Anda di halaman 1dari 7

A.

Pengertian Al Ijma dan Qiyas


1) Pengertian Al Ijma
Definisi Ijma’ secara etimologi terbagi menjadi dua arti. Arti pertama yaitu
‘bermaksud atau berniat’ sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yunus
ayat 71. Dan, arti kedua yaitu ‘kesepakatan terhadap sesuatu’, dimana suatu kaum
dikatakan telah berijma’ bila mereka bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana
firman Allah surat Yusuf ayat 15. 1
Dalam terminologi Ushul Fiqh, Ijma’ dimaknai sebagai suatu kesepakatan
para mujtahid dalam suatu masa tertentu terhadap masalah hukum syariah setelah
meninggalnya Nabi saw. Apabila suatu peristiwa terjadi dan memerlukan ketentuan
hukum dan peristiwa tersebut dikemukakan kepada para ulama yang memiliki
kemampuan berijtihad, dan mereka kemudian mengambil kesepakatan berupa hukum
dari peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut sebagai Ijma.2
Menurut Mazhab Maliki, kesepakatan sudah dianggap Ijma; meskipun hanya
merupakan kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal dengan Ijma’ ahl al
Madinah. Menurut ulama Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para Imam di kalangan
mereka, sedangkan menurut Jumhur ulama, ijma’, sudah dianggap sah dengan adanya
kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid, dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’
baru dianggap terjadi bilamana kesepakatan seluruh ulama mujtahid.3
Mengenai makna mujtahid ini para ulama berbeda pendapat dalam hal redaksi
pemaknaannya, namun memiliki kesamaan dalam maknanya, yaitu seorang ulama
yang memiliki kemampuan dalam melakukan penggalian dan istinbath hukum
berdasarkan dalil-dalil syar’i yang ada. Beberapa pakar ushul fiqh kontemporer
kemudian mempertegas kriteria seorang mujtahid sebagai orang yang beragama
Islam, baligh, berakal sehat, mempunyai akhlak yang baik, serta mampu melakukan
istinbath hukum dari al-Qur’an dan Sunnah.4

2) Pengertian Qiyas
1
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2018), 68.
2
Chamim Tohari, “Konsep Ijma dalam Ushul Fiqh dan Klaim Gerakan Islam 212”, Jurnal Aqlam: Journal of Islam
dan Plurality, Vol. 4 No.2 (Desember, 2019), 152
3
Susiadi AS, “Ijma dan Issu Kontemporer”, Jurnal ASAS, Vol. 6 No.2 (Juli, 2014), 124.
4
Ibid. 125.
Secara etimologi, Qiyas berasal dari bahasa Arab yang berarti mengukur,
membandingkan, menganalogikan, menyamakan. Meng-qiyas-kan, berarti mengira-
ngirakan atau menyamakan sesuatu terhadap sesuatu yang lain.5
Sedangkan menurut terminologi, terdapat beberapa definisi yang diberikan para
ulama atau para ahli ushul dalam berbagai redaksi yan berbeda, namun pada dasarnya
memiliki substansi makna yang sama. Seperti Al-Ghazali memberikan definisi Qiyas
sebagai pembawa Membawa hukum yang belum diketahui kepada hukum yang sudah
diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum
bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun
sifat. Lalu, menurut Al-Amidi sendiri Qiyas adalah Suatu ‘Ibarat dari
mempersamakan ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada asal yang
diistinbatkan dari hukum asal.6
Sementara itu, menurut Wahbah az-Zuhali, Qiyas adalah Menghubungkan sesuatu
yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya
karena ada persamaan ‘illat antara kedua. Dari beberapa pendapat ini, dapat dilihat
bahwa yang dimaksud dengan qiyas adalah suatu upaya seorang mujtahid dalam
menghubungkan sebuah peristiwa yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan
peristiwa yang sudah ada nash hukumnya, karena terdapat persamaan illat hukum
diantara keduanya.7
Mengacu pada definisi dari qiyas tersebut pula maka dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya hakikat qiyas itu terletak pada tiga aspek, yaitu:
a. Ada dua kasus/peristiwa yang mempunyai illat yang sama.
b. Satu diantara dua kasus tersebut sudah ada hukumnya yang ditetapkan
berdasarkan nash, sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
c. Berdasarkan penelitian terhadap illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan
hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada
kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.8

5
Ahmad Fuad, “Qiyas sebagai Salh Satu Metode Istinbat Al-Hukum”, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 15 No.
1 (Juni, 2016), 44.
6
Farid Naya, “Membincang Qiyas sebagai Metode Pneteapan Hukum Islam”, Jurnal Tahkim, Vol. 11 No. 1 (Juni,
2015), 172.
7
Ibid., 173.
8
Ibid., 174.
Dengan demikian, dapat diketahui secara jelas bahwa proses penetapan hukum
melalui metode Qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (iśbat al-hukm wa
insyauh), melainkan hanya menyingkap, dan menjelaskan hukum (al-kasyf wa al-
idzhar li al-hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.
Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti
terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illat-nya sama dengan
illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi 9

