Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hiperbilirubinemia adalah kondisi klinis pada bayi yang ditandai


dengan pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat peningkatan kadar
bilirubin serum. Hiperbilirubinemia adalah salah satu fenomena klinis paling
umum pada neonatus yang terjadi pada minggu pertama kehidupan
(Mukhopadhyay, 2015). Hiperbilirubinemia pada umumnya merupakan
masalah fisiologis yang hampir terjadi pada 80% bayi baru lahir premature
dan mencapai 60% pada bayi lahir cukup bulan pada minggu pertama
kehidupannya (Lei et.al, 2018).

Hiperbilirubin merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi baru


lahir. Hiperbilirubin pada bayi baru lahir merupakan penyakit yang
disebabkan oleh penimbunan bilirubin dalam jaringan tubuh sehingga kulit,
mukosa dan sklera berubah warna menjadi kuning. Peningkatan kadar
bilirubin terjadi pada hari ke-2 san ke-3 dan mencapai puncaknya pada hari
ke-5 sampai hari ke-7, kemudian menurun kembali pada hari ke-10 sampai
hari ke-14 (Dewi 2014). Hiperbilirubinemia merupakan fenomena biologis
yang terjadi akibat tingginya produksi ekskresi bilirubin dalam darah selama
masa transisi 2500 gram atau usia gestasi < 37 minggu (Maria, 2013). Data
epidemiologi menunjukkan bahwa 50% bayi baru lahir menderita
hiperbilirubin, ditandai dengan adanya perubahan warna kuning (ikterik) pada
kulit, kuku dan sklera mata. Hal ini menunjukkan bahwa bayi baru lahir
beresiko lebih tinggi untuk menderita hiperbilirubin dalam minggu pertama
kehidupannya.

Hiperbilirubinemia dapat terjadi secara fisiologis dan patologis.


Secara fisiologis bayi mengalami kuning pada bagian wajah dan leher, atau
pada derajat satu dan dua (<12mg/dl), dapat diatasi dengan pemberian intake
ASI yang adekuat dan sinar matahari pagi kisaran jam 7.00-9.00 selama 15
menit. Secara patologis bayi akan mengalami kuning di seluruh tubuh atau
derajat tiga sampai lima (>12mg/dl), di indikasikan untuk pemberian
fototerapi, jika kadar bilirubin >20mg/dl maka bayi akan diindikasikan untuk
transfusi tukar (Aviv, 2015; Atikah & Jaya, 2015).

Hiperbilirubinemia disebabkan oleh beberapa factor risiko antara lain


faktor maternal meliputi ras atau kelompok etnik tertentu, komplikasi
kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh), penggunaan infuse oksitosin
dalam larutan hipotonik, ASI. Faktor perinata lmeliputi trauma lahir
(sefalhematom, ekimosis), infeksi (bakteri, virus, protozoa). Faktor rneonatus
meliputi prematuritas, bayi berat lahir rendah, factorgenetik, polisitemia, obat
(streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol), rendahnya
asupan ASI, hipoglikemia dan hipoalbuminemia (Maryunani, 2013 ).

Joundis pada neonatus merupakan keadaan yang relatif tidak


berbahaya dan normal terjadi pada minggu pertama, tetapi pada kadar
bilirubin yang sangat tinggi dapat menjadi toksik dan menyebabkan
kerusakan otak. Gejala klinis yang tampak pada neonatus yang mengalami
peningkatan bilirubin diantaranya rasa kantuk, penurunan reflek hisap dan
latergi. Bilirubin yang masuk ke sawar darah otak dapat menyebabkan kern
ikterus dengan gejala klinis diantaranya opistotonus, kejang dan dapat
mengakibatkan kematian. Efek jangka panjang dari kern ikterus diantaranya
retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli, dan mata tidak dapat digerakkan
keatas ( Mathindas, dkk, 2013).

Ikterus adalah perubahan warna menjadi kuning pada kulit, membran


mukosa, dan sklera yang disebabkan peningkatan produksi bilirubin di dalam
darah. Keadaan ini menandakan adanya peningkatan produksi bilirubin atau
eliminasi bilirubin dari tubuh yang tidak efektif (Maulida, 2014). Ikterus
merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada neonatus. Gambaran klinis
ikterus berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena bilirubin tak
terkonjugasi yang tinggi (Dewi, 2016). Sekitar 50% ikterik terjadi pada
neonatus aterm atau cukup bulan dan 80% pada neonatus preterm atau belum
cukup bulan selama 1 minggu pertama kehidupan (Rai et al., 2015).
Atikah dan Jaya, (2015), komplikasi dari hiperbilirrubinemia yaitu
kern ikterus, dimana kern ikterus adalah suatu sindrom neurologi yang timbul
sebagai akibat penimbunan efek terkonjugasi dalam sel-sel otak sehingga otak
mengalami kerusakan, hal ini dapat menyebabkan kejang-kejang dan
penurunan kesadaran serta bisa berakhir dengan kematian, akan tetapi apabila
bayi dapat bertahan hidup, maka akan ada dampak sisa dari kern ikterus
tersebut yaitu bayi dapat menjadi tuli, spasme otot, gangguan mental,
gangguan bicara, dan gangguan pada sistem neurologi lainnya. Gejala yang
ditimbulkan akibat hiperbilirubinemia adalah adanya warna kuning pada kulit
dan sclera bayi. Hiperbilirubinemia yang berlebihan dapat mengakibatkan
kerusakan otak yang bersifat permanen (kern icterus) dan pada beberapa anak
dapat meninggalkan gejala sisa seperti cerebral palsy dan ketulian (Lin,
2015).

Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi dalam usia
28 hari pertama kehidupan per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi
menurut WHO (World Health Organization) (2015) pada negara ASEAN
(Association of South East Asia Nations) seperti di Singapura 3 per 1000
kelahiran hidup, Malaysia 5,5 per 1000 kelahiran hidup, Thailan 17 per 1000
kelahiran hidup, Vietnam 18 per 1000 kelahiran hidup, dan Indonesia 27 per
1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi di Indonesia masih tinggi dari
negara ASEAN lainnya, jika dibandingkan dengan target dari MDGs
(Millenium Development Goals) tahun 2015 yaitu 23 per 1000 kelahiran
hidup. Salah satu penyebab kematian bayi luar kandungan adalah
hiperbilirubin, dimana hiperbilirubin merupakan salah satu fenomena klinis
yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir dalam minggu pertama
dalam kehidupannya. Insiden hiperbilirubinemia di Amerika 65%, Malaysia
75%, Indonesia 51,47 % (Putri dan Mexitalia, 2014).

Ikterik atau kuning pada neonatus memerlukan deteksi dan


penanganan yang tepat. Deteksi dapat dilakukan dengan pemeriksaan kremer
( derajat I-V). Ikterus pada daerah wajah dan leher (derajat I-II) dapat diatasi
dengan pemberian intake ASI yang adekuat dan sinar matahari pagi antara
jam 07.00-08.00 selama 30 menit, 15 menit telentang dan 15 menit
tengkurap. Ikterus pada daerah abdomen sampai telapak tangan dan kaki
(derajat III-V) memerlukan perawatan intensif dengan fototerapi atau
transfusi tukar ( Maryunani & Puspita, 2013). Kekhawatiran tentang
terjadinya akibat penumpukan bilirubin dalam darah pada neonatus adalah
terjadinya kern ikterus. Kern ikterus yaitu kerusakan atau kelainan otak akibat
perlengketan dan penumpukan bilirubin indirek pada otak, dan dapat
menyebabkan kematian pada neonatus.

Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru
Lahir (BBL). Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar
50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan. Perawatan
ikterus berbeda diantara Negara tertentu, tempat pelayanan tertentu dan waktu
tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pengelolaan BBL, seperti:
pemberian makanan dini, kondisi ruang perawatan, penggunaan beberapa
propilaksi (missal: luminal) pada ibu dan bayi, fototherapi dan transfusi
pengganti.

Fototerapi dilaporkan efektif untuk menurunkan hiperbilirubinemia


pertama kali dilaporkan oleh Cremer et al, pada tahun 1958 dan
diperkenalkan di Jepang oleh Onishi tahun 1968 (Itoh et al., 2017). Pada
tahun 1980, National Institute of Child Health and Human Development
membuktikan bahwa fototerapi sama efekifnya dengan transfusi tukar (Wu et
al., 2018). Fototerapi di rumah sakit merupakan tindakan yang efektif untuk
mencegah kadar bilirubin tak terkonjugasi yang tinggi atau
hiperbilirubinemia. Uji klinis telah divalidasi kemanjuran fototerapi dalam
mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang berlebihan, dan
implementasinya telah secara drastis membatasi penggunaan transfusi tukar
(Bhutani, 2011).

Fototerapi merupakan modalitas terapi dengan menggunakan sinar


yang dapat diamati yang bertujuan untuk pengobatan hiperbilirubinemia pada
neonatus. Di Amerika Serikat, sekitar 10% neonatus mendapat fototerapi
(Azlin, 2011). Perlu diperhatikan efek samping fototerapi, antara lain, dapat
timbul eritema, dehidrasi, hipertermi, diare, dan kerusakan retina (Dewi et
al., 2016). Efektivitas fototerapi tergantung pada kualitas cahaya yang
dipancarkan lampu (panjang gelombang), intensitas cahaya (iradiasi), luas
permukaan tubuh, jarak lampu fototerapi.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk


meneliti lebih dalam lagi mengenai literatur review “Asuhan Keperawatan
pada Bayi Dengan Hiperbilirubin”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk


mengambil penelitian mengenai bagaimanaikah Asuhan Keperawatan pasien
Hiperbilirubin dengan intervensi utama fototerapi dapat menurunkan kadar
bilirubin bayi.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengeksplorasi asuhan keperawatan pasien Hiperbilirubin dengan


intervensi utama fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi Pengkajian pada Asuhan Keperawatan pasien


Hiperbilirubin di RS.

b. Mengidentifikasi Diagnosa Keperawatan pada Asuhan Keperawatan


pasien Hiperbilirubin di RS.

c. Mengidentifikasi Intervensi Keperawatan pada Asuhan Keperawatan


pasien Hiperbilirubin.

d. Mengidentifikasi Implementasi Keperawatan pada Asuhan


Keperawatan pasien Hiperbilirubin.
e. Mengidentifikasi Evaluasi Keperawatan pada Asuhan Keperawatan
pasien Hiperbilirubin.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil studi kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan
sumber informasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan
khususnya tentang asuhan keperawatan bayi dengan hiperbilirubin.
Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan
dalam penanganan kejadian hiperbilirubin pada bayi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Maanfaat hasil studi kasus ini dapat menambahkan pengetahuan,


wawasan mengenai asuhan keperawatan bayi dengan hiperbilirubin.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil studi kasus ini diharapkan menjadi referensi untuk


pembelajaran mengenai asuhan keperawatan bayi dengan
hiperbilirubin.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil dari studi kasus ini diharapkan dapat digunakan sebagai


referensi dan data dasar bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan
penelitian keperawatan anak khususnya mengenai intervensi fototerapi
pada bayi terhadap penurunan kadar bilirubin bayi dengan
hiperbilirubin.

Anda mungkin juga menyukai