Anda di halaman 1dari 48

REFARAT

DISFONIA

DISUSUN OLEH:

Salsa Ardhillah Fitiah


102119029

PEMBIMBING:
dr. Deddy Eko Susilo, Sp.THT-KL

RSUD DR. RM DJOELHAM BINJAI SUMATERA UTARA


FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS BATAM
BINJAI
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Refarat tentang “Disfonia”.
Laporan ini disusun sebagai syarat untuk memenuhi menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior bagian Ilmu Penyakit THT RSUD R.M. Djoelham Binjai.

Penulis menyadari bahwa, refarat ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa
adanya arahan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.Deddy Eko
Susilo,Sp.THT-KL selaku pembimbing dan rekan-rekan sejawat seperjuangan
yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Semoga arahan, motivasi, dan
bantuan yang telah diberikan menjadi amal ibadah pembimbing dan rekan-rekan
sehingga memperoleh balasan yang lebih baik dari Allah SWT.

Mengingat keterbatasan pengetahuan serta pengalaman penulis, penulis


menyadari bahwa laporan ini tidak luput dari kekurangan. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi pembaca serta dapat dijadikan
sebagai sumbangan pikiran untuk perkembangan pendidikan khususnya
pendidikan kedokteran.

Binjai, Juli 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB I.PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................2

2.1 ANATOMI LARING................................................................................3


2.1.1 Kartilago............................................................................................4
2.1.2 Ligamentum.....................................................................................10
2.1.3 Otot...................................................................................................13
2.1.4 Persendian........................................................................................16
2.1.5 Persarafan........................................................................................16
2.1.6 Vaskularisasi....................................................................................18
2.1.7 Sistem Limfatik...............................................................................19
2.1.8 Struktur Laring...............................................................................19
2.2 FISIOLOGI LARING............................................................................21
2.3 DEFINISI.................................................................................................26
2.4 ETIOLOGI .............................................................................................26
2.5 MANIFESTASI KLINIS........................................................................26
2.6 DIAGNOSIS............................................................................................28
2.6.1 Anamnesa.........................................................................................28
2.6.2 Pemeriksaan Klinik.........................................................................31
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang.................................................................31
2.7 TATALAKSANA....................................................................................34
2.8 PENCEGAHAN......................................................................................38
BAB III. KESIMPULAN.....................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................40

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Disfonia adalah istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan
kelainan organik atau fungsional organ-organ fonasi.1 Organ fonasi yang paling
sering terganggu sehingga menyebabkan disfonia adalah laring. Berdasarkan definisi
ini, disfonia bukan penyakit melainkan gejala penyakit.

Produksi suara adalah proses perilaku rumit yang melibatkan berbagai sistem
organ yaitu sistem respirasi, fonasi, dan artikulasi, serta dipengaruhi oleh teknik
vokal dan kondisi emosional seseorang. Produksi suara merefleksikan ketiga sistem
tersebut yang bekerja secara terhubung satu sama lain.

Keluhan yang umum dikeluhkan oleh pasien dalam praktik klinis sehubungan
dengan disfonia antara lain suara parau (roughness), suara lemah (hipofonia), hilang
suara (afonia), suara tegang dan susah keluar (spastik), suara terdiri dari beberapa
nada (diploofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia), atau ketidakmampuan mencapai
nada atau intensitas tertentu.

Tidak ada data epidemiologis yang pasti mengenai gangguan suara. Terdapat
kesulitan untuk menbuat definisi disfonia fungsional yang dapat diterima secara
umum. Di Amerika Serikat, dibuat perkiraan bahwa jumlah penderita disfonia
berkisar antara 1,2-23,4% dari seluruh populasi.

Penyebab disfonia bervariasi, antara lain proses radang, neoplasma, paralisis


otot laring, sikatriks, atau kelainan sendi. Selain penyebab organik, disfonia juga bisa
disebabkan penyebab fungsional yang sering berkaitan dengan kondisi psikologis
pasien. Disfonia dapat menjadi pertanda awal dari proses penyakit yang serius pada
laring, khususnya bila prosesnya progresif kronik pada pasien usia tua terlebih jika
ditambah riwayat merokok. Karsinoma sel skuamosa adalah penyebab utama
keganasan pada laring.

Anamnesa mendetail untuk mengetahui kualitas vokal pasien yang


terganggu, onset, dan progresifitas penyakit diperlukan untuk diagnosis. Riwayat

1
pekerjaan sangat penting mengingat kemungkinan besar pasien memiliki profesi
yang berkaitan dengan penggunaan suara seperti penyanyi atau guru. Riwayat
penyakit sebelumnya dan pemakaian obat-obatan juga amatlah penting untuk
diselidiki. Pemakaian laringoskop direk, indirek, dan stroboskopi diperlukan untuk
menilai gangguan baik secara struktural dan fungsional.

Terapi berfokus pada konservasi suara dan edukasi teknik penggunaan suara
yang benar pada pasien. Medikamentosa digunakan secara konservatif, dan
diutamakan pada pasien yang memang profesinya menuntut penggunaan suara.
Intervensi bedah bergantung pada jenis penyebab disfonia, dan perlu didahului terapi
suara untuk mencegah komplikasi trauma sekunder paska operasi. Tindakan
pencegahan disfonia yang umum adalah anjuran untuk banyak minum dengan tujuan
memberi hidrasi laring dan mengatasi penyakit GERD atau laringotrakeal refluks.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI LARING

Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong. Laring menghubungkan
laringopharynx superior dan inferior dengan trakea yang terletak pada garis tengah
anterior leher pada vertebra cervicalis 4-6. Laring berbentuk piramida triangular
terbalik dengan dinding kartilago tiroid di sebelah atas dan kartilago krikoid di
sebelah bawahnya.

Tulang hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini
merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamen serta akan mengalami osifikasi
sempurna pada usia 2 tahun. Laring dibentuk oleh beberapa kartilago, ligamentum
dan otot. Tulang hyoid terdiri dari body, dua tanduk yang besar serta dua tanduk
kecil. Tulang ini tidak berartikulasi dengan tulang lainnya, berbentuk U dan
bergantung pada ujung proses styloid dari tulang temporal oleh ligamen stylohyoid.
Tulang hyoid terhubung ke kartilagi tiroid dan didukung oleh otot-otot suprahyoid
dan infrahyoid dan otot konstriktor faring tengah. Tulang hyoid mendukung akar
lidah.

Laring tersusun atas 9 kartilago. Lokasi laring dapat ditentukan dengan


inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago tiroid (merupakan kartilago
terbesar yang berbentuk seperti kapal). Pada pria dewasa bagian depannya lebih
menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adam’s apple
atau jakun. Kartilago yang terdapat pada laring yaitu: Kartilago Tiroidea (1 buah),
Kartilago Krikoidea (1 buah), Kartilago Aritenoidea (2 buah), Kartilago Kornikulata
Santorini (2 buah), Kartilago Kuneiforme Wrisberg (2 buah), Kartilago Epiglotis (1
buah).

Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang


berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior

3
kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan
dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring
serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di
sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus
kelenjar tiroid.

Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut :

1. Supraglotis (vestibulum superior)  yaitu ruangan diantara permukaan atas pita


suara palsu dan inlet laring.

2. Glotis (pars media)  yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan
pita suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni.

3. Infraglotis (pars inferior)  yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi
bawah kartilago krikoidea.

2.1.1 Kartilago

A. Kartilago Tiroidea

Kartilago tiroid adalah yang terbesar dari sembilan kartilago yang


membentuk kerangka laring, suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding
anterior dan lateral laring. Terdiri dari 2 (dua) sayap (ala tiroidea) berbentuk
seperti perisai yang terbuka di belakangnya tetapi bersatu di bagian depan dan
membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut Adam’s apple. Sudut ini
pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120 derajat.

