatar belakang kepentingan ekonomi.
Fenomena itu sangat kuat baik di negara maju maupun negara berkembang.
Kaitan ekonomi politik
Zaman Klasik Baru (Pertengahan Abad ke-19 sampai medio Abad ke-20)
Pada zaman klasik baru perkembangan ekonomi politik masih didominasi
pemikiran Mazhab Klasik. Namun muncul pula pemikiran lain yang berbeda
dengan aliran Klasik terutama setelah Marx dan Engels membuat teori-teori
mereka tentang sistem ekonomi. Namun dalam Zaman Klasik Baru yang dapat
diartikan sebagai masa jayanya pemikir-pemikir Aliran Klasik gaya baru mereka
lainnya.Tokh-tokoh pemikir zaman ini antara lain : Herman Heinrich (1810-1858),
Karl Merger (1841-1921), Eugen von Bohn Bawerk (1851-1914) dan Friedrich
von Wieser (1851-1926).
Perbedaan antara pemikiran Mazhab Klasik dan Mazhab Neo Klasik terletak
pada pola pendekatan dan metodologi yang dikembangkan. Pusat studi mulai
melebar dari Jerman, Inggris, Austria dan Amerika Serikat. Tidak semua pemikir
memberi konotasi ekonomi politik sebagai kajian mereka karena kebanyakan
teori yang diungkapkan berupa prinsip-prinsip ekonomi konvensional atau hal-hal
yang paradoksal dengan studi ekonomi politik akibat keengganan mereka
menggunakan menyebut istilah tersebut.Buah pemikiran mereka dapat dijadikan
tolok ukur tentang polemik yang terjadi mengenai eksistensi ekonomi politik yang
mulai popular abad ke-20. Tokoh-tokoh yang mengembangkan studi
pembangunan masyarakat yang tak lupa dari pemikiran ekonomi adalah Lucian
Pye, La Palombara, David Easton, Gabriel Almond, Max Weber, Huntington dan
Hans J Morgenthau.
Zaman Klasik Baru II
Mazhab ini muncul menjadi penyempurna Mazhab Klasik Baru. Tokoh
pemikirnya antara lain Piero Sraffa (1898-1983), Joan V Robinson (1903-1983)
dan edward H Chamberlain (1899-1967). Mazhab ini memberikan sumbangan
besar dalam lapangan ekonomi politik berupa teori-teori pembaharuan mazhab
pasar, masalah-masalah ekonomi kesejahteraan yang menyoroti segi normatif
dari mekanisme pasar. Mazhab ini menyorot segi moral dari monopoli dimana
adanya pemerasan terhadap tenaga kerja karena praktek itu menimbulkan
kesengsaraan pihak lain.Pendapat Neo Klasik antara lain :
1. Prinsip akumulasi kapital sebagai suatu faktor penting
2. Perkembangan perekonomian sebagai hasil proses bertahap, harmonis dan
kumulatif.
3. Optimisme terhadap perkembangan perekonomian.
4. Adanya aspek internasional dari perkembangan ekonomi.Menyangkut aspek
internasional perkembangan ekonomi suatu negara mengalami beberapa tahap:
a. Mula-mula negara meminjam modal .
b. Setelah melakukan produktivitas akan membayar dividen dan bunga
pinjaman.
c. Peningkatan hasil negara dan sebagian melunasi pinjaman modal.
d. Menerima dividen dan bunga atau surplus.
e. Pemberi pinjaman.
Zaman Keynesian (Pertengahan Abad ke-20)
Mazhab ini dipelopori John Maynard Keynes (1883-1946), seorang pakar filsafat
dari Cambridge University, Inggris. Ciri-ciri Mazhab ini adalah :
1. Keadaan ekonomi keseluruhannya merupakan fokus untuk dianalisis.
2. Pendobrakan atas ilmu ekonomi klasik yang berasumsi bahwa sumber
ekonomi yang mengatur dirinya sendiri itu digunakan seluruhnya dan dianggap
stabil.
3. Dalam perekonomian kapitalis dapat berkembang ketidakseimbangan yang
serius dan pengangguran serta depresi jangka panjang.Sementara itu ikhtisar
umum tentang ekonomi politik antara lain :
1. Tidak berlaku lagi dalil kuat dari pemikiran Mazhab Klasik yang menyangkut
negara dan ekonomi yang mengejar tujuan masing-masing.
2. Penguasa politik dapat mempengaruhi ekonomi melalui variabel ekonomi.
3. Analisis ekonomi dan kebijakan negara yang berpola intervensi aktif.
4. Kebajika individu dalam tabungan masyarkat dapat merugikan kepentingan
umum.
Zaman Post Keynesian
Para pemikirnya bertujuan memperluas cakrawala untuk analisis jangka panjang.
1. Terdapat syarat-syarat penting yang diperlukan untuk mempertahankan
perkembangan yang mantap dari pendapatan pada tingkat full employment
income dengan tidak mengalami deflasi maupun implasi
2. Apakah pendapatan itu benar-benar bertambah pada tingkat sedemikian rupa
sehingga dapat mencegah terjadinya kemacetan yang lama atau inflasi secara
terus menerus.

