Ijjma&qiyas

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

IJMA’ DAN QIYAS SEBAGAI


SUMBER HUKUM ISLAM
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
‘‘USHUL FIQH & KAIDAH FIQH’’

Dosen Pengampu :
Kholilur Rohman, M.H.I

Disusun Oleh :
1. Cicik Nike Rimayani (C77219020)
2. Intan Tiara Putri (C97219032)
3. Ahmadin Yazid Risantiano (C97219026)

PRODI HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kami berkah dan nikmat-Nya
sehingga kami mampu meyelesaikan pembuatan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongannya tentunya kami tak akan mampu untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Sholawat serta salam selalu terlimpahkan kepada baginda tercinta Nabi besar
Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat kelak.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan nikmat
sehat-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini sebagai tugas mata kuliah
USHUL FIQH & KAIDAH FIQH dengan judul “ Ijma’ dan Qiyas sebagai Sumber Hukum
Islam”.

Kami menyadari bahwasanya makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan didalamnya. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca makalah ini, agar makalah ini dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
dosen Usul Fiqh & Kaidah Fiqh kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih

Surabaya, 21 Oktober 2020

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang..................................................................................................4
2. Rumusan Masalah.............................................................................................4
3. Tujuan Makalah..................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijma’...............................................................................................5
2. Pengertian Qiyas...............................................................................................6
3. Rukun dan Syarat Ijma’....................................................................................7
4. Rukun dan Syarat Qiyas....................................................................................8
5. Dasar Hukum Ijma’...........................................................................................10
6. Dasar Hukum Qiyas..........................................................................................11
7. Macam-Macam Ijma’........................................................................................12
8. Macam-Macam Qiyas.......................................................................................13
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan........................................................................................................15
2. Saran .................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sebagai ajaran, Islam yang memiliki keistimewaan tersendiri dibanding dengan agama lain
yang ada di dunia ini. Keistimewaan itu paling tidak dapat dilihat dari fenomena yang terjadi
pada masyarakat dunia penghuni bumi ini, yaitu suatu realitas akan kebenaran Islam sebagai
ajaran yang dapat diterima sepanjang zaman dan di tempat manapun juga. Fenomena ini ada
karena Islam memiliki dua karakter yang menarik, yaitu orisinil dalam konsepsi dan kondisional
dalam aplikasi. Hal ini dapat terlihat empat sumber hukum dalam Islam yaitu Al-qur'an, Hadits,
Ijma' dan Qiyas, yang semuanya banyak memberikan kontribusi bagi umat Islam. Khusus pada
permasalahan ljma' dan Qiyas juga memiliki fungsi guna memenuhi dua karakter Islam di atas.
Ijma' dan Qiyas sebagai sumber hukum Islam. Dengan demikian penting bahkan kekuatan
hujjahnya satu tingkat di bawah Qur' an dan Hadits. Ijma' sebagaimana didefinisikan oleh
sebagian besar ulama Ushul adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin
pada suatu masa sesudah wafat Rasulullah SAW atas suatu hukum syara' pada suatu kejadian.
Sedangkan Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan hal lain
yang ada nas hukumnya karena ada persamaan illat hukumnya. Dari definisi tersebut kemudian
banyak lahir permasalahan Ijma' dan Qiyas yaitu menyangkut pada perkembangan pemikiran
tentang ljma' dan Qiyas, rukun-rukun, kedudukan, kemungkinan terjadinya, macam-macam serta
hukum mengingkarinya. Sebagian orang memperdebatkan akan layak tidaknya Ijma' dan Qiyas
dijadikan hujjah bagi permasalahan hukum. Hal ini didasarkan atas qoth'i atau tidaknya Ijma'
dan Qiyas itu sendiri. Tetapi yang jelas bah- wa jumhur ulama berpendapat, keberadaan Ijma'
dan juga Qiyas sebagai sumber hukum Islam setelah Qur'an dan Hadits tidak diragukan lagi.1

2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ijma’ dan Qiyas?
2. Apa rukun dan syarat Ijma dan Qiyas ?
3. Apa dasar hukum Ijma’ dan Qiyas?
4. Apa macam-macam Ijma dan Qiyas?
3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian daripada Ijma’ dan Qiyas
2. Memahami rukun dan syarat Ijma’ dan Qiyas
3. Mengetahui dasar hukum Ijma’ dan Qiyas