Pada bagian atas terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau incisura
thyroidea, di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan
dengan tulang hyoid oleh ligamentum thyroidea lateralis. Pada bagian bawah
membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan posterolateral
dari kartilago krikoidea dan membentuk artikulasio krikoidea. Pada bagian
dalam perisai kartilago thyroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : plika

4
vokalis, ventrikel, otot-otot dan ligament, kartilago aritenoidea, kuneiforme serta
kornikulata.

Terdapat dua lamina yang membentuk lateral utama yang menutupi kedua sisi
trakea.  Tepi posterior dari lamina setiap berartikulasi dengan tulang rawan
krikoid inferior pada sendi yang disebut sendi krikotiroid. Gerakan tulang rawan
pada sendi ini menghasilkan perubahan dalam ketegangan di lipatan vokal ,
yang pada gilirannya menghasilkan variasi suara . Kartilago tiroidea membentuk
sebagian besar dinding anterior laring, dan berfungsi untuk melindungi plika
vokalis ("pita suara"), yang terletak tepat di belakangnya.

Gambar 1. Kartilago tiroidea

5
B. Kartilago Krikoidea

Terletak pada bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan kartilago hialin
yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alsanya terdapat di
belakang. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan
kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui
artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea
melalui ligamentum krikotiroidea.

Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan trakeostomi emergensi atau


krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus. Kartilago krikoidea pada dewasa
terletak setinggi vertebra servikalis VI – VII dan pada anak-anak setinggi
vertebra servikalis III – IV. Kartilago ini mengalami osifikasi setelah kartilago
tiroidea. Fungsi tulang rawan krikoid adalah untuk memberikan lampiran untuk
berbagai otot , tulang rawan, dan ligamen yang terlibat dalam membuka dan
menutup saluran napas dan dalam produksi suara.

C. Kartilago Aritenoidea

Merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang kartilago berbentuk


piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago krikoidea, sehingga
memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan rotasi. Dasar dari
piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis yang merupakan
tempat melekatnya m. krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral. Pada
bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita
suara. Pada tepi posterosuperior dari konus elastikus melekat ke prosesus
vokalis.

Plika vokalis merupakan dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di
atas ligamentum vokal, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam
kartilago thyroidea bagian depan dan kartilago arytenoidea bagian belakang.
Plika vokalis palsu memiliki dua lipatan membrana mukosa tepat di atas plica
vokalis sejati. Bagian ini tidak terlibat di dalam produksi suara. Ligamentum
vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan berinsersi pada garis tengah

6
kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian membranosa atau vibratorius
pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita suara ini disebut glotis.

Gambar 2. Anatomi pita suara

Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu
sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis
dari aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan terbuka dan
tertutupnya glotis.

Permukaan antero-lateral agak cembung dan kasar. Di atasnya, dekat puncak


tulang rawan, adalah elevasi bulat (colliculus) dari mana punggungan (crista
arcuata) kurva pada mundur pertama dan kemudian ke bawah dan maju
ke proses vokal.  Permukaan medial sempit, halus, dan diratakan, ditutupi
oleh selaput lendir, dan membentuk batas lateral bagian intercartilaginous
dari glottidis Rima. Fungsinya yaitu membuat plika vokalis menjadi tegang atau
santai.

D. Kartilago Epiglotis

Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior
aditus laringeus. Tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh ligamentum

7
tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas plika vokalis. Kartilago
epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong makanan ke
sebelah menyebelah laring.

E. Kartilago Kornikulata

Merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago Santorini dan


merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika.

Gambar 3. Kartilago yang menyusun laring.

8
Gambar 4. Anatomi laring yang tersusun dari kartilago, tulang,dan ligamen.

9
1

2.1.2 Ligamentum

A. Membran Tirohyoid
Membran ekstrinsik yang menghubungkan kartilago tiroidea pada tulang
hyoid, sehingga memperkuat laring. Dipisahkan dari permukaan posterior tubuh
hyoid oleh bursa. Tebal bagian median disebut ligamentum tirohyoid medial dan
bagian lateral disebut ligamen tirohyoid lateral. Ligamen lateral yang
menghubungkan ujung tanduk superior dari kartilago tiroid ke ujung tanduk yang
lebih besar dari tulang hyoid.

B. Ligamentum krikotiroid dan krikotrakeal


Ligamen ini menghubungkan lengkungan kartilago krikoid dengan kartilago
tiroid dan cincin trakea. Ligamentum krikotiroid yang berserat pada bagian
medial menghasilkan soft spot inferior pada kartilago tiroid. Pada titik ini, jalan
napas yang paling dekat dengan kulit dan paling dapat diakses.

C. Ligamentum vokal, plika vokalis dan Konus Elastikus


Ligamentum vokal elastis memanjang dari persimpangan dari lamina kartilago
tiroid anterior untuk proses vokal dari posterior tulang rawan aritenoid. Ligamen
vokal membentuk kerangka plika vokalis dan bagian tepi bebas dari elasticus
konus (ligamen krikotiroid), yang merupakan membran elastis yang memanjang
superior dari kartilago krikoid pada ligamentum vokal.
Catatan: krikotiroid ligamen atau membran = ligamentum krikovokal = 1 / 2
konus elastikus

D. Membran quadrangular dan ligamentum vestibular


Merupakan lembaran tipis jaringan ikat submukosa. Memanjang dari kartilago
aritenoid ke kartilago epiglottis. Ligamentum krikotiroid dan membran
quadrangularis, meskipun terpisah oleh interval antara ligamentum vokal dan
vestibular disebut sebagai membran fibroelastik laring.

10
E. Ligamentum epiglotis
Epiglotis melekat pada tulang hyoid oleh ligamentum hyoepiglottic. Bagian
posterior lidah oleh lipatan glossoepiglottic median. Untuk sisi faring oleh
lipatan glossoepiglottic lateral. Untuk kartilago tiroid oleh ligamentum
thyroepiglottic. Selaput lendir yang menutupi epiglottis dipantulkan ke bagian
posterior lidah sebagai salah satu lipatan medial dan dua glossoepiglottic
lateral. Antara lipatan terdapat bagian yang rendah disebut valleculae epiglottic.

Gambar 5. Ligamentum dan membran yang menyokong laring.

11
2.1.3

Otot

Otot-otot pada laring terbagi menjadi dua kelompok yang memiliki fungsi
berbeda. Yang pertama yaitu otot ekstrinsik. Otot ini memiliki fungsi untuk
menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok otot ini
menggerakkan laring secara keseluruhan.

Otot ini terdiri dari :

1. Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator


laring, yaitu :

 M. Stilohioideus

 M. Milohioideus

 M. Geniohioideus

 M. Digastrikus

 M. Genioglosus

 M. Hioglosus
Gambar 7. Otot-otot ekstrinsik

2. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu :

 M. Omohioideus

 M. Sternokleidomastoideus

 M. Tirohioideus

Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2 dan C3 dan


penting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara (fonasi). Muskulus

12
konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat pada linea
oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting pada proses deglutisi.

Yang kedua yaitu otot intrinsik. Otot ini menghubungkan kartilago satu
dengan yang lainnya. Berfungsi untuk menggerakkan struktur yang ada di dalam
laring terutama untuk membentuk suara dan bernafas. Otot-otot pada kelompok ini
berpasangan kecuali m. interaritenoideus yang serabutnya berjalan transversal dan
oblik. Fungsi otot ini dalam proses pembentukkan suara, proses menelan dan
bernafas. Bila m. interaritenoideus berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis
tengah sehingga menyebabkan adduksi pita suara.

Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah :

1. Otot-otot adduktor  berfungsi untuk menutup pita suara

 M. Interaritenoideus transversal dan oblik

 M. Krikotiroideus

 M. Krikotiroideus lateral

2. Otot-otot abduktor  berfungsi untuk membuka pita suara

 M. Krikoaritenoideus posterior

3. Otot-otot tensor :

 Tensor Internus : M. Tiroaritenoideus dan M. Vokalis

 Tensor Eksternus : M. Krikotiroideus

Berfungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m. tensor


internus kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara melengkung ke
lateral mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.

13
Gambar 8. Otot-otot intrinsik pada laring.

14
2.1.4 Persendian

 Artikulasio Krikotiroidea

Merupakan sendi antara kornu inferior kartilago tiroidea dengan bagian posterior
kartilago krikoidea. Sendi ini diperkuat oleh 3 (tiga) ligamentum, yaitu :
ligamentum krikotiroidea anterior, posterior, dan inferior. Sendi ini berfungsi
untuk pergerakan rotasi pada bidang tiroidea, oleh karena itu kerusakan atau
fiksasi sendi ini akan mengurangi efek m. krikotiroidea yaitu untuk
menegangkan pita suara

 Artikulasio Krikoaritenoidea

Merupakan persendian antara fasies artikulasio krikoaritenoidea dengan tepi


posterior cincin krikoidea. Letaknya di sebelah kraniomedial artikulasio
krikotiroidea dan mempunyai fasies artikulasio yang mirip dengan kulit silinder,
yang sumbunya mengarah dari mediokraniodorsal ke laterokaudoventral serta
menyebabkan gerakan menggeser yang sama arahnya dengan sumbu tersebut.
Pergerakan sendi tersebut penting dalam perubahan suara dari nada rendah
menjadi nada tinggi.

2.1.5 Persarafan

Laring dipersarafi oleh cabang saraf vagus yaitu saraf Laringeal Superior dan
saraf Laringeal Inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
sensorik. Nervus laringeal superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga
memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Nervus laringeal
inferior merupakan lanjutan dari saraf rekuren setelah bercabang. Nervus rekuren
merupakan cabang dari n.vagus. (Nn. Laringeal Rekuren) kiri dan kanan.

1. Nn. Laringeal Superior.

Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan


dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan
bercabang dua, yaitu : Cabang Interna  bersifat sensoris, mempersarafi

15
vallecula, epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita
suara sejati. Cabang Eksterna  bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid
dan m. Konstriktor inferior.

2. Nn. Laringeal Inferior (N. Laringeus Rekuren).

Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di
belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeal yang kiri mempunyai perjalanan
yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu.

Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan


membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya
akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan
persarafan : sensoris  mempersarafi daerah subglotis dan bagian atas trakea,
Motoris  mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea

Gambar 9. Persarafan Laring

16
2.1.6 Vaskularisasi

Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai
A. Laringeal Superior dan Inferior.

1. Arteri Laringeal Superior

Berjalan bersama ramus interna N. Laringeal Superior menembus membrana


thyrohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus
pyriformis. 4

2. Arteri Laringeal Inferior

Berjalan bersama N. Laringeal Inferior masuk ke dalam laring melalui area


Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus
Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeal Superior dan
memperdarahi otot-otot dan mukosa laring

Darah vena dialirkan melalui V. Laringeal Superior dan Inferior ke V. Tiroidea


Superior dan Inferior yang kemudian akan bersatu pada V. Jugularis Interna.

Gambar 10. Vaskularisasi laring


2.1.7 Sistem Limfatik

Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu :

17
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk
saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical
superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular
node.

2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea,
middle jugular node, dan inferior jugular node.

3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem
limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase
karsinoma laring dan menentukan terapinya.

Struktur Laring
1. Aditus Laringeus

Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral
oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi
atas m. aritenoideus.

2. Rima Vestibuli  Merupakan celah antara pita suara palsu.

3. Rima glottis  Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di


belakang antara prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea.

4. Vallecula  Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis


lidah, dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.

5. Plika Ariepiglotika  Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare


yang berjalan dari kartilago epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago
kornikulata.

6. Sinus Pyriformis (Hipofaring)  Terletak antara plika ariepiglotika dan


permukaan dalam kartilago tiroidea

7. Incisura Interaritenoidea  Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum


kornikulatum kanan dan kiri.

18
8. Vestibulum Laring  Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana
kuadringularis, kartilago aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago
aritenoidea dan m.interaritenoidea.

9. Plika Ventrikularis (pita suara palsu)  pita suara palsu yang bergerak
bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk menutup glottis dalam
keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari selaput lendir dengan
jaringan ikat tipis di tengahnya. Pada saat kelahiran sampai 6 bulan pertama
kehidupan pita suara palsu dilapisi oleh sel kolumnar bersilia, yang seiring
pertumbuhan akan muncul sedikit bagian yang akan dilapisi sel skuamosa
bertingkat.

10. Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)  ruangan antara pita suara
palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel terdapat suatu
divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan permukaan
dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan
beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara
sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring.

11. Plika Vokalis (pita suara sejati)  Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per
lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis dan celahnya disebut
intermembranous portion, dan dua per lima belakang dibentuk oleh prosesus
vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion.

Plika vokalis terlindungi oleh suatu lapisan tipis epitel squamous bertingkat,
berlainan dari lapisan epitel dari permukaan lain dari larynx dan trakea.
Dibawahnya terdapat lamina propria, yang dikenal sebagai Reinke’s space,
adalah suatu lapisan lembut yang terdiri dari protein termasuk elastin,
kolagen dan elemen ekstraseluler lainnya.9

19
Lamina propria dari pita suara sejati adalah jaringan ikat longgar atau padat
yang terletak di antara ligamentum vokal dan epitel skuamosa. Lamina
propria pada pita suara sejati yang disebut juga sebagai Reinke’s space berisi
beberapa sedikit pembuluh darah kapiler retapi hampir tidak memiliki saluran
limfatik dan hanya jarang memiliki sedikit kelenjar seromusinosa. Karena
akses vaskular terbatas, karsinoma terbatas pada pita suara sejati dan
cenderung tetap terlokalisasi sehingga radiasi atau eksisi lokal sangat
dimungkinkan. Drainase limfatik Reinke’s space yang jumlahnya secara
histologis memang sedikit juga mungkin memberikan kontribusi terhadap
perkembangan nodul pita suara dan polip ketika sejumlah cairan abnormal
mengumpul di wilayah ini. Penyalahgunaan vokal atau infeksi saluran
pernapasan atas sering menghasilkan edema pada wilayah ini dan
bermanifestasi klinis sebagai suara serak atau disfonia.10

20
21
2.2 FISIOLOGI LARING

Laring memiliki 3 fungsi utama yaitu fonasi, respiratori dan proteksi disamping
beberapa fungsi lainnya.

1. Fungsi fonasi
Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya
interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh
adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya
ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea,
faring, dan hidung.
Terdapat dua teori mengenai pembentukan suara yaitu :
Teori Myoelastik – Aerodinamik.
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak
langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-
otot laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai
variasi) dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-
otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan
menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan
mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis
terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke
anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang
pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali
pada akhir siklus glotal. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan
udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali
ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis
melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah
akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan
negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan
kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang
subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.

22
Gambar 12. Siklus glottal

Teori Neuromuskular.
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal
dari getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf
pusat melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut
teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan
banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi
dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara
masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis
bilateral).

