Pengertian Ijtihad
Ijtihad secara bahasa adalah berasal dari kata al-jahd dan al-juhd yang berarti
kemampuan, potensi, dan kapasitas. Dalam Lisân al-‘Arab disebutkan bahwa al-juhd
berarti mengerahkan segala kemampuan dan maksimalisasi dalam menggapai
sesuatu.Wazn ifti’âl menunjukkan arti muballaghah (melebihkan) dari kata dasarnya.
Dalam hal ini ijtihad lebih berarti mubalaghah (mengerahkan kemampuan) daripada
arti kata jahada (mampu). Berdasarkan pengertian ini, ijtihad menurut bahasa artinya
mengeluarkan segala upaya dan memeras segala kemampuan untuk sampai pada satu
hal dari berbagai hal yang masing-masing mengandung konsekuenssi kesulitan dan
keberatan (masyaqqah).
Terdapat beberapa dalil yang menetapkan bahwa ijtihad merupakan salah satu dasar
tasyri’ atau sumber hukum, yaitu:
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-
Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya
2. As-Sunnah, sabda Nabi saw:
Terdapat metodologi ijtihad yang harus dipenuhi oleh para mujtahid (pelaku ijtihad)
guna menghasilkan atau menetapkan (istinbâth) hukum yang digali dari sumber-
sumber hukum. ‘Ali Hasabalah melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan
oleh para ulama ushul dalam melakukan istinbâth hukum, yakni:
1. Mengetahui dengan baik bahasa Arab dari berbagai segi, sehingga menguasai
susunan kata-kata (uslûb) dan rasa bahasanya (dzawq).
2. Mengetahui dengan baik isi al-Quran, terutama ayat-ayat yang berhubungan
dengan masalah-masalah ‘amaliy.
3. Mengetahui dengan baik sunah Rasul yang berhubungan dengan hukum.
4. Mengetahui masalah-masalah hukum yang telah menjadi ijmak para ulama
sebelumnya.
5. Mengetahui ushul fiqh.
6. Mengetahui kaidah-kaidah fiqhiah.
7. Mengetahui maksud-maksud syara’ .
8. Mengetahui rahasia-rahasia syara’ .
9. Mujtahid bersifat adil, jujur, dan berbudi pekerti luhur.
10. Mujtahid berniat suci dan benar.
Abul A’la al-Mawdûdî mengemukakan enam macam syarat yang harus dipenuhi oleh
mujtahid, yaitu:
c. Al-mashlahat al-mursalah
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi
orang banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-
mashlahat al-mursalah adalah sesuatu yang didalamnya
mengandung kebaikan bagi masyarakat, sehingga walaupun pada
masa lalu hal tersebut tidak diberlakukan, namun dalam keadaan
masyarakat yang sudah makin berkembang, keadaan tersebut
dianggap perlu dilakukan. Misalnya, pembukuan Al-quran dalam
bentuk mushaf seperti yang ada sekarang perlu dilakukan,
mengingat jumlah para penghafal Al-Quran makin sedikit karena
meninggal dunia, serta pertentangan dalam membaca Al-Quran
sering terjadi.
d. ‘Urf
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah
dibiasakan. Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah
sesuatu yang berlaku dimasyarakat atau tradisi yang mengandung
nilai-nilai kebaikan bagi masyarakat. Contonya kebiasaan
merayakan hari raya yang pada zaman sebelum Islam, namun
dinilai mengandung kebaikan, maka tetap dilanjutkan.
e. Istihsan
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik.
Menurut Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang
manusia pada umumnya sebagai hal yang baik, dan tidak
bertentangan dengan al-Quran dan sunnah. Penggunaan istihsan ini
antara lain didasarkan pada sabda Rasulullah SAW : Artrinya :
“segala sesuatu yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai sesuatu
yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah dipandang sebagai
hal yang baik.”
f. Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian
umum, Qaul al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan
perbuatan para sahabat yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah.
Penggunaan Qaul al-shahabat sebagai dasar hukum, mengingat
para sahabat selain sebagai orang yang dekat, bergaul dan ikut
berjuang dengan Rasulullah SAW, juga memang memiliki
pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang layak untuk dijadikan
bahan renungan dan pertimbangan dalam mengembangkan ajaran
Islam pada masa selanjutnya.
g. Syar’un man qablana
Secara harfiah berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian
yang lazim, Syar’un man qablana adlah ajaran yang terdapat
didalam agama yang diturunkan Tuhan sebelum Islam yang
terdapat di dalam kitab Zabur, Taurat, Injil yang masih asli yang
tidak bertentangan dan masih sesuai dengan kebutuhan zaman. Di
dalam kitab Taurat yang ditinggalkan Nabi Musa misalnya terdapat
ajaran mengesakan Tuhan, larangan menyekutukan-Nya,
memuliakan kedua orang tua, memiliki kepedulian terhadap
kerabat, orang miskin, ibnu sabil, bersikap boros, membunuh anak,
berbuat zina, memakan harta anak yatim, mengurangi timbangan,
menjadi saksi palsu, dan larangan bersikap sombong. Ajaran yang
dibawa Nabi Musa ini terus dilanjutkan oleh Nabi Muhammad
SAW, sebagaimana terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat 23
sampai dengan ayat 37. Ajaran yang pernah berlaku pada zaman
Nabi Musa itu, masih tetap diberlakukan dimasa sekarang, karena
masih dianggap cocok dan dibutuhkan untuk zaman sekarang dan
yang akan datang.