Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


CHOLEDOCHOLITIASIS POST OP LAPARATOMI
DI RUANG MERAK 1 RSUP Dr. KARIADI SEMARANG

disusun oleh:

Bella Maulia Indah K.


20952434

PROGRAM ORIENTASI PEGAWAI BARU

RSUP Dr. KARIADI SEMARANG

TAHUN 2020
LAPORAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
CHOLEDOCHOLITIASIS POST OP LAPARATOMI
RUANG MERAK 1 RSUP DR. KARIADI SEMARANG

disusun oleh :

Bella Maulia Indah K.

20952434

Disetujui Oleh

Kepala Ruang Kepala Ruang Preceptor

Titik Setyowati, S.Kep., Ns. Joko Yusmanto, S.Kep., Ns. Theresia Ika S., S.Kep., Ns
Evaluator

Tri Lestari, S.Kep., Ns

NIP. 196908021994032001
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat
diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan
autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 %
pria. Angka kejadian cholelithiasis dan saluran empedu umum ditemukan, bahkan
dapat membutuhkan tindakan pembedahan dan dapat mengancam jiwa. Penyakit
ini berhubungan dengan inflamasi kalkuli. Pada banyak kasus, penyakit saluran
empedu dan kandung empedu terjadi pada usia pertengahan. Usia antara 20-50
tahun , enam kali lipat tetapi insidensi antara laki-laki dan perempuan sama di atas
usia 50 tahun.
Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti,
karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala
dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG,
atau saat operasi untuk tujuan yang lain.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG,
maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini
sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya
peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi
morbiditas dan moralitas. Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan
gejala dan keluhan bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus.
Oleh karena itu gambaran klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari
yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa
gejala (silent stone).
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penyebab cholethiasis, tanda gejala, patofisiologi,
penatalaksanaan serta masalah keperawatan yang muncul pada kasus
choledocholithiasis
2. Tujuan Khusus
a. mengetahui dan memahami definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
penatalaksanaan dan Asuhan keperawatan pada Koledokolitiasis.
b. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan asuhan keperawatan
BAB II
KONSEP DASAR

A. Definisi Kolelitiasis
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu
atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011).
Batu empedu bisa terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik,
atau saluran empedu intra hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja
disebut kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik
(duktus koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran
empedu intra hepatik disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut
hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis.
Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk
suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu atau di
dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya. Sinonimnya dari batu empedu
adalah kolelitiasis, gallstones, dan biliary calculus (Trias, 2014).

Gambar. Gambaran batu dalam kandung empedu dan saluran empedu

B. Anatomi Fisiologi Kandung Empedu


Kandung empedu merupakan kantong otot kecil yang berfungsi untuk
menyimpan cairan empedu (cairan pencernaan berwarna kuning kehijauan yang
dihasilkan oleh hati). Kandung empedu memiliki bentuk seperti buah pir dengan
panjang 7-10 cm dan merupakan membran berotot. Terletak didalam fossa dari
permukaan visceral hati. Kandung empedu terbagi kedalam sebuah fundus, badan
dan leher.
Bagian-bagian dari kandung empedu, terdiri atas:
1. Fundus vesikafelea, merupakan bagian kandung empedu yang paling akhir
setelah korpus vesikafelea
2. Korpus vesikafelea, bagian dari kandung empedu yang didalamnya berisi
getah empedu. Getah empedu adalah suatu cairan yang disekeresi oleh sel
hati sebanyak 500-1000 cc setiap harinya, sekresinya berjalan terus menerus,
jumlah produksi cairan empedu dapat meningkat pada saat mencerna lemak.
3. Leher kandung empedu. Merupakan saluran pertama tempat masuknya getah
empedu ke badan kandung empedu lalu berkumpul dan dipekatkan dalam
kandung empedu.
4. Duktus sistikus. Panjangnya kurang lebih 3 ¾ cm. berjalan dari leher kandung
empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk saluran
empedu ke duodenum
5. Duktus hepatikus, saluran yang keluar dari leher.
6. Duktus koledokus saluran yang membawa empedu ke duodenum.

Fungsi Kandung Empedu

Kandung empedu memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan cairan


empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada didalamnya dengan cara
mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang
dihasilkan oleh sel hati. Pada individu normal, cairan empedu mengalir ke
kandung empedu pada saat katup Oddi tertutup.
Dalam kandung empedu, cairan empedu dipekatkan dengan mengabsorpsi
air. Derajat pemekatannya diperlihatkan oleh peningkatan konsentrasi zat-zat
padat. Cairan empedu yang dihasilkan oleh hati mengandung 97% air, sedangkan
kadar rata-rata air yang terkandung dalam cairan empedu yang telah tersimpan
didalam kandung empedu adalah 89%. Bila saluran empedu dan duktus sistikus
dijepit, maka tekanan dalam saluran empedu akan naik sampai kira-kira 30 mm
cairan empedu dalam 30 menit dan sekresi empedu berhenti. Akan tetapi bila
saluran empedu dijepit dan duktus sistikus dibiarkan terbuka, air akan diabsorspi
dalam kandung empedu dan tekanan intrafilier naik hanya kira-kira 100 mm
cairan empedu selama beberapa jam.
Cairan yang disekresikan oleh sel-sel hepatosit dalam organ hati adalah
cairan yang berwarna kekuningan atau kecoklatan atau kuning kehijauan yang
disekresikan oleh sel-sel hati. Setiap hari sel-sel hati mensekresikan 800-1000 ml
cairan empedu dengan pH sekitar 7,6-8,6. Cairan empedu sebagian besar terdiri
atas air, garam-garam empedu, kolesterol, dan sebuah fosfolipid (lesitin), pigmen-
pigmen empedu dan beberapa ion-ion, serta zat-zat lain yang ada dalam larutan
elektrolit alkali yang mirip dengan getah pankreas.
Fungsi empedu adalah untuk membuang limbah tubuh tertentu (terutama
pigmen hasil pemecahan sel darah merah dan kelebihan kolesterol) serta
membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Garam empedu menyebabkan
meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak,
sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang berasal dari
penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam
empedu) dan dibuang ke dalam empedu.
1. Proses Pembentukan Empedu
Empedu sebagian besar adalah hasil dari excretory dan sebagian adalah
sekresi dari pencernaan. Garam-garam empedu termasuk kedalam kelompok
garam natrium dan kalium dari asam empedu yang berkonjugasi dengan
glisin atau taurin suatu derifat/turunan dari sistin, mempunyai peranan
sebagai pengemulsi, penghancuran dari molekul-molekul besar lemak
menjadi suspensi dari lemak dengan diameter ± 1 mm dan absorpsi dari
lemak, tergantung dari system pencernaannya. Terutama setelah garam-garam
empedu bergabung dengan lemak dan membentuk Micelles, kompleks yang
larut dalam air sehingga lemak dapat lebih mudah terserap dalam system
pencernaan (efek hidrotrofik). Ukuran lemak yang sangat kecil sehingga
mempunyai luas permukaan yang lebar sehingga kerja enzim lipase dari
pancreas yang penting dalam pencernaan lemak dapat berjalan dengan baik.
Kolesterol larut dalam empedu karena danmya garam-garam empedu dan
lesitin.
2. Komposisi Getah Empedu
Getah empedu adalah suatu cairan yang disekresi setiap hari oleh sel hati
yang dihasilkan setiap hari 5000-1000 cc, sekresinya berjalan terus menerus,
jumlah prouksi meningkat sewaktu mencerna lemak. Empedu berwarna
kuning kehijauan \yang terdiri dari 97 % air, pigmen empedu dan garam-
garam empedu.
a. Pigmen empedu, terdiri dari biliverdin. Pigmen ini merupakan hasil
penguraian hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah
terdisintegrasi. Pigmen utamanya adalah bilirubin yang memberikan
warna kuning pada urine dan feses. Warna kekuningan pada jaringan
(jaundice) merupakan akibat dari peningkatan kadar bilirubin darah
dan ini merupakan indikasi kerusakan fungsi hati, peningkatan
destruksi sel darah merah, atau obstruksi duktus empedu oleh batu
empedu.
b. Garam-garam empedu, yang terbentuk dari asam empedu yang
berkaitan dengan kolesterol dan asam amino. Setelah diekskresi
kedalam usus garam tersebut direabsorbsi dari ileum bagian bawah
kembali kehati dan didaur ulang kembali, peristiwa ini disebut sebagai
sirkulasi enterohepatika garam empedu.

