OLEH :
ANNE SILVANA
183110242
3.C
Dosen Pembimbing :
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Infark miokard akut (IMA) atau yang lebih dikenal dengan serangan jantung
adalah suatu keadaan dimana suplai darah pada suatu bagian jantung terhenti sehingga sel
otot jantung mengalami kematian ( Robbins SL, Cotran RS, Kumar V, 2007 dalam
Pratiwi, 2012 ). Nyeri pada infark miokard akut tidak bisa hilang sendirinya, meskipun
gejala berkurang saat istirahat. Pada masyarakat masih salah persepsi ketika mereka
istirahat, gejala mereka hilang berarti mereka sembuh.
Dari data WHO tahun 2012 menunjukkan bahwa Infark Miokard Akut atau IMA
merupakan penyebab kematian utama di dunia. Terhitung 12,2% kematian di dunia di
akibatkan oleh penyakit kardiovaskuler salah satunya adalah Infark Miokard Akut (WHO,
2012 ). Di Indonesia, penyakit IMA merupakan penyebab kematian pertama, dengan
angka mortalitas 2.200.000 ( 14% ) ( WHO, 2008 ).
Penyebab utama dari terjadinya infark miokard adalah ketidakseimbangan antara
pasokan dan kebutuhan oksigen di jaringan otot jantung. Kebutuhan oksigen di jaringan
otot jantung yang tinggi, tetapi pasokan (supply) oksigen ke daerah tersebut kurang. Jika
tidak mendapatkan oksigen dalam waktu yang cukup lama, lama kelamaan jaringan otot
jantung dapat rusak dan bersifat menetap. Sehingga darah yang membawa oksigen tidak
mencapai otot jantung. Infark miokard yang sering terjadi karena disebabkan sumbatan
pembuluh darah jantung atau ischemia. Tanda dan gejala dari IMA terjadi nyeri dada
yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak mereda, nyeri sering disertai
dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaphoresis berat, pening atau kepala terasa melayang
dan mual muntah.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Klasifikasi
a. Infark Miokard Akut Subendokardial
Infark miokard Subendokardial terjadi akibat aliran darah subendokardial yang
relatif menurun dalam waktu yang lama sebagai akibat perubahan derajat
penyempitan arteri koroner atau dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi,
perdarahan dan hipoksia ( Rendy & Margareth, 2012 ).
b. Infark Miokard Akut Transmural
Pada lebih dari 90 % pasien infark miokard transmural berkaitan dengan
trombosis koroner. Trombosis sering terjadi di daerah yang mengalami
penyempitan arteriosklerosik. Penyebab lain lebih jarang ditemukan ( Rendy &
Margareth, 2012 ).
Berdasarkan kelainan gelombang ST (Sudoyo, 2006) :
1) STEMI
Infark Miokard Akut (IMA) dengan elevasi segmen ST (ST elevasion
myocardialinfarcion = STEMI) merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner
akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, Infark Miokard Akut
(IMA) tanpa elevasi ST, dan Infark Miokard Akut (IMA) dengan elevasi ST.
2) NSTEMI
Angina pectoris tak stabil (unstable angina = UA) dan miokardakut tanpa Elevasi
ST (Non ST elevation myocardial infarction = NSTEMI) diketahui merupakan
suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis
sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnose
NSTEMI ditegakan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti
adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.
3) Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
3. Etiologi
Menurut Fakih Ruhyanuddin (2006), penyebab Infark Miokard Akut (IMA) adalah :
1) Gangguan pada arteri koronaria berkaitan dengan atherosclerosis, kekakuan, atau
penyumbatan total pada arteri oleh emboli atau thrombus.
2) Penurunan aliran darah system koronaria menyebabkan ketidak seimbangan antara
miokardial O₂ suplai dan kebutuhan jaringan terhadap O₂. Penyebab suplai
oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh faktor
a. Faktor pembuluh darah :
(1) Ateroskeloris
(2) Spasme
(3) Arteritis
b. Faktor sirkulasi :
(1) Hipotensi
(2) Stenosos aorta
(3) Insufisiensi
c. Faktor darah :
(1) Anemia
(2) Hipoksemia
(3) Polisitemia
Penyebab lain :
1) Curah jantung yang meningkat :
a. Aktifitas berlebih
b. Emosi
c. Makan terlalu banyak
d. Hypertiroidisme
2) Kebutuhan oksigen miocard meningkat pada :
a. Kerusakan miocard
b. Hypertropi miocard
c. Hypertensi diastolic
3) Faktor predisposisi :
a. Faktor risiko biologis yang tidak dapat diubah :
(1) Usia lebih dari 40 tahun
(2) Jenis kelamin: insiden pada pria tinggi, sedangkan pada wanita
meningkat setelah menopause
(3) Hereditas
(4) Ras: lebih tinggi insiden pada kulit hitam
b. Faktor risiko yang dapat diubah :
1) Mayor :
(1) Hiperlipidemia
(2) Hipertensi
(3) Merokok
(4) Diabetes Melitus
(5) Obesitas
(6) Diet tinggi lemak jenuh, kalori
2) Minor :
(1) In aktifitas fisik
(2) Pola kepribadian tipe A (emosional, agresif, ambisius, kompetitif)
(3) Stres psikologis berlebihan ketidakadekuatan aliran darah akibat
dari penyempitan, sumbatan, arteri koronaria akibat terjadinya
aterosklerosis, atau penurunan aliran darah akibat syok atau
perdarahan.
