Anda di halaman 1dari 106

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

BIDANG APOTEK
ANGKATAN VIII
Tanggal 27 Juli 2020 sampai 15 Agustus 2020

Disusun oleh :

ADE RAFNI AMALIAH Z


15120190147

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UMI
MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
BIDANG APOTEK
ANGKATAN VIII
Tanggal 27 Juli 2020 sampai 15 Agustus 2020

Disetujui Oleh :
Dosen Pembimbing

(apt. Siska Nuryanti, S. Si., M. Kes)

Mengetahui,
Ketua Program Studi Profesi Apoteker Koordinator PKPA Perapotekan

(apt. Muzakkir Baits, S. Si., M. Si) (apt. A. Hasrawati, S. Farm., M. Si)


KATA PENGANTAR

Puji syukur yang tak terhingga bagi Allah SWT atas berkah, rahmat, dan
hidayah serta bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh
rangkaian kegiatan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Perapotekan
secara daring. Shalawat serta salam juga tidak henti-hentinya kita kirimkan
kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW beserta para sahabat, yang telah
membawa pelita sebagai sumber penerangan dalam kegelapan untuk meraih
cahaya, yang menutup pintu-pintu kejahiliaan dan membuka pintu-pintu ilmiah
bagi umat manusia.
Penulis menyadari bahwa kegiatan PKPA ini dapat terlaksana dengan baik
walaupun harus dilaksanankan secara daring berkat bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas Farmasi Universitas Muslim Indonesia
2. Ketua Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Muslim
Indonesia
3. Koordinator PKPA Farmasi Perapotekan Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Muslim Indonesia
4. Dosen Pembimbing PKPA Perapotekan
5. Segenap Dosen-dosen, dan Pengelola Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Muslim Indonesia
6. Teman-teman PKPA Apotek
7. Terakhir untuk orang tua penulis, Zahabudin dan Zalumi serta keluarga besar
penulis yang telah memberikan dorongan moral dan materi bagi penulis dalam
menyelesaikan PKPA perapotekan ini.
Atas segala bantuan, bimbingan dan arahan serta fasilitas yang telah
diberikan kepada penulis selama melakukan PKPA hingga selesai dan menyusun
laporan ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan, namun
harapan penulis semoga laporan ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua
dan tentunya penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang
membangun agar dapat menjadi lebih baik lagi kedepannya.

Makassar, Agustus 2020


Penulis

ADE RAFNI AMALIAH Z


DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang
B. Maksud dan Tujuan PKPA 3
BAB II TINJAUAN UMUM APOTEK 4
A. Aspek Legalitas
1. Peraturan Perundang-undangan yang Terkait Apotek
2. Etik Profesi Farmasis/Apoteker
B. Tata Cara Pendirian Apotek dan Studi Kelayakan
1. Tata Cara Perizinan Pendirian Apotek
2. Tinjauan Studi Kelayakan
C. Pengelolaan Apotek
1. Manajemen Pendukung
a. Sistem Informasi Manajemen Apotek
b. Sumber Daya Manusia
2. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai
a. Perencanaan
b. Pengadaan
c. Penerimaan
d. Penyimpanan
e. Pemusnahan
f. Pengendalian
g. Pencatatan dan Pelaporan
3. Pelayanan Farmasi Klinik
a. Pengkajian Resep
b. Dispensing
c. Pelayanan Informasi Obat
d. Konseling
e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah
f. Pemantauan Terapi Obat
g. Monitoring Efek Samping Obat
4. Pengelolaan Obat Wajib Apotek
5. Pengelolaan Obat Keras, Narkotika, dan Psikkotropika
6. Pengelolaan Obat Bebas, Bebas Terbatas, Obat Tradisional,
Kosmetik, dan Perbekalan Kesehatan Lainnya
BAB III KEGIATAN PRAKTEK KERJA DAN PEMBAHASAN
A. Studi Kelayakan dan Sistem Manajerial Apotek
B. Kegiatan Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alkes, dan BMHP
C. Kegiatan Pelayanan Farmasi Klinik
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN 40
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Data Kepadatan Penduduk Kecamatan Salahutu 24
2. Data Jumlah Penduduk Kecamatan Salahutu 35
3. Data Sarana Kesehatan di Kecamatan Salahutu 35
4. Data Jumlah Penyakit Terbanyak di Kecamatan Salahutu 35
5. Penyimpanan 44
6. Pembacaan Resep 48
7. Kajian Administrasi Resep Racikan 67
8. Kajian Farmaseutik Resep Racikan 87
9. Kajian Klinis Resep Racikan 88
10. Kajian Administrasi Resep Psikotropika 88
11. Kajian Farmaseutik Resep Psikotropika 88
12. Kajian Klinis Resep Psikotropika 88
13. Kajian Administrasi Resep Narkotika 89
14. Kajian Farmaseutik Resep Narkotika 89
15. Kajian Klinis Resep Narkotika 89
16. Kajian Administrasi Resep Penggunaan Khusus 90
17. Kajian Farmaseutik Resep Penggunaan Khusus 90
18. Kajian Klinis Resep Penggunaan Khusus 90
19. Data MESO 100
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Penandaan Narkotik 8
2. Penandaan Obat Bebas 8
3. Penandaan Obat Bebas Terbatas 9
4. Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas 9
5. Contoh SP Narkotik, Psikotropik, Prekursor, dan Obat Bebas 9
6. Contoh Kartu Stok 10
7. Resep Racikan 14
8. Resep Psikotropika 14
9. Resep Narkotika 14
10. Resep Penggunaan Khusus 15
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Denah Lokasi 8
2. Denah Bangunan 9
3. Contoh STRA 10
4. Contoh NPWP 11
5. Contoh BAP Narkotika 12
6. Contoh BAP Resep 13
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan faktor yang utama dalam mewujudkan sumber
daya manusia yang unggul dan berkualitas demi tercapainya tujuan bangsa,
yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
dalam pembangunan nasional. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan
salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita
bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah diatur
berdasarkan Undang-Undang No. 36 tahun 2015. Pelayanan Kefarmasian
adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Standar Pelayanan Kefarmasian
adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga
kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian (Permenkes RI
No. 73, 2016).
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kefarmasian telah teerjadi perubahan orientasi dalam pelayanannya
dari pengelolaan obat sebagai komoditas kepada pelayanan yang lebih
komprehensif (Pharmaceutical Care) dalam pengertian tidak hanya sebaga
pengelola obat, namun mencakup pemberian Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE) untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional,
melakukan monitoring penggunaan obat untuk mengetahui target terapi serta
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pengobatan (medication error). Hal
ini tentu sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya, dimana Apoteker hanya
berfokus pada penyiapan dan penyaluran obat. Saat ini, Apoteker diharapkan
lebih aktif dalam perancangan hingga pemantauan terapi obat pada pasien.
Apotek merupakan salah satu tempat yang dijadikan untuk melakukan
praktek kefarmasian. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasia oleh apoteker. Penyelenggaraan pelayanan
kefarmasian di apotek harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan
terjangkau. Penyelenggarakan Pelayanan kefarmasian di apotek wajib
mengikuti standar pelayanan kefarmasian sebagaimana diatur dalam peraturan
menteri ini. Apotek wajib mengirimkan laporan pelayanan kefarmasian secara
berjenjang kepada dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi,
dan kementerian kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan (Permenkes RI No. 73, 2016).
Apotek sebagai sebagai salah satu sarana pelayanan, perlu
mengutamakan kepentingan masyarakat dan wajib menyediakan, menyimpan
dan menyerahkan perbekalan farmasi. Apotek dapat diusahakan oleh suatu
lembaga atau instansi pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di pusat
maupun daerah, perusahaan milik negara yang ditunjuk oleh pemerintah dan
Apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan telah memperoleh izin dari
Dinas Kesehatan setempat.
Apoteker sebagai penanggung jawab sebuah apotek memiliki peranan
penting dalam menjalankan fungsi apotek berdasarkan nilai bisnis ataupun
fungsi sosial, terutama perannya dalam menunjang upaya kesehatan dan
sebagai penyalur perbekalan farmasi kepada masyarakat. Kondisi masyarakat
yang semakin kritis terhadap kesehatan mereka dan kemudahan dalam
mengakses informasi seperti sekarang ini menjadi tantangan besar bagi
apoteker. Kunjungan masyarakat ke apotek saat in bukan hanya sekedar
membeli obat, melainkan untuk mendapatkan informasi lengkap tentang obat
yang diterima.
Berdasarkan hal di atas, maka dilakukan Praktek Kerja Profesi
Apoteker Mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker Universitas Muslim
Indonesia secara Daring yang dilaksanakan pada tanggal 27 Juli 2020 hingga
15 Agustus 2020. Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Perapotekan ini,
diharapkan mahasiswa telah memiliki kemampuan dalam bidang perapotekan
yang nantinya dapat menerapkan serta mengembangkan keilmuannya pada
dunia kerja, sehingga dapat menjadi apoteker yang kompeten dibidangnya.
B. Tujuan PKPA
Tujuan dilakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bidang
perapotekan ini yaitu untuk :
1. Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang peran, fungsi, posisi dan
tanggung jawab apoteker dalam pelayanan kefarmasian di apotek.
2. Membekali calon apoteker agar memiliki wawasan, pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan
kefarmasian di apotek.
3. Memberikan kesempatan kepada calon apoteker untuk melihat dan
mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam
rangka pengembangan praktek farmasi komunitas di apotek.
4. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai
tenaga farmasi yang profesional.
5. Memberikan gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian
di apotek.
BAB II
TINJAUAN UMUM APOTEK

A. Aspek Legalitas
1. Peraturan Prundang-Undangan yang Terkait Dengan Apotek
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan
masyarakat yang diatur dalam:
1) Undang –Undang antara lain:
a. Undang - Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
b. Undang - Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika
c. Undang - Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
2) Peraturan Pemerintah antara lain:
a. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan atas
PP No. 26 tahun 1965 tentang Apotek.
b. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti
Apoteker, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 184/Menkes/Per/II/1995.
c. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
3) Peraturan Menteri Kesehatan antara lain:
a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek.
b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
695/Menkes/Per/VI/2007 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Kesehatan No. 184 tahun 1995 tentang
Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin kerja Apoteker.
4) Keputusan Menteri Kesehatan antara lain;
a. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
14

992/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara


Pemberian Izin Apotek.
b. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1027/Menkes/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek.
2. Etik Profesi Farmasi/Apoteker
Kode etik Apoteker Indonesia merupakan suatu ikatan moral bagi
Apoteker. Dalam kode etik diatur dalam perihal kewajiban-kewajiban
Apoteker, baik terhadap masyarakat, teman sejawat dan tenaga kesehatan
lainnya (Sutdrajat dan Ningsih, 2017). Kode etik profesi Apoteker telah
tercantum pada Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) yang diterapkan pada
tahun 2009, yakni seorang Apoteker di dalam menjalangkan tugas
kewajiban serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa
mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan yang Maha Esa. Apoteker
di dalam pengabdiannya serta dalam mengamalkan keahliannya selalu
berpegang teguh kepada sunpah/janji Apoteker (Kode Etik Apoteker
Indonesia, 2009).
Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu
ikatan moral yaitu (Ikatan Etik Apoteker Indonesia, 2009):
 Kewajiban Umum
1) Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan Sumpah (Janji Apoteker).
2) Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh
menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.
3) Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai
kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan
berpegang teguh terhadap prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan
kewajibannya.
4) Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di
bidang kesehatan pada umumnya dan khususnya pada dibidang
kefarmasian.
15

5) Di dalam menjalankan tugasnya seorang Apoteker harus menjauhkan


diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan
dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
6) Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan mendaji contoh yang baik
bagi masyarakat.
7) Seorang apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan
profesinya.
8) Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan
perundang-undangan khususnya di bidang farmasi.
 Kewajiban Apoteker Terhadap Pasien
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat. Menghormati hak azasi
pasien dan melindungi makhluk hidup insani.
 Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat
1) Seorang Apoteker harus memperlakukan teman Sejawatnya
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
2) Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling
menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan kode etik.
3) Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam
memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian serta mepertebal
rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.
 Kewajiban Apoteker Terhadap Sejawat Petugas Kesehatan Lain
1) Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling
mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat petugas
kesehatan lain.
2) Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau
perbuatan yang dapat mengakibatkan atau hilangnya kepercayaan
masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lain.
16

B. Tata Cara Pendirian Apotek dan Studi Kelayakan


1. Tata Cara Perizinan Pendirian Apotek
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
922/Menkes/Per/X/1993, persyaratan yang harus dipenuhi oleh apotek
adalah sebagai berikut :
a. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker, atau apoteker yang
bekerja sama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi
persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan, termasuk
sediaan farmasi dan perbekalan farmasi lainnya yang merupakan
milik sendiri atau milik pihak lain.
b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan
kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi.
c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar
sediaan farmasi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1027/Menkes/SK/IX/2004, disebutkan bahwa :
a. Sarana apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali
oleh masyarakat.
b. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata
apotek.
c. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat.
d. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah
dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini
berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta
mengurangi risiko kesalahan penyerahan.
e. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh
apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling.

f. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya, bebas dari hewan


pengerat, serangga.

g. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari


17

pendingin.
Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam pendirian
sebuah apotek, antara lain:
a. Lokasi
Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan
pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Persyaratan
jarak minimum antar apotek tidak dipermasalahkan lagi, akan tetapi
ketentuan ini dapat berbeda, sesuai dengan kebijakan/peraturan
daerah masing-masing. Lokasi apotek dapat dipilih dengan
mempertimbangkan segi pemerataan dan pelayanan kesehatan,
jumlah penduduk, jumlah praktek dokter, sarana dan pelayanan
kesehatan lain, sanitasi dan faktor - faktor lainnya.
b. Bangunan
Suatu apotek harus mempunyai luas bangunan yang cukup
sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi
apotek. Bangunan apotek yang baik hendaknya memiliki ruang
tunggu pasien, ruang peracikan dan penyerahan obat, ruang
administrasi, ruang kerja apoteker, tempat pencucian alat dan kamar
kecil. Bangunan apotek sebaiknya juga memiliki sumber air yang
memenuhi syarat kesehatan, sumber penerangan yang dapat
memberikan penerangan yang memadai, alat pemadam kebakaran,
serta ventilasi dan sanitasi yang baik. Papan nama apotek dipasang di
depan bangunan dengan ketentuan memenuhi ukuran minimal
panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan tulisan hitam diatas dasar putih,
tinggi huruf minimal 5 cm, umumnya terbuat dari papan seng yang
pada bagian mukanya memuat nama apotek, nama APA, nomor SIA,
alamat apotek, nomor telepon.
c. Peralatan Apotek
Suatu apotek baru yang ingin beroperasi harus memiliki
peralatan apotek yang memadai agar dapat mendukung pelayanan
kefarmasiannya. Peralatan apotek yang harus dimiliki antara lain :
18

1) Peralatan pembuatan, pengolahan dan peracikan seperti


timbangan, lumpang, alu, gelas ukur, dan lain-lain.
2) Peralatan dan tempat penyimpanan alat perbekalan farmasi
seperti lemari obat, lemari pendingin (kulkas), dan lemari khusus
untuk narkotika dan psikotropika. Lemari narkotik harus
memenuhi persyaratan yang ada dalam Undang-Undang
Narkotika Nomor 35 Tahun 2009.
3) Wadah pengemas dan pembungkus.
4) Perlengkapan administrasi seperti blanko pesanan, salinan resep,
buku catatan penjualan, buku catatan pembelian, kartu stok obat,
dan kuitansi.
5) Buku-buku dan literatur standar yang diwajibkan, serta
kumpulan perundang- undangan yang berhubungan dengan
kegiatan apotek.
Surat Izin Apotek (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri
Kesehatan RI kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan
Pemilik Sarana Apotek (PSA) untuk membuka apotek di tempat tertentu.
Izin apotek diberikan oleh Menteri yang melimpahkan wewenangnya
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pelaksanaan
pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin
dilaporkan setahun sekali oleh Kepala Dinas Kesehatan kepada Menteri
dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1332/Menkes/SK/X/2002 Pasal 7 dan 9 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/PER/X/1993
mengenai Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah sebagai berikut:
a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan menggunakan formulir APT-1.
b. Dengan menggunakan formulir APT-2 Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah
menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala
19