2. Fungsi respiratori
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar
rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga
kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh
tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan
menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan

23
merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring
mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan
pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan
parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

3. Fungsi proteksi
Laring berfungsi untuk mencegah adanya benda asing masuk ke dalam trakea
dengan adanya refleks dari otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima
glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat
adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut
afferen N. Laringeal Superior sehingga sfingter dan epiglotis menutup.
Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring
tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral
menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

4. Fungsi lainnya

Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat


berlangsungnya proses menelan, yaitu : pada waktu menelan faring bagian
bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M.
Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan
kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian
makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran
pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring
oleh epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan
penutup aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke
lateral menjauhi aditus laring dan masuk ke sinus piriformis lalu ke hiatus
esofagus.

Fungsi sirkulasi  Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan


penurunan dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada
venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat

24
menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena
adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus
Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini
terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut
jantung.

2.3 DEFINISI

Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang


disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang
bersifat organik maupun fungsional. Disfonia bukan merupakan suatu
penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau kelainan pada laring.

Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran,


gangguan dalam ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (adduksi)
kedua pita suara kiri dan kanan akan menimbulkan dsifonia.

Keluhan gangguan suara tidak jarang kita temukan dalam klinik. Gangguan
suara atau disfonia ini dapat berupa suara yang terdengar kasar dengan nada
lebih rendah dari biasanya (suara parau), suara lemah (hipofonia), hilang
suara (afonia), suara tegang dan sulit keluar (spastik), suara yang terdiri dari
beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia)

2.4 ETIOLOGI

Faktor penyebab suara serak sangat banyak (Tabel 1). Hilangnya suara secara
total dengan onset tiba-tiba disebut aphonia, yang lebih mungkin disebabkan oleh
kelainan neurologis atau psikogenik daripada lesi organik.

Penyebab suara serak dapat bermacam-macam, diantaranya :

1. Kelainan kongenital

a. Laringomalasia merupakan penyebab tersering suara serak saat bernafas


pada bayi baru lahir

25
b. Laryngeal web merupakan suatu selaput jaringan pada laring yang sebagian
menutup jalan udara. 75 % selaput ini terletak diantara pita suara, tetapi
selaput ini juga dapat terletak diatas atau dibawah pita suara.

c. Cri du chat syndrome dan Down syndrome merupakan suatu kelainan


genetic pada bayi saat lahir bermanifestasi klinis berupa suara serak atau
stridor saat bernafas.

d. Paralisis pita suara bisa terjadi pada saat lahir, baik satu atau kedua pita
suara. Tumor pada rongga dada (mediastinum) atau trauma saat lahir dapat
menyebabkan kerusakan saraf pada laring yang mempersarafi pita suara.

2. Infeksi

a. Infeksi virus merupakan infeksi yang paling banyak menyebabkan suara


serak. Virus penyebab yang paling sering adalah rinovirus (common cold),
adenovirus, influenza virus.

b. Infeksi bakteri seperti epiglottitis bacterial oleh Haemophilus influenza type


B merupakan salah satu penyebab tersering. Penyebab lain Streptococcus
pneumonia, Staphylococcus aureus.

c. Infeksi jamur seperti candida pada mulut dan tenggorok, ini merupakan
komplikasi yang dapat terjadi pada anak atau orang dewasa dengan
imunosupresi (HIV, kemoterapi, dll).

3. Inflamasi

Berkembangnya nodul, polip atau granuloma pada pita suara dapat diakibatkan oleh
iritasi dan inflamasi yang kronis pada pita suara yang sering terjadi pada perokok,
terpapar racun dari lingkungan, dan penyalahgunaan suara.

a. Nodul paling sering didapatkan pada anak-anak dan wanita, ada hubungan
dengan penyalahgunaan suara. Nodul ini timbul bilateral, lembut, lesinya
bulat terletak pada sepertiga anterior dan dua pertiga posterior dari pita
suara.

b. Polip lebih sering didapatkan pada laki-laki dan sangat kuat hubungannya
dengan rokok, polip berupa massa lembut, bisa tunggal ataupun multiple,
dan paling sering unilateral.

26
c. Kista laryngeal biasanya berupa sumbatan kelenjar mucus atau kista inklusi
epitel dan akan menyebabkan perubahan suara jika terdapat atau dekat
dengan tepi bebas pita.

d. Gastroesophageal reflux disease.

4. Neoplasma

a. Papilloma merupakan tumor jinak yang sering didapatkan pada saluran


pernafasan. Disebabkan oleh HPV.

b. Hemangioma merupakan tumor jinak pembuluh darah

c. Limphagioma merupakan tumor pembuluh limfa, sering timbul di daerah


kepala, leher.

d. Tumor ganas misalnya karsinoma laring.

5. Trauma

a. Trauma laring dapat disebabkan antara lain :

b. cedera eksternal à kecelakaan kendaraan

c. cedera penetrasi à kasus penembakan

d. Intubasi à pemakaian ventilator jangka panjang

6. Sistemik

a. Endokrin : hypothyroidisme, acromegaly

b. Rheumatoid arthritis berdampak pada kaitan antar sendi pada laring.

c. Penyakit Granulomatous contoh sarcoid, syphilis, TBC.

Lesi dari pita suara (vocal folds) lebih sering menghasilkan gejala vokal dengan onset bertahap, sering dimulai sebentar-sebentar dan

kemudian menjadi konstan dan kadang-kadang memburuk seiring berjalannya waktu. Pasien mungkin mengalami kesulitan memproyeksikan suara

mereka karena adanya lesi pada pita suara atau kelumpuhan yang mengganggu penutupan glotis. Pada pasien dengan pemeriksaan laring yang

normal, kesulitan meningkatkan intensitas suara mungkin juga mencerminkan dorongan aliran pernapasan yang tidak memadai karena penyakit

utama pada paru-paru, gangguan neurologis, atau teknik yang tidak sesuai. Produksi suara yang jelas membutuhkan koordinasi antara respirasi,

fonasi, dan artikulasi. Teknik yang tidak tepat (misalnya, berbicara sambil menahan nafas atau dengan regangan otot yang berlebihan di daerah

27
leher) dapat mengakibatkan disfonia. Selain itu, gangguan pencernaan adalah penyebab umum dari keluhan gangguan suara. Tanda

laryngotracheal reflux yaitu suara serak yang lebih buruk pada waktu bangun di pagi hari dan berhubungan dengan peningkatan dahak, heartburn,

dan seringnya membersihkan tenggorokan.1

Tabel 1. Singkatan untuk etiologi disfonia: VINDICATE


Vaskular (thoracic aneurysm)
Inflamasi
Neoplasma ( kanker laring dan kanker hilum kiri pada paru)
Degeneratif (amyotrophic lateral sclerosis)
Intoksikasi (merokok, alkohol)
Congenital (laryngeal web)
Alergi (angioedema)
Trauma dan operasi kelenjar tiroid
Endokrin (reidel’struma)

Gejala vokal (yaitu, kelelahan, penurunan artikulasi, atau hypernasality)


dapat merupakan indikasi dari gangguan neurologis. Secara umum, hypernasality
sering disebabkan oleh etiologi neurologis. Hypernasality iatrogenik dapat terjadi
setelah prosedur bedah yang menciptakan pembukaan antara rongga mulut dan
hidung atau mengganggu persarafan neurologis. Pola perkembangan gejala mungkin
menunjukkan peristiwa neurologis statis seperti sebagai kecelakaan serebrovaskular,
penurunan progresif seperti pada penyakit neuromuskular, atau kesulitan intermiten,
yang mungkin bisa konsisten dengan gangguan seperti multiple sclerosis atau
myasthenia gravis.

