Anda di halaman 1dari 28

Makalah Audiometri dan Spirometri

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penyakit dan Cidera


Akibat Kerja

Disusun oleh: Kelompok 3

1. Brian Habib Maulana N1A118011


2. Puji Lestari N1A118034
3. Yuanita Maulani N1A118035
4. Annisa Aryani N1A118042
5. Tania Paniela Girsang N1A118055
6. Tresya Kurnia Natalia Sihombing N1A118103
7. Santa Neni Meilanti Hasibuan N1A118105
8. Muhammad Iqbal N1A118111
9. Ratna Sari N1A118118
10. Sitram Ayunesti N1A118149

Dosen Pengampu: Bpk. Budi Aswin, S.K.M., M.Kes.

Peminatan: Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang mana telah
memb Kuliah Penyakit dan Cidera Akibat Kerja yang berjudul
“Audiometri dan Spirometri” dapat selesai seperti waktu yang telah
kami rencanakan.

Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari peran serta


berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara materil dan
spiritual, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu
Kami mengucapkan terima kasih kepada  Bapak/Ibu dosen pembimbing
mata kuliah ini.

Tak ada gading yang tak retak, untuk itu Kami pun menyadari
bahwa makalah yang telah Kami susun dan Kami kemas masih memiliki
banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan baik dari segi teknis
maupun non-teknis. Untuk itu kami membuka pintu yang selebar-lebarnya
kepada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan mendatang. Dan
apabila di dalam makalah ini terdapat hal-hal yang dianggap tidak
berkenan di hati mohon dimaafkan.

Jambi, November 2020

Kelompok 3

ii
Daftar Isi

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
Daftar Isi.............................................................................................................. iii
BAB I Pendahuluan............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................2
1.3 Tujuan....................................................................................................2
BAB II Pembahasan............................................................................................4
2.1 Audiometri..............................................................................................4
2.2 Prosedur Pemeriksaan Audiometri.........................................................5
2.3 Teknik Pemeriksaan Audiometri.............................................................6
2.4 Interprestasi Pemeriksaan Audiometri....................................................6
2.5 Studi Kasus Audiometri..........................................................................6
2.6 Spirometri...............................................................................................8
2.7 Prosedur Pemeriksaan Spirometri..........................................................9
2.8 Interpretasi Pemeriksaan Spirometri.....................................................10
2.9 Studi Kasus Spirometri..........................................................................13
BAB III Penutup.................................................................................................14
3.1 Kesimpulan...........................................................................................14
3.2 Saran....................................................................................................14
Daftar Pustaka...................................................................................................15

iii
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Menurut (Dewi & Agustian, 2004) Pendengaran merupakan salah
satu dari panca- indera yang digunakan untuk berkomunikasi dan
berinteraksi, baik antara sesama manusia maupun dengan lingkungan
sekitarnya. Gangguan dengar akan mengurangi kemampuan menerima
informasi dan berkomunikasi melalui suara, sehingga akan menyulitkan
pelaksanaan pekerjaan. Pendengaran dapat berakibat fatal terhadap
pekerja. Gangguan pendengaran pun bisa terjadi karena paparan suara
atau kebisingan yang terlalu lama dengan intensitas kebisingan suara
diatas 85 dB yang ada di tempat kerja dengan tidak menggunakan alat
pelindung telinga seperti (airplug). Ketidaktahuan pekerja terhadap hal
tersebut menjadi salah satu hal yang dapat berdampak pada hasil
produksi dan dapat menyebabkan timbulnya kecelakaan atau penyakit
akibat kerja.
Oleh karena itu, perusahaan diharuskan untuk memberikan arahan
atau pelatihan (training) terhadap pekerjanya guna untuk menambah
pengetahuan pekerja saat melakukan pekerjaannya sehingga risiko yang
mungkin terjadi dapat dikurangi. Pihak perusahaan pun diharapkan dapat
mengevaluasi pekerjanya dengan pemeriksaan tes audiometri yang
bertujuan untuk mengukur ketajaman pendengaran pekerja sehingga
dapat dilokalisasi kerusakan anatimis yang menimbulkan gangguan
pendengaran (Dullah, 2009).
Penyakit akibat kerja yang berupa terganggunya system
pendengaran pada telinga bukanlah menjadi satu-satunya hal yang dapat
terjadi. Paparan debu atau asap yang ada di tempat kerja maupun
dilingkungan kerja juga dapat menjadi salah satu penyebab penyakit paru.