Penyakit jantung disebabkan oleh adanya penimbunan abnormal lipid atau bahan
lemak dan jaringan fibrosa di dinding pembuluh darah yang mengakibatkan
perubahan struktur dan fungsi arteri dan penurunan aliran darah ke jantung (Suddarth,
2014). Faktor Resiko penyakit arteri koroner antar lain (Suddarth, 2014) :
1. Merokok
Seseorang dengan resiko tinggi penyakit jantung koroner dianjurkan untuk
berhenti merokok. Orang yang telah berhasil menghentikan kebiasaan merokok
dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner sampai 50% pada tahun
pertama. Resiko akan terus menurun selama orang tersebut tetap tidak merokok.
Pajanan terhadap rokok secara pasif sebaiknya dihindari karena tetap dapat
meqmperberat penyakit jantung paru yang sudah ada.
2. Tekanan Darah Tinggi
Tekanan darah tinggi adalah faktor risiko yang paling membahayakan karna
biasanya tidak menunjukan gejala sampai telah menjadi lanjut. Tekanan darah
tinggi menyebabkan tingginya gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventrikel
kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus menyebabkan
suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat.
3. Kolesterol Darah Tinggi
Lemak yang tidak larut dalam air, terikat dengan lipoprotein yang terikat
dalam air, yang memungkinkannya dapat di angkut dalam system peredaran
darah. Tiga elemen metabolism lemak-kolesterol total, lipoprotein densitas rendah
(LDL = low density lipoprotein), dan lipoprotein densitas tinggi (HDL = high
density lipoprotein) dianggap sebagai faktor primer yang mempengaruhi
perkembangan penyakit jantung koroner. Pengontrolan kadar serum kolesterol
total, LDL dan HDL dalam batas terapeutik adalah tujuan yang harus dicapai
dalam penatalaksanaan diet penyakit jantung koroner. LDL menyebabkan efek
berbahaya pada dinding arteri dan mempercepat proses aterosklerosis. Sebaliknya,
HDL membantu penggunaan kolesterol total dengan cara mengangkut LDL ke
hati, mengalami biodegradasi dan kemudian diekskresi. Tujuan yang diinginkan
adalah menurunkan kadar LDL (< 130 mg/dl), meningkatkan kadar HDL (>50
mg/dl) dan menurunkan kadar kolesterol total < 200 mg/dl. Kadar normal tersebut
dianjurkan pada pasien tanpa penyakit jantung koroner atau faktor risiko lain yang
bermakna.
4. Hiperglikemia
Hiperglikemia menyebabkan peningkatan trimbosit, yang dapat menyebabkan
pembentukan thrombus. Kontrol hiperglikemia tanpa modifikasi faktor risiko
lainnya tidak akan menurunkan risiko penyakit jantung koroner. Bila ada faktor
risiko lain seperti obesitas, faktor tersebut juga harus dikontrol.
5. Pola Perilaku
Stres dan perilaku tertentu diyakini mempengaruhi patogenesis penyakit
jantung koroner. Penelitian psikobiologis dan epidemiologis menunjukkan
perilaku seseorang yang rentan terhadap penyakit jantung koroner: ambisius
kompetitif, selalu tergesa, agresifdan kejam. Orang yang menunjukkan
kepribadian ini diklasifikasikan sebagai rentan koroner tipe A. nampaknya selain
menurunkan faktor risiko lain (merokok, lemak), orang seperti ini harus berusaha
merubah gaya hidup dan kebiasaan dalam jangka panjang. Pola perilaku tipe A
telah banyak diterima secara luas sebagai faktor risiko penyakit jantung koroner.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pola perilaku ini sebenarnya tidak seperti
yang sebelumnya diperkirakan, namun belum ada bukti yang membuktikan peran
sebenarnya.
4. Patofisiologi
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30 ± 40 menit akan menyebabkan
kerusakan seluler irreversibel dan kematian otot atau nekrosis. Bagian miokardium
yang mengalami infark atau nekrosis akan berhenti berkontraksi secara permanen.