Fungsi dari garam empedu dalam usus halus adalah :

1. Mulsikan lemak, garam empedu mengemulsi globules lemak besar dalam


usus halus g kemudian dijadikan globules lemak lebih kecil dan area
permukaan yang lebih luas untuk kerja enzim.
2. Absorbsi lemak, garam empedu juga membantu mengabsorbsi zat terlarut
lemak dengan cara memfasilitasi jalurnya menembus membran sel.
3. Pengeluaran kolesterol dari tubuh, garam empedu berikatan dengan
kolesterol dan lesitin untuk membentuk agregasi kecil yang disebut
micelle yang akan dibuang melalui feses.
C. Klasifikasi
Berdasarkan komposisi kimiawi dan gambaran mikroskopiknya, batu
empedu dibagi menjadi tiga tipe utama oleh Suzuki dan Sato, yaitu batu kolesterol
(batu kolesterol murni, batu kombinasi, batu campuran), batu pigmen (batu
kasium bilirubinat, batu hitam atau pigmen murni), dan batu empedu yang jarang
(batu kalsium karbonat, dan batu kalsium asam lemak).
Menurut Hadi (2002) dan Shole S. (2013), batu empedu terbagi menjadi tiga tipe
yaitu:
1. Batu Kolesterol
a. Soliter (single cholesterol stone) atau batu kolesterol tunggal
Tipe batu ini mengandung kristal kasar kekuning-kuningan, pada foto
rontgen terlihat intinya. Bentuknya bulat dengan diameter 4 cm, dengan
permukaan licin atau noduler. Batu ini tidak mengandung kalsium
sehingga tidak dapat dilihat pada pemotretan sinar X biasa.
b. Batu kolesterol campuran
Batu ini terbentuk bilamana terjadi infeksi sekunder pada kandung empedu
yaitu mengandung batu empedu kolesterol yang soliter dimana pada
permukaannya terdapat endapan pigmen kalsium.
c. Batu kolesterol ganda
Jenis batu ini jarang ditemui dan bersifat radio transulen.
2. Batu pigmen
Pigmen kalkuli mengandung pigmen empedu dan berbagai macam kalsium
dan matriks dari bahan organik. Batu ini biasanya berganda, kecil, keras,
amorf, bulat, berwarna hitam atau hijau tua. Alasannya ± 10 % radioopaque.
3. Batu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (± 80 %), dan terdiri atas
kolesterol, pigmen empedu, berbagai garam kalsium dan matriks protein.
Biasanya berganda dan sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat
radioopaque.
Menurut Sjamsuhidajat (1997), Batu kolesterol mengandung paling sedikit
70% kolesterol, dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit dan
kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen.
Dapat berupa batu soliter atau multiple. Permukaanya mungkin licin atau
multifaset, bulat, berduri, dan ada yang seperti buah murbei.

Batu pigmen mengandung kurang dari 25% kolesterol, sering ditemukan


kecil-kecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat,
kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh.

D. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis
dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko
terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,
diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama
untuk pengembangan batu empedu kolesterol.
4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu.
Kondisi yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan
(medulla spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total
parenteral (TPN), dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan
kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass
lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu,
serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker
prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat
fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui
sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol.
Analog somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu
dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.
6. Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik.
Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu.
Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya
adalah turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar
identik fraternal.
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian
pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan
pembentukan mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler
sebagai pusat presipitasi.
9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan
atau kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan
agen pengikat kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan
konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
10. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
11. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.

E. Manifestasi Klinik
1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien
yang benar-benar mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya
yang membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi
secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya
menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin
ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi
untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami
dua jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung
empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan
empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis.
Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang
samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik
bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri
pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan
berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam
dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan
muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah memakan
makanan dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan
ini cenderung meningkat frekuansi dan intensitasnya. Pasien akan membolak-
balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak mampu menemukan posisi yang
nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik
melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung
empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya
saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu
akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan
sepuluh bagian kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang
mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam,
dam menghambat pengembangan rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian
morfin dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu
dihindari.
3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu
dengan presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus
koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke
duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit
dan membran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan
gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.
4. Prubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak
kelabu, dan biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K
yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi
vitamin-vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K
dapat mengganggu proses pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus,
kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera
mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat
saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan
perforasi disertai peritonitis generalisata.

