Anda di halaman 1dari 20

Degrasi polimer secara alami

Rumusan masalah :
 Apa yang dimaksud dengan biodegradasi ?
 Bagaimana proses biodegradasi dari plastic ?
 Apa yang dimaksud dengan biodegradasi kimia?
 Contoh biodegradasi kimia?
 Bagaimana proses biodegradasi Analisis Gugus Fungsi Polimer dengan FTIR (Fourier
Transform Infrared)

1. Secara biologi
Degradasi polimer secara biologi disebut juga dengan istilah biodegrasi. Biodegradasi yaitu
proses degradasi yang terjadi karena adanya aktivitas biologis dari mikroorganisme (degradasi
alami). Tetapi pada kenyataannya, faktor abiotik dan biotik saling mendukung secara sinergis
dalam proses degradasi polimer di lingkungan. Biodegradasi polimer dapat terjadi akibat
serangan secara mikrobiologis terhadap material tersebut. Mikroorganisme mempunyai
kemampuan memproduksi bermacam-macam enzim yang dapat bereaksi dengan polimer.
Fenomena biodegradasi polimer terlihat dari fakta bahwa dalam siklus makanan di alam, secara
langsung atau tidak, cepat atau berangsur-angsur, material yang ada akan berkurang jumlahnya,
artinya material tersebut sebagian atau seluruhnya digunakan sebagai sumber nutrisi oleh
mikroorganisme. Secara umum biodegradasi atau penguraian bahan (senyawa) organik oleh
mikroorganisme dapat terjadi bila terjadi transformasi struktur sehingga terjadi perubahan
integritas malekuler. Proses ini berupa rangkaian reaksi kimia enzimatik atau biokimia yang
mutlak memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan
mikroorganisme. Biodegradasi dilakukan oleh dekomposer, mikro-organisme ( jamur, bakteri,
protozoa ) yang tumbuh pada bahan organik mati, atau produk limbah dari ' ekosistem . Dari
sudut pandang kimia, degradasi adalah oksidasi senyawa organik. Proses oksidasi yang paling
penting adalah respirasi yang memungkinkan pelepasan karbon dioksida dan penutupan siklus
biogeokimia karbon (Choudary; et al,2017).
Fenomena biodegradasi sangat penting untuk lingkungan yang harus bebas dari sampah dan
limbah untuk membuat jalan bagi kehidupan baru. Pohon-pohon, tanaman, alga, semua
organisme fotosintetik, matahari mampu menyerap karbondioksida di atmosfer dan
menggunakannya untuk mensintesis gula, molekul organik di dasar semua zat organik banyak di
biosfer. Melalui rantai makanan, aliran zat dan energi melewati dari tanaman ( produsen ) ke
herbivora ( konsumen primer ) dan kemudian ke karnivora ( konsumen sekunder ). Biodegradasi
hidrokarbon oleh mikroba tergantung pada komposisi komunitas dan respon adaptif terhadap
kehadiran hidrokarbon. Laju biodegradasi senyawa hidrokarbon kompleks dengan berat molekul
besar seperti senyawa aromatik, resin, dan asfalten lebih lambat dibandingkan dengan senyawa
dengan berat molekul rendah (Choudary, et al,2017).
Biodegradasi adalah proses dimana mikroorganisme mampu mendegradasi atau memecah
senyawa polimer alam dan polimer sintetik. Polimer alam seperti lignin dan selulosa, sedangkan
polimer sintetik seperti polietilen dan polistiren. Biodegradasi merupakan proses alami oleh
mikroba yang mengkonsumsi hidrokarbon dan menghasilkan air, karbondioksida. Proses
biodegradasi adalah suatu oksidasi dasar, enzim dari bakteri mengkatalisasi penempatan oksigen
ke dalam hidrokarbon sehingga molekul dapat digunakan dalam metabolisme seluler.
Biodegradasi juga bersifat sebagai katabolisme dari suatu senyawa menjadi metabolisme pusat.
Dalam proses biodegradasi terjadi konversi yang lengkap dari bahan-bahan kiia yang komples
menjadi produk yang tereliminasi seperti air (H 2O) dan karbondioksida (CO2). Proses
biodegradasi senyawa hidrokarbon hingga sempurna melibatkan suatu kumpulan mikroba yang
saling berinteraksi secara sinergik dalam bentuk konsorsium (Fadlilah, et al, 2014).
Kecepatan biodegradasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi bahan pencemar,
biomassa, suhu, pH, ketersediaan nutrient, ketersediaan substrat primer dan terjadinya adaptasi.
Selain itu, komposisi bahan pencemar, ketersediaan oksigen dan kelembaban juga
memepengaruhi proses biodegrasi. Ketidakseimbangan antara suplai karbon dari bahan pencemar
dengan kebutuhan N dan P untuk pertumbuhan mikroba juga merupakan faktor pembatas dalam
biodegradasi. Keberhasilan proses degradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Untuk itu
perlu mikroba yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi, kemudian aktivitasnya
dioptimalisasi dengan pengaturan kondisi yang sesuai antara lain oksigen, kandungan air, pH,
suhu, nutrient yang tersedia dan ada tidaknya bahan toksik (Alshehrei, et al,2017).
Plastic-plastik teknik yang dirancang untuk menggantikan logam-logam. Polimer ramah
lingkungan (dapat dibiodegradasi) telah berhasil disintesis dengan menggunakan komonomer
berupa lignoselulosa. Berbagai bahan dari tumbuhan seperti minyak sawit kasar, minyak kedelai,
minyak jarak, lignin craft, kopi, dan sakarida serta amilosa dapat dibuat menjadi poliuretan ramah
lingkungan lewat pencampuran dengan polioksietilen glikol (PEG) atau polioksipropilen glikol
dan direaksikan dengan metilena-4,4’-difenildiisosianat (Alshehrei, et al, 2017).
Poliuretan yang dibuat dari bahan alam memiliki struktur kimia yang bergantung pada
komponen bahan alamnya. Busa poliuretan hasil sintesis dari molase, menunjukkan kemudahan
biodegradasi diantara kayu beech dan kayu cryptomeria. Sejalan dengan pemakaian polimer yang
terus meningkat mengingat keunggulan sifat dan pemakaiannya cukup praktis ternyata semakin
meningkat pula limbah polimer yang dihasilkan terhadap lingkungan. Cara penanggulangan yang
dianggap paling bersahabat dengan lingkungan dan tidak menimbulkan masalah baru adalah
dengan proses biodegradasi, namun kebanyakan polimer yang digunakan secara besar-besaran
paling banyak tidak terbiodegradasi. Oleh karena itu, penanggulangan limbah secara biodegradasi
akan terwujud apabila polimer-polimer baru yang digunakan mudah terbiodegradasi
(Hatakeyama, et al, 1995).