1
Hal tersebut terjadi karena ketidaktaatan pekerja dalam menggunakan alat
perlindungan diri seperti masker.
Menurut World Health Organization (WHO) dalam (Author et al.,
2020) memperkirakan pada tahun 2014, penyakit pernapasan kronis,
salah satunya adalah PPOK, menyumbang 5% dari total kematian akibat
penyakit tidak menular di Indonesia (WHO, 2014). Berdasarkan data yang
diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes-RI) (2013), PPOK memiliki
prevalensi 3,7% (pada kelompok umur ≥30 tahun) per satu juta penduduk
di Indonesia.
Gangguan paru merupakan salah satu penyebab utama morbiditas
dan mortalitas. Infeksi saluran pernapasan lebih sering terjadi
dibandingkan dengan infeksi sistem organ tubuh lain dan berkisar dari flu
biasa dengan gejala serta gangguan yang relatif ringan sampai
pneumonia berat. Gangguan paru diklasifikasikan berdasarkan etiologi,
letak anatomis, sifat kronik penyakit, perubahan struktur serta fungsi dan
sesuai dengan disfungsi ventilasi akan dibagi menjadi Gangguan Paru
Obstruktif dan Gangguan Paru Restrikif (Prof et al., 2020).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan dibahas yakni:
1. Apa yang dimaksud dengan Audiometri?
2. Bagaimana prosedur pemeriksaan Audiometri?
3. Bagaimana teknik pemeriksaan Audiometri?
4. Bagaimana interprestasi pemeriksaan Audiometri?
5. Sebutkan contoh kasus dari Audiometri?
6. Apa yang dimaksud dengan Spirometri?
7. Bagaimana prosedur pemeriksaan Spirometri?
8. Bagaimana interprestasi pemeriksaan Spirometri?
9. Sebutkan contoh kasus dari Spirometri?

2
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang didapatkan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa itu Audiometri
2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pemeriksaan Audiometri
3. Untuk mengetahui teknik pemeriksaan Audiometri
4. Untuk mengetahui interprestasi dari pemeriksaan Audiometri
5. Untuk mengetahui contoh kasus Audiometri
6. Untuk mengetahui apa itu Spirometri
7. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pemeriksaan Spirometri
8. Untuk mengetahui interprestari dari pemeriksaan Spirometri
9. Untuk mengetahui contoh kasus Spirometri

3
BAB II
Pembahasan

2.1 Audiometri

Dilansir dari Halodoc, Pemeriksaan audiometri adalah sebuah


pemeriksaan yang dilakukan untuk memeriksa tingkat fungsi dari
pendengaran seseorang dengan cara mendengar suara, nada, atau
frekuensi tertentu. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah
terjadi gangguan pendengaran setelah operasi dilakukan pada pengidap
tumor di atau sekitar telinga. Tidak hanya itu, pemeriksaan audiometri juga
berguna untuk mengevaluasi apakah seseorang membutuhkan alat bantu
dengar atau tindakan operasi guna meningkatkan kemampuan
pendengaran.

Sherwood (2014) dalam Lukito (2019) menjelaskan bahwa proses


pendengaran dihasilkan dari adanya getaran atmosfer yang ditangkap
telinga, memiliki kecepatan dan volume yang berbeda. Gelombang suara
masuk melalui daun telinga (auris eksterna) yang menyebabkan getaran
pada membran timpani. getaran tersebut diteruskan menuju inkus, stapes
melalui maleus yang berhubungan membran tersebut. Getaran yang
timbul pada setiap tulang, akan menyebabkan terjadinya pembesaran
getaran yang kemudian disalurkan ke venestra vestibuler menuju
perilimfe. Getaran perilimfe dialirkan kembali menuju endolimfe dalam
saluran koklea dan rangsangan menuju organ corti selanjutnya
dihantarkan ke otak.

Menurut Patrick (1990) dalam Tarwaka (2004) Daya dengar


seseorang di dalam menangkap suara dipengaruhi oleh faktor internal
maupun eksternal. Faktor internal meliputi umur, kondisi kesehatan
maupun riwayat penyakit yang pernah diderita. Sedangkan faktor
eksternal dapat meliputi tingkat intensitas suara di sekitarnya, lamanya

4
terpajan dengan kebisingan, karakteristik kebisingan serta frekuensi suara
yang ditimbulkan.

Kategori Hearing Loss Hearing Loss


ASA 1951 (dB) ISO 1964 (dB)
Normal -10 s/d 15 -10 s/d 26
Tuli Ringan 16 s/d 29 27 s/d 40
Tuli Menengah 30 s/d 44 41 s/d 55
Tuli Menengah Berat 45 s/d 55 56 s/d 70
Tuli Berat 56 s/d 79 71 s/d 90
Keterangan: ASA (America Standart Association), ISO
(International Standart Organization) (Tht & Fk, 2009).

2.2 Prosedur Pemeriksaan Audiometri

Cara pemeriksaanan gangguan pendengaran dapat menggunakan


garpu penala yang digetarkan, kemudian dasar penala diletakkan pada
prosesus mastoideus telinga yang akan diperiksa, jika op tidak mendengar
bunyi lagi, penala dipindahkan ke depan liang telinga ± 2,5 cm dari liang
telinga. Pada orang normal, konduksi udara berlangsung lebih lama dari
konduksi tulang. Bila ada gangguan konduktif, konduksi tulang akan
melebihi konduksi udara, ‘begitu konduksi tulang menghilang, pasien tidak
mampu lagi mendengar mekanisme konduksi yang biasa’. Bila ada
gangguan sensori, suara yang dihantarkan melalui udara lebih baik dari
tulang, meskipun keduanya merupakan konduktor yang buruk dan segala
suara diterima seperti sangat jauh dan lemah.Untuk mengetahui aliran
udara melalui tulang, serta membandingkan hantaran tulang telinga kiri
dengan telinga kanan dengan cara meletakkan garpu tala yang sudah
dibunyikan pada bagian tengah dahi pasien. Pemeriksaan dilakukan di
dalam ruangan yang tenang, nyaman, dan tidak bising.

