DISFONIA
DISUSUN OLEH:
PEMBIMBING:
dr. Deddy Eko Susilo, Sp.THT-KL
Penulis menyadari bahwa, refarat ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa
adanya arahan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.Deddy Eko
Susilo,Sp.THT-KL selaku pembimbing dan rekan-rekan sejawat seperjuangan
yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Semoga arahan, motivasi, dan
bantuan yang telah diberikan menjadi amal ibadah pembimbing dan rekan-rekan
sehingga memperoleh balasan yang lebih baik dari Allah SWT.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB I.PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Disfonia adalah istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan
kelainan organik atau fungsional organ-organ fonasi.1 Organ fonasi yang paling
sering terganggu sehingga menyebabkan disfonia adalah laring. Berdasarkan definisi
ini, disfonia bukan penyakit melainkan gejala penyakit.
Produksi suara adalah proses perilaku rumit yang melibatkan berbagai sistem
organ yaitu sistem respirasi, fonasi, dan artikulasi, serta dipengaruhi oleh teknik
vokal dan kondisi emosional seseorang. Produksi suara merefleksikan ketiga sistem
tersebut yang bekerja secara terhubung satu sama lain.
Keluhan yang umum dikeluhkan oleh pasien dalam praktik klinis sehubungan
dengan disfonia antara lain suara parau (roughness), suara lemah (hipofonia), hilang
suara (afonia), suara tegang dan susah keluar (spastik), suara terdiri dari beberapa
nada (diploofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia), atau ketidakmampuan mencapai
nada atau intensitas tertentu.
Tidak ada data epidemiologis yang pasti mengenai gangguan suara. Terdapat
kesulitan untuk menbuat definisi disfonia fungsional yang dapat diterima secara
umum. Di Amerika Serikat, dibuat perkiraan bahwa jumlah penderita disfonia
berkisar antara 1,2-23,4% dari seluruh populasi.
1
pekerjaan sangat penting mengingat kemungkinan besar pasien memiliki profesi
yang berkaitan dengan penggunaan suara seperti penyanyi atau guru. Riwayat
penyakit sebelumnya dan pemakaian obat-obatan juga amatlah penting untuk
diselidiki. Pemakaian laringoskop direk, indirek, dan stroboskopi diperlukan untuk
menilai gangguan baik secara struktural dan fungsional.
Terapi berfokus pada konservasi suara dan edukasi teknik penggunaan suara
yang benar pada pasien. Medikamentosa digunakan secara konservatif, dan
diutamakan pada pasien yang memang profesinya menuntut penggunaan suara.
Intervensi bedah bergantung pada jenis penyebab disfonia, dan perlu didahului terapi
suara untuk mencegah komplikasi trauma sekunder paska operasi. Tindakan
pencegahan disfonia yang umum adalah anjuran untuk banyak minum dengan tujuan
memberi hidrasi laring dan mengatasi penyakit GERD atau laringotrakeal refluks.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong. Laring menghubungkan
laringopharynx superior dan inferior dengan trakea yang terletak pada garis tengah
anterior leher pada vertebra cervicalis 4-6. Laring berbentuk piramida triangular
terbalik dengan dinding kartilago tiroid di sebelah atas dan kartilago krikoid di
sebelah bawahnya.
Tulang hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini
merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamen serta akan mengalami osifikasi
sempurna pada usia 2 tahun. Laring dibentuk oleh beberapa kartilago, ligamentum
dan otot. Tulang hyoid terdiri dari body, dua tanduk yang besar serta dua tanduk
kecil. Tulang ini tidak berartikulasi dengan tulang lainnya, berbentuk U dan
bergantung pada ujung proses styloid dari tulang temporal oleh ligamen stylohyoid.
Tulang hyoid terhubung ke kartilagi tiroid dan didukung oleh otot-otot suprahyoid
dan infrahyoid dan otot konstriktor faring tengah. Tulang hyoid mendukung akar
lidah.
3
kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan
dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring
serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di
sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus
kelenjar tiroid.
2. Glotis (pars media) yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan
pita suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni.
3. Infraglotis (pars inferior) yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi
bawah kartilago krikoidea.
2.1.1 Kartilago
A. Kartilago Tiroidea
Pada bagian atas terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau incisura
thyroidea, di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan
dengan tulang hyoid oleh ligamentum thyroidea lateralis. Pada bagian bawah
membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan posterolateral
dari kartilago krikoidea dan membentuk artikulasio krikoidea. Pada bagian
dalam perisai kartilago thyroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : plika
4
vokalis, ventrikel, otot-otot dan ligament, kartilago aritenoidea, kuneiforme serta
kornikulata.