Untuk mendapatkan poliuretan yang mudah terbiodegradasi dapat dilakukan dengan
menggunakan amilosa dan hasil hidrolisisnya. Amilosa dan hasil hidrolisis amilosa masing-
masing memiliki gugus hidroksil yang cukup reaktif sehingga dapat berfungsi sebagai sumber
poliol yang kompetitif untuk bereaksi dengan senyawa isosianat membentuk poliuretan. Polimer
poliuretan sintetik yang sukar terbiodegradasi apabila mengandung monomer alam atau
komponen utamanya berupa bahan alam ternyata dapat terbiodegradasi (Alshehrei, et al,2017).
Dengan adanya amilosa dalam sintesis poliuretan ternyata dapat menurunkan derajat
kristalinitas produk poliuretan. Dengan kata lain penambahan amilosa dapat meningkatkan
jumlah daerah amorf poliuretan. Dengan bertambahnya jumlah amorf diharapkan akses
mikroorganisme terhadap poliuretan dalam proses biodegradasi akan meningkat pula (Alshehrei,
et al,2017).
Polimer alam, seperti halnya lignin dan polisakarida, dapat terdegradasi menjadi molekul-
molekul yang lebih sederhana. Produk degradasi ini selanjutnya dapat dipergunakan oleh
organisme hidup sebagai sumber energy atau untuk mensintesis senyawa-senyawa baru
(termasuk biopolymer). Mekanisme umum degradasi polimer menjadi molekul yang sederhana
dapat dijelaskan secara kimiawi. Organisme hidup mempunyai kemampuan untuk memproduksi
bermacam-macam enzim yang dapat menghancurkan struktur biopolymer. Kerja suatu enzim
sebagai katalisator dalam merombak struktur polimer merupakan kerja yang spesifik, artinya
suatu enzim tertentu hanya memiliki kemampuan untuk mengkatalisis suatu reaksi kimia tertentu
pula (Eli, et al, 2017).
Biodegradasi material organik, terutama polimer alam seperti selulosa, lignin, atau karet alam,
dapat terjadi akibat serangan secara mikrobiologis terhadap material tersebut. Mikroorganisme
mempunyai kemampuan memproduksi bermacam-macam enzim yang dapat bereaksi dengan
polimer alam. Reaksi enzimatik terhadap polimer merupakan suatu proses kimiawi dimana
mikroorganisme memperoleh sumber makanan dari polimer. Fenomena biodegradasi terhadap
material organik, termasuk polimer, terlihat dari fakta bahwa dalam siklus makanan di alam,
secara langsung atau tidak, cepat atau berangsur-angsur, material yang ada akan berkurang
jumlahnya, artinya material inilah yang sebagian atau seluruhnya digunakan sebagai sumber
nutrisi oleh mikroorganisme. Studi tentang biodegradasi dapat dilakukan dalam lingkungan yang
sesungguhnya ; yaitu dipendam dalam tanah, atau dilakukan dengan metode simulasi. Metode
simulasi dapat dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme campuran atau dengan
mikroorganisme tertentu yang telah diketahui jenisnya. Hasil yang ada menunjukkan bahwa laju
biodegradasi oleh mikroorganisme campuran umumnya berlangsung lebih cepat, namun sukar
untuk memperkirakan mekanisme degradasi yang terjadi (Eli, et al, 2017).
Polimer sintetik telah banyak berjasa dan memberi kemudahan bagi kita dalam
menghadapi kehidupan sehari-hari. Salah satu polimer sintetik yang perkembangannya
sangat pesat adalah plastik. Kemudahan dan keistimewaan plastik sedikit banyak telah dapat
menggantikan bahan-bahan seperti logam dan kayu dalam membantu kehidupan manusia.
Sejak ditemukan oleh seorang peneliti dari Amerika Serikat pada tahun 1968 yang bernama
John Wesley Hyatt, plastik menjadi primadona bagi dunia industri. Plastik sangat berpotensi
menjadi material yang mengancam kelangsungan makhluk hidup di bumi ini, karenaterbuat
dari bahan kimia yang tidak dapat terdegradasi oleh mikroba di lingkungan. Bahan-bahan
tersebut tidak dapat dirombak, dihancurkan atau diuraikan oleh mikroba. Limbah plastic yang
melimpah saat ini kebanyakan diatasi dengan dibakar dan didaur ulang, akan tetapi
pembakaran limbah plastik itu malah berdampak lain, yaitu tercemarnya udara oleh gas-gas
hasil pembakaran plastik, di antaranya CO2 dan CO (Boustead, 1998).
Salah satu cara mengatasi limbah plastic adalah membuat plastik biodegradabel ( plastik
yang dapat diuraikan oleh mikroba ). Sepuluh tahun terakhir, plastik biodegradable telah
dipasarkan ke masyarakat. Contoh plastic biodegradabel yang digunakan dalam kehidupan kita
adalah polietilena. Beberapa mikroba yang diketahui dapat mendegradasi polietilena adalah
Pseudomonas sp., Aspergillus niger dan A. glaucus. Salah satu sumber yang paling potensial
ditemukannya bakteri-bakteri local pendegradasi polimer sintetik yaitu Tempat Pembuangan
Akhir (TPA). Daerah tersebut banyak sampah, baik sampah organik yang lama tertimbun dan
menjadi busuk maupun sampah anorganik yang tidak bisa busuk, antara lain plastic (Lestari, et
al, 2007).
 Mekanisme Biodegradasi Limbah Plastik
Pada umumnya proses degradasi terjadi karena senyawa tersebut dimanfaatkan oleh
mikroorganisme sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhannya Kecepatan proses biodegradasi
dipengaruhi oleh beberapa factor. Faktor- faktor tersebut diantaranya adalah kelembaban, jenis
mikroorganisme, temperatur, pH, jenis polimer, dan ketebalan polimer. Kondisi biodegradasi
yang meliputi pH, temperatur, nutrien, mineral, oksigen, dan kelembaban harus menyesuaikan
dengan jenis mikroba yang akan digunakan sebagai biodegradator. Bahan-bahan polimer yang
dilepaskan ke lingkungan akan mengalami penguraian secara fisika, kimia dan biologi atau
kombinasinya yang tergantung oleh adanya kelembapan, udara, temperatur, cahaya (photo-
degradation), radiasi energi tinggi (UV, γ-radiation) atau oleh hadirnya mikroorganisme (bakteri
atau jamur). terdapat empat mekanisme biodegradasi plastik di lingkungan yaitu dengan
fotodegradasi atau proses penguraian dengan memanfaatkan cahaya, biodegradasi termooksidatif
atau proses degradasi dengan memanfaatkan panas, degradasi hidrolitik dan biodegradasi oleh
mikroorganisme. Mikroorganisme pendegradasi limbah plastik mengubah karbon dalam rantai
polimer menjadi karbon dioksida atau memasukkannya ke dalam biomolekul. Proses
biodegradasi yang terjadi mengakibatkan limbah plastik menjadi rapuh dan pecah menjadi bagian
yang lebih kecil, hingga rantai polimer pada limbah plastik memiliki berat molekul yang cukup
rendah untuk dimetabolisme oleh mikroorganisme (Widyatmoko, et al, 2015).