2.3 Teknik Pemeriksaan Audiometri

5
Ada 4 jenis tipe pemeriksaan yang berbeda, pada Audiometri Nada
Murni, Audiometri Tutur, Audiometri Impedansi Dan Auditory Brainstem
Response (ABR) Atau Brainstem Evoked Response Auditoru (BERA).

Audiometri nada murni dilakukan dengan memberikan nada murni


ke telinga melalui earphone dan mengukur intensitas terendah dalam
desibel dimana nada terdengar 50% benar. Audiometri tutur mengukur
kemampuan pasien mendengar dan mengerti kata-kata. Audiometri
impedansi dilakukan dengan memasukkan probe ke dalam kanal telinga
luar untuk menilai fungsi telinga tengah. ABR dilakukan dengan mengukur
waktu transmisi neural suara dengan memasang elektroda pada verteks,
lobus telinga, dan dahi.
2.3.1 Persiapan Pasien
Sebelum pemeriksaan audiometri nada murni, minta pasien
menghindari paparan bising minimal 14 jam untuk menghindari perubahan
ambang pendengaran sementara. Sampaikan untuk tidak menggunakan
benda-benda yang dapat mengganggu pemasangan earphone atau
mempengaruhi hasil audiogram seperti anting, kacamata, topi, rambut
palsu, dan kapas pada liang telinga. Jelaskan persiapan dan prosedur
pemeriksaan audiogram, serta minta informed consent.
Saat pemeriksaan, pemeriksa perlu memberi instruksi dengan jelas,
sehingga pasien mengetahui apa yang harus didengar dan yang
diharapkan sebagai jawabannya. Lubang earphone harus tepat menempel
pada liang telinga. Pada pemeriksaan ABR, terutama pada bayi dan anak-
anak, pastikan tidak ada kontraindikasi sedasi.
2.3.2 Peralatan
Peralatan yang diperlukan berbeda pada pemeriksaan audiogram nada
murni, audiometri impedansi, Auditory Brainstem Response (ABR) dan
audiometri tutur.
Audiometri Nada Murni dan Audiometri Tutur

Pada pemeriksaan audiometri nada murni, dibutuhkan:

6
 Audiometer

 Transducers meliputi circumaural headphones yang memiliki


bantalan menutupi seluruh telinga eksternal sehingga dapat mengurangi
kebisingan pada tempat pemeriksaan yang tidak ideal, insert
earphones yang dimasukkan pada saluran telinga, pengeras suara,
serta bone-conduction oscillator

 Ruang pemeriksaan yang ideal menggunakan bahan-bahan yang


menyerap suara seperti karpet, acoustic foam, atau ubin
Tambahan peralatan untuk audiometri tutur adalah materi uji, speech
audiometer yang meliputi mikrofon, tape recorder, cakram padat (CD)
untuk merekam pemeriksaan, serta perangkat output
seperti earphones, ear inserts, bone-conduction vibrators, dan pengeras
suara.
Selain itu, penting dilakukan pengendalian infeksi. Direkomendasikan
penggunaan penutup earphone dan insert earphone tips sekali pakai.
Pemeriksa harus cuci tangan sebelum dan setelah melakukan
pemeriksaan.
Audiometri Impedansi

Pada pemeriksaan audiometri impedansi, diperlukan:

 Timpanometri

 Acoustic reflex testing


 Immittance audiometer yang meliputi probe tone oscillator,
pengeras suara, mikrofon, pressure pump, dan ear probe yang
dimasukkan pada saluran telinga
Audiometry Brainstem Response

Pada pemeriksaan Auditory Brainstem Response (ABR) atau Brainstem


Evoked Response Audiometry (BERA), diperlukan:

7
 Elektroda

 Earphone

 Komputer

2.3.3 Posisi Pasien


Pada pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur, dan
audiometri impedansi, pasien dalam posisi duduk selama pemeriksaan.
Namun, pada audiometri tutur, pemeriksa dan pasien ditempatkan pada 2
ruangan berbeda, yakni audiologis di ruang audiometri dan pasien di
ruang evaluasi.

Pasien harus duduk dengan tenang, tidak berbicara, tidak minum, tidak
makan, tidak merokok, tidak mengunyah, atau perilaku tambahan apa pun
yang dapat mengganggu pemeriksaan.

Pada pemeriksaan Auditory Brainstem Response (ABR)


atau Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA), posisi pasien
berbaring supinasi. Pada bayi dan anak, diharapkan pasien tidur,
sehingga dapat diberikan sedasi jika perlu.

2.3.4 Prosedural
Sebelum dilakukan audiometri, diperlukan anamnesis secara
lengkap untuk mengetahui riwayat penyakit pasien untuk menentukan
teknik mana yang terbaik dan tujuan utama dari pemeriksaan.

