Anda di halaman 1dari 76

TINJAUAN YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM

TERHADAP VONIS BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI


(StudiPutusanNomor: 44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi)

SKRIPSI

DiajukanSebagai Salah SatuSyaratUntukMemperoleh


GelarPadaFakultasHukumUniversitasHalu Oleo

Oleh

IRVAN ISKANDAR NISIF


H1A1 13 254

BAGIAN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2019IBN
ABSTRAK

IRVAN ISKANDAR NISIF : NIM. 21709102. “TINJAUAN YURIDIS


PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP VONIS BEBAS DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi)” Di
bawah bimbingan Ibu. Dr. Sabrina Hidayat., SH., M.H. sebagai pembimbing I
dan Ibu Sitti Aisah Abdullah, S.H., M.H. sebagai Pembimbing II.
Tujuan penelitian ini adalah : 1) Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim
memutuskan vonis bebas perkara tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor:
44/Pid.Tipikor /2015/PN.Kdi. 2) Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor
/2015/PN.Kdi.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan tipe
penelitian hukum normatif yang merupakan suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi.
Hasil dari penelitian ini penulis yaitu : 1) Pertimbangan Hukum Hakim
Menjatuhkan Vonis Bebas Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor:
44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi) yaitu karena “unsur melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, tidak
terpenuhi sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Penuntut Umum bahwa perbuatan
terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada unsur ini majelis hakim
dalam pertimbangannya bahwa tidak ada keuntungan yang di dapatkan
Terdakwa/Maida SE. Berdasarkan audit BPKP yang mendapatkan keuntungan adalah
Rahmatulah ST. 2) Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Korupsi (Studi Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor /2015/PN.Kdi). Pada dasarnya sanksi
pidana seharusnya diberikan terhadap terdakwa sesuai dakwaan penuntut bahwa
perbuatan terdakwa melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang di ubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, akibat
dari perbuatan terdakwa yang melakukan penyaluran dana bantuan tidak sesuai dengan
nama-nama warga yang terdaftar sebagai penerima bantuan sehingga perbuatan
terdakwa tersebut, telah merugikan Keuangan sejumlah Rp. 179.576.476,- (seratus
tujuh puluh sembilan juta lima ratus tujuh puluh enam ribu empat ratus tujuh puluh
enam rupiah).

Kata Kunci : Pertimbangan Hakim, Vonis Bebas, Korupsi

iv
ABSTRACT

IRVAN ISKANDAR NISIF: NIM. 21709102. "JUDICIAL REVIEW OF


JUDGMENT CONSIDERATIONS ON FREE VONISTS IN CORRUPTION
CRIMINAL ACTIONS (Study of Decision Number: 44 / Pid.Tipikor / 2015 /
PN.Kdi)" Under Mother's guidance. Dr. Sabrina Hidayat., SH., M.H. as supervisor I
and Mrs. Sitti Aisah Abdullah, S.H., M.H. as Advisor II.
The purpose of this study are: 1) To find out the legal considerations of the
judge deciding a case free of corruption in Decision Number: 44 / Pid.Tipikor
/2015/PN.Kdi. 2) To find out the criminal liability of the perpetrators of criminal acts
of corruption in Decision Number: 44 / Pid.Tipikor /2015/PN.Kdi.
The type of research used in this study is to use the type of normative legal research
which is a process of finding legal rules, legal principles, and legal doctrines to address
the legal issues at hand.
The results of this study the authors, namely: 1) Judicial Judgments Dropping
Free Sentences in Corruption Crime (Study of Decision Number: 44 / Pid.Tipikor /
2015 / PN.Kdi) namely because "elements against the law commit acts of enriching
oneself or others or a corporation, has not been fulfilled as referred to in the Public
Prosecution indictment that the defendant's actions violated Article 2 paragraph (1) and
Article 3 of Law Number 31 of 1999 concerning Eradication of Corruption. In this
element, the panel of judges considered that there was no benefit to the Defendant /
Maida SE. Based on BPKP audits that get benefits is Rahmatulah ST. 2) Criminal
Liability for Corruption Actors (Study of Decision Number: 44 / Pid.Tipikor
/2015/PN.Kdi). Basically, criminal sanctions should be given to the defendant
according to the prosecutor's indictment that the defendant's actions violate Article 2
and Article 3 of Law Number 30 of 1999 concerning Eradication of Corruption, which
is amended by Law Number 20 of 2001 concerning Eradication of Corruption, due to
of the actions of the defendant in channeling aid funds not in accordance with the
names of residents registered as beneficiaries so that the actions of the defendant, have
caused financial losses of Rp. 179,576,476, - (one hundred seventy nine million five
hundred seventy-six thousand four hundred seventy-six rupiah).

Keywords: Judge Considerations, Free Verdict, Corruption.

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil alamin puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah subhannahuwata’ala yang telah melimpahkan rahmat dan taufik-Nya

sehingga skripsi yang berjudul tentang “TINJAUAN YURIDIS

PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP VONIS BEBAS DALAM TINDAK

PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor /2015/PN.Kdi)”ini

dapat terselesaikan dengan baik, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

studi pada Jurusan Ilmu Hukum Bagian Hukum Pidana Fakultas Universitas Halu

Oleo.

Rasa Hormat dan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada kedua orang

tua saya, Ayahanda penulis La Ngkumae dan Ibunda Waode Fatimah yang telah

mendidik dan membesarkan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang yang tulus,

selalu mendoakan agar dalam menempuh studi tidak mengalami hambatan.

Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah

memberikan dukungan dan bimbingan baik secara langsung maupun secara tidak

langsung membantu penulis, terutama kepada Pembimbing I Dr. Ibu Sabrina

Hidayat, S.H., M.H., dan Pembimbing II Ibu Sitti Aisah Abdullah, S.H., M.H.:

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun, S.Si., M.Si., M.Sc, selaku Rektor

Universitas Halu Oleo.

2. Bapak Dr. Herman, S.H., LL.M, selaku Dekan Fakultas Fakultas Hukum

Universitas Halu Oleo.

3. Bapak Dr. Guasman Tatawu, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan Bagian

Akademik Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

vi
4. Ibu Heryanti S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan Bidang Umum, Perencanaan,

dan Keuangan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

5. Bapak Lade Sirjon, S.H., LL.M., Selaku Wakil Dekan Bidang

Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

6. Ibu NurIntan, S.H., M.H., Selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Halu Oleo.

7. Bapak Iksan Rompo, S.H., M.H., Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana pada

Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

8. Bapak Laode Muhamad Sulihin,S.H., M.H., Selaku Kepala Laboratorium

Hukum Pidana dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

9. Ibu Dr. Sabrina Hidayat, S.H., M.H., selaku pembimbing I dan Ibu Sitti Aisah

Abdullah S.H., M.H., selaku pembimbing IIyang telah banyak memberikan

arahan dan bimbingan sejak awal sampai dengan penyelesaian penyusunan

skripsi

10. Dosen dan staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo secara

keseluruhan yang telah membantu selama proses perkuliahan.

11. Buat saudaraku tercinta teman-teman yang telah banyak memberikan bantuan

baik moril dan materi serta perhatian dan motivasi sehingga penulis dapat

menyusun hasil penelitian ini.

12. Teristimewa penulis mengucapkan terimah kasih kepada Syari Menarti selaku

Istri saya dan anak buah hati kami Aulia Izzatunisa Nisif yang telah

memberikan motivasi, semangat dan dukungan yang berarti kepada penulis.

vii
13. Serta seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 2013 fakultas hukum yang

tidak bias penulis sebutkan satu persatu namanya terima kasih atas motivasi

dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa apa yang telah tertuang dalamSkripsi ini masih

jauh dari kesempurnaan baik dari segi penulisan maupun dari penyajiannya. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun

sehingga kedepannya penulisan karya ini bisa menjadi lebih baik.

Kendari, November 2019

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i


HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................ iv
ABSTRACT ................................................................................................................v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................4
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................4
D. Manfaat Penelitian .....................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi .................................................6
B. Tinjauan Tentang Kewenangan Hakim ....................................................16
C. Asas Hukum Acara Pidana .......................................................................20
D. Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana .......................................28
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .........................................................................................35
B. Metode Pendekatan ..................................................................................35
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum .............................................................36
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .......................................................37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pertimbangan Hukum Hakim Menjatuhkan Vonis Bebas Dalam
Tindak
Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi) ....39
B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi
(Studi Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi) ..............................51

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................64
B. Saran .........................................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA

ix
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus

ditangani dengan cara-cara yang luar biasa (extra judicial action). Perlakuan dan

penanganan hukumnya pun harus dengan tindakan yang tegas dan berani dari

para aparatur penegak hukum. Namun kenyataannya dalam penegakan hukum

perkara tindak pidana korupsi masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Salah

satunya adalah vonis hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi masih ringan,

bahkan dijumpai vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi. 1

Hakim sebagai aparat penegak hukum di lembaga peradilan mempunyai

peran yang sangat penting dalam usahanya untuk memberantas suatu kejahatan

tindak pidana korupsi. Hakim tidak hanya memberi sanksi bagi para koruptor

tetapi juga mempunyai peran untuk memberikan efek jera bagi pelanggar hukum

karena kredibilitas dan moralitas seorang hakim sebagai aparat penegak hukum

dipertaruhkan, ketika memutus perkara korupsi, di Indonesia saat ini terjadi

peningkatan tindak pidana korupsi sebab korupsi telah merasuki berbagai sendi-

sendi pemerintahan di berbagai institusi Negara baik eksekutif, legislatif maupun

yudikatif.2

Munculnya vonis ringan dan bebas kita bisa lihat dari hasil penelitian yang

dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch selanjutya di sebut ICW pada tahun

2017,ICW pernah memantau kinerja lembaga pengadilan umum. Hasilnya, di

1
Adami Chazawi, 2005. Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia,
Bayumedia Publishing, Malang Jawa Timur, Hal. 51.
2
Ibid., Hal. 52.
2

tingkat pengadilan negeri, terdakwa korupsi rata-rata hanya dijatuhi vonis 2

tahun 1 bulan. Di tingkat Pengadilan Tinggi rata-rata vonisnya adalah 2 tahun 2

bulan, dan di tingkat Mahkamah Agung rata-rata menjatuhkan vonis selama 5

tahun. "Sangat disayangkan, bahwa dari data tersebut pengadilan cenderung

memberikan vonis ringan terhadap terdakwa korupsi, padahal selama ini

didengungkan tindak pidana korupsi adalah kejahatan berat," Menurut ICW

terdapat 1.249 perkara korupsi dengan 1.381 terdakwa sepanjang 2017.

Sementara jika dibagi atas pengadilan yang memutuskan vonis, pengadilan

negeri memutuskan vonis kepada 1092 terdakwa (79,07%), pengadilan tinggi

sebanyak 225 terdakwa (18,47%), dan Mahkamah Agung sebanyak 255

terdakwa (2,46%).3

Dari beberapa jenis tindak pidana korupsi yang marak terjadi di Indonesia

salah satunya yaitu tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan, dengan

tujuan memperkaya diri sendiri jenis korupsi penyalagunaan kewenangan

sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya di sebut UUPTPK. Pada saat

ini, penyalahgunaan kewenangan yang berimplikasi pada terjadinya tindak

pidana korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggara negara pada

3
www.hukum online di akses Pada 15november 2019, jam 08.00 Wita.
3

pemerintahan pusat tetapi juga dilakukan oleh penyelenggara negara dalam hal

ini Kepala daerah Provinsi/Kota maupun Kabupaten.4

Salah satu kasus tindak pidana korupsi yang telah diputuskan bebas pada

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kendari dengan Putusan Nomor:

44/Pid.Tipikor /2015/PN. Kdi. atasnama terdakwa MAIDA, S.E., yang

merugikan Negara berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian

Keuangan Negara Nomor: SR-26/PW20/5/2015 tanggal 26 Agustus 2015 dari

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan selanjutya di sebut BPKP

Perwakilan Sulawesi Tenggara yaitu sebesar Rp.179.576.476,00.