Terdapat dua lamina yang membentuk lateral utama yang menutupi kedua sisi
trakea. Tepi posterior dari lamina setiap berartikulasi dengan tulang rawan
krikoid inferior pada sendi yang disebut sendi krikotiroid. Gerakan tulang rawan
pada sendi ini menghasilkan perubahan dalam ketegangan di lipatan vokal ,
yang pada gilirannya menghasilkan variasi suara . Kartilago tiroidea membentuk
sebagian besar dinding anterior laring, dan berfungsi untuk melindungi plika
vokalis ("pita suara"), yang terletak tepat di belakangnya.
5
B. Kartilago Krikoidea
Terletak pada bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan kartilago hialin
yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alsanya terdapat di
belakang. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan
kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui
artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea
melalui ligamentum krikotiroidea.
C. Kartilago Aritenoidea
Plika vokalis merupakan dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di
atas ligamentum vokal, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam
kartilago thyroidea bagian depan dan kartilago arytenoidea bagian belakang.
Plika vokalis palsu memiliki dua lipatan membrana mukosa tepat di atas plica
vokalis sejati. Bagian ini tidak terlibat di dalam produksi suara. Ligamentum
vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan berinsersi pada garis tengah
6
kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian membranosa atau vibratorius
pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita suara ini disebut glotis.
Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu
sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis
dari aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan terbuka dan
tertutupnya glotis.
D. Kartilago Epiglotis
Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior
aditus laringeus. Tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh ligamentum
7
tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas plika vokalis. Kartilago
epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong makanan ke
sebelah menyebelah laring.
E. Kartilago Kornikulata
8
Gambar 4. Anatomi laring yang tersusun dari kartilago, tulang,dan ligamen.
9
1
2.1.2 Ligamentum
A. Membran Tirohyoid
Membran ekstrinsik yang menghubungkan kartilago tiroidea pada tulang
hyoid, sehingga memperkuat laring. Dipisahkan dari permukaan posterior tubuh
hyoid oleh bursa. Tebal bagian median disebut ligamentum tirohyoid medial dan
bagian lateral disebut ligamen tirohyoid lateral. Ligamen lateral yang
menghubungkan ujung tanduk superior dari kartilago tiroid ke ujung tanduk yang
lebih besar dari tulang hyoid.
10
E. Ligamentum epiglotis
Epiglotis melekat pada tulang hyoid oleh ligamentum hyoepiglottic. Bagian
posterior lidah oleh lipatan glossoepiglottic median. Untuk sisi faring oleh
lipatan glossoepiglottic lateral. Untuk kartilago tiroid oleh ligamentum
thyroepiglottic. Selaput lendir yang menutupi epiglottis dipantulkan ke bagian
posterior lidah sebagai salah satu lipatan medial dan dua glossoepiglottic
lateral. Antara lipatan terdapat bagian yang rendah disebut valleculae epiglottic.
11
2.1.3
Otot
Otot-otot pada laring terbagi menjadi dua kelompok yang memiliki fungsi
berbeda. Yang pertama yaitu otot ekstrinsik. Otot ini memiliki fungsi untuk
menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok otot ini
menggerakkan laring secara keseluruhan.
M. Stilohioideus
M. Milohioideus
M. Geniohioideus
M. Digastrikus
M. Genioglosus
M. Hioglosus
Gambar 7. Otot-otot ekstrinsik
M. Omohioideus
M. Sternokleidomastoideus
M. Tirohioideus
12
konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat pada linea
oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting pada proses deglutisi.
Yang kedua yaitu otot intrinsik. Otot ini menghubungkan kartilago satu
dengan yang lainnya. Berfungsi untuk menggerakkan struktur yang ada di dalam
laring terutama untuk membentuk suara dan bernafas. Otot-otot pada kelompok ini
berpasangan kecuali m. interaritenoideus yang serabutnya berjalan transversal dan
oblik. Fungsi otot ini dalam proses pembentukkan suara, proses menelan dan
bernafas. Bila m. interaritenoideus berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis
tengah sehingga menyebabkan adduksi pita suara.
M. Krikotiroideus
M. Krikotiroideus lateral
M. Krikoaritenoideus posterior
3. Otot-otot tensor :
13
Gambar 8. Otot-otot intrinsik pada laring.
