Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Trauma kepala
paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologis yang serius diantara penyakit
neurlogis lainnya serta mempunyai proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan
raya.
Lebih dari setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai
signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada
pasien trauma kepala biasanya karena adanya cedera bagian tubuh lainnya.
Resiko utama pasien yang mengalami trauma kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan
menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial (PTIK).
Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit
gawat darurat suatu rumah sakit “no head injury is so serious that is should be
despaired of nor so trivial as to be lightly ignore” menurut hipocrates bahwa tidak
ada cedera kepala yang perlu di kawatirkan serius yang bias membuat kita putus
harapan dan tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika
Serikat mencatat ada 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan
selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga
dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Menurut
penelitian yang dilakukan oleh national trauma project di Islamic republic of iran
bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7%
trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala
(karbakhsh Zandi, roukzroukh, zarei 2009)
Rata rata rawat inap pada laki-laki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnose
trauma kepala sebanyak 146,3 per 100.000 dan 158,3 per 100.000 (Thomas, 2006).
Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki disbanding
perempuan yaitu sebanyak 26,9 per 100.000 dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada
usia 65 tahun keatas kematian akibat trauma kepala tercatat 16.000 kematian dari 1,8

1
juta lansia di Amerika yang mengalami trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005).
Menurut Kraus (1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga
dewasa muda mengalami cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dan akibat
kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala
disebabkan oleh terjatuh.
Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalulintas, kekerasan dan
terjatuh (Langlois – Lutland Brown-Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami
tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien
anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa (Adeolu, Malomo, 2005).
Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan
yang tidak fatal akibat kekerasan (Rosenberg, fenley, 1991).
Menurut akbar (2000) insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998
terdiri dari tiga keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan sebanyak 60,3%
(2463 kasus) trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma kepala
berat sebanyak 12,4% ( 505 kasus). Kematian akibat trauma kepala mencatat
sebanyak 11% berjumlah 448 kasus. Angka kejadian trauma kepala pada tahun 2004
dan 2005 dirumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI mencatat sebanyak
1426 kasus (Akbar, 2000).
Dari ulasan diatas kelompok kami tertarik untuk membahas asuhan keperawatan
dengan trauma kepala, baik itu konsep teori, serta penanganan melalui pemberian
tindakan asuhan keperawatan.

1.2 Tujuan
1. Umum Mengetahui konsep teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan
pasien dengan trauma kepala.
2. Khusus
a. Mengetahui pengertian trauma kepala.
b. Mengetahui etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang dan penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala
c. Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan
trauma kepala

2
1.3 Ruang Lingkup
Makalah ini akan membahas konsep teori tentang trauma kepala serta masalah
keperawatan pasien dengan trauma kepala dan asuhan keperawatan pasien dengan
trauma kepala.

3
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA

2.1 KONSEP TEORI


1. Definisi Penyakit
Comutio cerebri (Trauma Kepala) adalah luka yang terjadi pada kulit kepala, tulang kepala
atau otak (Billing dan Stokes, 1982). Trauma kepala dapat mempengaruhi perubahan fisik
maupun psikologis bagi klien dan keluarganya (Siahaan, 1994).

2. Etiologi
 Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda dan mobil.
 Kecelakaan pada saat olah raga anak dengan ketergantungan.
 Cedera akibat kekerasan.

3. Klasifikasi
Tingkat keparahan trauma kepala:
 Trauma kepala ringan, nilai Skala Koma Glasgow (GCS) 13-15, dapat terjadi kehilangan
kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit, tidak ada fraktur tengkorak, tidak
ada kontusio serebri maupun hematoma.
 Trauma kepala sedang, nilai Skala Ko9ma Glasgow (GCS) 9-12, kehilangan kesadaran
dan atau amnesia lebihg dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur
tengkorak.
 Trauma kepala berat, nilai Skala Koma Glasgow (GCS) 3-8, kehilangan kesadaran dan
atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, juga meliputi kontusio serebral-laserasi-hematoma
intrakranial.
Tanda dan gejala trauma kepala :
 Pingsan setelah trauma dibawah 10 mnt.
 Nyeri kepala
 Mual muntah
 Amnesia sesaat/sementara (lupa kejadian).