Pemeriksaan Audiometri Nada Murni

Prosedur pemeriksaan audiometri nada murni meliputi:

 Pemeriksaan telinga: meliputi inspeksi visual pinna, saluran telinga


dan otoskop

8
 Alat bantu dengar harus dilepas

 Sampaikan tujuan pemeriksaan. Setiap telinga diuji secara


terpisah, dengan nada yang berbeda. Pasien harus merespon setiap kali
nada terdengar dengan mengangkat atau menurunkan jari, tangan, atau
lengan, menekan dan melepaskan sakelar sinyal, atau mengucapkan
secara verbal

Penentuan ambang dengar dilakukan pada kedua telinga, dimulai dengan


telinga yang sehat atau kondisi yang lebih baik dahulu. Langkah-
langkahnya antara lain:

 Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan frekuensi 1000 Hz,


2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz, 1000 Hz (diulang), 500 Hz dan 250 Hz. Jika
terdapat perbedaan ambang sebesar ≥15 dB untuk interval oktaf
berapapun, maka dilakukan pemeriksaan dengan frekuensi setengah
oktaf

 Mulai dengan intensitas 0 dB, kemudian dinaikkan dengan


peningkatan 10 dB dengan durasi 1-2 detik hingga pasien memberi
respon. Nada dapat ditingkatkan 5 dB dan bila pasien memberikan respon
maka nada diturunkan dengan penurunan masing-masing 10 dB hingga
tidak terdengar lagi

 Setelah menentukan ambang pendengaran untuk frekuensi


pengujian awal, cantumkan simbol yang sesuai pada audiogram. Lalu,
lanjutkan dengan frekuensi berikutnya dalam rangkaian. Mulailah nada
pada tingkat yang lebih rendah 15-20 dB dari ambang frekuensi yang diuji
sebelumnya

 Lakukan teknik ini untuk menentukan ambang hantaran udara dan


tulang. Pada pengujian konduksi udara, nada murni dihantarkan ke telinga
melalui earphone. Sedangkan, pada pengujian konduksi tulang, dilakukan
dengan menempatkan osilator pada prosesus mastoideus

9
2.4 Interprestasi Pemeriksaan Audiometri

Audiogram digunakan untuk menginterpretasikan hasil, yang


memberikan penjelasan rinci tentang kemampuan pasien untuk
mendengarkan. Audiometri menunjukkan hasil normal ketika seseorang
dapat mendengar suara mulai dari 250 hingga 8000 Hz.

Audiogram terdiri dari dua bagian, aksioma vertikal (menunjukkan


volume suara dan diukur dengan desibel (dB) dan aksioma horisontal
(menunjukkan frekuensi atau nada suara dan diukur dalam Hertz (Hz)).
Ketika aksioma vertikal naik itu menunjukkan bahwa orang tersebut harus
menaikkan suara untuk mendengarnya. Ketika hasilnya di bawah 25 dB
mencerminkan adanya gangguan pendengaran, jadi kita harus menilai
jenis masalah yang disajikan dan mempelajari kemungkinan cara dan
perawatan untuk memulihkan bagian dari pendengaran ini.

Hasil audiometri dikatakan normal bila pasien dapat mendengar nada


dari 250 hingga 8000 Hz pada intensitas suara 25 dB atau lebih rendah.
Sedangkan hasil tidak normal bisa menandakan banyak jenis dan derajat
ketulian.Derajat ketulian atau gangguan pendengaran dinilai berdasarkan
intensitas suara (desibel). Hasilnya terbagi dalam beberapa kelompok
berikut:

 Normal: 0-25 dB
 Ganguan ringan: 25-40 dB
 Ganguan sedang: 41-65 Db
 Ganguan berat: 66-90 dB
 Ganguan sangat berat: lebih dari 90 dB

Ada jenis ketulian yang ditandai dengan hilangnya kemampuan


mendengar nada rendah atau tinggi. Ada pula yang ditandai dengan

10
hilangnya kemampuan konduksi udara atau tulang. Sementara
ketidakmampuan mendengar nada murni di bawah 25 dB akan
menandakan gangguan pendengaran.Jenis dan derajat ketulian dapat
memberikan informasi terkait penyebab gangguan pendengaran yang
dialami oleh pasien. Beberapa kondisi yang dapat memicu hasil
audiometri tidak normal meliputi:

 Neuroma akustik
 Trauma akustik dari suara ledakan atau suara yang sangat keras
 Ketulian karena usia
 Sindrom Alport
 Infeksi telinga kronis
 Labirintitis
 Penyakit Meniere
 Paparan suara keras dalam waktu lama, misalnya ahli mesin di
pabrik, atau kebiasaan mendengarkan musik yang nyaring
 Pertumbuhan tulang tidak normal pada telinga tengah (otosklerosis)
 Gendang telinga pecah atau berlubang

Bila hasil audiometri tidak normal, pemeriksaan lain bisa dilakukan


oleh dokter. Langkah ini bertujuan untuk melihat fungsi telinga dalam dan
saraf pendengaran. Berikut contohnya:

 Otoacoustic emission test (OAE) yang dapat mendeteksi respons


suara yang diterima oleh telinga bagian
 Pencitraan (seperti MRI kepala) untuk mendeteksi neuroma
akustik.

Setelah audiometri, dokter akan mendiskusikan hasil pemeriksaan


dengan pasien. Tindakan untuk mencegah ketulian lebih lanjut akan
diberikan.Jenis penanganan penanganan akan tergantung pada derajat

11
dan jenis ketulian yang dialami oleh pasien. Beberapa tindakan ini meliputi
penggunaan penutup telinga ketika terpapar suara keras serta alat bantu
dengar.

