Anda di halaman 1dari 8

Kegelisahan Nabi SAW

Oleh: Ustadz Arief B. Iskandar


~ Telegram: t.me/haditsrasul
Suatu ketika, Baginda Nabi Muhammad saw.
mendapat hadiah harta dari kaum Fadak yang
dibawa oleh empat ekor unta. Saat itu, kebetulan
Beliau memiliki sejumlah utang kepada seorang
musyrik yang sudah jatuh tempo. Bilal—yang
selama ini memang melalui dialah Nabi saw.
memperoleh pinjaman dari orang musyrik itu—
segera Beliau tugasi untuk membayarkan utang
tersebut, sementara Beliau menunggu di masjid.
Setelah seluruh utang itu dibayar, Bilal segera
kembali menemui Beliau. Baginda Nabi saw.
kemudian bertanya, “Apakah masih ada harta
yang tersisa?”

“Ya, masih ada sedikit,” jawab Bilal.

Beliau lalu memerintahkan, “Bagikanlah harta itu


sampai habis hingga aku bisa merasa tenang. Aku
tidak akan pulang ke rumah sebelum harta itu
dibagikan semuanya.”

Bilal pun pergi untuk membagi-bagikan harta yang


tersisa kepada fakir miskin. Selepas shalat isya,
Baginda Nabi saw. bertanya lagi, “Masih adakah
harta yang tersisa?”

“Masih, karena belum ada lagi orang yang


memerlukannya,” kata Bilal.

Baginda Nabi saw. kembali tidur di masjid.

Keesokan harinya, Beliau bertanya lagi dengan


pertanyaan yang sama. Lalu dijawab oleh Bilal,
“Tidak ada, ya Rasulullah. Allah telah memberkati
Anda dengan ketenteraman jiwa. Semua harta itu
telah habis dibagikan.”
Rasulullah saw. lalu memuji Allah. Pada malam itu,
barulah Beliau pulang ke rumah menemui istri-istri
Beliau, setelah beberapa malam tidur di masjid.
(Al-Kandahlawi, Fadhâ’il al-A‘mâl, hlm. 576)

****

Begitulah sikap Rasul yang mulia. Beliau


senantiasa gelisah dan tidak bisa merasa tenteram
jika di rumahnya masih ada harta tersisa, karena
Beliau tidak suka jika menghadapi maut, di
tangannya masih ada harta, walau hanya satu
dirham.

Sama dengan Baginda Nabi saw., para pemimpin


di negeri ini tampaknya sering mengalami hal
yang sama; sama-sama gelisah. Bedanya, jika
Baginda Nabi saw. selalu gelisah jika ada harta
tersisa di rumahnya, maka para pemimpin saat ini
selalu gelisah jika harta tak kunjung menumpuk di
rumah-rumah mereka. Padahal gaji mereka
sebagai penguasa, pejabat atau wakil rakyat
sudah sangat tinggi. Mereka juga rata-rata sangat
makmur, paling tidak, jika dibandingkan dengan
umumnya rakyat mereka saat ini.

Jika Baginda Nabi saw. enggan tidur di rumah


kalau masih ada harta yang tersisa walau hanya 1
dirham di rumahnya, maka para penguasa,
pejabat atau wakil rakyat kita juga mungkin
banyak yang enggan tidur di rumah. Bedanya
dengan Nabi saw., mereka tidak tidur di rumah
bukan karena sedang membagi-bagikan harta
mereka, tetapi justru sedang berusaha terus
menumpuk-numpuk harta sebanyak-banyaknya.
Bagi mereka, gaji setiap bulannya, meski puluhan
juta rupiah jumlahnya, seolah tidak pernah
mencukupi.