4
4. Manifestasi klinis
 Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih.
 Kebingungan
 Iritabel
 Pucat
 Mual dan muntah
 Pusing kepala
 Terdapat hematoma
 Kecemasan
 Sukar untuk dibangunkan.
 Bila fraktur mungkin karena adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

5. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi.
Otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak
boleh kurang dari 20 mg% karena akan me3niombulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70 % akan terjadi gejala. Gejala permulaan disfungsi serebral, pada saat otak
mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses
metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,
hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan laktat akibat metabolisme anaerob.
Hal ini menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal aliran darah serebral
(CBF) adalah 50 – 60 ml/mnt/100gr jaringan otak yang merupakan 16% daricurah
jantung/kardiak output (CO). Trauma kepala sampai otak tentunya akan menimbulkan
gangguan pada sistem-sistem besar tubuh yang dikendalikan oleh otak, diantaranya sistem
kardiovaskuler, respiratori, metabolisme, gastrointestinal, mobilisasi fisik. Selain itu juga
mempengaruhi faktor psikologis.

5
6. Pemeriksaan penunjang
· Laboratorium darah rutin:
Hb, hematokrit, lekosit, trombosit, elektrolit, ureum, kreatinin, glukosa, golongan darah,
analisa gas darah bila perlu.
· Foto kepala: AP, Lateral, Towne.
· Foto sevical bila ada tanda-tanda frakturt servical.
· CT- Scan
· Arteriografi kalau perlu.
· Burr Holes: dilakukan bila keadaan pasien cepat memburuk disertai dengan penurunan
kesadaran

7. Manajemen terapi
 Obat-obatan: Dexamethason/Kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
 Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
 Pemberian analgetika.
 Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40%
atau gliserol 10%.
 Antibiotika yang mengandung barier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole.
 Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-
apa, hanya cairan infus dektrose 5%, aminofisin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
 Pembedahan.
 Pada trauma berat. Karena hari-hari pertyama didapat penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari [ertama (2-
3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dekstrose 5% 8 jam pertama, Ringe dekstrose 8 jam
kedua dan Dekstrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah,
makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-3000 cc TKTP). Pemberian protein
tergantung nilai urea N.

6
2.2 ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
 Kesadaran GCS
 Fungsi saraf kranial 11. trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial. adakah kelumpuhan, rasa baal,
nyeri,
 Fungsi sensori-motor  gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia,
hiperalgesia, riwayat kejang.

d. Sistem pencernaan
 Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, 
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika
tanyakan pola makan?
 Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
 Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
 Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik gangguan gerak volunter,
ROM, kekuatan otot. disfagiaf.
 Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan atau afasia
akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
 Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.

7
B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi
pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri bhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat
trauma kepala.
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.

C. Intervensi Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan,
dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan:
Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada
sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam
batas normal.
Intervensi:
 Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
 Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada
cedera vertebra.

8
 Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret
segera lakukan pengisapan lendir.
 Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas. Bila tidak ada
fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30
derajat.
 Pemberian oksigen sesuai program.

2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan


peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan:
Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat,
kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tandatanda peningkatan tekanan
intrakranial.
Intervensi:
 Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk
menurunkan tekanan vena jugularis.
Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
 Peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi
kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau
suction, perkusi).
 Tekanan pada vena leher.
 Pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi
pada vena leher).
Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota
badan, fleksi (harus bersamaan).
 Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
 Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan
sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
 Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial
sesuai program.

9
 Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat
meningkatkan edema serebral. Monitor intake dan out put.
 Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
 Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan
pemenuhan nutrisi.
 Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.

3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya


kesadaran.
Tujuan:
Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil
atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh
anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat
dibantu.
Intervensi:
 Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum,
mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan
kebersihan perseorangan.
 Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
 Perawatan kateter bila terpasang.
 Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk
memudahkan BAB.
 Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.

4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.


Tujuan:
Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau dehidrasi yang
ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai
elektrolit dalam batas normal.

10
Intervensi:
 Kaji intake dan out put.
 Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau
mata cekung dan out put urine.
 Berikan cairan intra vena sesuai program.

5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya


tekanan intrakranial.
Tujuan:
Anak terbebas dari injuri.
Intervensi:
 Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap
nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan
kejang.
 Kaji tingkat kesadaran dengan GCS Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam
atau sesuai dengan protokol.
 Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
 Berikan analgetik sesuai program.

6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.


Tujuan:
Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri,
dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi:
 Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri,
lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat
dingin.
 Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
 Kurangi rangsangan
 Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
 Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.

11
 Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.

7. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.