Balai POM untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan


apotek melakukan kegiatan.
c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM
selambat- lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan
teknis dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan
hasil pemeriksaan setempat dengan menggunakan contof formulir
APT-3.

d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam (b) dan (c)


tidak dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat
pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas
Provinsi dengan menggunakan contoh formulir APT-4.
e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima
laporan pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (c) atau pernyataan
ayat (d) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat
mengeluarkan SIA dengan menggunakan contoh formulir APT-5.
f. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
atau Kepala Balai POM dimaksud ayat (c) masih belum memenuhi
syarat. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam
waktu 12 (dua belas) hari mengeluarkan Surat Penundaan dengan
menggunakan contoh formulir APT-6.
g. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (f),
Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang
belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu bulan
sejak tanggal Surat Penundaan.
h. Apabila apoteker menggunakan sarana pihak lain, maka penggunaan
sarana dimaksud wajib didasarkan atas perjanjian kerja sama antara
apoteker dan pemilik sarana.
i. Pemilik sarana yang dimaksud (poin h) harus memenuhi persyaratan
tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-
undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam surat
penyataan yang bersangkutan.
Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi
persyaratan APA dan atau persyaratan apotek atau lokasi apotek tidak
sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya (12)
dua belas hari kerja wajib mengeluarkan surat penolakan disertai dengan
alasannya dengan menggunakan formulir model APT-7.
2. Tinjauan Studi Kelayakan
Studi kelayakan (Feasibility Study) adalah penelitian tentang dapat
tidaknya suatu usaha dilaksanakan dengan berhasil. Keberhasilan yang
dimaksud adalah manfaat dari usaha yang akan didirikan, yaitu usaha
apotek yang dapat diartikan sebagai manfaat finansial, manfaat bagi
perekonomian, dan manfaat sosial. Tujuan diadakan studi kelayakan
adalah untuk menghindari kerugian, memaksimalkan keuntungan,
mengevaluasi aspek-aspek yang mempengaruhi, mengidentifikasi faktor-
faktor yang menjadi kunci keberhasilan, mengidentifikasi sarana dan
prasarana yang dibutuhkan, mengetahui dampak-dampak yang akan
terjadi, serta mengetahui estimasi biaya yang harus disediakan (Santosa,
2010).
Studi kelayakan perlu dilaksanakan dengan tujuan, yaitu (Hofstrand,
2009):
a. Fokus terhadap proyek dan garis besar alternatif pilihan yang ada;
b. Memilah alternatif bisnis;
c. Mengidentifikasi peluang baru melalui proses investigasi ;
d. Mengidentifikasi alasan-alasan untuk menghentikan proyek
meningkatkan kemungkinan sukses proyek dengan mengenali dan
mengantisipasi faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada
kelangsungan proyek;
e. Menyediakan informasi yang berkualitas dalam proses pengambilan
keputusan; menyediakan dokumentasi tentang investigasi menyeluruh
bisnis yang akan dijalankan;
f. Membantu proses peminjaman modal atau pendanaan dari institusi
atau sumber dana lainnya; dan
g. Membantu menarik investor.
Studi kelayakan merupakan metode ilmiah. Salah satu syarat metode
ilmiah adalah sistematis. Penyusunan studi kelayakan sebagai salah satu
metode ilmiah pada umumnya meliputi beberapa langkah kegiatan, yaitu
(Sulastri L, 2016) :
a. Penemuan Ide
Agar dapat menghasilkan ide proyek yang dapat menghasilkan
produk laku untuk dijual dan menguntungkan diperlukan penelitianyang
terorganisasi dengan baik serta dukungan sumber daya yang memadai.
b. Tahap Penelitian
Setelah ide proyek terpilih dilakukan penelitian yang lebih
mendalam dengan metode ilmiah:
1) Mengumpulkan data
2) Mengolah data
3) Menganalisis dan menginterpretasikan hasil pengolahan data
4) Menyimpulkan hasil
5) Membuat laporan hasil
c. Tahap Evaluasi
Evaluasi yaitu membandingkan sesuatu dengan satu atau lebih
standar atau kriteria yang bersifat kuantitatif atau kualitatif. Ada 3
macam evaluasi :
1) Mengevaluasi usaha proyek yang akan didirikan
2) Mengevaluasi proyek yang akan dibangun
3) Mengevaluasi bisnis yang sudah dioperasionalkan secara rutin
Dalam evaluasi bisnis yang akan dibandingkan adalah seluruh
ongkos yang akan ditimbulkan oleh usulan bisnis serta manfaat yang
akan diperkirakan akan diperoleh.
d. Tahap Pengurutan Usulan yang Layak
Jika terdapat lebih dari satu usulan rencana bisnis yang dianggap
layak perlu dilakukan pemilihan rencana bisnis yang mempunyai skor
tertinggi jika dibanding usulan lain berdasar kriteria penilaian yang
telah ditentukan.
e. Tahap Rencana Pelaksanaan
Setelah rencana bisnis dipilih perlu dibuat rencana kerja
pelaksanaan pembangunan proyek. Mulai dari penentuan jenis
pekerjaan, jumlah dan kualifikasi tenaga perencana, ketersediaan dana
dan sumber daya lain serta kesiapan manajemen.
f. Tahap Pelaksanaan
Dalam realisasi pembangunan proyek diperlukan manajemen
proyek. Setelah proyek selesai dikerjakan tahap selanjutnya adalah
melaksanakan operasional bisnis secara rutin. Agar selalu bekerja
secara efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan laba perusahaan
dalam operasional perlu kajian-kajian untuk mengevaluasi bisnis dari
fungsi keuangan, pemasaran, produksi dan operasi.
Aspek-aspek yang menjadi penilaian dalam studi kelayakan adalah
sebagai berikut (Afiyah, 2015 dan Afandi, 2009) :
a. Aspek Pasar dan Pemasaran, meliputi :
1) Menganalisis permintaan pasar
2) Menganalisis pesaing
3) Menganalisis pangsa pasar
4) Menganalisis strategi dan bauran pemasaran
Analisis pasar dengan memperhatikan jenis pasar dan strategi
persaingan yaitu gambaran mengenai pasar monopoli, pasar oligopoly
atau pasar persaingan bebas. Potensi pasar ditinjau dari jenis konsumen
yang memiliki daya beli tinggi terhadap apotek dan daya tarik laba
(Ranny, 2011).
b. Aspek Hukum dan Legalitas, membahas mengenai badan hukum
organisasi dan jenis-jenis perizinan yang diperlukan dalam pendirian
apotek.
c. Aspek Teknis dan Produksi, meliputi :
1) Menganalisis lokasi produksi
2) Menganalisis bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong
3) Menganalisis teknologi yang digunakan
4) Menganalisis proses produksi
Analisis teknis berupa peta lokasi dan lingkungan disekitarnya
yang memberikan gambaran mengenai pemetaan lokasi-lokasi yang
menjadi target pendirian sebuah usaha/apotek. Situasi lingkungan
disekitar lokasi yang menjadi target seperti situasi fasilitas transportasi,
jenis konsumen, jumlah praktek dokter, usaha/apotek pesaing (Ranny,
2011).
d. Aspek Organisasi dan Manajemen, meliputi :
1) Menganalisis struktur organisasi
2) Menganalisis jumlah dan kualifikasi tenagakerja
Analisis manajemen yang menjelaskan struktur organisasi yang
memberikan gambaran mengenai apotek yang berdiri sendiri atau
menjadi bagian dari apotek yang sudah ada serta jumlah kebutuhan
tenaga kerja yang memberikan gambaran mengenai jumah karyawan
yang dibutuhkan untuk omzet tertentu jenis karyawan yang dibutuhkan.
Program kerja juga harus memberikan gambaran mengenai langkah-
langkah penting yang menjadi prioritas untuk dikerjakan dalam
memperoleh sasaran yang ditetapkan dan kapan program tersebut
dilaksanakan (Ranny, 2011).
e. Aspek Finansial, meliputi :
1) Menganalisis kebutuhan dana
2) Menganalisis sumber dana
3) Menganalisis modal kerja
4) Menghitung proyeksi rugi/laba
5) Menghitung proyeksi arus kas masuk (cash inflow)
6) Menganalisis kelayakan berdasarkan kriteria penilaian investasi yang
terdiri dari Payback Period (PP), Net Present Value (NPV), Internal
Rate of Return (IRR), dan Profitability Index (PI).
Analisis Kelayakan Investasi yaitu (Afandi, 2009) :
a. Metode PBP (Payback Period)
Merupakan teknik penilaian terhadap jangka waktu (periode)
pengembalian investasi suatu proyek atau usaha.

PBP = x 1 tahun

Kriteria penilaian pada payback period adalah :


1) Jika PBP < waktu maksimum, maka usulan usaha atau bisnis
tersebut dapat diterima.
2) Jika PBP > waktu maksimum, maka usulan proyek tersebut ditolak.
b. Metode ARR (Average Rate of Return)
Merupakan cara untuk mengukur rata-rata pengembalian bunga dengan
cara membandingkan antara rata-rata laba sebelum pajak EAT dengan
rata-rata investasi.
Rata-rata EAT = total EAT / umur ekonomis
c. Metode NPV (Net Present Value)
Merupakan metode analisis keuangan yang memperhatikan adanya
perubahan nilai uang karena faktor waktu; proyeksi arus kas dapat
dinilai sekarang (periode awal investasi) melalui pemotongan nilai
dengan faktor pengurang yang dikaitkan dengan biaya modal
(persentase bunga).
NPV = Total PV Aliran Kas Bersih – Total PV Investasi
Kriteria penilaian NPV adalah :
1) Jika NPV > 0, maka investasi diterima.
2) Jika NPV < 0, maka investasi ditolak.
d. Metode IRR (Internal Rate of Return)
IRR adalah tingkat bunga yang akan diterima sama dengan jumlah nilai
sekarang dari pengeluaran modal.
IRR = PI – CI x P2-P1 / C2-C1
Keterangan :
P1 = Tingkat bunga 1
P2 = Tingkat bunga 2
C1 = NPV 1
C2 = NPV 2
Kriteria penilaian IRR adalah :
1) Jika IRR > dari suku bunga yang telah ditetapkan, maka investasi
diterima.
2) Jika IRR < dari suku bunga yang telah ditetapkan, maka investasi
ditolak.
e. Metode PI (Profitabilitas Indeks)
Indeks profitabilitas adalah rasio atau perbandingan antara jumlah nilai
sekarang arus kas selama umur ekonomisnya dan pengeluaran awal
proyek.
PI = Total PV kas bersih / total investasi
Kriteria untuk Profitabilitas Indeks :
1) Proyek dinilai layak jika PI > atau = 1,00, sebaliknya
2) Dinilai tidak layak jika PI < 1,00
f. Perhitungan ROI (Return On Investment)
Analsis ini digunakan untuk mengetahui kemampuan perusahaan
menghasilkan persen pendapatan.
ROI = Laba bersih x 100%
Total investasi
g. Perhitungan BEP (Break Event Period)
Yaitu untuk mengetahui tingkat keseimbangan atau posisi perusahaan
tidak memperoleh keuntungan dan tidak memperoleh kerugian.

BEP =

Analisis keuangan yang memberkan gambaran jumlah biaya


investasi dan modal kerja mengenai berapa jumlah biaya investasi yang
dibutuhkan, berapa lama pengembalian (payback period), berapa besar
tingkat pengembalian internal yang aman (internal rate of return) per
tahunnya. Analisis keuangan lainnya mengenai sumber pendanaan
apotek yaitu berupa sumber biaya investasi, tingkat efisiensi
dibandingkan dengan sumber lain, jenis pinjaman jangka pendek atau
jangka panjang (Ranny, 2011).
C. Pengelolaan Apotek
1. Manajemen Pendukung
a. Sistem Informasi Manajemen Apotek
Sistem informasi adalah salah satu faktor penting bagi sebuah
instansi/perusahaan dalam kegiatan operasional. Sistem informasi
digunakan guna mengumpulkan, mengolah dan menyediakan
informasi dengan tujuan untuk membantu pengambilan keputusan.
Informasi diperoleh dari pengumpulan dokumen atau catatan farmasi.
Apotek merupakan salah satu jenis usaha dibidang pengobatan yang
memerlukan adanya sistem informasi pengolahan data untuk
mempermudah dan memperlancar kinerjanya. Sistem informasi adalah
suatu sistem di dalam suatu organisasi yang merupakan kombinasi dari
sumber daya manusianya, fasilitas, teknologi, media, prosedur-
prosedur dan pengendalian yang ditujukan untuk mendapatkan sebuah
jalur komunikasi penting, memproses tipe transaksi rutin tertentu,
memberi sinyal kepada manajemen dan yang lainnya terhadap
kejadian-kejadian internal dan eksternal yang penting dan
menyediakan suatu dasar informasi untuk pengambilan keputusan yang
cerdik (Trimarsiah, 2016).
Sistem informasi manajemen atau yang biasa disebut SIM
merupakan sistem informasi yang digunakan untuk menyajikan
informasi yang digunakan untuk mendukung operasi, manajemen, dan
pengambilan keputusan dalam suatu organisasi. Biasanya, SIM
menghasilkan informasi untuk memantau kinerja, memelihara
koordinasi, dan menyediakan informasi untuk operasi organisasi
(Susanti, 2015).
b. Sumber Daya Manusia
Tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan operasional apotek terdiri
dari:
a. Satu orang Apoteker Pengelola Apotek (APA), yaitu apoteker yang
telah diberi Surat Izin Apotek (SIA).
b. Apoteker Pendamping, yaitu apoteker yang bekerja di apotek di
samping Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan/atau
menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek.
c. Apoteker Pengganti, yaitu apoteker yang menggantikan Apoteker
Pengelola Apotek selama Apoteker Pengelola Apotek tersebut
tidak berada di tempat lebih dari 3 (tiga) bulan secara terus-
menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja dan tidak bertindak
sebagai Apoteker Pengelola Apotek di apotek lain.
d. Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan
perundang- undangan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian
sebagai Asisten Apoteker.
Berdasarkan Permenkes RI No. 1322/MENKES/SK/X/2002,
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Apoteker Pengelola Apotek
(APA) adalah Apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA).
Sebelum melaksanakan kegiatannya, seorang APA wajib memiliki
Surat Izin Apotek (SIA) yang berlaku untuk seterusnya selama apotek
masih aktif melakukan kegiatan dan APA dapat melakukan
pekerjaannya serta masih memenuhi persyaratan. Seorang APA
bertanggung jawab akan kelangsungan hidup apotek yang
dipimpinnya, dan juga bertanggung jawab kepada pemilik modal
apabila bekerja sama dengan pemilik sarana apotek (PSA).
Apoteker yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian harus
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut (Peraturan
Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 35,37,52,54) :
a. Memiliki keahlian dan kewenangan.
b. Menerapkan Standar Profesi.
c. Didasarkan pada Standar Kefarmasian dan Standar Operasional
d. Memiliki sertifikat kompetensi profesi
e. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
f. Wajib memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) bagi Apoteker
Pengelola Apotek (APA) dan Apoteker Pendamping di Apotek.
g. Apoteker Pengelola Apotek (APA) hanya dapat melaksanakan
praktek di satu apotek sedangkan Apoteker Pendamping hanya
dapat melaksanakan praktek paling banyak di tiga Apotek.
Surat Tanda Registrasi (STRA) merupakan bukti tertulis yang
diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi. STRA
berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
lima tahun selama masih memenuhi persyaratan. Untuk memperoleh
STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan (Peraturan Pemerintah
No. 51 Tahun 2009 Pasal 40):
a. Memiliki ijazah Apoteker
b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi
c. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji
Apoteker
d. Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter
yang memiliki surat izin praktek
e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan
etika profesi
Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) adalah surat izin yang
diberikan kepada Apoteker dan Apoteker Pendamping untuk dapat
melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada Apotek atau Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS). SIPA dikeluarkan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan.
SIPA dapat dibatalkan demi hukum apabila pekerjaan kefarmasian
dilakukan pada tempat yang tidak sesuai dengan yang tercantum
dalam surat izin. Untuk mendapatkan SIPA, Apoteker harus memiliki
(Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 55):
a. Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
b. Tempat atau ada tempat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian
atau fasilitas kesehatan yang memiliki izin
c. Rekomendasi dari organisasi profesi

