Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari memperbaiki pola hidup, terapi medikamentosa,
terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. Target penatalaksanaan GERD
adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan,
memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
1. Dispersia
Menurut Djojoningrat (2014) kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani, “dys” yang
berarti jelek atau buruk dan “pepsia” yang berarti pencernaan, jika digabungkan
dispepsia memiliki arti indigestion atau kesulitan dalam mencerna. Semua gejala-
dispepsia, contohnya mual, heartburn, nyeri epigastrum, rasa tidak nyaman, atau
distensi. Dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal di
prut bagian atas. Sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dispepsia dapat disebabkan
oleh berbagai penyakit, baik yang bersifat organik, maupun yang fungsional.
Berdasarkan konsensus terakhir (kriteria Roma) gejala heartburn atau pirosis, yang
Pencegahan Dispepsia
1. Pencegahan Primordial
tetap bersih, perbaikan gizi, dan dan penyediaan air bersih (Rani, 2011).
badan perlu dikontrol agar tetap ideal, karena gangguan pada saluran
umum terjadi pada orang yang mengalami obesitas. Rajin olahraga dan
2009).
3. Pencegahan Sekunder
a. Diet mempunyai peran yang sangat penting, dasar diet tersebut adalah
2. Pencegahan Tersier
a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi
b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama dirawat di
(Declan, 2001).
29
Pemeriksaan penunjang gerd :
di mana empat di antara tujuh poin yang ada, merupakan poin untuk diagnosis,
a. pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris (termasuk
modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien masuk
untuk Barret’s esophagus, atau pasien dan dokter merasa endoskopi dini
diperlukan.
mengevaluasi displasia.
(baik khas maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa, juga dapat
dimana pada poin ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan prioritas uji
esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa
PPI 2 kali sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami
GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari
hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan
dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah
kekambuhan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah
meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur
dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah
alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung
lambung, menurunkan berat badan pada pasien obesitas serta menghindari pakaian
makanan/minuman seperti coklat, teh, permen mint, kopi dan minuman bersoda
obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam,
2. Terapi medikamentosa
32
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini
GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna
bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik
medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan
dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi
asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat
golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama
(penghambat pompa proton atau PPI). Sedangkan pada pendekatan step down
pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan
terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis
reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid. Dari berbagai studi, dilaporkan
bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya
yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.
penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk
GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down. Pada
dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi
therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu
Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi
gejala pada tatalaksana GERD. Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan
1. Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala
GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap
HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah.
2. Antagonis reseptor H2
Jenis obat yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,
famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif
lebih tinggi dari dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada
3. Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya,
Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal
esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis
reseptor H2. Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)
1. Antasida
membentuk garam dan air untuk mengurangi keasaman lambung. Enzim pepsin
tidak aktif pada pH lebih tinggi dari empat, maka penggunaan antasida juga dapat
mengurangkan aktivitas pepsin (Finkel, 2009). Obat ini juga memiliki efek
2001). Ada tiga cara antasida mengurangi keasaman cairan lambung, yaitu
sebagai buffer terhadap hydrochloric acid lambung yang pada keadaan normal
mempunyai pH 1−2 dan ketiga dengan kombinasi kedua cara tersebut diatas.
Antasida akan mengurangi rangsangan asam lambung terhadap saraf sensoris dan
melindungi mukosa lambung terhadap perusakan oleh pepsin (Anwar, 2000). Zat
suatu antasida tergantung pada kapasitasnya untuk menetralkan HCl lambung dan
lama). Oleh karena hal tersebut efek antasida lebih baik jika dikonsumsi setelah
35
makan (Mycek, 2001). Antasida yang biasa digunakan adalah garam alumunium
tunggal ataupun dalam bentuk kombinasi. Garam kalsium yang dapat merangsang
alkalosis metabolik sementara. Oleh karena hal tersebut, antasida tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang (Mycek, 2001). Dosis antasida yang diberikan
diminum saat menjelang tidur, pagi hari dan diantara waktu makan (Depkes,
2007). Obat ini memiliki 2 bentuk sediaan yaitu antasida DOEN I dan DOEN II.
(Mycek, 2001).
