Anda di halaman 1dari 3

RAMADHAN DAN TRADISI KEILMUAN

Oleh: MUNADI*

Barangsiapa yang menghadiri majelis ilmu di bulan Ramadhan, maka setiap


langkahnya dicatat sebagai ibadah oleh Allah.

Bulan Suci Ramadhan layaknya adalah madrasah ruhiyah kaum beriman. Jika kita
menempatkannya sebagai madrasah, pasti kita memahami bahwa di dalamnya ada aktivitas
ilmu. Aktivitas keilmuan inilah yang menjaga pemikiran untuk selalu istiqamah dalam
keloyalan kepada Allah SWT. Inilah pentingnya mengembangkan budaya ilmu di bulan suci
Ramadhan.

Ilmu adalah motor penggerak pemikiran dan aktivitas manusia. Tinggi rendahnya martabat
manusia ditentukan oleh faktor ilmu. Karena itu, ilmu memiliki perhatian penting dalam
tradisi Islam. Hal tersebut misalnya, dapat dilihat, Nabi Muhammad SAW dan generasi
gemilang setelahnya, dalam setiap episode historisnya selalu memberi titik berat kepada
pengembangan tradisi keilmuan. Sebabnya, epistemologi – yang menjadi kerangka ilmu –
adalah sentra aktivitas manusia.

Hasil pemikiran manusia yang berasas epistemologi kokoh tentu tidaklah sama dengan
produk pemikiran manusia yang kerangka keilmuannya tidak jelas, atau bahkan salah. Oleh
karena itulah, sejak zaman Nabi SAW, tradisi ilmiah tumbuh dan berkembang. Salah satunya
yang terkenal adalah, komunitas Ilmiah Ashabu al-Suffah. Tradisi intelektual zaman Nabi
SAW tersebut dapat dibuktikan dengan wujudnya madrasah Ashabu al-Suffah yang diikuti
oleh sekitar 70 orang sahabat Nabi SAW. Sekolah Nabi SAW yang pertama tersebut
didirikan sekitar kurang lebih 17 bulan sesudah Hijrah telah melahirkan generasi sahabat
yang memiliki tingkat intelektualitas yang hebat, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari,
Salman al-Farisi, dan Abdullah bin Mas’ud. Peran madrasah ini begitu sentral, sebab, dari
komunitas kajian ilmu inilah pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) tersistemasi yang
berasas Al-Quran dan al-Sunnah. Ada sesuatu yang berbeda di madrasah itu ketika bulan suci
datang.

Kajian-kajian ilmu itu, memberi tekanan khusus pada pendalaman Al-Quran setiap bulan suci
Ramadhan. Memasuki bulan Ramadhan, kajian-kajian tentang Al-Quran menjadi semakin
meningkat dan diikuti oleh para sahabat lain. Hingga, tradisi ini turun-temurun dicontoh oleh
kaum muslimin di penjuru dunia hingga generasi sekarang.

Tradisi keilmuan di madrasah Ashabu al-Suffah tersebut diteruskan dan dikembangkan,


sampai akhirnya peradaban Islam mampu menghegemoni dunia yang membentuk mental
keilmuan seorang muslim. Seorang Orientalis, Fitcha, menggambarkan tradisi ilmu di
Cordoba begitu hebat, hingga ia menyimpulkan, Islam itu gemar membaca dan menulis dan
Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk memperolah pengetahuan.
Kekaguman Fitcha cukup beralasan, sebab di Cordova itu terdapat sebuah tempat untuk
menyalin buku, yang menggunakan 200 lebih gerobak, yang digunakan untuk memindahkan
buku-buku, yang diperuntukkan kepada mereka yang membutuhkan buku-buku langka untuk
disalin.
Membangun Tradisi di Bulan Suci