Tugas dan kewajiban apoteker di apotek adalah sebagai berikut :


a. Memimpin seluruh kegiatan apotek, baik kegiatan teknis maupun
non teknis kefarmasian sesuai dengan ketentuan maupun
perundangan yang berlaku.
b. Mengatur, melaksanakan, dan mengawasi administrasi.
c. Mengusahakan agar apotek yang dipimpinnya dapat memberikan
hasil yang optimal sesuai dengan rencana kerja dengan cara
meningkatkan omset, mengadakan pembelian yang sah dan
penekanan biaya serendah mungkin.
d. Melakukan pengembangan usaha apotek

Wewenang dan tanggung jawab APA meliputi (Umar, 2011):


a. Menentukan arah terhadap seluruh kegiatan
b. Menentukan sistem (peraturan) terhadap seluruh kegiatan
c. Mengawasi pelaksanaan seluruh kegiatan
d. Bertanggung jawab terhadap kinerja yang dicapai.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI


No.1332/Menkes/SK/X/2002 Pasal 19 disebutkan bahwa apabila APA
berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, maka APA
harus menunjuk Apoteker Pendamping. Apoteker Pendamping adalah
apoteker yang telah bekerja di apotek di samping Apoteker Pengelola
Apotek dan/atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka
apotek. Apabila APA dan Apoteker Pendamping karena hal-hal
tertentu berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk Apoteker
Pengganti. Apoteker Pengganti yaitu apoteker yang menggantikan
APA selama APA tersebut tidak berada di tempat lebih dari tiga bulan
secara terus-menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak
bertindak sebagai APA di apotek lain. Penunjukkan Apoteker
Pendamping/Pengganti harus dilaporkan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi setempat dengan menggunakan formulir model
APT-9.
Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Apabila
Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih
dari dua tahun secara terus-menerus, Surat Izin Apotek atas nama
Apoteker yang bersangkutan dapat dicabut.
Selanjutnya menurut Permenkes No. 922/Menkes/Per/X/1993
Pasal 20-23 dijelaskan bahwa Apoteker Pengelola Apotek bertanggung
jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker
Pendamping maupun Apoteker Pengganti, dalam pengelolaan apotek.
Apoteker Pendamping bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas
pelayanan kefarmasian selama yang bersangkutan bertugas
menggantikan APA. Pada setiap pengalihan tanggung jawab
kefarmasian yang disebabkan karena penggantian APA oleh Apoteker
Pengganti, harus diikuti dengan serah terima resep, narkotika, dan
perbekalan farmasi lainnya, serta kunci-kunci tempat penyimpanan
narkotika dan psikotropika. Serah terima ini harus diikuti dengan
pembuatan berita acara.
Pada Pasal 24, dijelaskan apabila APA meninggal dunia, maka:
a. Ahli waris APA wajib melaporkan dalam waktu 2 x 24 jam kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
b. Apabila pada apotek tersebut tidak terdapat Apoteker Pendamping,
maka laporan wajib disertai penyerahan resep, narkotika,
psikotropika, obat keras, dan kunci tempat penyimpanan narkotika
dan psikotropika.
c. Penyerahan dibuat Berita Acara Serah Terima sebagaimana
dimaksud Pasal 23 ayat (2) kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan menggunakan formulir model APT-11
dengan tembusan kepada Kepala Balai POM setempat.
2. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai
a. Perencanaan
Kegiatan yang termasuk dalam proses perencanaan adalah
pemilihan jenis, jumlah, dan harga dalam rangka pengadaan dengan
tujuan mendapatkan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan
dan anggaran, serta menghindari kekosongan obat. Dalam perencanaan
pengadaan sediaan farmasi seperti obat-obatan dan alat kesehatan,
maka perlu dilakukan pengumpulan data obat-obatan yang akan
dipesan. Data obat-obatan tersebut biasanya ditulis dalam buku
defekta, yaitu jika barang habis atau persediaan menipis berdasarkan
jumlah barang yang tersedia pada bulan-bulan sebelumnya. Beberapa
pertimbangan yang harus dilakukan APA di dalam melaksanakan
perencanaan pemesanan barang, yaitu memilih Pedagang Besar
Farmasi (PBF) yang memberikan keuntungan dari segala segi,
misalnya harga yang ditawarkan sesuai, ketepatan waktu pengiriman,
diskon dan bonus yang diberikan sesuai, jangka waktu kredit yang
cukup, serta kemudahan dalam pengembalian obat-obatan yang hampir
kadaluarsa.
b. Pengadaan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
918/Menkes/Per/X/1993 tentang PBF, menyebutkan bahwa pabrik
farmasi dapat menyalurkan produksinya langsung ke PBF, apotek,
toko obat, apotek rumah sakit, dan sarana kesehatan lain (Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 918/Menkes/per/X/1993, 1993). Pengadaan
barang di apotek meliputi pemesanan dan pembelian. Pembelian
barang dapat dilakukan secara langsung ke produsen atau melalui PBF.
Pengadaan atau pembelian barang di apotek dapat dilakukan
dengan cara antara lain (Anief, 1998):
a) Pembelian dalam jumlah terbatas yaitu pembelian dilakukan sesuai
dengan kebutuhan dalam waktu pendek, misalnya satu minggu.
Pembelian ini dilakukan bila modal terbatas dan PBF berada dalam
jarak tidak jauh dari apotek, misalnya satu kota dan selalu siap
untuk segera mengirimkan obat yang dipesan.
b) Pembelian berencana dimana metode ini erat hubungannya dengan
pengendalian persediaan barang. Pengawasan stok obat atau barang
dagangan penting sekali, untuk mengetahui obat yang fast moving
atau slow moving, hal ini dapat dilihat pada kartu stok. Selanjutnya
dilakukan perencanaan pembelian sesuai dengan kebutuhan.
c) Pembelian secara spekulasi merupakan pembelian dilakukan dalam
jumlah yang lebih besar dari kebutuhan, dengan harapan akan ada
kenaikan harga dalam waktu dekat atau karena ada diskon atau
bonus. Pola ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu jika
diperkirakan akan terjadi peningkatan permintaan. Hal ini apabila
spekulasinya benar akan mendapat keuntungan besar, tetapi cara
ini mengandung resiko obat akan rusak atau kadaluarsa.
c. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang
telah diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian
langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan. Penerimaan adalah
kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu,
waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak/pesanan.
Penerimaan merupakan kegiatan verifikasi penerimaan/penolakan,
dokumentasi dan penyerahan yang dilakukan dengan menggunakan
"chrecklist" yang sudah disiapkan untuk masing-masing jenis produk
yang berisi antara lain (Mashuda, A, 2011) :
a) kebenaran jumlah kemasan
b) kebenaran kondisi kemasan seperti yang disyaratkan
c) kebenaran jumlah satuan dalam tiap kemasan;
d) kebenaran jenis produk yang diterima;
e) tidak terlihat tanda-tanda kerusakan;
f) kebenaran identitas produk;
g) penerapan penandaan yang jelas pada label, bungkus dan brosur;
h) tidak terlihat kelainan warna, bentuk, kerusakan pada isi produk,
i) jangka waktu daluarsa yang memadai.
d. Penyimpanan
Obat dengan bentuk sediaan padat, sediaan cair, atau setengah
padat disimpan secara terpisah. Hal tersebut dilakukan untuk
menghindari zat-zat yang bersifat higroskopis. Serum, vaksin, dan
obat-obat yang mudah rusak atau meleleh pada suhu kamar disimpan
dalam lemari pendingin. Penyusunan obat dapat dilakukan secara
alfabetis untuk mempermudah dan mempercepat pengambilan obat
saat diperlukan. Pengaturan pemakaian barang di apotek sebaiknya
menggunakan sistem FEFO (First Expired First Out) dan FIFO (First
In First Out), sehingga obat-obat yang mempunyai waktu kadaluarsa
lebih singkat disimpan paling depan dan memungkinkan diambil
terlebih dahulu.
e. Pemusnahan
Sediaan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat sesuai
standar yang ditetapkan harus dimusnahkan. Penghapusan dan
Pemusnahan sediaan farmasi harus dilaksanakan dengan cara yang
baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Prosedur pemusnahan obat hendaklah dibuat yanng mencakup
pencegahan pencemaran di lingkungan dan mencegah jatuhnya obat
tersebut di kalangan orang yang tidak berwenang. Sediaan farmasi
yang akan dimusnahkan supaya disimpan terpisah dan dibuat daftar
yanng mencakup jumlah dan identitas produk. Penghapusan dan
pemusnahan obat baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain
harus didokumentasikan sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Mashuda, A, 2011).
f. Pengendalian
Pengendalian persediaan dimaksudkan untuk membantu
pengelolaan perbekalan (supply) sediaan farmasi dan alat kesehatan
agar mempunyai persediaan dalam jenis dan jumlah yang cukup
sekaligus menghindari kekosongan dan menumpuknya persediaan.
Pengendalian persediaan yaitu upaya mempertahankan tingkat
persediaan pada suatu tingkat tertentu dengan mengendalikan arus
barang yang masuk melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan
(scheduled inventory dan perpetual inventory), penyimpanan dan
pengeluaran untuk memastikan persediaan efektif dan efisien atau
tidak terjadi kelebihan dan kekurang, kerusakan, kadaluarsa, dan
kehilangan serta pengembalian pesanan sediaan farmasi (Mashuda, A,
2011).
g. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan kegiatan perencanaan kebutuhan, pengadaan,
pengendalian persediaan, pengembalian, penghapusan dan
pemusnahan sediaan farmasi harus dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku (Mashuda, A, 2011).
3. Pelayanan Farmasi Klinik
a. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis. Kajian administratif meliputi:
1) Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan
2) Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor
telepon dan paraf
3) Tanggal penulisan resep
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
1) Bentuk dan kekuatan sediaan
2) Stabilitas
3) Kompatibilitas (ketercampuran obat)
Pertimbangan klinis meliputi:
1) Ketepatan indikasi dan dosis obat
2) Aturan, cara dan lama penggunaan obat
3) Duplikasi dan/atau polifarmasi
4) Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,
manifestasi klinis lain)
5) Kontra indikasi
6) Interaksi
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian
maka apoteker harus menghubungi dokter penulis resep. Pelayanan
resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk
peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi.
Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan
terjadinya kesalahan pemberian obat (Menkes RI, 2016).
b. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian
informasi obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal
sebagai berikut:
1) Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep:
a) menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep.
b) mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan
dengan memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan
keadaan fisik obat.
2) Melakukan peracikan obat bila diperlukan.
3) Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
a) warna putih untuk obat dalam/oral
b) warna biru untuk obat luar dan suntik
c) menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk
suspensi atau emulsi.
4) Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk
obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari
penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut:
1) Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan
pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket,
cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara
penulisan etiket dengan resep).
2) Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.
3) Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.
4) Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.
5) Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang
terkait dengan obat antara lain manfaat obat, makanan dan
minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara
penyimpanan obat dan lainlain.
6) Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara
yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin
emosinya tidak stabil.
7) Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau
keluarganya.
8) Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh
apoteker (apabila diperlukan).
9) Menyimpan resep pada tempatnya.
10) Apoteker membuat catatan pengobatan pasien
Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau
pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada
pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan
memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai (Menkes RI,
2016).
c. Pelayanan Informasi Obat
Pekerjaan kefarmasian di Apotek tidak hanya pada pembuatan,
pengolahan, pengadaan, dan penyimpanan perbekalan farmasi, tetapi
juga pada pelayanan informasi obat (PIO). Tujuan diselenggarakannya
PIO di Apotek adalah demi tercapainya penggunaan obat yang
rasional, yaitu tepat indikasi, tepat pasien, tepat regimen (dosis, cara,
waktu, dan lama pemberian), tepat obat, dan waspada efek samping.
Dalam memberikan informasi obat, hendaknya seorang Apoteker
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a) Mandiri, artinya bebas dari segala bentuk keterikatan dengan pihak
lain yang dapat mengakibatkan informasi yang diberikan menjadi
tidak objektif.
b) Objektif, artinya memberikan informasi dengan sejelas-jelasnya
mengenai suatu produk obat tanpa dipengaruhi oleh berbagai
kepentingan.
c) Seimbang, artinya informasi diberikan setelah melihat dari
berbagai sudut pandang yang mungkin berlawanan.
d) Ilmiah, artinya informasi berdasarkan sumber data atau referensi
yang dapat dipercaya.
e) Berorientasi pada pasien, maksudnya informasi tidak hanya
mencakup informasi produk seperti ketersediaan, kesetaraan
generik, tetapi juga harus mencakup informasi yang
mempertimbangkan kondisi pasien.
Oleh karena itu, peran Apoteker di Apotek dalam pemberian
informasi obat kepada pasien, Dokter, maupun tenaga medis lainnya
sangat penting.
d. Konseling
Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi
dan perbekalan kesehatan lainnya sehingga dapat memperbaiki kualitas
hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya
penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita
penyakit seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit
kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara
berkelanjutan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1) Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati
dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui)
2) Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: tb,
dm, aids, epilepsi)
3) Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus
(penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off)
4) Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit
(digoksin, fenitoin, teofilin)
5) Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa obat untuk
indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk
pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis obat
6) Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
1) Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien
2) Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui three
prime questions, yaitu:
a) Apa yang disampaikan dokter tentang obat anda?
b) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat
anda?
c) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan
setelah anda menerima terapi obat tersebut?
3) Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan
kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat
4) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah penggunaan obat
Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan
pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang
diberikan dalam konseling (Menkes RI, 2016).
e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan
rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan
pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis pelayanan kefarmasian di
rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker, meliputi (Menkes RI,
2016):
1) Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan
dengan pengobatan
2) Identifikasi kepatuhan pasien
3) Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah,
misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin
4) Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum
5) Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan
obat berdasarkan catatan pengobatan pasien
6) Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah
f. Pemantauan Terapi Obat
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria
pasien (Menkes RI, 2016):
1) Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui
2) Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis
3) Adanya multidiagnosis
4) Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati
5) Menerima obat dengan indeks terapi sempit
6) Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat
yang merugikan.
Adapun kegiatan yang dilakukan yaitu :
1) Memilih pasien yang memenuhi kriteria
2) Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien
yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan
riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien atau keluarga
pasien atau tenaga kesehatan lain
3) Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat
antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian
obat tanpa indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu
tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak
diinginkan atau terjadinya interaksi obat
4) Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan
terjadi
5) Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi
rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek
terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
6) Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah
dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga
kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi
7) Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat
g. Monitoring Efek Samping obat
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat
yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal
yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan
terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Adapun kegiatan yang dilakukan yaitu (Menkes RI, 2016):
1) Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping obat
2) Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
3) Melaporkan ke pusat monitoring efek samping obat nasional
Faktor yang perlu diperhatikan:
1) Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
2) Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
4. Pengelolaan Obat Wajib Apotek
Obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker kepada pasien di
Apotek tanpa resep dokter disebut Obat Wajib Apotek (OWA). Obat yang
termasuk dalam OWA ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Apoteker di
apotek dalam melayani pasien yang memerlukan obat wajib :
a) Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien sesuai
dengan yang disebutkan dalam daftar obat wajib apotek.
b) Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi,
efek samping dan hal-hal lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
5. Pengelolaan Obat Keras, Narkotika, dan Psikotropika
1) Pengelolaan Narkotika di Apotek
Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,
disebut narkotika (Undang-Undang No.35 Tentang Narkotika, 2009).

Gambar 1. Penandaan Narkotika

Narkotika dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Undang-Undang No.