14
2.1.4 Persendian
Artikulasio Krikotiroidea
Merupakan sendi antara kornu inferior kartilago tiroidea dengan bagian posterior
kartilago krikoidea. Sendi ini diperkuat oleh 3 (tiga) ligamentum, yaitu :
ligamentum krikotiroidea anterior, posterior, dan inferior. Sendi ini berfungsi
untuk pergerakan rotasi pada bidang tiroidea, oleh karena itu kerusakan atau
fiksasi sendi ini akan mengurangi efek m. krikotiroidea yaitu untuk
menegangkan pita suara
Artikulasio Krikoaritenoidea
2.1.5 Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang saraf vagus yaitu saraf Laringeal Superior dan
saraf Laringeal Inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
sensorik. Nervus laringeal superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga
memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Nervus laringeal
inferior merupakan lanjutan dari saraf rekuren setelah bercabang. Nervus rekuren
merupakan cabang dari n.vagus. (Nn. Laringeal Rekuren) kiri dan kanan.
15
vallecula, epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita
suara sejati. Cabang Eksterna bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid
dan m. Konstriktor inferior.
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di
belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeal yang kiri mempunyai perjalanan
yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu.
16
2.1.6 Vaskularisasi
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai
A. Laringeal Superior dan Inferior.
17
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk
saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical
superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular
node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea,
middle jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem
limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase
karsinoma laring dan menentukan terapinya.
Struktur Laring
1. Aditus Laringeus
Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral
oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi
atas m. aritenoideus.
18
8. Vestibulum Laring Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana
kuadringularis, kartilago aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago
aritenoidea dan m.interaritenoidea.
9. Plika Ventrikularis (pita suara palsu) pita suara palsu yang bergerak
bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk menutup glottis dalam
keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir dengan
jaringan ikat tipis di tengahnya. Pada saat kelahiran sampai 6 bulan pertama
kehidupan pita suara palsu dilapisi oleh sel kolumnar bersilia, yang seiring
pertumbuhan akan muncul sedikit bagian yang akan dilapisi sel skuamosa
bertingkat.
10. Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus) ruangan antara pita suara
palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel terdapat suatu
divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan permukaan
dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan
beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara
sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring.
11. Plika Vokalis (pita suara sejati) Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per
lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis dan celahnya disebut
intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh prosesus
vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion.
Plika vokalis terlindungi oleh suatu lapisan tipis epitel squamous bertingkat,
berlainan dari lapisan epitel dari permukaan lain dari larynx dan trakea.
Dibawahnya terdapat lamina propria, yang dikenal sebagai Reinke’s space,
adalah suatu lapisan lembut yang terdiri dari protein termasuk elastin,
kolagen dan elemen ekstraseluler lainnya.9
19
Lamina propria dari pita suara sejati adalah jaringan ikat longgar atau padat
yang terletak di antara ligamentum vokal dan epitel skuamosa. Lamina
propria pada pita suara sejati yang disebut juga sebagai Reinke’s space berisi
beberapa sedikit pembuluh darah kapiler retapi hampir tidak memiliki saluran
limfatik dan hanya jarang memiliki sedikit kelenjar seromusinosa. Karena
akses vaskular terbatas, karsinoma terbatas pada pita suara sejati dan
cenderung tetap terlokalisasi sehingga radiasi atau eksisi lokal sangat
dimungkinkan. Drainase limfatik Reinke’s space yang jumlahnya secara
histologis memang sedikit juga mungkin memberikan kontribusi terhadap
perkembangan nodul pita suara dan polip ketika sejumlah cairan abnormal
mengumpul di wilayah ini. Penyalahgunaan vokal atau infeksi saluran
pernapasan atas sering menghasilkan edema pada wilayah ini dan
bermanifestasi klinis sebagai suara serak atau disfonia.10
20
21
2.2 FISIOLOGI LARING
Laring memiliki 3 fungsi utama yaitu fonasi, respiratori dan proteksi disamping
beberapa fungsi lainnya.
1. Fungsi fonasi
Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya
interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh
adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya
ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea,
faring, dan hidung.
Terdapat dua teori mengenai pembentukan suara yaitu :
Teori Myoelastik – Aerodinamik.
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak
langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-
otot laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai
variasi) dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-
otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan
menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan
mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis
terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke
anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang
pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali
pada akhir siklus glotal. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan
udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali
ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis
melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah
akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan
negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan
kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang
subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.
