Anda di halaman 1dari 20

HERMENEUTIKA

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum
Dosen Pengampu :
Lukman Fauzi, S.Sos.I., M.Ag.

Disusun oleh :
Kelompok 11
1. Karina Ade Novita (12403193153)
2.Mita Wulandari (12403193158)
3. Agung Adi Saputra (12403193171)

SEMESTER 2
JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH 2D
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
MEI 2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena telah memberikan
kelancaran dan kemurahan-Nya terhadap kami, sehingga dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah "Filsafat Umum" dalam bentuk makalah. Sholawat serta salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada junjungan kita Nabiyullah Muhammad, SAW.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa sesuai dengan kemampuan dan
pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul "Hermeneutika" ini, masih jauh
dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini, kami berharap dari makalah yang kami susun ini
dapat bermamfaat dan menambah wawasan bagi kami maupun pembaca. Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb

Tulungagung, 26 April 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.................................................................................1
KATA PENGANTAR..................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN...........................................................................4
A.Latar Belakang................................................................................4
B.Rumusan Masalah...........................................................................4
C.Tujuan Penulisan....................................................................................4
BAB II : PEMBAHASAN............................................................................6
A. Defenisi Hermeneutika Dan Sejarah Hermeneutika..........................6
B. Fungsi Hermenetika...............................................................................11
C. Ruang Lingkup Hermeneutika..............................................................13
D. Madzhab-Madzhab Hermeneutika......................................................15
E. Analisis bahasaTeori Filsafat Bahasa sebagai basis Hemeneutika..17

BAB III : PENUTUP..................................................................................19


A.Kesimpulan...................................................................................19
B.Saran..............................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................20

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara definisi kehadiran hermeneutik dalam deretan ilmu-ilmu sosial, sebenarnya
masih relatif baru. Dilihat dari keberadaannya, hermeneutika baru dalam pertengahan
abad ke-XIX dipakai sebagai dasar metodologi ilmu-ilmu sosial, dan mula-mula
dalam ilmu sejarah. Tokoh yang perlu disebut dalam konteks ini adalah Wilhelm
Dilthey (1833-1911). Akar hermeneutika sebenannya berada di luar lingkungan ilmu
pengetahuan modern dan dapat ditelusuri jauh ke belakang dalam waktu sampai masa
permulaan peradaban Yunani yang mulai berkembang kurang lebih pada abad ke-IX
sebelum Masehi. Ini berarti, hermeneutika pada hakikatnya bukan aliran filsafat ilmu
pengetahuan yang timbul dan berkembang dalam jalur dunia ilmu pengetahuan,
seperti halnya dengan aliran filsafat ilmu pengetahuan yang telah dibahas dalam bab-
bab sebelumnya tetapi merupakan satu unsur yang mempunyai sifat lebih umum dan
berkembang dalam proses yang berlangsung sudah lama sekali dan terus-menerus
berubah. Proses perkembangan hermeneutika dapat dibagi ke dalam empat tahap.
Dalam masing masing tahap itu konsep „hermeneutika‟ dipakai dengan pengertian
tersendiri. (1) hermeneutika berperan sebagai unsur dalam konteks kepercayaan dan
ritus agama. (2) hermeneutika dipakai sebagai metode atau teknik analisis dokumen.
(3) hermeneutika diangkat menjadi ilmu pengetahuan kemanusiaan. (4) hermeneutika
berubah menjadi spesifik dalam ilmu filsafat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang definisi Hermeneutika?
2. Bagaimana sejarah Munculnya Hermeunetika?
3. Apa saja fungsi Hermeneutika?
4. Bagaimana ruang lingkup dan madzab-madzab Hermeneutika?
5. Bagaimana analisis bahasa/ Teori Filsafat Bahasa sebagai basis Hemeneutika?

C. Tujuan Masalah
1. Dapat mengetahui / mengerti apa itu definisi Hermeneutika.
2. Mengetahui bagaimana sejarah munculnya Hermeunetika.

4
3. Dapat mengetahui fungsi Hermeneutika.
4. Memahami ruang lingkup dan madzab-madzab Hermeneutika.
5. Memahami analisis bahasa/ Teori Filsafat Bahasa sebagai basis Hemeneutika.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Hermeneutika Dan Sejarah Hermeneutika

Secara etimologis kata „hermeneutika‟ berasal dan kata „hermeneuein‟ dalam


bahasa Yunani kuno dan berarti “seni menerangkan makna” (juga: “seni memberikan
interpretasi, “the art of interpretation, ars interpretandi). Asal-usul istilah
“hermeneutika” pada masa sekarang lazim dikaitkan dengan kata „Hermes,‟ nama
seorang tokoh dalam mitologi bangsa Yunani yang menurut sumber-sumber tertulis
kuno, ia berperan sebagai pesuruh dewa-dewa utama dan mempunyai tugas
menyampaikan pesan-pesannya kepada manusia. Pada tahap perkembangan awal ini
konsep „hermeneutika‟ telah mempunyai tiga unsur pengertian yang masih berlaku
sampai sekarang.