Karena itu, mereka tidak akan segera pulang ke


rumah sebelum berhasil mengumpulkan harta
yang banyak. Mereka terus menumpuk harta,
bahkan tidak peduli dengan cara apa. Korupsi
akhirnya biasa mereka jalani. Menerima suap, itu
yang selalu mereka harap. Mendapat hadiah
apalagi; itu yang senantiasa mereka upayakan
dengan sangat bergairah.
Singkatnya, semua itu karena mereka gelisah jika
semasa menjabat, mereka tidak berhasil menjadi
kaya, apalagi jika sebelum menjabat mereka sudah
banyak mengeluarkan biaya yang banyak;
misalnya untuk biaya kampanye Pemilu, Pilpres
atau Pilkada, untuk sumbangan ke konstituen,
untuk lobi-lobi politik demi menduduki jabatan
tertentu, dll. Konon, untuk sekadar dicalonkan
menjadi wakil rakyat (padahal belum tentu jadi),
mereka harus mengeluarkan biaya ratusan juta
hingga miliaran rupiah. Apalagi jika mereka
mencalonkan diri menjadi kepala daerah seperti
walikota atau gubernur. Karena itulah, pada saat
mereka duduk di kursi wakil rakyat atau menjadi
penguasa/pejabat, mereka tidak akan merasa
tenteram sebelum berhasil menumpuk harta
kekayaan, atau sebelum ‘balik modal’ plus dengan
‘keuntungan’ yang berlipat ganda.

Demikianlah, hitung-hitungan bisnis, untung-rugi,


akhirnya menjadi prinsip hidup mereka dalam
dunia politik. Dalam sistem demokrasi seperti saat
ini, politik bagi mereka bukanlah bagaimana
mengurusi berbagai urusan dan kepentingan
rakyat dengan sebaik-baiknya. Politik justru
merupakan ‘lahan bisnis’ yang harus menghasilkan
uang, bagaimanapun caranya, untuk kepentingan
pribadi.
Wajar jika di negeri yang penduduknya mayoritas
Muslim ini, tingkat korupsinya paling tinggi.
Semakin banyak saja penguasa, pejabat atau wakil
rakyat melakukan korupsi hingga bahkan puluhan
miliar rupiah. Tidak aneh jika kekayaan sejumlah
menteri dan pejabat di negeri ini naik miliaran
bahkan puluhan miliar rupiah hanya beberapa
tahun saja sejak menjadi menteri/pejabat.

****

Sebagai rakyat, kita jelas merindukan para


pemimpin negara seperti Baginda Rasulullah saw.
yang sederhana dan zuhud. Suatu ketika, Umar bin
al-Khaththab bertandang ke rumah Baginda
Rasulullah saw. Saat itu Rasul sedang tiduran di
atas tikar di kamar Beliau. Ketika Umar datang,
Beliau bangkit. Umar melihat sekeliling kamar
Rasul. Tiba-tiba Umar menangis. Ia sangat sedih
menyaksikan kebersahajaan Rasul. Di kamar
Beliau yang sempit itu tidak ada apapun selain tiga
lembar kulit binatang yang sudah disamak dan
sedikit gandum di sudut kamar. Saat Rasul bangkit
dari tidurannya, bekas-bekas tikar tampak
menempel di tubuh Beliau. Padahal saat itu Beliau,
di samping seorang rasul, juga telah menjadi
pemimpin negara. Kalau Beliau mau, Beliau bisa
hidup bekecukupan dan bahkan mewah. Namun,
begitulah Nabi yang mulia. Bagi Beliau,
kebahagiaan di negeri akhiratlah yang lebih Beliau
rindukan ketimbang kesenangan duniawi. Itu pula
yang kemudian diteladani oleh Khulafaur Rasyidin,
para Sahabat, dan generasi salafush-shâlih
setelah mereka. Sebagaimana halnya Baginda
Rasulullah yang mulia, mereka bukan saja tidak
suka menyimpan apalagi menumpuk harta,
bahkan mereka cenderung takut terhadap
banyaknya harta.

Meski begitu, Rasul yang mulia memang tidak


pernah melarang kita kaya, asal dengan cara yang
halal. Yang Beliau larang hanyalah mencintai
dunia hingga melupakan upaya meraih
kebahagiaan akhirat. Itulah sejatinya yang harus
dipraktikkan oleh para pemimpin negeri ini,
termasuk kita, tentu saja. Sudahkah? Jika belum,
itulah sejatinya yang harus selalu menggelisahkan
kita!

Anda mungkin juga menyukai