Jaringan yang mengalami infark dikelilingi oleh suatu daerah iskemik yang berpotensi
dapat hidup. Ukuran infark lahir tergantung dari nasib daerah iskemik tersebut. Bila
pinggir daerah ini mengalami nekrosis maka besar daerah infark akan bertambah
besar sedangkan perbaikan iskemia akan memperkecil daerah nekrosis.
Infark miokardium biasanya menyerang ventrikel kiri. Infark digambarkan
lebih lanjut sesuai letaknya pada dinding ventrikel. Misalnya, infark miokardium
anterior mengenai dinding anterior ventrikel kiri. Daerah yang biasanya terserang
infark adalah bagian inferior, lateral, posterior, dan septum.
Otot yang mengalami infark akan mengalami serangkaian perubahan selama
berlangsungnya proses penyembuhan. Mula ± mula otot yang mengalami infark tampak
memar dan sianotik akibat terputusnya aliran darah regional. Dalam jangka waktu 24 jam
timbul edema pada sel ± sel, respon peradangan disertai infiltasi leukosit.
Enzim ± enzim jantung akan terlepas dari sel ± sel ini menjelang hari kedua
atau ketiga mulai proses degradasi jaringan dan pembuangan semua serabut nekrotik.
Selama fase ini dinding nekrotik relatif tipis. Kira ± kira pada minggu ke-3 mulai
terbentuknya jaringan parut. Lambat laun jaringan penyambung fibrosa menggantikan
otot yang nekrosis dan mengalami penebalan yang progresif. Pada minggu ke-6 parut
sudah terbentuk dengan jelas.
Infark miokardium jelas akan mengurangi fungsi ventrikel karena otot yang
nekrosis kehilangan daya kontraksi sedangkan otot yang iskemia disekitarnya juga
mengalami gangguan daya kontraksi. Secara fungsional infark miokardium akan
menyebabkan perubahan ± perubahan seperti pada iskemia :
1) Daya kontraksi menurun
2) Gerakan dinding abnormal,
3) Perubahan daya kembang dinding ventrikel
4) Pengurangan curah sekuncup
5) Pengurangan fraksi ejeksi
6) Peningkatan vol. Akhir sistolic dan akhir diastolic ventrikel, dan
7) Peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri.
Peningkatan frekuensi jantung dan daya kontraksi oleh refleks simpatic dapat
memperbaiki fungsi ventrikel. Penyempitan arteriola menyeluruh akan mempertinggi
resistensi perifer total, dengan demikian tekanan rata ± rata artena akan meningkat.
Penyempitan pembuluh vena akan mengurangi kapasitas vena, akan meningkatkan alir
balik vena ke jantung dan pengisian ventrikel. Pengisian ventrikel yang meningkat akan
meningkatkan daya kontraksi. Dengan menurunnya fungsi ventrikel maka diperlukan
tekanan pengisian diastolic yang lebih tinggi, agar curah sekuncup dapat dipertahankan.
Peningkatan tekanan pengisian diastolic dan vol ventrikel akan merenggangkan
seraput miokardium, dengan demikian meningkatkan kekuatan kontraksi sesuai hukum
starling. Tekanan pengisian sirkulasi dapat ditingkatkan lebih lanjut lewat retensi natrium
dan air oleh ginjal. Akibatnya, infark miokardium biasanya disertai pembesaran ventrikel
kiri sementara akibat dilatasi kompensasi jantung. Bila perlu, dapat terjadi hypertrofi
kompensasi jantung sebagai usaha untuk meningkatkan daya kontraksi dan pengosongan
ventrikel.
Secara ringkas, terdapat serangkaian refleks yang dapat mencegah
memburuknya curah jantung dan tekanan perfusi : (1) peningkatan frekuensi jantung
dan daya kontraksi, (2) vasokontriksi umum, (3) retensi natrium dan air, (4) dilatasi
ventrikel, (5)hypertrofi ventrikel. Tetapi semua respon kompensasi ini akhirnya dapat
memperburuk keadaan miokardium dengan meningkatkan kebutuhan miokardium
akan oksigen. Derajat gangguan fungsional akibat infark tergantung dari :
1) Ukuran infark : infark yang melebihi 40% miokardium berkaitan dengan insiden
syok kardiogenik tinggi.
2) Lokasi infark : lokasi di dinding anterior lebih besar kemungkinannya mengurangi
fungsi mekanik dibandingkan dengan kerusakan dinding inferior.
3) Fungsi miokardium yang terlibat : infark tua akan membahayakan fungsi
miokardium sisanya.
4) Sirkulasi kolateral : baik melalui anastomosis arteri yang sudah ada atau melalui
saluran yang baru terbentuk, dapat berkembang sebagai respon terhadap iskemia
yang kronik dan hipoperfusi regional guna memperbaiki aliran darah yang menuju
ke miokardium terancam.