[1] Robert Gilpin The Political Economy of International Relations. NJ: Princeton
University Press, 1987, hal. 8
[2] David N Balaam and Michael Veseth, Introduction to International Political
Economy. New Jersey: Prentice Hall, 1997, hal. 4.
[3] Ibid., hal. 6.

Ditulis dalam Ekonomi Politik | 31 Komentar

EKONOMI POLITIK ANGGARAN DAN STRATEGI OPTIMALISASI PAD

Oleh Drs. Andy Fefta Wijaya, MDA, PhD


Keuangan daerah bisa dilihat dari dua sisi yang saling mengisi, yaitu sisi pendapatan dan
sisi penganggaran. Paper singkat ini akan membahas tentang perlunya politik anggaran
berbasis kinerja yang berorientasi outcome dan stakeholder. Oleh karena itu strategi
optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) bukanlah semata-mata ditujukan untuk
memperoleh sebesar-besarnya pemasukan bagi kas daerah, tetapi juga memperhatikan
implikasi sosial dan lingkungannya kepada masyarakat.
Studi tentang ekonomi politik dan politik ekonomi mempunyai perbedaan. Yang pertama
adalah membahas tentang permasalahan ekonomi yang dikaji dari kacamata politik. Yang
kedua adalah permasalahan politik yang dikaji dari kacamata ekonomi atau melalui
pendekatan ‘public choice’ (pilihan publik), seperti melihat pemilu legislative dari
analisis ‘market’ (pasar) dimana ‘demand’ (pemilih) dan ‘supply’ (yang dipilih)
ditentukan oleh oleh ‘price’ (janji politik).
Pembahasan paper ini adalah dalam ruang lingkup yang pertama disebutkan diatas atau
‘ekonomi politik’ dari anggaran pemerintah. Jadi lokusnya (tempat lokasi kajian) adalah
anggaran, sedangkan fokusnya adalah politik. Politik pemerintahan lokal walaupun dalam
aspek-aspek tertentu berciri khas lokal/ kedaerahan tetap mengacu pada koridor Nasional
Negara kesatuan RI. Sebagai contoh legislasi nasional yang menjadi acuan dalam
penganggaran adalah UU RI Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam
pasal 3 disebutkan:
Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.