Suatu ketika Imam al-Zuhri, Ulama’ hadis kenamaan, pernah memberi nasihat, “Apabila
datang Ramadhan, maka kegiatan utama kita selain berpuasa adalah membaca Al-Quran.
Bacalah dengan tajwid yang baik dan tadabburi, pahami, dan amalkan isinya. Insya Allah,
kita akan menjadi insan yang berkah”. Nasihat al-Zuhri sangatlah tepat. Momen untuk
mengembangkan dan memperbaiki budaya ilmu di bulan Ramadhan memiliki nuansa
tersendiri yang berbeda dengan bulan-bulan lainya. Bulan yang juga dijuluki Rihlah
ruhaniyah ini sungguh tepat menjadikannya sebagai Madrasah Ilmiyah.

Para ulama’ memberi teladan mencari ilmu yang baik, yakni bersih ruhani – menjauhi segala
aktivitas maksiat. “Ilmu (hafalan) tidak bersahabat dengan maksiat!” nasihat Imam al-Waqi’
kepada Imam as-Syafi’i. Menjaga kesucian jasmani dan ruhani itulah yang dibiasakan oleh
Imam al-Bukhari setiap kali ia menuliskan catatan hadisnya. ”Aku tidak pernah menulis
dalam kitabku (Shahih Bukhari) sebuah Hadits pun, kecuali aku mandi dan melakukan shalat
dua rakaat terlebih dahulu,” kata al- Bukhari sebagaimana dinukil Imam Laknawi dalam
Dhafar Al-Amani. Momentum yang kondusif inilah yang mungkin menjadikan Malaikat
Jibril mengajar Nabi Muhammad Al-Quran secara talaqqi tiap tahunnya di bulan Ramadhan.
Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat, “Jibril as. mendatangi Rasulullah SAW pada tiap
malam bulan Ramadhan dan mengajarkannya Al-Qur’an”. (HR Bukhari dan Muslim). Apa
yang dilakukan Malaikat Jibril dalam rangka mentarbiyah Nabi SAW, agar keilmuannya
terjaga dengan baik. Kedatangan setiap tahunnya itu untuk mengecek bacaan Nabi SAW.
Bahkan pada tahun menjelang wafatnya, Jibril menyampaikan bacaan Al-Quran dua kali,
sehingga beliau dapat memahaminya dengan sangat baik waktu menjelang akhir hayatnya
(Al-Madkhal Li Dirasah al-Qur’an al-Karim). Anas bin Malik ra pernah meriwayatkan:
“Barangsiapa yang menghadiri majelis ilmu di bulan Ramadhan, maka setiap langkah telapak
kakinya dicatat sebagai ibadah oleh Allah SWT dan kelak bersamaku di bawah naungan
Arsy”. Biasanya, kajian yang diberi porsi lebih dalam kajian ilmiah ini, adalah kajian-kajian
tentang Al-Qur’an. Hal itu telah dicontohkan oleh Metode Jibril mengajar Al-Quran kepada
Nabi Muhammad SAW. Para ulama juga menteladani. Teladan itu, sebagaimana metode
Jibril, tidak hanya membaca (qira’ah) Al-Quran, akan tetapi mendalami makna-makna yang
terkandung di dalamnya untuk diamalkan.

Sebagaimana yang telah dilakukan Imam Qatadah As Sadusi. Ia memiliki kebiasaan setiap
tujuh hari mengkhatamkan Al Quran sekali. Akan tetapi bila bulan Ramadhan telah tiba,
beliau mengkhatamkannya setiap tiga malam sekali. Dan bila telah masuk sepuluh hari
terakhir dari bulan Ramadhan, beliau senantiasa mengkhatamkannya setiap malam sekali.
Dan perlu dicatat, pembacaan Al-Quran para ulama dahulu bukan sekedar qiraah, tetapi juga
memahami makna yang terkandung.