1
Zakaria Syafe’i, “ Kajian tentang Kehujjahan Ijma’ dan Pengingkarannya” Jurnal A-Qalam, No. 67, (1997), 28.

4
4. Memahami macam-macam Ijma’ dan Qiyas

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertiaan Ijma’ dan Qiyas


1) Pengertian Al Ijma

Definisi Ijma’ secara etimologi terbagi menjadi dua arti. Arti pertama yaitu ‘bermaksud
atau berniat’ sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 71. Dan, arti kedua
yaitu ‘kesepakatan terhadap sesuatu’, dimana suatu kaum dikatakan telah berijma’ bila mereka
bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah surat Yusuf ayat 15. 2

Dalam terminologi Ushul Fiqh, Ijma’ dimaknai sebagai suatu kesepakatan para mujtahid
dalam suatu masa tertentu terhadap masalah hukum syariah setelah meninggalnya Nabi saw.
Apabila suatu peristiwa terjadi dan memerlukan ketentuan hukum dan peristiwa tersebut
dikemukakan kepada para ulama yang memiliki kemampuan berijtihad, dan mereka kemudian
mengambil kesepakatan berupa hukum dari peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut
sebagai Ijma.3

Menurut Mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap Ijma; meskipun hanya merupakan
kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal dengan Ijma’ ahl al Madinah. Menurut ulama
Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para Imam di kalangan mereka, sedangkan menurut Jumhur
ulama, ijma’, sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid,
dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ baru dianggap terjadi bilamana kesepakatan seluruh
ulama mujtahid.4

Mengenai makna mujtahid ini para ulama berbeda pendapat dalam hal redaksi
pemaknaannya, namun memiliki kesamaan dalam maknanya, yaitu seorang ulama yang memiliki
kemampuan dalam melakukan penggalian dan istinbath hukum berdasarkan dalil-dalil syar’i
yang ada. Beberapa pakar ushul fiqh kontemporer kemudian mempertegas kriteria seorang

2
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2018), 68.
3
Chamim Tohari, “Konsep Ijma dalam Ushul Fiqh dan Klaim Gerakan Islam 212”, Jurnal Aqlam: Journal of Islam
dan Plurality, Vol. 4 No.2 (Desember, 2019), 152
4
Susiadi AS, “Ijma dan Issu Kontemporer”, Jurnal ASAS, Vol. 6 No.2 (Juli, 2014), 124.

5
mujtahid sebagai orang yang beragama Islam, baligh, berakal sehat, mempunyai akhlak yang
baik, serta mampu melakukan istinbath hukum dari al-Qur’an dan Sunnah.5

2) Pengertian Qiyas

Secara etimologi, Qiyas berasal dari bahasa Arab yang berarti mengukur,
membandingkan, menganalogikan, menyamakan. Meng-qiyas-kan, berarti mengira-ngirakan
atau menyamakan sesuatu terhadap sesuatu yang lain.6

Sedangkan menurut terminologi, terdapat beberapa definisi yang diberikan para ulama
atau para ahli ushul dalam berbagai redaksi yan berbeda, namun pada dasarnya memiliki
substansi makna yang sama. Seperti Al-Ghazali memberikan definisi Qiyas sebagai pembawa
Membawa hukum yang belum diketahui kepada hukum yang sudah diketahui dalam rangka
menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu
yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat. Lalu, menurut Al-Amidi sendiri Qiyas
adalah Suatu ‘Ibarat dari mempersamakan ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada
asal yang diistinbatkan dari hukum asal.7

Sementara itu, menurut Wahbah az-Zuhali, Qiyas adalah Menghubungkan sesuatu yang
tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada
persamaan ‘illat antara kedua. Dari beberapa pendapat ini, dapat dilihat bahwa yang dimaksud
dengan qiyas adalah suatu upaya seorang mujtahid dalam menghubungkan sebuah peristiwa
yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan peristiwa yang sudah ada nash hukumnya, karena
terdapat persamaan illat hukum diantara keduanya.8

Mengacu pada definisi dari qiyas tersebut pula maka dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya hakikat qiyas itu terletak pada tiga aspek, yaitu:

5
Ibid. 125.
6
Ahmad Fuad, “Qiyas sebagai Salh Satu Metode Istinbat Al-Hukum”, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 15 No.
1 (Juni, 2016), 44.
7
Farid Naya, “Membincang Qiyas sebagai Metode Pneteapan Hukum Islam”, Jurnal Tahkim, Vol. 11 No. 1 (Juni,
2015), 172.
8
Ibid., 173.