Empat point terakhir dalam pasal ini apabila diimplementasikan dengan baik (‘good
governance’) akan besar kontribusinya pada stakeholders external atau masyarakat.
‘Good governance’ atau bisa diIndonesiakan menjadi tatalaksana pemerintahan yang baik
menyarankan partisipasi nyata ketiga sektor yaitu sektor pemerintah, sektor privat dan
sektor masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pelayanan publik.
Pelibatan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik belum tentu mencerminkan
spirit ‘good governance’.
Beberapa kasus mengindikasikan pelibatan masyarakat hanyalah untuk memenuhi
standard dan prosedur kerja pengambilan keputusan publik, ataupun sekedar justifikasi
bahwa masyarakat telah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Karena
bisa saja keputusan-keputusan publik tetap memuat misi pesanan dari para elit
pemerintahan atau politik namun belum mencerminkan kepentingan masyarakat ataupun
kelompok-kelompok masyarakat marginal. Oleh karena itu prinsip efektif, transparan,
dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan perlu terus
dievaluasi secara berkesinambungan.
Dalam petunjuk teknis penyelesaian daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) tahun
anggaran 2005 disebutkan asas-asas baru penyusunan anggaran yaitu memenuhi kaidah2:
asas akuntabilitas yang berorientasi pada hasil, asas profesionalitas, asas keterbukaan
dalam pengelolaan keuangan Negara, dan asas pemeriksaaan keuangan oleh badan
pemeriksa yang bebas yang mandiri.
Asas akuntabilitas yang berorientasi hasil masih membutuhkan waktu untuk
penyempurnaannya. Oleh karena itu dalam petunjuk umum penyelesaian DIPA Bab I
Pendahuluan disebutkan bahwa:
‘Penganggaran berbasis kinerja pada TA 2003, masih berupa semangat (spirit) untuk
memulai pendektan berbasis kinerja yaitu dengan mencantumkan sasaran kegiatan berupa
keluaran dan sasaran program berupa hasil. Namun demikian perhitungan alokasi
anggaran belum didasarkan atas jumlah keluaran atau hasil yang direncanakan.
Perhitungan alokasi dana yang digunakan untuk masing2 kegiatan masih didasarkan atas
masukan (input), sebagai contoh: jumlah pegawai, jumlah barang inventaris maupun
perhitungan indeks untuk masing-masing masukan’.

Dokumen formal ini menggarisbawahi bahwa anggaran berbasis kinerja yang berorientasi
hasil belum sepenuhnya diterapkan. Paling tidak ada beberapa hal yang menjadi kendala
penerapannya. Pertama, system dan prosedur penganggaran saat ini masih design lama
oleh karena itu dikatakan diatas bahwa system penganggaran masih didasarkan pada
masukan, belum pada hasil. Kedua, skill, pengetahuan, kesiapan mental dan budaya
politik para aparat dilembaga eksekutif dan legislatif masih terus dalam proses ‘learning’
untuk menerima dan mempraktekan sepenuhnya pendekatan anggaran yang berbasis
kinerja ini. Ketiga, perlu pengembangan supra struktur pemerintahan yang memberikan
ruang fungsi pengawasan anggaran bukanlah monopoli lembaga2 pemerintahan, tetapi
memberikan ruang kepada publik untuk mempunyai akses mengawasi dan mengevaluasi
anggaran pemerintahan. Rancangan UU kebebasan mendapatkan informasi publik
merupakan suatu terobosan yang cukup riil dalam mengupayakan fungsi pengawasan
public mendapatkan akar payung hukumnya.
Penerapan anggaran yang berbasis kinerja sebenarnya ditujukan untuk menjamin agar
setiap sen uang yang dikeluarkan adalah untuk membiayai hasil dari kegiatan publik
tersebut. Bukannya dana terkuras untuk membiayai input (termasuk birokrat dan
birokrasi) dan hasilnya belum tentu bermanfaat bagi publik. Dengan kata lain hasil
tersebut benar-benar nyata dan dapat dirasakan manfaatnya bagi publik pengguna jasa
layanan. Keberhasilan dalam penerapan suatu strategi anggaran publik yang dilakukan
oleh suatu dinas pemerintahan akan memungkinkan program publik tersebut didanai dan
diperluas cakupannya baik secara horizontal dan vertical. Sedangkan kegagalan dalam
menerapkan suatu strategi anggaran publik perlu mendapatkan kaji ulang terhadap
strategi tersebut.
Apabila strategi program tersebut sebenarnya baik dan yang menjadi sebab kegagalan
adalah faktor lainnya, seperti skill sumber daya manusianya yang rendah dll, maka masih
memungkinkan program tersebut masih dibiayai dengan tambahan memperbaiki skill
aparatur pelaksana. Namun, jika strategi program tersebut memang yang kurang baik,
maka strategi program yang baru dituntut untuk dikembangkan untuk kemudian
diputuskan pendanaannya. Oleh karena dalam sistem anggaran berbasis kinerja dan
beorientasi hasil kreatifitas aparat pemerintahan dituntut lebih.
Dasar penyusuan anggaran adalah rencana kerja hasil penjabaran perencanaan strategis
yang juga memuat visi, misi, tujuan, program dan kegiatan. Kemudian indicator-indikator
kinerja disusun sebagai alat detektsi untuk mengevaluasi suatu program masih sejalan
dengan visi, misi dan tujuan dari program tersebut. Indikator-indikator kinerja sendiri
merupakan perangkat yang perlu terus dievaluasi apakah indikator-indikator tersebut
benar-benar mengevaluasi program yang akan dan sedang dievaluasi. Dalam penerapan
awal anggaran yang berbasis kinerja ini sangat dimungkinkan indikator-indikator yang
disusun kurang berhubungan dengan program yang ada. Seiring dengan semakin
meningkatnya skill, pengetahuan dan pengalaman aparatur dalam system anggaran
berbasis kinerja maka kevalidan dari indikator-indikator tersebut akan semakin tinggi.
Anggaran juga berkaitan erat dengan pendapatan daerah. Ketergantungan yang tinggi
terhadap subsidi pemerintah pusat merupakan kondisi yang kurang kondusif bagi suatu
pemerintahan daerah. Kecilnya anggaran pembangunan membuat fungsi sosial ekonomi-
politik dari anggaran tersebut semakin minim. Namun menggenjot pendapatan daerah
juga perlu memperhatikan implikasi sosial politis dan lingkungannya, disamping
implikasi ekonominya. Bisa saja pendapatan pemerintah meningkat secara drastik karena
semakin dipertinggi dan diperluasnya bermacam-macam tipe pungutan restibusi, namun
hal ini dapat berakibat ekonomi biaya tinggi, karena naiknya harga barang-barang akan
menyebabkan inflasi. Daerah ini juga menjadi kurang kondusif bagi para calon investor
yang ingin ikut berusaha diwilayah ini dan menyebabkan hilangnya kesempatan kerja
yang tentunya bermanfaat mengatasi masalah sosial didaerah ini.
Optimalisasi PAD bukanlah semata-mata diartikan meningkatkan Rupiah kedalam kas
daerah, tetapi optimalisasi PAD seyogyanya dilihat sebagai strategi mengoptimalkan
fungsi PAD sebagai penyeimbang anggaran berbasis kinerja yang berorientasi outcome
dan stakeholders. Sinergi fungsi pendapatan dan penganggaran adalah ditujukan pada
kegiatan yang benar-benar membawa hasil yang positif bagi daerah tersebut (pemerintah,
privat dan masyarakat). Oleh karena itu struktur pembiayaan dan penganggaran terutama
untuk program pembanguan tidak selalu tertuju pada kas keuangan daerah, namun dapat
digunakan strategi-setrategi partnership atau kemitraan antar pemerintah, privat dan
masyarakat dalam koridor ‘good governance’. Maksudnya unsur masyarakat berfungsi
aktif, dan dijamin hak dan kewajiban dalam proses penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi
program-program kemitraan tersebut.