Pada kenyatannya dalam perkara tersebut majelis hakim tipikor Pengadilan

Negeri Kendari, dalam putusannya membebaskan terdakwa dari segala tuntutan

penuntut umum. Hal ini menurut penulis, tidak sesuai dengan bukti di dalam

persidangan yang telah di jadikan dasar dakwaan penuntut umum, karena

berdasarkan bukti persidangan terdakwa telah melanggar Pasal 2 ayat (1) dan

Pasal 3 jounto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

selanjutnya di sebut KUHP.

Dalam putusan tersebut, judex facti tidak mempertimbangkan bukti yang

diajukan oleh penuntut umum, akan tetapi judex facti justru membebaskan

terdakwa dari segala tuntutan, hal ini kemudian timbul ketidakadilan dalam

putusan tersebut.

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut diatas, penulis

hendak meneliti lebih lanjut dengan judul “Tinjauan Yuridis Pertimbangan

4
Murtir Jeddawi. 2011, Negara Hukum, Good Governance Dan Korupsi Di Daerah,
Total Media, Yogyakarta. Hal. 81.
4

Hakim Terhadap Vonis Bebas Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan

Nomor: 44/Pid.Tipikor /2015/PN.Kdi)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarakan uraian dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka

penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum hakim menjatuhkan vonis bebas

dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor

/2015/PN.Kdi)?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi

(Studi Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor /2015/PN.Kdi)?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim menjatuhkan vonis bebas

dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor

/2015/PN.Kdi)

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi

(Studi Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor /2015/PN.Kdi)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis :

1. Memberikan sumbangan pemikiran dibidang ilmu hukum pada umumnya,

khususnya hukum pidana terutama yang berkaitan dengan pemberantasan

tindak pidana korupsi,


5

2. Hasil penelitian ini dapat di pergunakan untuk menambah referensi di bidang

karya ilmiah yang dapat mengembangkan materi Hukum Pidana.

b. Manfaat Praktis :

1. Hasil penelitian dapat memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan

yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini. Tetapi dalam

khususnya Tindak Pidana Korupsi.

2. Meningkatkan wawasan dalam mengembangkan pengetahuan bagi peneliti

akan permasalahan yang diteliti.


6

BAB II

TINJAUAN PUSATAKA

A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Menurut Andi Hamzah, istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu

corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu sendiri

berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua yang

berarti kerusakan atau keboborakan, disamping itu dipakai pula untuk

menunjukan keadaan atau perbuatan yang buruk.5

Lebih lanjut Andi Hamzah, mengemukakan bahwa “ istilah korupsi

mempunyai banyak arti tergantung dari mana kita menyorotinya, apakah ditinjau

dari segi asal kata, hukum, sosiologis, ekonomi, dan lain-lain6. Arti harfiah dari

istilah itu ialah kebusukkan, keburukkan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat

disuap, tidak bermoral,penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang

menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam the lexicon Webster

dictionary :“Corruption the act of corrupting, or the state of being corrupt,

putrefactive de composition, putrid matter, moral perversion, depravity,

perversion of integrity, corrupt or dishonest proceedings, bribery, perversion

from estate of purity, debasement, as of a language, a debased from a word”7.

Menurut Mahrus Ali, korupsi merupakan suatu istilah yang sangat luas

artinya, seperti disimpulkan dalam encyclopedia Americana, korupsi itu adalah

5
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hal. 91.
6
Ibid., Hal. 95.
7
Ibid., Hal. 97.
7

hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu,

tempat, dan bangsa. Lebih lanjut di jelaskan korupsi merupakan suatu tindak

pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi dan perbuatan-

perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan

Negara atau perekonomian negara, merugikan kesehjateraan atau kepentingan

rakyat/umum. 8

Selanjutnya Mahrus Ali, menegaskan bahwa perbuatan yang merugikan

keuangan atau perekonomian negara merupakan korupsi dibidang materil

sedangkan korupsi dibidang politik dapat berwujud berupa manipulasi

pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, atau campur tangan yang

dapat mempengaruhi kebebasan memilih. Selanjutnya korupsi ilmu pengetahuan

dengan cara antara lain tidak memberikan pelajaran yang wajar sehingga si

murid (siswa, mahasiswa) menerima ilmu pengetahuan kurang dari yang

seharusnya atau menyatakan (mempublisir) sesuatu karangannya/ciptaan ilmu

pengetahuan atas namanya adalah ciptaan orang lain.9

Menurut Wijayanto, pelaku korupsi merupakan perilaku yang

menyimpang dari tugas yang normal dalam pemerintahan karena pertimbangan

pribadi (keluarga, sahabat pribadi dekat), kebutuhan uang atau pencapaian

status, atau melanggar peraturan dengan melakukan tindakan yang

memanfaatkan pengaruh pribadi. Tindakan ini termasuk prilaku penyuapan

(penggunaan hadiah untuk penyimpangan keputusan seseorang dalam posisi

mengemban amanah), nepotisme (menggunakan perlindungan oleh seseorang


8
Mahrus Ali,.Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta,
2013, Hal. 100.
9
Ibid., Hal. 88.
8

yang punya hubungan darah atau keturunan daripada berdasarkan kinerja), dan

penyalahgunaan (penggunaan secara tidak sah sumberdaya milik untuk manfaat

pribadi.10

Lebih lanjut dijelaskan, korupsi pada dasarnya marak dilakukan oleh

seseorang yang memiliki jabatan pemerintahan, seorang pejabat pemerintah

dikatakan korup apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan

untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatanya padahal ia

selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau

dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak

benar dan dapat merugikan kepentingan umum yang menyalahgunakan

kewenangan dan kekuasaan”11.

Terdapat pula pengertian tentang korupsi yang tidak bertolak dari ukuran

jabatan dalam pemerintahan atau pelayanan umum, melainkan dari sudut

kepentingan umum (public interest). Wijayanto, dalam pandangannya

mengatakan bahwa pola korupsi dapat disebut terjadi apabila seseorang

pemegang kekuasaan yang ditugaskan untuk mengerjakan sesuatu, yaitu seorang

petugas (fungsionaris) dan penguasa kantor telah diberi hadiah uang atau yang

lain secara melanggar hukum guna mengambil tindakan yang menguntungkan

pemberi hadiah dan dengan demikian merugikan kepentingan umum.12Intisari

pandangan tersebut yang dikemukakan oleh Wijayanto yaitu tindakan tersebut

10
Wijayanto. Korupsi Mengorupsi Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta,
2009Hal. 23.
11
Ibid., Hal. 25.
12
Ibid., Hal. 30.
9

akan merusak kepentingan masyarakat luas, hanya karena pemberian secarah

tidak sah yang hanya menguntungkan seseorang secara pribadi saja.

Berdasarkan UUPTPK delik korupsi (tindak pidana ) yang dibagi dalam

dua kelompok besar yaitu :

1. Tindak pidana korupsi Sebagaimana dalam Rumusan Pasal 2, Pasal 3, Pasal

4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,

Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal

20.13

2. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi Sebagaimana

dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24.14

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Menurut Djaja Ermansyah, unsur-unsur tindak pidana korupsi sebenarnya

dapat dilihat dari pengertian tindak pidana korupsi atau rumusan delik yang

terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan

beberapa pengertian dan rumusan delik tindak pidana korupsi seperti di

kemukakan di atas, adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dapat

penulis inventarisir dalam UUPTK adalah :15

1. Tindakan seseorang atau badan hukum.


2. Tindakan tersebut menyalahgunakan wewenang.
3. Dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
4. Tindakan tersebut merugikan negara atau perekonomian negara atau patut
diduga merugikan keuangan dan perekonomian negara.
5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelanggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau

13
Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), Sinar Garfika, Jakarta, 2007, Hal.
102.
14
Ibid., Hal. 103.
15
Djaja Ermansyah. Memberantas Korupsi Bersama KPK,Sinar Grafika, Jakarta, 2009,
Hal. 63.
10

penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam


jabatanya, yang bertentangan dengan kewajibanya.
6. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatanya.
7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk di adili.
8. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advoakat
untuk mengahadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi
nasehat atau pendapat yang akan diberiakan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
9. Adanya perbuatan curang atau sengaja membiarkan terjadinya perbuatan
curang tersebut.
10. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara teru menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapakan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatanya, atau membiarkan uang atau surat berharga
tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut.16
11. Dengan sengaja menggelapakan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang : akta, surat, atau daftar yang
digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yang
berwenang, yang dikuasai karena jabatanya dan membiarkan orang lain
menghilangkan, menghancurkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang,
akta, atau daftar tersebut serta membantu orang lain meghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang,
akta, surat, atau daftar tersebut.
12. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatanya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungan dengan jabatan.17

Dengan adanya unsur-unsur tindak pidana korupsi yang ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan, maka setiap tindakan seseorang atau korporasi

yang memenuhi criteria atau rumusan delik diatas, maka kepadanya dikenakan

sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Harus diingat dan dipahami bahwa

unsur-unsur tindak pidana sangat penting untuk diketahui karena denhgan tidak

16
Ibid.,Hal. 65.
17
Ibid., Hal. 68.
11

terpenuhinya unsure suatu tindak pidana, maka pelaku kejahatan dapat bebas

dari dari segala tuntutan hukum dan dalam kenyataan penyebab sehingga

seorang terdakwa korupsi bebas dari jeratan hukum karena tidak dapat

terpenuhinya unsur-unsur tersebut.18

3. Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi pada umumnya memuat aktivitas yang merupakan

manifestasi dari perbuatan-perbuatan korupsi dalam arti luas mempergunakan

kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau

kedudukan yang istimewa yang di punyainya oleh seseorang didalam jabatan

umum yang secara tidak patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang

yang menyuap sebagai dikualifisir sebagai delik (tindak pidana) korupsi dengan

segala akibatnya yang berhubungan dengan hukum pidana dan acaranya. 19

Berdasarkan UUPTK jenis pidana korupsi, jenis pidana yang dapat dilakukan

hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :

a. Pidana Mati

Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
yang dilakukan dalam "keadaan tertentu". Adapun yang dimaksud dengan
"keadaan tertentu" adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya
sesuai dengan undang-undang yang berlaku, padawaktu terjadi bencana alam
nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara
dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).20

18
Ibid., Hal. 70.
19
Nurdjana. 2010.Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Lataen Korupsi “Perspektif
Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 112.
20
Ibid., Hal. 114
12

b. Pidana Penjara

1. Pidana penjara seumur hidup ataupidana penjara paling singkat 4 (empat)


tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp l.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (Pasal 2 ayat (1)
2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
tahun/denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 3).
3. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 tahun atau
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bagisetiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 209
KUHP.21
4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. l50.000.000.00 dan paling banyak
Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang
yang melakukan tindak pidana sebagai dimaksud dalam Pasal 210
KUHPidana. (Pasal 6).
5. Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) bagi
setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 387 atau Pasal 388 KUHP.
6. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rpl50.000.000.00 (seratus lima puluh
jutarupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah) bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 415 KUHP. (Pasal 8).
7. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bagi
setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 416 KUHP. (Pasal 9).
8. Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. l00.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) bagisetiap
orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
417 KUHP. (Pasal 10).
9. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan

21
Ibid., Hal. 115
13

paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bagi
setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 418 KUHP. (Pasal 11).
10. Pidana penjara seumur hidup dan/atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp. 200:000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
l.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423
Pasal 425, Pasal 435 KUHP. (Pasal 12).22
11. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. l50.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 bagi setiap orang yang
dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka .

c. Pidana Tambahan

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidakberwujud atau


barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaanmilik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang
tersebut.
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknyasama
dengan harta yang diperoleh dari korupsi.
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagiankeuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana.
5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti.
6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai
ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.23

22
Ibid., Hal. 117.
23
Ibid,. Hal. 120.
14

4. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terbentuk berdasarkan Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Selanjutnya di

sebut UU KPK. Dalam Pasal 53 UU KPK menyebutkan Tindak Pidana Korupsi

merupakan pengadilan Khusus yang berada di lingkungan peradilan umum yang

menangani perkara korupsi. Tujuan dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi adalah :24

a. Untuk mewujudkan hukum dan keadilan bagi pencari keadilan sesuai


dengan ketentuan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Ketentuan demikian menjadi dasar utama dalam
pembentukan Pengadilan di Indonesia;
b. Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus didasarkan pada
prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang independen seperti yang sudah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009;
c. Sebagai bagian dari sistem hukum, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi untuk memenuhi kebutuhan adanya kepastian hukum
untukmendukung sistem hukum lainnya;
d. Keselarasan dengan arah dan desain pembaharuan hukum dan peradilan di
bawah Mahkamah Agung. Bila tanpa adanya keselarasan, maka Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi akan berjalan di luar sistem yang ada dan akan
diragukan efektifitasnya;
e. Hasil kajian yang komrehensif terhadap tingkat kebutuhan-kebutuhan di
atas dengan melibatkan berbagai pihak termasuk Mahkamah Agung dan
Masyarakat.