Unsur pertama, secara harfiah hermeneutika berarti “mengalihkan makna yang


terkandung dalam konteks yang agak tertutup, tidak dikenal, sulit dimengerti, asing
atau sulit dimasukkan ke dalam konteks (kebahasaan) yang lebih dikenal, terbuka dan
dapat dimengerti.”. Secara lebih spesifik, hermeneutika adalah “menerangkan apa
yang tidak dapat dimengerti atau dipahami dengan cara menerjemahkannya ke dalam
bahasa yang memang dapat dimengerti.” Berbeda dengan tahap perkembangan
pertama pada zaman Yunani dahulu, penerjemahan itu pada masa kemudian tidak lagi
dikaitkan dengan pemisahan antara alam dewa-dewa di satu pihak dan dunia manusia
di pihak lain, melainkan dengan pemisahan antara dua kebudayaan yang berbeda atau
perbedaan zaman dalam perkembangan sejarah.. Selanjutnya konsep „hermeneutika‟
masih ditemukan dalam anggapan yang tersebar luas bahwa hermeneutika mencakup
“analisis atau telaah tentang segalanya yang bermakna.” Proses perluasan pemakaian
konsep hermeneutika ini sebenarnya sudah mulai pada permulaan zaman Yunani itu
sendiri. Unsur kedua, pengertian konsep hermeneutika mengenai hakikat atau sifat
makna yang ingin dipahami. Tulisan ataupun berita yang hendak diterjemahkan
dianggap memiliki makna yang selalu melebihi daya pemahaman yang berusaha
mengungkapkannya. Artinya, melalui hermeneutika makna yang terkandung dalam

6
tulisan atau berita hanya dapat diketahui sebagian saja. Makna yang hakiki dianggap
selalu lebih mendalam atau lebih menyeluruh daripada yang berhasil melalui analisis
hermeneutika. Penting diperhatikan bahwa konsep „hermeneutika‟ di sini dipakai
dalam arti agak terbatas, yaitu analisis terhadap makna yang terkandung dalam tulisan
atau berita itu sendiri. Unsur ketiga, hermeneutika, baik secara tegas tak terkatakan
berangkat dan asumsi bahwa suatu tulisan atau berita hanya dapat diartikan dengan
satu cara saja. Asumsi ini khususnya dianggap berlaku apabila terdapat langsung atau
tidak langsung bahwa dokumen bersangkutan dibuat untuk tujuan spesifik. Pikiran
tentang metode hermeneutika ini dikemukakan dalam bentuk aturan dan kaidah.
Dalam tahap perkembangan selanjutnya di Eropa,Zaman Romawi, hermeneutika lebih
khusus dipakai untuk menganalisis makna yang terkandung dalam dokumen hukum,
seperti undang-undang, dan dokumen agama, seperti Kitab Injil agama Kristen.
Dokumen semacam ini pada dasarnya bersifat normatif atau mengenai moral. Tujuan
khusus analisis hermeneutika adalah mengungkapkan dan menetapkan makna yang
terkandung dalam teks itu sendiri. Tahap awal zaman baru ini dinamakan
“Kebangkitan Kembali” (Renaissance) dan berlangsung sampai kurang lebih
pertengahan abad ke-XVI. Periode itu ditandal dengan usaha mempelajari kembali
peradahan Yunani dan Romawi pada Zaman Klasik, yang memang sangat berlainan
dan situasi dan kondisi di Eropa pada Abad Pertengahan. Untuk mempelajari
peradaban tersebut dipakai hermeneutika sebagai metode. Analisis tulisan Zaman
Klasik menyebabkan munculnya dua macam pemakaian hermeneutika, masing-
masing untuk kepentingan yang berbeda. Pertama terdapat kelompok yang cenderung
menggunakan hermeneutika khusus untuk mengungkapkan dan mempelajari makna
“murni” yang terkandung dalam tulisan yang berasal dari Zaman Klasik. Tujuan
spesifiknya adalah mengembangkan pengetahuan yang memberikan pemahaman dan
penjelasan menyeluruh dan mendalam darinya. Aliran hermeneutika ini di kemudian
hail dinamakan „hermeneutika ilmiah” (zetetische Hermeneutik). Kedua terdapat
aliran yang ingin menggunakan makna yang terungkapkan dan tulisan zaman tersebut
untuk usaha-usaha menangani masalah praktis dalam kehidupan sosial pada masa itu.
Untuk ini perhatian dipusatkan pada upaya menetapkan isi “normatif‟ atau beserta
“autoritas” tulisan orang Zaman Klasik. Aliran hermeneutika yang kedua ini dikenal
dengan nama “hermeneutika dogmatis” dan memainkan peranan penting dalam ilmu
hukum dan ilmu teologi hingga sekarang. Munculnya dua aliran hermeneutika yang
berbeda, masing-masing mempunyai tujuan relatif lebih spesifik dan tegas daripada

