Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
KEPERAWATAN BENCANA
“PERAWATAN PSIKOSOSIAL DAN
SPIRITUAL PADA KORBAN BENCANA”
OLEH:
KELAS D SEMESTER VII
KELOMPOK 5
1. Alif Rahman Ahmad (841417193)
2. Nurfadillah Abuthalib (841417149)
3. Helda C. Tomasong (841417156)
4. Miskatul Anwar Moo (841417162)
5. Feby Soraya Lasanudin (841417163)
6. Dewi Pertiwi Wiratma (841417188)
7. Della Puspita Hasan (841417039)
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena
dengan rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk bekerja
bersama untuk menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa penulisan laporan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga
Tuhan Yang Maha Esa selalu menuntun kita menuju jalan yang benar.
Wasalammualaikum Wr. Wb
Penyusun
BAB I
LATAR BELAKANG
Pada fase awal bencana, akan membuat para korban menjadi khawatir dan
bahkan mungkin menjadi panik. Kepanikan itu berupa, seseorang akan
merasa sangat down, shock, karena kehilangan harta benda dan
sanak saudara. Demikian pula, mereka akan merasakan berbagai macam emosi
seperti ketakutan, kehilangan orang dan benda yang dicintainya, serta
membandingkan keadaan tersebut dengan kondisi sebelum bencana, mereka
kembali mengingat harta benda yang telah hilang atau rusak sekaligus
merasakan kesedihan yang mendalam. Hingga pada akhirnya merasa kecewa,
frustasi, marah, dan merasakan pahitnya hidup.
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
TINJAUAN TEORI
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana,
yaitu diantaranya :
1) Fase preimpact
Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat
dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala
persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2) Fase impact
merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat
dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive).
Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-
bantuan darurat dilakukan.
3) Fase postimpact
adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi
komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban
akan mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-
menawar, depresi hingga penerimaan.
Gejala ini muncul pada masa 2 s.d 30 hari/4 minggu yang ditandai dengan:
Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita yang
mendalam, tidak berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi sampai
depresi semuanya bermuara pada kemampuan individu dalam memaknai suatu
musibah secara lebih realistis. Gejala-gejala tersebut adalah reaksi wajar dari
pengalaman yang tidak wajar. Tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Mereka memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dialami
Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk
dibicarakan. Konsep coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental
maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau
meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan
kata lain, coping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk
menanggani dan menguasai situasi yang menekan akibat dari masalah yang
sedang dihadapinya. Beragam cara dilakukan. Namun, semua bermuara pada
perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam
dirinya.
Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran
diri (self awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri (self
identification), dan tahapan pengembangan diri (self development).
para korban akan melalui proses pensucian diri dari bekasan atau hal-
hal yang menutupi keadaan jiwa melalui cara penyadaran diri, penginsyafan
diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan menguak hakikat persoalan,
peristiwa, dan kejadian yang dialami oleh para korban. Pun menjelaskan
hikmah atau rahasia dari setiap peristiwa tersebut.
Para korban akan didampingi dan difasilitasi untuk tidak hanya sehat
fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual. Kesehatan mental terwujud
dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi masalah yang
terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Adapun kesehatan spiritual mencakup penemuan makna dan tujuan dalam
hidup seseorang, mengandalkan Tuhan (The Higher Power), merasakan
kedamaian, dan merasakan hubungan dengan alam semesta.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat diprediksi
kapan datangnya. Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan
kerugian dan kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan
tanggap bencana yang dapat dilakukan oleh perawat.
DAFTAR PUSTAKA
http://susansutardjo.blogdetik.com/tag/dampak-psikologis-terhadap-korban-
bencana-alam/
psikologi.or.id/.../sumbangan-psikologi-klinis-terhadap-bencana.pdf
http://kabarinews.com/psikosomatik-banyak-diderita-oleh-masyarakat-korban-
bencana-alam/36556
http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter_14.pdf
http://altanwir.wordpress.com/2008/02/14/karakter-psikososial-korban-bencana/
http://dppm.uii.ac.id/dokumen/prosiding/2f_Artikel_rumiani.pdf.dppm.uii.ac.id.p
df
http://sururudin.wordpress.com/2011/04/13/penanganan-psikiatris-pada-korban-
pasca-bencana/
http://radenandriansyah.blogdetik.com/penanganan-bencana/macam-macam-
bencana/