Ketidakseimbangan hormon mempengaruhi produksi vokal dengan


menyebabkan akumulasi cairan di lapisan superfisial dari lamina propria, yang
mengubah kemampuan getaran. Pasien dengan hipotiroidisme dapat hadir dengan
suara bernada rendah yang abnormal. Pasien wanita mungkin mengalami gangguan
vokal sementara ketika menjelang menstruasi, yang mungkin berhubungan dengan
beban cairan (fluid loading). Peningkatan massa menyebabkan pita suara bergetar
lebih lambat sehingga menghasilkan nada rendah. Peningkatan penggunaan obat
anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) selama menstruasi juga dapat mempengaruhi
pasien untuk mengalami perdarahan akut pita suara. Periode pertumbuhan pubertas
mempengaruhi baik laki-laki dan perempuan, sehingga tingkat lapangan produksi

28
suara lebih rendah. Perubahan hormonal yang dialami selama menopause juga dapat
menghasilkan penurunan dalam frekuensi dasar.1

Kondisi medis kronis juga dapat mempengaruhi suara. Pasien yang


mengalami penurunan kesehatan fisik akibat penyakit jantung atau penyakit utama
lainnya mungkin tidak memiliki dukungan paru yang cukup untuk mempertahankan
dan memproyeksikan suara mereka. Tergantung pada etiologi yang mendasari, gejala
mungkin dapat diperbaiki dengan latihan. Selain itu, arthritis dapat mempengaruhi
sendi krikoaritenoid, yang mengakibatkan rasa sakit saat berbicara, suara serak, dan
variasi nada (pitch) terbatas.

Saluran vokal membutuhkan pelumasan yang baik. Setiap agen yang


mengeringkan lapisan mukosa mungkin mengganggu produksi vokal yang normal.
Kekeringan ini akan menyebabkan sekret menjadi lebih kental, membuat sekret
menempel dan memberikan sensasi pada pasien untuk perlu membersihkan
tenggorokan. Beberapa obat dan zat dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir
saluran vokal.

Gangguan psikologis sering tercermin dalam suara dan mungkin menjadi


penyebab utama dari gangguan suara. Sebagai contoh, suara pasien depresi biasanya
berkurang dalam kenyaringan. Stres juga memainkan peranan penting. Kemampuan
untuk mengatasi tekanan hidup sehari-hari dapat memicu atau mengabadikan
gangguan suara yang ada. Secara umum, stres tampaknya memperburuk semua
masalah tetapi seharusnya tidak akan overgeneralized sebagai penyebab yang
mendasari.

2.5 MANIFESTASI KLINIS

1. Radang

Radang laring dapat akut atau kronis, radang akut dapat disebabkan karena
laryngitis akut, gejala seperti suara parau sampai tidak dapat bersuara lagi (afoni),
nyeri ketika menelan atau berbicara, demam, malaise, dan dapat disertai batuk
kering yang lama kelamaan disertai dahak. Sedangkan radang kronis nonspesifik
dapat terjadi pada laryngitis kronis yang biasanya disebabkan karena sinusitis

29
kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung, bronchitis kronis, dan dapat
disebabkan karena penyalahgunaan suara pada seseorang.

 Gejala

Gejala yang timbul seperti suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok,
sehingga pasien sering mendeham tanpa mengeluarkan secret, karena mukosa
yang menebal. Radang kronis yang spesifik dapat disebabkan karena laryngitis
tuberculosis, gejala nya seperti rasa kering,panas dan tertekan didaerah laring,
suara parau selama berminggu-minggu dan dapat berlanjut menjadi afoni,
hemoptisis, nyeri menelan yang sangat hebat, batuk kronis, berat badan menurun,
dan keringat pada malam hari.

2. Neoplasma

 Gejala

Terdapat tumor jinak laring yaitu nodul pita suara yang dapat disebabkan
penyalahgunaan suara dalam waktu yang sangat lama, dengan gejala suara parau
dan kadang-kadang disertai batuk. Polip pita suara juga termasuk lesi jinak laring
dengan gejala suara parau. Kista pita suara termasuk kista kelenjar liur minor
laring, terbentuk akkibat tersumbatnya kelenjar tersebut, faktor iritasi kronis,
refluks gastroesofageal diduga berperan sebagai faktor predisposisi, dengan gejala
suara parau.

3. Paralisis otot laring

 Gejala

Gejala kelumpuhan pita suara adalah suara parau, stridor atau bahkan disertai
kesulitan menelan yang tergantung pada penyebabnya. Jika penyebabnya lesi
intrakranial, maka akan muncul gejala kelainan neurologik. Jika penyebabnya
adalah perifer, seperti tumor tiroid, penyakit jantung, maka gejalanya akan
disertai gejala yang sesuai dengan penyebabnya.

2.6 DIAGNOSIS

Evaluasi penilaian suara serak meliputi penilaian faktor anatomi, fisiologis,


dan perilaku yang mempengaruhi produksi vokal secara keseluruhan. Penilaian
dimulai dengan deskripsi dari suara, simtomatologi, dan riwayat medis dan sosial.
Visualisasi laring diperlukan untuk menentukan status dari pita suara. Secara umum,
pemeriksaan laring harus dilakukan setiap kali suara serak berlangsung lama lebih

30
dari 2 minggu. Pada kasus-kasus khusus, prosedur diagnostik yang lebih canggih
dapat diindikasikan.

Kualitas vokal dapat dideskripsikan menggunakan berbagai istilah subjektif


termasuk serak, parau , keras, atau desah.. Namun, tidak ada dari seluruh istilah ini
merupakan diagnostik. Sebaliknya, tingkat keparahan disfonia dapat dinilai dengan
mengamati abnormalitas pada pitch, kenyaringan, atau fluktuasi dalam kualitas
vokal.1

2.6.1 Anamnesa

Evaluasi pasien dengan disfonia dimulai dengan anamnesa yang cermat.


Anamnesa yang rinci sangat membantu untuk menggambarkan secara spesifik
karakteristik suara dan faktor sosial dan medis yang berkontribusi. Hampir setiap
sistem tubuh dapat menyebabkan keluhan suara; karena itu, anamnesa harus
menyelidiki seluruh bidang. Persepsi pasien mengenai suara serak sebagai perubahan
dalam kualitas suara mungkin sama sekali berbeda dari pemahaman dokter mengenai
gejala tersebut. Minta pasien untuk menggambarkan perubahan kualitas suara
sespesifik mungkin, karena kualitas vokal mungkin menunjukkan etiologi spesifik
(Tabel 2). Pastikan onset, durasi, dan waktu perubahan suara, serta apakah ada
fluktuasi vokal dan kelelahan suara. Gejala akut lebih mungkin terkait dengan
penyalahgunaan vokal, infeksi atau inflamasi, atau cedera akut.

Tanyakan pasien tentang pola pengunaan suara dan permintaan vokal dalam
pekerjaan dan lingkungan. Pasien dapat menggunakan suara mereka cukup berbeda
di tempat kerja dibandingkan dengan ketika bersosialisasi atau berada di rumah.
Berbicara lebih dari kebisingan latar belakang yang berlangsung dalam waktu lama,
bekerja atau merawat anak-anak muda, bersorak di acara olahraga, atau bernyanyi
tanpa menggunakan teknik yang optimal dapat menyebabkan gangguan suara
hiperfungsional1.

Menanyakan informasi mengenai segala obat atau zat yang dapat


berkontribusi untuk pengeringan selaput lendir saluran vokal adalah penting. Zat-zat
ini termasuk antihistamin, diuretik, obat psikotropika, tembakau, produk yang

31
mengandung kafein (kopi, teh, soda, dan cokelat), alkohol, dan dosis tinggi vitamin
C. Selain itu, obat anti-inflamasi nonsteroidal (NSAID) seperti ibuprofen atau aspirin
dapat berkontribusi untuk terjadinya perdarahan pita suara karena sifat antikoagulan
dari agen ini1.