22
Gambar 12. Siklus glottal
Teori Neuromuskular.
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal
dari getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf
pusat melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut
teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan
banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi
dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara
masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis
bilateral).
2. Fungsi respiratori
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar
rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga
kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh
tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan
menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan
23
merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring
mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan
pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan
parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
3. Fungsi proteksi
Laring berfungsi untuk mencegah adanya benda asing masuk ke dalam trakea
dengan adanya refleks dari otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima
glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat
adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut
afferen N. Laringeal Superior sehingga sfingter dan epiglotis menutup.
Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring
tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral
menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
4. Fungsi lainnya
24
menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena
adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus
Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini
terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut
jantung.
2.3 DEFINISI
Keluhan gangguan suara tidak jarang kita temukan dalam klinik. Gangguan
suara atau disfonia ini dapat berupa suara yang terdengar kasar dengan nada
lebih rendah dari biasanya (suara parau), suara lemah (hipofonia), hilang
suara (afonia), suara tegang dan sulit keluar (spastik), suara yang terdiri dari
beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia)
2.4 ETIOLOGI
Faktor penyebab suara serak sangat banyak (Tabel 1). Hilangnya suara secara
total dengan onset tiba-tiba disebut aphonia, yang lebih mungkin disebabkan oleh
kelainan neurologis atau psikogenik daripada lesi organik.
1. Kelainan kongenital
25
b. Laryngeal web merupakan suatu selaput jaringan pada laring yang sebagian
menutup jalan udara. 75 % selaput ini terletak diantara pita suara, tetapi
selaput ini juga dapat terletak diatas atau dibawah pita suara.
d. Paralisis pita suara bisa terjadi pada saat lahir, baik satu atau kedua pita
suara. Tumor pada rongga dada (mediastinum) atau trauma saat lahir dapat
menyebabkan kerusakan saraf pada laring yang mempersarafi pita suara.
2. Infeksi
c. Infeksi jamur seperti candida pada mulut dan tenggorok, ini merupakan
komplikasi yang dapat terjadi pada anak atau orang dewasa dengan
imunosupresi (HIV, kemoterapi, dll).
3. Inflamasi
Berkembangnya nodul, polip atau granuloma pada pita suara dapat diakibatkan oleh
iritasi dan inflamasi yang kronis pada pita suara yang sering terjadi pada perokok,
terpapar racun dari lingkungan, dan penyalahgunaan suara.
a. Nodul paling sering didapatkan pada anak-anak dan wanita, ada hubungan
dengan penyalahgunaan suara. Nodul ini timbul bilateral, lembut, lesinya
bulat terletak pada sepertiga anterior dan dua pertiga posterior dari pita
suara.
b. Polip lebih sering didapatkan pada laki-laki dan sangat kuat hubungannya
dengan rokok, polip berupa massa lembut, bisa tunggal ataupun multiple,
dan paling sering unilateral.
26
c. Kista laryngeal biasanya berupa sumbatan kelenjar mucus atau kista inklusi
epitel dan akan menyebabkan perubahan suara jika terdapat atau dekat
dengan tepi bebas pita.
4. Neoplasma
5. Trauma
6. Sistemik
Lesi dari pita suara (vocal folds) lebih sering menghasilkan gejala vokal dengan onset bertahap, sering dimulai sebentar-sebentar dan
kemudian menjadi konstan dan kadang-kadang memburuk seiring berjalannya waktu. Pasien mungkin mengalami kesulitan memproyeksikan suara
mereka karena adanya lesi pada pita suara atau kelumpuhan yang mengganggu penutupan glotis. Pada pasien dengan pemeriksaan laring yang
normal, kesulitan meningkatkan intensitas suara mungkin juga mencerminkan dorongan aliran pernapasan yang tidak memadai karena penyakit
utama pada paru-paru, gangguan neurologis, atau teknik yang tidak sesuai. Produksi suara yang jelas membutuhkan koordinasi antara respirasi,
fonasi, dan artikulasi. Teknik yang tidak tepat (misalnya, berbicara sambil menahan nafas atau dengan regangan otot yang berlebihan di daerah
27
leher) dapat mengakibatkan disfonia. Selain itu, gangguan pencernaan adalah penyebab umum dari keluhan gangguan suara. Tanda
laryngotracheal reflux yaitu suara serak yang lebih buruk pada waktu bangun di pagi hari dan berhubungan dengan peningkatan dahak, heartburn,
28
suara lebih rendah. Perubahan hormonal yang dialami selama menopause juga dapat
menghasilkan penurunan dalam frekuensi dasar.1
1. Radang
Radang laring dapat akut atau kronis, radang akut dapat disebabkan karena
laryngitis akut, gejala seperti suara parau sampai tidak dapat bersuara lagi (afoni),
nyeri ketika menelan atau berbicara, demam, malaise, dan dapat disertai batuk
kering yang lama kelamaan disertai dahak. Sedangkan radang kronis nonspesifik
dapat terjadi pada laryngitis kronis yang biasanya disebabkan karena sinusitis
29
kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung, bronchitis kronis, dan dapat
disebabkan karena penyalahgunaan suara pada seseorang.