5) Mekanisme kompensasi dari kardiovaskuler mekanisme ini bekerja untuk
mempertahankan curah jantung dan perfusi perifer ( Wijaya, Putri, 2013 ).
5. WOC
6. Manifestasi Klinis
Keluhan yang khas ialah nyeri dada retrosternal, seperti diremas-remas, ditekan,
ditusuk, panas atau ditindih barang berat. Nyeri dapat menjalar ke lengan (umumnya kiri),
bahu, leher, rahang bahkan ke punggung dan epigastrium. Nyeri berlangsung lebih lama
dari angina pektoris dan tak responsif terhadap nitrogliserin. Kadang-kadang, terutama
pada pasien diabetes dan orangtua, tidak ditemukan nyeri sama sekali.
Nyeri dapat disertai perasaan mual, muntah, sesak, pusing, keringat dingin,
berdebar-debar atau sinkope. Pasien sering tampak ketakutan. Walaupun IMA dapat
merupakan manifestasi pertama penyakit jantung koroner namun bila anamnesis
dilakukan teliti hal ini sering sebenarnya sudah didahului keluhan-keluhan angina,
perasaan tidak enak di dada atau epigastrium. Kelainan pada pemeriksaan fisik tidak ada
yang spesifik dan dapat normal. Dapat ditemui BJ yakni S2 yang pecah, paradoksal dan
irama gallop. Adanya krepitasi basal menunjukkan adanya bendungan paru-paru.
Takikardia, kulit yang pucat, dingin, dan hipotensi ditemukan pada kasus yang relatif
lebih berat, kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak atau berada di dinding
dada pada IMA inferior ( Kasron, 2016 ).
Tanda dan gejala klinis infark miokard ( TRIAGE AMI ) adalah :
1. Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak mereda,
biasanya diatas region sternal bawah dan abdomen bagian atas, ini merupakan
gejala utama.
2. Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak tertahankan
lagi.
3. Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat menjalar ke bahu
dan terus ke bawah menuju lengan ( biasanya lengan kiri ).
4. Nyeri mulai secara spontan ( tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan
emosional ), menetap selama beberapa jam atau hari, dan tidak hilang dengan
bantuan istirahat atau nitrogliserin (NTG).
5. Nyeri dapat menjalar ke arah tahang dan leher.
6. Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat, pening
atau kepala terasa melayang dan mual, muntah.
7. Pasien dengan diabetes mellitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat karena
neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu neuroreseptor
(menumpulkan pengalaman nyeri ).
7. Komplikasi
a. Disritmia
Komplikasi paling sering dari infark miokard akut adalah gangguan irama jantung
( 90% ). Faktor predisposisi : 1) Iskemia Jaringan, 2) Hipoksemia, 3) Pengaruh
Sistem Saraf Para-Simpatis dan Simpatis, 4) Asidosis laktat, 5) Kelainan
Hemodinamaik, 6) Keracunan Obat, 7) Gangguan Keseimbangan Elektrolit.
b. Gagal Jantung Kongestif dan Syok Kardiogenik
Sepuluh dan sampai 15 persen pasien IM mengalami syok kardiogenik, dengan
mortalitas amtara 80-95%.
c. Tromboemboli
Studi pada 924 kasus kematian akibat IM akut menunjukkan adanya trombi mural
pada 44% kasus pada endokardium. Studi autopsy menunjukkan 10% kasus IM
akut meninggal mempunyai emboli arterial ke otak, ginjal, limpa atau
mesenterium.
d. Perikarditis
Sindrom ini dihubungkan dengan IM yang digambarkan pertama kali oleh
Dressler dan sering disebut Sindrom Dissler. Biasanya terjadi setelah infark
transmural tetapi dapat menyertai infark subepikardial. Perikarditis biasanya
sementara, yang tampak pada minggu pertama setelah infark. Nyeri dada dari
perikarditis akut terjadi tiba-tiba dan berat serta konstan pada dada anterior. Nyeri
ini memburuk dengan inspirasi dan biasanya dihubungkan dengan takikardia,
demam ringan, dan friction rub perikardial yang trifasik dan sementara.
e. Ruptura Miokardium
Ruptur dinding bebas dari ventrikel kiri menimbulkan kematian sebanyak 10%
dirumah sakit karena IM akut. Ruptur ini menyebabkan tamponade jantung dan
kematian. Ruptur Septum Interventrikular jarang terjadi, yang terjadi pada
kerusakan miokard luas, dan menimbulkan Defek Septum Ventrikel.
f. Aneurisma Ventrikel
Kejadian ini adalah komplikasi lambat dari IM yang meliputi penipisan,
penggembungan, dan hipokinesis dari dinding ventrikel kiri setelah infark transmural.