Hadis tersebut memotivasi kaum muslimin untuk menyemarakkan budaya ilmu di bulan suci.
Pesan tersiratnya, bangunlah tradisi keilmuan di bulan suci karena di bulan ini Allah
membuka pintu ampunan yang luas. Penuntut ilmu yang jiwanya bersih, lebih mudah terarah
kepada keilmuan yang benar.

Ilmu menempati derajat istimewa dalam Islam, dan Ramadhan adalah bulan teristimewa di
antara bulan-bulan lainnya. Oleh sebab itulah, mestinya tradisi mencari ilmu seharusnya lebih
semarak di bulan suci, karena inilah momen menjalankan dua kewajiban istimewa yang
berimplikasi positif untuk kebiasan-kebiasaan berbudaya ilmu setelah Ramadhan. Tradisi-
tradisi pengembangan ilmu tersebut di pesantren-pesantren tradisional Indonesia telah
membudaya dengan baik sejak dahulu. Di beberapa pesantren tradisional, ada tradisi
khataman kitab selama bulan suci Ramadhan. Metodenya seperti yang lumrah berjalan di
pesantren, yaitu sorogan. Khataman kitab kuning itu diikuti oleh beberapa pelajar dari luar,
bahkan dari luar pulau.

Tradisi tersebut perlu dikembangkan dan dibiasakan. Menjadikan aktivitas ilmu sebagai
aktivitas utama di bulan Ramadhan adalah sebuah kegiatan mulia dalam rangka membangun
peradaban. Peradaban Islam, sebagaimana yang telah peradaban Abbasiyah, Kordoba atau
Ustmaniyah terbangun dengan tradisi ilmu. Hal itu misalnya bisa dilakukan dengan model-
model yang lain, daurah, pelatihan, workshop dan seminar. Kegiatan ilmu adalah aktivitas
sangat tinggi nilainya di sisi Allah SWT. Melalui ilmulah manusia dapat mengenal Allah dan
memahami cara beribadah kepada-Nya dengan benar.

Tradisi keilmuan ini perlu dibiasakan, mengingat tantangan terbesar muslim kontemporer
menurut Prof. Al-Attas adalah rusaknya ilmu. Rusaknya konsep ilmu akan berkonsekuensi
pada kerusakan pemikiran dan metode memahami Islam. Apalagi, sebagaimana difatwakan
oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, kerusakan umat diakibatkan oleh kejahatan
intelektual muslim (ulama’). ”Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk,” kata
Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, diskusi ilmu dan kajian ilmiah tak kalah mulyanya dengan
ibadah salat dan sedekah di bulan Ramadhan. Bahkan pada masa di mana kerusakan ilmu
merajalela, kajian ilmiah barangkali lebih utama.

Ditegaskan oleh Ibnu Abbas, ”Mendiskusikan ilmu pada sebagian malam lebih saya sukai
daripada menghidupkan malam itu.” Apalagi pada masa kini, kejahilan tidak sama dengan
kejahilan yang pernah dialami oleh ulama’-ulama dahulu. Kini, kejahilan bukan saja
kekurangan ilmu, akan tetapi kesalahan ilmu (confusion of knowledge). Kekacauan ilmu ini
akibat invasi konsep-konsep sekular yang menghegemoni studi- studi Islam. Berangkat dari
pemahaman inilah, membudayakan tradisi ilmu adalah langkah utama, dan bulan Ramadhan
merupakan momentum yang sangat tepat memulai tradisi mulia tersebut sebagaimana yang
telah dilakukan oleh para ulama dahulu, lebih-lebih untuk menjaga pemikiran di bulan suci.

*Penulis adalah Pengurus Lembaga Pengembangan Pesantren PW Muhamadiyah Kalbar

Biodata Penulis

Nomor KTP : 6171031706760008


Nama : Munadi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/Tgl Lahir : Sambas, 17-06-1976
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Dosen
Alamat : Dusun Tanjung Mentawa RT/RW. 03/02 Desa Tanjung Mentawa,
Kec. Sambas, Kabupaten Sambas

Anda mungkin juga menyukai