Gejala
Gejala yang timbul seperti suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok,
sehingga pasien sering mendeham tanpa mengeluarkan secret, karena mukosa
yang menebal. Radang kronis yang spesifik dapat disebabkan karena laryngitis
tuberculosis, gejala nya seperti rasa kering,panas dan tertekan didaerah laring,
suara parau selama berminggu-minggu dan dapat berlanjut menjadi afoni,
hemoptisis, nyeri menelan yang sangat hebat, batuk kronis, berat badan menurun,
dan keringat pada malam hari.
2. Neoplasma
Gejala
Terdapat tumor jinak laring yaitu nodul pita suara yang dapat disebabkan
penyalahgunaan suara dalam waktu yang sangat lama, dengan gejala suara parau
dan kadang-kadang disertai batuk. Polip pita suara juga termasuk lesi jinak laring
dengan gejala suara parau. Kista pita suara termasuk kista kelenjar liur minor
laring, terbentuk akkibat tersumbatnya kelenjar tersebut, faktor iritasi kronis,
refluks gastroesofageal diduga berperan sebagai faktor predisposisi, dengan gejala
suara parau.
Gejala
Gejala kelumpuhan pita suara adalah suara parau, stridor atau bahkan disertai
kesulitan menelan yang tergantung pada penyebabnya. Jika penyebabnya lesi
intrakranial, maka akan muncul gejala kelainan neurologik. Jika penyebabnya
adalah perifer, seperti tumor tiroid, penyakit jantung, maka gejalanya akan
disertai gejala yang sesuai dengan penyebabnya.
2.6 DIAGNOSIS
30
dari 2 minggu. Pada kasus-kasus khusus, prosedur diagnostik yang lebih canggih
dapat diindikasikan.
2.6.1 Anamnesa
Tanyakan pasien tentang pola pengunaan suara dan permintaan vokal dalam
pekerjaan dan lingkungan. Pasien dapat menggunakan suara mereka cukup berbeda
di tempat kerja dibandingkan dengan ketika bersosialisasi atau berada di rumah.
Berbicara lebih dari kebisingan latar belakang yang berlangsung dalam waktu lama,
bekerja atau merawat anak-anak muda, bersorak di acara olahraga, atau bernyanyi
tanpa menggunakan teknik yang optimal dapat menyebabkan gangguan suara
hiperfungsional1.
31
mengandung kafein (kopi, teh, soda, dan cokelat), alkohol, dan dosis tinggi vitamin
C. Selain itu, obat anti-inflamasi nonsteroidal (NSAID) seperti ibuprofen atau aspirin
dapat berkontribusi untuk terjadinya perdarahan pita suara karena sifat antikoagulan
dari agen ini1.
Semua pasien dengan suara serak yang menetap selama lebih dari dua
minggu yang tidak disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, memerlukan
evaluasi. Anamnesa dapat menghasilkan informasi penting untuk mempersempit
diagnosis banding. Setiap pasien dengan suara serak dan riwayat penggunaan
tembakau, diagnosis pertama yang perlu dipertimbangkan adalah kanker kepala dan
leher, karena suara serak sering menjadi satu-satunya gejala yang muncul.
Tanyakan mengenai gejala lain yang menyertai seperti nyeri, sulit menelan,
batuk atau sesak napas, gejala gastroesophageal reflux, seperti rasa asam di mulut di
pagi hari; penyakit sinonasal yang berkaitan (rhinitis alergi atau sinusitis kronis).
Pasien juga harus ditanya tentang riwayat operasi di kepala dan leher sebelumnya
atau operasi lain yang membutuhkan intubasi1.