Aneurisma ini sering menimbulkan gerakan paroksimal pada dinding ventrikel,
dengan pengembungan keluar segmen aneurima pada kontraksi ventrikel.
Kadang-kadang aneurisma ini ruptur dan menimbulkan tamponade jantung, tetapi
biasanya masalah yang terjadi disebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel atau
embolisasi ( Wijaya, Putri, 2013 ).
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan enzim jantung
1. CPK-MB/CPK, Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung meningkat antara
4-6 jam, memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam.
2. LDH/HBDH, meningkatkan dalam 12-24 jam dan memakan waktu lama untuk
kembali normal.
3. AST/SGOT, meningkat (kurang nyata/khusus) terjadi dalam 6-12 jam,
memuncak dalam 24 jam, kembali normal dalam 3 atau 4 hari.
b. EKG
Perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi dan
simetris. Setelah ini terdapat elevasi segmen ST. Perubahan yang terjadi kemudian
ialah adanya gelombang Q/QS yang menandakan adanya nekrosis. Terlihat
perubahan ± perubahan pada EKG, yaitu gelombang Q yang nyata, elevasi
segmen ST, dan gelombang T terbalik.
1. Perubahan ini tampak pada hantaran yang terletak diatas daerah miokardium
yang mengalami nekrosis.
2. Sedang beberapa waktu segmen ST dan gelombang T akan kembali normal,
hanya gelombang Q tetap bertahan sebagai bukti elektrokardiograp adanya
infark lama
3. Tetapi hanya 50% atau 75% pasien infark miokardium akut yang
menunjukkan pemulihan elektrokardiografis klasik ini
4. Pada 30% pasien yang didiagnosis dengan infark tidak terbentuk gelombang
Q. ( Price, Silvia, 2006 ).
c. Uji Diagnostik Reaksi non – spesifik.
Reaksi non – spesifik terhadap nekrosis miokrdial adalah leukosit yang miningkat
dalam beberapa jam setelah serangan IM akut. Leukosit dapat mencapai 12.00 –
15.00 / mm dan berlangsung selama 3 -7 hari. Laju endap darah juga meningkat.
d. Kimia Darah
1) Profil lemak
Kolesterol tetap, trigliserida dan lopoprotein diukur untuk
mengevaluasi resiko sterosklerotik, khususnya bila ada riwayat keluarga yang
positif, atau untuk mendiagnosa abnormalitas lipoprotein tertentu. Kolesterum
total yang meningkat diatas 200 mg/ml merupakan prediktor peningkatan
resiko penyakit jantung koroner (CAD). Lipoprotein yang mengangkut
kolesterol dalam darah, dapat dianalisa melalui elektroforesis. Lipoprotein
densitas tinggi (HDL), yang membawa kolestrol dari sel perifer dan
mengangkatnya ke hepar, bersifat protektif, sebaliknya, lipoprotein densitas
rendah (LDL) mengangkat kolesterol ke sel perifer. Penurunan lipoprotein
densitas tinggi dan peningakatan lipoprotein densitas rendah akan
meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria aterosklerotik.
2) Elektrolit serum
Elektrolit serum dapat mempengaruhi prognosis pasien dengan infark
miokard akut atau setiap kondisi jantung. Natrium serum mencerminkan
keseimbangan cairan relatif. Secara umum, hiponatremia menunjukan
kelebihan cairan dan hipernatremia menunjukan kekurangan cairan. Kelsium
sangat penting koagulasi darah dan aktifitas neuromuskular. Hipokalsemia dan
hiperkalsemia dapat menyebapkan perubahan EKG dan disretmia.
3) Kalsium serum
Di pengaruhi oleh fungsi ginjal da dapat menurunkan akibat bahan
diuretika yang sering digunakan untuk marawat gagal jantung kongestif.
Penurunan kadar kalium mengakibatkan iritabilitas jantung dan membuat
pasien yang mendapatkan preparat digitalis cenderung mengalami toksisitas
digitalis dan peningkatan kadar kalium mengakibatkan depresi miokardium
dan iritabilitas ventrikel. Hipokelemia dan hiperkalemia dapat mengakibatkan
fibrilasi ventrikel dan henti jantung.
4) Nitrogen urea darah. (BUN) adalah produk akhir metabolisme protein dan
diekresikan oleh ginjal. Pada psien jantung, peningkatan BUN dapat
mencerminkan penurunan perfusi ginjal (akibat penurunan curah jantung) atau
kekurangan volume cairan intravaskuler (akibat terapi diuretika).
5) Glukosa
Glukosa serum harus dipantau karena kebanyakan pasien jantung juga
menderita diabetes militus, glukosa serum sedikit meningkat pada keadaan
stres akibat mobilisasi epinefrin endogen yang menyebapkan konversi
glikogen hepar menjadi glukosa.