F. Patofisiologi
Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada
umumnya merupakan satu proses yang bersifat multifaktorial. Kolelitiasis
merupakan istilah dasar yang merangkum tiga proses litogenesis empedu utama
berdasarkan lokasi batu terkait :
 Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)
 Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus)
 Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal
percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri)

Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe
berpigmen pada dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang
berbeda sehinggakan patofisiologi batu empedu turut terbagi atas:

1. Patofisiologi batu kolesterol


Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek
utama yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan:
a. Supersaturasi kolesterol empedu
Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol.
Pada metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke
dalam empedu akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki
aktivitas detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya
lesitin). Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel,
vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan
normal dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam
bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti
senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel dan tersusun
berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian hidrofobik
bertumpuk di bagian dalam misel.
Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi
kolesterol yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu
misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat
lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa
mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel
turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair
ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk
bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut
dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel.
Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan
batu empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi
untuk membentuk konformasi kristal.. Empedu yang tersupersaturasi
dengan kolesterol akan berwujud lebih dari satu fase yaitu dapat dalam
bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung
mengalami presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan
berkembang menjadi batu empedu.
Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada
dalam bentuk vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan
mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk vesikel multilamelar
(kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang
berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi
proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan bahwa
keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama
yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu
empedu.
Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling
utama yang menentukan litogenisitas empedu. Faktor-faktor yang
mendukung supersaturasi kolesterol empedu termasuk:
a. Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama
supersaturasi kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat
disebabkan oleh:
 Peningkatan uptake kolesterol hepatik
 Peningkatan sintesis kolesterol
 Penurunan sintesis garam empedu hepatik
 Penurunan sintesis ester kolestril hepatik

Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya


memiliki aktivitas koenzim A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat
(HMG-CoA) yang lebih tinggi dibanding kontrol. Aktivitas HMG-
CoA yang tinggi akan memacu biosintesis kolesterol hepatik yang
menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu. Hipersekresi
kolesterol mengakibatkan konsentrasi kolesterol yang melampau
tinggi dalam empedu hingga terjadi supersaturasi kolesterol dan ini
menfasilitasi pembentukan kristal kolesterol sesuai dengan
gambaran pada diagram keseimbangan fase.

Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu


sesuai dengan perannya sebagai pelarut kolesterol empedu.
Hiposintesis garam empedu misalnya pada keadaan mutasi pada
molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam empedu
ke dalam kanalikulus (disebut protein ABCB11) akan menfasilitasi
supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis empedu.
Komposisi dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana
terdapat tiga kelompok asam empedu utama yakni:

 Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam
kenodeoksikolik.
 Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik
dan asam litokolik.
 Asam empedu tertier yang terdiri atas asam
ursodeoksikolik.

Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu


tubuh (bile acid pool) dan masing-masing mempunyai sifat
hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang berbeda ini
akan mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik
asam empedu, semakin besar kemampuannya untuk menginduksi
sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu.
Kombinasi dari kedua-dua hal ini akan menjurus kepada empedu
yang litogenik. Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang
membentuk cadangan asam empedu tubuh akan mempengaruhi
CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam
empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam
empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu
umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan
cadangan asam deoksikolik yang lebih besar. Asam deoksikolik
bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI dengan
meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi.
Sebaliknya, asam ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan
asam empedu hidrofilik yang berperan mencegah pembentukan
batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan sekresi kolesterol.
Asam ursodeoksikolik turut menurunkan CSI dan memperpanjang
waktu nukleasi, diduga dengan cara melemahkan aktivitas protein
pronukleasi dalam empedu.

Sembilanpuluh lima persen dari pada fosfolipid epedu


terdiri atas lesitin. Sebagai komponen utama fosfolipid empedu,
lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi kolesterol.
Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein
ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid
(termasuk lesitin) ke dalam empedu terkait dengan perkembangan
kolelitiasis pada golongan dewasa muda.

2. Hipomotilitas kantung empedu


Motilitas kantung empedu normal merupakan satu proses fisiologik yang
mencegah litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu secara berterusan
dari kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik.
Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam
usus menerusi duktus empedu secara optimal dan ini menfasilitasi
pembentukan kristal kolesterol halus yang cenderung bernukleasi dan
berkembang menjadi batu empedu. Perlambatan evakuasi kantung empedu
membolehkan absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa secara
melampau hingga terjadi peningkatan konsentrasi empedu dan ini
mempergiat proses litogenesis empedu. Hipomotilitas kantung empedu dapat
terjadi akibat:
a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi: Perubahan tingkat
hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya
somatostatin dan estrogen. Perubahan kontrol neural (tonus vagus).
b. Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu
normal.
Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung
empedu pada batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun
begitu, diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat efek
toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding
kantung yang menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein
G. Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema sel otot tersebut.
Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek pada motilitas
kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola
makan terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan
volume residual kantung empedu yang lebih besar.
Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan
stasis kantung empedu. Stasis merupakan faktor resiko pembentukan
batu empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai dengan
perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan
gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan
gangguan pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam
empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian
supersaturasi.
Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur
bilier (biliary sludge) terutamanya pada penderita dengan kecederaan
medula spinalis, pemberian TPN untuk periode lama, terapi oktreotida
yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan
mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis
atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas
kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus.
Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan
batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami
aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga
dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu
empedu.
3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol
Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami
proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang
menghasilkan kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel
kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi.
Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh
keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa
protein tertentu yang dikandung oleh empedu. Penelitian in vitro model
empedu mendapatkan bahwa faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel
kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid
kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk
glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti
menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein
musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol,
fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan kolesterol
kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses
nukleasi.
Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem
empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N,
haptoglobin dan glikoprotein asam. Penelitian terbaru menganjurkan peran
infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori)
menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat
diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun
organik.2 Faktor antinukleasi termasuk protein seperti imunoglobulin A
(IgA), apoA-I dan apoA –II. Mekanisme fisiologik yang mendasari efek
untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan.
Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
proses kristalisasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu
nukleasi pada empedu penderita batu empedu telah terbukti lebih pendek
dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu nukleasi yang pendek
mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis
empedu.
4. Hipersekresi mukus di kantung empedu
Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian
prekursor yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model
empedu hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi
kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan
dalam memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu
evakuasi empedu dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam
mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat
yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat
ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan
namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.
5. Patofisiologi batu berpigmen
Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam
dan batu berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda.
a. Patofisiologi batu berpigmen hitam
Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi
blilirubin terkonjugat (khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu.
Pada keadaan hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga
mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin
terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase endogenik
membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu yang sama, defek pada
mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang dinding mukosa
kantung empedu atau menurunnya kapasitas “buffering” asam sialik dan
komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi kalsium
karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan
empedu dengan PH yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan
pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak
terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal
dan berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.
b. Patofisiologi batu berpigmen coklat
Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada
empedu, sesuai dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan
mikroskopik batu. Infeksi traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli,
Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti
Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis
mendukung pembentukan batu berpigmen.
Patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu.
Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim
glukuronidase, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat.
Peran ketiga-tiga enzim tersebut didapatkan seperti berikut:
 Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga
menyebabkan pembentukan bilirubin tak terkonjugat.
 Fosfolipase a menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam
stearik dan asam palmitik).
 Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak
terkonjugat.

Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan


senyawa kalsium dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat
terendap lalu berkristalisasi sehingga terbentuk batu empedu. Proses
litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi
kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri
diduga dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus yang
menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada musin endogenik.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu
didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga
kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan
akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar
protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan
absorbs vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang
lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup
kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
3. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi
dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat
sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar di fleksura hepatika. Walaupun teknik ini murah,
tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.
4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus.
Disamping itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi
ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah
berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan
distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang
dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara didalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan
merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan
mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic
shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun
demikian, manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada
penelitian kami yang mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US
didapatkan sebesar 40%, spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi
BSE disebabkan : a) bagian distal saluran empedu tempat umumnya batu
terletak sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan kolon dan b)
saluran empedu yang tidka melebar pada sejumlah kasus BSE.
5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun
untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat
digunakan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan
kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya,
berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung
iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu
diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh
bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak
pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik,
muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus,
ada reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tertentu tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan
ultrasonografi.
6. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)
Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung
yang hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini
meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus
hingga mencapai duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke
dalam duktus koledokus dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta
evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung
struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal
untuk mengambil batu empedu.
7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)
Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara
langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras
yang disuntikkan relative besar, maka semua komponen dalam system bilier
tersebut, yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang
doktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis
bentuknya dengan jelas.
8. Computed Tomografi (CT)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk
menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan
koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding
USG.
9. Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP)

H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan
akut nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif
dan diit, dan jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan
farmakoterapi, prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu
sembuh dengan istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesic
dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda
dan evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi
pasien semakin memburuk.
b. Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang
yang tidak mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan
kolesterol bilier, sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis
harus ditingkatkan bertahap yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek
samping pada pemberian asam kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher
putih. Doasisnya 8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika
pasien mengalami kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar
30% batu radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada
menggunakan asam kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada.
Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari
dangan 7,5 mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama
efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol,
chenofalk) telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen
yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam
ursodeoksikolat dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang
menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis yang lebih
rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah
menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi
desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi besarnya,
batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah pembentukannya.
Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12 bulan
untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien
dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi
ini dilakukan pada pasien yang menolak terapi pembedahan atau
dianggap terlalu beresiko untuk menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-
50% pasien sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat
ini dengan dosis rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan
tersebut. Jika gejala akut kolesistisis berlanjut atau timbul kembali,
intervensi bedah atau litotropis merupakan indikasi.
2. Pengangkatan batu tanpa pembedahan
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan
melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam
kandung empedu, atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-
tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan,
atau bisa juga melalui endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang
diarahkan pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah
fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan
listrik, yaitu piezoelektrik, atau muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan
ke dalam tubuh lewat rendaman air atau kantong yang berisi cairan.
Gelombang kejut yang dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu
empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya
akan bergerak spontan dari kandung empedu atau duktus koledokus dan
dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam empedu
yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau
duktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound,
laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan
diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris
dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.
3. Penatalaksanaan Pembedahan Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
batu empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus
biliaris, terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang
dilaporkan untuk prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini,
yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini
mencakup kolesistektomi segera dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam
masa perawatan di rumah sakit yang sama. Jika tidak ada bukti kemajuan
setelah 24 jam penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda penurunan klinis,
maka kolesistektomi darurat harus dipertimbangkan.
4. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat
luka insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk
mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain
mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang
ringan dan waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk
meneruskan bentuk penanganan ini.
5. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli
bedah mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis
akut dan dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara
toritis dari prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi
mengurangi perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien
dapat cepat bisa kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik.
Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi mayor, seperti misalnya cidera
duktus biliaris, yang mungkin terjadi lebih sering selama kolisistektomi
laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin merupakan ukuran pengalaman
ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang berkaitan
dengan modalitas baru.
6. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan
operasi yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system
bilier tidak jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta
getah empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter
untuk drainase diikat dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture).
Kateter itu dihubungkan dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran
getah empedu disekitar kateter atau perembesan getah empedu ke dalam
rongga peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali
lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah
kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan
sampai setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit pasien yang
mendasarinya.
7. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus
menjalani tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini
mencakup para penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-
pasien gagal ginjal, paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah
jarum yang halus ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam
kandung empedu dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah
empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat,
dan kemudian sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut
untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu
dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan
kolesistisi berkurang atau menghilang dengan segera.
8. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah
kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema
mereda. Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung
empedu biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi
dilakukan bersama-sama kolesistektomi.

I. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi
ada dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu
dapat menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara
menetap makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel
dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi
oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya
kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian
dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat
terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada
saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.
Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui
terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan
menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa penjelasan tentang komplikasi
kolelitiasis:
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu
berdinding tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar
pasien mengeluh efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung
empedu dapat menyebabkan kolesistisi akut.
2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh
batu yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu
oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin
dalam empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat
proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi
kemudian dapat terjadi supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah
empiema, nekrosis, dan perforasi.
a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau
kolesistisis supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi
semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
b. Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan
perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik,
sinus Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik
lemah bagi ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang
merupakan bagian vesica biliaris yang paling kurang baik
vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas peritonialis bebas jarang
terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya perlekatan dengan organ-
organ yang berdekatan dengan pembentukan abses local. Ruptura ke
dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.
c. Pritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok
parah. Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami
peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada
dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon
transversum, dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena
tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna.
Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung empedu dan organ-organ
tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54%
disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh
organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi
dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula
vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus
bergerak menutupi ampula vetri.