TABEL 2. Petunjuk klinis yang menunjukkan penyebab spesifik dari suara serak
32
muscle tension dysphonia, edema Reinke, edema pita
suara, paralisis pita suara
33
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
A. Visualisasi laring
34
dapat dihubungkan dengan alat video (video-laringoskopi) sehingga akan
memberikan visualisasi laring yang lebih jelas baik dalam keadaan diam (statis)
maupun pada saat bergerak (dinamis).14
A A B
Gambar 14. Gambar A menunjukkan laringoskopi direk menggunakan laringoskop dan
Gambar 12. teleskop
Gambar laring
A menunjukkan laringoskopi
kaku (rigid). Gambar Bdirek menggunakan
menunjukkan laringoskop
laringoskopi direk dan
menggunakan
teleskop laring kaku (rigid). Gambar B menunjukkan laringoskopi direk menggunakan
nasofaringoskopi fleksibel atau fiber optic.
nasofaringoskopi fleksibel atau fiber optic.
35
penemuan lesi kecil seperti bekas luka pada pita suara, perdarahan, kista
intracordal, atau invasi epitelial pada awal karsinoma glotis.3,4
2. Analisis akustik
Analisis akustik memeriksa energi dalam sinyal listrik yang mewakili suara.
Pengukuran spesifik dapat diambil untuk mengukur keteraturan getaran pita
suara. Istilah frekuensi dasar mengacu pada jumlah getaran pita suara per
detik dan berkorelasi dengan persepsi pitch. Pita suara pria dewasa bergetar
antara 100 dan 130 Hz, sedangkan pita suara perempuan bergetar antara 200
dan 230 Hz. Tingkat nada tinggi abnormal untuk usia dan jenis kelamin
mungkin berhubungan dengan hiperkontraksi dari otot krikotiroid dan
mungkin merupakan disfonia fungsional atau kompensasi. Rentang pitch
dapat diukur dan berkorelasi dengan fleksibilitas dari otot intrinsik laring.
Orang dewasa sehat mampu menghasilkan rentang tiga oktaf, meskipun
biasanya hanya empat sampai lima nada yang digunakan dalam percakapan
umum. Sekarang ini analisis akustik dilakukan dengan menggunakan
program komputer seperti CSL (Computerized Speech Laboratory),
36
Multyspeech, ISA (Intelegence Speech Analysis), dan MDVP (Multi
Dimensional Voice Programe). Hasil pemeriksaan ini berupa parameter-
parameter akustik dan spektrogram dari gelombang yang dianalisis, yang
kemudian dapat dibandingkan antara suara yang normal dan yang
mengalami gangguan.
3. Analisis aerodinamika
Suara tergantung pada dukungan napas yang konstan, dengan demikian,
bahkan masalah pernapasan halus dapat mengakibatkan disfungsi suara.
Pengukuran aerodinamika berguna dalam mengukur aliran udara selama
respirasi dan fonasi. Skrining fungsi paru dapat dilakukan untuk
menyingkirkan segala masalah yang mendasari pada paru-paru yang
mungkin mencegah kapasitas yang memadai untuk aliran udara yang teratur
selama mengeluarkan suara. Waktu fonasi maksimum (Maximum Phonation
Time - MPT) adalah ukuran jumlah waktu pasien dapat mempertahankan
suara vokal pada satu napas. Orang dewasa sehat biasanya dapat
memperpanjang vokal untuk antara 15 dan 25 detik. Penurunan nilai MPT
biasanya berhubungan dengan penutupan glotis yang tidak sempurna dan
kehilangan udara dan/atau penggunaan yang tidak efisien (yaitu, suatu
kelainan) dalam mendukung paru-paru. Penyanyi, pelari jarak jauh, dan
perenang sering mampu mempertahankan suara yang lebih lama dari 25
detik; namun nilai tersebut masih berada dalam batas normal dan merupakan
penurunan fungsi saat pasien ini hadir dengan gangguan suara.
37
datang dengan suara desah atau bisikan. Peningkatan aliran udara glotal
sering terlihat pada pasien dengan kelumpuhan pita suara unilateral.
Penurunan aliran udara glotal lebih biasanya ditemukan pada pasien
denganhiperaduksi pita suara (disfonia spasmodik).
