Anda di halaman 1dari 9

IJTIHAD

1. Pengertian ijtihad

Ijtihad dalam bahasa Arab berasal dari kata jahada artinya bersungguh-sungguh
atau mencurahkan segala daya dalam berusaha. Adapun pengertiannya secara
terminologi menurut Al-‘Amidi adalah mencurahkan segenap kemampuan dalam
mencari hukum syar’I yang bersifat dzanny, dalam batas sampai dirinya merasa
mampu melebihi usahanya itu. Dalam hubungannya dengan hukum, ijtihad adalah
usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan memperguanakan segenap
kemampuan yang ada dilakukan oleh orang ahli hukum yang memenuhi syarat untuk
merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam
Alqur’an dan Sunnah Rasulullah. Orang yang berijtihad disebut mujtahid.

Ijtihad memiliki arti kesungguhan, yaitu mengerjakan sesuatu dengan segala


kesungguhan. Ijtihad dari sudut istilah berarti menggunakan seluruh potensi nalar
secara maksimal dan optimal untuk meng-istinbath suatu hukum agama yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok ulama yang memenuhi persyaratan
tertentu, pada waktu tertentu untuk merumuskan kepastian hukum mengenai suatu
perkara yang tidak ada status hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan tetap
berpedoman pada dua sumber utama.
Dengan demikian, ijtihad bukan berarti penalaran bebas dalam menggali
hukum satu peristiwa yang dilakukan oleh mujtahid, melainkan tetap berdasar pada
Al-Qur’an dan sunnah. Walaupun ijtihad diperbolehkan untuk dilakukan oleh
mujtahid (orang yang berijtihad) yang memenuhi syarat, namun tidak berarti bahwa
ijtihad dapat dilakukan dalam semua bidang. Ijtihad memiliki ruang lingkup tertentu.
Syaikh Muhammad Salut, misalnya membagi lingkup ijtihad ke dalam dua
bagian:
a. Permasalahan yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan hukumnya dalam Al-
Qur’an atau hadist Nabi.
b. Ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dan hadis tertentu tidak begitu jelas maksudnya
yang mungkin disebabkan oleh makna yang dikandung lebih dari satu
sehingga perlu ditentukan dengan jalan ijtihad untuk mengetahui makna-
makna yang sesungguhnya yang dimaksud.
2. Landasan Ijtihad

Pada dasarnya ijtihad itu merupakan Ushul Al-Syariah yang mempunyai


landasanyang kuat secara naqli walaupun tidak secara eksplisit, tetapi isyarah ke arah
ijtihad sangatckelihatan. Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisaa ayat 123

َ ‫ب أَ ْه ِل أَ َمانِ ِّي َواَل بِأ َ َمانِيِّ ُك ْم لَي‬


‫ْس‬ ِ ‫سُو ًءا يَ ْع َملْ َم ْن ْۗال ِكتَا‬

‫صيرًا َواَل َولِيًّا هَّللا ِ دُو ِن ِم ْن لَهُ يَ ِج ْد َواَل بِ ِه يُجْ َز‬


ِ َ‫ن‬

Artinya : “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan
tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung
dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS. An-Nisa : 123)

3. Macam-macam ijtihad

a. Ijmak.
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu dalam
pendapat, dengan kata lain ijmak merupakan consensus yang terjadi di
kalangan para mujtahid terhadap suatu masalah sepeninggal Rasulullah
SAW. Ahli ushul fikih mengemukakan bahwa ijmak adalah kesepatan para
mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW
terhadap suatu hukum syariat mengenai suatu peristiwa. Apabila terjadi
suatu peristiwa yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak ditemukan
dalam kedua sumber sebelumnya (Al-Quran dan sunnah) maka para
mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu peristiwa dan
jika disetujui atau disepakati oleh para mujtahid lain, kesepakatan itulah
yang disebut ijmak.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi
kuat dalm menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui
luas sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum
Islam. Sejumlah ayat dan hadits nabi menjadi pembenaran teologis
kekuatan ijmak sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan
kepada nenek laki-laki (jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-laki orang
yang meninggal dunia yang dalam keadaan seperti ini nenek laki-laki
tersebut menggantikan ayah (orang yang meninggal) untuk menerima
seperenam dari harta warisan atau harta peninggalannya merupakan contoh
penetapan hukum berdasarkan ijmak sahabat.
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan barang
yang baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh,karena dinilai sama
seperti halnya membeli barang yang tidak ada, merupakan contoh hukum
yang bersumber dari hasil ijmak sahabat (Hanafi, 1995: 61) Penggunaan
ijmak sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu peristiwa
secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW. Selama beliau hidup,
setiap peristiwa yang muncul selalu diminta untuk ditetapkan hukumnya
sehingga tidak mungkin terjadi perlawanan hukum terhadap suatu
masalah. Ijmak yang memiliki kehujahan sebagai sumber hukum
didasarkan pada sejumlah argumentasi teologis terutama ayat 59 surah An-
nisa’ yang didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada ulil amri setelah
taat pada Allah SWT dan Rosul-Nya. Ulil amri dalam ayat tersebut
dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti luas mencakup urusan
dunia ( seperti kepala Negara, menteri, legislative, dan lain-lain) dan
pemegang urusan agama seperti para mujtahid, mufti, dan ulama. Karena
itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status hukum suatu urusan maka
wajib ditaati, diikuti, dan dilaksanakan sebagaimana mentaati, mengikuti,
dan melaksanakan perintah Allah SWT dan Rosul-Nya dalam (QS. An-
nisa’ [4] : 83 ):
ُ ْ ‫ف أَ َذاع‬
ِ ْ‫َوإِ َذا َجآ َءهُ ْم أَ ْم ٌر ِّمنَ االٌّ ْم ِن أَ ِو ْال َخو‬
ِ n‫و ِل َوإِلَى أوْ لِى االٌّ ْم‬n ‫َّس‬
‫ر ِم ْنهُ ْم‬n ُ ‫ُوا بِ ِه َولَوْ َر ُّدوهُ إِلَى الر‬
ُ‫لَ َعلِ َمه‬
َّ‫هُ الَتَّبَ ْعتُ ُم ال َّش ْيطَـنَ إِال‬n ُ‫الَّ ِذينَ يَ ْستَ ْنبِطُونَهُ ِم ْنهُ ْم َولَوْ الَ فَضْ ُل هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمت‬
ً‫قَلِيال‬
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan,
kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. An-nisa’ 4: 83)
Argumentasi yang kedua yang dijadikan pembenaran kehujahan ijmak
sebagai sumber hukum Islam adalah sejumlah hadis Nabi SAW yang
menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat
kesalahan dan kesesatan separti hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu
Majah, yang mengatakan : “umatku tidak sepakat untuk membuat
kekeliruan.” Hal ini berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oeh para
mujtahid memiliki kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam
Islam dan wajib diikuti oleh umat Islam pada umumnya.
b. Qiyas
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun menurut
pengertian para ahli fikih, qiyas adalah menetapkan hukum tentang sesuatu
yang belum ada nash atau dalilnya yang tegas, dengan sesuatu hukum yang
sudah ada nash atau dalilnya yang didasarkan atas persamaan illat antara
keduanya. Misalnya, menetapkan haramnya minuman bir yang tidak ada
dalilnya dalam Al-Qur’an dengan khamar yang ada hukumnya di dalam
Al-Quran. Menyamakan atau menganalogikan bir dengan khamar ini
didasarkan pada adanya persamaan illat antara keduanya, yaitu
memabukkan.

c. Al-mashlahat al-mursalah
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi orang
banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-mashlahat al-
mursalah adalah sesuatu yang didalamnya mengandung kebaikan bagi
masyarakat, sehingga walaupun pada masa lalu hal tersebut tidak
diberlakukan, namun dalam keadaan masyarakat yang sudah makin
berkembang, keadaan tersebut dianggap perlu dilakukan. Misalnya,
pembukuan Al-quran dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang
perlu dilakukan, mengingat jumlah para penghafal Al-Quran makin sedikit
karena meninggal dunia, serta pertentangan dalam membaca Al-Quran
sering terjadi.

d. ‘Urf
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah dibiasakan.
Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah sesuatu yang berlaku
dimasyarakat atau tradisi yang mengandung nilai-nilai kebaikan bagi
masyarakat. Contonya kebiasaan merayakan hari raya yang pada zaman
sebelum Islam, namun dinilai mengandung kebaikan, maka tetap
dilanjutkan.
e. Istihsan
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik. Menurut
Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang manusia pada
umumnya sebagai hal yang baik, dan tidak bertentangan dengan al-Quran
dan sunnah. Penggunaan istihsan ini antara lain didasarkan pada sabda
Rasulullah SAW : Artrinya : “segala sesuatu yang dinilai oleh kaum
muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah
dipandang sebagai hal yang baik.”
f. Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian umum, Qaul
al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan perbuatan para
sahabat yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah. Penggunaan Qaul al-
shahabat sebagai dasar hukum, mengingat para sahabat selain sebagai
orang yang dekat, bergaul dan ikut berjuang dengan Rasulullah SAW, juga
memang memiliki pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang layak untuk
dijadikan bahan renungan dan pertimbangan dalam mengembangkan
ajaran Islam pada masa selanjutnya.
g. Syar’un man qablana
Secara harfiah berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian yang
lazim, Syar’un man qablana adlah ajaran yang terdapat didalam agama
yang diturunkan Tuhan sebelum Islam yang terdapat di dalam kitab Zabur,
Taurat, Injil yang masih asli yang tidak bertentangan dan masih sesuai
dengan kebutuhan zaman. Di dalam kitab Taurat yang ditinggalkan Nabi
Musa misalnya terdapat ajaran mengesakan Tuhan, larangan
menyekutukan-Nya, memuliakan kedua orang tua, memiliki kepedulian
terhadap kerabat, orang miskin, ibnu sabil, bersikap boros, membunuh
anak, berbuat zina, memakan harta anak yatim, mengurangi timbangan,
menjadi saksi palsu, dan larangan bersikap sombong. Ajaran yang dibawa
Nabi Musa ini terus dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana
terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat 23 sampai dengan ayat 37. Ajaran
yang pernah berlaku pada zaman Nabi Musa itu, masih tetap diberlakukan
dimasa sekarang, karena masih dianggap cocok dan dibutuhkan untuk
zaman sekarang dan yang akan datang.

4. Kedudukan ijtihad

Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan


berikut:
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang
mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif.
Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan daripada suatu ijtihad
pun adalah relatif,
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang
tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat tapi tidak berlaku
pada masa/tempat yang lain,
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah (murni). Sebab
urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan Rasulullah,
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, dan
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi,
akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang menjadi ciri
dan jiwa daripada ajaran Islam.
f. Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum
ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits.
5. Syarat Ijtihad
Agar seorang mujtahid dapat berijtihad, dan hasil ijtihadnya berkualitas, maka ia
harus memiliki syarat-syarat :

 Mengetahui nash-nash Alquran perihal hukum syara yang dikandungnya, ayat-


ayat hukum dan cara mengistinbath daripadanya. Juga mengetahui asbab al-
nuzul, ta'wil, dan tafsir dari ayat-ayat yang akan diistinbath.
 Mengetahui nash-nash hadits, yakni mngetahui hukum syar'i dari hadits dan
mampu mengeluarkan hukum / istinbath daripadanya, disamping harus
mengetahui nilai dan derajat hadits.
 Menguasai ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya; ilmu nahwu, sharaf,
balaghah dal lainnya, juga ditunjang dengan seluk-beluk kesusastraan Arab
baik prosa ( natsar) maupun syair ( nadham), dan tahu antara 'aam - khash,
haqiqat - majaz, mutasyabih - muhkam. dan lainnya.
 Mengetahui maqashid al-syar'iyyah, tingkah laku dan adat kebiasaan manusia
yang mengandung mashlahat dan madharat, sanggup mengetahui illat hukum,
dapat mengqiyaskan satu peris dengan peristiwa lainnya hingga menetapkan
hukum sesuai dengan maksud syariat dan kemaslahatan umat.
 Mengetahui ilmu Ushul Fiqih, sebagai ilmu metoda isthinbath, metoda
menemukan dan menterapkan hukum, agar hukum hasil ijtihad lebih
mendekati kepada kebenaran.
 Memiliki akhlak terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.

Daftar Pustaka
Ahmad Maulidin dkk.2013. Makalah Sumber-sumber Ajaran Islam. Semarang: Fakultas
Tarbiyah Universitas Islam Negeri Wali Songo

Yanto, Bagus. 2011. Makalah Sumber Hukum Islam.


https://www.scribd.com/doc/69527093/makalah-Sumber-Hukum-Islam
Tolak pangkal perumusannya didasarkan kepada dalil-dalil yang terdapat dalam al-Quran dan
Sunnah (hadits sahih). Apabila telah terdapat ijma’ maka harus ditaati, karena hukum baru itu
merupakan perkembangan hukum yang sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat.
Perumusannya tidak menyimpang dari dalil-dalil al-Quran dan Hadits sahih, karena ijmak bukan
merupakan aturan hukum yang berdiri sendiri. Terdapat rukun yang harus dipenuhi untuk mencapai
sebuah ketetapan atau kesepakatan hukum (ijmak), di antaranya:

a. Adanya beberapa pendapat yang menjadi satu pada satu masa tertentu.

b. Adanya kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum muslimin atas suatu hukum syara’
mengenai suatu peristiwa hukum pada waktu terjadinya, tanpa memandang tempat, kebangsaan,
dan kelompok mereka.

c. Kesepakatan pendapat itu nyata, baik berupa perbuatan mapun perkataan.

d. Kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid itu benar-benar terealisir, jika hanya sebagian
mujtahid, maka tidak akan terdapat ijmak. Ditinjau dari segi cara menghasilkan, terdapat dua macam
ijmak, yaitu:

a. Al-ijmâ’ as-sharîh, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa
dengan menampilkan pendapat masing-masing secara jelas, baik dengan perkataan ataupun dengan
tulisan atau juga dengan perbuatan.

b. Al-ijmâ’ as-sukutî, yaitu jika sebagian mujtahid berdiam diri tidak berterus terang mengeluarkan
pendapatnya dan diamnya itu bukan karena takut, segan atau malu, tapi betul-betul mereka
berdiam diri tidak memberikan pendapat sama sekali terhadap mujtahid lain, baik ia menyetujuinya
ataupun menolaknya.

Sedang ditinjau dari segi kekuatannya, ada dua macam ijma’:

a. Ijmâ’ qat’î dalâlah-nya atas hukum, yaitu ijmâ’ sharîh.

b. Ijma’ dzanniy dalâlah-nya atas hukum, yaitu ijmâ’ sukutî. Kedudukan ijmâ’ sharîh lebih kuat
daripada ijmâ’ sukutî, karena keadaan diam seorang ulama terhadap pendapat hukum baru dari
ulama lain belum tentu berarti setuju. Ijmâ’ termasuk sumber hukum Islam selain al-Quran dan
Sunah, serta terdapat dalil dalam al-Quran surat an-Nisa: 59 yang menyebutkan bahwa: Artinya: “Hai
orang-orang mukmin, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian
jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul
(sunahnya), jika kau benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Anda mungkin juga menyukai