J. Asuhan Keperawatan
Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang
sistematik untuk merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang
melalui lima fase berikut yaitu pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan,
implementasi, evaluasi.
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register,
diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut
untuk menentukan tindakan selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan
jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul
meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien
dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri
abdomen pada kuadran kanan atas.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode
PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien,
quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh
klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu
posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien
merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan
nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu
3) Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah
di riwayat sebelumnya.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis.

c. Pengkajian

1) Aktivitas dan istirahat:


subyektif : kelemahan
Obyektif : kelelahan
2) Sirkulasi :
Obyektif : Takikardia, Diaphoresis
3) Eliminasi :
Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces
Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran
kanan atas, urine pekat .
4) Makan / minum (cairan)
Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit. Tidak ada toleransi makanan
lunak dan mengandung gas. Regurgitasi ulang, eruption, flatunasi.
Rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn). Ada peristaltik,
kembung dan dyspepsia.

Obyektif : Kegemukan. Kehilangan berat badan (kurus).

5) Nyeri/ Kenyamanan :
Subyektif : Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu.
Nyeri apigastrium setelah makan. Nyeri tiba-tiba dan mencapai
puncak setelah 30 menit.

Obyektif : Cenderung teraba lembut pada klelitiasis, teraba otot


meregang /kaku hal ini dilakukan pada pemeriksaan RUQ dan
menunjukan tanda marfin (+).

6) Respirasi :
Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa
tak nyaman.

7) Keamanan :
Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus ,
cenderung perdarahan ( defisiensi Vit K ).
8) Belajar mengajar :
Obyektif : Pada keluarga juga pada kehamilan cenderung mengalami
batu kandung empedu. Juga pada riwayat DM dan gangguan /
peradangan pada saluran cerna bagian bawah.

d. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
1) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.
2) B2-Blood
Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon
inflamasi.
3) B3-Brain
4) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
5) B5-Bowel
Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris
sehingga pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
6) B6-Bone
2. Diagnosa
a. Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu.
b. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d
Ketidakmampuan Pemasukan Nutrisi.
c. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan Aktif.

d. Hipertermi b.d kerusakan kontrol suhu sekunder akibat inflamasi.


3. Pathways Keperawatan
4. Intervensi Keperawatan

Diagnosa NIC NOC


Keperawatan
Nyeri akut Penatalaksanaan Nyeri : meringankan Nyeri: efek merusak dari nyeri
atau mengurangi nyeri sampai pada terhadap emosi dan perilaku yang
tingkat kenyamanan yang dapat diamati atau dilaporkan.
diterima oleh pasien. Dibuktikan dengan indikator berikut :
1. Lakukan pengkajian nyeri yang 1. Pasien akan melapor bahwa nyeri
komprehensif meliputi lokasi, akan berkurang
karakteristik, awitan/durasi, 2. Pasien akan menunjukkan
frekuensi, kualitas, intensitas atau penggunaan keterampilan
keparahan nyeri, dan faktor relaksasi dan aktifitas hiburan
presipitasinya. sesuai indikasi untuk situasi
2. Ajarkan penggunaan teknik individual
nonfarmakologi (misalnya, 3. Penurunan penampilan peran atau
umpan balik biologis, hubungan interpersonal
transcutaneous electrical nerve 4. Gangguan kerja, kepuasan hidup
stimulation (TENS), hipnosis, atau kemampuan untuk
relaksasi, imajinasi terbimbing, mengendalikan
terapi musik, distraksi, terapi
bermain, terapi aktivitas,
akupresur, kompres
hangat/dingin, dan masase)
sebelum, setelah dan jika
memungkinkan, selama aktivitas
yang menyakitkan; sebelum nyeri
terjasi atau meningkat; dan
selama penggunaan tindakan
pengurangan nyeri yang lain.
3. Kelola nyeri pascaoperasi awal
dengan pemberian opiat yang
terjadwal (misalnya, setiap 4 jam
atau 36 jam) atau PCA.
4. Berikan perubahan posisi, masase
punggung, dan relaksasi.
Kekurangan Pengelolaan Cairan: Peningkatan Keseimbangan Elektrolit dan Asam-
volume cairan keseimbangan cairan dan pencegahan Basa: Keseimbangan elektrolit dan
komplikasi akibat kadar cairan yang nonelektrolit dalam ruang intrasel dan
tidak normal atau tidak diinginkan. ekstrasel tubuh.
Aktivitas: Ditunjukkan dengan indikator:
1. Pantau hasil laboratorium yang 1. Elektrolit serum (misalnya,
relevan dengan keseimbangan natrium, kaliun, kalsium, dan
cairan (misalnya, kadar magnesium) dalam batas normal
hematokrit, BUN, albumin, 2. Serum dan pH urine dalam batas
protein total, osmolalitas serum, normal
dan berat jenis urine). 3. Tidak memiliki konsentrasi urine
2. Anjurkan pasien untuk yang berlebihan. BJ urine normal:
menginformasikan perawat bila 1003-1030
haus.
3. Berikan ketentuan penggantian
nasogastrik berdasarkan haluaran,
sesuai dengan kebutuhan.
4. Pasang kateter urine, bila perlu.

Ketidakseimbang Pengelolaan Nutrisi : Bantuan atau Status Gizi: Nilai Gizi : Keadekuatan
an nutrisi kurang pemberian asupan diet makanan dan zat gizi yang dikonsumsi tubuh.
dari kebutuhan cairan yang seimbang. Dibuktikan dengan indikator berikut :
tubuh 1. Pantau kandungan nutrisi dan 1. Asupan mkanan dan cairan oral
kalori pada catatan asupan 2. Mempertahankan massa tubuh
2. Berikan informasi yang tepat dan berat badan dalam batas
tentang kebutuhan nutrisi dan normal
bagaimana memenuhinya. 3. Melaporkan keadekuatan tingkat
3. Tentukan dengan melakukan energi
kolaborasi bersama ahli gizi,
secara tepat jumlah kalori dan
jenis zat gizi yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi (khususnya untuk pasien
dengan kebutuhan energi tinggi,
seperti pasien pascoperasi dna
luka bakar, trauma, demam, dan
luka).
4. Berikan pasien minuman dan
camilan bergizi, tinggi protein,
tinggi kalori yang siap
dikonsumsi, bila memungkinkan.