C. Pemeriksaan penunjang lainnya
2.7 TATALAKSANA
Penatalaksanaan disfonia atau disebut juga suara serak diawali dengan diagnosis
yang tepat dan terapi yang sesuai dengan diagnosis dan etiologi tersebut. Diagnosis
disfonia berupa anamnesis, pemeriksaan klinik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi
dapat berupa medikamentosa, vocal hygiene, terapi suara dan bicara serta tindakan
operatif.3
38
Peranan Terapi Suara
Kebanyakan gangguan suara memiliki etiologi multifaktorial yang terkait
dengan iritasi dari refluks , alergi, merokok, hidrasi yang tidak memadai,
penyalahgunaan vokal,dan / atau vokal kronis yang berfungsi berlebihan. Nodul
pada pita suara jarang disebabkan oleh episode berteriak ; adapun kombinasi
paparan iritasi dan penyalahgunaan merupakan penyebab lebih sering. Rehabilitasi
diarahkan untuk membangun keseluruhan kebersihan vokal dan mendidik pasien
tentang konservasi vokal. Komponen utama dari terapi suara melibatkan tentang
edukasi pasien tentang anatomi dasar dan fisiologi mekanisme produksi vokal.
Pasien harus memahami hubungan antara gangguan suara yang spesifik dan faktor
penyebab. Pemahaman ini memfasilitasi kerjasama dengan regimen terapi.
Konservasi Vokal
Pasien dengan gangguan suara yang disebabkan karena fungsi berlebihan
harus dinasehati mengenai metode-metode konservasi vokal. Mengistirahatkan
suaranya , jarang diperlukan kecuali dalam kasus-kasus perdarahan pita suara akut.
Sedangkan istirahat vokal memungkinkan perbaikan pembengkakan jaringan ,namun
perbaikan suara bersifat sementara dan disfonia dapat kembali sampai perilaku
vokal lebih tepat dipelajari.
39
Konservasi vokal adalah metode yang lebih praktis dan realistis mengurangi
penggunaan vokal, terutama pada pasien dengan penyalahgunaan vokal perilaku.
Mengurangi sumber yang jelas dari penyalahgunaan vokal (misalnya, berteriak dan
menjerit) hanya bagian dari program. pembersihan tenggorokan berulang seperti
berdeham adalah iritan plika vokalis dan harus dihindari.
Metode konservasi vokal bersifat individu dengan gaya hidup spesifik
pasien. Berbicara melebihi latar belakang suara harus dihindari (imsalnya, musik di
mobil atau televisi) adalah sumber umum dari contoh yang tak perlu. Dalam
beberapa kasus, suara kerja tidak dapat dihindari, namun pasien dapat mengambil
manfaat dari menggunakan ‘ amplifier’ misalkan pada guru sekolah yang harus
mengeluarkan suara mereka untuk mendapatkan perhatian para siswa muda mereka
dapat menggunakan peluit untuk mencapai tujuan yang sama.
Intervensi Medis
Indikasi untuk penggunaan antibiotik dan / atau antihista-dekongestan pada
pasien dengan suara serak adalah sangat jarang kecuali pasien dengan rinosinusitis
bersamaan atau laryngotrakeitis bakterial, yang dapat menyebabkan atau komplikasi
suara serak pasien. Kortikosteroid harus digunakan konservatif dan hanya pada
pasien yang memiliki yang penting kepentingan berbicara atau bernyanyi dan yang
40
tidak memiliki kecenderungan untuk penyalahgunaan vokal kronis.4
Kortikosteroid dengan mengurangi edema pada tingkat glotik sehingga
mengurangi tingkat suara serak. Oleh karena itu, perlu diagnosis yang sepatutnya
adalah penting dalam rangka untuk mengobati penyebab suara serak pasien dan
untuk mengurangi kesempatan berulang suara serak. Kortikosteroid harus diresepkan
untuk tidak lebih dari 4 sampai 5 hari di samping konservasi suara. Biasanya, pasien
diberitahu untuk menggunakan suara mereka hanya untuk panggilan suara mereka
selama periode waktu. Selain itu, pentingnya pemanasan sebelum pertunjukan harus
menekankan kepada penyanyi.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat menyebabkan suara serak. Penting
pemantauan pasien untuk tidak menggunakan produk yang dapat menyebabkan
disfonia.