35 tahun 2009 tentang Narkotika):
 Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat
tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kokain, opium,
heroin, ganja.
 Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat
pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: morfin, petidin, normetadona, metadona.
 Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kodein, norkodeina,
etilmorfina.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang.
Pengendalian dan pengawasan narkotika, di Indonesia merupakan
wewenang Badan POM. Untuk mempermudah pengendalian dan
pengawasan narkotika maka pemerintah Indonesia hanya memberikan
izin kepada PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Untuk mengimpor
bahan baku, memproduksi sediaan dan mendistribusikan narkotika di
seluruh Indonesia. Hal tersebut dilakukan mengingat narkotika adalah
bahan berbahaya yang penggunaannya dapat disalahgunakan. Secara
garis besar pengelolaan narkotika meliputi pemesanan, penyimpanan,
pelayanan, pelaporan dan pemusnahan (Umar, 2011).
a) Pemesanan Narkotika
Untuk memudahkan pengawasan maka apotek hanya dapat
memesan narkotika ke PBF PT. Kimia Farma dengan
menggunakan Surat Pesanan (SP) khusus narkotika, yang
ditandatangani oleh APA, dilengkapi dengan nama jelas, stempel
apotek, nomor SIK dan SIA. Surat pesanan terdiri dari empat
rangkap. Surat pesanan narkotika dilengkapi dengan nama dan
tanda tangan APA, nomor Surat Izin Apotek (SIA), tanggal dan
nomor surat, alamat lengkap dan stempel apotek. Satu surat
pesanan hanya untuk satu jenis narkotika.
b) Penyimpanan Narkotika
Apotek harus mempunyai tempat khusus untuk menyimpan
narkotika dan harus dikunci dengan baik. Tempat penyimpanan
narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
(Keputusan Menteri Kesehatan RI No 28, 1987):
 Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.
 Harus mempunyai kunci yang kuat.
 Dibagi dua, masing-masing dengan kunci yang berlainan.
Bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin,
petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika
sedangkan bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan
narkotika yang dipakai sehari-hari.
 Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran
kurang dari 40 x 80 x 100 cm, maka lemari tersebut harus
dibaut melekat pada tembok atau lantai.
 Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan
barang lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri
Kesehatan.
 Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh pegawai yang
dikuasakan.
 Lemari khusus harus ditempatkan di tempat yang aman dan
tidak terlihat oleh umum.
c) Pelayanan Narkotika
Hal yang harus diperhatikan dalam penyerahan narkotika antara
lain (Undang-undang RI No. 35, 2009):
 Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh apotek,
rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan dan
dokter.
 Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada rumah
sakit, pusat kesehatan masyarakat, apotek lainyya, balai
pengobatan, dokter, dan pasien.
 Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai
pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien
berdasarkan resep dokter.
 Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan
untuk menjalankan praktik dokter dengan memberikan
narkotika melalui suntikan dan menolong orang sakit dalam
keadaan darurat dengan memberikan narkotika melalui
suntikan atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak
ada apotek.
 Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang
diserahkan oleh dokter hanya dapat diperoleh di apotek.
d) Pelaporan Narkotika
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
menyatakan bahwa apotek wajib membuat, menyampaikan dan
menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau
pengeluaran narkotika yang berada dalam penguasaannya.
Pelaporan penggunaan narkotika telah dikembangkan dalam
bentuk perangkat lunak atau program Sistem Pelaporan Narkotika
dan Psikotropika (SIPNAP) sejak tahun 2006 oleh Kementerian
Kesehatan. Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika
(SIPNAP) adalah sistem yang mengatur pelaporan penggunaan
Narkotika dan Psikotropika dari Unit Layanan (Puskesmas,
Rumah Sakit dan Apotek) ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan menggunakan pelaporan elektronik selanjutnya Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan ke tingkat yang lebih
tinggi (Dinkes Provinsi dan Dit jen Binfar dan Alkes) melalui
mekanisme pelaporan online yang menggunakan fasilitas internet.
Laporan ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Balai
Besar POM setempat, Dinas Kesehatan Provinsi setempat, dan 1
salinan untuk arsip. Namun, penerapan undang-undang ini
belum dilaksanakan secara menyeluruh di Indonesia.
e) Pemusnahan Narkotika
APA dapat memusnahkan narkotika yang rusak, kadaluarsa
atau tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan dalam pelayanan
kesehatan. Apoteker Pengelola Apotek dan dokter yang
memusnahkan narkotika harus membuat Berita Acara Pemusnahan
Narkotika yang sekurang-kurangnya memuat:
 Nama, jenis, sifat, dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.
 Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan
dan tahun dilakukan pemusnahan.
 Tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang
menyaksikan pemusnahan.
 Cara pemusnahan dibuat Berita Acara Pemusnahan Narkotika
dikirim kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
tembusan kepada Balai POM.
Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan dan
pelaporan narkotika dapat dikenai sanksi administratif oleh
Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan berupa: teguran, peringatan, denda administratif,
penghentian sementara kegiatan atau pencabutan izin (Undang-
undang RI No. 35, 2009).
2) Pengelolaan Psikotropika di Apotek
Zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku disebut psikotropika. Penggolongan dari psikotropika
berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
adalah:
 Psikotropika golongan I adalah Psikotropika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan. Contoh: etisiklidina, tenosiklidina,
metilendioksi metilamfetamin (MDMA).
 Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amfetamin,
deksamfetamin, metamfetamin, fensiklidin.
 Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amobarbital,
pentobarbital, siklobarbital.
 Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/ atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: diazepam,
estazolam, etilamfetamin, alprazolam.
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan
bahwa psikotropika golongan I dan II telah dipindahkan menjadi
narkotika golongan I sehingga lampiran mengenai psikotropika
golongan I dan II pada UU No. 5 tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Ruang lingkup pengaturan psikotropika adalah segala hal yang
berhubungan dengan psikotropika yang dapat mengakibatkan
ketergantungan. Tujuan pengaturan psikotropika yaitu:
 Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan
kesehatan dan ilmu pengetahuan.
 Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.
 Memberantas peredaran gelap psikotropika.
Secara garis besar pengelolaan psikotropika meliputi:
a) Pemesanan Psikotropika
Kegiatan ini memerlukan surat pesanan (SP), dimana satu SP
bisa digunakan untuk beberapa jenis obat. Penyerahan psikotropika
oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan pasien
dengan resep dokter. Tata cara pemesanan adalah dengan
menggunakan SP yang ditandatangani oleh APA dilengkapi
dengan nama jelas, stempel apotek, nomor SIK dan SIA. Surat
pesanan dibuat rangkap 3, dua lembar untuk PBF dan 1 lembar
untuk arsip apotek. Satu SP untuk beberapa jenis obat psikotropika.
b) Penyimpanan Psikotropika
Kegiatan ini belum diatur oleh perundang-undangan, namun
karena kecenderungan penyalahgunaan psikotropika, maka
disarankan untuk obat golongan psikotropika diletakkan tersendiri
dalam suatu rak atau lemari khusus.
c) Pelaporan Psikotropika
Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai
kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan melaporkan
pemakaiannya setiap bulan. Laporan ditujukan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan
kepada Kepala Balai Besar POM setempat, Dinas Kesehatan
Provinsi setempat, dan 1 salinan untuk arsip.
d) Pemusnahan Psikotropika
Kegiatan ini dilakukan bila berhubungan dengan tindak pidana,
diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku
dan atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi, kadaluarsa
atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Pemusnahan
psikotropika wajib dibuat Berita Acara dan dikirim kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Balai POM.
2. Pengelolaan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Tradisional,
Kosmetik, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan Lainnya
Pemerintah menetapkan beberapa peraturan mengenai “Tanda” untuk
membedakan jenis-jenis obat yang beredar di wilayah Republik Indonesia
agar pengelolaan obat menjadi mudah. Beberapa peraturan tersebut antara
lain yaitu:
a. UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
b. Kepmenkes RI No. 2396/A/SK/VIII/86 tentang Tanda Khusus Obat
Keras Daftar G.
c. Kepmenkes RI No. 347/Menkes/SK/VIII/90 tentang Obat Wajib
Apotek.
d. Kepmenkes RI No. 2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus Obat
Bebas dan Obat Bebas Terbatas.
e. Permenkes RI No.688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran
Psikotropika.
Berdasarkan ketentuan peraturan tersebut, maka obat dapat dibagi
menjadi beberapa golongan yaitu (Umar, 2011; Departemen Kesehatan RI,
1997):
a. Obat Bebas
Obat tanpa peringatan, yang dapat diperoleh tanpa resep dokter
disebut obat bebas. Tandanya berupa lingkaran bulat berwarna hijau
dengan garis tepi hitam. Contoh obat bebas adalah Panadol®, Promag®,
dan Diatab®

Gambar 2. Penandaan Obat Bebas


b. Obat Bebas Terbatas
Obat dengan peringatan, yang dapat diperoleh tanpa resep dokter
disebut obat bebas terbatas. Tandanya berupa lingkaran bulat berwarna
biru dengan garis tepi hitam.

Gambar 3. Penandaan Obat Bebas Terbatas

Komposisi obat bebas terbatas merupakan obat keras sehingga


dalam wadah atau kemasan perlu dicantumkan tanda peringatan (P1-
P6). Tanda peringatan tersebut berwarna hitam dengan ukuran panjang
5 cm dan lebar 2 cm (disesuaikan dengan warna kemasannya) dan
diberi tulisan peringatan penggunaannya dengan huruf berwarna putih.
Tanda-tanda peringatan ini sesuai dengan golongan obatnya yaitu:
 P No 1: Awas! Obat keras. Baca aturan memakainya. Contoh:
Decolgen®, Ultraflu®, dan Fatigon®.
 P No 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk dikumur, jangan ditelan.
Contoh: Betadine gargle®, Listerin® dan Minosep®.
 P No 3: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari
badan. Contoh: Canesten® krim, dan Fosen enema®
 P No 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.
 P No 5: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan. Contoh: Dulcolax ®
Suppositoria
 P No 6: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan. Contoh:
Anusol® Suppositoria.
P. No. 1 P. No. 2
Awas! Obat Awas! Obat
Keras Keras Hanya
Baca aturan untuk kumur,

P. No. 3 P. No. 4
Awas! Obat Awas! Obat
Keras Hanya Keras
untuk bagian

P. No. 5 P. No. 6
Awas! Obat Awas! Obat
Keras Keras
Obat wasir,
jangan

Gambar 4. Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas

c. Obat Keras Daftar G


Obat-obat yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan,
mendesinfeksi, dan lain-lain, pada tubuh manusia, baik dalam
bungkusan atau tidak yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan disebut
obat keras. Tanda khusus obat keras yaitu lingkaran merah dengan garis
tepi hitam dan huruf K di dalamnya yang ditulis pada etiket dan
bungkus luar.
Obat keras merupakan obat yang hanya bisa didapatkan dengan
resep dokter dan dapat diulang tanpa resep baru bila dokter menyatakan
pada resepnya “boleh diulang“. Obat-obat golongan ini antara lain obat
jantung, obat diabetes, hormon, antibiotika, beberapa obat ulkus
lambung, semua obat suntik, dan psikotropika.
BAB III
KEGIATAN PRAKTEK KERJA DAN PEMBAHASAN

A. Studi Kelayakan dan Sistem Manajerial Apotek


Spesifikasi Apotek
a. Nama dan Lokasi Apotek
Nama Apotek : Apotek ARA FARMA
Alamat : Jl. Propinsi, Desa Tulehu, Kecamatan
Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah,
Ambon (Seberang Jalan Dekat SPBU
Tulehu)
Pemilik Sarana Apotek : Apt. Ade Rafni Amaliah Z, S. Farm
Apoteker Pengelola Apotek : Apt. Ade Rafni Amaliah Z, S. Farm
Apoteker Pendamping : Apt. Ahmad Paimin, S. Farm
Asisten Apoteker : Amelia dan Raihan
Administrasi : Sulastri
Pembantu Umum : Sutarjo
b. Data Pendukung
1) Kepadatan Penduduk

Tabel 1. Data Kepadatan Penduduk di Kecamatan Salahutu (Sumber : BPS


Maluku)
Berdasarkan data di atas, Apotek ARA FARMA berada di daerah
dengan kepadatan penduduk terbanyak dibanding beberapa desa lain
yang terdapat di Kecamatan Salahutu.
2) Persebaran Penduduk

Tabel 2. Data Jumlah Penduduk Kecamatan Salahutu (Sumber : BPS


Maluku)
3) Pelayanan Kesehatan Lain

Tabel 3. Data Sarana Kesehatan di Kecamatan Salahutu (Sumber : BPS


Maluku)
Berdasarkan data kesehatan di atas, sarana kesehatan lain yang
terdapat di sekitar apotek ARA FARMA yaitu 1 RSUD Tulehu, 1
Puskesmas dan 1 Puskesmas Pembantu.
4) Jumlah Penyakit Terbanyak
Berikut adalah data pola penyakit terbanyak di Desa Tulehu,
Kecamatan Salahutu hingga tahun 2018

Tabel 4. Data Jumlah Penyakit Terbanyak di Kecamatan Salahutu


(Sumber : BPS Maluku)
5) Kompetitor
a. Apotek Fajar Farma (800 meter dari Apotek ARA FARMA)
b. Apotek Raya Anugerah (600 meter dari Apotek ARA FARMA)
c. Apotek Alsa (1 km dari Apotek ARA FARMA)
6) Fasilitas Umum dan Pusat Keramaian
a. SPBU Tulehu
b. Pelabuhan Speed Boat Haria
c. Bank BRI Unit Tulehu
d. Pasar Tulehu dan beberapa toko lainnya
7) Kemudahan Akses Transportasi
Akses transportasi menuju Apotek sangat mudah karena berada tepat
di samping jalan utama dan dilewati oleh transportasi umum serta tidak
macet.
c. Sarana dan Prasarana
1. Bangunan
Bangunan Apotek ARA FARMA memiliki ukuran 8 x 10 meter, yanag
terdiri dari beberapa ruangan sebagai berikut:
a. Ruang tunggu pasien
b. Ruang pelayanan
c. Ruang peracikan
d. Ruang konsultasi
e. Toilet
Adapun bangunan apotek akan dilengkapi dengan papan nama,
penerangan apotek, ventilasi, sumber air bersih dan tempat sampah. Di
luar bangunan juga tersedia area parkir.
2. Peralatan dan Perlengkapan
a. Alat Pembuatan, pengolahan dan peracikan obat seperti alat-alat
gelas, timbangan, mortar dan stamper, sudip, pengaduk, corong,
alat pengisi kapsul semi otomatis. Alat-alat ini dipergunakan untuk
pelayanan resep khususnya resep racikan dalam membuat atau
mengolah bahan baku obat menjadi obat jadi yang siap digunakan
pasien.
b. Alat penympanan perbekalan farmasi seperti lemari, rak etalase,
dan kulkas untuk menyimpan obat-batan. Selain itu, Apotek ARA
FARMA juga memiliki lemari penyimpanan narkotika dan
psikotropika dengan 2 pintu.
c. Wadah (kertas puyer, pot salep, kapsul kosong), etiket (biru dan
putih), dan pembungkus yang digunakan untuk mengemas obat,
baik obat jadi maupun racikan.
d. Peralatan administrasi seperti blangko SP obat, SP narkotik dan
psikotropik, salinan resep, kwitansi, kartu stok, dan buku inventaris
yang meliputi faktur, buku defekta.
e. Buku-buku standar yang diwajibkan seperti Farmakope Indonesia
Edisi IV, ISO, kumpulan Peraturan PerUU yang berhubungan
dengan apotek, DOEN, MIMS.
f. Peralatan pendukung lainnya seperti alat TV, kipas angin,
timbangan badan, dispenser, kompor/pemanas, tempat sampah, jam
dinding, rak piring kecil dan perangkatnya, pemadam kebakaran
dan thermometer ruangan.
d. Pengelolaan Sumber Daya Manusia (Membuat struktur organisasi
apotek, mengatur jam kerja, tugas dan fungsi masing-masing)
1. Struktur Organisasi Apotek

