Anda di halaman 1dari 19

TATA KELOLA PERTANAHAN DAN DISTRIBUSI LAHAN PERTANIAN:

Studi Perbandingan Kebijakan Pemerintah Indonesia dan Pandangan Abu ‘Ubaid Al Qasim
Bin Salam

Rusdi Hamka Lubis


(Dosen Fakultas Syariah Institut PTIQ Jakarta, Mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)

Pendahuluan
Indonesia dikenal dengan negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia (hampir
50%) bekerja pada sektor pertanian. Luas tanah dan kesuburan tanah serta iklim menjadikan sektor
pertanian sebagai inti penting dari pembangunan ekonomi. (Pujiasmanto, Yunus, 2018, p.1-8).
Pemerintah seharusnya cepat tanggap dalam memikirkan berbagai permasalahan dalam ekonomi
pertanian demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Ekonomi pertanian di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat lambat, walapun
Indonesia dikenal sebagai negara agraris dan sebagian besar penduduk bekerja dibidang pertanian,
namun capaian pertumbuhan sektor pertanian masih sangat rendah (Simatupang, 2016, p.37-50). Ada
beberapa penyebab yang melatarbelakangi tingkat pertumbuhan yang rendah, antara lain, tidak adanya
penambahan lahan baru, terjadinya konversi lahan produktif menjadi lahan komersial, dan rusaknya
sebahagian sistem irigasi. (Shohibuddin, 2019, p. 1-12.)
Menurut data Badan Pusat Statistika, pada tahun 2019 kuartal I (pertama) pertumbuhan
agribisnis masih di bawah 5%, bahkan sangat merosot pada angka 1,18% (YoY) sangat jauh dari
pertumbuhan pada kuartal yang sama tahun 2018 masih pada angka 3,34%(YoY). Hal ini akibat
beberapa masalah yang melekat di sektor pertanian. Sejak tahun 2012, berbagai masalah masih
melanda petani dan masyarakat pedesaan. Seperti masalah akses dan kontrol atas tanah, air, benih,
konflik agraria, (Ahmad, 2018) belum adanya perlindungan harga produk pertanian bagi para petani
kecil serta serbuan pangan impor murah yang menyebabkan anjloknya harga produk pertanian dalam
negeri. (Saputra, 2018)

Konflik Pada Sektor Pertanian- Provinsi dengan konflik terbanyak


Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah menangani sebanyak
300 kasus konflik agraria yang terjadi di 16 provinsi dengan luas lahan konflik sebanyak 488.404,77
Hektar lahan. Konflik pada sektor pertanian tertinggi berada di daerah Jawa Tengah dengan 51 kasus,
sayangnya beberapa konflik adalah konflik lama yang tidak berkesudahan sampai saat ini dan belum
mendapatkan solusinya.
Pada tahun 2009 dikeluarkan keputusan bersama antara Ketua BPN dan KAPOLRI tentang
Penanganan Konflik Agraria. Namun, dua tahun kemudian bara konflik terbakar, insiden Mesuji,
Lampung dan Sumsel di antara ratusan insiden lainnya. Walhasil, petugas malah terlibat, karena
sistem pengamanan perusahaan-perusahaan yang berkonflik itu menggunakan jasa aparat, preman dan
pamswakarsa.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah melakukan berbagai strategi dalam percepatan
reformasi agraria, janji politiknya akan menjalankan program reformasi agraria secara bertahap,”
Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan
konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan
rakyat. Inilah yang disebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan . Program
“Redistribusi lahan untuk petani” Pemerintah berjanji melakukan redistribusi 400 ribu hektar tanah
kepada subjek yang termasuk prioritas, yaitu buruh tani, petani, nelayan dan tata ruang, namun dalam
realisasinya pemerintah baru dapat meredistribusi lahan sebanyak 270 hektar sebagaiman data yang
dirilis oleh Badan Pertanahan Nasional. (Bayu, Katadata,2019)
Dalam kasus lain, area lahan yang menjadi hak perusahaan itu dibiarkan terlantar dan kosong.
Karena melihat bahwa lahan itu kosong, lalu orang-orang pun berdatangan menggarapnya karena
desakan kebutuhan hidup. Di satu sisi karena merasa lahan itu adalah haknya, perusahaan pun
melakukan penertiban atau meminta pemerintah melakukan penertiban. Perusahan berlindung di balik
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Undang-undang ini memberikan legalitas

1
yang kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai
rakyat.
Konflik pun pecah antara mereka yang menggarap dan menguasai tanah itu termasuk pemilik
hak ulayat dengan perusahaan dan pemerintah. Atas nama Undang-Undang, aparat keamanan
diterjunkan untuk menertibkan. Pasalnya, hukum mengharuskan negara memberikan perlindungan
keamanan dan jaminan berjalannya operasi perusahaan atas nama investasi. Perusahaan memberikan
dana untuk mendukung pengamanan atau penertiban. Rakyat kecil selalu menjadi pihak yang
dirugikan bila berhadapan dengan korporasi dalam sengketa lahan. (Efendi, 2019, 1-12)
Di sinilah akhirnya terlihat keberpihakan aparat (negara) kepada pemilik modal (investor)
dengan alasan sesuai amanat UU Investasi. Dalam melaksanakan itu, aparat sering kali menggunakan
pendekatan represif. Akibatnya terjadilah bentrokan dan kekerasan oleh aparat (negara) terhadap
rakyatnya sendiri. Semuanya demi menjamin dan melindungi kepentingan investor pemilik modal.
Jadilah, aparat atau negara akhirnya menjadi berhadap-hadapan dengan rakyatnya sendiri.Rangkaian
berbagai konflik tidak bisa diharapkan bisa diselesaikan dengan Undang-Undang Penanganan Konflik
Sosial. Sebab, Undang-Undang tersebut hanya berorientasi pada penanganan konflik (conflict
manifest), tetapi belum memuat proses pengelolaan konflik (conflict management) secara utuh dan
menyeluruh. Undang-undang ini juga belum menyentuh akar persoalan sebenarnya, yakni konsensuk
yang masih bercorak liberal yang lebih berpihak kepada kepentingan pemilik modal dengan
mengorbankan hak dan kepentingan rakyat.
Semua ini tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Sistem
itu melahirkan corporation state berupa hubungan simbiosis mutualisme antara elit politik dan bisnis
yang merugikan rakyat banyak. Sistem demokrasi yang menjadi pilar pokok ideologi kapitalisme ini
kemudian menjadi alat legitimasi lahirnya UU liberal.Tanpa persetujuan, tanah-tanah adat, kebun dan
pemukiman direbut perusahaan. Rakyat yang hanya butuh hidup tenang dan menanam singkong
bergelimpangan menyetor nyawa. HuMa (Hukum berbasis Masyarakat) mencatat 108 konflik di 10
propinsi, Sawit Watch mencatat 663 Konflik Perkebunan, BPN bahkan mencatat lebih dari 8000
konflik agraria di Indonesia. Birokrasi agraria terbukti membela Kaum bermodal, karena semua lebih
patuh pada isi kantong, di banding isi perut rakyat.
Pada tahun 2012 sejumlah kebijakan strategis pemerintah disektor pangan dan pertanian
dikeluarkan, ditengah kondisi sistem pertanahan Indonesia yang pelik tidak membuat pemerintah
batal dalam mengeluarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum yang semakin menambah tumpang tindih aturan pertanahan
dan berpotensi besar meningkatkan konflik agraria. Di tahun yang sama, pembahasan panjang revisi
Undang-Undang No 7 Tahun 1996 dituntaskan dengan dikeluarkannya Undang-Undang pangan baru
No 18 Tahun 2012.
Menurut Henry Saragih ketua umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Undang-Undang baru
tersebut justru melemahkan semangat kedaulatan pangan SPI dan organisasi rakyat lainnya, sejumlah
pasal dalam Undang-Undang baru tersebut yang justru semakin memberi ruang yang luas pada
perusahaan pangan dan agribisnis untuk mengelola sektor pangan dan pertanian yang menjadi hajat
orang banyak.
Peraturan baru tersebut juga belum mampu membendung arus impor pangan yang semakin
besar. Berbagai komoditas pangan tidak sesuai target pencapaiannya. Tahun ini ketergantungan pada
impor sejumlah komoditas seperti kedelai, singkong, dan gandum telah menyebabkan gejolak yang
cukup besar baik ditingkat konsumen maupun produsen kecil.
Untuk mengatasi berbagai masalah diatas perlunya peran pemerintah yang lebih serius dalam
memikirkan strategi dan sistem perekonomian di Indonesia. Berbagai gejolak ekonomi pertanian di
Indonesia baik individu maupun kelompok, pembangunan dari sudut infrastruktur terus berkembag
namun permasalahan ekonomi pertanian seperti konflik atas kepemilikan lahan, alih fungsi lahan
pertanian atau konversi lahan tidak dapat terselesaikan. Sebuah negara tidak hanya melihat pada
bagaimana mendapatkan laju pertumbuhan yang tinggi dalam output agregat, namun pemerintah yang
bertugas menata negara yang sejahtera juga harus mampu mengurangi secara substansial
ketidakseimbangan ekonomi makro dan kesenjangan ekonomi, karena semua manusia memiliki hak
untuk hidup bahagia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Secara
historis, umat muslim pernah menjadi acuan dalam pemikiran ekonomi dunia karena bisa