6
a. Ada dua kasus/peristiwa yang mempunyai illat yang sama.
b. Satu diantara dua kasus tersebut sudah ada hukumnya yang ditetapkan
berdasarkan nash, sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
c. Berdasarkan penelitian terhadap illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan
hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada
kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.9

Dengan demikian, dapat diketahui secara jelas bahwa proses penetapan hukum melalui
metode Qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (iśbat al-hukm wa insyauh), melainkan
hanya menyingkap, dan menjelaskan hukum (al-kasyf wa al-idzhar li al-hukm) yang ada pada
suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui
pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila
illat-nya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus
yang dihadapi 10

2. Rukun dan Syarat dan Rukun Al Ijma dan Qiyas


1) Rukun dan Syarat Al Ijma

Didasarkan pada pengertian di atas dapat diketahui bahwa Ijma hanya bisa terjadi bila
memenuhi rukun-rukun berikut.

a. Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid

Mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji,
dan memapu meng-instibath hukum dari sumbernya. Dengan demikian, orang
awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa
dikatakan sebagai Ijma’. Karena mereka tidak ahli dalam menelaah hukum.

b. Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid

Bila sebagaian mujtahid bersepakat dan lainnya tidak, meskipun sedikit, maka
menurut Juhur, hal itu tidak busa dikatakan Ijma’, karena Ijma’ harus mencakup
kesuluruhan mujtahid.

9
Ibid., 174.
10
Ibid., 175.

7
c. Para Mujtahid harus Umat Nabi Muhammad SAW
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Nabi
Muhammad SAW, tidak bisa dikatakan Ijma’. Hal ini menunjukkan adanya
umat para Nabi lain yang juga ber-Ijma. Adapun, Ijma’ umat Nabi
Muhammad SAW, tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-
Ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
d. Dilakukan setelah Wafatnya Nabi
Ijma’ itu tidak bisa terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi
senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dpandang
baik, dan itu dipandang sebagai Syari’at.
e. Kesepakatan harus Berhubungan dengan Syari’at
Maksutnya, kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at,
seperti tentang wajib, sunnah, makruh, haram, dan lain-lain.11

Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah (1) yang melakukan ijma’ tersebut
adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad, (2) kesepakatan itu muncul dari
mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya), (3) Mujtahid yang terlibat
adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Keiga syarat
ini disepakati oleh seluruh ualama.12

2) Rukun dan Syarat Qiyas

Rukun adalah unsur-unsur pokok yang harus terpenuhi demi keabsahan atau
kesempurnaan suatu hal, dengan kata lain rukun adalah elemen urgen yang dengannya suatu
perkara menjadi sempurna. Dalam segala hal, rukun merupakan elemen terpenting karena rukun
memegang peranan sebagai penentu sah atau tidaknya; legal atau tidaknya sesuatu. Termasuk
dalam hal ini, qiyas juga memiliki rukun-rukun yang harus terpenuhi. Jika rukun-rukun tersebut
tidak dapat terpenuhi maka secara otomatis qiyas juga tidak dapat diterapkan. 13

Adapun rukun-rukun Qiyas adalah sebagai berikut:


11
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2018), 70.
12
Susiadi AS, “Ijma dan Issu Kontemporer”, jurnal ASAS, Vol. 6 No.2 (Juli, 2014), 126.
13
Ahmad Fuad, “Qiyas sebagai Salh Satu Metode Istinbat Al-Hukum”, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 15 No.
1 (Juni, 2016), 45.