B. Rukun dan Syarat dan Rukun Al Ijma dan Qiyas


1) Rukun dan Syarat Al Ijma
Didasarkan pada pengertian di atas dapat diketahui bahwa Ijma hanya bisa terjadi
bila memenuhi rukun-rukun berikut.
a. Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid
Mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat
terpuji, dan memapu meng-instibath hukum dari sumbernya. Dengan
demikian, orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat
mujtahid tidak bisa dikatakan sebagai Ijma’. Karena mereka tidak ahli dalam
menelaah hukum.
b. Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid
Bila sebagaian mujtahid bersepakat dan lainnya tidak, meskipun sedikit,
maka menurut Juhur, hal itu tidak busa dikatakan Ijma’, karena Ijma’ harus
mencakup kesuluruhan mujtahid.
c. Para Mujtahid harus Umat Nabi Muhammad SAW
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Nabi
Muhammad SAW, tidak bisa dikatakan Ijma’. Hal ini menunjukkan adanya
umat para Nabi lain yang juga ber-Ijma. Adapun, Ijma’ umat Nabi
Muhammad SAW, tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-
Ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
d. Dilakukan setelah Wafatnya Nabi

9
Ibid., 175.
Ijma’ itu tidak bisa terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi
senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dpandang
baik, dan itu dipandang sebagai Syari’at.
e. Kesepakatan harus Berhubungan dengan Syari’at
Maksutnya, kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at,
seperti tentang wajib, sunnah, makruh, haram, dan lain-lain.10

Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah (1) yang melakukan


ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad, (2)
kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat
terhadap agamanya), (3) Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha
menghindarkan diri dari ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Keiga syarat ini
disepakati oleh seluruh ualama.11

2) Rukun dan Syarat Qiyas


Rukun adalah unsur-unsur pokok yang harus terpenuhi demi keabsahan atau
kesempurnaan suatu hal, dengan kata lain rukun adalah elemen urgen yang
dengannya suatu perkara menjadi sempurna. Dalam segala hal, rukun merupakan
elemen terpenting karena rukun memegang peranan sebagai penentu sah atau
tidaknya; legal atau tidaknya sesuatu. Termasuk dalam hal ini, qiyas juga memiliki
rukun-rukun yang harus terpenuhi. Jika rukun-rukun tersebut tidak dapat terpenuhi
maka secara otomatis qiyas juga tidak dapat diterapkan. 12
Adapun rukun-rukun Qiyas adalah sebagai berikut:
a. Al-Asl
Suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat
mengqiyaskan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan
ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syura’ yang menunjukkan
ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum.
Ashl itu juga disebut maqis alaih, mahmul alaih, atau masyabbah bih.13

10
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2018), 70.
11
Susiadi AS, “Ijma dan Issu Kontemporer”, jurnal ASAS, Vol. 6 No.2 (Juli, 2014), 126.
12
Ahmad Fuad, “Qiyas sebagai Salh Satu Metode Istinbat Al-Hukum”, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 15 No.
1 (Juni, 2016), 45.
13
Ibid., 46.
b. Al-Far
Far’ disebut juga musyabbah atau yang diserupakan; maqis tau yang
diqiyaskan. Secara etimologis, far’ berarti cabang. Sedangkan dalam konteks
qiyas, far’ diartikan sebagai kasus yang ingin diserupakan kepada aṣl karena
tidak adanya nas yang secara jelas menyebutkan hukumnya. Maka dari itu,
far’ akan diproses untuk disamakan dengan aṣl. Secara substansial, far’yang
belum jelas status hukumnya itu disinyalir memiliki kesamaankesamaan
dengan aṣl, oleh karena ada titik temu antara aṣl dan far’. Titik temu itulah
yang disebut ‘illat.14
c. Hukum Asl
Dua kata yang digabung menjadi satu susunan (iḍāfah) ini, memiliki
pengertian: hukum syara’ yang ada pada aṣl berdasar pada legitimasi nash.
Hukum aṣl inilah yang nantinya akan berdampak pada far’ yang belum
memiliki legalitas hukum dari syara’ karena tiadanya nash. Dampak tersebut
adalah kesamaan hukum, hukum yang samasama melekat pada keduanya
dikarenakan kesamaan ‘illat. Adapun setelah proses pengqiyasan, lalu
ditemukanlah hukum bagi far’ maka hukum far’ ini bukanlah merupakan
salah satu rukun dari rukun-rukun qiyas. Hukum far’ hanyalah buah hasil
(ṡamrah) dari proses qiyas.15
d. Al-Illah
Al-‘illah atau yang sering disebut juga ‘illat merupakan poin terpenting di
antara rukun-rukun yang lain. Karena sebagaimana dikatakan di atas, bahwa
‘illat merupakan titik temu antara aṣl dan far’ yang mana nantinya akan
menentukan kasus hukum far’ itu sendiri. Menurut arti bahasa,’illat diartikan
sebagai hujah atau alasan. Sedang secara terminologis, ‘illat adalah sifat yang
menjadi landasan hukum aṣl. Illat haruslah berupa sifat yang jelas dan dapat
dibatasi. Karena konsekuensi dari ‘illat adalah penetapan hukum, oleh
karenanya ia harus jelas dan dapat dimengerti dan diketahui
batasanbatasannya. Terkadang ‘illat juga disebut sebagai sebab.16

14
Ibid., 47.
15
Ibid., 48.
16
Ibid., 49.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Fuad, “Qiyas sebagai Salh Satu Metode Istinbat Al-Hukum”, Jurnal Pemikiran
Hukum Islam, Vol. 15 No. 1 .Juni, 2016.
Chamim Tohari, “Konsep Ijma dalam Ushul Fiqh dan Klaim Gerakan Islam 212”, Jurnal
Aqlam: Journal of Islam dan Plurality, Vol. 4 No.2. Desember, 2019.
Farid Naya, “Membincang Qiyas sebagai Metode Pneteapan Hukum Islam”, Jurnal
Tahkim, Vol. 11 No. 1. Juni, 2015.

Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2018.

Susiadi AS, “Ijma dan Issu Kontemporer”, Jurnal ASAS, Vol. 6 No.2 .Juli, 2014.

Anda mungkin juga menyukai