2
menciptakan perekonomian yang stabil sehingga terhindar dari inflasi dan spekulasi. (Karim, A. 2012)
Pemikiran ekonomi Islam lahir dari kenyataan bahwa Islam adalah sistem yang diturunkan Allah
kepada seluruh manusia untuk menata seluruh aspek kehidupannya dalam seluruh ruang dan waktu.
Tidak satupun masalah atau aspek yang terkait dengan kehidupan manusia , langsung atau tidak
langsung, dan dibutuhkan oleh manusia, melainkan Islam telah memberikan penjelasan tertentu
tentang masalah atau aspek itu. (Izzan & Tanjung,2006,hlm.1). Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya
sudah ada sejak munculnya Islam itu sendiri. Namun sebagian besar diskusi-diskusi ekonomi Islam
terkubur dalam literatur-literatur kitab klasik. (Siddiqi,2003,hlm.3)
Sungguh disayangkan pemikiran-pemikiran ekonomi Islam dikesampingkan di negara yang
mayoritas umat muslim ini, dan sebagian orang masih menganggap bahwa Islam sebagai hambatan
dalam pembangunan ekonomi. Meskipun pandanga ini berasal dari para pemikir barat, tidak sedikit
juga intelektual Muslim yang meyakininya. Mereka memandang Islam sebagai suatu agama yang
terisolasi oleh masalah-masalah ritual, bukan sebagai suatu sistem yang komprehensif yang mencakup
seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya pembangunan ekonomi.
Dalam zaman yang segalanya serba global, peranan pemerintah untuk melakukan
pembangunan ekonomi khususnya merupakan kunci menuju masyarakat yang lebih makmur. bahkan
pada waktunya diharapkan bisa menjadi Negara yang maju/industry. masalah Negara terbelakang atau
Negara berkembang begitu besarnya dan masalah itu tidak bisa diserahkan begitu saja pada
mekanisme bebas kekuatan-kekuatan ekonomi.
Tercatat dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan Islam, para ulama dan sarjana muslim
pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi
juga secara empiris dan ilmiah dengan metedologi yang sistematis (Huda & Muti,2011,hlm.2). Salah
satu tokoh pemikir Islam yang telah banyak mengkaji ayat, hadist, atsar, realitas, dan aplikasi
keuangan dalam lingkup syariah dan negara Islam, yang menghasilkan banyak karya-karya atau
bukunya yang sangat terkenal, salah satunya yaitu kitab Al-Amwaal yang membahas dan
mendokumentasikan berbagai hasil ijtihad para pemikir mazhab fiqih yang berhubungan dengan
kajian ekonomi dan keuangan (Utomo,Al-amwal,2009,hlm.23). Pemikir ekonom Islam tersebut ialah
Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam.
Abu ‘Ubaid merupakan seorang ahli hadits (muhaddits) dan ahli fiqh (fuqaha) terkemuka di
masa hidupnya yang menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan Al-qur’an dan Hadits
melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan institusinya. Ia diangkat sebagai seorang qadi
(hakim) di masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid di Tarsus hingga tahun 210 H, slama menjabat
sebagai qadi, ia sering menangani berbagai kasus pertahanan dan perpajakan serta menyelesaikan
dengan baik. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Arab juga menunjukkan
bahwa Abu ‘Ubaid sedikit banyak menguasai bahasa tersebut.
Secara umum, pada masa hidup Abu ‘Ubaid, pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang
paling baik dan utama karena menyediakan keutuhan dasar, makanan dan juga merupakan sumber
utama pendapatan negara. Hal ini menjadikan masalah perbaikan sektor pertanian menjadi isu utama,
bukan masalah pertumbuhan ekonomi dalam pengertian modern, oleh karena itu, Abu ‘Ubaid
mengarahkan sasarannya pada persoalan legitimasi sosio-politik-ekonomi yang stabil dan adil.
Jika isi kitab Al-Amwaal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu ‘Ubaid
menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu ‘Ubaid, pengimplementasian dari prinsip-
prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial (Utomo,Al-
Amwal,2009,hlm.8). Dengan kata lain. Abu ‘Ubaid ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang
hanya menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok masyarakat lainnya
harus dihindari negara semaksimal mungkin. Pemerintah harus mengatur harta kekayaan negara agar
selalu dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan mengawasi hak kepemilikan pribadi agar tidak
disalahgunakan sehingga mengganggu atau mengurangi manfaat bagi masyarakat umum.
Pandangan-pandangan Abu ‘Ubaid juga merefleksikan perlunya memelihara dan
mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewajiban masyarakat serta menekankan esprit de
corps, rasa persatuan dan tanggung jawab bersama. Abu ‘Ubaid juga dengan tegas menyatakan bahwa
pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam
sebuah masyarakat muslim (Utomo,Al-Amwal,2009,hlm.15).
Problem Statement

3
Konflik agraria yang masih sering terjadi di Indonesia perlu terus dibenahi dan dicarikan solusi
terbaiknya. Perbaikan ini tentu harus dikaji dengan pertimbangan dari segala pandangan dan
perspektif, diantaranya hukum, sosial dan ekonomi. Penelitian ini menitik beratkan tema, Sejauhmana
peran pemerintah dalam distribusi dan pengelolaan lahan pertanian di Indonesia? Kebijakan seperti
apa yang dibutuhkan, sehingga dapat efektif menurunkan kesenjangan dalam kepemilikan lahan
perkebunan saat ini?

Metode Penelitian
Penelitian ini adalah desain penelitian deskriptif, penelitian ini berupa penelitian kepustakaan
(library research) dengan data dan cara analisis kualitatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data kualitatif yang diperoleh dari sumber otentik yang terdiri atas sumber data primer dan
sumber data sekunder. Penelitian ini bersifat studi literatur, jadi tidak menggunakan populasi untuk
merangkum seluruh elemen yang berkaitan dengan penelitian, dan tidak juga sampel merupakan
bagian yang menjadi objek sesungguhnya dari sebuah penelitian yang dianggap mewakili keseluruhan
populasi. Namun penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisis objek dengan membaca dan
menelaah berbagai sumber yang berkaitan dengan topik.

Penelitian Terdahulu
Pembahasan pertanahan dan kebijakan distribusi lahan oleh pemerintah sebagai regulator adalah studi
yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan bila kebijakan tidak dengan prinsip win-win solution
maka akan terjadi efek negatif dalam sosial masyarakat. Penelitian ini tentu diharapkan dapat menjadi
salah satu masukan yang berharga. Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan
dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan.
Kemudian thesis yang disusun oleh Mukhtar Rosyid Harjono yang berjudul “Implementasi
kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian di Kabupaten Kendal”pada tahun 2005 di
Universitas Dipenogoro Semarang. Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya
konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh : Pertama, di dalam peraturan perubahan lahan pertanian
tidak terdapat sanksi yang jelas bagi para pelanggarnya. Kedua, kurangnya komitmen panitia
pertimbangan izin perubahan tanah dalam menindak pelanggar karena alasan kemanusiaan. Ketiga,
perilaku masyarakat dalam mengkonversi lahan pertanian tanpa melalui prosedur perijinan yang
ditetapkan pemerintah. Lahan-lahan yang terkonversi kebanyakan untuk permukiman dan dilakukan
oleh para petani. Lahan tersebut merupakan lahan subur, beririgasi teknis, dan mampu panen lebih
dari dua kali.
Karya ilmiah yang berjudul “Pemikiran Abu ‘Ubaid Tentang Zakat” oleh Royyan Ramdhani
pada tahun 2010. Ia menulis bahwa pada dasarnya pemikiran Abu Ubaid tentang zakat adalah
penerapan dan pengelolaan zakat yang dipraktekan pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Prinsip dari pengelolaan zakat pada masa tersebut adalah adanya peran pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan politik dalam pengelolaan zakat, pembentukan institusi zakat sebagai institusi keuangan
publik, dan pola distribusi zakat. Secara prinsip pengelolaan zakat pada masa tersebut dapat
diaplikasikan pada masa kini, khususnya pengelolaan zakat di Indonesia. Beberapa kebijakan
pemerintah mengenai pengelolaan zakat merupakan peran pemerintah dalam hal menjamin
pengelolaan zakat di tanah air. Akan tetapi diperlukan beberapa perbaikan dan penyelarasan, serta
pengawasan dalam praktek zakat di lapangan. Dengan memperhatikan beberapa hal di atas,
diharapkan pola dan system pengelolaan zakat di Indonesia lebih baik dan dapat memberikan
kontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya tingkat perekonomian umat muslim
yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia.(Lubis, RH : 2019 : 14)
Kemudian disertasi yang berjudul “Kemiskinan dan kebijakan Penanggulangganya di
kawasan barat dan timur Indonesia” yang disusun oleh Ibu Sri Wahyuni di IPB Bogor tahun 2011.
Menurut beliau, satu faktor penyebab kemiskinan disektor pertanian adalah rendahnya produktifitas
disektor tersebut dan hal ini salah satunya disebabkan oleh distribusi lahan pertanian yang semakin
timpang. Sebuah realita menunjukka bahwa pertanian di Indonesia didominasi oleh patani kecil
(petani gurem). Petani gurem adalah petani dengan luas lahan garapan kurang dari 0,5 ha. Dalam satu
konsepnya mengenai lingkaran kemiskinan, menyebutkan bahwa timbulnya lingkaran setan
kemiskinan disebabkan kurangnya akses dalam pembentukan modal. Lembaga perbankan yang ada di
Indonesia masih kurang menjangkau petani kecil. Petani yang paling sering mendapatkan kredit

4
adalah petani pemilik lahan. Kurangnya modal menyebabkan petani kecil sulit untuk mengembangkan
usahanya, sehingga pendapatan yang diterimanya sulit untuk meningkat. Akibatnya, kemiskinan
disektor pertanian cenderung persistent dan sulit untuk diturunkan.

Peran Pemerintah Dalam Ekonomi Pertanian


Semakin kompleksnya kegiatan ekonomi dan semakin tingginya keterkaitan dengan aspek-
aspek kehidupan lainnya, sangat sulit bagi suatu sistem ekonomi termasuk yang paling liberal
sekalipun untuk menolak kehadiran peran negara atau pemerintah dalam perekonomian.
Walaupun mekanisme pasar merupakan cara yang dikehendaki dalam memproduksi dan
mengalokasikan barang, akan tetapi, mekanisme pasar sering gagal berfungsi. Kegagalan pasar akan
mengurangi hasil ekonomi. Untuk memperbaiki kegagalan tersebut, seringkali menuntut campur
tangan pemerintah untuk menjamin adanya efisiensi, pemerataan, dan stabilitas ekonomi.
Sejak Indonesia merdeka sudah terlihat bahwa pemerintah memegang peranan besar dalam
perekonomian. Hal tersebut tercantum secara eksplisit dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3.
Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa : Ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat 3: Sumber air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Sebagai salah satu pelaku ekonomi, pemerintah memiliki tiga fungsi penting dalam
perekonomian, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
1. Fungsi alokasi : Fungsi alokasi yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa publik,
seperti pembangunan jalan raya, jembatan, penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon umum.
2. Fungsi distribusi : Fungsi distribusi yaitu fungsi pemerintah dalam pemerataan atau distribusi
pendapatan masyarakat.
3. Fungsi stabilisasi : Fungsi stabilisasi yaitu fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan
ekonomi, sosial politik, hukum, serta pertahanan dan keamanan.