8
a. Al-Asl

Suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat


mengqiyaskan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl
menurut hukum teolog adalah suatu nash syura’ yang menunjukkan ketentuan
hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu juga
disebut maqis alaih, mahmul alaih, atau masyabbah bih.14

b. Al-Far

Far’ disebut juga musyabbah atau yang diserupakan; maqis tau yang
diqiyaskan. Secara etimologis, far’ berarti cabang. Sedangkan dalam konteks
qiyas, far’ diartikan sebagai kasus yang ingin diserupakan kepada aṣl karena
tidak adanya nas yang secara jelas menyebutkan hukumnya. Maka dari itu, far’
akan diproses untuk disamakan dengan aṣl. Secara substansial, far’yang belum
jelas status hukumnya itu disinyalir memiliki kesamaankesamaan dengan aṣl, oleh
karena ada titik temu antara aṣl dan far’. Titik temu itulah yang disebut ‘illat.15

c. Hukum Asl

Dua kata yang digabung menjadi satu susunan (iḍāfah) ini, memiliki
pengertian: hukum syara’ yang ada pada aṣl berdasar pada legitimasi nash.
Hukum aṣl inilah yang nantinya akan berdampak pada far’ yang belum memiliki
legalitas hukum dari syara’ karena tiadanya nash. Dampak tersebut adalah
kesamaan hukum, hukum yang samasama melekat pada keduanya dikarenakan
kesamaan ‘illat. Adapun setelah proses pengqiyasan, lalu ditemukanlah hukum
bagi far’ maka hukum far’ ini bukanlah merupakan salah satu rukun dari rukun-
rukun qiyas. Hukum far’ hanyalah buah hasil (ṡamrah) dari proses qiyas.16

d. Al-Illah

14
Ibid., 46.
15
Ibid., 47.
16
Ibid., 48.

9
Al-‘illah atau yang sering disebut juga ‘illat merupakan poin terpenting di
antara rukun-rukun yang lain. Karena sebagaimana dikatakan di atas, bahwa ‘illat
merupakan titik temu antara aṣl dan far’ yang mana nantinya akan menentukan
kasus hukum far’ itu sendiri. Menurut arti bahasa,’illat diartikan sebagai hujah
atau alasan. Sedang secara terminologis, ‘illat adalah sifat yang menjadi landasan
hukum aṣl. Illat haruslah berupa sifat yang jelas dan dapat dibatasi. Karena
konsekuensi dari ‘illat adalah penetapan hukum, oleh karenanya ia harus jelas dan
dapat dimengerti dan diketahui batasanbatasannya. Terkadang ‘illat juga disebut
sebagai sebab.17

3. Dasar Ijma’ dan Qiyas


1. Dasar Hukum Ijma’

Ulama ushul Fiqh sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum, hal
ini didasarkan pada surat an-Nisa’ ayat 115 “Dan barang siapa yang menentang Rasulullah
SAW. sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang
mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami
masukan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. Ayat
tersebut memberikan peringatan atau ancaman terhadap golong yang menentang Rasullullah
SAW dan mengikuti jalan bukan orang mukmin. Menurut Muhammad Abu Zahrah, menjelaskan
wajib hukumnya mengikuti jalan orang mukmin dan termasuk hasil kesepakatan (ijma’) mereka.
Didalam surat an_nisa’ ayat 59 dijelaskan “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu”. Jika para mujtahid sudah melakukan ijma’
dalam penetapan hukum syara’ dari suatu permasalahan, maka keputusan ijma’ itu hendaknya
diikuti karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan
apalagi kemaksiatan dan dusta.18

2. Dasar Hukum Qiyas

17
Ibid., 49.
18
Susiadi AS, “ Ijma’ dan Issu Kotemporer”, Jurnal Asas, Vol. 6 No. 2 (Juli 2014), 125.

10
Qiyas merupakan salah satu medote istinbāṭ yang dapat dipertanggungjawabkan karena ia
melalui penalaran yang disandarkan kepada nas. Ada beberapa ayat Al-Qur‟an yang dijadikan
landasan bagi berlakunya qiyas di dalam menggali huku yaitu “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S An-Nisa‟ (4): 59). Ayat
tersebut menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan “kembali kepada Allah dan
Rasul” (dalam masalah khilafiah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda
kecenderungan apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat
diperoleh melalui pencarian illat hukum yang merupakan tahapan dalam melakukan qiyas. Abdul
Wahab Khallaf menyebutkan alasan pengambilan dalil ayat di atas sebagai dalil qiyas yakni
bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk
mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan dan dipertentangkan di antara mereka
kepada Allah dan Rasulullah jika mereka tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur‟an maupun
Sunnah. Sedangkan mengembalikan dan merujukkan permasalahan kepada Allah dan Rasul
adalah mencakup semua cara dalam mengembalikan permasalahan itu. Artinya, bahwa
menyamakan peristiwa yang tidak memiliki nas dengan peristiwa yang sudah ada nasnya
dikarenakan adanya kesamaan „illat, maka hal tersebut termasuk kategori “mengembalikan
permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya” sebagaimana dalam kandungan ayat di atas. Selain
al-Nisa‟ (4): 59, para ulama juga menjadikan surat al-Hasyr (59): 2 sebagai salah satu landasan
kehujjahan qiyas. Sebagian ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang 4 sependapat bahwa
qiyas dapat dijadikan salah satu dasar hujjah dalam penetapan hukum Islam. Hanya mereka
berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qqiyas atau macam-macam qiyas yang boleh
digunakan dalam mengistinbathkan hukum.19

