disusun oleh:
TAHUN 2020
LAPORAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
CHOLEDOCHOLITIASIS POST OP LAPARATOMI
RUANG MERAK 1 RSUP DR. KARIADI SEMARANG
disusun oleh :
20952434
Disetujui Oleh
Titik Setyowati, S.Kep., Ns. Joko Yusmanto, S.Kep., Ns. Theresia Ika S., S.Kep., Ns
Evaluator
NIP. 196908021994032001
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat
diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan
autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 %
pria. Angka kejadian cholelithiasis dan saluran empedu umum ditemukan, bahkan
dapat membutuhkan tindakan pembedahan dan dapat mengancam jiwa. Penyakit
ini berhubungan dengan inflamasi kalkuli. Pada banyak kasus, penyakit saluran
empedu dan kandung empedu terjadi pada usia pertengahan. Usia antara 20-50
tahun , enam kali lipat tetapi insidensi antara laki-laki dan perempuan sama di atas
usia 50 tahun.
Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti,
karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala
dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG,
atau saat operasi untuk tujuan yang lain.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG,
maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini
sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya
peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi
morbiditas dan moralitas. Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan
gejala dan keluhan bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus.
Oleh karena itu gambaran klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari
yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa
gejala (silent stone).
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penyebab cholethiasis, tanda gejala, patofisiologi,
penatalaksanaan serta masalah keperawatan yang muncul pada kasus
choledocholithiasis
2. Tujuan Khusus
a. mengetahui dan memahami definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
penatalaksanaan dan Asuhan keperawatan pada Koledokolitiasis.
b. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan asuhan keperawatan
BAB II
KONSEP DASAR
A. Definisi Kolelitiasis
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu
atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011).
Batu empedu bisa terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik,
atau saluran empedu intra hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja
disebut kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik
(duktus koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran
empedu intra hepatik disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut
hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis.
Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk
suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu atau di
dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya. Sinonimnya dari batu empedu
adalah kolelitiasis, gallstones, dan biliary calculus (Trias, 2014).
D. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis
dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko
terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,
diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama
untuk pengembangan batu empedu kolesterol.
4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu.
Kondisi yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan
(medulla spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total
parenteral (TPN), dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan
kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass
lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu,
serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker
prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat
fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui
sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol.
Analog somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu
dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.
6. Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik.
Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu.
Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya
adalah turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar
identik fraternal.
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian
pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan
pembentukan mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler
sebagai pusat presipitasi.
9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan
atau kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan
agen pengikat kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan
konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
10. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
11. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
E. Manifestasi Klinik
1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien
yang benar-benar mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya
yang membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi
secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya
menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin
ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi
untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami
dua jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung
empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan
empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis.
Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang
samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik
bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri
pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan
berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam
dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan
muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah memakan
makanan dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan
ini cenderung meningkat frekuansi dan intensitasnya. Pasien akan membolak-
balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak mampu menemukan posisi yang
nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik
melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung
empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya
saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu
akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan
sepuluh bagian kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang
mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam,
dam menghambat pengembangan rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian
morfin dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu
dihindari.
3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu
dengan presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus
koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke
duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit
dan membran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan
gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.
4. Prubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak
kelabu, dan biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K
yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi
vitamin-vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K
dapat mengganggu proses pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus,
kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera
mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat
saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan
perforasi disertai peritonitis generalisata.
F. Patofisiologi
Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada
umumnya merupakan satu proses yang bersifat multifaktorial. Kolelitiasis
merupakan istilah dasar yang merangkum tiga proses litogenesis empedu utama
berdasarkan lokasi batu terkait :
Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)
Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus)
Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal
percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri)
Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe
berpigmen pada dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang
berbeda sehinggakan patofisiologi batu empedu turut terbagi atas:
Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam
kenodeoksikolik.
Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik
dan asam litokolik.
Asam empedu tertier yang terdiri atas asam
ursodeoksikolik.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu
didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga
kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan
akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar
protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan
absorbs vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang
lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup
kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
3. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi
dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat
sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar di fleksura hepatika. Walaupun teknik ini murah,
tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.