Lahan Perkebunan
Sektor pertanian merupakan penghasil devisa yang penting bagi Indonesia. Salah satu subsektor
andalannya adalah subsektor perkebunan, seperti ekspor komoditas karet, kopi, teh, kakao, dan
minyak sawit. Lebih dari 50% total produksi komoditas-komoditas tersebut adalah untuk di ekspor.
Klasifikasi Pertanian yang akan penulis bahas dalam skripsi ini yaitu sektor Perkebunan
komoditas kelapa sawit dan karet, dimana subsektor perkebunan pada komoditas tersebut terdapat
permasalahan lahan yang menyebabkan banyak korban pada masyarakat pribumi, sengketa lahan
yang tidak kunjung mendapat solusi yang adil dari pemerintahan dan memberikan dampak
kesenjangan ekonomi. Menurut pemilikannya perkebunan dibagi menjadi perkebunan BUMN,
perkebunan Swasta Asing, perkebunan Swasta Nasional, Joint venture, dan PIR (Perkebunan Inti
Rakyat).
Lahan perkebunan adalah lahan usaha pertanian yang luas, biasanya terletak di daerah tropis
atau subtropis, yang digunakan untuk menghasilkan komoditas perdagangan (pertanian) dalam skala
besar dan dipasarkan ke tempat yang jauh, bukan untuk konsumsi lokal. Perkebunan dapat ditanami
oleh tanaman industri seperti karet, kelapa sawit dan yang lainnya. Dalam pengertian bahasa Inggris,
“perkebunan” dapat mencakup plantation dan orchard. Ukuran luas perkebunan sangat relatif dan
tergantung ukuran volume komoditas yang dipasarkannya. Namun demikian, suatu perkebunan
memerlukan suatu luas minimum untuk menjaga keuntungan melalui sistem produksi yang
diterapkannya. Selain itu, perkebunan selalu menerapkan cara monokultur, paling tidak untuk setiap
blok yang ada di dalamnya. Ciri yang lainnya, walaupun tidak selalu demikian, adalah terdapat
instalasi pengolahan atau pengemasan terhadap komoditi yang dipanen di lahan perkebunan itu,
sebelum produknya dikirim ke pembeli.

Kondisi Pertanahan
Menurut Drs.M.Suparmoko,M.A.,Ph.D konsultan ekonomi dan ekonomi lingkungan tingkat
nasional dan internasional. Diperkirakan 1/6 (seperenam) dari tanah daratan berwujud padang pasir.
Padang pasir dapat menyumbang masukan bagi produksi barang-barang berupa sumberdaya mineral,
namun untuk perkembangan pertanian daratan padang pasir ini tidak dapat diperhitungkan.

5
Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia
karena tanah merupakan masukan yang diperlukan untuk setiap bentuk aktivitas manusia seperti
untuk lahan perkebunan yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini. Tanah juga diperlukan
untuk daerah industri, pemukiman, jalan-jalan untuk transportasi, daerah rekreasi, atau daerah yang
dipelihara kondisi alamnya untuk maksud ilmiah.
Tanah juga merupakan asas dari pertanian, yang menentukan bentuk produksi adalah metode
penguasaan tanah dan pengelolaannya bukan tenaga manusia, skill, alat dan hubungan produksi.
Untuk itu, tanah harus memiliki hukum tersendiri yang berbeda dengan harta benda lain sehubungan
dengan kepemilikan dan pengelolaannya. Tanah tidak sama dengan kepemilikan harta benda yang lain
dan juga dengan pengelolaannya. Hukum itu menjadikan tujuan kepemilikan tanah tidak terpisahkan
dari kepemilikan. Kepemilikan tetap ada jika produksi ada, dan hak kepemilikan akan hilang jika
produks tidak terealisasi, terlepas apakah tanah yang dimiliki itu luas atau sempit, apakah kepemilikan
tanah diantara manusia itu sama atau tidak. (al-Maliki, 2001, hlm.46-47)

Kesalahan Teori Persamaan Kepemilikan Tanah


Menyamakan manusia dalam kepemilikan tanah merupakan perkara yang tidak mungkin
terjadi. Sebab menyamakan semua kepemilikan itu tidaklah mungkin. Sama saja, apakah itu
kepemilikan tanah atau lainnya. Akan lebih tidak mungkin lagi terjadi pada kepemilikan tanah.
Menyamakan kepemilikan tanah itu tidak realistis dan juga tidak dapat diterapkan. Manusia menurut
karakteristik fitrahnya diciptakan berbeda-beda kekuatan fisik dan akalnya dan berbeda pula dalam
pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya.
Penyamaan diantara manusia dalam kepemilikan sedang mereka berbeda-beda kekuatannya,
maka dinilai jauh dari keadilan. Berbeda-bedanya manusia dalam penguasaan fasilitas-fasilitas dan
alat-alat produksi merupakan perkara yang pasti dan alami. Jika mereka disamakan dalam
penguasaannya, maka ia telah berbuat zalim kepada orang yang lebih besar dalam mengarahkan
tenaganya dan lebih kuat bekerja ketika disamakan dengan orang yang sedikit mengerahkan tenaga
dan tidak kuat bekerja. Dengan demikian, menyamakan manusia dalam kepemilikan adalah suatu
kedzaliman (kejahatan).
Jika manusia dilarang memiliki tanah pertanian kecuali jika sama, maka hal ini akan membawa
pada terabaikannya tanah yag dimiliki oleh orang-orang yang tidak mampu bekerja, lemah, dan malas.
Akhirnya berdampak pada berkurangnya produktifitas tanah. Keberadaan orang-orang tidak mampu,
lemah, dan malas pada setiap umat dan bangsa adalah perkara yang pasti ada. Dengan demikian,
menyamakan manusia dalam kepemilikan tanah membawa pada berhenti dan lemahnya produksi,
yakni berdampak pada bahaya yang besar. Dari sini tampak sekali kesalahan kajian topik yang mereka
namakan reformasi pertanian, yakni mendistribusikan kembali penguasaan tanah diantara manusia
secara sama. Demikian juga kajian tentang masalah yang oleh manusia dinamakan dengan feodal,
yakni kepemilikan tanah yang luas kemudian mendistribusikan kembali dengan sama, sebab
menyamakan dalam kepemilikan itu berbahaya. Kajian kepemilikan tanah tidak terkait dengan
masalah luas atau sedikitnya kepemilikan tanah (oleh seorang warga negara), namun terbatas pada
masalah produktifitas tanah. (al-Maliki, 2001, hlm.49-51)
Hukum Pertanahan Menurut Abu Ubaid
Adapun hukum – hukum pertanahan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid adalah terdiri dari :
a.       Iqtha' (Tanah Garap)
Iqtha’ Yaitu tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada seorang rakyat untuk menguasai
sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya. Dalam kitab Al-Amwal, Abu Ubaid menafsirkan
tanah biasa yang bisa dijadikan iqtha’ dan yang tidak bisa. Dan biasanya setiap daerah/tanah yang
dihuni pada masa yang lama, kemudian ditinggalkan penghuninya maka keputusan hukum tanah itu
diserahkan kepada kepala negara.
Kepala Negara, begitu juga setiap tanah yang mati (tidak digarap) tidak ada seseorang yang
mengelolanya dan tidak dimiliki orang Islam maupun kafir. Umar ra mengirim surat kepada Abu
Musa, “Jika tanah itu bukan tanah yang dialiri air jizyah, maka aku akan meng-’iqtha tanah itu
baginya”. Di sini jelas bahwa ‘iqtha itu terhadap tanah yang tidak dimiliki dan bukan tanah jizyah,
jika keadaan tanah tersebut demikian maka pengaturannya diserahkan kepada kepala Negara.
b.    Ihya' al-Mawat (Menghidupkan Tanah Yang Mati)

6
Ihya' al-Mawat yaitu menghidupkan kembali tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada
pemiliknya dan tidak dimanfaatkan dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan dan
menanam kembali benih-benih kehidupan pada tanah tersebut. Dalam hal ini negara berhak
menguasai tanah tersebut dengan menjadikannya milik umum dan manfaatnya diserahkan untuk
kemaslahatan umat. Mengenai ihya al-Mawat ini, Abu Ubaid membagi menjadi tiga macam: pertama,
Seseorang datang ke tanah tersebut lalu mengelola dan mendiaminya, kemudian datang orang lain
yang mempebaharui tanaman dan bangunan agar menjadi haknya tanah yang dikelola oleh orang
sebelumnya. Kedua, Kepala negara meng-’iqtha-kan kepada seseorang tanah mati dan tanah itu
menjadi milik penerima iqtha’, kemudian orang itu menyia-nyiakan dengan tidak mengelola dan
mendiaminya sehingga datang orang lain lalu mengelola dan mendiami serta menyangka tanah ini
tidak ada yang mengurusi. Dalam hal ini, pendapat Abu Ubaid merujuk pada yang dilakukan Umar ra,
terhadap orang yang telah memperoleh tanah iqtha’ pada masa Rasullah. Kemudian ditelantarkan
sampai pada masa kekhalifahan Umar ra, dan tanah itu digarap oleh orang lain, dengan berkata:
“Kalau bukan ‘iqtha dari Rasullah aku tidak akan memberimu sedikitpun”. Ketiga, Jika seseorang
membangun tembok tanah apakah dengan ‘iqtha dari pemerintah atau tidak kemudian
meninggalkannya pada waktu yang lama dengan tidak mendiaminya. Abu Ubaid berkata: “Pada
sebagian hadist dari Umar; bahwa ia memberi batas tiga tahun dan melarang orang lain utnuk
mendiami tempat tersebut”.   Maka dari ketentuan Umar ini mengandung arti, jika telah melewati
masa tiga tahun dan tidak menempatinya, kepala Negaralah yang memutuskan dan dibolehkan bagi
kepala Negara untuk menyerahkan kepala yang lain, yang mampu dan bisa menempatinya.
c.   Hima (Perlindungan)
Hima yaitu lahan yang tidak berpenduduk yang dilindungi negara untuk tempat mengembala
hewan-hewan ternak. Dimana tanah hima ini adalah tanah yang mendapat perlindungan dari
pemerintah, namun dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat hasil yang ada pada tanah tersebut seperti
air, rumput dan tanaman, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “Orang muslim adalah saudara
bagi muslim yang lainnya, yang memberi mereka keleluasaan air dan rumput”.

Dari uranian diatas mengenai hukum tanah menurut Abu ‘Ubaid, maka pada bab ini dapat
disimpulkan perbedaan dan persamaan terjadi dalam peran pemerintah dalam pengelolaan tanah demi
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Persoalan tanah sudah terjadi pada jaman dahulu hingga saat
ini, hanya saja yang membedakannya adalah peraturan dan suatu lembaga atau badan hukum yang
telah terbentuk pada saat ini.