Hipertermi b.d 1. Observasi suhu badan pasien. Suhu badan dalam batas normal
kerusakan kontrol 2. Berikan kompres mandi hangat, (36,60-37,50 C),turgor kulit baik, kulit
suhu sekunder hindari penggunaan alkohol. tidak terlihat kemerahan,
akibat inflamasi. 3. 3.Tingkatkan intake nutrisi
pasien.
4. 4.Kolaborasi pemberian
antipiretik.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama Pasien (Inisial) : Ny. A
No. Rekam Medis : C832249
No. Register : 110443640
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Brebes, 19 Januari 1987
Usia : 33 Tahun
Alamat : Brebes
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Debitur : JKN Non PBI
Diagnosa Medis : Choledocholitiasis
Tanggal Masuk : 22 Oktober 2020
DPJP : dr. Erik Prabowo, Sp.B(K), M.Si.Med.
PPJP : Theresia Ika Septiana, S.Kep., Ns.
Ruang : Merak lantai 1

2. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan
Pasien mengeluh nyeri perut dibagian perut (luka bekas operasi).
b) Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan perut membesar, nyeri dan tubuh berwarna
kuning pada tanggal 22 Oktober 2020 pukul 20.34 dengan program
operasi laparatomi eksplorasi tanggal 5 November 2020 pukul 08.00.
setelah operasi pasien dipindah ke ICU untuk pemantauan post op dan
dipindah Kembali ke ruang Merak lantai 1 pada tanggal 9 November
2020.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah menjalani operasi pada umur 3 tahun dengan indikasi kista
kantung empedu. Selama ini pasien tidak pernah mempunyai penyakit
degeneratif seperti hipertensi, DM, dll.
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada yang mempunyai penyakit DM, hipertensi
ataupun batu empedu / kista kantung empedu seperti yang dialami pasien.

3. Pemeriksaan Fisik
KU : baik Tanda-tanda vital
Kesadaran : composmentis TD : 120/85 mmHg
BB sebelum : 45kg Nadi : 98 x/menit
Sekarang : 38 kg Suhu : 37,7 0C
TB : 150 cm RR : 2 x/menit
IMT : BB (kg) SpO2 : 93%
[TB (m)]2
: 38
(1,5)2
: 16,9 (sangat kurus)
Head to Toe
a. Kepala
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (+), pupil isokor,
reflek cahaya (+/+)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), polip (-),
perdarahan (-), lendir (-), sumbatan (-), terpasang NGT
produksi hijau kecoklatan 500 cc
Mulut : mukosa kering
b. Leher : Tampak simetris, limfonodi tidak teraba, pembesaran
kelenjar tiroid (-)
c. Thorak :
Inspeksi : Retraksi (-), deformitas (-)
Palpasi : gerak nafas simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi : ronkhi basah
d. Abdomen :
Inspeksi : ada luka Panjang ± 10 cm secara vertical di atas umbilicus.
Di kuadran kanan bawah ada luka terpasang drain.
Auskultasi : peristaltik (+) 10 x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (+) luka operasi VAS 4, supel
e. Ekstremitas:
Atas : gerak aktif (+/+), gerak pasif (+/+). Udem (-/-), akral dingin,
turgor menurun.
Bawah : gerak aktif (+/+), gerak pasif (+/+). Udem (+/+), akral dingin,
turgor menurun.
f. Genetalia : bersih, terpasang DC

4. Pengkajian Pola Fungsi Kesehatan


a. Aktivitas dan istirahat:
subyektif : pasien merasa lemah
Obyektif : tampak lelah
b. Sirkulasi : Diaphoresis
c. Eliminasi :
Subektif : susah BAB
Obyektif : BAB keras, urine pekat, terpasang DC
d. Makan / minum (cairan)
Subyektif : Mual muntah setiap kali dimasukkan minum ± 5x/hari.
Obyektif : Kehilangan berat badan (kurus), pasien tampak muntah setiap
kali minum. Diit hanya sari kacang hijau dan air gula, porsi
tidak habis, sisa 2/3 porsi.

e. Nyeri/ Kenyamanan :
Subyektif : P : bertambah pada saat bergerak, duduk dan batuk,
berkurang pada saat istirahat (tidur)
Q : dirasakan hilang timbul seperti ditusuk-tusuk
R : Nyeri dibagian perut
S: skala 4
T : durasi ± 1 menit.
Obyektif : pasien tampak bersikap protektif, meringis kesakitan Ketika
bergerak
f. Respirasi :
Obyektif : pernafasan cepat, RR 22 x/menit, tidak mampu mengeluarkan
sekret.
Inspeksi : Retraksi (-), deformitas (-)
Palpasi : gerak nafas simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi : ronkhi basah
g. Keamanan :
Obyektif : Jaundice, kulit kering.
h. Belajar mengajar :
Obyektif : pemahaman pasien dan keluarga mudah dan terjalin komunikasi
yang baik

5. Pengkajian Nutrisi ABCD


Antropometri :
Umur : 33 tahun Lila : 21 cm
BB sebelum : 45 kg IMT : 16,9
BB sesudah : 38 kg TB : 150 cm
Biokimia : (8/11/2020)
Hb : 10,4 g/dL (N : 11,7 – 15,5)
Hematokrit : 32,8 % (N : 32 – 62)
Albumin : 2,6 g/dL (N : 3,4 – 5,0)
Clinical Sign : Rambut berwarna hitam, rontok, terdistribusi dengan baik,
mata sclera ikterik.
Diit : Cair I (Sari kacang hijau dan air gula.
6. Pemeriksaan Penunjang
7. Terapi
TANGGAL TERAPI RUTE
10/11/2020 RL 20 tpm Intra vena
Smof lipid 2 flash/24 jam Intra vena
Kalbamin 1 flash/24 jam Intra vena
Triofusin 2 flash/24 jam Intra vena
paracetamol 1 g/ 8 jam Intra vena
Omeprazole 40 mg/12 Jam Intra vena
Ampicilin sulbactam 1,5 g/8 jam Intra vena
Metocloporamide10 mg/8 jam Intra vena
Erytromisin 70 mg/8 jam Per oral
11/11/2020 RL 20 tpm Intra vena
Smof lipid 2 flash/24 jam Intra vena
Kalbamin 1 flash/24 jam Intra vena
Triofusin 2 flash/24 jam Intra vena
paracetamol 1 g/ 8 jam Intra vena
Omeprazole 40 mg/12 Jam Intra vena
Ampicilin sulbactam 1,5 g/8 jam Intra vena
Metocloporamide10 mg/8 jam Intra vena
Erytromisin 70 mg/8 jam Per oral