4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus.
Disamping itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi
ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah
berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan
distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang
dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara didalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan
merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan
mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic
shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun
demikian, manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada
penelitian kami yang mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US
didapatkan sebesar 40%, spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi
BSE disebabkan : a) bagian distal saluran empedu tempat umumnya batu
terletak sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan kolon dan b)
saluran empedu yang tidka melebar pada sejumlah kasus BSE.
5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun
untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat
digunakan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan
kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya,
berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung
iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu
diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh
bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak
pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik,
muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus,
ada reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tertentu tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan
ultrasonografi.
6. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)
Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung
yang hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini
meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus
hingga mencapai duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke
dalam duktus koledokus dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta
evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung
struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal
untuk mengambil batu empedu.
7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)
Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara
langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras
yang disuntikkan relative besar, maka semua komponen dalam system bilier
tersebut, yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang
doktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis
bentuknya dengan jelas.
8. Computed Tomografi (CT)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk
menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan
koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding
USG.
9. Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP)
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan
akut nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif
dan diit, dan jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan
farmakoterapi, prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu
sembuh dengan istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesic
dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda
dan evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi
pasien semakin memburuk.
b. Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang
yang tidak mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan
kolesterol bilier, sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis
harus ditingkatkan bertahap yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek
samping pada pemberian asam kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher
putih. Doasisnya 8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika
pasien mengalami kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar
30% batu radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada
menggunakan asam kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada.
Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari
dangan 7,5 mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama
efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol,
chenofalk) telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen
yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam
ursodeoksikolat dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang
menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis yang lebih
rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah
menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi
desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi besarnya,
batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah pembentukannya.
Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12 bulan
untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien
dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi
ini dilakukan pada pasien yang menolak terapi pembedahan atau
dianggap terlalu beresiko untuk menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-
50% pasien sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat
ini dengan dosis rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan
tersebut. Jika gejala akut kolesistisis berlanjut atau timbul kembali,
intervensi bedah atau litotropis merupakan indikasi.
2. Pengangkatan batu tanpa pembedahan
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan
melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam
kandung empedu, atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-
tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan,
atau bisa juga melalui endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang
diarahkan pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah
fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan
listrik, yaitu piezoelektrik, atau muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan
ke dalam tubuh lewat rendaman air atau kantong yang berisi cairan.
Gelombang kejut yang dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu
empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya
akan bergerak spontan dari kandung empedu atau duktus koledokus dan
dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam empedu
yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau
duktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound,
laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan
diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris
dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.
3. Penatalaksanaan Pembedahan Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
batu empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus
biliaris, terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang
dilaporkan untuk prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini,
yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini
mencakup kolesistektomi segera dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam
masa perawatan di rumah sakit yang sama. Jika tidak ada bukti kemajuan
setelah 24 jam penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda penurunan klinis,
maka kolesistektomi darurat harus dipertimbangkan.
4. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat
luka insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk
mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain
mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang
ringan dan waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk
meneruskan bentuk penanganan ini.
5. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli
bedah mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis
akut dan dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara
toritis dari prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi
mengurangi perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien
dapat cepat bisa kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik.
Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi mayor, seperti misalnya cidera
duktus biliaris, yang mungkin terjadi lebih sering selama kolisistektomi
laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin merupakan ukuran pengalaman
ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang berkaitan
dengan modalitas baru.
6. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan
operasi yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system
bilier tidak jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta
getah empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter
untuk drainase diikat dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture).
Kateter itu dihubungkan dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran
getah empedu disekitar kateter atau perembesan getah empedu ke dalam
rongga peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali
lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah
kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan
sampai setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit pasien yang
mendasarinya.
7. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus
menjalani tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini
mencakup para penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-
pasien gagal ginjal, paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah
jarum yang halus ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam
kandung empedu dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah
empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat,
dan kemudian sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut
untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu
dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan
kolesistisi berkurang atau menghilang dengan segera.
8. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah
kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema
mereda. Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung
empedu biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi
dilakukan bersama-sama kolesistektomi.
I. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi
ada dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu
dapat menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara
menetap makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel
dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi
oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya
kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian
dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat
terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada
saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.
Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui
terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan
menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa penjelasan tentang komplikasi
kolelitiasis:
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu
berdinding tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar
pasien mengeluh efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung
empedu dapat menyebabkan kolesistisi akut.
2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh
batu yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu
oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin
dalam empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat
proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi
kemudian dapat terjadi supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah
empiema, nekrosis, dan perforasi.
a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau
kolesistisis supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi
semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
b. Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan
perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik,
sinus Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik
lemah bagi ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang
merupakan bagian vesica biliaris yang paling kurang baik
vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas peritonialis bebas jarang
terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya perlekatan dengan organ-
organ yang berdekatan dengan pembentukan abses local. Ruptura ke
dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.
c. Pritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok
parah. Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami
peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada
dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon
transversum, dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena
tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna.
Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung empedu dan organ-organ
tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54%
disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh
organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi
dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula
vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus
bergerak menutupi ampula vetri.
J. Asuhan Keperawatan
Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang
sistematik untuk merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang
melalui lima fase berikut yaitu pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan,
implementasi, evaluasi.
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register,
diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut
untuk menentukan tindakan selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan
jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul
meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien
dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri
abdomen pada kuadran kanan atas.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode
PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien,
quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh
klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu
posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien
merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan
nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu
3) Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah
di riwayat sebelumnya.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis.
c. Pengkajian
5) Nyeri/ Kenyamanan :
Subyektif : Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu.
Nyeri apigastrium setelah makan. Nyeri tiba-tiba dan mencapai
puncak setelah 30 menit.
6) Respirasi :
Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa
tak nyaman.
7) Keamanan :
Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus ,
cenderung perdarahan ( defisiensi Vit K ).
8) Belajar mengajar :
Obyektif : Pada keluarga juga pada kehamilan cenderung mengalami
batu kandung empedu. Juga pada riwayat DM dan gangguan /
peradangan pada saluran cerna bagian bawah.
d. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
1) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.
2) B2-Blood
Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon
inflamasi.
3) B3-Brain
4) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
5) B5-Bowel
Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris
sehingga pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
6) B6-Bone
2. Diagnosa
a. Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu.
b. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d
Ketidakmampuan Pemasukan Nutrisi.
c. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan Aktif.
Ketidakseimbang Pengelolaan Nutrisi : Bantuan atau Status Gizi: Nilai Gizi : Keadekuatan
an nutrisi kurang pemberian asupan diet makanan dan zat gizi yang dikonsumsi tubuh.
dari kebutuhan cairan yang seimbang. Dibuktikan dengan indikator berikut :
tubuh 1. Pantau kandungan nutrisi dan 1. Asupan mkanan dan cairan oral
kalori pada catatan asupan 2. Mempertahankan massa tubuh
2. Berikan informasi yang tepat dan berat badan dalam batas
tentang kebutuhan nutrisi dan normal
bagaimana memenuhinya. 3. Melaporkan keadekuatan tingkat
3. Tentukan dengan melakukan energi
kolaborasi bersama ahli gizi,
secara tepat jumlah kalori dan
jenis zat gizi yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi (khususnya untuk pasien
dengan kebutuhan energi tinggi,
seperti pasien pascoperasi dna
luka bakar, trauma, demam, dan
luka).
4. Berikan pasien minuman dan
camilan bergizi, tinggi protein,
tinggi kalori yang siap
dikonsumsi, bila memungkinkan.
Hipertermi b.d 1. Observasi suhu badan pasien. Suhu badan dalam batas normal
kerusakan kontrol 2. Berikan kompres mandi hangat, (36,60-37,50 C),turgor kulit baik, kulit
suhu sekunder hindari penggunaan alkohol. tidak terlihat kemerahan,
akibat inflamasi. 3. 3.Tingkatkan intake nutrisi
pasien.