Apoteker
Pemilik Sarana
Pengelola
Apotek
Apotek

Apoteker
Pendamping

Asisten Pembantu
Apoteker/TTK Umum

2. Jam Kerja
Apotek ARA FARMA buka setiap hari kerja (hari libur nasional tutup).
Buka mulai jam 08.00-20.00 WIT. Jam kerja di Apotek ARA FARMA
terbagi atas 2 waktu kerja, yaitu:
1) Jam 08.00-14.00 WIT
2) Jam 14.00-20.00 WIT
3. Tugas dan Fungsi
Adapun tugas dan fungsi masing-masing anggota berdasarkan struktur
organisasi Apotek kami yaitu sebagai berikut:
a. Pemilik Sarana Apotek
1) Bertanggung jawab terhadap modal pendirian Apotek
2) Mengurus semua persyaratan yang harus dipenuhi untuk
mendirikan apotek
3) Berhak memilih APA
4) Mengontrol keuangan apotek
b. Apoteker Pengelola Apotek
1) Memimpin seluruh kegiatan apotek, merencanakan
pengembangan apotek dan bertanggung jawab pada
kelangsungan hidup apotek
2) Memberikan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, melalui
pelayanan teknis kefarmasian dan informasi
3) Mengelola, melaksanakan dan mengawasi kegiatan administrasi
4) Membuat laporan dan memberikan data kegiatan apotek untuk
jangka waktu tertentu
5) Melakukan dan merencanakan kegiatan pengembangan apotek
6) Memimpin dan mengawasi seluruh karyawan serta menilai
kinerjanya
7) Mengusahakan agar kebijakan dan strategi yang telah ditetapkan
dapat berjalan dengan baik dan lancar
c. Apoteker Pendamping
1) Membantu pekerjaan APA dalam manajerial apotek
2) Menggantikan APA di apotek ketika APA sedang tidak ada di
tempat
d. Asisten Apoteker/TTK
1) Pengaturan dan penyusunan dalam hal penyimpanan obat dan
perbekalan farmasi lainnya sesuai dengan bentuk dan jenis
barang yang disusun secara alfabetis
2) Penerimaan resep dan pemeriksaan keabsahan dan kelengkapan
resep sesuai peraturan kefarmasian
3) Pemeriksaan ketersediaan obat dan perbekalan farmasi lainnya
berdasarkan resep yang diterima
4) Pemberian harga pada setiap resep dokter yang masuk
5) Pelayanan dan peracikan obat sesuai dengan resep dokter, antara
lain menghitung dosis obat untuk racikan, menimbang bahan,
meracik, mengemas obat dan memberikan etiket
6) Pembuatan kwitansi atau salinan resep untuk obat yang hanya
diambil sebagian atau bila diperlukan pasien
7) Pemeriksaan kebenaran obat yang akan diserahkan kepada pasien
meliputi bentuk sediaan, jumlah obat, nama obat, nama pasien,
dan cara pemakaian
8) Pemeriksaan akhir terhadap hasil penyiapan obat
9) Penyerahan obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada pasien
dan memberikan penjelasan tentang penggunaan obat atau
informasi lain yang dibutuhkan
10) Mencatat masuk dan keluarnya obat pada kartu stok barang
e. Administrasi
Menangani kegiatan administrasi, pembelian, penjualan, pajak dan
tugas administrasi lainnya
f. Pembantu Umum
Bertanggung jawab atas kebersihan dan keamanan apotek
e. Peluang atau Prospek Pemasaran (Analisis SWOT)
Berdasarkan data-data pendukung yang diperoleh dari survey terhadap
lokasi apotek dan keberadaan competitor, maka dapat diterangkan beberapa
hal penting terkait aspek kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
terhadap apotek yang akan didirikan berdasarkan analisis SWOT sebagai
berikut:
1. Strength/Kekuatan
a. Ketersediaan obat dan perbekalan farmasi di Apotek ARA FARMA
relative lengkap dan sesuai kebutuhan masyarakat serta mampu
memberikan Customer Satisfaction (kepuasan pelanggan) sehingga
dapat meningkatkan omset
b. Harga yang diberikan lebih ekonomis dan terjangkau
c. Letak atau lokasi Apotek yang mudah dijangkau, serta dekat dengan
pusat keramaian, seperti SPBU dan pelabuhan
d. Memiliki sumber daya manusia yang ahli pada bidangnya
2. Weakness/Kelemahan
a. Belum dikenal masyarakat banyak
b. Belum menggunakan sistem komputerisasi dalam kegiatan
manajemennya sehingga pengaturan obat masuk dan keluar tidak
efisien. Misalnya apabila ada obat kadaluwarsa atau obat yang
hilang, maka akan sulit untuk terdeteksi.
3. Opportunity/Peluang
a. Jumlah penduduk di sekitar apotek cukup padat karena berdekatan
dengan pemukiman warga
b. Apotek ditata dengan nyaman, bersih dan elegan sehingga dapat
menarik pelanggan
4. Threats/Ancaman
a. Jarak kompetitor yang lumayan dekat yaitu dalam radius ± 1 km,
sehingga meningkatkan persaingan
b. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat sekitar masih kurang terkait
obat. Berdasarkan survei, masyarakat sekitar masih lebih memilih
untuk menggunakan pengobatan tradisional ataupun membeli obat
secara bebas di toko-toko terdekat untuk pengobatannya.
f. Aspek Pemasaran dan Rencana Strategi Pengembangan
Strategi pemasaran dan pengembangan Apotek kami meliputi beberapa
aspek, yaitu product, price, place, promotion, people, process, dan physical
evidence.
1) Product
Strategi pemasaran dari aspek ini yaitu terkait kombinasi barang dan jasa
yang ditawarkan kepada konsumen/pasien. Strategi ketersediaan obat
dan pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh apotek akan menjadi
daya tarik tersendiri bagi konsumen. Dengan tersedianya obat yang
lengkap dengan mutu terjamin serta pelayanan kefarmasian yang ramah,
cepat dan tepat dapat memberikan keunggulan tersendiri bagi apotek.
2) Price
Price atau harga yang disediakan konsumen untuk mendapatkan produk,
juga menjadi salah satu aspek yang sangat penting dalam strategi
pemasaran. Metode penentuan harga obat yang digunakan adalah metode
standard mark-up pricing, yaitu menentukan harga dengan menambah
presentase tambahan di atas total biaya tertentu yang besarnya
ditentukan oleh apotek. Margin yang diambil oleh apotek yaitu 10%.
3) Place
Dari segi tempat, apotek ARA FARMA mempunyai keunggulan
tersendiri yaitu terletak di tempat yang strategis, dekat keramaian dan
kemudahan konsumen dalam mengakses apotek.
4) Promotion
Promotion berarti terkait kegiatan yang dilakukan dalam
mengkomunikasikan manfaat produk dan memengaruhi target konsumen
agar membeli produk. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan
memasang papan nama apotek semenarik mungkin dan mudah terlihat
konsumen, membuat brosur, spanduk, atau poster kesehatan yang dapat
dibagi-bagikan kepada masyarakat, melakukan promosi apotek melalui
media social (Instagram, Facebook), juga dapat berpartisipasi atau
menjadi sponsor dalam event kesehatan atau event yang dilakukan
masyarakat setempat.
5) People
People terkait dengan sumber daya manusia yang dapat meningkatkan
penjualan produk kepada konsumen. Dalam hal ini apotek kami akan
menggunakan sumber daya manusia yang unggul di bidangnya
khususnya di bidang kefarmasian.
6) Process
Process yang dimaksud meliputi pelayanan yang cepat, tepat, serta
penjelasan cara pemakaian obat yang benar dan mudah dimengerti,
adanya pelayanan konsultasi gratis, pelayanan kefarmasian langsung
oleh apoteker, pembayaran yang mudah yaitu berupa cash, kartu debit
ataupun kartu kredit.
7) Physical evidence
Physical evidence terkait dengan penampilan fisik apotek seperti
kebersihan, tempat parkir yang memadai, ruang tunggu yang luas dan
nyaman dengan adanya TV dan kipas angin, serta tata letak obat bebas
yang mudah dilihat oleh konsumen.
g. Aspek Modal dan Biaya
1) Modal Awal
Modal Tetap
Pembangunan apotek Rp 100.000.000,00
Sarana fisik:
1 buah kulkas Rp 900.000,00
2 buah lemari obat/etalase Rp 7.500.000,00
1 buah lemari narkotik/psikotropik Rp 300.000,00
1 buah kursi kasir Rp 50.000,00
2 buah kipas angina Rp 300.000,00
1 buah TV 14’ Rp 400.000,00
1 set kursi tunggu Rp 800.000,00
1 buah dispenser Rp 100 .000,00
1 buah kompor/pemanas Rp 100.000,00
1 buah rak piring dan perlengkapannya Rp 300.000,00
1 buah billboard nama apotek Rp 100.000,00
1 buah pemadam kebakaran Rp 300.000,00
Sumber air Rp 300.000,00
1 buah timbangan badan Rp 60.000,00
2 buah jam dinding Rp 100.000,00
3 buah tempat sampah Rp 50.000,00
Jumlah: Rp 11.660.000,00
Sarana Administrasi
1 set mesin kasir Rp 2.000.000,00
Kalkulator Rp 100.000,00
Nota, kwitansi, SP, dll Rp 250.000,00
Stampel, tinta dan bantalan Rp 60.000,00
Alat tulis Rp 40.000,00
Buku pesanan, faktur Rp 80.000,00
Kartu stok, catatan resep, copy resep Rp 100.000,00
Blanko laporan narkotika dan psikotropika Rp 20.000,00
Daftar harga obat Rp 20.000,00
Lem, gunting, isolasi Rp 15.000,00
Jumlah: Rp 2.685.000,00
Sarana Pelayanan
1 buah meja racik Rp 500.000,00
2 buah kursi racik Rp 100.000,00
2 buah kursi layanan Rp 300.000,00
Tempat pencucian alat-alat Rp 200.000,00
2 pasang mortir dan stamper Rp 300.000,00
Pot salep, botol, dan kapsul Rp 100.000,00
Kertas perkamen Rp 20.000,00
Pengaduk, alat gelas, dan pipet Rp 100.000,00
Corong Rp 50.000,00
Labu Erlenmeyer Rp 100.000,00
Kertas puyer Rp 50.000,00
1 set timbangan Rp 2.500.000,00
Plastik obat Rp 100.000,00
Lap Rp 10.000,00
Etiket biru dan putih Rp 30.000,00
Buku-buku standard apotek Rp 750.000,00
Jumlah: Rp 5.210.000,00
Biaya perizinan Rp4.000.000,00
Modal Operasional (obat) Rp 30.000.000,00
Cadangan Modal Rp 6.445.000,00
Total Modal: Rp 160.000.000,00

RENCANA ANGGARAN TAHUNAN


Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahun ke-1
(RAPB th-1)
Biaya Rutin Per-bulan Tahun ke-1
Biaya Gaji Karyawan
Apoteker Pengelola Apotek Rp 4.000.000,00
Apoteker Pendamping Rp 3.500.000,00
Asisten Apoteker 2 x Rp 1.500.000,00 Rp 3.000.000,00
Administrasi Rp 1.500.000,00
Pembantu Umum Rp 1.000.000,00
Jumlah: Rp 13.000.000,00
Biaya lain-lain
Biaya pemeliharaan gedung dan peralatan Rp 200.000,00
Biaya listrik dan air Rp 300.000,00
Biaya pemeliharaan dan penyusutan bangunan serta
peralatan dan perlengkapan Rp 200.000,00
Jumlah: Rp 700.000,00
Total biaya rutin/bulan: Rp 13.700.000,00
Biaya Rutin Tahun Ke-1
Biaya Rutin Bulanan 12 x Rp 13.700.000,00 Rp 164.400.000,00
Tunjangan Hari Raya (THR) : 1 bulan gaji Rp 5.000.000,00
Total Biaya Rutin Tahun Ke-1: Rp 169.400.000,00
Proyeksi Pendapatan Tahun 1 (2020-2021)
Diperkirakan julah resep yang masuk rata-rata 25 lembar perhari dengan
harga rata-rata Rp 50.000,00. Pendapatan tahun 2020-2021 sebagai
berikut:
Penjualan Resep
26 hari x 12 x 25 resep x Rp 50.000,00 Rp 390.000.000,00
Penjualan Obat Bebas
26 hari x 12 x Rp 400.000,00 Rp 124.800.000,00
Penjualan OWA
26 hari x 12 x Rp 150.000,00 Rp 46.800.000,00
Total Pendapatan : Rp 561.600.000,00
Pengeluaran Tahun I
Pembelian obat (generik dan paten) Rp 100.000.000,00
Pembelian obat bebas Rp 50.000.000,00
Pembelian OWA Rp 30.000.000,00
Biaya Rutin Tahun I Rp 169.400.000,00
Total Pengeluaran : Rp 349.400.000,00
Perkiraan Laba Rugi Tahun I
Pemasukan Rp 561.600.000,00
Pengeluaran Rp 349.400.000,00
Laba Bruto : Rp 212.200.000,00
Pajak Pendapatan (20%) Rp 42.440.000,00
Laba Bersih : Rp 169.760.000,00

PBP

ROI

BEP =

% BEP

Kapasitas BEP = % BEP x jumlah lembar resep per tahun


h. Menyiapkan Dokumen dan Kelengkapan Administrasi Perizinan
Apotek
Dalam mendirikan apotek, apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek
(SIA) yaitu surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana
apotek untuk mendirikan apotek. SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Untuk memperoleh SIA,
Apoteker harus mengajukan permohonan tertulis kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 1. Dalam mengajukan
permohonan izin Apotek terdapat syarat administratif yang harus
dilampirkan, yaitu :
a. Fotocopy STRA dengan menunjukan STRA asli;
b. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c. Fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker;
d. Fotocopy peta lokasi dan denah bangunan;dan
e. daftar prasarana, sarana, dan peralatan
1) Alur Perizinan Apotek
Berikut alur peizinan apotek Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek :
(1) Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus mengajukan permohonan
tertulis kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan
menggunakan Formulir 1.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
ditandatangani oleh Apoteker disertai dengan kelengkapan dokumen
administratif meliputi:
a. Fotocopy STRA dengan menunjukan STRA asli;
b. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c. Fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker;
d. Fotocopy peta lokasi dan denah bangunan;dan
e. Daftar prasarana, sarana, dan peralatan.
(3) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima
permohonan dan dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk
melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan Apotek dengan
menggunakan Formulir 2.
(4) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
melibatkan unsur dinas kesehatan kabupaten/kota yang terdiri atas:
a. Tenaga kefarmasian; dan
b. Tenaga lainnya yang menangani bidang sarana dan prasarana.
(5) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak tim pemeriksa
ditugaskan, tim pemeriksa harus melaporkan hasil pemeriksaan
setempat yang dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir
3.
(6) Paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja sejak Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota menerima laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dan dinyatakan memenuhi persyaratan, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Balai
POM, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Organisasi
Profesi dengan menggunakan Formulir 4.
(7) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dinyatakan masih belum memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota harus mengeluarkan surat penundaan paling lama
dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja dengan menggunakan
Formulir 5.
(8) Terhadap permohonan yang dinyatakan belum memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemohon dapat
melengkapi persyaratan paling lambat dalam waktu 1 (satu) bulan
sejak surat penundaan diterima.
(9) Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat Penolakan dengan
menggunakan Formulir 6.
(10) Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan
SIA melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Apoteker pemohon dapat menyelenggarakan Apotek dengan
menggunakan BAP sebagai pengganti SIA.
Bila Apoteker menggunakan sarana milik pihak lain, yaitu mengadakan
kerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek, maka harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1) Pengguna sarana yang dimaksud, wajib didasarkan atas perjanjian kerja
sama antara apoteker dan pemilik sarana
2) Pemilik sarana yang dimaksud, harus memenuhi persyaratan tidak pernah
terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat
sebagaimana dinyatakan dalam Surat Pernyataan yang bersangkutan.

