Anda di halaman 1dari 16

27

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari memperbaiki pola hidup, terapi medikamentosa,
terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. Target penatalaksanaan GERD
adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan,
memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.

1. Dispersia

Menurut Djojoningrat (2014) kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani, “dys” yang

berarti jelek atau buruk dan “pepsia” yang berarti pencernaan, jika digabungkan

dispepsia memiliki arti indigestion atau kesulitan dalam mencerna. Semua gejala-

gejala gastrointestinal yang berhubungan dengan masukan makanan disebut

dispepsia, contohnya mual, heartburn, nyeri epigastrum, rasa tidak nyaman, atau

distensi. Dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal di

prut bagian atas. Sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dispepsia dapat disebabkan

oleh berbagai penyakit, baik yang bersifat organik, maupun yang fungsional.

Berdasarkan konsensus terakhir (kriteria Roma) gejala heartburn atau pirosis, yang

diduga karena penyakit refluks gastroesofageal, tidak dimasukkan dalam sindrom

dispepsia (Djojoningrat, 2014).

Pencegahan Dispepsia

Pencegahan terhadap penyakit dispepsia adalah sebagai berikut:

1. Pencegahan Primordial

Merupakan pencegahan pada orang-orang yang belum memilik faktor resiko

dispepsia, dengan cara mengenali dan menghindari keadaan atau kebiasaan

yang dapat mencetuskan serangan dispepsia, dan untuk menghindari infeksi

helicobacter pylori dilakukan dengan cara menjaga sanitasi lingkungan agar

tetap bersih, perbaikan gizi, dan dan penyediaan air bersih (Rani, 2011).

2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Berperan dalam mengolah dan mencegah timbulnya gangguan akibat


28
dispepsia pada orang yang sudah memiliki faktor resiko dengan cara

membatasi atau menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sehat seperti,

makan tidak teratur, merokok, mengkonsumsi alkohol, minuman bersoda,

makanan berlemak, pedas, asam, dan menimbulkan gas di lambung. Berat

badan perlu dikontrol agar tetap ideal, karena gangguan pada saluran

pencernaan, seperti rasa nyeri di lambung, kembung, dan konstipasi lebih

umum terjadi pada orang yang mengalami obesitas. Rajin olahraga dan

manajemen stres juga dapat menurunkan resiko terjadinya dispepsia (Redaksi,

2009).

3. Pencegahan Sekunder

a. Diet mempunyai peran yang sangat penting, dasar diet tersebut adalah

makan sedikit berulang kali, makanan harus mudah dicerna, tidak

merangsang peningkatan asam lambung, dan bisa menetralisir asam HCL.

b. Obat-obatan untuk mengatasi dispepsia adalah antasida, antagonis reseptor

H2, penghambat pompa asam (proton pump inhibitor= PPI), sitoprotektif,

prokinetik, dan kadang dibutuhkan psikoterapi, atau psikofarma (obat anti

depresi atau cemas) untuk penderita yang berhubungan dengan faktor

kejiwaan seperti cemas, dan depresi (Redaksi, 2009).

2. Pencegahan Tersier
a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi

penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita dispepsia

terhadap masalah yang dihadapi.

b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama dirawat di

rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika kembali ke masyarakat

(Declan, 2001).
29
Pemeriksaan penunjang gerd :

endoskopi saluran cerna bagian atas, pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein,

manometri esofagus, sintigrafi gastroesofageal, dan tes penghambat pompa

proton (tes supresi asam) (Makmun,2009). American College of

Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah mempublikasikan Updated

Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease,

di mana empat di antara tujuh poin yang ada, merupakan poin untuk diagnosis,

yaitu: (Hongo dkk, 2007).

a. pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris (termasuk

modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien masuk

dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko

untuk Barret’s esophagus, atau pasien dan dokter merasa endoskopi dini

diperlukan.

b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi

dugaan Barret’s esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi

harus dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk

mengevaluasi displasia.

c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu

untuk konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap

(baik khas maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa, juga dapat

digunakan untuk memantau pengendalian refluks pada pasien tersebut di

atas yang sedang menjalani terapi.

d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan

probe ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya


30
pembedahan anti refluks. Sementara itu, pada tahun 2008, American

Gastroenterological Association (AGA) menerbitkan American

Gastroenterological Association Medical Position Statement on the

Management of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12 pernyataan,

dimana pada poin ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan prioritas uji

diagnostik GERD dalam mengevaluasi pasien dengan dugaan GERD sebagai

berikut : (Hiltz dkk, 2008)

a. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala

esofagus dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus

mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam

hal tidak dijumpainya kelainan secara visual, mukosa yang normal

(minimal 5 sampel untuk esofagitis eosinofilik.)

b. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala

esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa

PPI 2 kali sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami

metaplasia, displasia, atau malignansi.

c. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala

GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari

dan gambaran endoskopinya normal.

d. Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau

wireless pH dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk

mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD yang tidak berespon

terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari, gambaran endoskopinya

normal dan tidak memiliki kelainan pada manometri.