4. 4.Kolaborasi pemberian
antipiretik.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama Pasien (Inisial) : Ny. A
No. Rekam Medis : C832249
No. Register : 110443640
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Brebes, 19 Januari 1987
Usia : 33 Tahun
Alamat : Brebes
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Debitur : JKN Non PBI
Diagnosa Medis : Choledocholitiasis
Tanggal Masuk : 22 Oktober 2020
DPJP : dr. Erik Prabowo, Sp.B(K), M.Si.Med.
PPJP : Theresia Ika Septiana, S.Kep., Ns.
Ruang : Merak lantai 1
2. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan
Pasien mengeluh nyeri perut dibagian perut (luka bekas operasi).
b) Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan perut membesar, nyeri dan tubuh berwarna
kuning pada tanggal 22 Oktober 2020 pukul 20.34 dengan program
operasi laparatomi eksplorasi tanggal 5 November 2020 pukul 08.00.
setelah operasi pasien dipindah ke ICU untuk pemantauan post op dan
dipindah Kembali ke ruang Merak lantai 1 pada tanggal 9 November
2020.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah menjalani operasi pada umur 3 tahun dengan indikasi kista
kantung empedu. Selama ini pasien tidak pernah mempunyai penyakit
degeneratif seperti hipertensi, DM, dll.
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada yang mempunyai penyakit DM, hipertensi
ataupun batu empedu / kista kantung empedu seperti yang dialami pasien.
3. Pemeriksaan Fisik
KU : baik Tanda-tanda vital
Kesadaran : composmentis TD : 120/85 mmHg
BB sebelum : 45kg Nadi : 98 x/menit
Sekarang : 38 kg Suhu : 37,7 0C
TB : 150 cm RR : 2 x/menit
IMT : BB (kg) SpO2 : 93%
[TB (m)]2
: 38
(1,5)2
: 16,9 (sangat kurus)
Head to Toe
a. Kepala
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (+), pupil isokor,
reflek cahaya (+/+)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), polip (-),
perdarahan (-), lendir (-), sumbatan (-), terpasang NGT
produksi hijau kecoklatan 500 cc
Mulut : mukosa kering
b. Leher : Tampak simetris, limfonodi tidak teraba, pembesaran
kelenjar tiroid (-)
c. Thorak :
Inspeksi : Retraksi (-), deformitas (-)
Palpasi : gerak nafas simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi : ronkhi basah
d. Abdomen :
Inspeksi : ada luka Panjang ± 10 cm secara vertical di atas umbilicus.
Di kuadran kanan bawah ada luka terpasang drain.
Auskultasi : peristaltik (+) 10 x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (+) luka operasi VAS 4, supel
e. Ekstremitas:
Atas : gerak aktif (+/+), gerak pasif (+/+). Udem (-/-), akral dingin,
turgor menurun.
Bawah : gerak aktif (+/+), gerak pasif (+/+). Udem (+/+), akral dingin,
turgor menurun.
f. Genetalia : bersih, terpasang DC
e. Nyeri/ Kenyamanan :
Subyektif : P : bertambah pada saat bergerak, duduk dan batuk,
berkurang pada saat istirahat (tidur)
Q : dirasakan hilang timbul seperti ditusuk-tusuk
R : Nyeri dibagian perut
S: skala 4
T : durasi ± 1 menit.
Obyektif : pasien tampak bersikap protektif, meringis kesakitan Ketika
bergerak
f. Respirasi :
Obyektif : pernafasan cepat, RR 22 x/menit, tidak mampu mengeluarkan
sekret.