Semua pasien dengan suara serak yang menetap selama lebih dari dua
minggu yang tidak disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, memerlukan
evaluasi. Anamnesa dapat menghasilkan informasi penting untuk mempersempit
diagnosis banding. Setiap pasien dengan suara serak dan riwayat penggunaan
tembakau, diagnosis pertama yang perlu dipertimbangkan adalah kanker kepala dan
leher, karena suara serak sering menjadi satu-satunya gejala yang muncul.

Tanyakan mengenai gejala lain yang menyertai seperti nyeri, sulit menelan,
batuk atau sesak napas, gejala gastroesophageal reflux, seperti rasa asam di mulut di
pagi hari; penyakit sinonasal yang berkaitan (rhinitis alergi atau sinusitis kronis).
Pasien juga harus ditanya tentang riwayat operasi di kepala dan leher sebelumnya
atau operasi lain yang membutuhkan intubasi1.

TABEL 2. Petunjuk klinis yang menunjukkan penyebab spesifik dari suara serak

Kualitas vokal Kemungkinan penyebab

Desah Arthritis, disfonia spasmodik atau fungsional, masa pada


pita suara, paralisis pita suara

Ragu-ragu. Tercekik Disfonia spasmodik

Parau, serak, teredam, Parkinson disease


atau sengau

Serak memburuk pada Laryngopharyngeal reflux(LPR)


pagi hari

Serak memburuk pada Myasthenia gravis, penyalahgunaan vokal


akhir hari (sore)

Seperti klakson Sarkoidosis


(Honking)

Bernada rendah Hipotiroid, laryngopharyngeal reflux, leukoplakia,

32
muscle tension dysphonia, edema Reinke, edema pita
suara, paralisis pita suara

Keras (raspy) Laryngopharyngeal reflux, muscle tension dysphonia, lesi


pita suara

Scanning speech dan Multiple sclerosis


disartria

Lemah (volume suara Paralisis pita suara, Parkinson disease


menurun)

Suara menghilang, Conversion aphonia


tetapi suara bisikan
baik

Tegang, artikulasi Muscle tension dysphonia


dipaksakan

Tegang Laryngopharyngeal reflux, muscle tension dysphonia,


disfonia spasmodik

Tebal, suara dalam Akromegali


dan berbicara lamban

Kelelahan vokal Muscle tension dysphonia, myasthenia gravis, Parkinson


disease, penyalahgunaan vokal

2.6.2 Pemeriksaan Klinik

Pemeriksaan klinik pada pasien dengan disfonia meliputi pemeriksaan umum


(status generalisata) dan pemeriksaan THT (Telinga, Hidung, dan Tenggorok).
Pemeriksaan fisik dilakukan secara teliti dengan perhatian khusus pada bagian
kepala dan leher, dilanjutkan dengan penilaian ketajaman pendengaran, mukosa
saluran napas atas, mobilitas lidah dan fungsi saraf kranial. Jika kecurigaan klinis
tinggi, pasien juga harus diperiksa untuk tanda-tanda penyakit sistemik seperti
hipotiroidisme, atau disfungsi neurologis, seperti tremor, penyakit Parkinson atau
multiple sclerosis2,3.

33
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang

A. Visualisasi laring

Visualisasi laring memungkinkan penilaian pita suara dan melihat apakah


terdapat lesi, atau eritema, atau edema mukosa, serta gerakan abnormal yang
mungkin menunjukkan masalah sistemik yang mendasari.

Laringoskopi tidak langsung (indirek). Visualisasi laring dapat dilakukan


melalui pemeriksaan laringoskopi tidak langsung dengan menggunakan kaca
laring.

Gambar 13. Laringoskopi indirek menggunakan kaca laring.

Laringoskopi langsung (direk). Apabila diperlukan visualisasi yang lebih


detail, pencahayaan, dan pembesaran, dapat dilakukan laringoskopi langsung
dengan menggunakan teleskop laring baik yang kaku (rigid telescope) atau serat
optik (fiberoptic telescope atau nasofaringoskopi fleksibel) atau mikroskop
(mikrolaringoskopi). Pada laringoskopi langsung dapat juga dilakukan biopsi
tumor dan menentukan perluasannya (staging) atau bila diperlukan tindakan
(manipulasi) bagian tertentu pada laring seperti aritenoid, plika vokalis, plika
ventrikularis, daerah komisura anterior atau subglotik. Pengunaan teleskop ini

34
dapat dihubungkan dengan alat video (video-laringoskopi) sehingga akan
memberikan visualisasi laring yang lebih jelas baik dalam keadaan diam (statis)
maupun pada saat bergerak (dinamis).14

A A B
Gambar 14. Gambar A menunjukkan laringoskopi direk menggunakan laringoskop dan
Gambar 12. teleskop
Gambar laring
A menunjukkan laringoskopi
kaku (rigid). Gambar Bdirek menggunakan
menunjukkan laringoskop
laringoskopi direk dan
menggunakan
teleskop laring kaku (rigid). Gambar B menunjukkan laringoskopi direk menggunakan
nasofaringoskopi fleksibel atau fiber optic.
nasofaringoskopi fleksibel atau fiber optic.

Video-stroboskopi (Strobovideolaryngoscopy). Pita suara biasanya bergetar


selama berbicara, bernyanyi atau bersenandung pada tingkat 80 sampai 400 kali
per detik. Getaran ini terlalu cepat untuk dapat dilihat dengan mata telanjang,
karena itu, tidak dapat sepenuhnya dievaluasi dengan laringoskopi tidak langsung
(kaca laring).Visualisasi laring dan pita suara secara dinamis akan lebih jelas
dengan menggunakan video-stroboskopi dimana gerakan pita suara dapat
diperlambat (slowmotion) sehingga dapat dilihat getaran (vibrasi) pita suara dan
gelombang mukosanya (mucosal wave). Video-stroboskopi dilakukan dengan
menggunakan teleskop yang kaku dengan sudut 700 atau nasofaringoskopi
fleksibel. Video-stroboskopi ini penting terutama dalam mengevaluasi kasus lesi
halus yang mempengaruhi getaran pita suara. Mode ini memungkinkan untuk

35
penemuan lesi kecil seperti bekas luka pada pita suara, perdarahan, kista
intracordal, atau invasi epitelial pada awal karsinoma glotis.3,4

B. Penilaian Suara dan Aliran Udara


1. Penilaian Suara Objektif
Selain secara anatomis fungsi laring dan pita suara juga dapat dinilai dengan
menganalisa produk yang dihasilkannya yaitu suara. Analisa suara dapat
dilakukan secara perseptual yaitu dengan mendengarkan suara dan meilai
derajat (grade), kekasaran (roughness), keterengahan (breathyness),
kelemahan (astenitas), dan kekakuan (strain). Penilaian suara secara objektif
mendokumentasikan status suara pada saat evaluasi dan menetapkan dasar
untuk perbandingan lebih lanjut setelah pengobatan. Hasilnya juga dapat
dibandingkan dengan data normatif yang telah ditentukan. Cara sederhana
mendokumentasikan suara adalah melalui rekaman suara. Namun,
perekaman (audiotape) masih bersifat subjektif. Perubahan halus dalam
produksi suara sulit untuk dinilai. Analisis yang lebih canggih meliputi
analisis akustik dan aerodinamis1.