Sesuai dengan pasal 17 Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi hanya memeriksa dan memutus tindak pidana yang

penuntutannya diajukan oleh Penuntut Umum dan atau oleh jaksa dan perkara-

perkara korupsi yang dituntut oleh Penuntut Umum non (KPK), diadili oleh

pengadilan konvensional yaitu Pengadilan Negeri biasa. Melalui proses seperti

ini menimbulkan dua alur pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh Pengadilan.

24
Krisna Harahap. Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Jalan Tiada Ujung. Grafiti,
Bandung, 2009, hal. 95.
15

Alur pertama oleh Pengadilan Negeri biasa dan alur kedua oleh Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi.25

5. Kedudukan dan Wewenang Pengadilan Tipikor Sebagai Lembaga

Independen

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang untuk memeriksa,

mengadili dan memutus perkara-perkara korupsi di seluruh wilayah hukum

Indonesia. Perkara-perkara yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi,

pencucian uang dan tindak pidana yang sudah ditentukan pada undang-undang.

Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi bahwa “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di

setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum

pengadilan negeri yang bersangkutan”. Dan pada Pasal 4 disebutkan bahwa

“Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi berkedudukan di setiap Kotamadya yang daerah hukumnya meliputi

daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan”.26

Perbedaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (khusus) dengan

Pengadilan pada umumnya terletak pada : materi tindak pidana yang menjadi

wewenang pengadilan pada umumnya sudah diatur di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana sedangkan materi tindak pidana yang menjadi wewenang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (khusus) diatur di luar KUHP. Dan dalam

pengadilan khusus ada hakim karir dan hakim ad hoc untuk duduk bersama-

sama mengadili perkara pidana yang merupakan wewenangnya, yang

25
Ibid., hal. 97.
26
Ibid.
16

perbedaanya keduanya hanya pada sumber rekrutmen saja. Menurut Indriyanto

Seno Adji, bahwa korupsi merupakan tindak pidana kejahatan, ketidakjujuran,

dan dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau

ucapan yang menghina dan memfitnah. 27

B. Tinjauan Tentang Kewenangan Hakim

Pada dasarnya hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam

setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU

Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan

bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Seorang hakim setidaknya memiliki bentuk kewenangan dan

tanggungjawab dalam mengadili suatu perkara yaitu tanggung jawab kepada

Tuhan Yang Maha Esa, tanggung jawab kepada bangsa dan negara, tanggung

jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada hukum, tanggung jawab

kepada masyarakat. Putusan harus dapat menimbulkan efek yang positif bagi

kehidupan masyarakat. Putusan merupakan sumber hukum formil atau

yurisprudensi yang dapat menjadi dasar dan alasan bagi para hakim yang lain

dalam memutuskan suatu perkara.28

Putusan pengadilan setelah diucapkan akan mengikat secara yuridis kepada

para pihak yang berperkara dan setiap orang yang disebutkan secara

27
Indriyanto Seno Adji. Korupsi dan Penegakan Hukum,Diadit Media, Jakarta, 2009,
Hal. 121.
28
Abdi Kurnia. Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Tiga Zaman : Orde Lama, Orde
Baru dan Era Reformasi. Masyarakat Transparansi Indonesia. Jakarta,2010, Hal. 36.
17

tegas dalam isi putusan dengan tanpa mengurangi hak-hak bagi para pihak untuk

mengajukan upaya hukum kepada badan peradilan yang lebih tinggi jika ia

merasa tidak puas terhadap isi putusan yang dijatuhkan. Sedangkan secara

sosiologis putusan juga mengikat setiap orang, baik secara langsung maupun

secara tidak langsung, karena pada hakikatnya dalam setiap putusan yang

dijatuhkan tersirat kewajiban bagi setiap orang untuk menghormati isi putusan

itu sebagaimana setiap orang diwajibkan untuk menghormati hukum yang

berlaku.29

Putusan pengadilan merupakan seluruh rangkaian proses pemeriksaan

persidangan sampai pada sikap hakim untuk mengakhiri perkara yang

disidangkan. Putusan pengadilan tidak dapat dipahami hanya membaca amar

putusan, melainkan secara keseluruhan. Formalitas dari sebuah putusan terdiri

dari 4 (empat) bagian yaitu kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan

dan amar.30

Mengenai syarat sahnya putusan sebagaimana disebutkan dalamPasal 197

ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1984 yang selanjutnya disebut KUHAP

yang mengatur mengenai syarat yang harusdipenuhi agar hakim sah dan sesuai

dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.Kalau ketentuan tersebut tidak terpenuhi,

kecuali pada huruf g dan huruf i maka putusan akan batal demi hukum. Banyak

aspek yang harusdipertimbangkan hakim dalam dalam menjatuhkan putusan,

namun darisegi teknis ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu bagaimana

hakimdengan rasio dan hati nuraninya mampu mengungkap fakta berdasarkan

29
Ibid., Hal. 39.
30
Ibid., Hal. 41.
18

bukti-bukti yang diajukan di persidangan, dan mencari, menemukan, dan

menerapkan hukum yang tepat sesuai dengan rasa keadilan individu (pelaku),

masyarakat (korban), dan negara (undang-undang).31

Suatu Putusan Pemidanaan memuat seperti apa yang disebutkan Pasal 197

ayat (1) KUHAP, menyatakan sebagai berikut:

a) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi “Demi Keadilan


b) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
c) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
d) kelamin, kebangsaan , tempat tinggal, agama dan pekerjaan,
e) Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan,
f) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
g) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan,
h) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan Pasal, peraturan perundang-undanganyang menjadi dasar hukum
dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa,
i) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal,
j) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidan disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan
atau tindakan yang dijatuhkan,
k) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti,
l) Keterangan bahwa seluruh surat dinyatakan palsu atau dimana letaknya
kepalsuan itu, jika terdapat surat oetentik dianggap palsu,
m) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan,
n) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus
dan mana panitera.32

Adapun mengenai bentuk dan jenisnya putusan Pengadilan, terbagi dalam

beberapa bentuk yaitu sebagai berikut:

1. Putusan Yang Mengandung Pembebasan Terdakwa Pasal 191 KUHAP

Merumuskan:

31
Lilik Mulyadi. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Tehnik
Penyusunan dan Permasalahannya. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2010, Hal. 125.
32
Ibid.
19

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang,

kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus secara bebas”. Dakwaan

tidak terbukti artinya apa yang disyaratkan dalam Pasal 183 KUHAP tidak

terpenuhi. Rumusan Pasal 183 sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. 33

Menurut Pasal 191 ayat (3) KUHAP, dalam putusan yang mengandung

pembebasan terdakwa atau putusan yang mengandung pelepasan terdakwa, maka

terdakwa yang berada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan

seketika itu juga, kecuali ada alasan lain yang sah terdakwa tetap berada dalam

tahanan. Selanjutnya menurut Pasal 192 ayat (1) KUHAP, perintah untuk

membebaskan terdakwa atau melepaskan terdakwa segera dilaksanakan oleh

Jaksa sesudah putusan diucapkan.Putusan pembebasan terdakwa tersebut biasa

disebut dengan “Putusan Bebas murni” , artinya terdakwa diputus bebas karena

adanya alasan-alasan materiil yang tidak terpenuhi.34

2. Putusan Yang Mengandung Pelepasan Terdakwa Dari Segala Tuntutan


Hukum.

Pasal 191 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

merumuskan:“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak

33
Ibid.
34
Ibid.,Hal. 127.
20

pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segalatuntutan hukum”.Yakni Putusan

Pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasarkriteria: 1) Apa yang didakwakan

kepada terdakwa memang terbuktisecara sah dan meyakinkan; 2) Tetapi

sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak

merupakan tindak pidana.Disini dapat dilihat hal yang melandasi putusan

pelepasan, terletakpada kenyataan, apa yang didakwakan dan yang telah terbukti

tersebut“tidak merupakan tindak pidana”, tetapi termasuk ruang lingkup

hukumperdata atau hukum adat.35

3. Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa

Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

merumuskan: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan

tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan

pidana”.Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa (veroordering),

Pasal 193.36

C. Asas Hukum Acara Pidana

Prinsip atau asas dalam hukum acara pidana diperlukan untuk menjadi

pedoman atau dasar dalam penerapan penegakan Pasal-Pasal dalam KUHAP.

Beberapa asas penting dalam hukum acara pidana:

1) Asas Legalitas. Legalitas berasal dari kata legal (Latin), aslinya legalis

artinya sah menurut undang-undang. Asas atau prinsip legalitas dengan

tegas disebut dalam konsideran KUHAP seperti yang dapat dibaca pada

huruf a, yang berbunyi: “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

35
Ibid.,Hal. 128.
36
Ibid., Hal. 129.
21

hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang

menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan

wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan baik tidak ada

kecualinya”.

Pelaksanaan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law.