Infark miokardium klasik oleh trias diagnostic yang khas ( Price, 2006 dalam Wijaya,
Putri, 2013 ).
a. Pertama :
Gambaran klinis yang khas terdiri dari nyeri dada yang berlangsung lama dan
hebat, biasanya disertai mual, keringat dingin, muntah, dan perasaan seakan ±
akan menghadapi ajal.
1) Tetapi, 20% - 60% kasus infark yang tidak fatal bersifat tersembunyi atau
asimtomatik.
2) Sekitar setengah dari kasus ini benar ± benar tersembunyi dan tidak
diketemukan kelainan, dan diagnosis melalui pemeriksaan EKG yang rutin
atau pemeriksaan postmortem.
b. Kedua
Meningkatkan kadar enzim ± enzim jantung yang dilepaskan oleh sel ± sel
miokardium yang nekrosis.
1) Enzim ± enzim yang dilepaskan terdiri dari keratin, fosfokinase, ( CK atau
CPK ), glautamat, oksaloasetat transaminase ( SGOT atau GOT ) dan laktat
dehidrogenase ( LDH ).
2) Pola peningkatan enzim ini mengikuti perjalanan waktu yang khas sesudah
terjadinya infark miokardium.
9. Penatalaksanaan
Tujuan awal tata laksana infark miokard akut yaitu mengembalikan perfusi
miokard sesegera mungkin, meredakan nyeri, serta mencegah dan tata laksana
komplikasi ( Asikin, Nuralamsyah, Susaldi, 2016 ). Tata laksana awal meliputi :
1) Pemberian oksigen tambahan melalui sungkup/kanula hidung dan pemantauan
saturasi oksigen
2) Mengurangi nyeri dada dengan :
a. Nitrat : merupakan vasodilator pasten yang berguna untuk vasodilatasi
sistemik, sehingga mengurangi aliran balik vena jantung untuk menurunkan
kerja jantung
b. Morfin
c. NSAID
3) Terapi fibrinolitik dengan pemberian tissue-type plasminogen activator (t-PA),
serta aspirin dan heparin dalam waktu 90 menit sejak onset gejala.
4) Modifikasi pola hidup
a. Keseimbangan antara istirahat, olahraga, dan modifikasi gaya hidup untuk
mengurangi resiko aterosklerosis dan hipertensi.
b. Menghentikan kebiasaan merokok.
c. Menurunkan berat badan.
d. Mengurangi stress.
Setelah tata laksana awal dan stabilisasi pasien, tujuan berikutnya yaitu
mengembalikan aktivitas normal dan mencegah komplikasi jangan panjang.
5) Obat penghambat enzim pengonversi angiotensin ( ACE inhibator ) untuk
mengurangi preload dan afterload.
6) Beta blocker untuk menurunkan kecepatan denyut jantung, sehingga kerja jantung
menjadi berkurang.
7) Statin untuk menurunkan kolesterol yang merupakan penyebab aterosklerosis.
8) Pembedahan
a. Coronary artery bypass grafting ( CABG ).
b. Percutaneous coronary intervention ( PCI ).
2. Etiologi
Menurut Kusumawati & Hartono (2010), penyebab kecemasan dibagi menjadi dua
faktor, yaitu faktor perdisposisi dan faktor presipitasi.
1) Faktor predisposisi (pendukung)
Beberapa teori penyebab kecemasan pada individu antara lain (Stuart, 2007) :
a. Faktor biologis
Otak manusia mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepin. Reseptor
ini membantu mengatur ansietas. Penghambat GABA (asam gama-amino
butriat) juga berperan utama dalam mekanisme biologis berhubungan
dengan ansietas, sebagaimana halnya dengan endorfin. Ansietas mungkin
disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas
seseorang untuk mengatasi stresor.
b. Faktor psikologis
(a) Pandangan pskioanalitis
Kecemasan adalah konflik yang terjadi antara dua elemen kepribadian
yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting, superego mewakili
hati nurani. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari id dan superego. Dan
fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
(b) Pandangan interpersonal.
Kecemasan timbul dari masalah-masalah dalam hubungan interpersonal
dan ini erat kaitannya dengan kemampuan berkomunikasi. Semakin
tinggi tingkat ansietas, semakin rendah kemampuan seseorang untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
(c) Pandangan perilaku.
Kecemasan merupakan produk frustasi. Frustasi yaitu semua yang dapat
mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Ahli teori perilaku menganggap kecemasan sebagai suatu
dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan diri untuk menghindari
kepedihan.