4. Macam-Macam Ijma’ dan Qiyas


19
Mazahib, “ Qiyas sebagai Salah Satu Metode Istinbat Al-Hukm”, Vol. XV No. 1 (01 Juni 2016).

11
A. Macam-Macam Ijma’
 Berdasarkan kejelasan perkara yang disepakati, ijma’ terbagi dua:
1. Ijma’ qath’i yaitu yang berupa perkara maklum dan jamak diketahui oleh seluruh
kalangan dari umat islam, tidak ada yang tak mengetahuinya dalam kondisi wajar, dan
tidak ada uzur untuk tidak mengetahuinya. Misalnya, ijma’ tentang wajibnya salat lima
waktu dan haramnya minuman keras.   

2. Ijma’ dzanni yaitu ijma’ yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama. Karena
diperlukan pencarian dan pembedahan terhadap teks-teks kitab klasik dan ucapan-
ucapan ulama terdahulu.

 Berdasarkan metode terjadinya, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ bayani / sharih, yaitu ijma’ yang terjadi baik dengan perkataan maupun
perbuatan. Semisal dengan perbuatan para salaf dalam berbisnis model mudharabah,
sehingga dapat dikatakan bahwa mudharabah tersebut boleh menurut ijma’, begitu juga
jika ada seorang ulama yang berbicara suatu hukum lalu para ulama lainnya
berpendapat sama. 

2. Ijma’ sukuti, berlawanan dengan yang pertama yaitu dimana para ulama diam daan
tidak mengatakan pendapatnya. Apabila terdapat perkataan ataupun perbuatan ulama,
sedangkan ulama lainnya diam tanpa mengomentari, bisa dikatakan ijma’ jikalau ulama
lainnya tidak mengingkari. Namun, berdasarkan pandangan bahwa diam bukan berarti
setuju, bisa jadi karena faktor-faktor tertentu seperti segan atau memaklumi ijtihad
orang lain misalnya, maka itu tidak dapatdapat disebut ijma’. Namun, ijma’ ini lemah
derajatnya, terlebih bilamana terdapat indikasi yang menunjukkan sebaliknya, maka
saat itu tidak dapat dianggap. Selain itu sangatlah sulit mengklaim ijma’ macam ini
karena syarat masyhur tersebut.

 Berdasarkan jumlah pendapat yang ada, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ basith, jika ijma’ tersebut merupakan kesepakatan terhadap sebuah pendapat
maka inilah yang disebut dengan basith ataupun sederhana. Dan inilah yang dimaksud
dengan ijma’ bila disebut secara mutlak.

2. Ijma’ murakkab adalah ketika para ulama berbeda pendapat dan pendapat mereka
terbagi menjadi dua atau tiga pendapat yang berbeda. Sisi kesepakatannya adalah tidak
boleh membuat pendapat baru atau menafikan dari yang ada. Sebagai contoh, para
ulama berselisih mengenai niat dalam bersuci, sebagian berpendapat harus berniat
ibadah dalam setiap bersuci; wudu, tayamum, dan mandi junub, sebagian lagi
berpendapat hanya dalam tayamum saja, maka jika dikatakan tidak harus maka inilah
yang disebut membuat pendapat baru bertentangan yang sudah ada, yaitu yang
mengharuskan niat tersebut pada ketiganya sekaligus. Adapun yang diperbolehkan

12
seperti misalnya membuat pendapat jalan tengah di antara pendapat-pendapat yang
berselisih, atau membuat pendapat yang merinci, bila kondisi begini maka pendapat ini
berlaku, bila kondisi begitu maka pendapat itu berlaku.