Hukum tanah di Indonesia dan Pandangan Abu Ubaid


Persamaan dan perbedaan dalam hukum tanah untuk masyarakat dalam mengelolanya menjadi
lahan perkebunan. Jelas terlihat bahwa negara tidak mempunyai hak memanfaatkan sendiri sebagai
milik perseorangan atas tanah, bilamana masyarakat umum memerlukan untuk memakai tanah itu.
Negara hanya mengatur dengan Undang-Undang.
Namun dapat kita lihat perbedaan dari kedua hukum tanah tersebut yaitu, pendapat dari Abu
Ubaid tentang hukum tanah lebih tegas dan mementingkan keadilan masyarakat, adanya ketentuan 3
(tiga) tahun waktu yang ditetapkan apabila tanah yang diberikan tidak digarap atau dimanfaatkan
masyarakat, maka dengan tegas, pemerintah atau kepala negara mengambil alih dari tanah tersebut
dan memberikannya kepada orang yang mau menggarap dan memanfaatkannya.

7
Sedangkan menurut hukum tanah di Indonesia memiliki konteks yang sangat umum. Kemudian
adanya hukum yang mengharuskan masyarakatnya untuk mengajukan permohonan jika ingin
memanfaatkan sebidang tanah. Sungguh sangat menyulitkan masyarakat yang hidup didesa, untuk
mendapatkan tanah mereka harus mengajukan beberapa persyaratan kepada negara. Kenyataan yang
terjadi pula bahwa izin kepemilikan tanah sangat mudah didapatkan oleh perusahaan-perusahaan
besar seperti perusahaan pengelola perkebunan kelapa sawit yang akhirnya mendapatkan lahan luas
dengan masa waktu yang sangat lama.
Masalah tersebut menjelaskan adanya distribusi yang tidak adil dalam pemerintahan ini,
hukum dibuat oleh orang-orang yang berkepentingan didalamnya bukan untuk kemashlahatan
masayarakat. Peran pemerintah dalam distribusi lahan perkebunan sangat penting baik dengan
mengatur Undang-undang baru atau mengawasi langsung pemanfaatan tanah tersebut agar
kesenjangan dalam masyarakat dapat terselesaikan.

Politik Pertanian di Indonesia


Di negara-negara sedang berkembang yang kurang demokratis, biasanya sistem politik yang
tertutup sangat berpengaruh terhadap sistem ekonomi. Sistem politik yang tidak sehat menyebabkan
politik ekonomi dan kebijakan juga menjadi tidak sehat. Relasi politik menjelma kedalam relasi
ekonomi sehingga sistem ekonomi juga berkembang tidak demokratis. Elite dengan lingkaran kecil
yang tertutup berpotensi menguasai sumber-sumber ekonomi yang ada sehingga otomatis terjadi
konsentrasi manfaat ekonomi pada kalangan terbatas saja.(J.Rachbini.2004.Hlm.108-109)
Di seluruh Indonesia hanya ada satu macam hak atas tanah pertanian bagi semua warga negara.
Hak-hak tanah menurut hukum adat di daerah-daerah dapat dibenarkan, bilamana tidak bertentangan
dengan pokok tujuan, di samping itu dasar-dasar yang baik yang ada dalam masyarakat (dasar-dasar
gotong royong dan sebagainnya), dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan tujuan di atas dalam
bentuk modern.(Tauchid.2009.Hlm.356)
Untuk mencegah atau mengurangi konflik pertanahan/lahan perkebunan di Indonesia,
diperlukan politik pertanian yang berkeadilan dan mensejahterakan seluruh rakyat serta komitmen
kuat untuk mengawasi dan mengevaluasi secara efektif dan efesien. Politik pertanian dijalankan untuk
meningkatkan produksi pertanian. Untuk itu, biasanya menempuh dua jalan. Pertama, dengan jalan
intensifikasi, seperti melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produksi tanah. Kedua, dengan
jalan ekstensifikasi, seperti menambah luas area yang akan ditanaminya.
Ekstensifikasi pertanian dicapai dengan mendorong agar menghidupkan tanah mati dan
memagarinya, dengan memberikan tanah secara cuma-cuma oleh negara bagi mereka yang mampu
bertani yang tidak memiliki tanah, mereka yang memiliki area tanah sempit, dan termasuk tanah yang
berada dibawah kekuasaannya. Negara segera mengambilnya secara paksa dari tiap-tiap orang yang
mentelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut. Dengan dua perkara ini intensifikasi dan
ekstensifikasi akan tercapai peningkatan produksi pertanian, dan akan merealisasikan tujuan pokok
dalam politik pertanian. (al-Maliki.2001.Hlm.195)
Struktur, norma dan relasi politik menentukan apakah kesejahteraan ekonomi menjadi
tersebar merata atau tidak. Hal ini sudah diperdebatkan dua ratus tahun yang lalu antara Adam
Smith dan John Stuart Mill. Pasar menyebabkan ekonomi bertumbuh dengan dorongan tangan ghaib
(invisible hand). Tetapi menurut Mill pemerataa hasil pembangunan ekonomi mengikuti pola relasi
politik.(J.Rachbini.2004.Hlm.109)

Jika relasi politik bersifat tertutup, maka kesenjangan menjadi tinggi dengan konsentrasi
kekayaan yang semakin elite. Sebaliknya jika relasi politik bersifat terbuka dan demokratis, maka
keadaan tersebut menjadi fondasi bagi ekonomi yang demokratis pula dengan pemerataan hasil
pembangunan yang lebih adil. Ekonomi Indonesia mengikuti pola pertama dimana sistem politik
yang tertutup menjelma menjadi ekonomi yang tidak adil dengan konsentrasi kekayaan ditangan
elite dan konglomerat di sekitarnya.
Struktur pasar yang bersifat monopolis mengakibatkan terjadinya inefisiensi. Kolusi politik
yang tidak perlu dengan memberikan fasilitas khusus bagi kalangan tertentu dapat mengurangi
kemanfaatan sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Di Indonesia praktek monopoli masih
terus berlangsung dengan berbagai cara, meskipun beberapa pasar untuk komoditas tertentu sudah
mulai dibuka.(J. Rachbini.2004.Hlm.109)

8
Komponen Politik Kepemilikan Tanah
Islam mengakui sisi politik dari tindakan menghidupkan tanah yang sejatinya merupakan
tindakan ekonomi. Tindakan politis yang dilakukan atas tanah dan yang memberikan pelakunya hak
atas tanah tersebut, adalah tindakan yang masuk pada pengakuan Islam.
Tanah dipandang sebagai properti Imam (milik negara), dan syari’ah tidak mengakui
penguasaan serta kendali individu atas tanah. Namun, individu dapat memperoleh hak pribadi atas
tanah dengan jalan menghidupkan dan menyuburkannya. Walaupun hak ini serupa dengan konsepsi
kepemilikan pada masa kini, namun secara teori ia berbeda. Hal ini dikarenakan individu tidak
mendapatkan hak kepemilikan atas tanah, di mana tanah tetap berada dalam ruang lingkup
kepemilikan Imam. Syekh ath Thusi menyatakan bahwa Imam berhak mengutip pajak atas tanah.
Meski sebagian pendapat menyatakan tidak wajib untuk membayar pajak dalah kasus-kasus khusus,
namun hak Imam mengutip pajak atas tanah secara teoritis diakui.(Ash Shadr.2008.Hlm.210)
Jadi syari’ah tidak mengakui kepemilikan pribadi atas tanah kecuali bila individu telah
memiliki sebidang tanah sejak sebelum tanah tersebut masuk ke pengakuan Islam secara sukarela
atau melalui perjanjian.Walaupun Islam memberikan mereka hak kepemilikan pribadi atas tanah
garapan mereka, hal ini tidak berarti mereka memiliki hak absolut atas tanah tersebut. Mereka
terikat dengan kewajiban untuk terus menggarap dan menyuburkan tanah mereka guna membuat
tanah tetap berkontribusi bagi kemajuan masyarakat Islam. Jika mereka mengabaikan tanah
sehingga tanah tersebut menjadi tanah mati, maka dalam kasus ini menurut pendapat sejumlah fakih
dan dalam kitab Al-amwal, tanah tersebut menjadi milik umat/rakyat.

Konsep Reforma Agraria


Jika dilihat dari politik pertanahan di Indonesia, salah satu politik pertanahan yang sangat
strategis untuk mencegah/mengurangi konflik pertanahan adalah reforma agraria (landreform).
Konsep reforma (pembaharuan) agraria pada hakikatnya merupakan konsep landreform yang
dilengkapi dengan konsep access reform dan konsep legal / regulation reform. Konsep landreform
adalah penataan kembali struktur penguasaan kepemilikan tanah yang lebih adil, termasuk
pencegahan konsentrasi kepemilikan tanah. Konsep access reform berkaitan dengan penataan
penggunaan atau pemanfaatan tanah yang lebih produktif disertai penataan dukungan sarana dan
prasarana yang memungkinkan petani memperoleh akses ke sumber ekonomi di wilayah pedesaan
seperti akses sarana dan prasarana pertanian, pengairan, jalan usaha tani, pemasara produksi,
koperasi usaha tani, dan perbankan (kredit usaha rakyat). Sementara konsep policy/ regulation
reform berkenaan dengan pengaturan kebijakan dan hukum yang berpihak pada rakyat banyak.
(Limbong.2012.Hlm.372)

Tanah Dalam Pandangan Syari’ah (Hukum Islam)


Syari’ah menentukan status kepemilikan tanah sesuai dengan bagaimana tanah tersebut
masuk ke penguasaan Islam serta kondisinya ketika menjadi tanah Islam. Kepemilikan tanah di
Indonesia berbeda dengan kepemilikan tanah di Irak,Mesir atau negara lain. Karena negara-negara
tersebut berbeda dalam cara mereka menjadi bagian dari negara Islam.(Ash Shadr.2008.Hlm.159)

Tanah Yang Masuk Wilayah Islam Lewat Penaklukan (Fath)


Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pengakuan negara Islam melalui jihad demi misi
Islam, seperti tanah Irak, Mesir, Iran, Suriah, dan banyak belahan lain dunia Islam. Saat penaklukan
Islam, keadaan tanah-tanah tersebut tidak sama, ada tanah yang telah digarap, dimana telah ada usaha
manusia untuk menyuburkan tanah tersebut. Ada tanah yang subur secara alami tanpa intervensi
langsung manusia, seperti hutan yang penuh pepohonan, diamana tanah tersebut mendapatkan
kekayaan secara alami. Ada juga tanah yang terabaikan begitu saja tanpa terolah oleh tangan manusia
maupun alam (tanah mati).
1. Tanah yang digarap oleh tangan manusia pada saat penaklukan
Jika sebidang tanah pada saat ia dianeksasi adalah tanah yang digarap oleh tangan manusia, dan
ia berada dalam penguasaan seseorang, di mana orang itu menikmati hasil atau manfaatnya, maka
tanah tersebut menjadi milik bersama seluruh Muslim, baik generasi tanah tersebut maupun seluruh
generasi Muslim di masa datang.(Ash Shadr.2008.Hlm.160)

9
Dengan ini berarti, kepala negara memasrahkan tanah-tanah taklukan ke tangan para individu
Muslim yang menggarap dan bercocok tanam di sana, kemudian kepala negara memberlakukan pajak
tanah atas mereka karena tanah-tanah tersebut merupakan milik bersama umat Islam secara
keseluruhan. Kemudian tanah tersebut tidak dapat diwariskan atau diperjualbelikan. (tidak mendapat
hak atas kepemilikan pribadi dan permanen atas tanah tersebut).
2. Tanah Mati Pada Saat Penaklukan
Sebidang tanah yang pada saat masuk ke pengakuan Islam merupakan tanah yang tidak
tergarap oleh tangan manusia ataupun alamm maka ia menjadi milik Imam (Ubaid.Al-
Amwal.Hlm.371). Tanah seperti ini mendapat status milik negara, ia tidak masuk ke ruang
lingkup kepemilikan pribadi, dalam hal ini tanah tersebut sama dengan tanah kharaj (tanah
yang wajib membayar pajak), namun keduaya berbeda dalam hal status kepemilikannya. Tanah
yang merupakan tanah garapan pada saat penaklukan dipandang sebagai milik bersama,
sedangkan tanah yang tidak tergarap (tanah mati) saat masuk ke pengakuan Negara Islam
dipandang sebagai milik negara.
3. Bukti Kepemilikan Negara Atas Tanah Mati
Ada beberapa bukti mengenai kepemilikan negara atas tanah mati. Ada sebuah hadist
dimana Nabi saw. Bersabda “tidak ada seorangpun yang memiliki hak atas tanah mati, kecuali ia
yang Imam kehendaki”. Dari hadist ini Abu Hanifah berkesimpulan bahwa tidak ada seorang pun
yang berhak mengklaim atau memiliki tanah mati tanpa izin dari Imam, dan ini sepenuhnya
selaras dengan fakta bahwa tanah mati adalah milik Imam, atau dengan kata lain, milik negara.
Sebuah hadist lain yang dicatat oleh Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal juga menguatkan
hal ini, diriwayatkan oleh Ibnu Thawus dari ayahnya, Rasulullah saw. bersabda “tanah (‘adi)
adalah milik Allah, Rasul-Nya, kemudian menjadi milik kalian.” An nashsh (teks haidst) ini
menggariskan aturan bahwa tanah ‘adi menjadi milik Rasulullah saw., sementara kalimat
“kemudian menjadi milik kalian” menegaskan hak klaim atasnya (sebagai balasan atas usaha
menghidupkannya).
Dinyatakan dalam kitab al-Amwal “setiap tanah seperti itu adalah tanah ‘adi, di mana pada
masa dahulu manusia menghuninya, namun kemudian tidak ada seorang pun yang menetap di
sana. Tanah seperti ini ditetapkan sebagai milik Imam, sama halnya dengan kasus setiap tanah
mati, yakni tanah di mana tidak ada seorang pun yang menghidupkannya, atau tidak menjadi
milik seorang Muslim pun, atau tidak dikuasai seorang individu pun berdasarkan perjanjian.”
Dalam kitab al-Amwal diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas,”ketika Rasulullah saw. tiba di
Madinah, seluruh tanah yang tidak dialiri air diserahkan ke dalam penguasaa beliau, sesuai
dengan kehendak beliau.” Teks hadist ini tidak hanya memberlakukan prinsip kepemilikan
negara atas tanah mati yang jauh dari tidak mendapat suplai air, namun juga menegaskan aplikasi
prinsip ini selama periode kenabian. Jadi, tanah yang merupakan tanah garapan pada saat
penaklukan menjadi milik publik, sedangkan tanah yang merupakan tanah mati pada saat
penaklukan menjadi milik negara.
Konsekuensi Yang Berbeda di Antara Dua Bentuk Kepemilikan
Meskipun dua bentuk kepemilikan yakni kepemilikan bersama dan kepemilikan negara
mempunyai fungsi sosial yang sama, namun masing-masing berbeda pemiliknya; yang pertama
adalah umat/rakyat, sementara yang kedua adalah pihak yang memimpin umat atas nama Allah
SWT. Kedua bentuk kepemilikan tersebut berbeda dalam hal cara pemanfaatan dan peran
masing-masing dalam membangun masyarakat Islam. Pera pemimpin/pemerintah dalam hal
pemanfaatan tanah dan distribusi kekayaan yang menjadi milik bersama umat untuk memenuhi
kebutuhan bersama dan guna mewujudkan kepentingan bersama, seperti membangun rumah
sakit, fasilitas-faslitas pendidikan, dan lain-lain.
Dalam buku karangan Muhammad Baqir Ash Shadr yang berjudul Buku Induk Ekonomi
Islam Istishaduna pada tahun 2008. Kita tidak diperkenankan untuk memanfaatkan tanah atau
lahan perkebunan milik bersama demi kepentingan kelompok tertentu, kecuali bila kepentingan
tersebut terkait dengan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Misalnya, hasil yang
didapat dari harta milik bersama tidak boleh diberikan kepada fakir miskin, kecuali bila hal itu
bertujuan untuk menciptakan keseimbangan sosial. Sedangkan harta milik negara, disamping
dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan umat secara keseluruhan, ia juga dimanfaatkan untuk

10
tujuan tertentu, seperti memberikan hasil yang didapat darinya kepada anggota masyarakat
yang membutuhkan.

Reklamasi Tanah Mati


Reklamasi adalah usaha memperluas lahan pertanian dengan memanfaatkan daerah yang
semula tidak berguna menjadi tanah yang berguna (kamus besar bahasa Indonesia). Istilah
“reklamasi lahan/tanah mati” digunakan untuk menggambarkan dua aktivitas yang berbeda.
Pertama, reklamasi lahan adalah kegiatan mengubah lahan basah atau jalur air menjadi lahan
yang bisa digunakan, umumnya dalam tujuan pengembangan. Kedua, reklamasi lahan adalah
sebuah proses di mana lahan yang rusak diperbaiki ke keadaan alaminya.
(http://cognitiobrevis.blogspot.com/2013/03/).
Tanah garapan dan tanah mati berbeda dalam kepemilikanya. Karena itu, hak-hak
individu atas masing-masing jenis tanah tersebut pun berbeda pula. Syari’ah tidak memberikan
hak kepada seorang individu untuk memiliki tanah pada saat penaklukan merupakan tanah
garapan, walaupun ia berjasa menghidupkannya kembali setelah sebelumnya terlantar (menjadi
tanah mati). Namun tidak demikian dalam kasus tanah yang pada saat penaklukan merupakan
tanah mati, Islam mengizinkan individu untuk menghidupkan dan menyuburkan tanah tersebut
serta memberikannya hak spesifik atas tanah itu berdasarkan usaha yang telah ia curahkan
untuk menghidupkan dan menyuburkannya. Riwayat dari Ahlulbait (keluarga Nabi Muhammad
saw.) yang menyatakan “ia yang menghidupkan sebidang tanah, maka tanah tersebut menjadi
miliknya. Ia memiliki hak dan klaim yang lebih besar atas tanah itu”.
TanahYang Subur Secara Alami Pada Saat Penaklukan
Banyak fakih berpendapat bahwa tanah yang subur secara alami pada saat penaklukan
seperti hutan memiliki status kepemilikan yang sama dengan tanah mati seperti yang telah
dibahas sebelum ini. Mereka berkeyakinan bahwa tanah-tanah semacam ini menjadi milik
Imam/kepala negara. Mereka menyandarkan pendapat pada sejumlah riwayat dari para Imam
(Ahlulbait) yang menyatakan bahwa “setiap tanah yang tidak bertuan adalah milik Imam”.
Riwayat ini memberikan Imam hak kepemilikan atas setiap tanah tidak bertuan, hutan-hutan,
dan tanah-tanah sejenis lainnya. Tanah tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali bila ia digarap,
sementara hutan disuburkan oleh alam tampa campur tangan individu mana pun. Atas dasar itu,
dalam syari’ah keduanya dipandang tidak bertuan, dan konsekuensinya menjadi subjek prinsip
kepemilikan negara.(As Shadr.2008.Hlm.189)
Dari sini kita dapat menggeneralisasi bahwa hutan dan tanah yang subur secara alami dan
serta ditaklukkan dengan kekuatan, mendapat status kepemilikan yang sama dengan tanah yang
pada saat penaklukan subur berkat usaha dan kerja manusia (yakni, menjadi milik bersama
kaum Muslim).
Tanah yang Masuk Wilayah Islam Lewat Dakwah (Da’wah)
Tanah yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah setiap tanah yang
penduduknya menyambut panggilan Islam tanpa menimbulkan konflik bersenjata, seperti kota
Madinah, Indonesia, dan sejumlah wilayah lain yang tersebar di dunia Islam.
Tanah-tanah hasil dakwah dibagi menjadi dua jenis. Pertama, tanah yang digarap oleh
para penduduknya dan mereka menerima Islam secara sukarela. Kedua, tanah yang subur
secara alami seperti hutan, serta tanah yang pada saat masuk ke pengakuan Islam merupakan
tanah mati.
Status kepemilikan tanah mati dan tanah yang subur secara alami adalah milik negara.
Perbedaannya yaitu, seorang individu dapat memiliki hak spesifik atas tanah mati jika ia
menghidupkannya, dan aturan-aturan yang sama berlaku atas tanah tersebut sebagaimana
halnya tanah taklukan. Sementara tanah-tanah yang subur secara alami, individu tidak berhak
atas hak kepemilikan atasnya karena tanah tersebut subur dengan sendirinya, individu hanya
boleh mengambil manfaat darinya(As Shadr.2008.Hlm.191).
Ketika seseorang mengambil manfaat dari tanah subur secara alami itu, maka tidak ada
seorangpun yang dapat merebut tanah ini darinya. Rasulullah saw. bersabda, “barangsiapa yang
mengelola tanah yang tidak menjadi hak milik seorang pun, maka dia merupakan orang yang
paling berhak atasnya.” Urwah berkata,”Umar Ibnul Khatthab telah mengeluarkan keputusan