Tujuan:
Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-
tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit
dalam batas normal.
Intervensi:
 Kaji adanya drainage pada area luka.
 Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
 Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
 Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit
kepala, demam, muntah dan kenjang.

8. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma


kepala.
Tujuan:
Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai
dengan tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang
kondisi dan aktif dalam perawatan anak.
Intervensi:
 Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan
tujuannya.
 Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
 Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
 Gunakan komunikasi terapeutik.

12
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan:
Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan
kulit tetap utuh.
Intervensi:
 Lakukan latihan pergerakan (ROM).
 Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
 Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
anak.
 Kaji area kulit: adanya lecet.
 Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet
dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.

13
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Comutio cerebri (Trauma Kepala) adalah luka yang terjadi pada kulit kepala,
tulang kepala atau otak (Billing dan Stokes, 1982). Trauma kepala dapat
mempengaruhi perubahan fisik maupun psikologis bagi klien dan keluarganya
(Siahaan, 1994). Etiologi dari trauma kepala adalah Kecelakaan, jatuh, kecelakaan
kendaraan bermotor atau sepeda dan mobil, kecelakaan pada saat olah raga anak
dengan ketergantungan, cedera akibat kekerasan. Trauma kepala diklasifikasikan
menjadi trauma kepala ringan SKG 13-15,sedang SKG 9-12, berat SKG 3-8.Untuk
manifestasi klinis yang sering ditemukan antara lain Hilangnya kesadaran kurang dari
30 menit atau lebih, kebingungan, iritabel, pucat, mual dan muntah, pusing kepala,
terdapat hematoma, kecemasan, sukar untuk dibangunkan. Untuk pemeriksaan
penunjang yang perlu dilakukan antara lain Laboratorium darah rutin : Hb,
hematokrit, lekosit, trombosit, elektrolit, ureum, kreatinin, glukosa, golongan darah,
analisa gas darah bila perlu, foto kepala: ap, lateral, towne. foto sevical bila ada
tanda-tanda frakturt servical, ct- scan. Dalam proses terapi yang harus dilakukan
antara lain pemberian obat-obatan seperti Dexamethason/Kalmethason sebagai
pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma,
kemudian terapi hiperventilasi, pemberian analgetika, pengobatan anti edema,
pemberian antibiotika, makanan atau cairan dan yang terakhir pembedahan. Untuk
masalah keperawatan yang sering muncul antara lain Diagnosa keperawatan yang
mungkin timbul adalah: resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak
efektifnya pola nafas, perubahan perfusi jaringan serebral, kurangnya perawatan diri,
resiko kurangnya volume cairan, resiko injuri, nyeri, resiko infeksi, kecemasan orang
tua-anak, resiko gangguan integritas kulit.

14
3.2 SARAN
Bagi institusi pendidikan
Kajian toritis atau konsep dasar teoritis dari sistim imun sangat mendukung
dalam pembuatan asuhan keperawatan yang komprehensif, untuk itu diharapkan
institusi dapat melengkapi literatur yang berkaitan dengan sistem imunitas. Penulis
juga mengharapkan dapat diadakan kegiatan seperti seminar, diskusi tentang penyakit
sistim imun diantara mahasiswa dan dosen untuk lebih meningkatkan pengetahuan
mahasiswa sehingga dapat meningkatkan mutu dan kualitas asuhan keperawatan yang
dihasilkan.
Bagi Pembaca
Apa yang ditulis ini kiranya dapat dimanfaatkan sebagai acuan ketika
melakukan asuhan keperawatan. Diharapkan juga lebih meningkatkan pengetahuan
mengenai asuhan keperawatan khususnya asuhan keperawatan yang berkaitan dengan
penyakit sistem imun sehingga dalam penerapan asuhan keperawatan dapat dilakukan
secara maksimal.

15
DAFTAR PUSTAKA

Marilynn E Doenges, dkk., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerbit Buku


Kedokteran, EGC, Jakarta.

Sylvia & Lorraine, 1994, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses Penyakit. Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta.

Brunner & suddarth. Keperawatan Medical Bedah. Penerbit buku Kedokteran Volume
3 ,EGC. Jakarta

2001 Manjoer , Arif M, dkk. Kapita Selekta Kedoteran . penerbit media aeculapius FKUI
Edisi III. Jakarta

2000 Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta:

Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC;
1996.

Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.

Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC;
1999.

16

Anda mungkin juga menyukai