EKONOMI POLITIK UNTUK RAKYAT

Oleh Didin S Damanhuri


(Guru Besar Ekonomi-Politik, FEM IPB)

Kalau ditanyakan apa bedanya antara 'ekonomi arus tengah' (Neoliberalisme) dengan
Ekonomi-Politik Indonesia untuk Rakyat (baca: EPI-R). Secara sederhana Ekonomi
Neolib sangat percaya pada instrumen pasar sebagai solusi untuk menyelesaikan problem
ekonomi dan sosial serta menempatkan kaum pemilik modal sebagai agen terpenting
untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Baru dengan keberhasilan mencapai pertumbuhan nantinya diharapkan terjadi penetesan


ke bawah (trickle down effect ) untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, pengangguran,
dan ketimpangan. Sementara, EPI-R lebih percaya kepada direct attack to proverty,
unemployment, and income inequality alleviation di mana peran negara yang efektif,
mekanisme pasar yang fair , swasta (kaum modal) yang punya tanggung jawab sosial
serta mendorong gerakan koperasi, serikat buruh, juga tani dan nelayan yang secara
sinergi memperjuangkan keadilan sosial dan menghindari hegemoni kaum modal.

Hingga sekarang, belum ada negara sebagai model neolib yang berhasil. Buktinya AS
sebagai surga neolib hingga kini dihinggapi sekitar 22 persen kemiskinan menurut garis
kemkiskinan mereka disertai ketimpangan yang sangat mencolok, di mana kelompok 40
persen termiskin hanya memperoleh kurang 17 persen dari PDB. Sementara Uni Eropa,
khususnya Eropa Utara dengan PDB per kapita melebihi AS, 40 persen warga miskinnya
memperoleh lebih dari 22 persen PDB (menurut Bank Dunia mesuk kategori merata).