11
hukum sesuai dengan hadits ini pada masa pemerintahannya”. (Utomo.2006.kitab Al-Amwal
karangan Abu Ubaid. Hlm.372)
Sementara tanah-tanah garapan yang disuburkan lewat usaha dan kerja manusia di daerah
yang penduduknya memeluk Islam secara sukarela, mereka tetap menjadi milik para pemilik
aslinya. Ini karena Islam memberi Muslim yang memeluk Islam secara sukarela, semua hak
yang ia miliki sebelum ia memeluk Islam. Maka para individu Muslim yang memeluk Islam
secara sukarela, tetap menguasai tanah-tanah mereka sebagai milik pribad, sehingga tidak ada
pajak yang dibebankan kepada mereka.(Ash Shadr.2008.Hlm.191)
Tanah yang Masuk Wilayah Islam Lewat Perjanjian (Shulh)
Tanah Shulh adalah tanah yang diinvasi oleh kaum Muslim guna sikuasai, di mana para
penduduknya tidak memeluk Islam namun tidak pula melakukan perlawanan bersenjata.
Mereka tetap memeluk agama mereka serta merasa puas hidup damai dan aman di bawah
naungan dan lindungan Negara Islam. Tanah seperti ini dinamakan tanah perjanjian. Jika dalam
perjanjian dinyatakan tanah di suatu daerah menjadi milik para penduduknya, maka atas dasar
ini tanah di daerah itu menjadi milik mereka, dan masyarakat Islam tidak memiliki hak atau
klaim apa pun atasnya. Jika dalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah di suatu daerah menjadi
milik masyarakat Muslim, maka tanah di daerah itu menjadi milik masyarakat Muslim dan
menjadi subjek prinsip kepemilikan bersama dimana kharaj (pajak) berlaku atasnya. (Ash
Shadr.2008.Hlm.192)
Dalam kitab Al-Amwal menegaskan bahwa perjanjian tidak boleh disimpangkan, sebuah
hadist dimana Nabi saw. bersabda, “ketika kalian berperang dengan suatu kelompok, dan
mereka bersedia berdamai dengan kalian denga menyerahkan kekayaan mereka demi
menyelamatkan jiwa mereka dan jiwa anak-anak mereka, maka janganlah mengambil lebih dari
apa yang seharusnya (yang sudah disepakati), karena apa yang lebih dari itu adalah haram bagi
kalian”.
Sementara tanah perjanjian yang berupa tanah mati, ia menjadi milik negara seperti
dalam kasus tanah mati yang dikuasai lewat penaklukan, juga seperti tanah mati di daerah yang
para penduduknya menyambut seruan Islam (memeluk Islam). Begitu pula halnya dengan hutan
dan tanah-tanah lain yang sejenis (tanah yang subur secara alami), semua itu menjadi milik
negara, kecuali bila ditetapkan lain dalam perjanjian.

Tanah-Tanah Lain yang Menjadi Milik Negara


Kita juga akan menemui jenis-jenis tanah lainnya yang menjadi subjek aplikasi prinsp
kepemilikan negara, seperti tanah yang para penduduknya menyerah kepada kaum Muslim
tanpa didahului oleh penyerangan (invas). Tanah-tanah seperti ini masuk ke kategori anfal
(rampasan peran yang hak penguasaan dan pengelolaannya berada di tangan Nabi saw. atau
Imam/ kepala negara).
Sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam ayat Al-quran berikut ini:
“Dan apa saja rampasan perang yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta
benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kalian tidak mengerahkan seekor unta pun, tetapi
Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (Q.S.al-Hasyr ayat 6)
Demikian pula halnya dengan tanah yang para penduduknya telah binasa atau telah
punah, ia menjadi milik negara sebagaimana dinyatakan dalam suatu riwayat dari Hammad
Ibnu ‘Isa dari Imam Musa Ibnu Ja’far, “anfal menjadi milik Imam. Anfal adalah setiap tanah
yang penduduknya telah binasa (punah)...” begitu juga dengan tanah yang baru terbentuk,
misalnya sebuah pulau yang terbentuk di tengah laut atau sungai. Tanah seperti ini juga menjadi
milik negara berdasarkan aplikasi aturan hukum
yang menyatakan bahwa “setiap tanah yang tidak berpenghuni menjadi milik Imam”.
(Ash Shadr.2008.Hlm.193-194)
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya dapat diringkas poin-poin sebagai berikut :
1. Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim terkemuka pada awal
abad ketiga Hijriah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan revitalitas sistem
perekonomian berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan
keuangan dan intitusinya.

12
2. Abu Ubaid merupakan salah seorang ahli ekonomi islam yang telah merumuskan banyak
hal tentang kaidah-kaidah ekonomi islam dalam karya-karyanya. Diantaranya
adalah Kitab Al-Amwal.Kitab al-Amwal dihasilkan sebagai gabungan dari isi buku-buku
dari Kitab al-Kharaj dan Kitab al-Sadaqah (zakat). Kitab ini sering kali dijadikan
rujukan dalam menganalisis masalah ekonomi, terutama tentang keuangan publik. Dalam
kitab ini pula Abu Ubaid merumuskan berbagai kebijakan penyelesaian permasalahan
mengenai tanah atau lahan perkebunan, baik mengenai hukum tanah, pengelolaan tanah,
hak kepemilikan atas tanah atau pengkaplingan tanah.
3. Abu ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. dalam hal ini
kepemilikan menurut pemikiran abu Ubaid adalah mengenai hubungan anatara
kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit Abu Ubaid
mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan, seperti iqta’ (enfeoffment) tanah gurun
dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan,
sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Maka tanah yang diberikan
dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika
dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan didenda dan kemudian
dialihkan kepemilikannya oleh penguasa. Bahkan tanah gurun yang termasuk hima
pribadi dengan maksud untuk direklamasi, jika tidak ditanami dalam periode yang sama,
dapat ditempati oleh orang lain melalui proses yang sama.
4. Jika kita lihat di Indonesia khususnya daerah Sumatera yang memiliki luas area
perkebunan terbesar di Indonesia memiliki sengketa tanah yang yang berkepanjangan,
seperti kasus lahan karet dan kelapa sawit di Riau, Sumatera Barat, dan Medan yang
merugikan petani-petani kecil atau penggarap pribumi. Dalam hukum modern
penyelesaian sengketa tanah dilakukan oleh lembaga peradilan yang memberikan
keputusan, sedangkan hukum adat menyelesaikan dengan mendamaikan tanpa mengadili
atau memutuskan.
5. Permasalahan yang menjadi perhatian khusus oleh pemerintah adalah mengenai lahan
mati yang diakibatkan oleh bekas perkebunan kelapa sawit atau karet selama bertahun-
tahun lamanya (10 sampai 20 tahun) harus segera digunakan untuk menambah
pendapatan petani kecil, kemudian kepemilikan tanah/ lahan yang tumpang tindih, serta
kepemilikan tanah antara pihak swasta dan Negara. Badan Pertanahan Nasional Indonesia
mengeluarkan kebijakan Reforma Agraria yaitu Pembaruan agraria mencakup suatu
proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka
tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia (pasal 2 TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001).
6. Konsep lain yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendukung petani selain reforma
agraria adalah dengan Sertifikasi Tanah Petani. Sertifikat Tanah Petani adalah sub
komponen dari komponen kegiatan legalisasi aset (Legalisasi aset adalah proses
administrasi pertanahan yang meliputi adjudikasi (pengumpulan data fisik, data yuridis,
pengumuman serta penetapan dan/ atau penerbitan surat keputusan pemberian hak atas
tanah), pendaftaran hak atas tanah serta penerbitan sertipikat hak atas tanah.
7. Kondisi keterbatasan persediaan tanah, alih fungsi penggunaan/peruntukan tanah,
meningkatnya konflik pertanahan, kemiskinan, sempitnya lapangan kerja, kesenjangan
sosial, dan melonjaknya harga tanah yang secara tidak terkendali/ wajar membuat
pemerintah menggunakan lembaga Bank Tanah. Bank tanah dimaksudkan sebagai setiap
kegiatan pemerintah untuk menyediakan tanah, yang akan dialokasikan penggunaannya
dikemudian hari (Maria.2001.Hlm.7-8). Lembaga bank tanah dapat memperoleh tanah
melalui jual beli, pengadaan tanah/pencabutan hak atas tanah, dan cara-cara lain,
misalnya tukar-menukar atau perolehan melalui atau sebagai akibat penelantaran tanah.
8. Dalam kitab Al-Amwal menjelaskan bahwa Tanah akan menjadi hak milik bagi orang
yang mau menghidupkan tanah mati dan mendiaminya. Jika telah melewati masa tiga
tahun dan tidak menempati tanah yang telah diberikan negara kepadanya, kepala
Negaralah yang memutuskan untuk menyerahkan kepada yang lain, yang mampu dan bisa

13
menempati dan menggarap tanah tersebut. Pemerintah tidak boleh memberikan tanah
yang produktif kepada orang lain, karena tanah tersebut bisa menabah devisa negara. Dan
jika terjadi sengketa tanah/ lahan perkebunan maka keputusan ada pada pemimpin atau
kepala negara.
9. Pemikiran Abu Ubaid mengenai tanah/ lahan perkebunan dengan kebijakan pemerintah
yang ada di Indinesia memiliki kesamaan dan perbedaan. Adapun kesamaannya yaitu,
mengenai distribusi lahan perkebunan bagi petani bahwa dalam hukum di Indonesia
mengakui kepemilikan hak atas tanah yang ditandai dengan adaya sertifikas tanah
pertanian, sedangkan menurut Abu Ubaid adalah hak tanah bagi petani yang menggarap
tanah/ lahan perkebunan yang telah ditunjuk oleh Imam/ Kepala Negara. Perbedaannya
terletak pada kepmilikan dan hak-hak yang lebih spesifikasi dilakuka oleh Islam, bahwa
jika lahan tidak digarap selam tiga tahun berturut-turut, atau tanah mati tidak ada yang
mengelolanya maka tanah tersebut menjadi hak negara untuk mengalihkan hak kepada
orang lain yang mau menggarap dan menyuburkan tanah itu kembali. Sementara hukum
di Indonesia masih umum, dengan tidak memberlakukan waktu untuk pemilik tanah/
lahan perkebunan, dan siapa yang memiliki modal besar akan mudah mendapatkan hak
kepemilikan atas tanah yang luas.