 Mikroorganisme Pendegradasi Limbah Plastik
Mikroorganisme telah diketahui mampu mendegradasi senyawa polimer yang telah melalui
suatu proses pendahuluan atau pre treatment. Mikroorganisme pendegradasi plastik merupakan
mikroorganisme yang telah diisolasi dari tanah, air laut, atau kompos. Beberapa mikroorganisme
yang diketahui dapat mendegradasi plastik atau membantu dalam proses degradasi adalah
mikroorganisme jenis bakteri dan fungi. Bakteri merupakan salah satu mikroorganisme yang
diketahui dapat membantu dalam proses degradasi limbah plastic dengan memanfaatkan enzim
polimerase yang dimilikinya. Beberapa mikroorganisme yang telah diketahui mampu
mendegradasi limbah plastik antara lain adalah bakteri Pseudomonas sp., Staphylococcus sp, .
Streptomyces sp., dan Bacillus sp. serta fungi Fusarium solani, Curvularia senegalensis dan
Aureobasidium pullulans sp (Widyatmoko, et al, 2015)).
 Metode Analisis Biodegradasi Limbah Plastik
Perubahan yang terjadi pada sampel plastik yang telah mendapatkan perlakuan dengan suatu
mikroorganisme, dapat diketahui dengan menerapkan beberapa metode analisis. Metode analisis
tersebut diantaranya adalah metode analisis Fourier Transform Infra Red (FT-IR), dan metode
analisis Scanning Electron Microscopy (SEM). Fourier Transform Infra Red (FT-IR) merupakan
suatu metode analisis yang digunakan untuk mengetahui adanya perubahan pada gugus fungsi
sampel plastik melalui sebuat spektrum. Alat FTIR ini menggunakan prinsip spektroskopi dengan
mengukur jumlah radiasi infra red yang diserap atau dipancarkan oleh sampel sebagai fungsi dari
panjang gelombang. Hasil spektrum inframerah yang diperoleh kemudian diplot sebagai panjang
gelombang (µm) atau bilangan. Gelombang (cm-1).Karakterisasi Fourier Transform Infra Red
(FTIR) perlu dilakukan untuk mengetahui atau menunjukkan adanya perubahan kimia fisika.
Perubahan kimia diperlihatkan dengan munculnya gugus baru, sedangkan perubahan fisika
diperlihatkan dengan penurunan dan atau peningkatan bilangan gelombang (cm-1). Berikut
merupakan perubahan spektrum film plastik saat sebelum dan sesudah diinkubasi dengan
mikroorganisme yang terdapat pada Gambar 1 (Widyatmoko, et al, 2015).

SEM (Scanning Electron Microscopy) merupakan suatu metode untuk membentuk


bayangan daerah mikroskopis permukaan suatu sampel yang akan diteliti. SEM (Scanning
Electron Microscopy) memiliki prinsip dasar yang sama seperti mikroskop cahaya, namun
perbedaan yang dimiliki mikroskop ini adalah memfokuskan sinar elektron yang energik daripada
foton, untuk memperbesar objek yang sedang diteliti. SEM (Scanning Electron Microscope)
dapat mendeteksi dan menganalisis permukaan sampel, memberikan informasi secara mikro, dan
memberikan analisis kimia kualitatif. Berikut merupakan perubahan morfologi permukaan plastik
saat sebelum dan sesudah diinkubasi dengan mikroorganisme yang terdapat pada Gambar 2
(Widyatmoko, et al, 2015)).

Menurut (Widyatmoko, et al, 2015). Berikut ini potensi mikroorganisme dalam mendegradasi
plastic :
 Mikroorganisme Lysinibacillus Xylanilyticus dan Aspergillus niger mampu mendegradasi
plastic jenis polyethylene. Perubahan terjadi pada permukaan polyethylene terjadi setelah 126
hari inkubasi dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis SEM
 Terjadi perubahan berat plastik LLDPE yang diinkubasi selama 120 hari oleh bakteri
Pseudomonas sp.
Pengembangan bahan biopolimer yang inovatif telah berlangsung selama beberapa tahun, dan
merupakan bidang yang menarik bagi banyak para ilmuwan mengembangkannya. Pada tahun
1996, pengiriman plastic sintetis dari industri plastik Kanada meningkat sebesar 10,6%. Akibat
dari penggunaan plastik sintetis yang tidak terurai ini memicu para ilmuwan internasional untuk
mengembangkan polimer biodegradable dari bahan-bahan alami, dan pada akhirnya industri
dapat mengaplikasikan polimer baru yang terdegradasi ini. Cara penggunaan akhir (pembuangan)
dari polimer biodegradasi tergantung pada komposisi dan metode pengolahan yang digunakan
(Setyanto, 2013).
The American Society for Testing of Materials (ASTM) dan the International Standards
Organization (ISO) mendefinisikan bahwa plastik degradable sebagai material yang mengalami
perubahan signifikan dalam struktur kimia pada kondisi lingkungan tertentu. Perubahan ini
mengakibatkan hilangnya sifat fisis dan mekanis, yang diukur dengan metode standar. Plastik
biodegradable mengalami degradasi dari aksi mikroorganisme yang terjadi secara alami, seperti
bakteri, jamur, dan ganggang. Plastik juga dapat didesain sebagai photodegradable, oksidatif
terdegradasi, hydrolytically terdegradasi, dan lain-lain. Bahan biodegradasi terjadi dalam
berbagai tahap. Awalnya, makromolekul dicerna, yang kemudian membentuk rantai, dan
mengalami pemotongan langsung enzimatik. Ini diikuti dengan metabolisme bagian split,
mengarah ke disimilasi enzimatik progresif makromolekul dari ujung rantai. Pembelahan
oksidatif dari makromolekul dapat terjadi sebaliknya, mengarah ke metabolisasi fragmen, dan
akhirnya fragmen rantai menjadi cukup pendek untuk dapat diubah oleh mikroorganisme
(Setyanto, 2013).
Pada Gambar 1 memperlihatkan bahwa polimer biodegradable (yang berasal dari sumber
tanaman) sebagai sumber daya terbarukan, dan biasanya dalam bentuk pati atau selulosa
(Setyanto, 2013).