Semua tindakan penegak hukum harus:

a. Berdasar ketentuan hukum dan undang-undang;


b. Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas segala-
galanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk
di bawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Jadi arti the
rule of law dan supremasi hukum, menguji dan meletakkan setiap tindakan
penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang-undang dan
rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat.
Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
bangsa lain, tidak dapat disebut rule of law, bahkan mungkin berupa
penindasan.37
2) Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocent)

Asas ini disebut dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3c

KUHAP yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,

dituntut, dan/ atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak

bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan

memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada

aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap

tingkat pemeriksaan dan untuk menopangnya, KUHAP telah memberi

37
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal. 107.
22

perisai kepada tersangka/terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan

yang wajib dihormati dan dilindungi pihak aparat penegak hukum. Dengan

perisai hak-hak yang diakui hukum, secara teoritis sejak semula tahap

pemeriksaan, tersangka/ terdakwa sudah mempunyai “posisi yang setaraf ”

dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum, berhak menuntut perlakuan

yang digariskan dalam KUHAP seperti yang dapat dilihat pada Bab VI. 38

3) Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama

sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam

undang-undang tersebut. Penjelasan umum yang dijabarkan dalam banyak pasal

dalam KUHAP antara lain sebagai berikut:

a) Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat (4), dan

Pasal 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan

bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat

sebelumnya, maka penyidik, Penuntut Umum, dan hakim harus sudah

mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Dengan

sendirinya hal ini mendorong penyidik, Penuntut Umum, dan hakim untuk

mempercepat penyelesaian perkara tersebut;

b) Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk segera

diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang

apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai pemeriksaan, ayat (1),

38
Ibid. Hal. 109.
23

segera perkaranya diajukan ke pengadilanoleh Penuntut Umum, ayat (2)

segera diadili oleh pengadilan, ayat (3);

c) Pasal 102 ayat (1) mengatakan penyelidik yang menerima laporan atau

pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan

tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang

diperlukan;

d) Pasal 106 mengatakan hal yang sama di atas bagi penyidik;

e) Pasal 107 ayat (3) mengatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai disidik

oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, segera menyerahkan

hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik tersebut pada

Pasal 6 ayat (1) huruf a;

f) Pasal 110 mengatur tentang hubungan Penuntut Umum dan penyidik yang

semuanya disertai dengan kata segera, begitu pula Pasal 138;

g) Pasal 140 ayat (1) dikatakan ”Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa

dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya

membuat surat dakwaan”. Asas ini mencerminkan adanya perlindungan hak

asasi manusia sekalipun orang tersebut berada dalam kedudukan sebagai

tersangka/ terdakwa. Walaupun dalam kondisi dibatasi ditangkap kemudian

ditahan, namun orang tersebut tetap memperoleh kepastian bahwa tahapan

tahapan pemeriksaan yang dilaluinya memiliki batas waktu yang terukur dan

dijamin undang-undang.39

39
Ibid. Hal. 110.
24

4) Asas Oportunitas

Asas oportunitas bertolak belakang dengan asas legalitas. Menurut asas

oportunitas, Penuntut Umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan

delik jika menurut pertimbangnnya akan merugikan kepentingan umum, maka

dari itu demi kepentingan umum seseorang yang melakukan delik tidak dituntut.

Kejaksaan berpendapat, lebih bermanfaat bagi kepentingan umum jika perkara

itu tidak diperiksa di sidang pengadilan. A.Z. Abidin Farid, seperti yang dikutip

oleh Andi Hamzah memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berkut:

“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk

menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi

yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”. Pasal 35 c Undang-

Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan

tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia.

5) Prinsip Peradilan Terbuka Untuk Umum

Tindakan penegakan hukum di Indonesia harus dilandasi oleh jiwa

“persamaan” dan “keterbukaan” serta penerapan sistem musyawarah dan

mufakat dari majelis peradilan dalam mengambil keputusan. Dengan landasan

persamaan hak dan kedudukan antara tersangka/terdakwa dengan aparat penegak

hukum, ditambah dengan sifat keterbukaan perlakuan oleh aparat penegak

hukum kepada tersangka/terdakwa, tidak ada dan tidak boleh dirahasiakan segala

sesuatu yang menyangkut pemeriksaan terhadap diri tersangka/terdakwa dan

hasil pemeriksaan yang menyangkut diri dan kesalahan harus terbuka

kepadanya. Pasal yang mengatur tentang asas ini adalah Pasal 153 ayat (3)
25

KUHAP menyatakan:“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang

membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara

mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Tidak dipenuhinya

ketentuan tersebut mengakibatkan batalnya putusan demi hukum sesuai

ketentuan Pasal 153 ayat (4) KUHAP. 40

6) Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum (Equality Before the

Law)

Asas ini merupakan konsekuensi logis dari sikap Negara Indonesia sebagai

negara yang berdasarkan hukum dan bukan atas kekuasaan belaka. Di dalam

pelaksanaan penegakan hukum semua orang harus diperlakukan sama dan tidak

boleh dibeda-bedakan, baik untuk mendapatkan perlindungan hukum maupun

bagi tersangka/terdakwa yang sedang menjalani proses persidangan. Ketentuan-

ketentuan di dalam KUHAP mendasarkan pada asas ini, sehingga tidak ada satu

pasal pun yang mengarah pada pemberian hak-hak istimewa pada suatu

kelompok dan memberikan ketidak-istimewaan pada kelompok lain.Pasal 4 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

menyatakan bahwa: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak

membeda-bedakan orang” Penjelasan umum butir 3a KUHAP menyatakan

bahwa: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan

tidak mengadakan pembedaan perlakuan”.41

Perlakuan yang sama ini tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai diskriminasi

tersangka dan terdakwa berdasarkan status sosial atau kekayaan, tetapi juga

40
Ibid. Hal. 111.
41
Ibid. Hal. 112.
26

berhubungan dengan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin,

bahasa, agama, haluan politik, kebangsaan, kelahiran, dan lain-lain sebagaimana

dalam Pasal 6 dan 7 UDHR dan serta Pasal 16 ICCPR 1996.

7) Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan TetapPengambilan

keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya

dan bersifat tetap.

8) Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Dalam Pasal 69

sampai dengan Pasal 74 KUHAP mengatur mengenai bantuan hukum dimana

tersangka/ terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas antara lain sebagai

berkut:

a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan;

b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan;

c. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/ terdakwa pada semua tingkat

pemeriksaan pada setiap waktu;

d. Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh

penyidik dan Penuntut Umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan

negara;

e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna

kepentingan pembelaan;

f. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/

terdakwa.

9) Asas Akusator. KUHAP menganut asas akusator karena tersangka/ terdakwa

tidak lagi dipandang sebagai objek pemeriksaan. Prinsip akusator


27

menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat

pemeriksaan:

a. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau

terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang

mempunyai harkat martabat harga diri;

b. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah “kesalahan”

(tindakan pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Ke arah itulah

pemeriksaan ditujukan.42

Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan

inkusitor yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan sebagai

objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang yang digunakan dalam

HIR, sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi

tersangka/terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan

kebenarannya terkadang untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka, pada

pemeriksaan sering melakukan tindakan kekerasan dan penganiayaan.Pada asas

akusator, perlakuan yang manusiawi terhadap tersangka/terdakwa dikedepankan

pada proses penegakan hukum yang diimbangi dengan menggunakan ilmu bantu

hukum acara pidana seperti psikologi, kriminalistik, psikiatri, kriminologi,

kedokteran forensik, antropologi, dan lain-lain.

10) Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan. Pemeriksaan di sidang

pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada

terdakwa dan para saksi dan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim

42
Ibid., Hal. 117.
28

dengan terdakwa dan saksi. Rumusan Pasal 154, Pasal 155 KUHAP dan

seterusnya yang menyatakan pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan

oleh hakim secara langsung kepada terdakwa dan para saksi secara lisan

bukan tertulis.43

D. Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana

1. Pengertian Pertanggungajawaban Pidana

Bahasa asing menyebutkan pertanggungjawaban pidana sebagai

“toerekenbaarheid, criminal responbility, criminal liability.” Bahwa

pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang

tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime)

yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana

atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus terbukti bahwa tindakan yang

dilakukannya itu bersifat melawan hukum dan tardakwa mampu bertanggug

jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang

berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela, tertuduh

menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.44

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh

masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas

perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang

tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si

pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama, maka si pembuatnya tentu

43
Ibid., Hal. 109.
44
Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia. PT. Refika Aditama,
Bandung, 2009, Hal. 17.
29

dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa:

“Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal


pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada
dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu
kemudian juga dipidana, tergantung pada soal apakah dia dalam
melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan atau tidak.
Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai
kesalahan, maka tentu dia akan dipidana” 45

Lebih lanjut di jelaskan Wirjono Prodjodikoro,tujuan dari hukum pidana

itu memberi sistem dalam bahan-bahan yang banyak dari hukum itu yaitu asas-

asas dihubungkan satu dengan yang lain sehingga dapat dimasukkan ke dalam

suatu sistem. Dalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan

terhadap perbuatan pidana (dader) jika melakukan perbuatan kejahatan atau

pelanggaran atas delik. Dilihat dari segi hukum, kejahatan dapat didefinisikan

sebagai berikutKejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau

bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum, tegasnya

perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum, dan

tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam

kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat dimana yang bersangkutan

bertempat tinggal.46

Sejalan dengan apa yang disebutkan diatas, Wirjono Prodjodikoro

menambahkan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat

dipidana jika memenuhi semua unsur yang terdapat dalam pertanggungjawaban

pidana. Sedangkan jika orang tersebut tidak memenuhi salah satu unsur-unsur

45
Ibid.
46
Ibid., Hal. 19.
30

mengenai pertanggungjawaban pidana maka tidak dapat dipidana dari segala

tuntutan hukum. Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana menurut

Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai berikut:

1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.

2. Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab.

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan. Tidak adanya alasan pemaaf.47

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur yang diwajibkan guna

memenuhi suatu pertanggungjawaban perbuatan pidana. Sedangkan batasan

mengenai perbuatan pidana yang dianggap tidak mampu bertanggungjawab

menurut KUHP adalah: Kurang sempurnanya akan atau adanya sakit yang

berubah akalnya (pasal 44 ayat (1) KUHP). Asas yang dipergunakan dalam

pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Sedangkan bentuk dari kesengajaan menurut teori ini terdiri dari tiga corak,

yaitu:

1. Kesengajaan sebagai maksud (Dolus Derictus) contohnya misalnya untuk

maksud membunuh maka dengan pisau ditikamnya korban sampai mati.

Menikam tersebut sampai mati merupakan suatu maksud yang dikehendaki.

2. Kesengajaan sebagai kepastian, contohnya A bermaksud membunuh B

dengan menggunakan pistol, sedangkan B berada di balik kaca. Sebelum

menggunakan senjatanya, disadarinya bahwa dengan tembakan yang akan

dilakukan akan berakibat pecahnya kaca itu. Kesadaran akan pecahnya kaca

ini berupa kesengajaan sebagai kepastian.

47
Ibid.,Hal. 22.
31

3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus Eventualis), contohnya di sebuah

kota seorang berkehendak untuk membunuh orang dengan cara mengirimkan

kue yang ada racunnya. Setelah kue tersebut dikirimkan ke orang tersebut

ternyata kue itu dimakan oleh istrinya yang berakibat kematian. Dengan

kematian tersebut pengirim kue tersebut tetap dapat dijerat dengan

pembunuhan.48

Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana

dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf. Yang dimaksud

alasan pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang menghapuskan

kesalahan. Kalau ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan

pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana, maka orang tersebut tidak dapat

dipidana. Dampak yang terjadi dengan adanya alasan pemaaf yang terjadi pada

seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilakukan

oleh orang tersebut tetaplah merupakan perbuatan yang melawan hukum, akan

tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan.

Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang adalah:

1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak dalam

orang itu (inwendig) Misalnya hilangnya akal, dan lain-lain.

2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar

orang itu. (uitwendig) Misalnya adanya kealpaan, dan lain-lain.49

48
Tri Andriman. Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana
Indonesia. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010, Hal. 102.
49
Ibid.,Hal. 105.
32

2. Syarat-Syarat Pertanggungjawaban Pidana

Seseorang atau pelaku tindak pidana tidak akan tidak akan

dimintaipertanggungjawaban pidana atau dijatuhi pidana apabila tidak

melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana tersebut haruslah melawan

hukum, namun meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah dia selalu

dapat dipidana, orang yangmelakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana

apabila dia terbukti secara sah danmeyakinkan melakukan kesalahan.50

Berdasarkan uraian tersebut diatas,adapun syarat-syarat dapat tidaknya

dimintai pertanggungjawaban (pidana) kepada seseorang harus adanya

kesalahan. Kesalahan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu sebagai

berikut :

a. Adanya Kemampuan bertanggung jawab

Dalam hal kemampuan bertanggungjawab dapat dilihat dari keadaan batin

orang yang melakukan perbuatan pidana untuk menentukan adanya kesalahan,

yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah

sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sehat inilah yang dapat

mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh

masyarakat.

Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal maka ukuran-

ukuran tersebut tidak berlaku baginya dan tidak ada gunanya untuk diadakan

pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 44

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP). Menurut Andi Hamzah,

50
Ibid., Hal. 109.
33

ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih muda usia tidak bisa

didasarkan pada Pasal 44 KUHP. Yang disebutkan tidak mampu

bertanggungjawab adalah alasan pengahapusan pidana yang umum yang dapat

disalurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal 44, pasal 48,

pasal 49, pasal 50 dan pasal 51 KUHP. Jadi bagi Andi Hamzah, yang tidak

mampu bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang

cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi karena umumnya masih muda.51

b. Adanya Kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)

Menurut Andi Hamzah,dipidananya seseorang,tidaklah cukup orang itu

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan

hukum. Jadi meskipun rumusannya memenuhi rumusan delik dalam Undang-

undang dan tidak dibenarkan karena hal tersebut belum memenuhi syarat

penjatuhan pidana. Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu

bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah

(subective guilt). Disinilah pemberlakuan Asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan”

(geen straf zonder schuld) atau Nulla Poena Sine Culpa.52Dari apa yang telah

disebutkan diatas , maka dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri dari beberapa

unsur ialah :

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab.

b. Tidak adanya alasan yang mengahapus kesalahan atau tidak ada alasan

pemaaf.53

51
Andi Hamzah.Op.Cit.Hal. 86.
52
Ibid., Hal. 91.
53
Ibid., Hal. 90.
34

Apabila ketiga unsur tersebut diatas terpenuhi maka orang yang

bersangkutan bisa dintakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban

pidana, sehingga bisa dipidana. Sekalipun kesalahan telah diterima sebagai unsur

yang menentukanpertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi mengenai

bagaimana memaknai kesalahan masih terjadi perdebatan diantara para ahli.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Andi Hamzah bahwa “ kesalahan dalam suatu delik

merupakan pengertian Psichologis, perhubungan antara keadaan si pembuat dan

terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya”. 54

Andi Hamzah menyebutkan bahwa kesalahan adalah adanya

keadaanphyschis yang tertentu pada orang yang melakukan tindak pidana dan

adanyahubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatannya yang dilakukan

sedemikianrupa, untuk adanya suatu kesalahan harus diperhatikan dua hal

disamping melakukantindak pidana, yakni :

1. Adanya keadaan physchis (bathin) yang tertentu, dan

2. Adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin dengan perbuatan yang

dilakukan hingga menimbulkan celaan.

Kedua hal diatas mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan yang

pertama merupakan dasar bagi adanya unsur yang kedua, atau dengan kata lain

yang kedua tergantung pada unsur yang pertama tersebut diatas. 55

54
Ibid., Hal. 91.
55
Ibid., Hal. 93.
35

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan yaitu penelitian hukum normatif.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif merupakan suatu

proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun

doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 56Selain itu

penelitian hukum normatif juga dinamakan penelitian hukum doktriner

dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis

sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada kepustakaan karena akan

membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada kepustakaan. Dalam

penelitian hukum normatif hukum yang tertulis dikaji dari berbagai aspek seperti

aspek teori, filosofi, perbandingan, struktur/ komposisi, konsistensi, penjelasan

umum dan penjelasan pada tiap pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu

Undang-Undang serta bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum. Sehingga

dapat kita simpulkan pada penelitian hukum normatif mempunyai cakupan yang

luas.57

B. Metode Pendekatan

Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah

antara lain :

1. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan

menelaah undang-undang yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi.

56
Peter Mahmud Marzuki.Penelitian Hukum. Kencana, Jakarta, 2009, Hal. 11.
57
Ibid., Hal 12.
36

Dalam pendekatan perundang-undangan ditujukan untuk mempelajari

kesesuaian dan konsistensi antara suatu Undang-Undang dengan Undang-

Undang lainnya.

2. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) dilakukan dengan doktrin-

doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan tujuan untuk

menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-

konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan ilmu hukum.

Konsep hukum dapat ditemukan dalam undang-undang yang kemudian

dipahami melalui pandangan para sarjana dan doktrin-doktrin yang ada.

3. Pendekatan Kasus (Case Approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah

terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah

menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

C. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang

membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang-umdangan, dan

putusan hakim. Bahan hukum primer yang penulis gunakan didalam penulisan

ini yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


37

c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum yang tidak

mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan

hasil pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang

tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk kepada penulis. Yang

dimaksud bahan sekunder disini merupakan doktrin-doktrin yang ada didalam

buku, jurnal hukum dan internet.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang diperlukan untuk

mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan

memberikan pengertian dan pemahaman atas bahan hukum lainnya.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara penelitian

kepustakaan yaitu penulis melakukan pengumpulan data dengan cara membaca

sejumlah literature, serta bahan-bahan hukum yaitu Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana(KUHAP),

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dan wawancara sebagai pendukung bahan hukum.


38

E. Analisis Bahan Hukum

Analisis deskriptif yaitu analisa bahan hukum dengan cara

mendeskripsikan atau menggambarkan bahan hukum yang telah terkumpul,

kemudian berhasilkan studi kepustakaan yang diperoleh, maka bahan hukum

tersebut dianalisis secara kualitatif sehingga menghasilkan bahan hukum bersifat

deskriptif.kemudian menghubungkannya dengan teori pidana yang berhubungan

dengan masalah yang diteliti dan menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.
39

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Hukum Hakim Menjatuhkan Vonis Bebas Dalam


Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor
/2015/PN.Kdi)

1. Kronologi Perkara (Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor /2015/PN.Kdi)

Penulis melihat, perkara ini bermula ketika Badan Nasional

Penanggulangan Bencana selanjutnya di sebut BNPB menyalurkan Dana Siap

Pakai selanjutnya di sebut DSP tahun anggaran 2013 kepada Badan

Penanggulangan Bencana Daerah selanjutnya disebut BPBD Kabupaten Kolaka

Utara untuk bantuan penanganan darurat bencana angin puting beliung dengan

nilai dana sejumlah Rp. 390.000.000,- (tiga ratus sembilan puluh juta rupiah),

untuk mengelola dana tersbut kemudian terdakwa Maida SE. diangkat selaku

Bendaharawan selanjutnya di sebut DSP Badan Penanggulangan Bencana

Daerah selanjutnya di sebut BPBD Kabupaten Kolaka Utara Tahun Anggaran

2013 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Penanggulangan Bencana

Daerah Kabupaten Kolaka Utara Nomor: 954/35/BPBD/2013 tanggal 3

September 2013.

Dalam penyaluran dana bantuan tersebut,sudah didaftar beberapa nama

yang hendak menerima dana bantuan langsung tunai akibat dari bencana alam

putting beling akan tetapi pada penyalurannya Terdakwa dan Rahmatullah,

membayarkan anggaran DSP tahun 2013 kepada masing-masing penerima tidak

sebagaimana mestinya tersebut kemudian Terdakwa bersama-sama Rahmatullah,

selaku Staf Pengelola Dana Siap Pakai dan Munir, S.Pd selaku Kepala Badan
40

Penanggulangan bencana daerah selanjutya di sebut BPBD Kabupaten Kolaka

Utara membuat pertanggungjawaban pembayaran Dana Siap Pakai tahun 2013

seolah-seolah telah dibayarkan sebagaimana mestinya.

Akibat perbuatan terdakwa tersebut, telah merugikan Keuangan Negara Cq

Badan Nasional Penanggulangan Bencana sejumlah Rp. 179.576.476,- (seratus

tujuh puluh sembilan juta lima ratus tujuh puluh enam ribu empat ratus tujuh

puluh enam rupiah), sesuai Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian

Keuangan Negara Nomor: SR-26/PW20/5/2015 tanggal 26 Agustus 2015 dari

BPKP. Perwakilan Sulawesi Tenggara.

Permasalahan ini kemudian di bawah ke pengadilan dan atas perbuatan

terdakwa Jaksa Penuntut Umum menyatakan dalam surat dakwaannya bahwa

perbuatan terdakwa melanggar ; Pasal 2 ayat (1) jounto Pasal 3 JountoPasal 18

ayat (1) huruf a, huruf b, ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor. 31 tahun 1999 jounto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Pidana. Dalam menjatuhkan putusan Majelis Hakim mempertimbangkan

beberapa unsur pidana yang terkadung dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jounto

Pasal 18 ayat (1) huruf a., huruf b., ayat (2) dan ayat (3) UUPTK jounto Pasal 55

ayat (1) ke-1 KUHP Pidana.

Adapun pertimbangan majels hakim dalam Putusan Nomor:

44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi terhadap unsur pidana yang dimaksud dalam

dakwaan jaksa penuntut umum yaitu 1) unsur Setiap orang. 2) Secara Melawan
41

Hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau

suatu korporasi 3) Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

Negara. 4) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut

serta melakukan.

Pada “Unsur Setiap Orang” majelis hakim berpendapat telah terpenuhi

namun apakah Terdakwa dapat dipidana berdasarkan surat dakwaan penuntut

umum hal itu harus dibuktikan dengan terpenuhinya unsur-unsur lain dari

dakwaan ini. Pada “Unsur Secara Melawan Hukum” melakukan Perbuatan

Memperkaya Diri Sendiri, Atau Orang Lain Atau Suatu Korporasi”

mempertimbangkan fakta bahwa terdakwa tidak mendapat aliran dana dari

Rahmatullah, maupun keuntungan apapun dari penyimpangan penyaluran dana

bantuan yang dilakukan oleh Rahmatullah, S.T. sehingga hal tersebut menambah

keyakinan Majelis Hakim akan ketidak terlibatan Terdakwa terhadap

penyelewengan dana bantuan yang dilakukan oleh Rahmatullah. Selanjutnya

karena salah satu unsur dari dakwaan jaksa penuntut umum tidak terpenuhi maka

terhadap unsur lain dalam dakwaan jaksa tidak perlu dipertimbangkan dan

Terdakwa harus pula dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana

sebagaimana dalam dakwaan subsider dan haruslah dibebaskan dari dakwaan

subsider tersebut.

Dengan adanya pertimbangan majelis hakim yang mengatakan bahwa

unsur tindak pidana koruosi tidak terpenuhi maka majelis hakim kemudian

menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa yang amar putusannyapada intinya

menyatakan Terdakwa Maida, S.E., tersebut diatas, tidak terbukti secara sah dan
42

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam

dakwaan primer dan subsider. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari

semua dakwaan Penuntut Umum. Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam

kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya

2. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Menjatuhkan


Vonis Bebas Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor:
44/Pid.Tipikor /2015/PN.Kdi)

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam

menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung

keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu

juga mengandung manfaat bagipara pihak yang bersangkutansehingga

pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila

pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang

berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan

Tinggi/Mahkamah Agung.58

Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya

pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang

paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk

memperoleh kepastian bahwa suatuperistiwa/fakta yang diajukan itu benar-

benar terjadi, guna mendapatkan putusanhakim yang benar danadil. 59

Dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, terlebih putusan

pemidanaan, hakim harus benar-benar menghayati dan meresapi arti amanat dan

58
Tri Andrisman, Hukum Acara Pidana, Universitas Lampung, Lampung, 2010. hlm. 88.
59
Ibid., hlm. 98.
43

tanggung jawab yang diberikan kepadanya sesuai dengan fungsi dan

kewenangannya, masing-masing ke arah tegaknya hukum, demi terciptanya

tujuan dari hukum itu sendiri yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum

dengan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Selain

pertimbangan yuridis dari delik yang didakwakan, hakim juga harus menguasai

aspek teoritik, pandangan doktrin, yurisprudensi, dan posisi kasus yang

ditangani, barulah kemudian secara limitatif ditetapkan pendiriannya.