Kesimpulan
Kebijakan pemerintah tentang pertanahan dan lahan perkebunan di Indonesia
dibandingkan dengan pandangan/pemikiran Abu Ubaid mengenai tanah/ lahan perkebunan
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya yaitu, pada distribusi lahan perkebunan bagi
petani bahwa dalam hukum di Indonesia mengakui kepemilikan hak atas tanah yang ditandai
dengan adaya sertifikat tanah pertanian, sedangkan menurut Abu Ubaid adalah hak tanah bagi
petani yang menggarap tanah/ lahan perkebunan yang telah ditunjuk oleh Imam/ Kepala Negara.
Perbedaannya terletak pada kepemilikan dan hak-hak yang lebih spesifikasi dilakukan oleh
Islam, bahwa jika lahan tidak digarap selama tiga tahun berturut-turut, atau tanah mati tidak ada
yang mengelolanya maka tanah tersebut menjadi hak negara untuk mengalihkan hak kepada
orang lain yang mau menggarap dan menyuburkan tanah itu kembali. Sementara hukum di
Indonesia masih umum, dengan tidak memberlakukan waktu untuk pemilik tanah/lahan
perkebunan, dan siapa yang memiliki modal besar akan mudah mendapatkan hak kepemilikan
atas tanah yang luas.

Saran
1. Untuk mencegah atau mengurangi konflik pertanahan/ lahan perkebunan di Indonesia,
diperlukan politik pertanian yang berkeadilan dan mensejahterakan seluruh rakyat serta
komitmen kuat untuk mengawasi dan mengevaluasi secara efektif dan efesien. Politik
pertanian yang patut dijadikan bahan rujukan oleh pemerintah adalah melihat pemikiran/
pandangan Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal mengenai politik pertanian yang berkeadilan
dan mensejahterakan umat/ rakyat. Dengan begitu, pemerintah bisa mengimplementasikan
pada kebijakan-kebijakan pertanian yang diberlakukan di Indonesia.
2. Hak-hak tanah menurut hukum adat di daerah-daerah dapat dibenarkan, bilamana tidak
bertentangan dengan pokok tujuan, di samping itu dasar-dasar yang baik yang ada dalam
masyarakat (dasar-dasar gotong royong dan sebagainnya), dipelihara dan dikembangkan
sesuai dengan tujuan di atas dalam bentuk modern.
3. Peran pemerintah dalam ekstensifikasi (seperti menambah luas area yang akan ditanami)
juga penting dalam mempengaruhi kesejahteraan petani dan mencegah konflik dengan cara
mendorong agar menghidupkan tanah mati dan memagarinya, memberikan tanah secara
cuma-cuma oleh negara bagi mereka yang mampu bertani yang tidak memiliki tanah,
mereka yang memiliki area tanah sempit, dan termasuk tanah yang berada dibawah
kekuasaannya. Negara segera mengambilnya secara paksa dari tiap-tiap orang yang
mentelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut.

14
Referensi :
Buku :
Adam.Lukman.dkk.(2010).Ekonomi & Kebijakan Publik Mengenai Prolegnas. Jakarta:P3DI.
Al-Maliki.Abdurrahman.(2001). Politik Ekonomi Islam. Jakarta Timur:Al-Izzah.
Al-Qardhawy.Yusuf.(1999).Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam. Penerjemah: Kathur
Suhardi. Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.
An-Nabhani.Taqyuddin.(2009). Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam.
Surabaya:Risalah Gusti.
Ash Shadr, MB. (2008). Buku Induk Ekonomi Islam:Iqtishaduna.Penerjemah;Yudi.Jakarta:Zahra
Aulia Pohan.(2008).Kerangka Kebijakan Moneter dan Implementasinya di Indonesia. Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada.
Baasir.Faisal.(2004).Indonesia Pasca Krisis Catatan Politik dan Ekonomi 2003-
2004.Jakarta:Surya Multi Grafika.
Bashri.Yanto.(2003). Mau kemana pembangunan ekonomi indonesia.prisma pemikiran prof.dr.
Dorodjatun kuntjoro-Jakti.Bogor:Penada.
Basri.A.Ikhwan.(2007). Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik.Jakarta:Aqwam.
Burhanuddin.Abdullah.(2006). Jalan Menuju Stabilitas.Mencapai Pembangunan Ekonomi
Berkelanjutan. Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia.
Chapra.M.Umer.(2008). Reformasi Ekonomi:sebuah solusi Perspektif Islam.penerjemah dan
pengantar;Ikhwan Abidin Basri,MA.Jakarta:Bumi Aksara.
Damanhuri.Didin S.(1999). Pilar-Pilar Reformasi Ekonomi-Politik: Untuk Memahami Krisis
Ekonomi dan Menyongsong Indonesia Baru.Jakarta:CIDES (Pustaka Hidayah).
Damanhuri.Didin, S. (2010). Ekonomi Politik dan Pembangunan, Teori, Kritik, dan Solusi bagi
Indonesia dan Negara Sedang Berkembang. Bogor:PT Penerbit IPB Press.
DidikJ.Rachbini.(2004). “Ekonomi Politik”.Kebijakan dan Strategi Pembangunan.Edisi 1.
Jakarta:Granit.
Fadhely.Mohammad.(1999).Meneropong Kehidupan Ekonomi Umat Islam.Peradaban Islam,
Kapitalisme, dan Budaya China di Indonesia. Jakarta:PT Golden Terayon Press
Firdaus.Muhammad.(2008). Manajemen Agribisnis.Jakarta:PT Bumi Aksara
Furnivall,J.S.(2009). Hindia Belanda Studi Tentang Ekonomi Majemuk.Jakarta:Freedom Institute.
Gittinger P.J.(2008). Analisa ekonomi proyek-proyek pertanian.Penerjemah Komet Mangiri
Slamet Sutomo.Jakarta:UI-Press
Hamid.Edy Suandi.(2012). Dinamika Ekonomi Indonesia. Yogjakarta:UII Press.
Haroen.Nasrun.(2007).Fiqh Muamalah.Jakarta:Gaya Media Pratama
Hasan.Aedy.(2011).Teori dan Aplikasi Ekonomi Pembangunan Perspektif Islam.Sebuah Studi
Komparasi. Yogjakarta:Graha Ilmu.
Hulwati. (2009). Ekonomi Islam, Teori dan Praktiknya dalam Perdagangan Obligasi Syariah di
Pasar Modal Indonesia dan Malaysia. Ciputat:Ciputat Press Group.
Izzan.Ahmad & Tanjung.Syahri.(2006).Referensi Ekonomi Syariah Ayat-Ayat Al-qur’an yang
Berdimensi Ekonomi. Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Jhingan.M.L.(2010). Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan.Penerjemah D.Guritno.Ed.1-13.
Jakarta:Rajawali Pers.
Jusmaliani.dkk.(2005).Kebijakan Ekonomi Dalam Islam.Yogjakarta:Kreasi Wacana.
Karim,Adiwarman.2007. Bank Islam:Analisis Fiqih dan Keuangan.Edisi ketiga. Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada.
Karim.Adiwarman.(2002). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pengantar Prof.Dr.M.Dawam
Rahardjo.Jakarta:IIIT Indonesia.
Kuncoro.Mudrajat.(2010). Masalah Kebijakan dan Politik.”Ekonomi Pembangunan. Jakarta
Timur:Penerbit Erlangga.
Kwik Kian Gie.(1994). Analisis Ekonomi Politik Indonesia. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
Limbong.Bernharg.(2011). Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Regulasi,
Kompensasi,Penegakan Hukum.Jakarta: MP Pustaka Margaretha.
Majid.M.Nazori.(2003). Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf:Relevansinya Dengan Ekonomi
Kekinian.Yogjakarta:Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI)
Maria.(2001). Kebijakan Pertanahan. Jakarta:Kompas.

15
Mashad.Dhororudin.(2004). Andai Aku Jadi Presiden.Menuju Format Indonesia Baru. Jakarta
Timur:Khalifa(Pustaka Al-Kautsar Grup).
Monzer.Kahf.(1995). Ekonomi Islam Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam.
Yogjakarta:Pustaka Pelajar.
Nainggolan, Kaman.(2005). Pertanian Indonesia Kini dan Esok.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Nani.Soedarsono.(2000).Pembangunan Berbasis Rakyat (Community Based Development).
Jakarta:Melati Bhakti Pertiwi.
Napi Tupulu.Paimin.(2007). Seri Ilmu Pemerintahan. Menuju Pemerintahan Perwakilan.
Bandung:PT Alumni.
Nugroho.Iwan & Dahuri.Rokhmin.(2012). Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi,Sosial,dan
Lingkungan.Pengantar Gunawan Sumodiningrat. Jakarta:LP3ES.
Purwanto.dkk.(2009). Pengurangan Kemiskinan Melalui Penguatan Ketahanan
Pangan.Jakarta:LIPI Press.
Radhi.Fahmy. (2008).Kebijakan Ekonomi Pro-Rakyat.Antara Komitmen dan Jargon.
Jakarta:Penerbit Republika.
Rahardjo.Dawam.(2011).Nalar Ekonomi Politik Indonesia.Bogor:IPB Press.
Rofiq.Ainur.(1997).Etika Ekonomi Politik.Surabaya:Risalah Gusti.
Sadli.M.(2000). Landscape Ekonomi dan Politik dalam Krisis & Transisi.Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Sakti.Ali.(2007). Analisis Teoritis Ekonomi Islam, Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi
Moedern.Jakarta:AQSA-Publishing.
Samuelson A. Paul, Nordhaus D. William.(1992). Ekonomi. Diterjemahkan oleh Drs.A.Q.Khalid.
Edisi kedua belas.Jakarta:Erlangga.
Skousen.Mark.(2006). Sang Maestro “Teori-Teori Ekonomi Modern”.Sejarah Pemikiran
Ekonomi. Jakarta:Prenada.
Soeharsono.Sagir Bersama Para Sahabat.(2009).Kapita Selekta Ekonomi Indonesia.
Jakarta:Kencana.
Soesastro.Hadi.dkk. (2005). Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah
Abad Terakhir.Membangun Ekonomi Nasional.Yogjakarta:Kanisius.
Sudarsono.Heri.(2012).Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan Ilustrasi.
Yogjakarta:EKONISIA.
Suhrawardi K.Lubis.(2000).Hukum Ekonomi Islam.Jakarta:Sinar Grafika.
Sumardjono.S.W.Maria.(2008).Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi,Sosial,Dan Budaya.
Jakarta:Kompas.
Suparmoko,M.(2002).Ekonomi Publik Untuk Keuangan & Pembangunan Daerah edisi
pertama.Yogjakarta:ANDI
Susanto.Hari.(2011).Underground Economiy.Jakarta:Baduose Media.
Sutedi.Adrian.(2007).Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan.Jakarta:Sinar Grafika.
Syahuri.Taufiqurrohman.(2011).Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. Jakarta:Kencana.
Tjokroamidjojo.Bintaro.(2002). Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance &
Perwujudan Masyarakat Madani.Jakarta:Lembaga Administrasi Negara.
Vedi R.Hafidz.(2005).Dinamika Kekuasaan,Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-Soeharto.
Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia.
Wahid.Abdul al-Faizin & Nashr.Akbar.(2010).Tafsir Ekonomi Kontemporer Kajian Tafsir Al-
Qur’an tentang Ekonomi Islam. Jakarta Selatan:Madani Publishing House.
Yudhoyono.Susilo Bambang.(2004). Revitalisasi Ekonomi Indonesia,Bisnis,Politik,& Good
Governance.Jakarta:Freedom Institute.