31

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari memperbaiki pola

hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan

terapi endoskopik. Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi

esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki

kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.

1. Memperbaki pola hidup

Memeperbaiki pola hidup merupakan salah satu bagian dari

penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun

belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada

dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah

kekambuhan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah

meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur

dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah

refluks asam dari lambung ke esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi

alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung

mempengaruhi sel-sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi

jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi

lambung, menurunkan berat badan pada pasien obesitas serta menghindari pakaian

ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari

makanan/minuman seperti coklat, teh, permen mint, kopi dan minuman bersoda

karena dapat menstimulasi sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari obat-

obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam,

opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.

2. Terapi medikamentosa
32
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada

penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini

GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna

bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti

bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik

untuk memperbaiki gangguan motilitas. Terdapat dua alur pendekatan terapi

medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan

dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi

asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat

golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama

(penghambat pompa proton atau PPI). Sedangkan pada pendekatan step down

pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan

terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis

reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid. Dari berbagai studi, dilaporkan

bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya

yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.

Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang

penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk

GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down. Pada

umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan diatas 80%

dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi

pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi“bila perlu” (on-demand

therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu

jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala


33
menandakan adanya respon perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya).

Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi

gejala pada tatalaksana GERD. Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan

dalam terapi medikamentosa GERD:

1. Antasid

Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala

GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap

HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah.

Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat

menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi

terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas

pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

2. Antagonis reseptor H2

Jenis obat yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,

famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif

dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali

lebih tinggi dari dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada

pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.

3. Obat-obatan prokinetik

Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena

penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya,

pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.

4. Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)

Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.

Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal

dengan mempengaruhi enzim K+H+ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir


34
proses pembentukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam

menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada

esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis

reseptor H2. Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)

yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama

4 bulan atau on-demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.

Mekanisme Kerja Obat Dispepsia dan GERD

1. Antasida

Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorik,

membentuk garam dan air untuk mengurangi keasaman lambung. Enzim pepsin

tidak aktif pada pH lebih tinggi dari empat, maka penggunaan antasida juga dapat

mengurangkan aktivitas pepsin (Finkel, 2009). Obat ini juga memiliki efek

pengurangan kolonisasi H. pylori dan merangsang sintesis prostaglandin (Mycek,

2001). Ada tiga cara antasida mengurangi keasaman cairan lambung, yaitu

pertama secara langsung menetralkan cairan lambung, kedua dengan berlaku

sebagai buffer terhadap hydrochloric acid lambung yang pada keadaan normal

mempunyai pH 1−2 dan ketiga dengan kombinasi kedua cara tersebut diatas.

Antasida akan mengurangi rangsangan asam lambung terhadap saraf sensoris dan

melindungi mukosa lambung terhadap perusakan oleh pepsin (Anwar, 2000). Zat

antasida sangat bervariasi dalam komposisi kimia, kemampuan menetralkan asam,

kandungan natrium, rasa dan harganya. Kemampuan untuk menetralkan asam

suatu antasida tergantung pada kapasitasnya untuk menetralkan HCl lambung dan

apakah lambung dalam keadaan penuh atau kosong (makanan memperlambat

pengosongan lambung, memungkinkan antasida bekerja untuk waktu yang lebih

lama). Oleh karena hal tersebut efek antasida lebih baik jika dikonsumsi setelah
35
makan (Mycek, 2001). Antasida yang biasa digunakan adalah garam alumunium

dan magnesium. Contoh seperti alumunium hidroksida (biasanya campuran

Al(OH)3 dan alumunium oksidahidrat) atau magnesium hidroksida (MgOH2) baik

tunggal ataupun dalam bentuk kombinasi. Garam kalsium yang dapat merangsang

pelepasan gastrin maka penggunanaan antasida yang mengandung kalsium seperti

pada kalsium bikarbonat (CaCO3) dapat menyebabkan produksi tambahan.