Putusan pengadilan merupakan seluruh rangkaian proses pemeriksaan

persidangan sampai pada sikap hakim untuk mengakhiri perkara yang

disidangkan. Putusan pengadilan tidak dapat dipahami hanya membaca amar

putusan, melainkan secara keseluruhan. Formalitas putusan terdiri dari 4 (empat)

bagian yaitu kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan dan amar

Putusan pengadilan yaitu hasil akhir proses peradilan. Putusan pengadilan

merupakan mahkota bagi hakim dan inti mahkotanya terletak pada pertimbangan

hukumnya, sedangkan bagi para pencari keadilan pertimbangan hukum yang

baik akan menjadi mutiara yang berharga. Pertimbangan hukum putusan

merupakan bagian paling penting dalam sistematika putusaan karena itu

akanmencerminkan bentuk tanggung jawab hakim kepada hukum yang berlaku.

Menurut Pasal 193 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

putusan pidana dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa

bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 60

60
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009,
hlm. 81.
44

Berdasarkan apa yang tertera pada Putusan Perkara Nomor:

44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi dalam menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa

Maida SE. majelis hakim dalam perrtimbangannya menyebutkan bahwa

perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi seperti yang

disebutkan jaksa penuntut umum. Artinya majelis hakim berpendapat bahwa

perbuatan terdakaa tidakmemenuhi beberapa unsur tindak pidana korupsi seperti

dijelaskan dalam pertimbangan majelis hakim.

Penulis, melihat diberikannya vonis bebas oleh majelis hakim karena

terdapat beberapa poin yang menjadi alasan majelis hakim diantaranya yaitu :

Point pertama pertimbangan majelis hakim terhadap dakwaan yang disebutkan

oleh jaksa pada unsur “Setiap Orang“; menurut Majelis terdakwa adalah

termasuk sebagai subyek hukum sebagaimana dimaksud dalam pengertian setiap

orang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dan berdasarkan

pertimbangan diatas maka unsur setiap orang telah terpenuhi menurut hukum

karena ketentuan pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah

orang perseorangan atau termasuk koorporasi sehingga yang dimaksud dengan

unsur “setiap orang” dalam perkara ini ditujukan tehadap orang secara pribadi

sebagai subyek hukum, pendukung hak dan kewajiban setiap perbuatannya yang

kemudian terhadapnya didakwa telah melakukan suatu tindak pidana. Artinya

dalam perkara ini sudah jelas bahwa yang dimaksud setiap orang yaitu seorang

perempuan bernama Terdakwa Maida, S.E. yang identitas lengkapnya telah

dicantumkan baik dalam surat dakwaan maupun surat tuntutan ini, serta identitas
45

tersebuttelah dibenarkan dalam persidangan oleh Terdakwa sehingga tidaklah

keliru mengenai subyek hukum.

Point kedua majelis hakim dalam pertimbangannya terhadap unsur “secara

melawan hukum” berdasarkan apa yang tertera pada Putusan Nomor:

44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi majelis hakim menyebutkan unsur “secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi, tidak terpenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Pada unsur ini majelis hakim mempertimbangkan bahwa tidak ada

keuntungan yang di dapatkan Terdakwa/Maida SE. dengan adanya kerugian

Negara tersebut.

Adapun pertimbangan majelis hakim pada unsur “Dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi majelis hakim

menerangkan, bahwa bentuk “memperkaya diri sendiri, atau orang lain atausuatu

korporasi” dengan bentuk “menguntungkan diri sendiri, atau orang lainatau

suatu korporasi” pada hakekatnya adalah sama dimana kemudian Mahkamah

Agung RI melalui putusan kamar pidana khususnya hanyamembedakan kedua

bentuk tersebut dengan didasarkan pada kuantitaskerugian negara yang

dinikmati oleh diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu diatas

Rp.100.000.000,- (seratus juta Rupiah) adalah suatubentuk “memperkaya”

sedangkan dibawah Rp.100.000.000,- (seratus juta Rupiah) adalah suatu bentuk

“menguntungkan”;
46

Sedangkan kata ”tujuan” dalam unsur ”dengan tujuanmenguntungkan diri

sendiri/orang lain atau suatu korporasi ” ini dapat dikaitkan bentukkesengajaan

yang merupakan salah satu bentuk dari kesalahan yang merupakan salahsatu

unsur dari tindak pidanakesengajaan merupakan salah satu bentuk dari kesalahan

disamping adanya kelalaian di mana seseorang baru dapat dipidana jika terdapat

unsurkesalahan yang dikenal dengan prinsip/adagium “actus non facit reum, nisi

mens sitrea” atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan “Geen straf zonder

schuld” atau diIndonesia dikenal dengan istilah “tiada pidana tanpa kesalahan”.

Majelis hakim juga menerangkan bahwa definisi mengenai kesengajaan

(dolus, intent, opzet vorsatz) terdapat dalam MvT (Memorie van Toelichting)

yang mengartikan sebagai ”menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens),

dengan demikian unsur tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau

korporasi tersebut tidak hanya merupakan kesengajaan dengan kepastian serta

kesengajaan dengan maksud akan tetapi juga meliputi kesengajaan dengan

kemungkinan (dolus eventualis), selanjutnya dengan adanya pertimbangan diatas

majelis hakim mengatakan bahwa unsur “dengan tujuan menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” tidaklah terpenuhi.

Menurut penulis, majelis hakim keliru dalam pertimbangan majelis hakim

pada unsur memperkaya diri sendiri, atau orang lain atausuatu korporasi” karena

sebagaimana unsur dalam dakwaan primer di atas dimana meskipun terdakwa

telah melakukan perbuatan menyerahkan tanggungjawabnyakepada stafnya

dengan sengaja yang oleh stafnya yaitu Rahmatulah ST, disalah gunakan untuk

memperkaya dirinya sendiri. Selain itu, terdakwa tidakmelakukan tugas


47

pokoknya sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor

1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara danPasal 4 ayat (1) Permendagri

Nomor 55 tahun 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan

Laporan Pertanggungjawaban Bendahara dan Penyampaiannya.

Penulis melihat pada unsur ini adanya unsurkesengajaan (kehendak dan

keinsyafan) yang tidak dilihat oleh majelis hakim karena Rahmatulah setelah

diserahkan tanggungjawab dari terdakwa telah memperkaya diri sendiri, dengan

didasarkan pada fakta yang terungkap di persidangan sebagaimana telah terurai

di atas ternyata Terdakwa terlibat maupun mengetahui adanya penyelewengan

penyaluran dana bantuan angin puting beliung di Kabupaten Kolaka Utara yang

dilakukan oleh Rahmatullah, S.T. walaupun penyaluran dana bantuan bencana

alam angin putting beliung tersebut dilakukan oleh Rahmatullah, S.T., sendiri

atas perintah Sdr. Munir, S.Pd. yang secara administrasi seharusnya menjadi

tugas Terdakwa.

Berdasarkan Putusan No 44/Pid.Tipikor /2015/PN.Kdi perbuatan terdakwa

dalam kaitannya unsur tindak pidana korupsi yaitu unsur memperkaya diri

sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi, telah terpenuhidisebabkan terdakwa

menandatangani laporan pertanggung jawaban berupa Tanda Bukti Kas

selanjutya disebut (TBK) yang dibuat oleh Rahmatullah, S.T.artinya bukan

terdakwa yang membuat laporan pertanggung jawaban penyaluran dana

bantuanbencana tersebut, akan tetapi terdakwa malah mendatanganilaporan

pertanggung jawaban berupa Tanda Bukti Kas TBK tanpa melakukan

pengecekan terlebih dahulu.


48

Menurut analisa penulis, melihat hal tersebut merupakan pelanggaran yang

diawali dengan pelanggaran administrasi namun pelanggaran tersebut juga

menyebabkan terjadinya sebuah tindak pidana lebih dikarenakan adanya

kelalaian yang dilakukan Terdakwa yang tidak membuat maupun meneliti

laporan pertanggung jawaban yang dibuat oleh Rahmatullah, S.T. dan malah ikut

menandatangani laporan pertanggung jawaban penyaluran dana bantuan bencana

alam angin puting beliung yang dilakukan Rahmatullah,S.T. yang secara

administrasi adalah tanggung jawab Terdakwa. Oleh karena itu, dalam fakta

persidangan menurut penulis diketemukan adanya fakta bahwa Terdakwa telah

telibat ataupun mengetahui penyelewengan dana yang dilakukan oleh

Rahmatullah, S.T. dalam menyalurkan dana bantuan bencana tersebut.

Pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh Terdakwa tidaklah bertujuan

untuk memperkaya diri sendiri, akan tetapi memperkaya orang lain atau suatu

korporasi sehingga dalam persidangan diketemukan adanya kelebihan dana

maupun keuntungan yang didapat Rahmatulah, ST. akibat penyelewengan dana

yang dilakukan oleh Rahmatullah, S.T. sementara Terdakwa mengetahui adanya

kelebihan dana tersebut yang digunakan oleh Rahmatullah, S.T. untuk itu

seharusnya unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi” sebenarnya terpenuhi.

Menurut penulis, pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa

perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, merupakan

sebuah kekeliruan dikarenakan meskipun Terdakwa mentaati perintah Munir,

S.Pd. M.M. selaku atasan Terdakwa mendatangani laporan pertanggungjawaban


49

keuangan yang tidak sesuai penggunaannya. Akan tetapi perbutan terdakwa

merupakan pelanggaan yang menimbulkan kerugian Negara akibat kelalaian

terdakwa yang memiliki tanggungjawab melakukan pengelolaan, penatausahaan

serta pertanggungjawaban.

Akibatnya perbuatan Terdakwa bersama-sama Rahmatullah, ST selaku

Staf Pengelola DSP dan Munir, S.Pd selaku Kepala BPBD Kabupaten Kolaka

Utara, yang telah membayarkan anggaran Dana Siap Pakai tahun 2013 tersebut

tidak sebagaimana mestinya dan justru digunakan untuk kepentingan pribadinya

masing-masing sehingga telah memperkaya diri Terdakwa dan orang lain yaitu

Rahmatullah, ST dan Munir, S.Pd. Akibat perbuatan Terdakwa tersebut telah

merugikan Keuangan Negara Cq Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB) sejumlah Rp. 179.576.476,- (seratus tujuh puluh sembilan juta lima

ratus tujuh puluh enam ribu empat ratus tujuh puluh enam rupiah), sesuai

Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Nomor: SR-26/

PW20/5/2015 tanggal 26 Agustus 2015 dari Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan Perwakilan Sulawesi Tenggara.

Menurut penulis, proses pengambilan keputusan dalam Putusan Nomor :

44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi yang dilakukan oleh Majelis Hakim belum tepat

karena ada kesalahan terdakwa yang menimbulkan kerugian Negara seperti yang

disebutkan pada dakwaan jaksa penuntut umum yang tidak di jadikan

pertimbangan majelis hakim,yaitu seperti :

Pertama setelah dana bantuan cair kemudian Terdakwa menyerahkan

seluruh dana tersebut kepada saudara Rahmatullah, ST dengan tujuan untuk


50

dibayarkan kepada masing-masing warga penerima bantuan yang telah

ditetapkan sedangkan Rahmatullah, ST tidak mempunyai tugas dan kewenangan

dalam membayarkan bantuan dana tersebut, akan tetapi Rahmatullah,ST

bersama-sama denganTerdakwa yang menyalurkan bantuan dana tersebut tidak

membayarkan dana kepada warga penerima bantuan bencana angin puting

beliung sebagaimana mestinya sebagai contohnya dalam penyaluran anggaran

Dana Siap Pakai oleh Terdakwa bersama Rahmatullah, ST telah membayarkan

dana kepada nama Asmaruddin dan Sucianti masing-masing sejumlah Rp.