METODE BIODEGRADASI
Sebuah pernyataan umum mengenai terurainya bahan polimer adalah hal yang mungkin
terjadi oleh aksi mikroba, fotodegradasi, atau degradasi kimia. Ketiga metode tersebut
kesemuanya diklasifikasikan dalam biodegradasi sebagai produk akhir yang stabil dan ditemukan
di alam, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2. Polimer yang didasarkan pada bahan-bahan
alami tumbuhan (seperti pati atau serat rami) rentan terhadap degradasi oleh mikroorganisme.
Materi yang tidak mungkin atau mungkin terurai lebih cepat dalam kondisi aerobik, tergantung
pada perumusan yang digunakan, dan mikroorganisme yang diperlukan. Pada kasus dimana
bahan pati digunakan sebagai aditif untuk matriks plastik konvensional, polimer yang kontak
dengan tanah dan/atau air, akan diserang oleh mikroba. Mikroba mencerna pati, meninggalkan
struktur, busa berpori dengan luas antarmuka tinggi, dan kekuatan struktural rendah. Ketika
komponen pati telah habis, matriks polimer mulai dapat terdegradasi oleh serangan enzimatik.
Setiap hasil reaksi dalam pemotongan molekul, perlahan-lahan mengurangi berat matriks sampai
seluruh bahan telah dicerna (Setyanto, 2013).

Pendekatan lain untuk degradasi mikroba dari biopolimer akan melibatkan pertumbuhan
mikroorganisme untuk tujuan tertentu dalam mencerna bahan polimer. Ini adalah proses yang
lebih intensif yang pada akhirnya memberikan biaya yang lebih, dan circumvents penggunaan
sumber daya terbarukan sebagai bahan baku biopolimer. Meskipun metode ini mengurangi
volume sampah, akan tetapi hal ini tidak membantu dalam mempertahankan sumber daya tak
terbarukan (Setyanto, 2013).
Polimer Photodegradable mengalami degradasi dari aksi sinar matahari (ASTM D883-
96). Dalam banyak kasus, polimer dipecah oleh fotokimia, dan menjadi potongan-potongan kecil,
selanjutnya terjadi degradasi mikroba agar biodegradasi benar-benar tercapai. Poliolefin (sejenis
plastik konvensional berbasis minyak bumi) adalah polimer yang ditemukan paling rentan
terhadap fotodegradasi. Setelah polimer larut, larutan sisa terdiri dari polivinil alkohol dan
gliserol. Mirip dengan berbagai plastik photodegradable, biodegradasi dari larutan encer terjadi
kemudian, melalui pencernaan mikroba. Mikroorganisme yang tepat dan mudah ditemukan di
pengolahan air limbah. Bahan biopolimer yang hancur setelah terpapar larutan yang diinginkan
untuk selanjutnya dilakukan transportasi dan pembuangan limbah biohazards dan medis
(Setyanto,2013).

APLIKASI POLIMER BIODEGRADASI


Biopolimer telah diperkenalkan dan dapat diaplikasi antara lain pada sektor kedokteran,
kemasan, pertanian, dan industri otomotif. Banyak bahan yang telah dikembangkan dan
dikomersialisasikan dan kemudian diterapkan pada lebih dari satu sektor/kategori ini.
Diperkirakan 41% dari plastik yang digunakan dalam kemasan, hampir setengah dari volume
digunakan untuk produk makanan paket. BASF, merupakan salah perusahaan industri kimia dan
plastik terkemuka, telah mengembangkan lebih lanjut plastik biodegradable yang berasal dari
poliester dan pati. Ecoflex adalah bahan plastik sepenuhnya biodegradable yang diperkenalkan
pada konsumen oleh BASF pada tahun 2001. Bahan ini tahan terhadap air dan lemak, sehingga
cocok untuk digunakan sebagai pembungkus sekali pakai yang higienis, dan dapat terurai dalam
sistem pengomposan yang normal (Setyanto, 2013).
Environment Polymer (Woolston, Warrington, Inggris) juga telah mengembangkan bahan
plastik biodegradable yang dikenal sebagai “depart”, produk alkohol polivinil ini dirancang untuk
penggunaan pada teknologi ekstrusi, injection molding, dan blow molding. Penguraian pada suhu
tertentu, memungkinkan penggunaan “depart” untuk berbagai aplikasi, antara lain produk
pertanian, kemasan makanan sekali pakai, dan lain-lain (Setyanto, 2013).
Gambar 3 memperlihatkan siklus penggunaan akhir dari produk tersebut bervariasi secara
luas, sebagai contoh, plastik film biodegradasi dapat digunakan sebagai kantong sampah, piring
dan sendok garpu sekali pakai, kemasan makanan, dan bahan pengiriman (Setyanto, 2013).

Bahan biopolimer yang cocok untuk kemasan sering digunakan dalam produk pertanian.
Ecoflex, khususnya, melihat peluang tersebut, tanaman muda yang sangat rentan terhadap embun
beku dapat dilindungi dengan film tipis Ecoflex. Pada akhir musim tanam, film dapat terurai
kembali ke tanah, di mana ia akan dipecah oleh mikroorganisme yang sesuai. Tas penyimpanan
pupuk dan bahan kimia yang biodegradable juga dapat diaplikasikan. Manfaat tambahan dari
menggunakan bahan polimer biodegradable adalah limbah produk dapat dikomposkan. Serat
alami (jute atau hemp) biasanya diterapkan dalam bagian interior, yaitu komponen yang tidak
memerlukan kapasitas beban bantalan, tetapi lebih mementingkan pada stabilitas dimensi
(Setyanto, 2013).
2. Secara Kimia
Degradasi kimia adalah suatu reaksi perubahan kimia atau peruraian komponen suatu polimer
karena reaksi dengan polimer sekitarnya berupa tindakan atau proses penyederhanaan atau
meruntuhkan sebuah molekul menjadi lebih sederhana (kecil) baik secara alami maupun buatan.
Degradasi atau penguraian kimia kerangka polimer-polimer vinil yang tersusun dari rantai-rantai
karbon yang tidak mengandung gugus-gugus fungsional selain ikatan rangkap dua polimer-
polimer diena pada prinsipnya terbatas pada reaksi oksidasi. Polimer-polimer terurai sangat
lambat oleh oksigen dan reaksinya bersifat otokatalitik. Reaksi dapat dipercepat oleh penerapan
panas atau sinar atau oleh hadirnya beberapa zat kotor yang mengkatalis proses oksidasi tersebut
(Eli Rohaeti.2003).
Polimer-polimer tak jenuh mengalami penguraian oksidatif jauh lebih cepat oleh proses-
proses radikal bebas yang rumit, yang melibatkan zat antara peroksida dan hidroperoksida.