Absorbsi natrium bikarbonat (NaHCO3) secara sistemik dapat menyebabkan

alkalosis metabolik sementara. Oleh karena hal tersebut, antasida tidak dianjurkan

untuk penggunaan jangka panjang (Mycek, 2001). Dosis antasida yang diberikan

sebanyak 3x500-1000 mg/hr (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Antasida dapat

diminum saat menjelang tidur, pagi hari dan diantara waktu makan (Depkes,

2007). Obat ini memiliki 2 bentuk sediaan yaitu antasida DOEN I dan DOEN II.

Antasida DOEN I terdiri dari kombinasi alumunium hidroksida 200 mg dan

magnesium hidroksida 200 mg adalah tablet kunyah, sedangkan antasida DOEN II

kombinasi dari alumunium hidroksida 200 mg/5 ml dan magnesium hidroksida

200 mg/5 ml adalah suspensi (Depkes, 2007).

Efek samping dari obat antasida bervariasi tergantung zat komposisinya.

Alumunium hidroksida dapat menyebabkan konstipasi, sedangkan magnesium

hidroksida dapat menyebabkan diare. Kombinasi keduanya dapat membantu

menormalkan fungsi usus. Selain menyebabkan alkalosis sistemik, natrium

bikarbonat melepaskan CO2 yang dapat menimbulkan sendawa dan kembung

(Mycek, 2001).

2. H2 Bloker Antagonis

Meskipun antagonis histamin reseptor H2 menghambat histamin pada semua

reseptor H2 namun penggunaan klinis utamanya adalah sebagai penghambat

sekresi asam lambung (Mycek, 2001). Penggunaan obat antagonis reseptor H2


36
digunakan untuk menghambat sekresi asam lambung yang dikatakan efektif bagi

menghambat sekresi asam nokturnal. Strukturnya homolog dengan histamin.

Mekanisme kerjanya secara kompetitif memblokir perlekatan histamin pada

reseptornya sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam

lambung. Inhibisi bersifat reversibel (Finkel, 2009). Empat macam obat yang

digunakan yaitu simetidin, ranitidin, famotidin dan nizatidin. Simetidin dan

antagonis H2 lainya diberikan secara per-oral, didistribusikan secara luas ke

seluruh tubuh dan diekskresikan dalam urin dengan waktu paruh yang singkat.

Ranitidin memiliki masa kerja yang panjang lima sampai sepuluh kali lebih kuat. Efek

farmakologi famotidin sama dengan ranitidin, hanya 20−50 kali lebih kuat dibandingkan

dengan simetidin dan 3−20 kali lebih kuat dibandingkan ranitidin Efek farmakologi

nizatidin sama seperti ranitidin, nizatidin dieliminasi melalui ginjal dan sedikit yang terjadi

metabolisme (Mycek, 2001). Dosis terapeutik yang digunakan adalah Simetidin 2x400

mg/800 mg malam hari, dosis maintenance 400 mg. Ranitidin 300 mg malam hari, dosis

maintenance 150 mg. Nizatidin 1x300 mg malam hari, dosis maintenance 150 mg.

Famotidin 1x40 mg malam hari, Roksatidin 2x75 mg atau 1x150 mg malam hari, dosis

maintenance 75 mg malam hari (Finkel, 2009). Konsumsi obat antagonis reseptor H2 pada

malam hari dikarenakan lambung relatif kosong dan peningkatan pH akan mempercepat

penyembuhan penyakit tukak lambung (Anonim, 2014, )

3. Proton Pump Inhibitor

Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+H +ATPase (pompa

proton) yang akan memecah K+H +ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk

mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI

mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan pengurangan

rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas faktor agresif pepsin dengan pH >4 serta

meningkatkan efek eradikasi oleh regimen triple drugs (Finkel, 2009). Pada dosis
37
standar baik lansoprazol atau omeprazol menghambat sekresi asam lambung basal

dan sekresi karena rangsangan lebih dari 90%. Penekanan asam dimulai 1−2 jam

setelah dosis pertama lansoprazol dan lebih cepat dengan omeprazol. Penelitian klinis

sampai saat ini menunjukkan bahwa lansoprazol dan omeprazol lebih efektif untuk

jangka pendek dibandingkan dengan antagonis H2. Omeprazol digunakan dengan

berhasil bersama obat-obat anti mikroba untuk mengeradikasi kuman H. pylori

(Mycek, 2009). Omeprazol dan lansoprazol berupa tablet salut enterik untuk

melindunginya dari aktivasi prematur oleh asam lambung. Setelah diabsorbsi dalam

duodenum, obat ini akan dibawa ke kanalikulus dari sel perital asam dan akan diubah

menjadi dalam bentuk aktif. Metabolit obat ini diekskresikan dalam urin dan feses