7
hermeneutika yang dipraktikkan pada masa sebelumnya, antara lain dimungkinkan
oleh perkembangan yang telah terjadi di bidang ilmu filsafat dan ilmu teologi.
Bersamaan dengan munculnya dua aliran spesifik tersebut, dalam hermeneutika
terjadi pergeseran “objek studinya.” Kalau pada masa sebelumnya perhatian
sepenuhnya dipusatkan pada isi tulisan maka mulai dari akhir abad ke-XV perhatian
lambat laun bergerser”dari tulisan ke penulisnya.” Mulai disadari bahwa makna yang
terkandung dalam tulisan yang lain itu tidak bisa ditangkap terpisah dan pemaknaan
pihak yang membuatnya. Dengan kata lain, mulai disadari bahwa makna tidak dapat
dipahami dan dijelaskan terpisah dari pikiran, perasaan, citacita dan dorongan orang
bersangkutan. Pergeseran pandangan ini menyebabkan juga perluasan pemakaian
analisis hermeneutika. Di samping analisis tulisan dan dokumen tua, hermeneutika
juga mulai dianggap sebagai metode yang tepat untuk mengungkapkan makna yang
terkandung dalam karya-karya di bidang seni lain seperti misalnya sastra, patung,
lukisan, musik, bangunan dan tarian. Semua bentuk kesenian ini dianggap merupakan
ekspresi pikiran, perasaan, nilai-nilai maupun cita-cita penciptanya. Meskipun
pemakaian hermeneutika menjadi jauh lebih luas dibandingkan dengan masa
sebelumnya, dalam hal analisis perhatian ilmuwan masih sepenuhnya terpusat pada si
pencipta karya seni. Selain itu juga dipertahankan asumsi yang menyatakan bahwa
makna yang terkandung dalam suatu karya seni bersifat tunggal dan, sejauh mengenai
objek studi bersangkutan, dianggap mengandung nilai abadi, tidak berubah ubah.
Hermeneutika dianggap sebagai metode yang tepat untuk mengungkapkan makna
yang dimaksud dan yang memungkinkan diberikan pemahaman dan penjelasan
mendalam dan menyeluruh terhadapnya. Akibatnya hermeneutika memusatkan
perhatian pada karya-karya seni yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh seni budaya dan
pencipta karya budaya yang termashur, seperti penyair, pelukis, pematung, arsitek,
komponis, ahli filsafat dan sebagainya. Pada akhir abad ke-XVII muncul untuk
pertama kali sejumlah upaya mengembangkan hermeneutika yang bersifat umum atau
universal, baik di bidang hermeneutika ilmiah maupun hermeneutika dogmatis.
Namun demikian, upaya pertama ini tidak membawa banyak hasil. Sebab, iklim
cendekia yang berkembang dalam abad keXVIII tidak menguntungkan. Masa itu
dikenal sebagai “Zaman Pencerahan” (Enlightenment) dan ditandai di satu pihak oleh
penolakan total segala yang diteruskan secara turun-temurun dari masa-masa
sebelumnya dan, di pihak lain, oleh penerimaan secara tak bersyarat segala sesuatu
yang dianggap “modern.” Yang modern dianggap lebih baik dan lebih unggul

8
daripada apa yang dihasilkan pada zaman sebelumnya. Kemajuan ini langsung
dikaitkan dengan pendayagunaan pikiran manusia (rasio) untuk mengembangkan
pengetahuan dan teknologi. Dalam abad ke-XVII dan ke-X VIII ditemukan apa yang
lazim dinamakan “semangat zaman” (spirit of the era, Geist der Zeit) dan kesatuan-
kesatuan luas jenis lain seperti “kebudayaan” (culture), “bangsa” (people), “negara”
(nation), dan “hukum-hukum universal” (universal rights). Akibatnya, tulisan kuno,
benda peninggalan dan karya seni tidak lagi sematamata dipandang sebagai ekspresi
pikiran, nilai dan cita-cita penciptanya, tetapi sebagai simbol untuk suatu kesatuan
yang lebih menyeluruh dan abstrak dan jenis-jenis tersebut. Kesatuan yang lebih
menyeluruh ini dianggap “hasil” atau suatu “semangat” (spirit) yang mewujudkan
atau menyatakan diri dalam proses perkembangan sejarah. Penemuan kemungkinan
terdapat hubungan antara segala macam hasil cipta karya manusia di satu pihak dan
kesatuan-kesatuan yang bersifat abstrak dan menyeluruh di pihak lain, memerlukan
diadakan refleksi kembali atas arti hermeneutika sendiri dan mendorong berbagai
usaha mengembangkan suatu pandangan menyeluruh dan mendalam terhadapnya.

Pada abad ke-XIX muncul untuk pertama kali “teori hermeneutika.”


Keistimewaan teori ini adalah bahwa di dalamnya diadakan penggolongan baru lagi.
Di samping penggolongan hermeneutika menurut tujuannya, yaitu “hermeneutika
ilmiah” dan dogmatis,” sekarang mulai dibedakan antara dua tingkat analisis
hermeneutika, yaitu: (1) “Hermeneutika tingkat tinggi;” dan (2) “Hermeneutika
tingkat rendah.” Kalau hermeneutika tingkat rendah dianggap mencakup apa yang
sudah menjadi tradisi sejak dahulu kala, yaitu satu metode yang berguna untuk
mengungkapkan dan memastikan makna yang terkandung dalam satu dokumen atau
tulisan, objek seni rupa dan benda peninggalan kongkret, maka hermeneutika tingkat
tinggi khusus bermaksud mengungkapkan dan memastikan makna yang terkandung
dalam kesatuan abstrak dan umum yang telah disebut. Kalau hermeneutika tingkat
rendah cenderung bersifat teknis dan praktis dan terarah pada objek studi spesifik dan
terbatas. Hermeneutika tingkat tinggi dianggap bersifat lebih bebas, spekulatif dan
akrab dengan seni dan terarah kepada kesatuan yang bersifat umum atau menyeluruh.
Hermeneutika tingkat tinggi didasarkan pada anggapan bahwa terdapat satu
“semangat umum” (universal spirit) atau “semangat dunia” (world spirit) yang
bersifat tunggal dan tidak berubah-ubah dan dianggap mengilhami baik pencipta
karya seni beserta zaman di mana dia hidup maupun orang yang benisaha