2. Analisis akustik
Analisis akustik memeriksa energi dalam sinyal listrik yang mewakili suara.
Pengukuran spesifik dapat diambil untuk mengukur keteraturan getaran pita
suara. Istilah frekuensi dasar mengacu pada jumlah getaran pita suara per
detik dan berkorelasi dengan persepsi pitch. Pita suara pria dewasa bergetar
antara 100 dan 130 Hz, sedangkan pita suara perempuan bergetar antara 200
dan 230 Hz. Tingkat nada tinggi abnormal untuk usia dan jenis kelamin
mungkin berhubungan dengan hiperkontraksi dari otot krikotiroid dan
mungkin merupakan disfonia fungsional atau kompensasi. Rentang pitch
dapat diukur dan berkorelasi dengan fleksibilitas dari otot intrinsik laring.
Orang dewasa sehat mampu menghasilkan rentang tiga oktaf, meskipun
biasanya hanya empat sampai lima nada yang digunakan dalam percakapan
umum. Sekarang ini analisis akustik dilakukan dengan menggunakan
program komputer seperti CSL (Computerized Speech Laboratory),

36
Multyspeech, ISA (Intelegence Speech Analysis), dan MDVP (Multi
Dimensional Voice Programe). Hasil pemeriksaan ini berupa parameter-
parameter akustik dan spektrogram dari gelombang yang dianalisis, yang
kemudian dapat dibandingkan antara suara yang normal dan yang
mengalami gangguan.

3. Analisis aerodinamika
Suara tergantung pada dukungan napas yang konstan, dengan demikian,
bahkan masalah pernapasan halus dapat mengakibatkan disfungsi suara.
Pengukuran aerodinamika berguna dalam mengukur aliran udara selama
respirasi dan fonasi. Skrining fungsi paru dapat dilakukan untuk
menyingkirkan segala masalah yang mendasari pada paru-paru yang
mungkin mencegah kapasitas yang memadai untuk aliran udara yang teratur
selama mengeluarkan suara. Waktu fonasi maksimum (Maximum Phonation
Time - MPT) adalah ukuran jumlah waktu pasien dapat mempertahankan
suara vokal pada satu napas. Orang dewasa sehat biasanya dapat
memperpanjang vokal untuk antara 15 dan 25 detik. Penurunan nilai MPT
biasanya berhubungan dengan penutupan glotis yang tidak sempurna dan
kehilangan udara dan/atau penggunaan yang tidak efisien (yaitu, suatu
kelainan) dalam mendukung paru-paru. Penyanyi, pelari jarak jauh, dan
perenang sering mampu mempertahankan suara yang lebih lama dari 25
detik; namun nilai tersebut masih berada dalam batas normal dan merupakan
penurunan fungsi saat pasien ini hadir dengan gangguan suara.

4. Penilaian aliran udara glotal (glottal airflow)


Penilaian aliran udara glotal adalah pengukuran sensitif yang menangkap
jumlah udara yang melewati pita suara selama fonasi. Aliran udara glotal
(cc/detik) yang diukur dengan membagi total volume udara yang melewati
pita suara selama fonasi oleh jumlah waktu dalam detik. Aliran glotal
memberikan informasi mengenai fungsi sumber daya dan efisiensi pita suara
dalam mengendalikan aliran udara. Peningkatan aliran udara glotal biasanya
dikaitkan dengan penutupan glotis yang tidak sempurna. Pasien biasanya

37
datang dengan suara desah atau bisikan. Peningkatan aliran udara glotal
sering terlihat pada pasien dengan kelumpuhan pita suara unilateral.
Penurunan aliran udara glotal lebih biasanya ditemukan pada pasien
denganhiperaduksi pita suara (disfonia spasmodik).
C. Pemeriksaan penunjang lainnya

Ketika imobilitas pita suara terdeteksi, diferensial diagnosis termasuk cedera


denervasi atau fiksasi krikoaritenoid. Ketika dilakukan dalam 6 bulan dari
cedera, elektromiografi (EMG) mungkin dapat menjelaskan etiologi: cedera
denervasi biasanya menunjukkan tanda-tanda denervasi pada EMG, dan fiksasi
krikoaritenoid menunjukkan aktivitas listrik normal.1

Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan meliputi pemeriksaan


laboratorium, pemeriksaan radiologi, mikrobiologi dan patologi anatomi.

2.7 TATALAKSANA

Penatalaksanaan disfonia atau disebut juga suara serak diawali dengan diagnosis
yang tepat dan terapi yang sesuai dengan diagnosis dan etiologi tersebut. Diagnosis
disfonia berupa anamnesis, pemeriksaan klinik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi
dapat berupa medikamentosa, vocal hygiene, terapi suara dan bicara serta tindakan
operatif.3

38
Peranan Terapi Suara
Kebanyakan gangguan suara memiliki etiologi multifaktorial yang terkait
dengan iritasi dari refluks , alergi, merokok, hidrasi yang tidak memadai,
penyalahgunaan vokal,dan / atau vokal kronis yang berfungsi berlebihan. Nodul
pada pita suara jarang disebabkan oleh episode berteriak ; adapun kombinasi
paparan iritasi dan penyalahgunaan merupakan penyebab lebih sering. Rehabilitasi
diarahkan untuk membangun keseluruhan kebersihan vokal dan mendidik pasien
tentang konservasi vokal. Komponen utama dari terapi suara melibatkan tentang
edukasi pasien tentang anatomi dasar dan fisiologi mekanisme produksi vokal.
Pasien harus memahami hubungan antara gangguan suara yang spesifik dan faktor
penyebab. Pemahaman ini memfasilitasi kerjasama dengan regimen terapi.

Konservasi Vokal
Pasien dengan gangguan suara yang disebabkan karena fungsi berlebihan
harus dinasehati mengenai metode-metode konservasi vokal. Mengistirahatkan
suaranya , jarang diperlukan kecuali dalam kasus-kasus perdarahan pita suara akut.
Sedangkan istirahat vokal memungkinkan perbaikan pembengkakan jaringan ,namun
perbaikan suara bersifat sementara dan disfonia dapat kembali sampai perilaku
vokal lebih tepat dipelajari.

39
Konservasi vokal adalah metode yang lebih praktis dan realistis mengurangi
penggunaan vokal, terutama pada pasien dengan penyalahgunaan vokal perilaku.
Mengurangi sumber yang jelas dari penyalahgunaan vokal (misalnya, berteriak dan
menjerit) hanya bagian dari program. pembersihan tenggorokan berulang seperti
berdeham adalah iritan plika vokalis dan harus dihindari.
Metode konservasi vokal bersifat individu dengan gaya hidup spesifik
pasien. Berbicara melebihi latar belakang suara harus dihindari (imsalnya, musik di
mobil atau televisi) adalah sumber umum dari contoh yang tak perlu. Dalam
beberapa kasus, suara kerja tidak dapat dihindari, namun pasien dapat mengambil
manfaat dari menggunakan ‘ amplifier’ misalkan pada guru sekolah yang harus
mengeluarkan suara mereka untuk mendapatkan perhatian para siswa muda mereka
dapat menggunakan peluit untuk mencapai tujuan yang sama.

Terapi Perilaku Suara


Terapi perilaku suara juga dapat diindikasikan untuk meningkatkan aspek
teknis penggunaan suara. Terapi perilaku mencakup dukungan napas perut,
penggunaan level intensitas ‘pitch’ yang tepat, memperbaiki kalimat, dan teknik
khusus lainnya.4
Umpan balik sangat penting untuk proses terapi untuk memberikan pasien
kemampuan untuk membedakan antara target perilaku vokal dan perilaku yang tidak
tepat. Auditori, visual, sensorik, dan isyarat kinestetik semua digunakan untuk
meningkatkan kemampuan pasien untuk memantau suara dalam sesi latihan. Mesin
‘biofeedback’ yang canggih juga tersedia untuk menyediakan tampilan visual
mewakili sinyal vokal. Tergantung pada dasar etiologi dan keparahan dari gangguan
suara, terapi mungkin memerlukan minggu ke bulan. 