12/11/2020 RL 20 tpm Intra vena


Smof lipid 2 flash/24 jam Intra vena
Kalbamin 1 flash/24 jam Intra vena
Triofusin 2 flash/24 jam Intra vena
paracetamol 1 g/ 8 jam Intra vena
Omeprazole 40 mg/12 Jam Intra vena
Ampicilin sulbactam 1,5 g/8 jam Intra vena
Metocloporamide10 mg/8 jam Intra vena
Erytromisin 70 mg/8 jam Per oral

Skrining Fungsional – Indeks Barthel


Faktor Ketergantungan Skor Faktor Ketergantungan Sko
r
1. Personal Hygiene 3 6. Memakai Pakaian 8
2. Mandi 3 7. Kontrol BAB 10
3. Makan 8 8. Kontrol BAK 10
4. Toileting 5 9. Ambulasi atau menggunakan Kursi Roda 0/3
5. Menaiki Tangga 5 10. Transfer Kursi – Tempat Tidur 8
Kategori (beri tanda √ pada □ yang sesuai) :
Skor Total :
□ Ketergantungan Total (0-24) √ Ketergantungan Sedang (50-74)
□ Ketergantungan Berat (25-49) □ Ketergantungan Ringan (75-90) □ Ketergantungan Minimal (91-99) 63
 Skor Ketergantungan Sedang s.d Total : Laporkan ke DPJP untuk konsultasi dengan Dokter Rehabilitasi
Medis
 Skor Ketergantungan Minimal s.d Ringan : Evaluasi setiap 2 hari atau bila ada perubahan faktor
ketergantungan.

B. Analisa Data
Data Masalah keperawatan
DS : pasien mengeluh batuk berlendir dan sesak napas Bersihan jalan napas tidak efektif
DO : SPO2 93%, pasien tampak lemas, RR 22
x/menit, terpasang O2 nasal kanul 3L, suara
auskultasi paru ronkhi basah
DS : pasien mengeluh nyeri Nyeri akut
P : bertambah pada saat bergerak, duduk dan
batuk, berkurang pada saat istirahat (tidur)
Q : dirasakan hilang timbul seperti ditusuk-
tusuk
R : Nyeri dibagian perut
S: skala 4
T : durasi ± 1 menit.
DO : pasien tampak kesakitan dan takut bergerak
TD : 120/85 mmHg
Nadi : 98 x/menit
RR : 22 x/menit
DS : pasien mengeluh mual muntah, tidak nafsu makan Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
DO : porsi makan/minum 3x/hari diit sari kacang kebutuhan tubuh
hijau dan air gula dari RS sisa 2/3 porsi
BB sebelum : 45kg
Sekarang : 38 kg
TB : 150 cm
IMT : 16,9 (sangat kurus)

C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka (faktor mekanik) sekunder
dengan tindakan laparatomi
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret dijalan
napas.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan pemasukan nutrisi.
NAMA : Ny. A
NO.RM : C832249
RENCANA PELAYANAN PASIEN TGL LAHIR: 19/01/1987
NO.REGISTER: 11043640
UMUR: 33 TH 9 BLN 4 HR

NAMA DPJP : ERIK PRABOWO, dr, SpB(K), M.Si.Med


INTERDISIPLIN NAMA PPJP : THERESIA IKA SEPTIANA
RUANG RAWAT: MERAK 1

Diagnosis: Choledocholitiasis

PPJP / petugas
Kebutuhan yang yang Tanda Tercapai / tidak Tanda
Tanggal Target capaian individu Tanggal
diidentifikasi bertanggungjawa tangan tercapai tangan
b

Setelah dilakukan asuhan


10/11/202 keperawatan 3x24 jam 12/11/202
Nyeri Akut VAS 4 Bella Bella Belum tercapai Bella
0 nyeri pasien berkurang 0
menjadi skala VAS = 1

Setelah dilakukan asuhan


keperawatan 2x24 jam
10/11/202 Bersihan jalan napas bersihan jalan napas 12/11/202
Bella Bella tercapai Bella
0 tidak efektif efektif ditandai dengan 0
tidak adanya suara ronkhi
dan RR = 12-20x/menit

Setelah dilakukan asuhan


Ketidakseimbangan keperawatan 4x24 jam
10/11/202 14/11/202
Nutrisi: mual dan nutrisi seimbang ditandai Bella Bella Belum tercapai Bella
0 0
muntah dengan asupan baik, tidak
mual muntah
LEMBAR EDUKASI PASIEN DAN KELUARGA INTERDISIPLIN Nama : Ny. A
No.Rm : C832249
A. Pengkajian Kebutuhan Pra Edukasi Pasien dan Keluarga Tgl Lahir: 19/01/1987 Umur: 33 Th 9 Bln
No.Register: 11043640
Nama DPJP : Erik Prabowo, dr, Sp.B
Nama PPJP:Theresia Ika Septiana,S.Kep.
Ns.
Ruang Rawat: Merak Lt 1

Yang dikaji √ Pasien Keluarga


Kesediaan menerima edukasi √ Ya Tidak
Kemampuan membaca √ Ya Tidak
Bahasa yang dipakai √ Indonesia Lainnya:
Kebutuhan penerjemah Ya √ Tidak
Keyakinan dan nilai-nilai Islam
Pendidikan terakhir SMA
Hambatan Pengetahuan Fisik Emosi Kognitif Motivasi √ Tidak ada
Kebutuhan edukasi Proses penyakit, diagnosis dan rencana asuhan obat-obatan rehabilitasi medis √ manajemen nyeri
Nama perawat pengkaji (Bella H) Tanda tangan pengkaji Bella Tanggal 10/11/2020 Jam 13.30
B. Pelaksanaan Edukasi Pasien dan Keluarga
Profesi, Tanda Nama & Tanda
Penerima Metode Media
Tanggal & Jam Materi Edukasi Evaluasi pasca edukasi Tangan & Nama Tangan Penerima
edukasi edukasi edukasi
Pemberi Edukasi Edukasi
10/11/2020 Edukasi manajemen nyeri: pasien Diskusi leaflet Mampu menjelaskan Perawat : Ny. A
- Latihan nafas dalam Demonstrasi kembali Bella
- Batuk efektif Mampu mendemonstrasikan
- Aktifitas
14/11/2020 Edukasi Mobilisasi bertahap Pasien Diskusi leaflet Mampu menjelaskan Perawat : Ny. A
Re edukasi manajemen nyeri Demonstrasi kembali Bella
Mendemonstrasikan
- Penilaian Resiko Jatuh
Penilaian Resiko Jatuh Skor Temuan
Riwayat Jatuh : Jatuh satu kali atau lebih kurun waktu 6 25 0
Tidak termasuk bulan terakhir
kecelakaan kerja
atau rekreasional
Status mental Agitasi/konfusi 15 0
Demensia 15 0
Medikasi Efek dari obat-obat analgesic/sedative 10 0
Riwayat operasi dengan GA/RA dalam 24 20 0
jam
Mobilitas Langkah Gangguan 20 0
kaki
Lemah 10 10
Normal 0 0
Alat bantu Benda di sekitar; kursi, 30 0
dinding
Kruk, tongkat, tripoid, 15 0
walker
Pasien dengan bed rest total 0 0
Kondisi Medis Pasien dengan diagnose lebih dari 1 15 15
Pasien terpasang infus 20 20
Total Skor 45
Skor resiko jatuh : 45 (Resiko Tinggi)