9
menerangkan makna yang terkandung di dalamnya beserta zaman atau masa di mana
dia hidup. Dengan perkataan lain, “semangat umum” atau “semangat dunia” itu
dianggap merupakan kenyataan tersendiri yang melebihi segala sesuatu yang lebih
kongkret dan terbatas dan sekaligus memenuhinya dengan satu makna umum dan
yang sama.. Wilhelm Dilthey adalah salah satu tokoh yang menyebabkan penyesuaian
ini pada awal abad ke-XX. Ia mengubah arah perkembangan hermeneutika menuju
idealisme, dan menjadi empirisme maupun positivisme.. Tujuan spesifik ilmuwan
sejarah dan ahli ilmu filsafat ini adalah menunjukkan dasar baru untuk hermeneutika
sebagai metodologi yang khusus berlaku untuk ilmu kemanusiaan. Dengan upaya ini
Dilthey bermaksud, di satu pihak, menerobos perkembangan yang sedang terjadi
dalam pertengahan abad ke-XIX dalam ilmu sejarah menuju apa yang lazim
dinamakan “psikologisme,” yaitu kecenderungan menjelaskan semua gejala sejarah
dan sosial-budaya sebagai wujud “semangat umum” atau “semangat dunia” yang
mengendalikan perkembangan sejarah maupun proses pengembangan peradaban.
Ilmuwan yang mengadakan analisis hermeneutika bertindak seakan seorang “pemain
sandiwara:” Ini berarti, walaupun Dilthey mengadakan perubahan terhadap
hermeneutika tingkat tinggi tentang apa yang menurutnya merupakan sifat dasar objek
studi ilmu kemanusiaan, tetapi ia mempertahankan prinsip-prinsip pelaksanaan
analisis hermeneutika yang sudah dianggap baku. Selain menerobos perkembangan
menuju “psikologisme” upaya Dilthey menunjukkan dasar baru bagi hermeneutika
juga dimaksudkan untuk membela sifat khas ilmu kemanusiaan terhadap ilmu alam.
Pertama, dalam jangkauan objek studi. Kalau dalam tahap-tahap perkembangan
hermeneutik sebelumnya perhatian ilmuwan secara eksklusif terpusatkan pada tokoh-
tokoh utama berbagai bidang cipta karya seni, seperti pelukis, pencipta musik, filsuf
dan penyair terkenal, dan diusahakan mengungkapkan makna yang terkandung di
dalamnya dengan mengaitkannya pada suatu keseluruhan yang abstrak atau
menyeluruh. Sekarang jangkauan analisis diperluas mencakup semua anggota
masyarakat (umat manusia) tanpa kecuali. Kedua, terjadi pergeseran dalam isi
permasalahan. Oleh karena Dilthey tidak berhasil menunjukkan secara meyakinkan
kriteria metodologis untuk menentukan keabsahan analisis hermeneutika, maka hanya
penyesuaiannya terhadap objek studi ilmu kemanusiaan saja diterima di kalangan luas
ilmuwan sosial di kemudian hari.

10
“Hermeneutika Sebagai Aliran Ilmu Filsafat” Sejak permulaan abad ke-XX
hermeneutika berubah lagi menjadi aliran tersendiri dalam ilmu filsafat. Dua nama
yang tidak dapat dipisahkan dan perkembangan baru ini adalah Martin Heidegger
(1889-1976) dan Hans-Georg Gadamer (1900-). Heidegger adalah filsuf pertama yang
memperluas pengertian konsep “verstehen” lebih jauh daripada yang diberikan oleh
Dilthey. Kalau Dilthey menggunakan konsep verstehen dalam arti “upaya memahami
seeara psikologis kejiwaan dan kelakuan orang lain serta hasil cipta karyanya,” yakni
upaya interpretatif untuk memberikan makna kepada sesuatu yang dianggap pada
hakikatnya bersifat “fakta objektif” maka dalam pandangan filsafat Heidegger
verstehen menjadi “sesuatu yang sudah menjadi pembawaan manusia.” ini berarti,
menurut Heidegger, keperluan manusia memberikan makna kepada segala sesuatu
sudah ditentukan terlebih dahulu sebelum keberadaannya.. Antara pandangan
Heidegger (dan Gadamer) di satu pihak dan Dilthey di pihak lain terdapat perbedaan
mendasar dalam beberapa hal. Dalam keberadaan manusia Delthey menegaskan
persatuan yang mula-mula (primordial unity) antara “subjek” dan “objek.” Manusia
adalah “makhluk yang berada dalam dunia” sebelum menjadi “subjek” yang menuntut
mempunyai pengetahuan tentang “objek-objek” dalam dunia. Ini berarti, dalam
pandangan Heidegger, pengembangan pengetahuan benlangsung dalam konteks
interpretasi dan pemahaman jauh lebih luas dan menyeluruh daripada yang
digambarkan oleh Dilthey. Hermeneutika bukan pandangan filsafat ilmu
pengetahuan yang seragam. Ada banyak perbedaan dalam hal asas, tujuan maupun
pendekatan atau metode. Juga terdapat perbedaan pandangan yang cukup tajam antara
para “peletak dasar” (founding fathers), seperti misalnya W. Dilthey, dan
“penerusnya” pada zaman sekarang, seperti, antara lain, Gadamer (1900), P. Ricoeur
(1913-), K.-O. Apel (1922-) dan J. Habermas (1929-). Dalam pasal ini diterangkan
asasasas yang mendasari aliran hermeneutika yang berlaku pada masa kini, khususnya
“pendekatan interpretatif‟ dalam ilmu sosial di Amenika Serikat, dengan cara
mempertentangkannya dengan pandangan Dilthey.1