2. H2 Bloker Antagonis
reseptornya sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam
lambung. Inhibisi bersifat reversibel (Finkel, 2009). Empat macam obat yang
seluruh tubuh dan diekskresikan dalam urin dengan waktu paruh yang singkat.
Ranitidin memiliki masa kerja yang panjang lima sampai sepuluh kali lebih kuat. Efek
farmakologi famotidin sama dengan ranitidin, hanya 20−50 kali lebih kuat dibandingkan
dengan simetidin dan 3−20 kali lebih kuat dibandingkan ranitidin Efek farmakologi
nizatidin sama seperti ranitidin, nizatidin dieliminasi melalui ginjal dan sedikit yang terjadi
metabolisme (Mycek, 2001). Dosis terapeutik yang digunakan adalah Simetidin 2x400
mg/800 mg malam hari, dosis maintenance 400 mg. Ranitidin 300 mg malam hari, dosis
maintenance 150 mg. Nizatidin 1x300 mg malam hari, dosis maintenance 150 mg.
Famotidin 1x40 mg malam hari, Roksatidin 2x75 mg atau 1x150 mg malam hari, dosis
maintenance 75 mg malam hari (Finkel, 2009). Konsumsi obat antagonis reseptor H2 pada
malam hari dikarenakan lambung relatif kosong dan peningkatan pH akan mempercepat
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+H +ATPase (pompa
proton) yang akan memecah K+H +ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam HCl dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI
rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas faktor agresif pepsin dengan pH >4 serta
meningkatkan efek eradikasi oleh regimen triple drugs (Finkel, 2009). Pada dosis
37
standar baik lansoprazol atau omeprazol menghambat sekresi asam lambung basal
dan sekresi karena rangsangan lebih dari 90%. Penekanan asam dimulai 1−2 jam
setelah dosis pertama lansoprazol dan lebih cepat dengan omeprazol. Penelitian klinis
sampai saat ini menunjukkan bahwa lansoprazol dan omeprazol lebih efektif untuk
(Mycek, 2009). Omeprazol dan lansoprazol berupa tablet salut enterik untuk
melindunginya dari aktivasi prematur oleh asam lambung. Setelah diabsorbsi dalam
duodenum, obat ini akan dibawa ke kanalikulus dari sel perital asam dan akan diubah
menjadi dalam bentuk aktif. Metabolit obat ini diekskresikan dalam urin dan feses
2x40 mg atau 1x60 mg (Finkel, 2009). Sediaan omeprazol adalah kapsul. Saat
mengonsumsi omeprazol, kapsul harus ditelan utuh dengan air (kapsul tidak dibuka,
dikunyah, atau dihancurkan). Sebaiknya diminum sebelum makan. Minum obat 30-60
menit sebelum makan, sebaiknya pagi hari (Anonim, 2012., Oktora, 2011). Efek
samping omeprazol dan lansoprazol biasanya dapat diterima baik oleh tubuh. Namun
dalam penggunaan jangka panjang, obat tersebut dapat meningkatkan insidensi tumor
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah
obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi
ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan
sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah
38
absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada
tingkat keparahan interaksi obat yang terjadi pada aspirin dan HCT yaitu HCT akan menurunkan level
atau efek dari aspirin dengan obat asam (anionik) untuk renal tubular clearance(MEDSCAPE)
1. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan,
FAKTOR PASIEN
UMUR
Menurut Ariefiany (2014) hal itu dapat terjadi dikarenakan tingkat usia seseorang
mempengaruhi penurunan fungsi dari suatu organ. Pada usia tua memiliki resiko
lebih tinggi mengalami gangguan lambung dibanding dengan usia muda. Hal ini
lambung cenderung menjadi tipis dan produksi mukus (cairan pelindung lambung)
Selanjutnya pada rentang usia 56-65 tahun sebanyak 40 pasien (23,67%) yaitu
pada masa lansia akhir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hariyati dan
Sakung, (2013) hasil wawancara langsung pada lansia pemicu dispepsia yaitu
faktor usia yang semakin tua, gaya hidup dan pola makan yang salah yang mereka
jalani seperti kebiasaan merokok, meminum alkohol, kopi dan lain sebagainya.