2.5 Studi Kasus Audiometri

Tarwaka (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui apakah


seseorang yang mengalami penurunan daya dengar disebabkan karena
umur atau akibat pemajanan kebisingan perlu dilakukan pemeriksaan
audiometri dan dilihat pada frekuensi-frekuensi berapa seseorang tidak
mampu mendengar. Namun dalam penelitian ini hanya difokuskan pada
analisis perbedaan rerata ambang dengar antara kelompok umur dan
kelompok masa kerja yang menggambarkan lamanya pemaparan
terhadap pemajanan kebisingan <85 dB(A).

Adapun hasil dari penelitian itu adalah sebagai berikut.

1. Rerata ambang dengar (dB) tenaga kerja yang terpajan kebisingan


<85dB(A) lebih tinggi pada frekuensi rendah (500 dan 1000 Hz) dan
frekuensi tinggi (8000 Hz) dari pada frekuensi 4000 Hz.
2. Kenaikan ambang dengar pada kelompok umur 46-50th lebih tinggi
dari pada kelompok umur 31-40th dan 21-30th.
3. Kenaikan ambang dengar pada kelompok masa kerja >10th juga
lebih tinggi dari pada kelompok masa kerja 6-10th dan 1-5th.
4. Terdapat hubungan yang kuat antara usia dengan masa kerja.
5. Kenaikan ambang dengar tenaga kerja tersebut disebabkan karena
usia/masa kerja (age deafness), dan bukan karena pemajanan
kebisingan (noise deafness).
6. Terpajan kebisingan dibawah 85 dB(A) untuk sementara tidak
menyebabkan penurunan fungsi pendengaran secara menetap.

12
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Dewi dan Agustian yang
meneliti tentang gangguan pendengaran pada para pekerja di pabrik
tekstil di Majalaya, Bandung, Jawa Barat selama 2 bulan. Dalam
penelitian ini para pekerja pabrik tekstil mendapatkan sumber bising yang
berasal dari mesin tekstil dengan kebisingan rata-rata 81–98 dB.
Audiometer yang dipakai tipe EB-390/220 V nomor seri 7664 yang
dilengkapi dengan earphone tipe audiotone TDH 39 + enclosed audiocap
head set no. 3695 dan vibrator bone conduction tipe B 71 yang telah
dilakukan kalibrasi pada tahun 2004. Alat ini berguna untuk mengukur
fungsi pendengaran dengan menilai berapa besar intensitas suara melalui
hantaran udara dan hantaran tulang pada frekuensi 500, 1.000, 2.000,
4.000, dan 8.000 Hz. Pemeriksaan audiometri dilakukan di dalam ruangan
yang sunyi dengan jarak 50 m dari jalan utama dan tingkat kebisingan
kurang dari 35 dB. Tingkat kebisingan di atas diukur dengan
menggunakan Sound Level Meter Kanomax. Hasil yang didapat adalah :

1. Derajat gangguan dengar ringan, sedang, dan berat masing-masing


46,8%; 3,7%; dan 0,9%. Para pekerja yang mempunyai
pendengaran normal 48,6%.
2. Dari hasil anemnesis, pemeriksaan fisis, dan audiometri, etiologi
gangguan dengar yang terjadi pada para pekerja pabrik tersebut di
atas paling banyak disebabkan bising (41%).
3. Melihat intensitas kebisingan mesin di tempat bekerja yang berkisar
81–98 dB dan waktu kerja 8–9 jam/hari, ternyata belum melampaui
ambang batas occupational safety and health administration (OSHA)
namun para pekerja perlu diberi protektor telinga karena melihat
hasil NIHL telah mencapai 41%. Hal tersebut karena usia pekerja
yang masih terbilang rentan terhadap bising 15-19 tahun.

2.6 Spirometri

13
Pemeriksaan ventilasi paru umumnya dilakukan dengan
menggunakan suatu alat yang disebut spirometer dan melalui prosedur
yang sudah ditentukan akan dapat memberikan gambaran mengenai
keadaan fungsi paru tenaga kerja yang diperiksa. Data hasil pemeriksaan
tersebut dipertemukan dengan data kondisi lingkungan kerjanya untuk
mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan kerja dengan kondisi
kesehatan kerja (Charles, 1993).

Selama ini telah diketahui bahwa terdapat hubungan antara nilai


kapasitas vital paru dengan umur, tinggi badan, dan jenis kelamin
(Guyton, 1997 dalam Siregar, 2004). Nilai kapasitas vital ini penting
diketahui antara lain untuk menentukan kondisi ventilasi paru seseorang.

Suatu metode sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur


volume dan kapasitas paru-paru adalah spirometri dengan penghitungan
hasil pemeriksaan menggunakan nomogram Baldwin atau menggunakan
model Spiro Analyzer ST-250 yang berguna untuk mengetahui (Aurorina,
2003) :

1. Kapasitas Vital/Vital Capacity (VC).


2. Kapasitas Vital Paksa/Force Vital Capacity (FVC)
3. Volume Ekspirasi Paksa dalam satu detik/Forced Expiratory
Volume in one second (FEV1) adalah volume yang diekspirasikan
pada detik pertama.
4. Maximum Expiratory Flow Rate (MEFR).