B. Fungsi Hermenetika

Dalam pembahasan Hermeneutik terdapat hubungan yang erat dan jelas antara
kata Hermeneutik dengan Hermes, salah satu Tuhan yang dimiliki oleh bangsa Yunani

1
Pattiasina Petrus Jacob, “jurnal hermeneutik”, https://www.researchgate.net/publication/325216565.
Diakses 27 April 2020.

11
yang bertugas sebagai Penyampai Berita. Kata hermeneutic sendiri diambil dari kata kerja
Yunani, hermeneuin, yang berarti “menginterpretasikan atau menafsirkan (to interpret)”
dan kata bendanya adalah hermeneia yang berarti “tafsir“.

Dilema beragam yang kemudian muncul dari kata itu mengandung pemahaman
terhadap sesuatu atau kondisi yang tak jelas. Bangsa Yunani menisbatkan penemuan
bahasa dan tulisan kepada Hermes, yakni bahasa dan tulisan ini merupakan dua elemen
yang dimanfaatkan oleh manusia untuk memahami makna dan menafsirkan berbagai
realitas. Tugas Hermes adalah “memahami” dan “menafsirkan sesuatu”, dimana dalam
persoalan ini, unsur bahasa memegang peran yang sangat asasi dan penting.

Hermes adalah seorang perantara yang bertugas menafsirkan dan menjelaskan


berita-berita dan pesan-pesan suci Tuhan yang kandungannya lebih tinggi dari
pemahaman manusia sedemikian sehingga bisa dipahami oleh mereka. Sebagian dari para
peneliti beranggapan bahwa tiga unsur mendasar yang terdapat di dalam setiap penafsiran
itu merupakan bukti yang jelas bagi adanya keterkaitan yang erat antara kata hermeneutik
dengan Hermes. Setiap tafsiran dan interpretasi senantiasa memiliki tiga unsur di bawah
ini:

1. Pesan dan teks yang dibutuhkan untuk lahirnya suatu pemahaman dan interpretasi;
2. Penafsir (Hermes) yang menginterpretasikan dan menafsirkan pesan dan teks;
3. Penyampaian pesan dan teks kepada lawan bicara.

Ketiga unsur yang pokok di atas merupakan inti-inti pembahasan dan pengkajian
hermeneutik, masalah-masalah seperti esensi teks, pengertian pemahaman teks, dan
pengaruh dari asumsi-asumsi dan kepercayaan-kepercayaan terhadap lahirnya suatu
pemahaman.

Sebagian besar menerima analisis etimologi yang menempatkan Hermes sebagai


perantara dan penafsir antara teks dan Tuhan. Analisis ini dipandang lebih tepat dari
analisis-analisis lainnya. Akan tetapi, sebagian yang lain meragukan dan menolak
perspektif semacam ini. Bagaimanapun juga, tetap terbuka secara luas untuk hadirnya
perspektif-perspektif baru dalam masalah ini.2

C. Ruang Lingkup Hermeneutika

2
Adlany Mohammad,”apa itu hermeneutik”, dalam https://teosophy.wordpress.com/2009/09/12/apa-itu-
hermeneutik/, Di akses 27 April 2020.

12
Tugas pokok hermeneutika adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik
atau realita sosial di masa lampau yang asing sama sekali agar menjadi milik orang
yang hidup di masa, tempat dan suasana kultural yang berbeda. Maka dari itu,
kegiatan hermenutika selalu bersifat triadik menyangkut tiga subjek yang saling
berhubungan. Tiga subjek yang di maksud adalah the world of the text (dunia teks),
the world of the aunthor (dunia pengarang), dan the world of the reader (dunia
pembaca) yang masing-masing memiliki titik pusaran tersendiri dan saling
mendukung dalam memahami sebuah teks.