Teori konflik memandang cemas sebagai pertentangan antara dua
kepentingan yang berlawanan. Cemas terjadi karena adanya hubungan
timbal balik antara konflik dan kecemasan : konflik menimbulkan
kecemasan, dan cemas menimbulkan peradaan tidak berdaya, yang pada
akhirnya meningkatkan konflik yang dirasakan.
(d) Kajian keluarga
Menunjukkan bahwa gangguan kecemasan sering terjadi didalam
keluarga. Gangguan kecemasan juga berkaitan erat antara gangguan
kecemasan dengan depresi.
c. Faktor presipitasi (pencetus)
Pengalaman cemas setiap individu berbeda – beda, tergantung pada situasi
dan hubungan interpersonal. Ada dua faktor presipitasi yang mempengaruhi
kecemasan menurut Stuart (2007) yaitu :
1) Faktor eksternal
(a) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi keterbatasan fisiologis
akan teradi atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas
hidup sehari – hari.
(b) Ancaman terhadap sistem diri meliputi, hal yang dapat
mengancamidentitas, harga diri, dan fungsi sosial pada individu.
2) Faktor internal
(a) Potensial stressor
Stresor psikososial merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang
itu terpaksa mengadakan adaptasi. Pasien dengan rencana operasi
kemungkinan mengalami kecemasan. Operasi merupakan tindakan
medis yang diberikan atas dasar indikasi tertentu dan
dipertimbangkan sebagai tindakan yang terbaik untuk pasien,
sehingga pasien akan berusaha untuk beradaptasi dengan rasa cemas
yang dialami.
(b) Maturitas
Kematangan kepribadian individu akan mempengaruhi kecemasan
yang dihadapinya.Kepribadian individu yang lebih matur lebih sukar
mengalami gangguan akibat kecemasan, karena individu mempunyai
adaptasi yang lebih besar terhadap kecemasan.
(c) Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh pada ketidakmampuan
berpikir. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin mudah
seseorang untuk berpikir rasional dan menangkap informasi baru.
Kemampuan menganalisis akan mempermudah seseorang dalam
menguraikan masalah baru.Tingkat pendidikan juga menentukan
mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan
tentang operasi.
(d) Keadaan fisik
Individu yang mengalami gangguan fisik akan mudah mengalami
kelelahan fisik. Kelelahan fisik yang dialami akan mempermudah
individu mengalami kecemasan.
(e) Status sosial ekonomi
Dalam memenuhi kebutuhan pokok maupun kebutuhan sekunder,
keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih mudah tercukupi
dibandingkan keluarga dengan status ekonomi rendah. Seseorang
dengan status ekonomi rendah dan berencana operasi akan
mengalami kecemasan dengan masalah biaya rumah sakit.
(f) Tipe kepribadian
Individu dengan tipe kepribadian A lebih mudah mengalami
gangguan akibat kecemasan daripada orang dengan tipe kepribadian
B. Individu dengan tipe kepribadian A memiliki ciri – ciri individu
yang tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna, merasa
diburu – buru waktu, mudah gelisah, tidak dapat tenang, mudah
tersinggung dan mengakibatkan otot – otot mudah tegang. Individu
dengan tipe kepribadian B memiliki ciri – ciri yang berlawanan
engan tipe kepribadian A. Tipe kepribadian B merupakan individu
yang penyabar, tenang, teliti dan rutinitas.
(g) Lingkungan dan situasi
Individu yang berasa di lingkungan asing lebih mudah mengalami
kecemasan dibandingkan dengan di lingkungan yang sudah
dikenalnya. Tindakan persalinan sectio caesarea dilakukan di rumah
sakit, bagi sebagian orang beranggapan bahwa rumah sakit
merupakan tempat yang asing, dan dengan orang-orang yang asing.
Keadaan tersebut dapat membingungkan bagi orang yang belum
terbiasa, maka seseorang sering mengalami kecemasan.
(h) Dukungan social
Dukungan sosial merupakan sumber koping individu. Dukungan
sosial dari kehadiran keluarga, orang tua, dan teman dekatdapat
membantu seseorang mengurangi kecemasan. Dukungan keluarga
terhadap pasien yang akan menjalani operasi sangat berpengaruh
pada tingkat kecemasan. Pendampingan keluarga selama perawatan
dapat membantu pasien dalam mengambil keputusan, mendapatkan
solusi dari permasalahan, dan membantu pasien membagikan rasa
cemas yang ia alami.
(i) Jenis Kelamin
Kecemasan dapat dipengaruhi oleh asam lemak bebas dalam tubuh.
bebas dalam tubuh. Wanita mempunyai produksi asam lemak bebas
lebih banyak dibanding pria sehingga wanita beresiko mengalami
kecemasan yang lebih tinggi dari pria.