7.000.000,- (tujuh juta rupiah) sedangkan penerima dana tersebut bukan korban

bencana angin putting beliung dan bukan warga desa ponggiha, sehingga baik

Asmaruddin maupun Sucianti tidak berhak menerima pembayaran Dana Siap

Pakai bantuan bencana angin puting beliung.

Kedua anggaran DSP bantuan bencana angin puting beliung yang tidak

disalurkan oleh Terdakwa bersama Rahmatullah, ST selanjutnya atas perintah

Munir,S.Pd kemudian Rahmatullah, ST menyerahkan dana tersebut kepada

saudara Munir, S.Pd sejumlah Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah)

yang digunakan untuk biaya operasional pribadi MUNIR, S.Pd dan selebihnya

digunakan oleh Rahmatullah, ST bersama Terdakwa untuk biaya operasional

pribadi Rahmatullah, ST bersama Terdakwa

Ketiga kelalaian yang dilakukan terdakwa yakniterdakwa tidak membuat

maupun meneliti laporan pertanggung jawaban yang dibuat oleh Rahmatullah,

S.T. dan malah ikut menandatangani laporan pertanggung jawaban penyaluran

dana bantuan bencana alam angin puting beliung yang secara administrasi
51

merupakan tanggung jawab Terdakwa, hal inilah yang kemudian secara tidak

langsung menurut analisa penulis memenuhi tindak pidana korupsi seperti yang

didakwakan Penuntut Umum. Artinya dengan adanya perbuatan terdakwa

tersebut, seharusnya majelis hakim tidak memberikan vonis bebas.

Pada dasarnya penulis, tidak setuju dengan putusan majelis hakim

dalamperkara Putusan Nomor44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi karena berdasarkan

penjelasan diatas, tindak pidana korupsi yang didakwakan oleh jaksa benar-

benar memmenuhi beberapa unsur tindak pidana korupsi yang dimaksudkan

dalam undang-undang tindak pidana korupsi seperti, disamping itu dalam fakta-

fakta yang terungkap di persidangan, terlihat bahwa terdakwa telah melakukan

perbuatan melawan hukum menggunakan sisa anggaran pembagian dana

bantuan sebesar Rp. 179.576.476,- (seratus tujuh puluh sembilan juta lima ratus

tujuh puluh enam ribu empat ratus tujuh puluh enam rupiah), untuk kepentingan

pribadi. Untuk itu seharusnya pertimbangan majelis hakim tidak memberikan

vonis bebas terhadap terdakwa.

B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi

Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor /2015/PN.Kdi)

Berdasarkan teori hukum pidana, pemidanaan secara sederhana dapat

diartikan dengan penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan

penjatuhan pidana dan alasan-alasan pembenar (justification) dijatuhkannya

pidana terhadap seseorang yang dengan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan secara sah dan

meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan pidana


52

dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta pelaksanaannya tersebut berada

penuh di tangan negara dalam realitasnya.61

Sejalam dengan apa yang dijelaskan diatas, menurut Lamintang, bahwa

negaralah yang berhak melakukan pemidanaan terhadap seseorang yang

melakukan kejahatan sehingga, negaralah yang mempunyai hak untuk

melakukan pemidanaan (subjectief strafrech). Dasar Pemidanaan dikarenakan

hukum haruslah diperkuat dengan sanksi. Sanksi yang untuk memperkuat norma

hukum adalah dengan sanksi pidana, sebab pemidanaan dirasakan mampu untuk

untuk menjaga atau memperkuat norma hukum yang telah ada.62

Dalam pemidanaan dikenal dengan adanya teori pembalasan/retributive,

karena pelaku kejahatan dianggap layak menerima sanksi pidana atas kejahatan

yang dilakukannya. Selain itu dalam teori peidanaan juga dikenal dengan teori

restoratif yang memandang mamandang adanya perlindungan secara berimbang

terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana, masyarakat

dan negara, sehingga dewasa ini dikenal dengan adanya peradilan restoratif

sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif. Keadilan

restoratif merupakan produk peradilan yang berorientasi pada upaya untuk

melakukan perbaikan-perbaikan atau pemulihan dampak-dampak kerusakan atau

kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak

pidana. Konstruksi pemikiran peradilan restoratif dan keadilan restoratif yang

dihasilkannya, perlindungan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana

tidak semata-mata berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban
61
PAF Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 39.
62
Ibid., hlm.39.
53

tindak pidana dalam mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga

mencakup upaya sistematis untuk memperbaiki dan memulihkan dampak

kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana

baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat emosional.63

Sementara itu, pertanggungjawaban pidana merupakan hukuman terhadap

perbuatan yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang

menurut undang-undang yang berlaku. pertanggungjawaban pidana karenanya

menyangkut proses peralihan hukuman yang ada pada tindak pidana kepada

pembuatnya. pertanggungjawaban seseorang dalam hukum pidana adalah

meneruskan hukuman yang secara objektif ada pada perbuatan pidana secara

subjektif terhadap pembuatnya. Pertanggungjawaban pidana ditentukan

berdasarkan pada kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya

seluruh unsur tindak pidana. Dengan demikian kesalahan ditempatkan sebagai

faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tak hanya dipandang sekedar

unsur mental dalam tindak pidana. Seseorang dinyatakan mempunyai kesalahan

merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.64

Menurut Chairul Huda, dalam pertanggungjawaban pidana makan beban

pertanggungjawaban dibebankan kepada pelaku pelanggaran tindak pidana

berkaitan dengan dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana. Seseorang akan

memiliki sifatpertanggungjawaban pidana apabila suatu hal atau perbuatan yang

dilakukanolehnya bersifat melawan hukum, namun seseorang dapat hilang sifat

63
Ibid., hlm. 40.
64
KrisnaHarahap,Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Jalan Tiada Ujung. Grafitri,
Bandung, 2009, hlm. 60.
54

bertaanggungjawabnya apabila didalam dirinya ditemukan suatu unsur yang

menyebabkan hilangnya kemampuan bertanggungjawab seseorang. 65

Menurut Chairul Huda bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas

legalitas, sedangkan dapat dipidananya pembuat adalah atas dasar kesalahan, hal

ini berarti bahwa seseorang akan mempunya pertanggungjawaban pidana bila ia

telah melakukan perbuatan yang salah dan bertentangan dengan hukum. Pada

hakikatnya pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk mekanisme yang

diciptakan untuk berekasi atas pelanggaran suatu perbuatan tertentu yang telah

disepakati.66

Unsur kesalahan merupakan unsur utama dalam pertanggungjawaban

pidana. Dalam pengertian perbuatan tindak pidana tidak termasuk hal

Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi menurut UUPTPK.

Dalam hal adanya perbuatan terdakwa yang memenuhi unsur secara melawan

hukum dan unsur dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain

maka perlu dikaji bentuk perbuatan sipelaku dalam kedudukannya sebagai wakil

pemerintah maupun dalam kedudukannya sebagai orang pribadi. Pengkajian

tentang bentuk perbuatan pelaku akan berimplikasi terhadap

pertanggungjawaban yang akan diminta terhadap pelaku, apakah itu

pertanggungjawaban jabatan ataupun pertanggung jawaban pribadi.

Pertanggungjawaban jabatan merupakan tanggungjawab menurut hukum yang

dibebankan kepada negara/pemerintah atas kesalahan atau akibat dari tindakan

jabatan.
65
Chairul Huda, Dari Tindak Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggung jawab Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan ke-2, Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 81.
66
Ibid., hlm. 82.
55

Sedangkan pertanggungjawaban pribadi merupakan pertanggung jawaban

pidana yakni tanggungjawab menurut hukum yang dibebankan kepada seseorang

atas kesalahan atau akibat dari perbuatannya secara pribadi. Secara hukum

administrasi, parameter pertanggungjawaban jabatan yaitu asas legalitas

(keabsahan) tindakan pejabat, dan persoalan legalitas tindakan pejabat berkaitan

dengan pendekatan kekuasaan. Legalitas tindakan pejabat bertumpu pada

wewenang, prosedur dan substansi. Setiap tindakan pejabat termasuk dalam hal

pengadaan barang dan jasa harus bertumpu pada wewenang yang sah.

Pertanggung jawaban pribadi atau tanggungjawab pidana ini berkaitan

dengan mal administrasi dalam penggunaan wewenang maupun pelayanan

publik (public service). Parameter pertanggung jawaban pidana berdasarkan asas

tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Sehingga berkaitan

dengan tindak pidana korupsi pembagian dana bantuan yang tidak sesuai

sebagaimana mestinya, yang menjadi parameter adanya pertanggungjawaban

pribadi yaitu melakukan perbuatan melawanhukum (wederrechttelijk) dan

melakukan penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvoir).

Pertanggungjawaban pidana seperti dalam tindak pidana korupsi

penggunaan dana anggaran yang tidak semestinya adalah tanggungjawab

pribadi, yakni tanggungjawab menurut hukum yang dibebankan kepada

seseorang atas kesalahan atau akibat dari perbuatannya secara pribadi. Apabila

dalam diri sipelaku terdapat unsur kesalahan, barulah si pelaku tersebut dapat

dipidana tetapi apabila dalam diri si pelaku tidak terbukti ada unsur kesalahan

pada waktu melakukan tindak pidana, maka hakim harus membebaskannya.


56

Jika melihat Putusan Pengadilan Negeri Kendari

Nomor44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi terdakwa Maida SE maka perbuatan

terdakwa MAIDA, SE, sebagai seorang Bendaharawan Dana Siap Pakai

selanjutya disebut DSP Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Kabupaten Kolaka Utara Tahun Anggaran 2013 berdasarkan Surat Keputusan

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kolaka Utara

Nomor: Nomor: 954/35/BPBD/2013 tanggal 3 September 2013. tentang

Pengangkatan Bendaharawan Dana Siap Pakai (DSP) APBN/BNPB Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kolaka Utara Tahun Anggaran

2013 dan mempunyai tugas dan kewenangan yaitu: menerima, menyimpan,

membayarkan, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan uang

pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada selanjutya disebut

SKPD.

Diberikannya dana penanggulangan bencana daerah Kabupaten Kolaka

Utara sejumlah Rp.390.000.000,- (tiga ratus sembilan puluh juta

rupiah;kemudian terdakwa menyimpan uang tersebut yang selanjutnya bersama-

sama Rahmatullah, ST selaku Staf Pengelola Dana Siap Pakai membayarkan

anggaran Dana Siap Pakai tahun 2013 tersebut,akan tetapi penyalurannya tidak

sebagaimana mestinya karena banyak terdapat nama-nama warga yang terdaftar

sebagai penerima bantuan tetapi nama tersebut merupakan nama fiktif disamping

itu, terdakwa juga bersama Rahmatullah, ST. memberikan dana bantuan kepada

warga yang bukan seharusnya menerima. Akibat perbuatan terdakwa tersebut,

telah merugikan Keuangan Negara Cq Badan Nasional Penanggulangan Bencana


57

(BNPB) sejumlah Rp. 179.576.476,- (seratus tujuh puluh sembilan juta lima

ratus tujuh puluh enam ribu empat ratus tujuh puluh enam rupiah), sesuai

Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Nomor: SR-

26/PW20/5/2015 tanggal 26 Agustus 2015 dari Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan Perwakilan Sulawesi Tenggara.