Pertama, The World of the text (dunia text). Teks menjadi hal yang sangat
urgen karena merupakan objek utama dalam suatu penafsiran. Teks ini mencakup
bahasa dan tata bahasa yang digunakan si pengarang atau penulis teks untuk
mengungkapkan keiginannya. Menurut George Gadamer, teks memiliki
kepribadiannya yang terpisah dari penulis atau penciptanya. Karena itu, diperlukan
pengandaian dari penafsir terhadap teks itu. Pendapat George Gadamer ini sependapat
dengan umur Kristen yang mengatakan, teks yang dalam hal ini adalah wahyu, ia
diturunkan karena adanya “sebab” (‘illah) yang digerakkan oleh Allah secara bebas.
Artinya, si penerima wahyu bebas menggunkan wahyu itu untuk tujuan-tujuannya.
Dari sini dapat dipahami dalam hermeunutika tidak ada konsep bahwa teks itu
memiliki otoritas yang kuat. Meskipun kitab suci, yang namanya teks hanya teks.
Semuanya sama-sama teks tidak ada bedanya.

Kedua, The Word of the author (dunia pengarang). Menurut F.


Schleiemacher, hal ini berkaitan dengan makna pikiran dan tujuan yang dirasakan
oleh pengarang ketika ia menulis atau mengucapkan teks. Ini tentu saja berada dalam
diri dan hati pengarang teks. Maka “sisi dalam” pengarang itu harus diselami melalui
teks, karena teks yang terucapkan atau tertulis bercampur didalamnya perasaan, niat
dan keinginan penulisannya yang tertuang dalam wadah teks yang digunakannya.
Sedangkan menurut George Gadamer, penafsiran teks bukan bertujuan memahami
maksud pengucap atau pencipta teks, tidak juga penting memahami siapa mitra bicara
dan atau sasaran yang pertama kali dimaksud oleh pengucap atau penulis teks. Tetapi
yang penting adalah apa yang dipahami oleh penafsir atau penakwil sesuai dengan
pengetahuannya yang harus berkembang, pandangannya yang melekat di benaknya,
prediksi dan pertanyaan-pertanyaannya menyangkut teks, serta apa yang dihasilkan
oleh dialognya dengan teks. Dengan demikian, makna teks itu tidak lagi sakral. Tidak

13
masalah jika menafsirkan teks tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki pengarang
teks tersebut.

Ketiga, The World of the reader (dunia pembaca). Seperti yang dipahami
George Gadamer, bahwa pembaca memiliki kekuasaan penuh dalam menafsirkan
teks. Haknya dalam menafsirkan melebihi hak si penulis itu sendiri. Pemikiran yang
disampaikan penulis dalam sebuah teks, akan mati jika penulisnya mati. Lalu
bagaimana dengan Bibel? Teks-teks Hebrew Bibel ditulis setelah jauh berselang dari
era pewahyuannya; sekitar 2000 tahun. Bibel terbagi menjadi dua, perjanjian lama
ditulis dengan Bahasa Hebrew sedangkan perjanjian baru ditulis dengan Bahasa
Greek. Sementara itu, Yesus sendiri berbicara dengan Bahasa Aramaic. Kemudian
Bibel diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, lalu ke dalam Bahasa Eropa yang lain,
seperti Jerman, Inggris, Prancis, dan lainnya, termasuk Bahasa Indonesia yang banyak
mengambil dari Bibel berbahasa Inggris. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam Bibel
yang ada saat ini terdapat kerancuan-kerancuan secara makna hardiyah atau makna
kalimat disebabkan terjemahannya dari suatu bahasa ke berbagai bahasa lainnya tanpa
didampingi bahasa Bibel yang asli

Sedangkan dalam hal ini Richard E. Palmer juga memberikan peta hermeneutic
sebagai berikut :

1. Hermeneutic sebagai teori penafsiran kitab suci.


2. Hermeneutic sebagai sebuah metode fiologi (studi tentang budaya dan kerohanian
suatu bangsa dengan menelaah karya-karyanya). Dimulai dengan rasionalisme dan
hal-hal yang berhubungan dengannya.
3. Hermeneutic sebagai ilmu pemahaman linguistic.
4. Hermeneutic sebagai fondasi ilmu kemanusiaan. Kerangka dalam bentuk di awali
oleh Wilhelm Dilthey. Hingga di akhir perkembangan pemikirannya, ia berusaha
menggunakan psikologi dalam memahami dan menginterpratisasikan.
5. Hermeneutic sebagai fenomena das sein pemahaman eksistensial.
6. Hermeneutic sebagai system penafsiran. 3

Ada juga tiga pendapat mengenai hermeneutika :

3
Lukman Hakim Habibie, “Hermeneutik dalam Kajian Islam” dalam https://journal.iaimnumetrolampung.ac.id,
diakses 26 April 2020.

14
1. Hermeneutika khusus (regional hermeneutics) yaitu hermeneutika sebagai
cabang dari disiplin ilmu. Setiap medan ilmu mempunyai hermeneutikanya
masing-masing dan digunakan untuk medannya yang khusus sesuai bidang
ilmunya.

2. Hermeneutika umum (general hermeneutics) yaitu hermeneutika yang tidak


terkait dengan cabang ilmu-ilmu tertentu. Hermeneutika ini menggabungkan
semua cabang ilmu untuk memahami. Pelapornya adalah Freidrich Schleirmacher
(1768-1834 M). Hermeneutika ini tersusun darai kaidah-kaidah dan dasar-dasar
umum yang berisi berbagai macam ilmu pengetahuan yang mengontrol proses
pemahaman secara benar.
3. Hermeneutika filsafat (hermeneutical philosophy). Obyeknya bukan teks yang
dipahami. Tetapi pemahaman itu sendiri yang ditempuh dengan perenungan
filosofis. Hermeneutika ini tidak mengenal kaidah-kaidah untuk mencapai
kebenaram pemahaman, melainkan tidak mengenal kebenaran melalui metode
ilmiah.

