Askep Kusta
Askep Kusta
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-
beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah
mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk. Pada
tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu
eliminasi kusta tahun 2000. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia
diperkirakan 640.000 dan 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000,
Word Health Organisation membuat daftar 91 negara yang endemik kusta.
70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal (Depkes RI, 2005).
Pada tahun 2000 Indonesia menempati urutan ke tiga setelah India dan
Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun ada
penurunan yang cukup drastis dari jumlah kasus terdaftar, namun
sesungguhnya jumlah penemuan kasus baru tidak berkurang sama sekali. Oleh
karena itu, selain angka prevalensi rate, angka penemuan kasus baru juga
merupakan indikator yang harus diperhatikan (Depkes RI, 2005).
Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO
pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar,
Mozambik, Tanzania dan Nepal. Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang
diperkirakan menderita kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003
menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti
oleh Brasil dan Myanmar (Depkes RI, 2005).
Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi tertinggi di provinsi
Jawa Timur yaitu mencapai 4 per 10.000 penduduk.selanjutnya provinsi Jawa
Barat mencapai 3 per 10.000 penduduk dan provinsi Sulawesi Selatan yaitu 2
per 10.000 penduduk (Depkes RI, 2002).
1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi penyakit kusta ?
2. Bagaimana etiologi dari penyakit Kusta?
3. Bagaimana patofisiologi dari penyakit kusta?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit Kusta?
C. TUJUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI KUSTA
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya.(Depkes RI, 1998)
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi
mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi k ulit dan saraf
perifer,tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)
B. ETIOLOGI
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang
ditemukan pada tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang,
3
gram positip, berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk
globus. Kuman Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistim
retikuloendotelial, dengan masa generasi 1224 hari, dan termasuk kuman yang
tidak ganas serta lambat berkembangnya.
Kuman-kuman kusta berbentuk batang, biasanya berkelompok dan ada
yang tersebar satu-satu dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2-0,5 mic
yang bersifat tahan asam.
Sampai saat ini kuman tersebut
belum dapat dibiakkan dalam medium
buatan, dan manusia merupakan satu-
satunya sumber penularan. Berbagai
usaha telah dilakukan untuk membiakkan
kuman tersebut yaitu melalui: telapak
kaki tikus, tikus yang diradiasi,
armadillo, kultur jaringan syaraf manusia
dan pada media buatan.
Diagnosis penyakit lepra melalui usapan sekret hidung dan melalui
kerokan kulit penderita. Kuman yang berada di sekret hidung yang kering,
dapat bertahan hidup sampai 9 hari di luar tubuh, sedangkan di tanah yang
lembab dan suhu kamar, kuman ini dapat bertahan sampai 46 hari.
C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari
tanda kardinal berikut:
1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat
bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul. Kehilangan
sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit
dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan
sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
4
2) BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan
kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa
ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
(anaesthesi).
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)
kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada
wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai
D. KLASIFIKASI
A. Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953)
Indeterminate (I)
5
Tuberkuloid (T)
Boderline-Dimorphous (B)
Lepromatosa (L)
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)
Tuberkoloid (TT)
Borderline tuberculoid (BT)
Mid-Borderline (BB)
Borderline Lepromatous (BL)
Lepromatosa (LL)
C. Klasifikasi menurut WHO (1995) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
Pause Basiler (PB) : I, TT, BT
Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
Perbedaan antara kusta Pause Basiler (PB) dengan Multi Basiler (MB)
menurut WHO
6
pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit a. Tidak ada a. Ada, kadang-
kadang tidak ada
b. Membrana b. Tidak pernah ada b. Ada, kadang-
mukosa tersumbat kadang tidak ada
perdarahan
dihidung
3. Ciri hidung ”central healing” a. Punched out lessi
penyembuhan ditengah b. Medarosis
c. Ginecomastia
d. Hidung pelana
e. Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut
asimetris biasanya lebih dari 1 dan
simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada stadium lanjut
dini
7. Apusan BTA negatif BTA positif
E. PATOFISIOLOGI
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated
immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang
kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. M.
leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah
akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
7
tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
8
F. PATH WAY
Mycobacterium Leprae
fagositosis
Pembentukan tuberkel
G3 saraf tepi
Resiko penyebaran
infeksi Sekresi mediator
nyeri nyeri
G3 citra tubuh
9
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium
leprae ialah:
a. Cuping telinga kiri atau kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput
lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput
lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit
ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai
pasien kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,
yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu
cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk
10
kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-
pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
H. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
11
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut:
1) Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
a. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah
selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan
RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of
Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2) Tipe MB (Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas
dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum
dirumah
c. DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut
WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan
RFT.