Polimer-polimer tak jenuh juga sangat mudah menerima serangan ozon. Penguraian polimer
melalui ozonolisis untuk memperbaiki ketahanan ozon dengan cara menempatkan sebagian
alkena yang diperlukan untuk ikat silang sedemikian rupa sehingga pemutusan ikatan oksidatif
tidak menyebabkan berkurangnya berat molekul. Ciri-ciri Polimer yang mengalami degradasi
kimia (Nicholson, J. W. 1997).
Degradasi adalah suatu reaksi perubahan kimia atau peruraian suatu senyawa atau molekul
menjadi senyawa atau molekul yang lebih sederhana secara bertahap. Misalnya, pengurangan
panjang polimer makromolekul atau perubahan gula menjadi glukosa dan akhirnya membentuk
alcohol. Degradasi polimer dasarnya berkaitan dengan terjadinya perubahan sifat karena ikatan
rantai utama makromolekul. Pada polimer linear, reaksi tersebut mengurangi massa molekul atau
panjang rantainya (Eli Rohaeti.2003).
Dalam artian peningkatan berat ukuran molekul ikat silang dapat dianggap lawan degradasi.
Pada kerusakan termal (termokimia) ada peluang aditif, katalis atau pengotor, turut bereaksi
meskipun dari segi istilah seakan-akan tidak ada senyawa lain yang tidak terlibat. Fotodegradasi
polimer lazim melibatkan kromofor yang menyerap daerah uv di bawah 400 nanometer. Radiasi
energi tinggi misalnya sinar X, gamma, atau partikel, tidak khas serapan. Segenap bagian
molekul dapat kena dampak, apabila bila didukung oleh faktor oksigen, aditif, kristalin, atau
pelarut tertentu. Degradasi mekanis dapat terjadi saat pemrosesan maupun ketika produk
digunakan oleh gaya geser, dampak benturan dan sebagainya. Degradasi polimer menyebabkan
terjadinya perubahan dalam sifat - kekuatan tarik, warna, bentuk, dll - dari suatu polimer atau
produk berbasis polimer di bawah pengaruh dari satu atau lebih faktor-faktor lingkungan seperti
panas, cahaya atau bahan kimia (Eli Rohaeti.2003).
Perubahan-perubahan ini biasanya tidak diinginkan, seperti perubahan selama penggunaan,
cracking dan depolymerisation produk atau, lebih jarang, diinginkan, seperti dalam biodegradasi
atau sengaja menurunkan berat molekul suatu polimer untuk daur ulang. Perubahan dalam sifat
sering disebut "penuaan". Dalam sebuah produk jadi perubahan seperti itu harus dicegah atau
ditunda. Namun degradasi dapat berguna untuk daur ulang / penggunaan kembali limbah polimer
untuk mencegah atau mengurangi lingkungan pencemaran. Degradasi juga dapat diinduksi
dengan sengaja untuk membantu penentuan struktur. Polimer molekul yang sangat besar (pada
skala molekuler), dan mereka yang unik dan berguna terutama properti akibat ukuran mereka.
Kerugian dalam panjang rantai menurunkan kekuatan tarik dan merupakan penyebab utama
pecah dini (Nicholson, J. W. 1997).
Adapun ciri-ciri polimer yang mengalami degradasi kimia yaitu terjadi perubahan yang
bersifat kimia pada polimer, selain itu juga terjadi perubahan sifat fisik dan mekanik pada
polimer. Perubahan yang bersifat kimia yaitu terjadi perubahan rantai polimer dan ikatan polimer.
Perubahan fisik terlihat pada terjadinya perubahan warna polimer, timbulnya retakan pada
polimer, polimer bersifat lebih rapuh, dan timbulnya bau air mineral kemasan. Perubahan sifat
mekaniknya meliputi kekuatan tarik, kekuatan kompresif (tekanan), kekuatan fleksur (patahan),
kekuatan impak (menahan pukulan tiba-tiba), kelelahan, dan kekerasan (Eli Rohaeti.2003).
 Contoh degradasi kimia
1. Degradasi Kimia Negatif
a. Hidrolisis
Nilon peka terhadap degradasi oleh asam, proses yang dikenal sebagai hidrolisis, dan nilon
cetakan akan retak ketika diserang oleh asam kuat. Sebagai contoh, permukaan fraktur konektor
bahan bakar menunjukkan pertumbuhan progresif retak dari serangan asam (Ch) ke titik puncak
terakhir (C) dari polimer. Masalah ini dikenal sebagai stres korosi retak, dan dalam hal ini
disebabkan oleh hidrolisis dari polimer. Itu adalah reaksi sebaliknya sintesis polimer (Nicholson,
J. W. 1997).
b. Fluoroelastomer
Degradasi kimia dari fluoroelastomer, FKM (Viton ® A), dalam situasi alkaline (10% NaOH, 80
° C). Optical microscope dan analisis SEM mengungkapkan bahwa degradasi dimulai dengan
kekasaran permukaan sejak tahap awal paparan (misalnya, 1 minggu) dan akhirnya menyebabkan
keretakan pada permukaan setelah kontak yang terlalu lama. Pada awalnya tingkat degradasi
terutama terbatas pada daerah permukaan (beberapa nanometer) tapi dengan pencahayaan lebih
lama (misalnya, 12 minggu) itu meluas sampai ke bawah daerah bawah permukaan
fluoroelastomer. Tingkat degradasi permukaan ini ditemukan untuk menjadi cukup kuat untuk
mempengaruhi sifat mekanik massal (Nicholson, J. W. 1997).
Mekanisme molekuler dari degradasi kimia permukaan yang ditentukan menggunakan analisis
permukaan (XPS dan ATR-FTIR) di mana degradasi awal ditemukan untuk melanjutkan melalui
dehydrofluorination. Ini mengarah pada pembentukan ikatan ganda pada tulang punggung karet
yang mempercepat degradasi lebih jauh dengan pencahayaan lebih lama. Selain itu, salib-link
situs dari sampel karet yang terbuka juga ditemukan untuk rentan terhadap serangan hidrolitik
kimia di bawah lingkungan yang diteliti terbukti dengan penurunan kepadatan lintas link dan
fraksi gel (%) (Nicholson, J. W. 1997).