D. Madzhab-Madzhab Hermeneutika

Ada tiga madzhab besar hermeneutika :

1. Hermeneutical Theory yaitu hermeneutika sebagai metode. Madzhab


hermeneutika ini terkait dengan kaidah-kaidah dan dasar-dasar dalam interpretasi.
Tokoh utama yang berjasa meletakkan hermeneutika ini adalah Wiliam Dilthey
(1833-1911 M) yang dilanjutkan oleh Emilio Betti (1890-1968 M).
2. Hermeneutical Philosopy, yaitu madzhab hermeneutika yang tidak berkaidah atau
tidak sebagai metode. Hermeneutika ini dipengaruhi oleh aliran filsafat
eksistensialiame yang menekankan pada pemahaman eksitensial. Tokohnya
adalah filsuf Jerman Hans George Gadamer.

Bagi Gadamer hermeneutika tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga


produktif. Bagi dia makna tidak harus makna dari pengarangnya, melainkan
makna bagi kita yang hidup di zaman ini. Kiranya ini tidak cocok dengan al-
Qur’an, bahwa kata dan makna berasal dari Allah, bahkan Muhammad pun tidak

15
bisa mengubah walaupun sedikit. Memang makna Al-Qur’an haruslah serasi
dengan zaman kita hidup, karena Al-Qur’an memang sebagai kitab bagi seluruh
manusia hingga akhir zaman. Kalau begitu makna Al-Qur’an dari Allah yang
sesuai dengan zaman kapanpun, hanya kita saja yang harus bisa menangkapnya.
Pendekatan penafsiran ala Gadamer tersebut ditemukan dalam hermeneutika Al-
Qur’an Fazlur Rahman, yang berpretensi untuk menemukan makna subtantif dari
historis dan diaktualisasikan di masa kekinian.

3. Critical Heremeneutics, kedua madzhab di atas hanya berkisar pada proses


pemahaman, yang pertama dengan metode dan yang kedua tidak dengan metode.
Mereka justru belum mempertanyakan apa yang mereka pahami yaitu teks itu
sendiri. Teori hermeneutika ini menilai diskusi hal itu berada di luar area
metodologi dan epistemologi. Pelopor madzhab ini adalah filsafat Jerman, Juergen
Habermas (1929).

Kemudian dari tiga madzhab besar diatas, muncul aliran-aliran hermeneutika.


Berikut nama-namanya dan tokoh-tokohnya :

a. “Hermeneutika Simbolis dan Tipologis”. Philon of Alexandria adalah ikon yang


penting di dalamnya.
b. “Hermeneutika Dalam dan Aksioma Semesta Alam”. Tokoh-tokohnya adalah
Agustin, Martin Luther, dan Matians Flasius.
c. “Hermeneutika Kritis”. Denhaur, John Calladinus, dan George Mayer adalah
tokoh-tokohnya.
d. “Hermeneutika Romansia”. Schleirmacher adalah pemukanya.
e. “Hermeneutika Historis”. F. Ast, John Drozn, dan Wiliam Dilthey adalah tokoh
tokohnya.
f. “Hermeneutika Fenomenologi dan Eksistensialis”. Tokohnya adalah Edmund
Hussel, Martin Heidegger, Fraiburgh, dan Gadamer. 4

E. Analisis bahasa/ Teori Filsafat Bahasa sebagai basis Hemeneutika

4
Sofyan Effendi, “Pengertian dan Asal-Usul Hermeneutika : Sebuah Pertimbangan”, dalam
https://sofyaneffendi.wordpress.com/2011/07/26/pengertian-dan-asal-usul-hermeneutika-sebuah-
pertimbangan/, diakses 26 April 2020

16
Bahasa adalah hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini yang membantu
manusia menemukan dirinya dalam dunia yang terus berubah ini. Bahasa tidak boleh
dipikirkan sebagai hal yang mengalami perubahan. Bahasa harus dipikirkan dan
dipahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam
dirinya.Manusia menggunakan bahasa untuk sebuah tujuan dan arah yang hendak
dicapai. Manusia yang memakai bahasa menyadari penggunaan bahasanya baik
bahasa ibu maupun bahasa umum. Bahasa mengartikan sesuatu lewat kata-kata yang
bisa dipahami dan dimengerti dengan baik. Manusia menangkap arti dan makna kata-
kata dengan tepat sekalipun baru pertama kali dilakukannya. Manusia pun memiliki
kemampuan untuk mencampurkan gaya-gaya bahasa yang berbeda satu sama lain.

Bahasa berarti memahami. Menurut Gadamer, posisi sentral bahasa dalam


hermeneutika ada yang dapat dipahami dengan bahasa. Pemahaman ini berarti
mengerti peristiwa historis yang mengandalkan pemahaman yang mempertimbangkan
aspek waktu, masa lalu dan masa sekarang. Pemahaman juga berarti penafsiran. Ia
mengatakan bahwa pemahaman merupakan proses holistik yang terjadi dalam suatu
siklus hermeneutik antara bagian-bagian teks dan pandangan manusia dalam seluruh
dimensi personal, historis dan sosial. Penafsiran menandakan adanya sebuah
pemahaman baru yang bisa dilakukan agar sesuatu yang sebelumnya diketahui oleh
subjek. Hal ini pula berdampak pada cara manusia memandang apa yang sebelumnya
sudah manusia ketahui.