Inspeksi : Retraksi (-), deformitas (-)
Palpasi : gerak nafas simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi : ronkhi basah
g. Keamanan :
Obyektif : Jaundice, kulit kering.
h. Belajar mengajar :
Obyektif : pemahaman pasien dan keluarga mudah dan terjalin komunikasi
yang baik
B. Analisa Data
Data Masalah keperawatan
DS : pasien mengeluh batuk berlendir dan sesak napas Bersihan jalan napas tidak efektif
DO : SPO2 93%, pasien tampak lemas, RR 22
x/menit, terpasang O2 nasal kanul 3L, suara
auskultasi paru ronkhi basah
DS : pasien mengeluh nyeri Nyeri akut
P : bertambah pada saat bergerak, duduk dan
batuk, berkurang pada saat istirahat (tidur)
Q : dirasakan hilang timbul seperti ditusuk-
tusuk
R : Nyeri dibagian perut
S: skala 4
T : durasi ± 1 menit.
DO : pasien tampak kesakitan dan takut bergerak
TD : 120/85 mmHg
Nadi : 98 x/menit
RR : 22 x/menit
DS : pasien mengeluh mual muntah, tidak nafsu makan Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
DO : porsi makan/minum 3x/hari diit sari kacang kebutuhan tubuh
hijau dan air gula dari RS sisa 2/3 porsi
BB sebelum : 45kg
Sekarang : 38 kg
TB : 150 cm
IMT : 16,9 (sangat kurus)
C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka (faktor mekanik) sekunder
dengan tindakan laparatomi
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret dijalan
napas.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan pemasukan nutrisi.
NAMA : Ny. A
NO.RM : C832249
RENCANA PELAYANAN PASIEN TGL LAHIR: 19/01/1987
NO.REGISTER: 11043640
UMUR: 33 TH 9 BLN 4 HR
Diagnosis: Choledocholitiasis
PPJP / petugas
Kebutuhan yang yang Tanda Tercapai / tidak Tanda
Tanggal Target capaian individu Tanggal
diidentifikasi bertanggungjawa tangan tercapai tangan
b
Nama : Ny. A
No.Rm : C832249
Tgl Lahir: 19/01/1987 Umur: 33 Th 9 Bln
No.Register: 11043640
CATATAN KEPERAWATAN Nama DPJP : Erik Prabowo, dr, Sp.B
Nama PPJP :Theresia Ika Septiana,S.Kep.
Ns.
Ruang Rawat: Merak Lt 1
Tanggal
Perawat Catatan Tindakan Keperawatan
jam
Nama
Catatan Kemajuan, Rencana Tindakan dan Terang &
Tanggal Jam Profesi
Terapi Tanda
Tangan
S: pasien mengatakan masih lemas, mual muntah
± 4x, sari kacang hijau dari RS hanya masuk
sedikit
10/11/202 12.3 S : Pasien mengatakan nyeri di perut luka bekas Perawat Bella
0 0 operasi
P : saat bergerak, batuk dan duduk
Q : hilang timbul seperti ditusuk-tusuk
R : perut
S : skala 4
T : durasi ± 1 menit
P:
- Berikan edukasi batuk efektif
- Anjurkan mengonsumsi minuman
hangat
- Atur posisi semi fowler atau fowler
11/11/202 12.3 S : Pasien mengatakan nyeri di perut luka bekas Perawat Bella
0 0 operasi
P : saat bergerak, batuk dan duduk
Q : hilang timbul seperti ditusuk-tusuk
R : perut
S : skala 3
T : durasi ± 1 menit
P:
P:
- Berikan edukasi batuk efektif
- Anjurkan mengonsumsi minuman
hangat
- Atur posisi semi fowler atau fowler
12/11/202 12.3 S: pasien mengatakan masih lemas, sari kacang Perawat Bella
0 0 hijau dari RS hanya masuk sedikit
P:
P:
- Berikan edukasi batuk efektif
- Anjurkan mengonsumsi minuman
hangat
- Atur posisi semi fowler atau fowler
S: pasien mengatakan diit sari kacang hijau dari
RS sudah diminum 2/3 porsi
P:
- Infus TPN
- Diit boost optimum 100ml
- Diit sari kacang hijau dan air gula via
oral
- Anjurkan konsumsi sedikit tapi sering
S : Pasien mengatakan nyeri di perut luka bekas
operasi
P : saat bergerak, batuk dan duduk
Q : hilang timbul seperti ditusuk-tusuk
R : perut
S : skala 2
T : durasi ± 1 menit
P:
DAFTAR PUSTAKA