12
sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 jam.
Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta
tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya.
2. Perawatan Umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi,
baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan
reaksi netral.
a. Perawatan mata dengan lagophthalmos
Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan
atau kotoran
Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b. Perawatan tangan yang mati rasa
Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-
tanda luka, melepuh
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih
kurang setengah jam
Keadaan basah diolesi minyak
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c. Perawatan kaki yang mati rasa
Penderita memeriksa kaki tiap hari
Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
Masih basah diolesi minyak
13
Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
Jari-jari bengkok diurut lurus
Kaki mati rasa dilindungi
d. Perawatan luka
Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
Luka dibalut agar bersih
Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-
anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat
menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan.
Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah
dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan
adanya komplikasi pada organ tubuh.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam
kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita
morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga
klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan
f. Pola Aktivitas Sehari-hari
15
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan
dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada
orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan.
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi
berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah
karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1) System Pengelihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.
Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan
pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis
mata akan rontok.
2) System Pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
3) System Persarafan
Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/ mati rasa. Akibat kurang/ mati rasa pada telapak
tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea
mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/
lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena
tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
16
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan
mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
Kerusakan Fungsi Otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi
kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-
pecah.
4) System Musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan
atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5) System Integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan.
b. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamas.
c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan otot
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx 1: Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan proses
inflamasi jaringan, ditandai dengan:
DS:
Pasien mengatakan susah tidur
Pasien mengatakan skala nyeri 6
DO:
17
Pasien tampak gelisah
Pasien tidak dapat beraktivitas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
nyeri yang di alami klien berkurang
Kriteria Hasil:
Skala nyeri pasien 1-3
Grimace tidak ada
Pasien dapat tidur atau istirahat dengan tenang
Pasien dapat beraktivitas sesuai toleransi
No Intervensi Rasional
1 Kaji karakteristik nyeri Memberikan informasi untuk
membantu dalam memberikan
intervensi
2 Observasi tanda-tanda vital. Untuk mengetahui perkembangan atau
keadaan pasien.
3 Ajarkan dan anjurkan melakukan Dapat mengurangi rasa nyeri.
tehnik distraksi dan relaksasi
4 Atur posisi senyaman mungkin. Posisi yang nyaman dapat
menurunkan rasa nyeri.
5 Kolaborasi untuk pemberian Menghilangkan rasa nyeri.
analgesik sesuai indikasi.
18
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam proses
inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.
Kriteria Hasil:
Menunjukkan regenerasi jaringan
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
No Intervensi Rasional
.
1. Kaji/catat warna lesi, perhatikan Memberikan informasi dasar
jika ada jaringan nekrotik dan tentang terjadi proses inflamasi
kondisi sekitar luka. dan mengenai sirkulasi daerah
yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada Menurunkan terjadinya
daerah yang terjadi inflamasi. penyebaran inflamasi pada
jaringan sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan Mengevaluasi perkembangan lesi
yang terjadi inflamasi, perhatikan dan inflamasi dan mengidentifikasi
adakah penyebaran pada jaringan terjadinya komplikasi.
sekitar.
4. Bersihkan lesi dengan sabun pada Kulit yang terjadi lesi perlu
waktu direndam. perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi.
5. Istirahatkan bagian yang terdapat Tekanan pada lesi bisa
lesi dari tekanan. maenghambat proses
penyembuhan.
19
DS:
Klien mengeluh sulit melakukan aktivitas
DO:
Terdapat penurunan fungsi kekuatan pada bagian tubuh yang sakit
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kelemahan
fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan.
Kriteria Hasil:
Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
Kekuatan otot penuh
BAB IV
PENUTUP
20
A. KESIMPULAN
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang
saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
21
B. SARAN
Semoga makalah ini bermanfaat , kami mohon maaf apabila ada kesalahan
penulisan di dalam makalah ini ,kami tau makalah ini masih kurang baik jadi
kami mohon kritik dan saran untuk kedepannya terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
22
http://www.scribd.com/doc/50863131/ASUHAN-KEPERAWATAN-PADA-
KLIEN-DENGAN-KUSTA (online) diakses pada 1 desember 2012
http://www.scribd.com/doc/85138016/ASUHAN-KEPERAWATAN-KUSTA
http://usadhaxamthone.com/penyakit-kusta/ (online) di akses pada 1 desember
2012
http://www.scribd.com/doc/83637292/Patofisiologi (online) di akses pada 1
desember 2012
www.sith.itb.ac.id/profile1/pdf/bisel/Kusta1.pdf (online) di akses pada 1
desember 2012
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23780/2/Chapter%20II.pdf
(online) di akses pada 1 desember 2012
23