Intervensi Medis
Indikasi untuk penggunaan antibiotik dan / atau antihista-dekongestan pada
pasien dengan suara serak adalah sangat jarang kecuali pasien dengan rinosinusitis
bersamaan atau laryngotrakeitis bakterial, yang dapat menyebabkan atau komplikasi
suara serak pasien. Kortikosteroid harus digunakan konservatif dan hanya pada
pasien yang memiliki yang penting kepentingan berbicara atau bernyanyi dan yang

40
tidak memiliki kecenderungan untuk penyalahgunaan vokal kronis.4
Kortikosteroid dengan mengurangi edema pada tingkat glotik sehingga
mengurangi tingkat suara serak. Oleh karena itu, perlu diagnosis yang sepatutnya
adalah penting dalam rangka untuk mengobati penyebab suara serak pasien dan
untuk mengurangi kesempatan berulang suara serak. Kortikosteroid harus diresepkan
untuk tidak lebih dari 4 sampai 5 hari di samping konservasi suara. Biasanya, pasien
diberitahu untuk menggunakan suara mereka hanya untuk panggilan suara mereka
selama periode waktu. Selain itu, pentingnya pemanasan sebelum pertunjukan harus
menekankan kepada penyanyi.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat menyebabkan suara serak. Penting
pemantauan pasien untuk tidak menggunakan produk yang dapat menyebabkan
disfonia.

Intervensi Bedah

Peran intervensi bedah tergantung pada penyebab suara serak pasien. Pasien
dengan nodul pada plika vokalis atau polip biasanya memiliki riwayat
penyalahgunaan vokal yang harus diatasi. Penghilangan lesi tanpa mengatasi
penyalahgunaan vokal dapat menyebabkan kekambuhan dalam 1 tahun eksisi. Pada

41
pasien yang membutuhkan intervensi bedah, terapi suara harus dimulai sebelum
operasi untuk meminimalkan penyalahgunaan vokal dantrauma sekunder pada
periode pasca operasi. Teknik phonosurgikal untuk menghilangkan lesi jinak fokus
pada pelestarian mukosa yang normal sementara menghapus daerah yang terkena
saja. Pasien dengan paralisis pita suara dan disfonia yang tidak membaik selama 3
bulan dan menunjukkan tanda-tanda prognostic miskin pada mungkin
‘reinnervation’ pada EMG (yaitu fibrillation potentials or absent activity ) adalah
kandidat untuk medialization laryngoplasty (thyroplasty tipe I). Injeksi pita suara
dengan lemak, kolagen, atau polytef tergantung pada preferensi ahli bedah dan
pengalaman. Namun, injeksi polytef kurang dimanfaatkan oleh sebagian
laryngologists karena kesempatan meningkat untuk Granuloman dan distorsi
permanen integritas struktur pita suara.4

2.8PENCEGAHAN

Pasien harus dikonseling tentang pentingnya hidrasi yang memadai dan


tindakan pencegahan antirefluks.
a. Pencegahan Hidrasi
Lubrikasi saluran vokal sangat penting untuk produksi vokal yang jelas. Oleh
karena itu pasien harus menghilangkan produk yang mengeringkan mukosa termasuk
produk berkafein, alkohol, dan antihistamin. Meskipun pengering atau diuretik obat
tidak dapat dihilangkan, hidrasi meningkat dapat membantu untuk melakukan
serangan balik efek obat itu dehidrasi. Pasien harus disarankan untuk minum cairan
yang memadai sampai warna urine mereka relatif jernih (yaitu, "pee-pale”).
b. Tindakan Pencegahan Antirefluks
Tindakan pencegahan antirefluks, pasien tidak perlu memiliki bukti
terdokumentasi bahwa pasien memiliki penyakit refluks gastroesofageal untuk
menerima pencegahan konservatif pengobatan. Sebuah rencana pencegahan
menekankan pada pola kebiasaan makanan sehat dan perilaku yang tidak biasanya
tidak memfasilitasi refluks dapat diberikan kepada pasien. Pasien dinasehati tentang
pentingnya makan yang teratur seperti makan siang hari dibandingkan tidak makan
dan kemudian sering kelaparan di malam hari. Selain itu, pasien harus menghindari
produk yang diketahui untuk relaksasi sfingter esophagus (misalnya, kafein dan

42
coklat).

Pasien juga harus menghindari makan atau minum sebelum tidur; pasien
harus menunggu 2 sampai 3 jam setelah makan terakhir mereka sebelum pergi tidur.
Pada pasien yang lebih bergejala, mengangkat kepala tempat tidur sekitar 6 sampai 8
membantu untuk memungkinkan gravitasi untuk menjaga sekresi lambung turun saat
pasien sedang tidur. Selain itu, konsumsi antasida 30 menit setelah makan dan
sebelum tidur membantu untuk menetralisir asam. Kadang-kadang histamin-
antagonis seperti omeprazol dan ranitidine dapatjuga sangat membantu. Praktek
konservasi vokal yang baik juga dapat berfungsi sebagai langkah preventif untuk
menjaga baik kualitas vokal. Pasien harus dianjurkan untuk menghindari jelas
sumber penyalahgunaan vokal seperti berteriak dan menjerit. Selain itu, pasien harus
dikonseling sumber-sumber lain mengenai penggunaan vokal berlebihan termasuk
berdeham.4

BAB III

KESIMPULAN

43
Disfonia merupakan suatu gejala dan bukan penyakit. Walaupun tidak
diketahui berapa jumlah pasti orang dengan disfonia, diperkirakan 1,2-23,4 %
populasi mengalami gangguan pada suara. Manifestasi gangguan kualitas suara pada
disfonia dapat bervariasi seperti desahan, parau, tegang, tercekik, tebal, nada menjadi
tinggi atau rendah, tergantung struktur anatomis yang terganggu dan patofisiologi
produksi suara yang disebabkan penyakit yang mendasari disfonia.
Etiologi disfonia bervariasi seperti neoplasma jinak, neoplasma ganas,
trauma, peradangan/infeksi, gangguan saraf, gangguan psikologis/fungsional. Lesi
jinak pada laring yang paling sering ditemukan adalah radang (laringitis), polip,
kista, granuloma, laryngocele, dan papiloma. Lesi ganas yang paling sering
ditemukan adalah KSS.
Untuk mendiagnosa diperlukan anamnesa mendetail untuk mengetahui
kualitas vokal pasien yang terganggu, onset, dan progresifitas penyakit. Riwayat
pekerjaan sangat penting mengingat kemungkinan besar pasien memiliki profesi
yang berkaitan dengan penggunaan suara seperti penyanyi atau guru. Riwayat
penyakit sebelumnya dan pemakaian obat-obatan juga amatlah penting untuk
diselidiki. Pemakaian laringoskop direk, indirek, dan stroboskopi diperlukan untuk
menilai gangguan baik secara struktural dan fungsional.
Terapi berfokus pada konservasi suara dan edukasi teknik penggunaan suara
yang benar pada pasien. Medikamentosa digunakan secara konservatif, dan
diutamakan pada pasien yang memang profesinya menuntut penggunaan suara.
Intervensi bedah bergantung pada jenis penyebab disfonia, dan perlu didahului terapi
suara untuk mencegah komplikasi trauma sekunder paska operasi. Tindakan
pencegahan disfonia yang umum adalah anjuran untuk banyak minum dengan tujuan
memberi hidrasi laring dan mengatasi penyakit GERD atau laringotrakeal refluks.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Cohen James . Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit THT. -6.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. h. 369-376.
2. Hermani B. Abdurrahman H. Tumor laring. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FK U I .
2 0 0 7 . h. 194-198.
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi ke-6. 2009. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Hal: 231-236.
4. Snell, R. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed ke-6. Jakarta: EGC;
2006.

45

Anda mungkin juga menyukai