Setiap bahasa mempunyai prioritas pada pemahaman. Pemahaman adalah


sebuah proses bahasa. Memahami berarti menginterpretasikan sesuatu. Manusia
berusaha memahami objek dan membentuk pengertian-pengertian tertentu terhadap
objek tersebut. Gadamer menegaskan interpretasi adalah pencipataan kembali.
Memahami adalah menafsirkan pengertian-pengertian yang terangkum dalam konsep-
konsep baru. Dalam hal ini, adanya pertemuan dua substansi, antara objek dan subjek.
Bahasa memahami adalah mediator atau perantara untuk menjembatani dua substansi
tersebut. Memahami sesuatu hanya mungkin terjadi apabila subjek yang mengenal
dibedakan dari objek yang dipahami.

Keberadaan hermeneutika dalam bahasa merupakan awal dari pemahaman.


Hermeneutika sebagai sebuah sistem baru muncul jauh setelah ia dipratekkan dalam
filologi dan studi-studi kitab suci.Teks-teks yang ada perlu ditafsir karena tidak jelas

17
bila karya dibaca dan dipahami dalam waktu yang singkat. Untuk dapat memahami
teks, seseorang hermeneutik atau penafsir selalu memahami realitas dengan titik tolak
sekarang yang sesuai dengan data historis teks-teks suci tersebut. Selain itu, para
penafsir kitab suci mencoba masuk dalam teks asli agar memahami dengan sungguh-
sungguh yang sesuai dengan tujuan dan maksud penulisannya. Jadi hermeneutika
merupakan suatu yang universal, bukan hanya sekedar metode dalam memahami
sesuatu dalam pemahaman manusia.5

5
Oriol Dampuk, “ Bahasa dan Hermeneutika”, dalam https://yorisdampuk93.wordpress.com , diakses 10 Mei
2020

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa asal-usul istilah “hermeneutika” pada masa sekarang


lazim dikaitkan dengan kata „Hermes,‟ nama seorang tokoh dalam mitologi bangsa
Yunani yang menurut sumber-sumber tertulis kuno, ia berperan sebagai pesuruh dewa-
dewa utama dan mempunyai tugas menyampaikan pesan-pesannya kepada manusia. Pada
tahap perkembangan awal ini konsep „hermeneutika‟ telah mempunyai tiga unsur
pengertian yang masih berlaku sampai sekarang.

Pembahasan Hermeneutik terdapat hubungan yang erat dan jelas antara kata
Hermeneutik dengan Hermes, salah satu Tuhan yang dimiliki oleh bangsa Yunani yang
bertugas sebagai Penyampai Berita. Kata hermeneutic sendiri diambil dari kata kerja
Yunani, hermeneuin, yang berarti “menginterpretasikan atau menafsirkan (to interpret)”
dan kata bendanya adalah hermeneia yang berarti “tafsir“.

Tugas pokok hermeneutika adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau
realita sosial di masa lampau yang asing sama sekali agar menjadi milik orang yang hidup
di masa, tempat dan suasana kultural yang berbeda. Maka dari itu, kegiatan hermenutika
selalu bersifat triadik menyangkut tiga subjek yang saling berhubungan. Tiga subjek yang
di maksud adalah the world of the text (dunia teks), the world of the aunthor (dunia
pengarang), dan the world of the reader (dunia pembaca) yang masing-masing memiliki
titik pusaran tersendiri dan saling mendukung dalam memahami sebuah teks.

B. Saran

Kami sebagai penulis sangat menyadari bahwa didalam makalah ini masih banyak
kekurangannya, oleh karena itu kami mohon maaf. Dan kami sangat berharap atas
kritikan dan saran yang bersifat membangun dan dapat memperbaiki makalah

19
selanjutnya. mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan khususnya
bagi kami sebagai penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Jacob,Pattiasina Petrus.2020. Jurnal hermeneutic,


dalam https://www.researchgate.net/publication/325216565. Diakses 27 April 2020.
Mohammad, Adlany.2020. apa itu hermeneutik, dalam
https://teosophy.wordpress.com/2009/09/12/apa-itu-hermeneutik/, Di akses 27 April
2020.
Habibie, Lukman Hakim.2020. Hermeneutik dalam Kajian Islam,

dalam https://journal.iaimnumetrolampung.ac.id, diakses 26 April 2020.

Efendi,Sofyan.2020. Pengertian dan Asal-Usul Hermeneutika : Sebuah Pertimbangan,


dalam https://sofyaneffendi.wordpress.com/2011/07/26/pengertian-dan-asal-usul-
hermeneutika-sebuah-pertimbangan/, diakses 26 April 2020
Dampuk, Oriol.2020. Bahasa dan Hermeneutika,
dalam https://yorisdampuk93.wordpress.com , dalam diakses 10 Mei 2020

20

Anda mungkin juga menyukai