 Berdasarkan metode untuk mengetahuinya, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ mahshul, yaitu ijma’ yang didapat dengan usaha seorang mujtahid mengeluarkan
kesimpulan ijma’ dari kitab-kitab para ulama terdahulu, dimulai dari mendata ucapan-
ucapan mereka, pendapat-pendapat mazhab, dan seterusnya hingga sampai pada
kesimpulan bahwa dalam masalah ini tidak terdapat perselisihan.

2. Ijma’ manqul, yaitu ijma’ yang diketahui dengan nukilan dari ulama terdahulu yang
mengatakan bahwa dalam perkara ini terdapat ijma’. Selama nukilan itu sahih dan dapat
dipertanggung jawabkan maka ijma’ dengan cara ini pun dapat dianggap, dan tak perlu
untuk meneliti apakah banyak yang meriwayatkannya atau hanya satu orang. 20

B. Macam-Macam Qiyas

Qiyas dilihat dari subtansi kuat dan tidaknya hukum yang terdapat di dalam asal dan cabang
yaitu:

1. al-Qiyās al-aulawī atau al-jalī yaitu jika status hukum (sense of law) di dalam furu’  terasa

lebih kuat dari pada yang terdapat di dalam asal. Contohnya, status haram memukul orang tua

(far’) itu lebih kuat dari pada sekedar membentak. Pola qiyas ini di kalangan ulama’ usul

sering tidak disebut sebagai qiyas akan tetapi dibahas dalam konteks dilālah al-

dilālah, dilālah al-nās atau fahw al-khitāb,

2. al-Qiyās al-musāwī yaitu jika status hukum (sense of law) yang terdapat di dalam asal

dan cabang’ itu sama atau kompak. Qiyas ini sering dinamakan al-qiyās fi ma‘nā al-nās,  atau

dalam perspektif Hanafiyah hal ini baru disebut qiyās al-jāli. Teknisnya dengan

memberlakukan secara umum ketentuan hukum dalam asal kepada furu’, seperti

diberlakukannnya hukum haram makan harta anak yatim (al-as l) kepada segala hal

pengrusakan dan menghancurkan harta anak yatim (al-furu’). Atau dalam konteks mutakhir
20
Muhammad Izzi, “ Mengenal Ijma’ sebagai Dasar Hukum Agama”, https://muslim.or.id/19712-mengenal-ijma-
sebagai-dasar-hukum-agama.html (09 Februari 2014).

13
adalah menarik hukum haram terhadap upaya menteror (terorisme) sebagaimana hukum pada

berbuat kerusakan di bumi. Mengqiyaskan teror (cabang) dengan segala perbuatan yang

merusak (asal) adalah qiyās al-musāwī   karena berdasarkan satu atribut sepadan

(mafsadat, unharmony) keduanya bisa berkumpul dalam satu hukum.

Qiyas dari segi kejelasan illat yang terdapat pada hukum:

1. al-Qiyās al-khāfī  yaitu jika status hukum yang ditemukan di dalam asal jelas lebih kuat

dibanding cabang, karena tidak disebut adanya illat di dalam asal. Teknisnya, pertama sekali

diperlukan upaya penampakan illat hukum di dalam asal melalui ijtihad yang dengannya baru

membahas illat hukum di dalam cabang. Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan menggunakan

bahan berat dengan pembunuhan menggunakan benda tajam.

2. Qiyas al-Jaly yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashl

atau nash tidak menetapkan illatnyabtetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh terhadap

perbedaan antara nash dengan furu’. Misalnya, mengqiyaskan budak perempuan dengan

budak laki-laki.

Qiyas dari segi persamaan cabang kepada pokok:

1. Qiyas Ma’na yaitu qiyas yang cabangnya hanya disandarkan pada pokok yang satu. Hal ini

dikarenakan makna dan tujuan hukum cabang sudah cukup dalam kandungan hukum

pokoknya, oleh karena itu kolerasi antara keduanya sangat jelas dan tegas. Misalnya,

mengqiyaskan memukul orang tua kepada perkataan ah seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya.

2. Qiyas Sibhi yaitu qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi

diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’. Misalnya, merusak budak dapat

14
diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia.

Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik.21

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Ijma’

Ijma’ merupakan kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat Islam pada masa setelah
Rasulullah wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Ulama ushul Fiqh sepakat bahwa
ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum, hal ini didasarkan pada surat an-Nisa’ ayat
115. Rukun ijma’ diantaranya:

2. Pada saat terjadinya peristiwa itu, mujtahid jumlahnya lebih dari satu orang

3. Sepakat atas hukum syar’i tentang suatu peristiwa

4. Ada kesepakatan itu dimulai

5. Menetapkan kesepakatan dari semua mujtahid terhadap suatu hukum

Syarat Ijma’ diantaranya:

1. Yang bersepakat adalah para mujtahid

2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid

3. Ijma’ dilakukan setelah wafatnya Rasulullah

4. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syariat

Macam-macam Ijma’:

1. Ijma’ sharih/qouli/bayani

2. Ijma’ sakuti/iqrari

3. Ijma’ qatthi’

21
Sudut Hukum, “ Macam-Macam Qiyas”, https://suduthukum.com/2016/01/macam-macam-qiyas.html (30
Januari 2016).

15
4. Ijma’ dzanni

5. Ijma’ basith

6. Ijma’ murakkab

7. Ijma’ manqul

2. Qiyas

Qiyas yaitu menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada nashnya
dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian
tersebut. Ada beberapa ayat Al-Qur‟an yang dijadikan landasan bagi berlakunya qiyas di
dalam menggali huku yaitu (Q.S An-Nisa‟ (4): 59), surat al-Hasyr (59): 2), serta para ulama
yang menciptakan 4 madzhab. Rukun qiyas diantaranya:

1. Al-ashlu (pokok)

2. Al-far’u (cabang)

3. Al-hukum

4. Al-‘illah

Syarat qiyas:

1. Al-ashlu (pokok)

2. Al-far’u (cabang)

3. Al-hukum

4. Al-‘illah

Macam-macam qiyas:

3. Qiyas al-Aulawi

4. Qiyas al-Musawi

5. Qiyas al-Adna

6. Qiyas al-Jaly

16
7. Qiyas al-Khafy

8. Qiyas Ma’na

9. Qiyas Sibhi

B. Saran
Sebagai kaum muslim dan muslimah hendaknya senantiasa mengetahui,mempelajari serta
mengamalkan hukum-hukum yang telah Allah SWT tentukan. Ijma danqiyas merupakan
hokum yang telah Allah SWT berikan apabila tidak tertera dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Betapa pentingnya hukum dalam islam dan Allah SWT telah memberikan kemudahan
kepada hambanya.

DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i Zakaria, “ Kajian tentang Kehujjahan Ijma’ dan Pengingkarannya” Jurnal A-Qalam, No.
67, (1997).

AS Susiadi, “ Ijma’ dan Issu Kotemporer”, Jurnal Asas, Vol. 6 No. 2 (Juli 2014).

Mazahib, “ Qiyas sebagai Salah Satu Metode Istinbat Al-Hukm”, Vol. XV No. 1 (01 Juni 2016).

Izzi Muhammad, “ Mengenal Ijma’ sebagai Dasar Hukum Agama”, https://muslim.or.id/19712-


mengenal-ijma-sebagai-dasar-hukum-agama.html (09 Februari 2014).

Hukum Sudut, “ Macam-Macam Qiyas”, https://suduthukum.com/2016/01/macam-macam-


qiyas.html (30 Januari
2016).

17
Ahmad Fuad, “Qiyas sebagai Salh Satu Metode Istinbat Al-Hukum”, Jurnal Pemikiran Hukum
Islam, Vol. 15 No. 1 .Juni, 2016.

Chamim Tohari, “Konsep Ijma dalam Ushul Fiqh dan Klaim Gerakan Islam 212”, Jurnal
Aqlam: Journal of Islam dan Plurality, Vol. 4 No.2. Desember, 2019.

Farid Naya, “Membincang Qiyas sebagai Metode Pneteapan Hukum Islam”, Jurnal Tahkim, Vol.
11 No. 1. Juni, 2015.

Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2018.

Susiadi AS, “Ijma dan Issu Kontemporer”, Jurnal ASAS, Vol. 6 No.2 .Juli, 2014.

18

Anda mungkin juga menyukai