Menurut penulis, berdasarkan penjelasan diatas dan apa yang tertera dalam

Putusan Nomor44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi. Perbuatan terdakwa melanggar

Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah menjadi

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta perbuatan Terdakwa bersama

bersama-sama Rahmatullah, ST selaku Staf Pengelola Dana Siap Pakai dan

Munir, S.Pd selaku Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Kabupaten Kolaka Utara, melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, huruf b,

ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang –

Undang No. 31 tahun 1999 jo 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Melihat apa yang dilakukan terdakwa seperti disebutkan dalam dakwaan

jaksa penuntut umum maka bentuk pertanggungjawaban pidana yang dapat

diberikan kepada terdakwa adalah dipidana dengan pidana penjara seumur hidup

atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua

puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah)
58

dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 2 Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).Serta terdakwa dapat dipidana

dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.

50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah) sebagaimana dalam ketentuan rumusan Pasal 3 Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Seharusnya pemberian sanksi pidana terhadap dapat dilakukan karena

terdakwa memiliki tanggung jawab akibat kerugian Negara tersebut, dikarenakan

terdakwa ikut menandatangani pertanggungjawaban keuangan berupa Tanda

Bukti Kas (TBK) yang dibuat oleh Rahmatullah, S.T. sementara Terdakwa yang

mempunyai kewenangan dan tanggungjawab untuk menandatangani laporan

pertanggungjawaban keuangan penyaluran dana tersebut tanpa melihat dan

meneliti terlebih dahulu laporan pertanggung jawaban yang dibuat oleh

Rahmatullah, S.T. karena pada kenyataannya laporan pertanggungjawaban

keuangan tersebut, ternyata tidak sesuai dengan dana yang disalurkan oleh

Rahmatullah, S.T.

Dari uraian bukti, keterangan saksi maupun saksi ahli di dalam

persidangan menunjukan perbuatan terdakwa menyelenggarakan penyerahan

dana bantuan yang tidak semestnya, atau dengan kata lain memberikan kepada

orang yang tidak layak menerima bantuan disamping itu sisa pembayaran dana

bantuan sebesar Rp. 45.000.000. telah digunakan oleh terdakwa dan

Rahmatulah, ST. hal ini tentunya merupakan perbuatan yang telah memenuhi
59

unsur “Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain“sehingga

perbuatan terdakwa tersebut seharusnya mendapatkan hukuman pidana sesuai

dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Menurut penulis, unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi” sama artinya dengan mendapatkan untung untuk

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Di dalam ketentuan tentang

tindak pidana korupsi yang terdapat dalam ketentuan Pasal 3 diatas, unsur

“menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” tersebut

adalah tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi. Untuk itu jika melihat sesuai

dengan apa yang telah disebutkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Kendari

Nomor: 44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi maka terdakwa layak dikatakan bahwa

dalam kegiatan tersebut ada maksud menguntungkan diri sendiri sesuaidengan

faktanya persidangan serta beberapa alat bukti seperti perincian penggunaan

dana bantuan tersebut terdapat penyimpangan keuangan berdasarkan audit

BPKP.

Berdasarkan Putusan Perkara Nomor: 44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi,

seharusnya terdakwa dapat dihukum atau dijatuhi sanksi pidana disebabkan

perbuatan terdakwa merupakan perbuatan melawan hukum karena bantuan Dana

Siap Pakai yang telah diterima oleh BPBD Kabupaten Kolaka Utara tersebut

semestinya dibayarkan kepada warga korban bencana angin puting beliung yang

telah ditetapkan sebagai penerima bantuan, namun dalam pelaksanaannya

Terdakwa telah mencairkan anggaran Dana Siap Pakai dari rekening bendahara

Dana Siap Pakai di Bank BRI Unit Ranteangin atas perintah saudara MUNIR,
60

S.Pd selaku kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten

Kolaka Utara yaitu tahap pertama pada tanggal 17 Oktober 2013 sejumlah Rp.

230.000.000,- (dua ratus tiga puluh juta rupiah) dan tahap kedua pada tanggal 05

Desember 2013 sejumlah Rp. 160.000.000,- (seratus enam puluh juta rupiah).

Menurut penulis, unsur melawan hukum disini yaitu perbuatan terdakwa

memberikan bantuan kepada orang yang tidak layak menerima sehingga

melanggar dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, atau

melawan hukum melaksanakan kewenangan dikarenakan dalam menjalankan

kewenangan yang diberikan bertentangan dengan ketentuan hukum pidana yang

secara khusus mengatur tentang larangan menyalahgunakan kewenangan

sebagaimana dalam rumusan Pasal 3 UUPTPK.

Sifat melawan hukum dalam hukum pidana dikenal dengan istilah dalam

bahasa Belandanya yaitu “wederechtelijk”. Dalam tindak pidana unsur melawan

hukum sangat penting karena unsur inilah yang akan menentukan apakah

seseorang layak dijatuhkan pidana atau tidak. Perbedaan pengertian hukum dan

undang-undang berakibat berbedanya pengertian “sifat melawan hukum” dan

“sifat melawan undang-undang”. Bersifat melawan undang-undang berarti

bertentangan dengan undang-undang atau tidak sesuai dengan

larangan/keharusan yang ditentukan dalam undang-undang atau menyerang

suatu kepentingan yang dilindungi oleh undang-undang. Sedangkan sifat

melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan

larangan atau keharusan hukum atau menyerang suatu kepentingan yang

dilindungi oleh hukum. Dari penjelesan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
61

konsep sifat melawan hukum dalam hukum pidana itu dapat dibagi menjadi dua

macam yaitu :

1. Sifat Melawan Hukum Formilmengandung arti semua bagian (unsur-unsur)

dari rumusan delik telah di penuhi. Demikian pendapat Jonkers yang

menyatakan “Melawan hukum formil jelas adalah karena bertentangan

dengan undang-undang tetapi tidak selaras dengan melawan hukum formil,

juga melawan hukum materil, diantara pengertian sesungguhnya dari

melawan hukum, tidak hanya didasarkan pada hukum positif tertulis, tetapi

juga berdasar pada asas-asas umum hukum, pula berakar pada norma-norma

yang tidak tertulis. Sebagaimana yang diatur dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP,

untuk dipidananya setiap perbuatan menganut sifat melawan hukum formil”.

Para penganut sifat melawan hukum formil mengatakan, bahwa pada setiap

pelanggaran delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum

dari tindakan pelanggaran tersebut.

2. Sifat Melawan Hukum Materil. Pertama. Sifat melawan hukum materiil

dilihat dari sudut perbuatanya. Hal ini mengandung arti perbuatan yang

melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi

oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Biasanya sifat

melawan hukum materil ini dengan sendirinya melekat pada delik-delik yang

dirumuskan secara materil. Kedua. Sifat melawan hukum materil dilihat dari

sudut sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna bertentangan dengan

hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas

kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.


62

Dengan demikian, bahwa pandangan sifat melawan hukum

formilmengatakan bahwa setiap pelanggaran delik sudah dengan sendirinya

terdapat sifat melawan hukum dari pelanggaran tersebut. Berbeda dengan

pandangan sifat melawan hukum materil yang menyatakan bahwa “melawan

hukum” merupakan unsur mutlak dalam perbuatan pidanaserta melekat pada

delik-delik yang dirumuskan secara materil sehingga membawa konsekuensi

harus dibuktikan oleh penuntut umum.

Berdasarkan penjelasan diatas, melawan hukum menggunakan

kewenangan/menyalahgunakan kewenangan dengan cara melawan hukum

seperti yang dilakukan terdakwa Maida S.E, dalam perkara tersebut, dapat dilihat

didalam unsur Pasal 3 UUPTPK yang merupakan aturan hukum pidana, yang

artinya untuk menilai seseorang yang memiliki kewenangan telah melawan

hukum adalah dengan cara menggunakan kewenangannya bertentangan dengan

ketentuan hukum pidana yang secara khusus melarang melakukan perbuatan

menyalahgunakan kewenangan, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi terlihat bahwa

Melawan hukum merupakan syarat khusus, di pidananya terdakwa karena

perbuatan terdakwa memberikan kepada stafnya untuk mengelola bantuan

langsung tunai sementara tanggungjawab keuangan sepenuhnya ada pada

terdakwa, dengan demikian jika melihat putusan tersebut, sifat melawan hukum

merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya perbuatan dari terdakwa


63

Maida S.E, karena dari penjelasan disamping, perbuatan melawan hukum

terdakwa bertentangan dengan hukum.


64

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pertimbangan Hukum Hakim Menjatuhkan Vonis Bebas Dalam Tindak

Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor: 44/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi) yaitu

karena “unsur melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi, tidak terpenuhi sebagaimana dimaksud

dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum bahwa perbuatan terdakwa melanggar

Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UUPTPK. Pada unsur ini majelis hakim

menyebutkan dalam pertimbangannya bahwa tidak ada keuntungan yang

didapatkan Terdakwa/Maida SE. dengan adanya kerugian Negara tersebut

berdasarkan audit BPKP. Karena yang mendapatkan keuntungan adalah

Rahmatulah ST.

2. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan

Nomor: 44/Pid.Tipikor /2015/PN.Kdi). Pada dasarnya dapat saja diberikan

terhadap terdakwa sesuai dakwaan jaksa penuntut bahwa perbuatan terdakwa

melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, akibat dari perbuatan terdakwa yang melakukan penyaluran

dana bantuan tidak sesuaidengan nama-nama warga yang terdaftar sebagai

penerima bantuan sehingga perbuatan terdakwa tersebut, telah merugikan

Keuangan sejumlah Rp. 179.576.476,- (seratus tujuh puluh sembilan juta lima

ratus tujuh puluh enam ribu empat ratus tujuh puluh enam rupiah).
65

B. Saran

1. Diharapkan Mahkamah Agung dalam hal ini majelis hakim, dapat memahami

unsur-unsur mengenai tindak pidana korupsi, sehingga dapat menerapkan

pasal-pasal tersebut dengan baik.

2. Diharapkan kepada majelis hakim dapat memberikan sanksi pemidanaan pada

putusannya ketika unsur-usnsur telah terpenuhi.


DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:

Abdi Kurnia. Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Tiga Zaman : Orde Lama,
Orde Baru dan Era Reformasi. Masyarakat Transparansi Indonesia. Jakarta,
2010.

Adami Chazawi. Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia.


Bayumedia Publishing, Malang, 2005.

Djaja Ermansyah. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Sinar Grafika, Jakarta,


2009

Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua). Sinar Garfika, Jakarta, 2007.

Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan


Internasional. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

_____________. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Indriyanto Seno Adji. Korupsi dan Penegakan Hukum. Diadit Media, Jakarta, 2009.

Lilik Mulyadi. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Tehnik
Penyusunan dan Permasalahannya. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2010.

Krisna Harahap. Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Jalan Tiada Ujung,


Grafiti, Bandung, 2009.

Mahrus Ali. Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi. UII Press,
Yogyakarta, 2013.

Murtir Jeddawi. Negara Hukum, Good Governance Dan Korupsi Di Daerah,


Total Media, Yogyakarta, 2011.

Nurdjana. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Lataen Korupsi “Perspektif


Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2010.

Suhandi Cahaya S. Strategi Dan Teknik Korupsi (Mengetahui Untuk Mencegah),


Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, Kencana. Jakarta, 2009.


Tri Andriman. Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Indonesia. Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2010.
Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2009.
Wijayanto. Korupsi Mengorupsi Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta,
2009.
Peraturan Perndang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana Lembaran. Negara Nomor 127 Tahun 1958
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Lembaran Negara Nomor 76 Tahun 1981

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi. Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1999, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3851

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Lembaran Negara Nomor 134 Tahun 2001. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4150

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.


Lembaran Negara Nomor 157 Tahun 2009. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana


Korupsi. Lembaran Negara Nomor 155 Tahun 2009. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5074

Internet
Diakses melaui, www. hukumonline.go.id. Pada 25 Sebtember 2018, jam 08.00
Wita.

Anda mungkin juga menyukai