(Mycek, 2001). Dosis omeprazol 2x20 mg atau 1x40 mg, lansprazol/pantoprazol

2x40 mg atau 1x60 mg (Finkel, 2009). Sediaan omeprazol adalah kapsul. Saat

mengonsumsi omeprazol, kapsul harus ditelan utuh dengan air (kapsul tidak dibuka,

dikunyah, atau dihancurkan). Sebaiknya diminum sebelum makan. Minum obat 30-60

menit sebelum makan, sebaiknya pagi hari (Anonim, 2012., Oktora, 2011). Efek

samping omeprazol dan lansoprazol biasanya dapat diterima baik oleh tubuh. Namun

dalam penggunaan jangka panjang, obat tersebut dapat meningkatkan insidensi tumor

karsinoid lambung yang kemungkinan berhubungan dengan efek hiperklorhidria

yang berkepanjangan dan hipergastrinemia sekunder (Mycek, 2001).

A. Interaksi pada absorbsi obat

1) Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah

obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi

ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan

sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah
38
absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada

pada pH tinggi (Stockley, 2008).

tingkat keparahan interaksi obat yang terjadi pada aspirin dan HCT yaitu HCT akan menurunkan level

atau efek dari aspirin dengan obat asam (anionik) untuk renal tubular clearance(MEDSCAPE)

1. Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan,

konsekuensi mungkin mengganggu tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil

terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).

FAKTOR PASIEN

UMUR

Menurut Ariefiany (2014) hal itu dapat terjadi dikarenakan tingkat usia seseorang

mempengaruhi penurunan fungsi dari suatu organ. Pada usia tua memiliki resiko

lebih tinggi mengalami gangguan lambung dibanding dengan usia muda. Hal ini

menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia seseorang, mukosa

lambung cenderung menjadi tipis dan produksi mukus (cairan pelindung lambung)

berkurang sehingga lebih mudah mengalami iritasi pada mukosa lambung.

Selanjutnya pada rentang usia 56-65 tahun sebanyak 40 pasien (23,67%) yaitu

pada masa lansia akhir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hariyati dan

Sakung, (2013) hasil wawancara langsung pada lansia pemicu dispepsia yaitu

faktor usia yang semakin tua, gaya hidup dan pola makan yang salah yang mereka

jalani seperti kebiasaan merokok, meminum alkohol, kopi dan lain sebagainya.

KAITAN GERD DISPESIA DAN HIPERTENSI


39
pasien yang menderita dispepsia maupun GERD ada keterkaitan dengan penyakit hipertensi karena

darah dari portal ke sirkulasi sistemik akan melewati jalur salah satunya gastrointestinal namun rute

yang paling signifikan secara klinis yaitu melalui vena lambung kiri dengan jalur alternatif

pasien yang menderita dispepsia maupun GERD ada keterkaitan dengan penyakit hipertensi
karena darah dari portal ke sirkulasi sistemik akan melewati jalur salah satunya
gastrointestinal namun rute yang paling signifikan secara klinis yaitu melalui vena lambung
kiri dengan jalur alternatif melalui kerongkongan sehingga menyebabkan perdarahan pada
lambung karena adanya ketegangan pada dinding lambung (Sease dkk., 2008).
Mekanisme omeprazol dapat memblokir kerja dari enzim K+H+ATPase yang akan memecah
K+H+ATPase sehingga menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari
kanalikuli sel parietal ke lumen lambung (Finkel et al., 2009). Pengobatan lini pertama pada
penderita dispepsia maupun GERD adalah golongan PPI kemudian H-2 reseptor dan sukralfat
(Berardi, dkk., 2014). Obat golongan PPI paling banyak digunakan pada pasien dispepsia maupun
GERD karena obat golongan ini diindikasikan untuk terapi jangka panjang yang mengalami GERD dan
jangka pendek pada pasien yang mengalami gejala gastrointestinal, selain itu juga obat golongan PPI
digunakan sebagai profilaksis (pencegahan) pada pasien yang menderita penyakit lain seperti IHD
(Ischemic Heart Disease), sepsis, pasien yang menjalani operasi bedah, DM, gagal ginjal kronis, gagal
hati akut (Rizqi, 2013). Keuntungan dari penggunaan obat PPI adalah dapat menurunkam kadar gula
darah pada pasien DM, dapat digunakaan pada pasien OA (Osteoarthritis) yang menggunakan obat
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) yang merupakan faktor resiko terjadinya peptik ulcer (Rizqi,
2013).