Intervensi Bedah
Peran intervensi bedah tergantung pada penyebab suara serak pasien. Pasien
dengan nodul pada plika vokalis atau polip biasanya memiliki riwayat
penyalahgunaan vokal yang harus diatasi. Penghilangan lesi tanpa mengatasi
penyalahgunaan vokal dapat menyebabkan kekambuhan dalam 1 tahun eksisi. Pada
41
pasien yang membutuhkan intervensi bedah, terapi suara harus dimulai sebelum
operasi untuk meminimalkan penyalahgunaan vokal dantrauma sekunder pada
periode pasca operasi. Teknik phonosurgikal untuk menghilangkan lesi jinak fokus
pada pelestarian mukosa yang normal sementara menghapus daerah yang terkena
saja. Pasien dengan paralisis pita suara dan disfonia yang tidak membaik selama 3
bulan dan menunjukkan tanda-tanda prognostic miskin pada mungkin
‘reinnervation’ pada EMG (yaitu fibrillation potentials or absent activity ) adalah
kandidat untuk medialization laryngoplasty (thyroplasty tipe I). Injeksi pita suara
dengan lemak, kolagen, atau polytef tergantung pada preferensi ahli bedah dan
pengalaman. Namun, injeksi polytef kurang dimanfaatkan oleh sebagian
laryngologists karena kesempatan meningkat untuk Granuloman dan distorsi
permanen integritas struktur pita suara.4
2.8PENCEGAHAN
42
coklat).
Pasien juga harus menghindari makan atau minum sebelum tidur; pasien
harus menunggu 2 sampai 3 jam setelah makan terakhir mereka sebelum pergi tidur.
Pada pasien yang lebih bergejala, mengangkat kepala tempat tidur sekitar 6 sampai 8
membantu untuk memungkinkan gravitasi untuk menjaga sekresi lambung turun saat
pasien sedang tidur. Selain itu, konsumsi antasida 30 menit setelah makan dan
sebelum tidur membantu untuk menetralisir asam. Kadang-kadang histamin-
antagonis seperti omeprazol dan ranitidine dapatjuga sangat membantu. Praktek
konservasi vokal yang baik juga dapat berfungsi sebagai langkah preventif untuk
menjaga baik kualitas vokal. Pasien harus dianjurkan untuk menghindari jelas
sumber penyalahgunaan vokal seperti berteriak dan menjerit. Selain itu, pasien harus
dikonseling sumber-sumber lain mengenai penggunaan vokal berlebihan termasuk
berdeham.4
BAB III
KESIMPULAN
43
Disfonia merupakan suatu gejala dan bukan penyakit. Walaupun tidak
diketahui berapa jumlah pasti orang dengan disfonia, diperkirakan 1,2-23,4 %
populasi mengalami gangguan pada suara. Manifestasi gangguan kualitas suara pada
disfonia dapat bervariasi seperti desahan, parau, tegang, tercekik, tebal, nada menjadi
tinggi atau rendah, tergantung struktur anatomis yang terganggu dan patofisiologi
produksi suara yang disebabkan penyakit yang mendasari disfonia.
Etiologi disfonia bervariasi seperti neoplasma jinak, neoplasma ganas,
trauma, peradangan/infeksi, gangguan saraf, gangguan psikologis/fungsional. Lesi
jinak pada laring yang paling sering ditemukan adalah radang (laringitis), polip,
kista, granuloma, laryngocele, dan papiloma. Lesi ganas yang paling sering
ditemukan adalah KSS.
Untuk mendiagnosa diperlukan anamnesa mendetail untuk mengetahui
kualitas vokal pasien yang terganggu, onset, dan progresifitas penyakit. Riwayat
pekerjaan sangat penting mengingat kemungkinan besar pasien memiliki profesi
yang berkaitan dengan penggunaan suara seperti penyanyi atau guru. Riwayat
penyakit sebelumnya dan pemakaian obat-obatan juga amatlah penting untuk
diselidiki. Pemakaian laringoskop direk, indirek, dan stroboskopi diperlukan untuk
menilai gangguan baik secara struktural dan fungsional.
Terapi berfokus pada konservasi suara dan edukasi teknik penggunaan suara
yang benar pada pasien. Medikamentosa digunakan secara konservatif, dan
diutamakan pada pasien yang memang profesinya menuntut penggunaan suara.
Intervensi bedah bergantung pada jenis penyebab disfonia, dan perlu didahului terapi
suara untuk mencegah komplikasi trauma sekunder paska operasi. Tindakan
pencegahan disfonia yang umum adalah anjuran untuk banyak minum dengan tujuan
memberi hidrasi laring dan mengatasi penyakit GERD atau laringotrakeal refluks.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Cohen James . Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit THT. -6.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. h. 369-376.
2. Hermani B. Abdurrahman H. Tumor laring. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FK U I .
2 0 0 7 . h. 194-198.
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi ke-6. 2009. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Hal: 231-236.
4. Snell, R. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed ke-6. Jakarta: EGC;
2006.
45