c. Klor-Induced Cracking
Gas yang sangat reaktif diantaranya adalah klorin, yang akan menyerang polimer rentan seperti
resin asetal dan polybutylene pipa. Ada banyak contoh seperti pipa dan alat kelengkapan asetal
gagal dalam properti di Amerika Serikat sebagai akibat klorin-induced cracking. Pada dasarnya
serangan gas bagian sensitif dari rantai molekul (terutama sekunder, tersier atau allylic atom
karbon), oksidasi rantai rantai dan akhirnya menyebabkan perpecahan. Akar penyebab adalah
sisa-sisa klorin dalam pasokan air, ditambahkan untuk tindakan anti-bakteri, serangan terjadi
bahkan pada bagian per juta jejak gas yang larut. Klorin menyerang bagian lemah dari suatu
produk, dan dalam kasus sebuah resin asetal persimpangan dalam sistem pasokan air, itu adalah
akar benang yang diserang pertama, menyebabkan retak rapuh untuk tumbuh. Perubahan warna
pada permukaan fraktur disebabkan oleh pengendapan karbonat dari air keras pasokan, sehingga
sendi sudah dalam kondisi kritis selama berbulan-bulan. Masalah-masalah di AS juga terjadi
untuk polybutylene pipa, dan menyebabkan materi yang dikeluarkan dari pasar, meskipun masih
digunakan di tempat lain di dunia (Nicholson, J. W. 1997).
d. Degradasi Karet oleh Ozon
Salah satu contoh umum dari degradasi dibantu kimia adalah degradasi karet oleh partikel
ozon. Ozon adalah molekul atmosfer alami yang dihasilkan oleh pengeluaran muatan listrik atau
melalui reaksi oksigen dengan radiasi matahari. Ozon juga diproduksi dengan polutan atmosfer
bereaksi dengan ultraviolet Radiasi. Untuk reaksi terjadi, hanya konsentrasi ozon harus serendah
3-5 bagian per seratus juta (pphm) dan ketika konsentrasi ini dicapai, suatu reaksi terjadi pada
lapisan permukaan tipis (5 x10-7 meter) dari bahan . Molekul ozon bereaksi dengan karet yang
dalam banyak kasus tak jenuh (mengandung ikatan rangkap), namun reaksi akan tetap terjadi
dalam polimer jenuh (yang hanya mengandung ikatan tunggal). Ketika reaksi terjadi, pemotongan
dari rantai polimer (melanggar ikatan kovalen ganda) terjadi membentuk pembusukan produk.
Pemotongan rantai meningkat dengan kehadiran aktif Hidrogen molekul (misalnya, dalam air)
serta asam dan alkohol. Bersamaan dengan jenis reaksi, lintas menghubungkan dan samping
formasi cabang juga terjadi oleh aktivasi ikatan ganda dan ini membuat bahan karet lebih rapuh.
Karena peningkatan kerapuhan karena reaksi kimia, bentuk retakan di daerah-daerah yang tinggi
stres. Sebagai propagasi retakan ini meningkat, permukaan baru dibuka untuk degradasi terjadi
(Nicholson, J. W. 1997).
e. Degradasi Poli Vinil Chloride (PVC)
Degradasi juga dapat terjadi sebagai akibat dari pembentukan, dan kemudian kerusakan ikatan
ganda, seperti solvolysis dalam PVC (Peacock). Solvolysis terjadi bila ikatan Karbon-X, dengan
X mewakili halogen, rusak. Ini terjadi pada PVC di keberadaan asam spesies. Atom Hidrogen
aktif akan menghapus atom Klor dari polimer molekul, membentuk asam klorida (HCl). HCl
dihasilkan dapat mengakibatkan dechlorination atom Karbon yang berdekatan. The dechlorinated
Karbon atom kemudian cenderung untuk membentuk ikatan ganda, yang dapat diserang dan
dirusak oleh ozon, seperti karet degradasi dijelaskan di atas (Nicholson, J. W. 1997).
f. Degradasi Polyester
Degradasi poliester dapat terjadi tanpa kehadiran asam katalis yang menyebabkan degradasi
PVC. Selama hidrolisis air yang bertindak sebagai katalis reaktif bukan asam. Ini menyebabkan
degradasi terutama pada suhu dan tekanan tinggi selama pemrosesan.
Dalam proses ini molekul air akan menyerang CO-ikatan ester, memecah polimer setengah.
Molekul air akan terdisosiasi, dengan satu atom hidrogen membentuk kelompok asam karboksilat
pada atom karbon dengan oksigen berikatan ganda, sedangkan sisanya membentuk atom alkohol
di ujung rantai yang lain. Produk reaktif ini dapat juga menyebabkan degradasi lebih lanjut dari
rantai polimer. Pemotongan rantai ini rata-rata menurunkan berat molekul dari polimer,
menurunnya jumlah dan kekuatan ikatan antarmolekul serta tingkat keterlibatan. Ini akan
meningkatkan mobilitas rantai, menurunnya kekuatan polimer dan meningkatkan deformasi pada
tegangan rendah (Nicholson, J. W. 1997).
2. Degradasi Kimia Positif
a. Solvolisis atau daur ulang PET secara kimia (Sintesis dibenzil tereftalat melalui depolimerisasi
plastik poli(etilena tereftalate) sebagai alternatif daur ulang plastik bekas).
Plastik poli(etilena tereftalat) (PET) telah menjadi kebutuhan yang penting bagi kehidupan
manusia. Bahan ini biasanya dimanfaatkan sebagai fiber dan pengemas. Disamping itu juga
menjadi bagian pokok pada komponen eksterior dan interior bodi mobil. Komponen plastik
banyak menawarkan banyak keuntungan dibanding bahan lain seperti baja, paduan logam
nonferro, keramik dan gelas. Plastik bobotnya ringan, yang menyebabkan komponen lebih
ringan, mobil lebih ringan. Plastik dapat dicetak dengan mudah menjadi bentuk yang rumit.
Banyak produk plastik, khususnya yang digunakan untuk pengemas, memiliki periode pemakaian
yang pendek dan segera dibuang. Karena ada sebagian daerah yang kekurangan lahan untuk
penimbunan, suatu usaha pemberian insentif untuk pendaur ulang limbah telah diberikan untuk
mengurangi limbah yang ditimbun. Sedangkan produk kertas sekitar 20% dan wadah aluminium
30% telah didaur ulang, hanya 1 % plastik buangan yang didaur ulang. Terdapat beberapa faktor
yang memberikan sumbangan terhadap kecilnya daur ulang plastik saat ini. Harga plastik daur
ulang tidak kompetitif dibandingkan plastik “asli” yang dibuat dari petrokimia. Faktor kontribusi
lain melibatkan problem pemilahan (sorting) produk limbah plastik menjadi katagori yang
bervariasi. Jika pemilahan ini tidak dilakukan, produk yang dibuat dari campuran plastik yang
digunakan akan rendah mutunya (Owen, S. 1995).
b. Degradasi Nylon
Nylon merupakan salah satu polimer yang banyak ditemukan. Selain jelas digunakan dalam
industri tekstil untuk pakaian dan karpet, banyak nilon digunakan untuk membuat ban tali -
struktur bagian dalam ban kendaraan di bawah karet. Serat juga digunakan dalam tali, dan nilon
dapat dicampakkan ke dalam bentuk padat untuk roda gigi dan bantalan di mesin, misalnya.