B. Kegiatan Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan


Medis Habis Pakai
Kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai pada saat Praktek Kerja secara daring
sesuai dengan Permenkes 73 Tahun 2016 yang meliputi kegiatan
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
1. Perencanaan
Kegiatan perencanaan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan
sebelum melakukan pengadaan dimana dalam perencanaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dengan jumlah dan
jenis yang sesuai kebutuhan, dan sesuai anggaran agar dapat terhindar dari
kekosongan barang. Dalam melakukan perencanaan harus memperhatikan
pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
Dalam perencanaan, kegiatan yang dilakukan yaitu melakukan
perhitungan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) dengan menggunakan
berbagai metode yaitu:
b. Metode Konsumsi
Metode konsumsi merupakan salah satu metode dalam menghitung
rencana kebutuhan obat yang didasarkan pada data konsumsi sediaan
farmasi pada periode sebelumnya. Data-data yang perlu disiapkan
dalam menghitung jumlah kebutuhan obat menggunakan metode ini
yaitu daftar nama obat, stok awal, penerimaan, pengeluaran, sisa stok,
daftar obat hilang/rusak/kadaluwarsa, kekosongan obat, pemakaian
rata-rata obat satu periode, waktu tunggu sejak obat dipesan sampai
diterima, stok pengaman, dan pola kunjungan. Adapun rumus yang
digunakan dalam metode konsumsi yaitu sebagai berikut :
A = (B + C + D) – E
Keterangan :
A = rencana kebutuhan
B = stok kerja atau pemakaian rata-rata dalam satu periode
C = stok pengaman
D = waktu tunggu dikali dengan pemakaian rata-rata satu periode
E = sisa stok
Contoh :
Pemakaian Parasetamol tablet selama tahun 2019 (Januari-Desember)
di Apotek X sebanyak 2.000.000 tablet untuk pemakaian selama 10
(sepuluh) bulan. Buffer stock sebesar 20%, dan waktu tunggu selama
3 bulan. Pernah terjadi kekosongan selama 2 (dua) bulan.
Sisa stok per 31 Desember 2019 adalah 50.000 tablet. Berapakah
jumlah perencanaan Parasetamol tablet pada tahun 2020?
a) Pemakaian rata-rata Paracetamol tablet perbulan tahun 2019 adalah
2.000.000 tablet / 10 = 200.000 tablet.
b) Pemakaian Paracetamol tablet tahun 2019 (12 bulan) = 200.000
tablet x 12 = 2.400.000 tablet.
c) Buffer stock 20% = 20% x 2.400.000 tablet = 480.000 tablet.
d) Lead time 3 bulan = 3 x 200.000 tablet = 600.000 tablet.
e) Kebutuhan Paracetamol tahun 2020 adalah = b + c + d, yaitu:
2.400.000 tablet + 480.000 tablet + 600.000 tablet= 3.480.000
tablet.
f) Rencana pengadaan Paracetamol untuk tahun 2020 adalah:
Hasil perhitungan kebutuhan (e) – sisa stok= 3.480.000 tablet –
50.000 tablet = 3.430.000 tablet.
c. Metode Morbiditas
Metode Morbiditas adalah metode perhitungan kebutuhan obat
yang didasarkan pada pola penyakit yang berkembang di masyarakat.
Metode ini memperkirakan kebutuhan obat berdasarkan jumlah obat,
kejadian penyakit yang umum terjadi, dan mempertimbangkan pola
standar pengobatan untuk penyakit tertentu. Langkah pertama dalam
metode ini yaitu mengumpulkan data yang diperlukan berupa data
perkiraan jumlah populasi, pola morbiditas penyakit dan standar
pengobatan. Setelah itu, hitung kebutuhan jumlah obat dengan cara
jumlah kasus dikali jumlah obat sesuai pedoman pengobatan dasar.
Contoh :
Untuk penyakit Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) pada orang
dewasa dan anak-anak antara lain menggunakan Amoksisilin
berdasarkan pedoman pengobatan, dengan perhitungan sebagai
berikut:
 Anak-anak
Standar pengobatan Amoksisilin pada anak-anak adalah 10
mg/kgBB dalam dosis terbagi 3 x sehari selama 14 hari. Jumlah
kasus yaitu sebanyak 5.000 kasus. Berat badan anak diasumsikan
12 kg.
Jumlah maksimal penggunaan Amoksisilin untuk satu kasus yaitu:
12 kg x 10 mg/kgBB x 3 x 14 hari = 5040 mg
Diketahui Amoksisilin sirup 125 mg/5 ml botol 60 ml. Satu botol
sirup Amoksisilin mengandung:
60 ml/5ml x 125 mg = 1500 mg
Maka, jumlah yang dibutuhkan untuk satu kasus yaitu:
5040 mg/1500 mg x 1 botol = 3 ½ botol
Jumlah Amoksisilin sirup yang dibutuhkan untuk 5.000 kasus
yaitu:
5.000 x 3 ½ botol = 17.500 botol.
 Dewasa
Standar pengobatan Amoksisilin untuk dewasa yaitu 500 mg dalam
dosis terbagi 3 x sehari selama 14 hari. Jumlah kasus sebanyak
10.000.
Jumlah Amoksisilin yang dibutuhkan untuk satu kasus yaitu:
500 mg x 3 x 14 hari = 21.000 mg / sama dengan 42 kaplet @500
mg
Jumlah Amoksisilin yang dibutuhkan untuk 10.000 kasus yaitu:
10.000 x 42 kaplet @500 mg = 420.000 kaplet @500 mg
Jumlah kaplet per kemasan : 100 kaplet
Jumlah Amoksisilin yang dibutuhkan untuk 10.000 kasus:
420.000 kaplet/100 kaplet x 1 kotak = 4.200 kotak.
c. Metode proxy consumption
Metode Proxy Consumption merupakan metode yang digunakan
untuk perencanaan di Apotek baru yang belum memiliki data
konsumsi di tahun sebelumnya. Metode ini menggunakan data
kejadian penyakit, konsumsi obat, permintaan, atau penggunaan,
dan/atau pengeluaran obat dari Apotek yang telah memiliki sistem
pengelolaan obat.
Setelah dilakukan perhitungan, maka dilakukanlah analisis rencana
kebutuhan dengan metode analisis ABC, metode analisis VEN, analisis
kombinasi dan revisi daftar sediaan farmasi. Analisis ABC adalah suatu
analisis yang mengelompokkan item obat berdasarkan kebutuhan dananya,
yaitu sebagai berikut :
a. Kelompok A, adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya memepunyai penyerapan dana sekitar 70% dari jumlah
dana obat keseluruhan.
b. Kelompok B, adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya mempunyai penyerapan dana sekitar 20% dari jumlah
dana obat keseluruhan.
c. Kelompok C, adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya mempunyai penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah
dana obat keseluruhan.
Analisis VEN adalah metode analisis yang mengelompokkan obat
berdasarkan manfaat tiap jenis obat terhadap kesehatan. Obat dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu kelompk V (vital), kelompok E (esensial),
dan kelompok N (non esensial). Kelompok V (vital) adalah kelompok obat
yang mampu menyelamatkan jiwa, yang apabila tidak tersedia maka akan
mengancam jiwa. Kelompok E (esensial) adalah kelompok obat yang
kerjanya pada sumber penyebab penyakit dan paling dibutuhkan untuk
pelayanan kesehatan seperti obat antidiabetes, analgesic, dan obat-obat
yang dapat mengatasi penyebab kematian terbesar. Kelompok N (non
esensial) merupakan obat-obat penunjang kesehatan yang kerjanya ringan
seperti suplemen dan vitamin.
Metode kombinasi atau metode gabungan merupakan metode yang
digunakan untuk melakukan pengurangan obat dengan mekanisme sebagai
berikut :
1) Obat yang masuk kategori NA menjadi prioritas pertama untuk
dikurangi atau dihilangkan dari rencana kebutuhan, bila dana masih
kurang, maka obat kategori NB menjadi prioritas selanjutnya dan obat
yang masuk kategori NC menjadi prioritas berikutnya. Jika setelah
dilakukan dengan pendekatan ini dana yang tersedia masih juga kurang
lakukan langkah selanjutnya.
2) Pendekatannya sama dengan pada saat pengurangan obat pada kriteria
NA, NB, NC dimulai dengan pengurangan obat kategori EA, EB dan
EC
2. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasiakan kebutuhan
yang telah direncanakan dan disetujui sehingga terjamin ketersediaan
dalam jenis dan jumlah yang tepat dengan harga yang layak dan ekonomis,
dengan mutu yang baik, aman dan bermanfaat, dengan pengiriman barang
terjamin dan terpat waktu, proses berjalan lancar dan tidak memerlukan
tenaga serta waktu berlebihan dan harus melalui jalur resmi sesuai dengan
peraturan perundang undangan.
Kegiatan pengadaan obat narkotika, psikotropika, obat prekursor dan
obat-obat tertentu dilakukan dengan menggunakan surat pesanan khusus
yang dibuat oleh apoteker penanggung jawab apotek dan ditanda tangani
oleh apoteker penanggung jawab apotek, dimana surat pesanan tersebut
langsung diberikan diberikan kepada PBF tanpa melalui sistem. Berikut
contoh surat pesanan narkotika, psikotropika, precursor dan obat bebas:

Gambar 5. Contoh SP Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Obat


Bebas
Surat pesanan untuk narkotika ada 5 rangkap dan surat pesanan untuk
kpsikotoprika dan prekursor ada 3 rangkap. Untuk surat pesanan narkotika
digunakan untuk satu jenis obat narkotika saja dan untuk surat pesanan
psikotropika dapat digunakan untuk lebih dari 1 jenis obat dengan
maksimal 5 jenis obat. Untuk surat pesanan prekusor dan obat - obat
tertentu dapat digunakan untuk lebih dari satu jenis obat tanpa batasan
pemesanan.
3. Penerimaan
Kegiatan penerimaan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu pernyerahan
dan harga sediaan farmasi yang tertera dalam surat pesanan dengan
kondisi fisik yang diterima. Berikut merupakan link video simulasi
penerimaan obat:
https://drive.google.com/file/d/1rUvXGWRsFoEdZQcXTU2E93QcOI
dpamYj/view?usp=sharing
Kegiatan penerimaan barang dapat dilakukan oleh Apoteker
Pendamping atau Asisten Apoteker dengan memperhatikan keadaan fisik
barang yang dipesan sesuai dengan surat pesanan seperti barang yang
datang masih dalam kondisi baik, packingannya tidak rusak, segel masih
utuh, tidak berubah bentuk, tidak bocor, sumbernya resmi. Kemudian
dilakukan pemeriksaan bentuk sediaan, kekuatan sediaan, nomor batch,
dan masa kadaluarsa yang tercantum dalam kemasan sesuai dengan yang
tercetak dalam faktur penjualan. Kemudian dituliskan nama pegawai yang
menerima barang, pencatatan tanggal/jam/ kondisi lain yang penting pada
faktur. Bukti paraf atau tanda tangan harus terdapat pada faktur sebagai
tanggung jawab penerima barang. Bukti faktur penjualan yang asli yang
diberikan kepada distributor dan salinan faktur tersebut disimpan untuk
apotek sebagai arsip. Namun apabila barang tidak sesuai dengan surat
pesanan atau terdapat kerusakan fisik, maka bagian pembelian akan
membuat surat pengembalian barang ke PBF yang bersangkutan untuk
ditukar dengan barang yang baru.
4. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara
dengan cara menempatkan sediaan farmasi yang diterima pada tempat
yang aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu
obat. Tujuan dilakukannya penyimpanan adalah untuk memelihara mutu
sediaan farmasi, menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab,
menghindari kehilangan dan pencurian, serta memudahkan dalam
pencarian dan pengawasan. Berikut merupakan link video simulasi
penyimpanan:
https://drive.google.com/file/d/1xXIjNfcEnNro-
QN1K78e_Ybv_3HrWuFP/view?usp=sharing
Kegiatan penyimpanan barang dapat dikelompokkan berdasarkan
bentuk sediaannya, kestabilan, dan kelas terapi atau efek farmakologinya.
Dapat juga disusun secara alfabetis dengan prinsip FEFO (First Expired
First Out), FIFO (First In First Out) dan untuk obat-obat yang memiliki
nama yang mirip maka diberi tanda LASA (like Alike Sound Alike). Untuk
penyimpanan berdasarkan bentuk sediaannya, dikelompokkan menjadi tiga
yaitu sediaan padat, semi solid, dan cairan. Untuk penyimpanan
berdasarkan kestabilannya dimana untuk obat-obat dengan suhu
penyimpanan antara 2-8oC disimpan pada kulkas obat seperti suppositoria,
dan obat dengan suhu penyimpanan dibawah 30oC disimpan pada ruangan.
Penyimpanan tiap kotak obat diberi identitas berupa nama obat, dosis,
bentuk sediaan dan dilengkapi dengan kartu stok masing-masing obat
untuk mencatat keluar masuknya barang. Berikut daftar beberapa obat dan
penyimpanannya :
Nama Obat Penyimpanan
Lemari obat sediaan padat dengan suhu
Sanmol Tablet
ruang
Lemari obat sediaan padat dengan suhu
Tiriz Kaplet 10 mg
ruang
Lemari obat sediaan padat dengan suhu
Amlodipine Tablet 5 mg ruang. Diletakkan terpisah jarak 1 obat
dengan Amlodipine tablet 10 mg
Lemari obat sediaan padat dengan suhu
Tremenza Tablet
ruang
Lemari obat sediaan padat dengan suhu
Amlodipine Tablet 10 mg ruang. Diletakkan terpisah jarak 1 obat
dengan Amlodipine tablet 5 mg
Lacto B Etalase dengan suhu ruang
Lemari obat sediaan semi solid, sediaan
Oxytetracycline Salep Mata
mata dengan suhu ruang
Lemari obat sediaan semi solid, sediaan
Gentamicin Salep Kulit
kulit dengan suhu ruang
Lemari obat sediaan semi solid dengan
Microlax Gel Enema
suhu ruang
Lemari obat sediaan cair dengan suhu
Cendo Catarlent Tetes Mata
ruang
Lemari obat sediaan cair dengan suhu
Visine Tetes Mata
ruang
Lemari obat sediaan cair dengan suhu
Rohto Cool Tetes Mata
ruang
Lemari obat sediaan cair dengan suhu
Amoxsan Tetes Pediatrik
ruang
Lemari obat sediaan cair dengan suhu
Amoxsan Sirop Kering 250 mg/5 ml
ruang
Lemari obat sediaan cair dengan suhu
Amoxsan Sirop Kering 125 mg/5 ml
ruang
Lemari obat sediaan cair dengan suhu
Tremenza Sirop
ruang
Bisolvon Extra Sirop Lemari obat sediaan cair dengan suhu
ruang
Lemari obat sediaan cair dengan suhu
Cefadroxil Sirup Kering
ruang
Clonazepam Tablet 2 mg Lemari Psikotropik dengan suhu ruang
Vaksin Polio Freezer dengan suhu (-15 oC) - (-25 oC)
Dulcolax Suppositoria 10 mg Lemari pendingin dengan suhu 2-8oC
NovoRapid FlexPen Lemari pendingin dengan suhu 2-8oC
Codipront Kapsul Lemari Narkotik dengan suhu ruang
Codipront Sirop Lemari Narkotik dengan suhu ruang
Tabel 5. Penyimpanan
Sediaan psikotropika dan narkotika disimpan pada lemari khusus
dengan 2 pintu dimana untuk tiap pintunya dikunci dengan kunci yang
berbeda. Penempatan lemari khusus ini ditempatkan di tempat yang aman
dan tidak terlihat. Obat psikotoprika dan narkotika juga disimpan secara
terpisah dan kuncinya dipegang oleh apoteker atau tenaga teknis
kefarmasian yang dikuasakan. Untuk obat prekursor farmasi disimpan
dalam bentuk obat jadi pada rak penyimpanan obat yang tidak terjangkau
oleh pelanggan.
5. Pemusnahan
Pemusnahan adalah suatu kegiatan penanganan yang dilakukan pada
obat rusak, kadaluwarsa, atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan atau
dicabut izin edarnya. Kegiatan ini bertujuan untuk menjamin sediaan
farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat dikelola sesuai dengan standar
yang berlaku. Berikut merupakan link video simulasi pemusnahan obat
dan resep:
https://drive.google.com/file/d/1i6yv3ZrOcdVGaXSpN7Emw4idleyq
HnJn/view?usp=sharing
Pemusnahan sediaan farmasi dapat dilakukan dengan cara dibakar,
ditimbun, ataupun dialirkan pada IPAL. Kegiatan pemusnahan sediaan
farmasi dilakukan oleh Apoteker dan harus dihadiri oleh saksi dari BPOM,
Dinkes Kabupaten/Kota, dan dari sarana terkait dengan adanya berita
acara pemusnahan. Untuk obat-obat narkotika dan psikotropika dibuatkan
pelaporan dan surat ke Dinkes Kabupaten/Kota dan Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (BPOM). Kegiatan pemusnahan resep dilakukan tiap 5
tahun sekali dimana dapat dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh
petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain,
kemudian dibuktikan dengan berita acara pemusnahan resep.
6. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan
untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan,
kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan.
Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan
cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama
Obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan
sisa persediaan.
1) Pengendalian Persediaan Farmasi
Pengendalian persediaan adalah suatu kegiatan untuk
memastikan tercapainya sasarn yang diinginkan sesuai dengan strategi
dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan obat. Untuk melakukan pengendalian
persediaan perlu dilakukan pengamatan terhadap stok kerja, stok
pengaman, waktu tunggu dan sisa stok. Sedangkan untuk mencapai
kebutuhan, perlu diperhitungkan keadaan stok yang seharusnya ada
pada waktu kedatangan obat dalam persediaan.
2) Pengendalian Keuangan
Langkah-langkah dalam pengaturan keuangan adalah membuat
alur keuangan yang jelas; adanya rekapan atau laporan harian
keuangan dengan format yang sederhana; menentukan pos-pos
pengeluaran seperti gaji, administrasi, pajak, pemeliharaan sarana;
serta menetapkan alokasi dana untuk pembelian
3) Pengendalian Penggunaan
Tujuan pengendalian penggunaan adalah untuk menjaga kualitas
pelayanan obat dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan dana obat.
4) Pengendalian Pelayanan
Pelayanan harus dilakukan sesuai dengan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek yang berlaku. Apoteker harus memahami dan
menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan dalam
proses pelayanan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien dan meningkatkan pelayanan kefarmasian di Apotek.
7. Pencatatan dan Pelaporan
Kegiatan pencatatan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
memudahkan petugas dalam melakukan penelusuran bila adnya mutu
obat yang di bawah standard an harus ditarik dari peredaran. Pencatatan
dapat dilakukan pada kartu stok dengan menggunakan bentuk digital
maupun manual. Pencatatan pada kartu stok terkait sediaan yang masuk
ataupun keluar, dan dilakukan pencatatan setiap dilakukakn pengadaan
baik bukti faktur yang diterima dan barang yang diperoleh. Kegiatan
pelaporan terbagi atas 2, yaitu pelaporan internal (surat pesanan, faktur
pembelian, nota penjualan, dan kartu stok), dan pelaporan eksternal
(pelaporan narkotika dan psikotropika melalui aplikasi SIPNAP). Berikut
merupakan contoh kartu stok obat :
Gambar 6. Contoh Kartu Stok
Pelaporan narkotika dan psikotropika dilaporkan setiap bulannya
oleh Apoteker ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan ke
Dinas Kesehatan Provinsi dan Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM). Pelaporan narkotika dan psikotoprika dilakukan tiap bulan
paling lambat tanggal 10 bulan selanjutnya. Pelaporan yang dilakukan
dengan mengisi nama obat; pengeluaran; pemasukan dan pengeluarannya
kemudian disimpan dan dikirim ke email dan tembusan ke BPOM. Cetak
hasil pelaporan kemudian ditanda tangani oleh APA kemudian
diarsipkan.
C. Kegiatan Pelayanan Farmasi Klinik
Kegiatan pelayanan farmasi klinik yang dilakukan saat Praktek Kerja
secara daring sesuai Permenkes 73 tahun 2016 Pengkajian dan Pelayanan
resep, Dispensing, Pelayanan Informasi Obat (PIO), Konseling, Pelayanan
Kefarmasin di Rumah (Home Pharmacy Care), Pemantauan Terapi Obat
(PTO) dan Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
1. Pengkajian Resep
Kegiatan Pengkajian resep merupakan kegiatan dalam pelayanan
kefarmasian dilakukan beberapa pengkajian seperti pengkajian
administrasi, farmaseutik, dan klinis. Pada pengkajian administrasi hal
yang diperiksa yaitu kelengkapan nama dokter, SIP, paraf, stempel dokter,
nama pasien, alamat pasein, berat badan pasien dan umur pasien. Sebelum
dilakukan pengkajian, terlebih dahulu kita harus bisa membaca resep tulis
tangan dokter, seperti berikut :
No Foto Resep Baca Resep

