1. Pengertian ijtihad
Ijtihad dalam bahasa Arab berasal dari kata jahada artinya bersungguh-sungguh
atau mencurahkan segala daya dalam berusaha. Adapun pengertiannya secara
terminologi menurut Al-‘Amidi adalah mencurahkan segenap kemampuan dalam
mencari hukum syar’I yang bersifat dzanny, dalam batas sampai dirinya merasa
mampu melebihi usahanya itu. Dalam hubungannya dengan hukum, ijtihad adalah
usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan memperguanakan segenap
kemampuan yang ada dilakukan oleh orang ahli hukum yang memenuhi syarat untuk
merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam
Alqur’an dan Sunnah Rasulullah. Orang yang berijtihad disebut mujtahid.
Artinya : “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan
tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung
dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS. An-Nisa : 123)
3. Macam-macam ijtihad
a. Ijmak.
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu dalam
pendapat, dengan kata lain ijmak merupakan consensus yang terjadi di
kalangan para mujtahid terhadap suatu masalah sepeninggal Rasulullah
SAW. Ahli ushul fikih mengemukakan bahwa ijmak adalah kesepatan para
mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW
terhadap suatu hukum syariat mengenai suatu peristiwa. Apabila terjadi
suatu peristiwa yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak ditemukan
dalam kedua sumber sebelumnya (Al-Quran dan sunnah) maka para
mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu peristiwa dan
jika disetujui atau disepakati oleh para mujtahid lain, kesepakatan itulah
yang disebut ijmak.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi
kuat dalm menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui
luas sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum
Islam. Sejumlah ayat dan hadits nabi menjadi pembenaran teologis
kekuatan ijmak sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan
kepada nenek laki-laki (jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-laki orang
yang meninggal dunia yang dalam keadaan seperti ini nenek laki-laki
tersebut menggantikan ayah (orang yang meninggal) untuk menerima
seperenam dari harta warisan atau harta peninggalannya merupakan contoh
penetapan hukum berdasarkan ijmak sahabat.
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan barang
yang baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh,karena dinilai sama
seperti halnya membeli barang yang tidak ada, merupakan contoh hukum
yang bersumber dari hasil ijmak sahabat (Hanafi, 1995: 61) Penggunaan
ijmak sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu peristiwa
secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW. Selama beliau hidup,
setiap peristiwa yang muncul selalu diminta untuk ditetapkan hukumnya
sehingga tidak mungkin terjadi perlawanan hukum terhadap suatu
masalah. Ijmak yang memiliki kehujahan sebagai sumber hukum
didasarkan pada sejumlah argumentasi teologis terutama ayat 59 surah An-
nisa’ yang didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada ulil amri setelah
taat pada Allah SWT dan Rosul-Nya. Ulil amri dalam ayat tersebut
dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti luas mencakup urusan
dunia ( seperti kepala Negara, menteri, legislative, dan lain-lain) dan
pemegang urusan agama seperti para mujtahid, mufti, dan ulama. Karena
itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status hukum suatu urusan maka
wajib ditaati, diikuti, dan dilaksanakan sebagaimana mentaati, mengikuti,
dan melaksanakan perintah Allah SWT dan Rosul-Nya dalam (QS. An-
nisa’ [4] : 83 ):
ُ ْ ف أَ َذاع
ِ َْوإِ َذا َجآ َءهُ ْم أَ ْم ٌر ِّمنَ االٌّ ْم ِن أَ ِو ْال َخو
ِ nو ِل َوإِلَى أوْ لِى االٌّ ْمn َّس
ر ِم ْنهُ ْمn ُ ُوا بِ ِه َولَوْ َر ُّدوهُ إِلَى الر
ُلَ َعلِ َمه
َّهُ الَتَّبَ ْعتُ ُم ال َّش ْيطَـنَ إِالn ُالَّ ِذينَ يَ ْستَ ْنبِطُونَهُ ِم ْنهُ ْم َولَوْ الَ فَضْ ُل هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمت
ًقَلِيال
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan,
kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. An-nisa’ 4: 83)
Argumentasi yang kedua yang dijadikan pembenaran kehujahan ijmak
sebagai sumber hukum Islam adalah sejumlah hadis Nabi SAW yang
menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat
kesalahan dan kesesatan separti hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu
Majah, yang mengatakan : “umatku tidak sepakat untuk membuat
kekeliruan.” Hal ini berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oeh para
mujtahid memiliki kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam
Islam dan wajib diikuti oleh umat Islam pada umumnya.
b. Qiyas
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun menurut
pengertian para ahli fikih, qiyas adalah menetapkan hukum tentang sesuatu
yang belum ada nash atau dalilnya yang tegas, dengan sesuatu hukum yang
sudah ada nash atau dalilnya yang didasarkan atas persamaan illat antara
keduanya. Misalnya, menetapkan haramnya minuman bir yang tidak ada
dalilnya dalam Al-Qur’an dengan khamar yang ada hukumnya di dalam
Al-Quran. Menyamakan atau menganalogikan bir dengan khamar ini
didasarkan pada adanya persamaan illat antara keduanya, yaitu
memabukkan.