Perusahaan kimia raksasa dari Amerika Serikat, Du Pont, berhasil mengembangkan teknologi
baru daur ulang untuk Nylon, yakni dengan menggunakan teknologi ammonolysis. Pilot plant
untuk melakukan riset daur ulang Nylon, ternyata jauh sebelumnya telah dibangun di wilayah
Ontario, tepatnya di kota Kingston, Kanada, demikian Du Pont menjelaskan. Pihak Du Pont
sendiri bahkan telah mengadakan riset dan pengembangan proses ammonolysis pada fasilitas riset
tersebut selama bertahun-tahun. Dan terakhir, sebelum mengaplikasikannya secara luas, Du Pont
merasa perlu untuk mengadakan test kelayakan terutama dari sudut pandang ekonomis metoda
baru tersebut. Untuk itulah, pada tahun 2000 ini, Du Pont juga telah menyelesaikan pembangunan
sarana yang lebih besar di kota Maitland yang juga terletak di wilayah Ontario. Sarana
demonstrasi daur ulang Nylon dalam skala besar ini, sebenarnya juga dimaksudkan untuk
memberikan sarana penilaian bagi khalayak industri secara luas terhadap metoda baru tadi
(Owen, S. 1995).
Metoda ammonolysis ini adalah metoda yang murni hasil riset milik Du Pont sendiri. Nylon
yang beredar di pasaran adalah Nylon PA6 dan Nylon PA66. Namun kenyataannya selama ini,
metoda daur ulang kimiawi untuk masing-masing jenis Nylon adalah saling berlainan. Sehingga
sebelum masing-masing didaur ulang, diperlukan proses pemisahan di antara kedua jenis Nylon
tersebut. Apalagi untuk jenis bahan seperti karpet Nylon (yang biasanya terbuat dari campuran
Nylon PA6 dan PA66), tidak ada metoda kimiawi yang bisa dipakai untuk mendaur-ulangnya.
Dan biasanya, bahan-bahan Nylon yang tidak bisa dipisahkan seperti ini, tidak didaur-ulang,
bahkan sebagian besar ditimbun di dalam tanah begitu saja. Proses ammonolysis yang ditemukan
Du Pont, adalah teknologi degradasi polimer yang berlaku untuk kedua jenis Nylon, PA6 dan
PA66. Disinilah letak perbedaannya. Jadi ketika Nylon yang akan didaur ulang dikumpulkan,
tidak diperlukan lagi proses pemisahan Nylon PA6 dan PA66. Metoda kimiawi daur ulang seperti
ini adalah metoda pertama di dunia, yang sangat dinanti-nantikan kehadirannya, terutama pada
‘era ISO 14000′ seperti sekarang ini. Hasil daur ulang Nylon dengan proses ammonolysis terbukti
menunjukkan kualitas yang serupa. Kualitas bahan yang homogen ini memungkinkan dan
memudahkan pemasaran kembali hasil daur ulang Nylon. Ini penting artinya dari sudut pandang
ekonomis. Namun yang jauh lebih penting lagi, proses daur ulang ini sangat besar artinya bagi
pelestarian lingkungan hidup, karena tidak perlu lagi penimbunan berbagai jenis Nylon ke dalam
tanah (Owen, S. 1995).
D. Cara dan Proses Degradasi PET
Sampel yang digunakan adalah botol minuman ringan sebagai sumber PET.
Prosedur sintesis dibenzil tereftalat dilakukan sebagai berikut bahwa Plastik PET dari botol
minuman ringan seberat 3,057 g yang telah dipotong-potong dimasukkan ke dalam labu alas
bulat 100 ml yang telah berisi batang magnet yang dilapisi teflon, 30 ml benzyl alkohol, dan
0,601 g zink asetat. Setelah condenser pendingin air dipasang, campuran diaduk dan direfluks
selama 20, 24, dan 28 jam. Campuran hasil dicuci dengan air terdistilasi 100 ml dan air
didekantasi dari campuran. Setelah penambahan 50 ml metanol ke dalam campuran hasil, lalu
didinginkan dalam ice bath untuk menghasilkan kristal putih dibenzil tereftalat belum murni yang
dikumpulkan melalui filtrasi isap. Produk ini dilarutkan dalam 100 ml metanol panas dan filtrasi
panas dilakukan untuk menghilangkan pengotor yang tak larut. Filtrat diuapkan hingga tinggal
separo pada hot plate dan dibiarkan mendingin pelan-pelan sampai temperatur kamar. Setelah
pendinginan lanjut dalam ice bath, produk yang telah dianggap murni dikumpulkan melalui
filtrasi isap dan dibiarkan sampai kering di udara. Data titik leleh zat hasil sintesis dibandingkan
dengan data literatur (titik leleh dibenzil tereftalat, DBT 96,5 – 97oC). Jika titik leleh DBT hasil
sintesis sama atau mendekati data ini maka dapat dikatakan sudah cukup murni. Dari spektra
FTIR akan diketahui puncak khas seperti gugus C=O, C=C, C-H alifatik, dan C-H aromatik ulur,
sedang dari RMN 1H dapat diketahui jumlah proton metilen dan aromatik serta multiplisitasnya.
Kromatografi lapis tipis diperlukan untuk mengetahui fraksi molekul yang ada dalam zat hasil
sintesis (Owen, S. 1995).
Sintesis dibenzil tereftalat dilakukan melalui degradasi poli(etilena tereftalat) secara refluks
dalam benzil alkohol pada temperatur 145-150 oC selama 20, 24, dan 28 jam menggunakan
katalis zink asetat. Hasil degradasi dimurnikan dengan rekristalisasi dalam metanol dan kemudian
titik leleh, spektra FTIR, RMN 1H, dan pemisahan secara TLC ditentukan. Titik leleh produk
degradasi selama 28 jam adalah 98-99oC. Berdasarkan spektra FTIR diketahui senyawa hasil
degradasi memiliki gugus OH dari benzil alkohol pengotor (3431,1 cm-1), C=O (1716,5 cm-1),
C-O (1272,9 cm-1), CHalifatik (sekitar 2950 cm-1), dan aromatik (sekitar 3050 cm-1), benzen
monosubstitusi (727,1 dan 696,3 cm-1), dan benzen disubstitusi (383,8 cm-1), sedangkan pada
spektra RMN 1H menunjukkan pergeseran kimia pada 8,2 ppm (s, 10H aromatik
monosubstitusi), 7,5 ppm (s, 9 H yaitu 4 H aromatik disubstitusi dan 5 H aromatik benzil
alkohol), 5,4 ppm(s, 1 H yang berikatan dengan O pada benzil alkohol), 4,8 ppm (s, 4 H metilen),
dan 2,9 ppm (s, 7 H dari pengotor lain). Pada lempeng TLC terlihat noktah tunggal pada hasil
degradasi selama 28 jam, yang dapat menunjukkan senyawa tunggal. Berdasarkan hasil
karakterisasi ini dapat disimpulkan bahwa senyawa hasil degradasi adalah dibenzil tereftalat yang
masih mengandung benzil alkohol dan pengotor lain. Sintesis dibenzil tereftalat (DBT) berhasil
dibuat melalui degradasi PET secara refluks dalam benzil alkohol dalam kondisi reaksi yaitu,
temperature 145-150oC, waktu 28 jam, dan tekanan atmosfer. Dibenzil tereftalat tersebut berupa
kristal berwarna putih dengan titik leleh 98 – 99oC (Schnabel, W. 1981).