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengukuran fungsi paru


dengan menggunakan Spiro Analyzer ST-250, maka kesimpulan yang
dapat diperoleh antara lain (Aurorina, 2003) :

1. Normal bila FEV1/FVC ≥ 75% dan FVC ≥ 80%


2. Gangguan restriksi bila FEV1/FVC ≥ 75% dan FVC < 80%
3. Gangguan obstruktif bila FEV1/FVC < 75%, FVC ≥ 80% dan FEV1
< 95% pred.

14
4. Gangguan campuran (restriksi dan obstruktif) bila FEV1/FVC < 75%
dan FVC < 80%.

2.7 Prosedur Pemeriksaan Spirometri

Menurut Charles (1993), langkah-langkah persiapan pemeriksaan


spirometri mencakup antara lain :

1. Persiapan alat yang digunakan termasuk akurasi dan ketepatan alat


spirometer
2. Persiapan tenaga kerja yang akan diperiksa, baik fisik maupun
mental
3. Penjelasan-penjelasan mengenai pemeriksaan dan cara-cara
pemeriksaan yang akan dihadapi
4. Latihan tenaga kerja mengenai cara pemeriksaan bagi tenaga kerja.

Sedangkan menurut Depnakertrans (2005) dalam Modul Pelatihan


Pemeriksaan Kesehatan Kerja, sebelum melakukan pemeriksaan
spirometri ada beberapa hal yang harus disiapkan antara lain :

1. Siapkan alat spirometer, dan kalibrasi harus dilakukan sebelum


pemeriksaan
2. Pasien harus dalam keadaan sehat, tidak ada flu atau infeksi saluran
nafas bagian atas, dan hati-hati pada penderita asma karena dapat
memicu serangan asma.
3. Masukkan data yang diperlukan, yaitu umur, jenis kelamin, tinggi
badan, berat badan, dan ras untuk mengetahui nilai prediksi.
4. Beri petunjuk dan demonstrasikan manuver pada tenaga kerja, yaitu
pernafasan melalui mulut, tanpa ada udara lewat hidung dan celah
bibir yang mengatup mouth tube.
5. Tenaga kerja dalam posisi duduk atau berdiri, lakukan pernafasan
biasa, tiga kali berturut-turut, kemudian langsung menghisap sekuat
dan sebanyak mungkin udara ke dalam paru-paru, dan kemudian

15
dengan cepat dan sekuat-kuatnya dihembuskan udara melalui mouth
tube.
6. Manuver dilakukan tiga kali untuk mengetahui FVC dan FEV1.
7. Hasilnya dapat dilihat pada print out.

Charles (1993) menuliskan bahwa untuk melakukan pemeriksaan


adalah dengan cara sebagai berikut :

1. Memasukkan mouth piece/alat peniup ke dalam mulut sepanjang


lebih kurang setengahnya, harus tepat dan rapat
2. Tenaga kerja menarik napas semaksimal mungkin, kemudian
dilepaskan sekaligus dengan meniupnya melalui alat peniup ke
dalam spirometer
3. Hal ini dilakukan sebanyak 3 kali untuk mendapatkan hasil yang
terbaik
4. Spirometer akan merekam hasil yang terbaik dari pemeriksaan yang
dilakukan.

2.8 Interpretasi Pemeriksaan Spirometri

Sebelum melakukan interprestasi hasil pemeriksaan terdapat


beberapa standar yang harus dipenuhi. American Thoracic Society (ATS)
mendefinisikan bahwa hasil spirometri yang baik adalah suatu usaha
ekspirasi yang menunjukkan (1) gangguan minimal pada saat awal
ekspirasi paksa, (2) tidak ada batuk pada detik pertama ekshalasi paksa,
dan (3) memenuhi 1 dari 3 kriteria valid end-of-test: (a) peningkatan kurva
linier yang halus dari volume- time ke fase plateau dengan durasi
sedikitnya 1 detik; (b) jika pemeriksaan gagal untuk memperlihatkan
gambaran plateau ekspirasi, waktu ekspirasi paksa/ forced expiratory
time (FET) dari 15 detik; atau (c) ketika pasien tidak mampu atau
sebaiknya tidak melanjutkan ekshalasi paksa berdasarkan alasan medis.
Setelah standar terpenuhi, tentukan nilai referensi normal FEV1 dan FVC

16
pasien berdasarkan jenis kelamin, umur dan tinggi badan (beberapa tipe
spirometri dapat menghitung nilai normal dengan memasukkan data
pasien). Kemudian pilih 3 hasil FEV1 dan FVC yang konsisten dari
pemerikssan spirometri yang selanjutnya dibandingkan dengan nilai
normal yang sudah ditentukan sebelumnya untuk mendapatkan
persentase nilai prediksi (Knowledge & Respirology, n.d.).

Interpretasi dari hasil spirometri biasanya langsung dapat dibaca


dari print out setelah hasil yang didapat dibandingkan dengan nilai prediksi
sesuai dengan tinggi badan, umur, berat badan, jenis kelamin, dan ras
yang datanya telah terlebih dahulu dimasukkan ke dalam spirometer
sebelum pemeriksaan dimulai.