c. Al-mashlahat al-mursalah
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi orang
banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-mashlahat al-
mursalah adalah sesuatu yang didalamnya mengandung kebaikan bagi
masyarakat, sehingga walaupun pada masa lalu hal tersebut tidak
diberlakukan, namun dalam keadaan masyarakat yang sudah makin
berkembang, keadaan tersebut dianggap perlu dilakukan. Misalnya,
pembukuan Al-quran dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang
perlu dilakukan, mengingat jumlah para penghafal Al-Quran makin sedikit
karena meninggal dunia, serta pertentangan dalam membaca Al-Quran
sering terjadi.
d. ‘Urf
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah dibiasakan.
Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah sesuatu yang berlaku
dimasyarakat atau tradisi yang mengandung nilai-nilai kebaikan bagi
masyarakat. Contonya kebiasaan merayakan hari raya yang pada zaman
sebelum Islam, namun dinilai mengandung kebaikan, maka tetap
dilanjutkan.
e. Istihsan
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik. Menurut
Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang manusia pada
umumnya sebagai hal yang baik, dan tidak bertentangan dengan al-Quran
dan sunnah. Penggunaan istihsan ini antara lain didasarkan pada sabda
Rasulullah SAW : Artrinya : “segala sesuatu yang dinilai oleh kaum
muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah
dipandang sebagai hal yang baik.”
f. Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian umum, Qaul
al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan perbuatan para
sahabat yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah. Penggunaan Qaul al-
shahabat sebagai dasar hukum, mengingat para sahabat selain sebagai
orang yang dekat, bergaul dan ikut berjuang dengan Rasulullah SAW, juga
memang memiliki pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang layak untuk
dijadikan bahan renungan dan pertimbangan dalam mengembangkan
ajaran Islam pada masa selanjutnya.
g. Syar’un man qablana
Secara harfiah berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian yang
lazim, Syar’un man qablana adlah ajaran yang terdapat didalam agama
yang diturunkan Tuhan sebelum Islam yang terdapat di dalam kitab Zabur,
Taurat, Injil yang masih asli yang tidak bertentangan dan masih sesuai
dengan kebutuhan zaman. Di dalam kitab Taurat yang ditinggalkan Nabi
Musa misalnya terdapat ajaran mengesakan Tuhan, larangan
menyekutukan-Nya, memuliakan kedua orang tua, memiliki kepedulian
terhadap kerabat, orang miskin, ibnu sabil, bersikap boros, membunuh
anak, berbuat zina, memakan harta anak yatim, mengurangi timbangan,
menjadi saksi palsu, dan larangan bersikap sombong. Ajaran yang dibawa
Nabi Musa ini terus dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana
terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat 23 sampai dengan ayat 37. Ajaran
yang pernah berlaku pada zaman Nabi Musa itu, masih tetap diberlakukan
dimasa sekarang, karena masih dianggap cocok dan dibutuhkan untuk
zaman sekarang dan yang akan datang.
4. Kedudukan ijtihad
Daftar Pustaka
Ahmad Maulidin dkk.2013. Makalah Sumber-sumber Ajaran Islam. Semarang: Fakultas
Tarbiyah Universitas Islam Negeri Wali Songo
a. Adanya beberapa pendapat yang menjadi satu pada satu masa tertentu.
b. Adanya kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum muslimin atas suatu hukum syara’
mengenai suatu peristiwa hukum pada waktu terjadinya, tanpa memandang tempat, kebangsaan,
dan kelompok mereka.
d. Kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid itu benar-benar terealisir, jika hanya sebagian
mujtahid, maka tidak akan terdapat ijmak. Ditinjau dari segi cara menghasilkan, terdapat dua macam
ijmak, yaitu:
a. Al-ijmâ’ as-sharîh, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa
dengan menampilkan pendapat masing-masing secara jelas, baik dengan perkataan ataupun dengan
tulisan atau juga dengan perbuatan.
b. Al-ijmâ’ as-sukutî, yaitu jika sebagian mujtahid berdiam diri tidak berterus terang mengeluarkan
pendapatnya dan diamnya itu bukan karena takut, segan atau malu, tapi betul-betul mereka
berdiam diri tidak memberikan pendapat sama sekali terhadap mujtahid lain, baik ia menyetujuinya
ataupun menolaknya.
b. Ijma’ dzanniy dalâlah-nya atas hukum, yaitu ijmâ’ sukutî. Kedudukan ijmâ’ sharîh lebih kuat
daripada ijmâ’ sukutî, karena keadaan diam seorang ulama terhadap pendapat hukum baru dari
ulama lain belum tentu berarti setuju. Ijmâ’ termasuk sumber hukum Islam selain al-Quran dan
Sunah, serta terdapat dalil dalam al-Quran surat an-Nisa: 59 yang menyebutkan bahwa: Artinya: “Hai
orang-orang mukmin, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian
jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul
(sunahnya), jika kau benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.