 Perlindungan terhadap Degradasi Kimia
Kedua hambatan fisik dan kimia dapat digunakan untuk melindungi polimer dari degradasi
dibantu secara kimiawi. Penghalang fisik harus memberikan perlindungan terus-menerus, tidak
boleh bereaksi dengan polimer lingkungan, harus fleksibel sehingga dapat terjadi peregangan dan
juga harus mampu untuk menumbuhkan (setelah memakai proses). Penghalang kimia harus
sangat reaktif dengan lingkungan sekitar polimer sehingga penghalang bereaksi dengan kondisi
lingkungan daripada polimer itu sendiri. Penghalang ini melibatkan penambahan bahan ke dalam
campuran polimer selama fabrikasi dari polimer. Karena ini, tambahan penghalang harus
memiliki kelarutan yang cocok, harus secara ekonomi layak dan harus tidak menghambat proses
produksi. Untuk penghalang harus diaktifkan, penambahan harus berdifusi ke permukaan dan jadi
cocok difusivitas juga diperlukan. Ada empat teori tentang bagaimana hambatan jenis ini
melindungi bahan polimer (Schnabel, W. 1981)..
 Proses Analisis Gugus Fungsi Polimer dengan FTIR (Fourier Transform Infrared)
Jika seberkas sinar inframerah dilewatkan pada suatu sampel polimer, maka beberapa
frekuensinya diabsorpsi oleh molekul sedangkan frekuensi lainnya ditransmisikan. Transisi
yang terlibat pada absorpsi IR berhubungan dengan perubahan vibrasi yang terjadi pada
molekul. Jenis ikatan yang ada dalam molekul polimer (C-C, C=C, C-O, C=O) memiliki
frekuensi vibrasi yang berbeda. Adanya ikatan tersebut dalam molekul polimer dapat
diketahui melalui identifikasi frekuensi karakteristik sebagai puncak absorpsi dalam
spektrum IR (Schnabel, W. 1981).
Dengan membandingkan spektrum FTIR dari poliuretan yang tidak dibiodegradasi
dengan poliuretan yang dibiodegradasi menunjukkan bahwa untuk poliuretan yang
mengalami proses biodegradasi terjadi penghilangan puncak serapan pada daerah bilangan
gelombang sekitar 1700 dan 1720 cm-1 yang merupakan ciri khas untuk suatu poliuretan
dalam hal ini gugus uretan – NHCOO. Hilangnya puncak serapan gugus uretan menjadi
petunjuk bahwa gugus fungsi tersebut merupakan sumber nutrisi bagi mikroorganisme.
Antara spektrum FTIR poliuretan yang diinkubasi dalam lumpur aktif dengan yang
diinkubasi dalam P.aeruginosa menunjukkan pola yang mirip yaitu hilangnya puncak
serapan gugus fungsi uretan (Eli Rohaeti dkk, 2005). Ini menjadi petunjuk bahwa untuk
kedua jenis mikroorganisme yang dipilih, gugus fungsi uretan merupakan sumber nutrisi
bagi keduanya. Namun apabila ditinjau dari data kehilangan massa poliuretan yang
diinkubasi dalam lumpur aktif dengan yang diinkubasi dalam P. aeruginosa menunjukkan
bahwa untuk poliuretan yang diinkubasi dalam lumpur aktif menghasilkan data kehilangan
massa total lebih tinggi daripada poliuretan yang diinkubasi dalam P.aeruginosa. Kedua data
tersebut menjadi petunjuk bahwa setelah semua gugus fungsi habis dimakan
mikroorganisme selanjutnya unit ulang – CH2CH2O- yang berasal dari bagian polietilen
glikol (PEG) dapat pula menjadi sumber nutrisi bagi mikroorganisme (Schnabel, W. 1981).
Spektrum FTIR poliuretan dari PEG 400 dan MDI setelah biodegradasi menunjukkan
serapan hampir sama dengan serapan sebelum biodegradasi namun terjadi sedikit perubahan
intensitas serapan. Serapan –NH di daerah 3000 cm-1 - 3500 cm-1 mengalami penurunan
intensitas dan serapan –C-O uretan di daerah 1020,37 cm-1 berkurang sedikit. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah gugus uretan dalam poliuretan sedikit berkurang. Serapan –
N=C=N-/ karbodiimida di daerah 2130,14 cm-1 berkurang dibandingkan dengan sebelum
biodegradasi, serapan –N=C=O di daerah 2234,63 cm -1 tetap ada dengan intensitas kecil,
serapan CO2 di daerah 2359,95 cm-1 bertambah setelah biodegradasi (Eli Rohaeti dan Senam,
2008). Gugus –N=C=N- dapat bereaksi dengan air dari udara maupun media melalui reaksi
hidrolisis menjadi gugus urea seperti pada Gambar 1.

Karbodiimida Urea
Gambar 1. Reaksi gugus karbodiimida dengan air menjadi gugus urea Adanya gugus urea
menambah kerapatan di permukaan poliuretan, sehingga CO2 semakin tertahan di dalam
poliuretan dan hanya sedikit yang lepas ke udara. Selain itu penguraian gugus uretan di
dalam poliuretan menyebabkan penambahan CO2 di dalam poliuretan. Kenyataan ini
menyebabkan serapan CO2 dari poliuretan bertambah. Penambahan serapan CO 2 bisa
disebabkan juga pada saat analisis sampel dengan spektrofotometer FTIR masih terdapat gas
CO2 yang dihasilkan dari reaksi gugus-gugus isosianat dari MDI yang berlebih di permukaan
sampel poliuretan (Schnabel, W. 1981).

Anda mungkin juga menyukai