Jurnal :
Ahmad, G. A. (2018). Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(Mp3ei), Sengketa Agraria Dan Viktimologi: Studi Kasus Pembangunan New Yogyakarta
International AIRPORT (NYIA). Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 6(1), 12-24.
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/galuhjustisi/article/view/1237

16
Handewi P.S. Rachman dan Erma Suryani.(2010).Dampak krisis pangan-energi-finansial (PEF)
terhadap kinerja ketahanan pengan nasional
Hasan, E. (2019). PENYELESAIAN SENGKETA LAHAN ANTARA MASYARAKAT
GAMPONG COT DAN GAMPONG KULEE DENGAN PT. SAMANA CITRA
AGUNG UNTUK PEMBANGUNAN PT. SEMEN INDONESIA ACEH DI
LAWEUNG, PIDIE. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik,
4(1).http://www.jim.unsyiah.ac.id/FISIP/article/view/10144
Harjono, Mukhtar Rosyid (2005) Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan
Pertanian Di Kabupaten Kendal. Masters thesis, program pasca Sarjana Universitas
Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/11729/
Lubis, RH dan Latifah, FN (2019). Analisis Strategi Pengembangan Zakat, Infaq, Shadaqoh, dan
Wakaf di Indonesia (Analysis of Zakat, Infaq, Shadaqoh, and Wakaf Development
Strategies in Indonesia), Perisai: Islamic Banking and Finance, Vol 3 (1),
http://ojs.umsida.ac.id/index.php/perisai/article/view/1999
Mayrowani.(2012). Pembangunan Pertanian Pada Era Otonomi Daerah: Kebijakan Dan
Implementasi. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol.1 No.1.72-73.
Mayrowani.Henny.(2012).Pertanian Pembangunan Pertanian Pada Era Otonomi Daerah
:Kebijakan Dan Implementasi.Forum Penelitian Agro Ekonomi
Mulyandri.Sri.(2012).Perspektif Global Penelitian Untuk pembangunan antisipasi lingkungan
Strategis dan Agenda R&D
Prabowo, E. O. W. (2015). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian
ke Non Pertanian di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo.
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/50289/Analisis-Faktor-Faktor-yang-
Mempengaruhi-Konversi-Lahan-Pertanian-ke-Non-Pertanian-di-Kecamatan-Bulu-
Kabupaten-Sukoharjo
Pujiasmanto, B., Yunus, A., & Samanhudi, S. (2018). Potensi Keanekaragaman Hayati Dalam
Mendukung Indonesia Sebagai Lumbung Pangan. In Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Pertanian UNS (Vol. 2, No. 1).
http://jurnal.fp.uns.ac.id/index.php/semnas/article/download/1249/845.
Puspitasari, D. A. (2019). REDISTRIBUSI TANAH SEBAGAI BAGIAN PROGRAM
LANDREFORM SESUAI PP NO. 224 TAHUN 1961. Dinamika Hukum, 25(2).
http://www.riset.unisma.ac.id/index.php/jdh/article/view/2473
Ramelan, R (1997) Agribisnis di Indonesia dalam pembangunan nasional, Makalah Simposium
nasional Agribisnis, http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/11494-
[_Konten_]-Konten 4085.pdf
Retno Sri Hartati Mulyandri.dkk.(2010).Pola Komunikasi Dalm Pengmbangan Modal Manusia
Dan Sosial Pertanian.
Saputra, F. (2018). Kedudukan Hukum Tanah Revitalisasi Perkebunan yang Ditelantarkan (Studi
Kasus Penyelesaian Sengketa Lahan Antara Kelompok Tani Maju Jaya dengan PT. Bumi
Daya Abadi pada Lahan Seluas 226 Ha Desa Mukti Lincir Kecamatan Kota
Baharu).http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/4968
SEBI.(2008).Islamic Economics & Finance Journal.Keuangan Publik Islam. Depok:STEI SEBI.
Setiawan.Azis Budi.(2011).Governance dan Kepatuhan Syariah.Vol.4 No.1.121-136.Depok:SEBI
Shohibuddin, M. (2019). Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan Agraria (1).
BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 5(1), 1-12.
http://www.jurnalbhumi.stpn.ac.id/index.php/JB/article/view/315
Simatupang, P. (2016). Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian. Jurnal
Agro Ekonomi, 11(1), 37-50.
http://www.ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/jae/article/view/4958
Suryani, E. (2016, August). Peranan, peluang dan kendala pengembangan agroindustri di
Indonesia. In Forum Penelitian Agro Ekonomi (Vol. 24, No. 2, pp. 92-106).
http://www.ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/fae/article/view/4045
Wahyuni, Sri, Hutagaol, M. Parulian, Winandi, Ratna. (2011) Kemiskinan dan Kebijakan
Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia Poverty and Its Reduction

17
Policy in the Western and Eastern Indonesia.
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/57254

Website:
www.bps.go.id
www.bpn.go.id
http://www.alsofwa.com/21102/abu-ubaid-al-qasim-bin-sallam.html
http://karyatulis.singkatpadat.com/pengertian-pemerintah.htm
http://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/05/pengertian-pemerintah-dan-pemerintahan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_Indonesia
http://karyatulis.iklankecil.com/pengertian-pemerintah.htm
http://myquran.org/forum/index.php?topic=38756.0
http://putracenter.net/2009/01/22/definisi-ekonomi-dalam-islam-menurut-para-ahli/
http://rimalrimaru.com/pengertian-ekonomi-islam/
http://ikumpul.blogspot.com/2013/05/prinsip-prinsip-ekonomi-islam.html
http://syafaatmuhari.wordpress.com/2012/04/16/prinsip-prinsip-ekonomi-islam/
http://www.slideshare.net/wasunu/prinsip-ekonomi-islam
http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/?p=3507
http://dipertanhut.purworejokab.go.id/
https://katadata.co.id/berita/2019/03/04/kpa-nilai-reforma-agraria-di-era-jokowi-tak-sesuai-target
https://katadata.co.id/berita/2019/03/04/sebanyak-15-juta-hektare-lahan-terlantar-di-indonesia

Lampiran:

1. Perbedaan dan Persamaan Kebijakan pertanahan Hukum Indonesia dan


Pandangan Abu Ubaid terhadap tanah

Hukum tanah di Indonesia Pandangan Abu Ubaid terhadap


tentang Pertanahan Pertanahan
- Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas - Tanah yang ditinggalkan
dasar hak menguasai dari negara penghunin/penggarap dalam waktu
sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 yang lama, maka keputusan hukum
ditentukan adanya macam-macam hak tanah itu diserahkan kepada kepala
atas permukaan bumi, yang disebut negara.
tanah, yang dapat diberikan kepada - Tanah yang mati (tidak digarap) tidak
dan dipunyai oleh orang-orang, baik ada seseorang yang mengelolanya dan
sendiri maupun bersama-sama dengan tidak dimiliki orang Islam maupun
orang-orang lain serta badan-badan kafir, status tanah diserahkan kepada
hukum”. kebijakan pemimpin.
- untuk mendapatkan hak atas tanah - Negara berhak menguasai tanah yang
tersebut diperlukan suatu permohonan mati,tandus,tidak terurus, tidak ada
kepada negara dan apabila persyaratan pemiliknya dan tidak dimanfaatkan
dianggap telah memenuhi dan dengan membersihkannya,mengairi,
permohonan dikabulkan maka Badan mendirikan bangunan dan menanam
atau Pejabat Tata usaha negara yang kembali benih-benih kehidupan pada
berwenang untuk itu melakukan tanah tersebut. dengan menjadikannya
tindakan hukum berupa menerbitkan milik umum dan manfaatnya
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah diserahkan untuk kemaslahatan umat.
kepada pemohon. - Tanah akan menjadi hak milik bagi
- PMPA No. 2 tahun 1962 tentang orang yang mau menghidupkan tanah
Penegasan Konversi Dan Pendaftaran mati dan mendiaminya.
Hak-Hak Indonesia, merupakan - Jika telah melewati masa tiga tahun dan
bentuk adanya pengakuan oleh negara tidak menempati tanah yang telah

18
terhadap hak-hak rakyat baik hak diberikan negara kepadanya, kepala
kepemilikan yang diatur menurut Negaralah yang memutuskan untuk
hukum perdata barat ( BW) maupun menyerahkan kepada yang lain, yang
hak-hak tanah adat. mampu dan bisa menempati dan
- selain tanah milik perorangan dikenal menggarap tanah tersebut.
pula tanah untuk kepentingan bersama - Pemerintah tidak boleh memberikan
(tanah desa) tanah yang produktif kepada orang lain,
- dalam hukum modern penyelesaian karena tanah tersebut bisa menabah
sengketa tanah dilakukan oleh devisa negara.
lembaga peradilan yang memberikan - Jika terjadi sengketa lahan/tanah maka
keputusan, sedangkan hukum adat keputusan ada pada pemimpin atau
menyelesaikan dengan mendamaikan kepala negara
tanpa mengadili atau memutuskan.

19

Anda mungkin juga menyukai