RESTRIKTIF PENGGOLONGAN OBSTRUKTIF


FVC/nilai prediksi FEV1/FVC (%)
(%)

≥ 80 NORMAL ≥ 75
60 – 79 RINGAN 60 – 74
30 – 59 SEDANG 30 – 59
< 30 BERAT < 30

Interpretasi Hasil Pemeriksaan Spirometri dapat dikategorikan sebagai


berikut :

1. Restriktif (sindrom pembatasan)

Restriktif (sindrom pembatasan) adalah gangguan pengembangan


paru. Parameter yang dilihat adalah Kapasitas Vital (VC) dan Kapasitas
Vital Paksa (FVC). Biasanya dikatakan restriktif adalah jika Kapasitas Vital
Paksa (FVC) < 80% nilai prediksi.

2. Obstruktif (sindrom penyumbatan)

17
Obstruktif adalah setiap keadaan hambatan aliran udara karena
adanya sumbatan atau penyempitan saluran napas. Sindrom
penyumbatan ini terjadi apabila kapasitas ventilasi menurun akiba
menyempitnya saluran udara pernafasan. Biasanya ditandai dengan
terjadi penurunan FEV1 yang lebih besar dibandingkan dengan FVC
sehingga rasio FEV1/FVC kurang dari 80%. Pengetahuan mengenai faal
paru seseorang penderita penyakit paru amat penting untuk mengetahui
tingkat invaliditas pernapasan, disamping itu juga penting untuk program
pengobatan selanjutnya dan kepentingan rehabilitasi. Pemeriksaan faal
paru merupakan suatu pemeriksaan yang lebih peka untuk mengetahui
perubahan patologi dari saluran napas dibanding dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan radiologik.

Infeksi tuberkulosis pada paru akan mengakibatkan kelainan


parenkim paru antara lain fibrosis dan bila mengenai pleura akan
menyebabkan pleuritis. Hal ini akan mengakibatkan kelainan faal paru
yang bersifat restriktif. Kelainan yang terjadi di bronkus seperti bronkitis
atau endobronkitis dan bronkostenosis akan menimbulkan kelainan
obstruktif. Kelainan obstruktif adalah setiap keadaan hambatan aliran
udara karena adanya sumbatan atau penyempitan saluran napas. Pada
kelainan faal paru obstruktif seperti bronkitis kronik atau emfisema, terjadi
penurunan FEV1 yang lebih besar dibandingkan dengan FVC sehingga
rasio FEV1/FVC kurang dari 80%. Pada kelainan restriktif (misal Tb paru),
maka FEV1 dan FVC atau VC mengalami penurunan dengan
perbandingan FEV1/FVC tetap sekitar 80% atau lebih (Cleimens M.,
1995).

2.9 Studi Kasus Spirometri

Telah dilakukan penelitian tentang gambaran spirometri pada ibu-


ibu penderita batuk di Desa Lambitra, Desa Lamduro, Desa Tungkob,

18
Desa Lampuuk dan Desa Lamtimpeng Kecamatan Darussalam
Kabupaten Aceh Besar. Subjek penelitian sebanyak 40 orang ibu-ibu
penderita batuk. Rekapitulasi kuisioner sebanyak 40 buah yang diedarkan
kepada ibu-ibu penderita batuk, hasil jawaban pertanyaan dalam kuisioner
seperti table 1.Hasil pemeriksaan pernapasan dengan spirometer
terhadap ibu-ibu penderita batuk sebanyak 40 orang yang terdiri dari lima
desa, menunjukkan nilai spirometer yang dilakukan dengan menghembus
napas paksa di bawah patokan normal (tidak mencapai ≥75%) berarti di
jalan pernapasan ada obtruksi dengan tingkat ringan 30 orang (75%),
sedang 8 orang (20%), berat 2 orang (5%).

Penelitian ini dilakukan pemeriksaan kekuatan hembus napas


(ekspirasi paksa) dengan spirometri pada ibu-ibu penderita batuk untuk
menetukan derajat penyempitan saluran napas. Berdasarkan hasil
pengukuran terhadap 40 orang ibu-ibu penderita batuk terbukti tidak
mampu mengeluarkan udara dengan cepat dari saluran napas, spirometer
menunjukkan nilai FEV1 di bawah patokan normal yaitu tidak mencapai
≥75%. Ibu-ibu penderita batuk dapat dinyatakan bahwa ada gangguan di
saluran pernapasan yang dapat menghambat aliran udara di karenakan
adanya benda asing atau dahak yang menyumbat dapat menyebabkan
terjadinya obstruksi jalan napas yang merupakan kelainan pada proses
ekspirasi yang dapat diartikan udara dalam paru sulit dikeluarkan pada
waktu hembus napas ( ekspirasi) sehingga volume dan kapasitas paru
meningkat (Darmawan dkk, 2001). Subjek dikatakan normal apabila nilai
FEV1 ≥75%, jika nilai FEV1 ≤ 75% dapat dinyatakan bahwa subjek
tersebut ada gangguan di saluran pernapasan yang dapat menghambat
aliran udara dikarenakan adanya benda asing atau dahak yang
menyumbat dapat terjadi obstruksi jalan napas yang merupakan kelainan
pada proses ekspirasi yang dapat diartikan udara dalam paru sulit
dikeluarkan pada waktu ekspirasi sehingga volume dan kapasitas paru
meningkat (Leviztky, 2003).