Model Eropa (Utara) ini bukan laissez faire (model neolib), karena kuatnya Civil
Society, serikat buruh, gerakan koperasi, dan sistem jaminan sosial yang menjamin
kesejahteraan kaum dhuafa. Demikian juga, Model Jepang yang sama level kesejahteraan
kaum buruh dan tani serta masyarakat umumnya seperti gambaran di Eropa utara di atas.

Indonesia secara normatif (konstitusi UUD 45) memiliki prinsip-prinsip EPI-R yang juga
menyempal ( heterodox ), baik terhadap model neolib maupun sosialis. Tapi, sejak awal
kaum ekonom yang mengisi wacana maupun program aksi dan kebijakan dalam
pemerintahan umumnya masih jauh dari orientasi konstitusi. Meskipun, sejak awal pun
terdapat para pejuang EPI-R. Sengaja istilahnya tak menyebut sekadar ekonomi,
berhubung kompleksitas yang terjadi di dalam tubuh bangsa ini. Sehingga, Prof Sayogyo
pernah membuat adagium terkenal: 'jika mau melihat ekonomi Indonesia, lihatlah
politiknya. Sementara kalau mau melihat politik, lihatlah ekonominya'.

Dalam konteks ini, saya menyambut sangat antusias deklarasi terbentuknya Asosiasi
Ekonomi-Politik Indonesia (AEPI) tanggal 9 Februari 2010 di Jakarta. Dalam deklarasi
tersebut, asosiasi ini bersifat multidisiplin (tak hanya kaum ilmuwan berbagai disiplin,
juga LSM dan para pemberdaya masyarakat) yang memperjuangkan langsung
kesejahteraan rakyat berbasiskan Konstitusi UUD 45 dengan menentang segala macam
bentuk penjajahan ekonomi dan politik oleh pihak asing (termasuk ketergantungan
kepada utang luar negeri yang berkelanjutan).

Dalam sejarahnya saya kira kita mengenal founding father EPI-R, seperti Mohammad
Natsir sebagai perdana menteri bersama Sumitro Djojohadikusumo sebagai menteri
perdagangan, yang melakukan aksi kebijakan 'politik Benteng' (1950-55), meski tidak
sepenuhnya berhasil adalah contoh negarawan yang berorientasi EPI-R serta berupaya
merealisasikan prinsip-prinsip Konstitusi-UUD 45.

Juga, kita mencatat Wilopo SH yang mengkritik para ekonom yang dikemudian hari
menjadi teknokrat 'Mafia Barkeley' Orde Baru (Widjojo Nitisastro, Emil Salim dan
kawan-kawan) yang dianggap tak berorientasi dan tak berupaya melaksanakan UUD 45.
Dan, tentu saja Bapak EPI-R yang menjadi Tokoh di balik penyusunan pasal-pasal
ekonomi UUD 45 (terutama pasal 27, 33, dan 34) adalah Mohammad Hatta yang bukan
hanya sebagai Administrator, Pemikir, Ilmuwan, juga Negarawan yang mengkritik
Presiden Soeharto waktu itu (1959-65), yang tak melaksanakan prinsip demokrasi serta
tak menjalankan program kesejahteraan ekonomi rakyat sehingga oleh Benyamin Higgin
(Ekonom Kanada), Indonesia termasuk negara termiskin di dunia.

Kemudian pada zaman Orba, yang kebijakan ekonominya diisi para Teknokrat Ekonomi
Liberal, meskipun terdapat catatan swasembada beras, pertumbuhan ekonomi rata-rata 7
persen, dan stabilitas politik, namun ketimpangan sangat buruk, konglomerasi dengan
memarginalkan ekonomi rakyat serta Rezim Otoritarian yang penuh KKN (sekitar 30
hingga 50 persen APBN-APBN selama 30 tahun). Maka, dicatat terdapat para pejuang-
cendekiawaan EPI-R seperti Prof Dawam Rahardjo yang banyak mengkritik ideologi
Developmentalism Orba yang menciptakan kesenjangan sosial, Dr Sritua Arief dan Adi
Sasono, yang mngenalkan kritik Strukturalisme terhadap pembangunan Orba. Prof
Mubyarto yang mengkritik pembangunan yang mengorbankan pertanian dan pedesaan.