4. Tingkat Kecemasan
Ansietas memiliki unsur yang baik maupun unsur yang merugikan tergantung
pada tingkat ansietas, lamanya ansietas bertahan, dan bagaimana individu yang
bersangkutan menangani ansietas tersebut. ansietas memiliki tingkatan ringan,
sedang, berat, atau panik (Baradero, 2015).
(1) Kecemasan ringan
Kecemasan ringan adalah suatu perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres
dan memerlukan perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat yang dapat
membantu individu menjadi lebih fokus, berfikir, bertindak untuk menyelesaikan
masalah, mencapai tujuan, atau melindungi diri atau orang lain. Kecemasan
ringan dapat mendorong atau memotivasi orang untuk melakukan perubahan atau
melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan (Baradero, 2015). Kecemasan ringan
berhubungan dengan ketergantungan dalam kehidupan sehari – hari seperti cemas
yang menyebabkan individu menjadi waspada, menajamkan indera dan
meningkatkan lapang persepsinya (Stuart,2007).
(2) Kecemasan sedang
Kecemasan sedang adalah suatu perasaan yang mengganggu karena ada
sesuatu yang pasti salah, individu gugup dan tidak dapat tenang. Dalam kondisi
ini individu masih dapat mengolah informasi, menyelesaikan masalah, dan
belajar dengan bantuan. Namun individu mengalami kesulitan untuk
berkonsentrasi dan memerlukan bantuan untuk berfokus kembali.
(3) Kecemasan berat (Panik).
Dalam kondisi panik, kemampuan untuk berpikir sangat berkurang. Individu
hanya berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik dan tidak memikirkan hal
yang lain. Semua perilaku individu ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan.
Individu perlu banyak arahan untuk berfokus kembali (Stuart, 2007). Dan pada
tahap panik tersebut secara tidak sadar individu memakai mekanisme pertahanan
diri.Otot – otot menjadi tegang dan tanda – tanda vital meningkat, gelisah, tidak
tenang, tidak sabar, dan cepat marah (Baradero, 2015).
B. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
b. Ansietas b.d ancaman terhadap kematian
c. Penurunan curah jantung b.d perubahan irama jantung, frekuensi jantung dan
kontraktilitas.
d. Gangguan pertukaran gas b.d akumulasi cairan dalam alveoli sekunder kegagalan
fungsi jantung.
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan curah jantung.
f. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplay oksigen miokard dan
kebutuhan, adanya iskemia/nekrosis jaringan miokard.
g. Defisiensi pengetahuan b.d kurangnya informasi tentang penyakit,
kesalahpahaman terhadap kondisi medis atau terapi yang dibutuhkan,
ketidaktauan tentang sumber informasi, serta kurangnya kemampuan mengingat.
C. Intervensi Keperawatan
D. Implementasi Keperawatan
Dalam prinsip tindakan keperawatan pada pasien IMA dengan mengurangi
nyeri menangani secara cepat serta memonitor kondisi pasien. Paula ( 2009 )
mengatakan tindakan keperawatan dalam pelaksanaan IMA yaitu mengurangi atau
menghilangkan rasa nyeri serta memonitor dan mencatat karakteristik nyeri.
Hematologi dan kimia serum dipantau. Ketika pasien dengan IMA tiba di UGD, di
diagnosis dan penatalaksanaan awal pasien harus cepat karena manfaat terapi
reperfusi paling besar jika terapi dimulai dengan cepat ( Patricia, 2011 ).
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
keperawatan. Tindakan yang mencakup tindakan mandiri dan tindakan kolaborasi.
1. Tindakan mandiri (Independen)
Adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan dan keputusan sendiri
bukan merupakan petunjuk atau perintah kesehatan lain.
2. Tindakan kolaborasi
Adalah tindakan yang dilakukan atas dasar hasil keputusan bersama, seperti
dokter atau petugas kesehatan lain .
E. Evaluasi Keperawatan
Tujuan dari evaluasi adalah ntuk mengetahui sejauh mana perawat dapat dicapai dan
memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan dengan
SOAP. Langkah-langkah evaluasi sebagai berikut :
1. Daftar tujuan-tujuan pasien.
2. Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu.
3. Bandingkan antara tujuan dengan kemampuan pasien.
4. Diskusikan dengan pasien, apakah tujuan dapat tercapai atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Baradero, M., Dayrit, M., & Siswadi, Y. (2008). Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. (2007). Buku Ajar Patologi Volume 2 edisi 7. Jakarta :
EGC
Kasron. (2012). Kelainan dan Penyakit Jantung : Pencegahan dan Pengobatan. Yogyakarta :
Nuha Medika
Nursalam. 2014. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta Selatan : Salemba Medika
Rendy, M Clevo dan Margareth. (2012). Asuhan Keperawatan Medical Bedah Penyakit
Smeltzer. C. S & Bare. B. (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &