Anda di halaman 1dari 9

I.

Pengertian Ijtihad

Ijtihad secara bahasa adalah berasal dari kata al-jahd dan al-juhd yang berarti
kemampuan, potensi, dan kapasitas. Dalam Lisân al-‘Arab disebutkan bahwa al-juhd
berarti mengerahkan segala kemampuan dan maksimalisasi dalam menggapai
sesuatu.Wazn ifti’âl menunjukkan arti muballaghah (melebihkan) dari kata dasarnya.
Dalam hal ini ijtihad lebih berarti mubalaghah (mengerahkan kemampuan) daripada
arti kata jahada (mampu). Berdasarkan pengertian ini, ijtihad menurut bahasa artinya
mengeluarkan segala upaya dan memeras segala kemampuan untuk sampai pada satu
hal dari berbagai hal yang masing-masing mengandung konsekuenssi kesulitan dan
keberatan (masyaqqah).

Artinya, “Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan suatu urusan atau


suatu perbuatan.”

Sedangkan menurut istilah adalah

Artinya, “Pencurahan segenap kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan


hukum syara’ yang ‘amaliy dari dalil-dalilnya yang tafshî

Abdul Wahhab Khallaf sebagaimana dikutip oleh Zarkasyi dalam bukunya


Pengantar Ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, menerangkan bahwa arti ijtihad dalam arti luas
meliputi:

1. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang


dikehendaki oleh nash yang dzanniy dalâlah-nya.
2. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang
‘amaliy dengan menetapkan qâ’idah syar’iyyah kulliyyah.
3. Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang
‘amaliy tentang masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh sesuatu nash,
dengan menggunakan sarana-sarana yang direstui oleh syara’ untuk digunakan
mengenai masalah tersebut untuk ditetapkan hukumnya. Inilah yang disebut
dengan istilah ijtihâd bir-ra’yi.
II. Kedudukan Ijtihad

Terdapat beberapa dalil yang menetapkan bahwa ijtihad merupakan salah satu dasar
tasyri’ atau sumber hukum, yaitu:

1. Al-Quran, surat an-Nisâ’: 59

Artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-
Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya
2. As-Sunnah, sabda Nabi saw:

Artinya, “Kalian wajib mengikuti sunahku dan sunah Khulafaurrasyidin


sesudahku (H.R. Abu Daud dan Attirmidzi)
3. Penganugerahan akal kepada manusia. Tuhan menjadikan syariat Islam
sebagai syariat terakhir yang bisa berlaku bagi umat di berbagai tempat dan
zaman. Al-Quran dan as-Sunnah bersifat mujmal, kejadian-kejadian baru yang
dihadapi manusia silih berganti bahkan sangat kompleks sesuai dengan
perkembangan zaman. Sekiranya ijtihad dalam men-tahqiq-kan hukum tidak
boleh, maka manusia akan mengalami kesempitan dalam hidupnya. Karenanya
ijtihad diperlukan dalam Islam.

Terdapat metodologi ijtihad yang harus dipenuhi oleh para mujtahid (pelaku ijtihad)
guna menghasilkan atau menetapkan (istinbâth) hukum yang digali dari sumber-
sumber hukum. ‘Ali Hasabalah melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan
oleh para ulama ushul dalam melakukan istinbâth hukum, yakni:

1. Pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan. Penggunaan pendekatan


melalui kaidah-kaidah ialah karena kajian akan menyangkut nash (teks)
syariah.
2. Pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syariah (maqâshid
syarî’ah). Pendekatan melalui maqâshid syarî’ah adalah karena kajian akan
menyangkut kehendak syar’iy, yang hanya mungkin dapat diketahui melalui
kajian maqâshid syarî’ah.
III. Syarat Mujtahid

Seorang mujtahid yang hendak melakukan ijtihad haruslah memenuhi beberapa


syarat, yang dalam hal ini ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah
persyaratannya. Secara garis besar adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui dengan baik bahasa Arab dari berbagai segi, sehingga menguasai
susunan kata-kata (uslûb) dan rasa bahasanya (dzawq).
2. Mengetahui dengan baik isi al-Quran, terutama ayat-ayat yang berhubungan
dengan masalah-masalah ‘amaliy.
3. Mengetahui dengan baik sunah Rasul yang berhubungan dengan hukum.
4. Mengetahui masalah-masalah hukum yang telah menjadi ijmak para ulama
sebelumnya.
5. Mengetahui ushul fiqh.
6. Mengetahui kaidah-kaidah fiqhiah.
7. Mengetahui maksud-maksud syara’ .
8. Mengetahui rahasia-rahasia syara’ .
9. Mujtahid bersifat adil, jujur, dan berbudi pekerti luhur.
10. Mujtahid berniat suci dan benar.
Abul A’la al-Mawdûdî mengemukakan enam macam syarat yang harus dipenuhi oleh
mujtahid, yaitu:

1. Memiliki iman kuat terhadap syarî’ah ilâhiyyah, berkeyakinan teguh terhadap


kebenaran dan kelurusannya, dan mempunyai tekad yang bersih untuk
merealisasikannya, hatinya tidak cenderung mengutak-atik ketentuan syariat,
dan tidak mengambil prinsip dan dasar dari sumber lain.
2. Menguasai Bahasa Arab lengkap dengan gramatika dan gaya bahasanya
dengan baik. Sebab dengan bahasa Arablah al-Quran diturunkan, dan sarana
yang paling penting untuk mengungkap sunah adalah Bahasa Arab.
3. Mendalami ilmu al-Quran dan as-Sunnah, sehingga tidak hanya tahu hukum
yang bersifat furû’ saja melainkan memahami juga dengan baik kaidah-kaidah
syarat yang bersifat universal dan tujuan-tujuan mendasar. Mujtahid harus
mengetahui ketetapan syara’ yang berkaitan dengan kepentingan hidup
manusia secara menyeluruh. Di samping itu, ia harus mengetahui kedudukan
setiap segi dari aspek-aspek kehidupan dalam kerangka ketetapan universal
ini, dan harus mengetahui tujuan ketetapan syara’ dan kemaslahatannya dalam
mengatur berbagai segi dan aspek kehidupan yang berbeda-beda.
4. Mengetahui produk-produk ijtihad (hukum) yang diwariskan oleh para ahli
terdahulu. Kebutuhan akan warisan lama bukan saja untuk latihan berijtihad,
tetapi juga untuk melihat kesinambungan perkembangan hukum. Sebab
adanya itjtihad bukan untuk memusnahkan yang lama dan memandangnya
sebagai hal yang asing, sehingga harus diganti dengan yang baru.
5. Memiliki pengamatan yang cermat terhadap maslah-masalah kehidupan
berikut situasi dan kondisi yang melingkupinya. Sebab masalah dan kondisi-
kondisi itulah yang akan menjadi tempat aplikasi hukum-hukum tersebut.
6. Memiliki akhlak yang terpuji sesuai tuntunan Islam. Orang tidak akan mau
menerima hasil ijtihad apabila dihasilkan oleh orang-orang yang tidak baik.

IV. Cara-cara Ijtihad

Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan bahwa metode atau cara-cara ijtihad


adalah:
a. Ijmak.
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu dalam
pendapat, dengan kata lain ijmak merupakan consensus yang
terjadi di kalangan para mujtahid terhadap suatu masalah
sepeninggal Rasulullah SAW. Ahli ushul fikih mengemukakan
bahwa ijmak adalah kesepatan para mujtahid kaum muslimin
dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap suatu
hukum syariat mengenai suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu
peristiwa yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak
ditemukan dalam kedua sumber sebelumnya (Al-Quran dan
sunnah) maka para mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang
hukum suatu peristiwa dan jika disetujui atau disepakati oleh para
mujtahid lain, kesepakatan itulah yang disebut ijmak.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang
memiliki posisi kuat dalm menetapkan hukum dari suatu peristiwa.
Bahkan telah diakui luas sebagai sumber hukum yang menempati
posisi ketiga dalam hukum Islam. Sejumlah ayat dan hadits nabi
menjadi pembenaran teologis kekuatan ijmak sebagai sumber
hukum dalam Islam. Pemberian warisan kepada nenek laki-laki
(jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-laki orang yang meninggal
dunia yang dalam keadaan seperti ini nenek laki-laki tersebut
menggantikan ayah (orang yang meninggal) untuk menerima
seperenam dari harta warisan atau harta peninggalannya
merupakan contoh penetapan hukum berdasarkan ijmak sahabat.
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan
barang yang baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh,karena
dinilai sama seperti halnya membeli barang yang tidak ada,
merupakan contoh hukum yang bersumber dari hasil ijmak sahabat
(Hanafi, 1995: 61) Penggunaan ijmak sebagai sumber hukum
dalam menetapkan hukum suatu peristiwa secara historis terjadi
pasca wafatnya Nabi SAW. Selama beliau hidup, setiap peristiwa
yang muncul selalu diminta untuk ditetapkan hukumnya sehingga
tidak mungkin terjadi perlawanan hukum terhadap suatu masalah.
Ijmak yang memiliki kehujahan sebagai sumber hukum didasarkan
pada sejumlah argumentasi teologis terutama ayat 59 surah An-
nisa’ yang didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada ulil amri
setelah taat pada Allah SWT dan Rosul-Nya. Ulil amri dalam ayat
tersebut dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti luas
mencakup urusan dunia ( seperti kepala Negara, menteri,
legislative, dan lain-lain) dan pemegang urusan agama seperti para
mujtahid, mufti, dan ulama. Karena itu, apabila ulil amri telah
sepakat dalam status hukum suatu urusan maka wajib ditaati,
diikuti, dan dilaksanakan sebagaimana mentaati, mengikuti, dan
melaksanakan perintah Allah SWT dan Rosul-Nya dalam (QS. An-
nisa’ [4] : 83 ):
‫ف ِو أْل َ ْم ِن ِّمنَ أَ ْم ٌر َجٓا َءهُ ْم َوإِ َذا‬ ْ ‫َر ُّدوهُ َولَ ۖوْ بِ ِهۦ أَ َذاع‬
ِ ْ‫ُوٱل َخو‬
ِ ‫يَ ْست َۢنبِطُونَهۥُ ٱلَّ ِذينَ لَ َعلِ َمهُ ِم ْنهُ ْم أْل َ ْم ِر أُ ۟ولِى ٱ َوإِلَ ٰ ٓى ٱل َّرس‬
‫ُول إِلَى‬
‫إِاَّل ٱل َّش ْي ٰطَنَ ٱَلتَّبَ ْعتُ ُم َو َرحْ َمتُهۥُ َعلَ ْي ُك ْم ٱهَّلل ِ فَضْ ُل َولَوْ اَل ۗ ِم ْنهُ ْم‬
‫قَلِياًل‬
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita
tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul
dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian
kecil saja (di antaramu). (QS. An-nisa’ 4: 83)
Argumentasi yang kedua yang dijadikan pembenaran
kehujahan ijmak sebagai sumber hukum Islam adalah sejumlah
hadis Nabi SAW yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari
bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan separti hadis Nabi
SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah, yang mengatakan : “umatku
tidak sepakat untuk membuat kekeliruan.” Hal ini berarti bahwa
kesepakatan yang telah dicapai oeh para mujtahid memiliki
kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam Islam dan wajib
diikuti oleh umat Islam pada umumnya.
b. Qiyas
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun
menurut pengertian para ahli fikih, qiyas adalah menetapkan
hukum tentang sesuatu yang belum ada nash atau dalilnya yang
tegas, dengan sesuatu hukum yang sudah ada nash atau dalilnya
yang didasarkan atas persamaan illat antara keduanya. Misalnya,
menetapkan haramnya minuman bir yang tidak ada dalilnya dalam
Al-Qur’an dengan khamar yang ada hukumnya di dalam Al-Quran.
Menyamakan atau menganalogikan bir dengan khamar ini
didasarkan pada adanya persamaan illat antara keduanya, yaitu
memabukkan.

c. Al-mashlahat al-mursalah
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi
orang banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-
mashlahat al-mursalah adalah sesuatu yang didalamnya
mengandung kebaikan bagi masyarakat, sehingga walaupun pada
masa lalu hal tersebut tidak diberlakukan, namun dalam keadaan
masyarakat yang sudah makin berkembang, keadaan tersebut
dianggap perlu dilakukan. Misalnya, pembukuan Al-quran dalam
bentuk mushaf seperti yang ada sekarang perlu dilakukan,
mengingat jumlah para penghafal Al-Quran makin sedikit karena
meninggal dunia, serta pertentangan dalam membaca Al-Quran
sering terjadi.

d. ‘Urf
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah
dibiasakan. Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah
sesuatu yang berlaku dimasyarakat atau tradisi yang mengandung
nilai-nilai kebaikan bagi masyarakat. Contonya kebiasaan
merayakan hari raya yang pada zaman sebelum Islam, namun
dinilai mengandung kebaikan, maka tetap dilanjutkan.
e. Istihsan
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik.
Menurut Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang
manusia pada umumnya sebagai hal yang baik, dan tidak
bertentangan dengan al-Quran dan sunnah. Penggunaan istihsan ini
antara lain didasarkan pada sabda Rasulullah SAW : Artrinya :
“segala sesuatu yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai sesuatu
yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah dipandang sebagai
hal yang baik.”
f. Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian
umum, Qaul al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan
perbuatan para sahabat yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah.
Penggunaan Qaul al-shahabat sebagai dasar hukum, mengingat
para sahabat selain sebagai orang yang dekat, bergaul dan ikut
berjuang dengan Rasulullah SAW, juga memang memiliki
pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang layak untuk dijadikan
bahan renungan dan pertimbangan dalam mengembangkan ajaran
Islam pada masa selanjutnya.
g. Syar’un man qablana
Secara harfiah berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian
yang lazim, Syar’un man qablana adlah ajaran yang terdapat
didalam agama yang diturunkan Tuhan sebelum Islam yang
terdapat di dalam kitab Zabur, Taurat, Injil yang masih asli yang
tidak bertentangan dan masih sesuai dengan kebutuhan zaman. Di
dalam kitab Taurat yang ditinggalkan Nabi Musa misalnya terdapat
ajaran mengesakan Tuhan, larangan menyekutukan-Nya,
memuliakan kedua orang tua, memiliki kepedulian terhadap
kerabat, orang miskin, ibnu sabil, bersikap boros, membunuh anak,
berbuat zina, memakan harta anak yatim, mengurangi timbangan,
menjadi saksi palsu, dan larangan bersikap sombong. Ajaran yang
dibawa Nabi Musa ini terus dilanjutkan oleh Nabi Muhammad
SAW, sebagaimana terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat 23
sampai dengan ayat 37. Ajaran yang pernah berlaku pada zaman
Nabi Musa itu, masih tetap diberlakukan dimasa sekarang, karena
masih dianggap cocok dan dibutuhkan untuk zaman sekarang dan
yang akan datang.

Rohidin. 2016. Pengantar Hukum Islam Dari Semenanjung Arabia hingga


Indonesia. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books

Anda mungkin juga menyukai