R/ Bisoprolol 5 mg 30 tablet
Tandai 1 kali sehari 1 tablet pada pagi hari
atau tiap 24 jam
R/Valsartan 160 mg 30 tablet
Tandai 1 kali sehari 1 tablet pada malam hari

1. atau tiap 24 jam


R/Metformin 500 mg
Tandai 3 kali sehari 1 tablet atau tiap 8 jam
R/Simvastatin 20 mg 30 tablet
Tandai 1 kali sehari 1 tablet tiap sebelum
tidur malam atau tiap 24 jam
R/ Paracetamol 300 mg
CTM 3 mg
Metilprednisolone 4 mg ½ tablet
Vit. C ½ tablet
Vit. B Complex ½ tablet

2. Campur dan buatlah serbuk bagi sesuai dosis


sebanyak 10 bungkus
Tandai 3 kali sehari 1 bungkus atau tiap 8 jam
R/ Cefadroxil Syrup 1 botol
Tandai 2 kali sehari 1 sendok teh atau tiap 12
jam

Tabel 6. Pembacaan Resep


Apabila tidak lengkap maka obat tidak dilayani. Untuk resep yang
lainnya (secara umum) apabila resep tidak lengkap maka
ketidaklengkapannya ditanyakan ke pasien seperti alamat dan nomor
handpone pasien sedangkan untuk Untuk resep dengan obat-obat narkotika
dan psikotoprika harus dilengkapi dengan paraf dari dokter. Kemudian
pengkajian farmaseutik meliputi nama obat, bentuk sediaan, kekuatan
sediaan, jumlah obat, rute pemberian, stabilitas obat, ketersediaan, dan
cara penggunaan. Sedangkan untuk pengkajian klinis meliputi, tepat
indikasi, tepat dosis, tepat frekuensi, tepat waktu penggunaan obat, tidak
ada duplikasi obat/polifamasi, alergi dan efek samping, tidak ada
kontraindikasi, dan juga tidak ada interaksi.
Resep 1 : Resep racikan (serbuk)

Gambar 7. Resep racikan


a. Kajian administratif

Tabel 7. Kajian Administratif resep racikan serbuk

Persyaratan Tidak
No. Ada Keterangan
Administratif Ada
1. Nama Pasien  - M. A
2. Jenis Kelamin -  -
3. Usia/tanggal lahir  - 3 tahun
4. Berat badan -  -
6. Nama Dokter  - Dr.N
7. Paraf Dokter -  -
8. Tanggal Resep - 10 Maret 20xx
Alamat
9. - -
Praktek
b. Kajian farmaseutik
Tabel 8. Kajian Farmasetik resep racikan(pio.binfar.depkes.go.id)
Persyaratan Tidak
No. Sesuai Keterangan
Farmasetik Sesuai
a. Paracetamol
b. GG
1. Nama Obat -
c. Clorpheniramin Maleat
d. Dexamethasone
Bentuk
2. - Tablet
sediaan
a. 150 mg
Kekuatan b. -
3. -
sediaan c. -
d. -
4. Jumlah obat - 10 bungkus
Rute
5. - Pemakaian oral
pemberian
Obat disimpan ditempat yang
Stabilitas
6. - kering dan sejuk, dan terhindar
obat
dari cahaya matahari
7. Ketersediaan - Obat ada
Diminum 3 kali sehari 1
Cara
8. - bungkus tiap 8 jam sesudah
penggunaan
makan
c. Kajian Klinis
Tabel 9. Kajian Klinis resep racikan
No Persyaratan Tidak
Sesuai Keterangan
. Klinis Sesuai
1. - a. Paracetamol :
analgesic/antipiretik
b. GG : ekspektoran
Tepat indikasi
c. CTM : antihistamin
d. Deksametasone :
kortikosteroid
2. a. Paracetamol : untuk anak
hingga 1-5 tahun: 120-250 mg
b. GG : untuk anak 2-5 tahun
Tepat dosis 50-100 mg
- c. CTM : 2-5 tahun 1 mg
d. Deksametasone : 0,5-10
mg/hari
3. a. Paracetamol : untuk anak
hingga 10 tahun: 125-250 mg
tiap 4-6 jam.
- b. GG : untuk anak 2-5 tahun
Tepat
setiap 4 jam seklai sesuai
frekuensi
kebutuhan
c. CTM : 2-5 tahun 1 mg tiap
4-6 jam
d. Deksametasone :
4. Tepat waktu - Sesudah makan selama 3 hari
penggunaan
obat dan lama
penggunaan
obat
5. Tidak ada
duplikasi - -
penggunaan
obat /
polifarmasi
6. Alergi dan - -
efek samping
7. Tidak - -
kontraindikasi
8. Tidak - -

interaksi
Adapun untuk perhitungan racikan, yaitu :

1. Paracetamol 500 mg x 10 = 3 tablet

2. GG = 1/3 tablet

3. CTM = 1/3 tablet

4. Deksamethasone = ¼ tablet

Kesimpulan :
a. Kajian administrasi
Berdasarkan kajian administrasi yang dilakukan, resep tersebut
telah memenuhi beberapa persyaratan akan tetapi jenis kelamin
pasien tidak dicantumkan. Selain itu tidak terdapat SIP dokter,
alamat, dan paraf dokter solusi yang dapat dilakukan yaitu
menghubungi dokter.
b. Kajian farmasetik
Berdasarkan kajian farmaseutik yang dilakukan bahwa semua
persyaratan telah terpenuhi dan sudah sesuai.
c. Kajian klinis
Berdasarkan kajian klinis yang dilakukan sudah sesuai
Resep 2 : Resep obat psikotropika

Gambar 8. Resep Psikotropika

a. Kajian Administrasi
Tabel 10. Kajian administratif resep psikotropika

Persyaratan Tidak
No. Ada Keterangan
Administratif Ada
1. Nama Pasien  - A.F
2. Jenis Kelamin -  -
3. Usia/tanggal lahir  - 53 Tahun
4. Berat badan -  -
6. Nama Dokter  - Tidak jelas
7. Paraf Dokter  Ada
8. Tanggal Resep - 30 Januari 2020

9. Alamat Praktek - Rumah Sakit X


b. Kajian Farmaseutik
Tabel 11. Kajian farmaseutik resep psikotropika
Persyaratan Tidak
No. Sesuai Keterangan
Farmasetik Sesuai
a. Fluoxetin
1. Nama Obat -
b. Alprazolam
2. Bentuk sediaan - Tablet
a. Fluoxetin: 10 mg
3. Kekuatan sediaan -
b. Alpraolam: 0,25 mg
a. Fluoxetin: 1 tablet
4. Jumlah obat -
b. Alpraolam : 1 tablet
5. Rute pemberian - Pemakaian oral
Simpan dalam suhu
kamar 15-30°C,
6. Stabilitas obat -
hindari cahaya
langsung
7. Ketersediaan - Obat ada
2 kali sehari 1 kapsul
8. Cara penggunaan -

c. Kajian Klinis
Tabel 12. Kajian klinis resep psikotropika
Tidak
No. Persyaratan Klinis Sesuai Keterangan
Sesuai
1. Tepat indikasi - -
2. - a. Fluoxetin 20 mg
Tepat dosis b. Alprazolam 0,5 mg
(pio.binfar.depkes.go.id)
3. - a. Fluoxetin 20 mg 1 kali
sehari
Tepat frekuensi b. Alprazolam 0,5 mg 3
kali sehari
(pio.binfar.depkes.go.id)
4. Tepat waktu - Dua kali sehari sesudah
penggunaan obat makan
5. Tidak ada duplikasi - -
penggunaan obat /
polifarmasi
6. Alergi dan efek - -
samping
7. Tidak kontraindikasi - -
8. Tidak interaksi  - -
Kesimpulan :

a. Kajian administrasi
Berdasarkan kajian administrasi yang dilakukan, resep tersebut
telah memenuhi beberapa persyaratan akan tetapi jenis kelamin dan
berat badan pasien tidak dicantumkan, solusi yang dilakukan yaitu
untuk jenis kelamin dapat mengkonfirmasi langsung kepada pasien
atau keluarga pasien sedangkan untuk berat badan pasien dapat
dilakukan penimbangan berat badan di apotek. Kelengkapan data
dokter juga kurang jelas sehingga perlu diperjelas karena merupakan
resep yang mengandung psikotropik.
b. Kajian farmaseutik
Berdasarkan kajian farmaseutik yang dilakukan sudah sesuai.
c. Kajian klinis
Berdasarkan kajian klinis yang dilakukan sudah sesuai.
Resep 3 : Resep obat narkotika

Gambar 9. Resep narkotika


a. Kajian Administrasi
Tabel 13. Kajian administratif resep narkotika
Persyaratan Tidak
No. Ada Keterangan
Administratif Ada
1. Nama Pasien  - I
2. Jenis Kelamin -  -
3. Usia/tanggal lahir  - 32 thn
4. Berat badan -  -
6. Nama Dokter  - dr.R
7. Paraf Dokter  - Ada
8. Tanggal Resep - 13 Februaru 2020
9. Alamat Praktek - Rs. X
b. Kajian Farmaseutik
Tabel 14. Kajian Farmaseutik Resep Narkotika
Persyaratan Tidak
No. Sesuai Keterangan
Farmasetik Sesuai
1. Nama Obat - Codein
2. Bentuk sediaan - Tablet
3. Kekuatan sediaan - 10 mg
4. Jumlah obat - 10 tablet
5. Rute pemberian - Pemakaian oral
Disimpan antara 15 ° C
6. Stabilitas obat -
- 30 ° C
7. Ketersediaan - Obat ada
3 x 1 tablet tiap 8 jam
8. Cara penggunaan -
perhari.
c. Kajian Klinis
Tabel 15. Kajian Klinis resep narkotika

Tidak
No. Persyaratan Klinis Sesuai Keterangan
Sesuai
1. Tepat indikasi - -
2. - Tablet 10 mg, 15 mg
Tepat dosis dan 20 mg
(pio.binfar.depkes.go.id)
3. - Dosis antitusif : 10 – 20
mg tiap 4- 6 jam
Tepat frekuensi
maksimal 120 mg/hari.
(pio.binfar.depkes.go.id)
4. Tepat waktu - Sesudah makan
penggunaan obat
5. Tidak ada duplikasi - -
penggunaan obat /
polifarmasi
6. Alergi dan efek -
samping
7. Tidak kontraindikasi - -
8. Tidak interaksi  - -

Kesimpulan :
a. Kajian administrasi
Berdasarkan telaah administrasi yang dilakukan, resep tersebut
telah memenuhi beberapa persyaratan namun berat badan dan dan
jenis kelamin tidak dicantumkan, adapun solusi yang dapat diberikan
yaitu mengkonfirmasi lansgung kepada pasien atau keluarga pasien
dan karena resep tersebut adalah resep narkotika kelengkapan terkait
tanda tangan dokter dan alamat lengkap pasien telah dicantumkan.
b. Kajian farmasetik
Berdasarkan telaah farmaseutik yang dilakukan bahwa semua
persyaratan telah terpenuhi dan sudah sesuai.
c. Kajian klinis
Berdasarkan telaah klinis yang dilakukan, persyaratan terkait
klinis tersebut sudah memenuhi dan tidak ada masalah terkait
obatnya.
Resep 4 : Resep penggunaan khusus

Gambar 10. Resep Penggunaan Khusus


a. kajian administrasi
Tabel 16. Kajian Administrasi resep penggunaan khusus
Persyaratan Tidak
No. Ada Keterangan
Administratif Ada
1. Nama Pasien  - A
2. Jenis Kelamin -  Laki –laki
3. Usia/tanggal lahir  - 52 Tahun
4. Berat badan -  -
Pasien baru atau
5. - - -
lama
6. Nama Dokter  - dr.BA
7. Paraf Dokter -  -
8. Tanggal Resep - Tidak lengkap
9. Alamat Praktek - Jl. Tamangapa Raya
b. Kajian Farmaseutik
Tabel 17. Kajian Farmaseutik resep penggunaan khusus
Persyaratan Tidak
No. Sesuai Keterangan
Farmasetik Sesuai
a. Lantus
1. Nama Obat -
b. Novorapid
2. Bentuk sediaan - Pen
3. Kekuatan sediaan - 100 unit
4. Jumlah obat - 1
5. Rute pemberian - Secara subkutan
Simpan di kulkas pada suhu
6. Stabilitas obat -
2-8 derajat celcius
7. Ketersediaan - Ada
a. diinjeksikan secara
subkutan (bisa di lengan
atas, paha dan perut) 1 kali
sehari pada malam hari
sebanyak 16 unit. Pada
malam hari
8. Cara penggunaan -
b. diinjeksikan secara
subkutan (di lengan atas,
paha atau perut) 3 kali sehari
sebelum makan sebanyak 16
unit.
c. kajian Klinis
Tabel 18. Kajian Klinis resep penggunaan khusus
Persyaratan Tidak
No. Sesuai Keterangan
Klinis Sesuai
1. Tepat indikasi - Sebagai antidiabetes tipe 1
2. Tepat dosis - Sesuai
3. - a. Lantus 24 jam
Tepat
b. Novorapid tiap 8 jam atau
frekuensi
sebelum makan
4. a. Lantus malam sebelum
Lama dan cara
- tidur
pemberian
b. Novorapid sebelum
obat
makan
5. Tidak ada - Tidak ada
duplikasi duplikasi/polifarmasi
penggunaan
obat /
polifarmasi
6. Alergi dan - Tidak terjadi alergi dan efek
efek samping samping
7. Tidak - Tidak ada kontraindikasi
kontraindikasi
8. - Tidak terjadi interaksi
Tidak interaksi 
(drugs.com)