Juga, Prof Sri-Edy Swasono yang mengkritik pembangunan koperasi yang top-down dan
pembangunan tak menjalankan UUD 45, dan Kwik Kian Gie yang mengkritik
pembangunan yang menciptakan Konglomerasi Hitam yang merampok uang rakyat.
Sementara, Dr Rizal Ramli mendirikan ECONIT (kini dipimpin Dr Hendri Saparini) yang
banyak mengungkapkan fakta empiris dari pembangunan sejak Orba hingga pasca-Orba,
yang mengabaikan rakyat dan terlalu terperangkap utang dan IMF. Juga, saya (Didin S
Damanhuri), Prof Didik J Rachbini, Dr Fadhil Hassan, dan Faisal Basri mendirikan
INDEF (kemudian dilanjutkan oleh Prof Bustanul Arifin, Dr Drajat Wibowo, dan
Aviliani; belakangan dipimpin oleh Dr Erani Justika dan Dr Ikhsan Modjo) yang banyak
mengkritik secara ekonomi-politik dengan data-data empiris segala kebijakan ekonomi
dan keuangan yang merugikan ekonomi rakyat sejak Orba (mulai 1995) hingga pasca-
Orba (1998-dan seterusnya).

Belakangan Revrisond Baswir (pelanjut Prof Mubyarto) mendirikan Pusat Kajian


Ekonomi Rakyat di UGM yang mengkritik kebijakan ekonomi pasca-Orba yang sangat
neolib dan mengkhianati konstitusi dan ekonomi rakyat. Umumnya para Pejuang-
Cendekiawan EPI-R yang sangat kritis terhadap kebijakan ekonomi yang teknokratis
(tanpa berorientasi kepada konstitusi UUD 45), terlalu tergantung pada utang dan modal
asing dan kurang membangun kemandirian dengan mengorbankan kedaulatan ekonomi
dan memarginalkan ekonomi rakyat. Memang kalangan EPI-R sejak Orba dan pasca-
Orba lebih banyak mengembangkan wacana kritis, mengkritik kebijakan di samping
menyodorkan kebijakan alternatif, dan umumnya secara epistemonologis berbasiskan
Konstitusi UUD 45 meskipun terkadang meminjam referensi pemikiran ekonomi
alternatif (strukturalis, reformis, heterodoks, sosial-demokrasi, dan seterusnya) dalam
membongkar kepalsuan kebijakan ekonomi dan politik yang memarginalkan rakyat.

Salah satu masalah krusial sejak masa reformasi/pasca-Orba yang amat sangat
mengganggu realisasi agenda EPI-R dan prinsip-prinsip UUD 45 adalah karena
pemerintahan secara berkelanjutan mengadopsi program 'Washington Consensus'. Yakni,
liberalisasi, privatisasi, pencabutan subsidi, dan prinsip minimum state yang terakhir ini
dimasukkan dalam amandemen Pasal 33 UUD 45 oleh Dr Sri Mulyani, Dr Sri
Adiningsih, dan Dr Syahrir yang membuat walk out Prof Mubyarto dan Prof M Dawam
Rahardjo dari sidang Komisi Konstitusi MPR waktu itu.