19
Dari hasil pengukuran pernapasan ekspirasi terhadap 40 orang ibu-
ibu penderita batuk semuanya nilai FEV1 tidak mencapai ≥75% (dibawah
normal), penderita batuk ada obtruksi di saluran napas. Penyakit-penyakit
paru dengan obtruksi saluran napas biasanya jauh lebih sukar melakukan
ekspirasi dari pada inspirasi karena kecenderungan menutupnya jalan
napas sangat bertambah dengan tekanan positif pada dada selama
ekspirasi, sementara tekanan pleura negatif pada saat inspirasi akan
menarik jalan napas sehingga membuka saat yang sama dengan
perkembangan alveoli, oleh karena itu udara cenderung untuk lebih
mudah memasuki paru, tetapi kemudian terperangkap didalamnya, bila
hal itu terjadi selama sebulan atau bertahun-bertahun efek ini akan
menaikkan kapasitas total paru dan residu, obstruksi jalan napas lebih
mudah terjadi kolaps saluran napas, sehingga aliran ekspirasi maksimum
jauh berkurang (Ward dkk, 2004 dan Price, 1995)

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penderita batuk


menggambarkan kurang mampu menghembus napas dengan kuat
(ekspirasi paksa) melalui spirometer.Perlunya dilakukan lebih lanjut untuk
memperbaiki kekuatan pernapasan atau Forced Ekspiratory Volume in
One Second (FEV1).

20
BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

21
Daftar Pustaka

American Speech-Language-Hearing Association. Guidelines for Manual


Pure-Tone Threshold Audiometry. 2005.
https://www.asha.org/policy/GL2005-00014/#sec1.2

Author, C., Bogor, K., Depok, K., Bogor, K., Depok, K., & Kunci, K. (2020).
Kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ) Pada
Pengendara Ojek Online di Kota Bogor dan Kota Depok Tahun
2018 ( Studi Kasus Pencemaran Udara ) Abstrak. 1(1), 1–9.

Bhattacharyya N. Auditory Brainstem Response Audiometry. Medscape,


2019. https://emedicine.medscape.com/article/836277-overview 

Campbell KCM. Impedance Audiometry. Medscape, 2018.


https://emedicine.medscape.com/article/1831254-overview 

Dewi, Y. A., & Agustian, R. A. (2004). Skrining Gangguan Dengar pada


Pekerja Salah Satu Pabrik Tekstil di Bandung Hearing Test
Screening at One of the Textile Factory Workers in Bandung. 44(2),
96–100.

Healthline. https://www.healthline.com/health/audiology
Diakses pada 16 November 2020

22
https://adalah.top/audiometri/ Diakses pada 16 November 2020

https://www.alomedika.com/tindakan-medis/telinga-hidung
tenggorokan/audiometri/teknik Diakses pada 16 November 2020

https://www.halodoc.com/kesehatan/pemeriksaan-audiometri Diakses 16
November 2020

Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press, Universitas Islam Batik,


Surakarta.

Kimball SH. Speech Audiometry. Medscape, 2018.


https://emedicine.medscape.com/article/1822315-overview 
Adams GL, Boies LR, Higler PH. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-
6. Jakarta: EGC, 2015. h. 50-63.

Knowledge, U., & Respirology, I. N. (n.d.). Update knowledge in


respirology. 35–38.

Kutz JW. Audiology Pure-Tone Testing. Medscape, 2018.


https://emedicine.medscape.com/article/1822962-overview 

Mayfield Clinic. https://mayfieldclinic.com/pe-hearing.htm


Diakses pada 16 November  2020

23
Medline Plus. https://medlineplus.gov/ency/article/003341.htm
Diakses pada 16 November 2020

Prof, R., Manado, R. D. K., Marpaung, E., & Sengkey, L. S. (2020).


GANGGUAN PARU DI INSTALASI REHABILITASI MEDIK. 1(1),
104–108.

Saminan. (2012). Spirometri Pada Ibu-Ibu Penderita Batuk Di Kecamatan


Darussalam Kabupaten Aceh Besar. Idea Nursing Journal, ISSN :
2087-2879

Saunders AZ, Stein AV, Shuster NL. Audiometry. In: Walker HK, Hall WD,
Hurst JW, editors. Clinical Methods: The History, Physical, and
Laboratory Examinations. 3rd edition. Boston: Butterworths; 1990.
Chapter 133. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK239/ 

Tarwaka,Bakri, S.H.A. dan L. Sudiajeng. 2004. Ergonomi Untuk


Keselamatan,

Tht, B., & Fk, K. L. (2009). dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL BAGIAN THT –
KL FK USU MEDAN 2009.

Walker JJ, Cleveland LM, Davis JL, Seales JS. Audiometry Screening and
Interpretation. Am Fam Physician. 2013; 87(1): 41-46. 

24
Weber PC. Evaluation of hearing loss in adults. Uptodate, 2020.
https://www.uptodate.com/contents/evaluation-of-hearing-loss-in-
adults 

25

Anda mungkin juga menyukai