Kesimpulan :
a. Kajian administrasi
Berdasarkan telaah administrasi yang dilakukan, resep tersebut
tidak dicantumkan berat badan tetapi hal ini dapat langsung
ditanyakan kepada pasien dan untuk berat badan dapat dilakukan
penimbangan di apotek jika diperlukan hal ini brtujuan untuk
mencegah medication error.
b. Kajian farmasetik
Berdasarkan telaah farmaseutik yang dilakukan bahwa semua
persyaratan telah sesuai
c. Kajian klinis
Berdasarkan kajian klinis yang dilakukan bahwa semua
persyaratan telah sesuai, karena didalam resep tersebut tidak terjadi
interaksi antar obat, selain itu perlunya pemberian informasi
mengenai pola makan dan perlunya dilakukan pengontrolan kadar
gula darah dan tekanan darah pasien.
2. Dispensing
Kegiatan dispensing merupakan kegiatan penyiapan obat
berdasarkan permintaan pasien tanpa resep dan juga penyiapan obat sesuai
permintaan resep kemudian obat-obat tersebut dicek stoknya dan dihitung
harga obat. Setelah itu, harga obat diberitahukan ke pasien dan jika
disetujui dengan harga tersebut barulah dilakukan dispensing. Setelah hal
tersebut disetujui dilakukan penyiapan obat sesuai dengan permintaan
resep dengan menghitung kebutuhan jumlah obat dan mengambilnya pada
tempat penyimpanan. Kemudian obat diracik, diberikan etiket (etiket putih
untuk obat dalam atau oral dan etiket biru untuk obat luar dan suntik),
selanjutnya obat dimasukkan ke dalam sak plastik obat. Setiap obat
dimasukkan ke dalam sak plastik yang berbeda untuk menghindari
kesalahan penggunaan. Obat yang sebelumnya diserahkan kepada pasien
harus dilakukan penyesuaian kembali antara penulisan etiket, obat dan
resep oleh apoteker atau asisten apoteker. Setelah itu, pastikan bahwa yang
menerima obat adalah pasien atau keluarga pasien. Penyerahan obat
kemudian dilakukan disertai dengan pemberian informasi obat.
3. Swamedikasi
Swamedikasi adalah kegiatan mengobati keluhan atau penyakit
dengan obat-obat yang dapat dibeli di Apotek tanpa menggunakan resep
dokter. Kegiatan swamedikasi dapat dilakukan untuk Obat Bebas, Obat
Bebas Terbatas, Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) dan produk Herbal.
Dalam berswamedikasi tetap harus mengikuti prinsip penggunaan obat
secara umum, yaitu penggunaan yang aman dan rasional. Berikut
merupakan video simulasi swamedikasi pada penderita flu :
https://drive.google.com/file/d/19NwIKv3oef8m4slLl7UAwyLY
S_zw7YiB/view?usp=sharing
Pada video di atas, telah dilakukan pelayanan obat tanpa resep
dengan pemberian informasi pada keluarga pasien yang mengalami flu.
Pasien merupakan anak usia 5 tahun, dan mengalami flu disertai batuk.
Apoteker kemudian memberikan obat Pimtrakol Syrup, karena pasien
belum bisa mengonsumsi tablet. Apoteker memberikan informasi terkait
obat seperti nama obat, kandungan di dalamnya, indikasi, aturan pakai,
serta efek samping.
4. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan Informasi Obat yang dilakukan adalah pemberian
informasi obat ke pasien dengan informasi yang berupa nama dan indikasi
obat, bentuk sediaan, aturan pakai, cara dan lama penggunaan obat, efek
samping yang mungkin terjadi, interaksi obat, hal-hal yang harus dihindari
dan lain-lainnya. Kegiatan pelayanan informasi obat yang dilakukan sudah
sesuai dengan Permenkes No. 73 Tahun 2016.
5. Konseling
Kegiatan Konseling merupakan suatu proses interaksi antara
Apoteker dengan pasien atau keluarga pasien untuk meningkatkan
pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi
perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah
yang dihadapi pasien terkait dengan pengobatannya.
Kriteria pasien yang dapat diberikan konseling yaitu pasien dengan
kondisi khusus (pediatric, geriatric, gangguan fungsi hati atau ginjal, ibu
hamil dan menyusui), pasien dengan terapi jangka panjang atau dengan
penyakit kronis, pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus,
pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit, pasien
dengan polifarmasi, serta pasien dengan tingkat kepatuhan yang rendah.
Dalam melakukan konseling diperlukan beberapa persyaratan diantaranya
ruang konseling dimana dengan ruangan tersebut diharapkan bahwa
privasi tentang penyakit pasien dapat terjaga.
https://drive.google.com/file/d/1I1oBTaynFT8r2UK6oPctpAQhx7J2
_5bA/view?usp=sharing
Kegiatan konseling yang dapat dilakukan yaitu konseling kepada
pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus, yaitu obat tetes
telinga, tetes mata, dan ovula. Pada video di atas, terdapat dua pasien.
Pasien pertama adalah pasien yang menggunakan obat tetes mata, dan
pasien kedua adalah pasien yang menggunakan obat ovula dan tetes
telinga. Apoteker menanyakan tentang riwayat alergi pasien. Pada pasien
kedua yang menggunakna ovula, Apoteker menanyakan apakah pasien
tersebut dalam keadaan hamil atau tidak. Hal ini bertujuan untuk
menghindari kesalahan dalam pengobatan karena ovula tersebut yang akan
digunakan berbahaya bagi pasien yang hamil khususnya pada trimester
pertama karna dapat membahayakan janin hingga menyebabkan
keguguran. Apoteker juga menanyakan kepada kedua pasien tersebut
untuk dapat diberikan konseling terlebih dahulu. Setelah mendapat
persetujuan dari pasien, kemudian apoteker baru memberikan konseling
terkait cara penggunaan obat-obat tersebut.
Cara penggunaan obat tetes mata sebagai berikut pertama-tama cuci
tangan menggunakan sabun dan air mengalir. Periksa botol tetes, pastikan
ujung penetes tidak rusak atau retak. Ambil posisi yang nyaman, dapat
berbaring atau mendongak. Jari telunjuk menarik kelopak mata bagian
bawah sehhingga terbentuk kantung. Satu tangan memegang botol penetes
mendekat ke arah kantung mata, kemudian teteskan obat sesuai dosis.
Setelah itu, tutup mata kurang lebih selama 1-2 menit. Bersihkan sisa-sisa
cairan yang ada pada sekitar wajah dengan menggunakan tissue. Tutup
kembali botol tetes mata, dan cuci tangan.
Cara penggunaan obat tetes telinga sebagia berikut, cuci tangan
terlebih dahulu menggunakan sabun dan air. Periksa botol tetes, pastikan
ujung penetesnya tidak rusak ataupun retak. Kocok terlebih dahulu
obatnya. Miringkan kepala sesuaikan dengan telingan mana yang akan
ditetesi obat. Dekatkan ujung penetes ke telinga tanpa menyentuh ujung
penetesnya. Tarik telinga kea rah atas dan belakang. Teteskan cairan obat
sesuai dosis. Kepala tetap dimiringkan selama 1-2 menit agar cairan obat
dapat masuk sempurna ke dalam telinga. Setelah itu, tutup kembali botol
tetes, dan cuci tangan.
Cara penggunaan ovula sebagai berikut cuci tangan terlebih dahulu
menggunakan sabun dan air. Apabila ovula melembek atau melunak,
masukkan ke dalam air dingin selama 30 menit. Setelah itu, bungkusannya
dibuka. Apabila menggunakan aplikator, pasang ovula ke dalam lubang
aplikator. Pasien dapat duduk dengan satu tangan menopang badan, dan
satu tangan memegang aplikator yang sudah dipasang ovula. Kaki dibuka
agar memudahkan masuknya aplikator ke dalam miss V. Masukkan
aplikator ke dalam miss V, setelah itu tekan tombol yang ada pada
aplikator untuk melepaskan ovula. Apabila tidak menggunakan aplikator,
pasien dapat menggunakan jari untuk memasukkan ovula dengan bagian
runcing. Masukkan hingga sedalam jari telunjuk. Setelah itu, rapatkan kaki
beberapa detik. Kemudian, pasien duduk selama 5 menit agar ovula tidak
keluar. Bersihkan aplikator dan cuci tangan hingga bersih.
6. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Pelayanan kefarmasian di rumah merupakan pelayanan kepada
pasien yang dilakukan di rumah khususunya kepada kelompok pasien
lanjut usia, pasien yang menggunakan obat dalam jangka waktu lama, atau
untuk pasien yang memeiliki penyakit-penyakit kronis seperti Diabetes,
Hipertensi, dan TB. Pelayanan kefarmasian di rumah diharapkan dapat
memberikan pemahaman tentang pengobatan dan memastikan bahwa
pasien dapat menggunakan obatnya dengan benar. Berikut merupakan link
video simulasi home pharmacy care :
https://drive.google.com/file/d/1oRK5ShiEAH5CswJbdxJPUVm1he
EB9PX2/view?usp=sharing
Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah berdasarkan video di atas
dilakukan pada hari Kamis tanggal 13 Agustus 2020. Kami mengunjungi
rumah pasien atas nama Ny. N yang berusia 58 tahun. Pasien sebelumnya
pernah menebus obat dan konseling di Apotek ARA FARMA. Apoteker
meminta persetujuan pasien untuk dilakukan Home Pharmacy Care karena
pasien merupakan penderita Diabetes yang menggunakan cukup banyak
obat. Obat-obat yang digunakan pasien yaitu Clopidogrel 70 mg (1x1),
Miniaspi 80 mg (1x1), Candesartan 16 mg (1x1), Simvastatin 10 mg (1x1),
Diaversa 2 mg (1x1), Nitrokaf Retard (1x1), dan Glucodex (2x1).
Pada saat kunjungan, Apoteker menanyakan keadaan pasien, dan
kepatuhan pasien dalam minum obat. Anak pasien tersebut mengakui
bahwa pasien tidak mengkonsumsi obat secara rutin karena sering lupa
dan pasien tidak mengetahui pentingnya pengobatan yang diterimanya,
selain itu pasien tersebut juga mengeluh karna tidak suka dengan aturan-
aturan makan yang dianjurkan dokter, serta pasien juga tidak melakukan
aktivitas fisik. Kemudian apoteker menyarankan untuk menggunakan
alarm pada hp dan menyarankan anak pasien tersebut untuk selalu
mengingatkan pasien agar rajin minum obat. Apoteker juga memberi
informasi terkait bahayanya apabila pasien tidak patuh minu obat.
Apoteker memberi informasi terkait makanan-makanan yang sebaiknya
dihindari, serta pentingnya aktivitas fisik ringan minimal jalan-jalan tiap
pagi di depan rumah. Hal tersebut juga bertujuan sebagai terapi untuk
melancarkan peredaran darah pasien.
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Kegiatan monitoring efek samping obat dilakukan pada tanggal 14
Agustus 2020. Pasien bernama Tn. Dahlan usia 55 tahun. Pasien memiliki
nilai lab sebagai berikut :
Data Lab Nilai
Tekanan Darah 110/70 mmHg
Gula Darah Puasa 149 mg/dl
Gula Darah 2 Jam 248 mg/dl
Kolesterol Total 290 mg/dl
LDL 194 mg/dl
HDL 48 mg/dl
Tabel 19. Data MESO
Diketahui bahwa pasien menerima obat Simvastatin 20 mg 1 kali
sehari 1 tablet, Glimepiride 2 mg 1 kali sehari 1 tablet, dan Metformin 500
mg 2 kali sehari 1 tablet. Setelah mendapat obat tersebut, pasien
mengeluhkan lemas dan susah BAB. Diketahui pasien mengalami hal
tersebuk dikarenakan efek samping dari Simvastatin yang dapat
menyebabkan Konstipasi atau susah BAB.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik setelah melakukan Praktek Kerja Profesi
Apoteker yang dilakukan secara daring ini adalah sebagai berikut:
1. Dalam pembuatan studi kelayakan apotek dengan memperhatikan
beberapa aspek seperti aspek lokasi, pemasaran, manajerial dan lainnya.
Dilakukan juga analisis keuangan dengan menggunakan beberapa analisis
yaitu Break Event Point, Pay Back Period, Return of Investment untuk
mengetahui suatu usaha layak atau tidak layak dilakukan.
2. Setiap karyawan memiliki beban kerja yang sama, tugas pokok dan fungsi
untuk Apoteker Pengelola Apotek, Apoteker Pendamping dan Tenaga
Teknis Kefarmasian.
3. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Bahan Medis Habis Pakai
yang telah dilakukan diantaranya adalah perencanaan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pengendalian, pemusnahan, pencatatan dan
pelaporan.
4. Pelayanan klinik yang dilakukan adalah swamedikasi, pengkajian resep,
dispensing, pelayanan informasi obat, konseling, monitoring efek samping
obat, pemantauan terapi obat, dan home pharmacy care.
5. Semua kegiatan dilakukan secara daring karena kondisi yang tidak
memungkinkan untuk melakukan praktek kerja secara langsung sehingga
ada beberapa keterbatasan yang menjadi kekurangan dalam pelaksanaan
praktek kerja ini.
B. Saran
Saran saya setelah melewati Praktek Kerja Perapotekan secara Daring
selama ini yaitu ebaiknya system untuk pengumpulan tugas-tugas selama
praktek kerja lebih diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. (1998). Manajemen Farmasi. Gadjah Mada University Press :


Yogyakarta.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. (2008). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek (SK Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004).
Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan. (2006) Standar
Pelayanan Kefarmaasian di Apotek. Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
Ikatan Apoteker Indonesia, 2009, Kode Etik Apoteker Indonesia dan
Implementasi Jabatan Kode Etik
Kementerian Kesehatan RI. (1987). Peraturan Menteri Kesehatan
No.28/Menkes/PER/1978 tentang Penyimpanan Narkotika. Kementerian
Kesehatan RI : Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
347/Menkes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek. Kementerian
Kesehatan RI : Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
918/Menkes/Per/X/1993 Tentang Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Kementerian Kesehatan RI : Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan No.
924/Menkes/Per/X/1993 Tentang Daftar Obat Wajib Apotik No.2.
Kementerian Kesehatan RI : Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
922/Menkes/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin
Apotek. Kementerian Kesehatan RI : Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan No.
1176/Menkes/SK/X/1993 Tentang Daftar Obat Wajib Apotik No.3.
Kementerian Kesehatan RI : Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 992/Menkes/PER/X/1993 Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek. Kementerian Kesehatan RI : Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1027
Tahun 2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Kementerian Kesehatan RI : Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2009). Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009
Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Kementerian Kesehatan RI : Jakarta.
Mashuda, A. (2011). Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB).
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Pengurus Pusat
Ikatan Apoteker Indonesia.
Permenkes Nomor 3. (2015). Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan
Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi, Departemen
Kesehatan RI : Jakarta.
Permenkes Nomor 9. (2017). Apotek, Departemen Kesehatan RI : Jakarta.

Permenkes Nomor 73. (2016). Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,


Departemen Kesehatan RI : Jakarta.

Permenkes Nomor 919. (1993). Kriteria Obat yang Dapat Diberikan Tanpa
Resep. Departemen Kesehatan RI : Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 51. (2009). Pekerjaan Kefarmasian. Departemen


Kesehatan RI : Jakarta.

Umar, Muhammad. (2011). Manajemen Apotek Praktis cetakan keempat. Wira


Putra Kencana : Jakarta.
Undang-Undang RI Nomor 13. (2003). Ketenagakerjaan. Departemen Kesehatan
RI : Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psokotropika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

www.pio.binfar.depkes.go.id diakses pada tanggal 14 Agustus 2020


LAMPIRAN

Lampiran 1. Denah Lokasi

Lokasi
Apotek

Lampiran 2. Denah Bangunan


Lampiran 3. Contoh STRA

Lampiran 4. Contoh NPWP


Lampiran 5. Contoh BAP Narkotika
Lampiran 6. Contoh BAP Resep

Anda mungkin juga menyukai