1. perut bagian atas. Istilah ini biasa pula digunakan untuk menerangkan bebagai

keluhan yang dirasakan di

abdomen bagian atas. Diantaranya adalah rasa nyeri ataupun rasa terbakar di

daerah epigastrum (ulu hati), perasaan penuh atau rasa bengkak di perut bagian

atas, sering sendawa, mual, ataupun rasa cepat kenyang. Dispepsia sering juga

dipakai sebagai sinonim dari gangguan pencernaan

2. Sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai

penyakit, baik yang bersifat organik, maupun yang fungsional. Berdasarkan

konsensus terakhir (kriteria Roma) gejala heartburn atau pirosis, yang diduga

karena penyakit refluks gastroesofageal, tidak dimasukkan dalam sindrom

dispepsia (Djojoningrat,2014)
Daftar pustaka

Anwar, J., 2000., Farmakologi dan Terapi: Obat – Obat Saluran Cerna.,. Jakarta.,
Halaman: 47-56.

Ariefiany, Deassy dkk., 2014., Analisis Gambaran Hispatologi Gastritis Kronik


dengan dan Tanpa Bakteri H.pylori Menurut Sistem Sidney., Majalah Patologi.,
Volume 23 Nomor 2

Berardi R.R. and L.S W., 2008., Peptic Ulcer Disease., dalam Dipiro J.T., Talbert R.L.,
Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G., Posey L.M. ed: Pharmacotherapy a
th
Pathophysiologic Approach. 7 ed., Dalam McGraw-Hill Companies., USA.

Declan Wash. T, 2001. Kapita Selekta Penyakit dan Terapi. Penerbit BukuKedokteran,
Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas.Direktorat


Jendral Bina Kefarmasian.

Djojoningrat., 2014., Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal., Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam., Interna Publishing., Jakarta.

Finkel R., Clark M.A., Cubeddu L.X., Harrey R.A. and Champe P. c., 2009.,
Lippincott’sIllustrated Review Pharmacology 4thEd, Williams & Wilkins, ed.,
Pliladelphia.

Hiltz SW, Black E, Modlin EM, Johnson SP, Schoenfeld PS, Allen J, et al., 2008.,
American Gastroenterological Association medical position statement on the
management of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology;135:1383- 91.

Hongo M, Kinoshita Y, Shimozuma K, Kumagai Y, Sawada M, Nii M., 2007.,


Psychometric validation of the Japanese translation of the quality of life in reflux
and dyspepsia questionnaire in patients with heartburn. J gastroenterol; 42: 802-
15.

Makmun D., 2009., Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW,


Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
6
Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
hal.481-95.

Mansjoer, Arif,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid 1. Jakarta

Medscape., 2019., Drug Interaction Checker., tersedia di


https://www.medscape.com/druginteraction.html.

Mycek, M. J, Harvey, R.A. dan Champe, P.C., 2001., Farmakologi


UlasanBergambar 2nd ed. H. Hartanto, ed., Jakarta, Widya Medika.

Rani AA.2011 Jacobus A. Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta Pusat., Interna


Publishing.
Redaksi., 2009., Mengatasi Gangguan Penyakit Maag.,Yogyakarta., Banyu Media
Rizqi M.F., 2013., Studi Penggunaan Proton Pump Inhibitor (PPI) pada Pasien
Rawat Inap di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya,. Universitas airlangga

Sease J.M., Timm E.G. and Stragand J.J., 2008., Portal Hypertension and
Cirrhosis dalam Dipiro J.T., Talbert R.L., Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G., Posey
L.M. ed: Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. 7th ed. McGraw-Hill
Companies, Dalam McGraw-Hill Companies.,USA.

Tatro D., 2009., Drug Interaction Facts, Wolters Kluwer Health, Inc, California.,
Wahyu Widayat, I. K., 2018., Profil Pengobatan Dan Drp’S Pada Pasien Ganguan
Lambung. Jurnal Sains dan Kesehatan., 2018., Vol 1. No. 10.

Anda mungkin juga menyukai