darah dari portal ke sirkulasi sistemik akan melewati jalur salah satunya gastrointestinal namun rute
yang paling signifikan secara klinis yaitu melalui vena lambung kiri dengan jalur alternatif
pasien yang menderita dispepsia maupun GERD ada keterkaitan dengan penyakit hipertensi
karena darah dari portal ke sirkulasi sistemik akan melewati jalur salah satunya
gastrointestinal namun rute yang paling signifikan secara klinis yaitu melalui vena lambung
kiri dengan jalur alternatif melalui kerongkongan sehingga menyebabkan perdarahan pada
lambung karena adanya ketegangan pada dinding lambung (Sease dkk., 2008).
Mekanisme omeprazol dapat memblokir kerja dari enzim K+H+ATPase yang akan memecah
K+H+ATPase sehingga menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCl dari
kanalikuli sel parietal ke lumen lambung (Finkel et al., 2009). Pengobatan lini pertama pada
penderita dispepsia maupun GERD adalah golongan PPI kemudian H-2 reseptor dan sukralfat
(Berardi, dkk., 2014). Obat golongan PPI paling banyak digunakan pada pasien dispepsia maupun
GERD karena obat golongan ini diindikasikan untuk terapi jangka panjang yang mengalami GERD dan
jangka pendek pada pasien yang mengalami gejala gastrointestinal, selain itu juga obat golongan PPI
digunakan sebagai profilaksis (pencegahan) pada pasien yang menderita penyakit lain seperti IHD
(Ischemic Heart Disease), sepsis, pasien yang menjalani operasi bedah, DM, gagal ginjal kronis, gagal
hati akut (Rizqi, 2013). Keuntungan dari penggunaan obat PPI adalah dapat menurunkam kadar gula
darah pada pasien DM, dapat digunakaan pada pasien OA (Osteoarthritis) yang menggunakan obat
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) yang merupakan faktor resiko terjadinya peptik ulcer (Rizqi,
2013).
1. perut bagian atas. Istilah ini biasa pula digunakan untuk menerangkan bebagai
abdomen bagian atas. Diantaranya adalah rasa nyeri ataupun rasa terbakar di
daerah epigastrum (ulu hati), perasaan penuh atau rasa bengkak di perut bagian
atas, sering sendawa, mual, ataupun rasa cepat kenyang. Dispepsia sering juga
2. Sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai
konsensus terakhir (kriteria Roma) gejala heartburn atau pirosis, yang diduga
dispepsia (Djojoningrat,2014)
Daftar pustaka
Anwar, J., 2000., Farmakologi dan Terapi: Obat – Obat Saluran Cerna.,. Jakarta.,
Halaman: 47-56.
Berardi R.R. and L.S W., 2008., Peptic Ulcer Disease., dalam Dipiro J.T., Talbert R.L.,
Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G., Posey L.M. ed: Pharmacotherapy a
th
Pathophysiologic Approach. 7 ed., Dalam McGraw-Hill Companies., USA.
Declan Wash. T, 2001. Kapita Selekta Penyakit dan Terapi. Penerbit BukuKedokteran,
Jakarta.
Finkel R., Clark M.A., Cubeddu L.X., Harrey R.A. and Champe P. c., 2009.,
Lippincott’sIllustrated Review Pharmacology 4thEd, Williams & Wilkins, ed.,
Pliladelphia.
Hiltz SW, Black E, Modlin EM, Johnson SP, Schoenfeld PS, Allen J, et al., 2008.,
American Gastroenterological Association medical position statement on the
management of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology;135:1383- 91.
Mansjoer, Arif,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid 1. Jakarta
Sease J.M., Timm E.G. and Stragand J.J., 2008., Portal Hypertension and
Cirrhosis dalam Dipiro J.T., Talbert R.L., Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G., Posey
L.M. ed: Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. 7th ed. McGraw-Hill
Companies, Dalam McGraw-Hill Companies.,USA.
Tatro D., 2009., Drug Interaction Facts, Wolters Kluwer Health, Inc, California.,
Wahyu Widayat, I. K., 2018., Profil Pengobatan Dan Drp’S Pada Pasien Ganguan
Lambung. Jurnal Sains dan Kesehatan., 2018., Vol 1. No. 10.