Read more: http://artikel-media.blogspot.com/2010/02/ekonomi-politik-untuk-


rakyat.html#ixzz12rsX6d1l

Ekonomi-Politik Kebutuhan Pokok *


oleh: Rocky Gerung
Ekonomi Indonesia, kendati harus bekerja dalam tekanan
imperatif global,
sesungguhnya tidak pernah hanyut sepenuhnya dalam arus besar ekonomi
pasar.
Kita terus merasakan semacam dualisme pikiran dalam berbagai kebijakan
ekonomi
pemerintah, yaitu antara tuntutan global efficiency dan berbagai
pertimbangan
local wisdom. Memang, berbagai indikator makro harus kita ukur dalam
besaran-besaran efisiensi global, tetapi dimensi keadilan sosial juga
selalu menuntut semacam politik pemihakan pada ekonomi kebutuhan pokok
(basic
needs). Dimensi etis ini mungkin merupakan sisa-sisa sosialisme
dalam sejarah
pemikiran sosial bangsa ini, yang sesekali muncul manakala disparitas
kemakmuran terasa terlalu melebar. Atau barangkali hal itu merupakan
reaksi
instingtif sebuah negara post-colonial yang ingin mengartikulasikan
politics of
difference dalam politik internasional.
Tetapi apapun alasannya, dunia memang sedang berada dalam ketegangan
ideologis
akibat krisis energi. Ketegangan itu membangkitkan ulang sentimen
disparitas
global, yaitu anggapan umum bahwa ekonomi dunia telah dikendalikan oleh
konspirasi politik neo-liberal, dengan akibat katastrofik pada
perekonomian
dunia secara keseluruhan. Dalam kondisi psiko-politik seperti ini,
problem
kebijakan publik tidak dapat lagi diargumentasikan melalui sejumlah
keterangan
metodologis, karena dalam kondisi susbsistensi, masyarakat hanya mau
mendengar
sebuah kebijakan yang memihak pada kebutuhan pokok. Parameter-parameter
efisiensi global yang didukung dengan keketatan komputasi metodologi
menjadi
tidak berbunyi ketika dimensi ideologi dari keadilan muncul sebagai
tuntutan
politik umum.
Pada tingkat politik semacam ini, sikap defensif pemerintah, yaitu
dengan
alasan eksternalitas global, dalam mempertahankan kebijakannya, akan
berhadapan
dengan tuntutan populer yang justru akan mempersoalkan definisi
efisiensi yang
mendasari kebijakan-kebijakan makronya. Dalam kondisi suhu politik yang
tinggi,
menjelang Pemilu misalnya, tuntutan-tuntutan populer itu dapat beralih
menjadi
upaya delegitimasi yang sistematis terhadap pemerintah. Dengan kata
lain, semua
proposal publik yang diajukan pemerintah untuk mengatasi inefisiensi
ekonomi,
justru akan menjadi bumerang selama problem kebutuhan pokok publik
tidak dapat
diatasi secara cepat.
Dihitung dari kondisi ekonomi sekarang, secara teknis sangat sukar bagi
pemerintah untuk menggunakan politik anggaran sebagai peralatan untuk
meraih
ulang legitimasinya. Bukan saja karena APBN sudah hampir habis
digunakan,
tetapi terlebih lagi karena suhu politik yang tinggi akan
mendominasi percakapan publik menjelang Pemilu. Disamping itu,
kebijakan
pengendalian inflasi dan penyerapan tenaga kerja, juga akan sangat
tergantung
pada kondisi ekonomi di tingkat global.
Kondisi umum kesulitan ekonomi memang belum eksplisit menjadi keresahan
sosial.
Pengamatan empiris justru menunjukkan geliat ekonomi yang didorong
konsumsi.
Tetapi pengetahuan pemerintah tentang daya tahan sosial masyarakat
tidak
mungkin diekstraksi dari angka-angka konsumsi-konsumsi yang rapuh itu.
Masalahnya adalah bahwa tuntutan lapangan kerja tetap merupakan problem
yang
berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Dan faktor dasar dari
pertumbuhan itu
adalah kesiapan infrastrukur dan suplai energi. Sekali lagi, masalah
ini
melibatkan kompleks perdebatan ideologis antara imperatif efisiensi
global dan
historisitas paham keadilan pada bangsa ini.
Kampanye panjang menjelang Pemilu 2009 nanti, agaknya akan sekaligus
menjadi
ajang perselisihan ideologis sekitar isu keadilan sosial. Duduk
perkaranya akan
dipertajam oleh kondisi kita hari-hari ini: seberapa adaptif kita
terhadap
parameter efisiensi global, dan seberapa kuat sentimen sosialistis
masih
menetap dalam pikiran politik bangsa ini. Inilah sebetulnya kesempatan
historis
kita untuk merumuskan ulang arah masa depan kita. ***
(Tulisan ini untuk mengenang almarhum Sjahrir (1945-2000), seorang
ekonom yang
selalu menyampaikan analisisnya dalam konteks "keadilan sosial". Judul
disertasinya di Universitas Harvard sudah menyiratkan dimensi ini: "The
Political Economy of Basic Needs")

Anda mungkin juga menyukai