Pemantauan risiko jatuh


No Tanggal Total Skor Golongan
1 9-11-2020 12.00 45 RISIKO TINGGI
2 11-11-2020 12.00 45 RISIKO TINGGI
3 14-11-2020 12.00 30 RISIKO SEDANG

Penilaian Tingkat Ketergantungan Pasien


Keterangan Skor 1 Skor 2 Skor 3
kesadaran √ Sadar Gelisah Koma
Observasi tanda Tiap 8 jam √ Tiap 4 jam Tiap 2-4 jam
vital
Respirasi Normal √ Oksigenasi Isap lender
Kebersihan Diri Mandiri Dibantu √Total
Makan Mandiri Dibantu √ NGT/TPN
Minum Mandiri Dibantu √Infus
Pengobatan Oral Injeksi < 3 kali √Injeksi > 3 kali
Mobilisasi Mandiri Dibantu √Total
Eliminasi Mandiri Dibantu √Kateter

Skor 23: Intermediate care

Skrining tingkat ketergantungan pasien

No Tanggal Total Skor Golongan


1 10-11-2020 13.30 23 Intermediate Care
2 11-11-2020 13.30 22 Intermediate Care
3 12-11-2020 08.00 16 Intermediate Care
4 14-11-2020 08.00 13 Partial Care
Pemantauan skrining nyeri

No Tanggal Skala Nyeri Skor Nyeri


VAS

1 10-11-2020 13.30 Nyeri sedang 4

2 11-11-2020 09.00 Nyeri sedang 4

3 11-11-2020 13.00 Nyeri ringan 3

4 12-11-2020 08.00 Nyeri ringan 3

5 12-11-2020 13.30 Nyeri ringan 3

6 14-11-2020 15.00 Nyeri ringan 2

Nama : Ny. A
No.Rm : C832249
Tgl Lahir: 19/01/1987 Umur: 33 Th 9 Bln
No.Register: 11043640
CATATAN KEPERAWATAN Nama DPJP : Erik Prabowo, dr, Sp.B
Nama PPJP :Theresia Ika Septiana,S.Kep.
Ns.
Ruang Rawat: Merak Lt 1
Tanggal
Perawat Catatan Tindakan Keperawatan
jam

10-11-2020 Bella - Menomitor keadaan umum pasien: keadaan umum lemah,


08.30 compos mentis, terpasang CVC pada femur sinistra, DC, NGT,
drain dan O2 nasal kanul 3 L
09.00 Bella - Melakukan aff DC
10.00 Bella - Melakukan pengkajian kasus kelolaan
10.30 Bella - Memberikan edukasi manajemen nyeri:
Latihan nafas dalam
Aktifitas
Bella Distraksi
11.45 - Memonitor tanda-tanda vital pasien
TD : 120/85 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Suhu : 37,70C
SpO2 : 97%
RR : 22 x/menit
13.30 Bella - Memberikan terapi intravena
Ampicilin Sulbactam 1,5 g/8 jam
Metocloporamid 10 mg/8 jam
Paracetamol 1 g/8 jam
16.00 Citra - Memonitor keadaan umum, pasien tampak lemah
- Memonitor kondisi pasien, keluhan tidak mual muntah
21.45 Lea Disti
11-11-2020 Lea Disti - Memfasilitasi personal hygiene pasien
06.00

07.30 Bella - Memonitor keadaan umum pasien: tampak lemah, compos


mentis, anemis, terpasang drain, DC sudah dilepas, NGT warna
hijau kecoklatan
08.00 Bella - Melakukan perawatan luka post op laparatomi, drain dan CVC,
luka tidak rembes, warna tidak kemerahan,
09.30 Bella - Memberikan edukasi mobilisasi boleh miring kanan dan kiri /
duduk
11.30 Bella - Mengedukasi batuk efektif untuk mengeluarkan sekret
12.30 Bella - Memberikan terapi intravena sesuai program
13.00 Bella - Mengkaji ulang skala nyeri VAS 3
13.10 Bella - Melakukan re edukasi manajemen nyeri dan tindakan non
farmakologi dengan nafas dalam
13.30 Bella - Menganjurkan minum sari kacang hijau sedikit tapi sering
22.34 Dyka - Memotivasi pasien untuk relaksasi napas dalam
12-11-2020 Bella - Memonitor keadaan umum pasien: tampak lemah, compos
07.30
mentis, anemis, terpasang drain, DC sudah dilepas, NGT warna
hijau kecoklatan
08.00 Bella - Melakukan aff drain 20 cc
09.30 Bella - Memotivasi mobilisasi miring kanan dan kiri / duduk
11.00 Bella - Mengkaji ulang pemeriksaan fisik paru pasien dan TTV
11.30 Bella - Memotivasi pasien batuk efektif untuk mengeluarkan sekret
12.30 Bella - Memberikan terapi intravena sesuai program
13.00 Bella - Mengkaji ulang skala nyeri VAS 3
13.10 Bella - Menghubungi dr.Erik lapor hasil lab elektrolit
16.04 Citra - Memfasilitasi personal hygiene pasien
22.00 Nana - Mengobservasi keadaan umum pasien baik, composmentis,
terpasang infus
14-11-2020 Bella - Memonitor keadaan umum pasien: Keadaan umum baik,
14.20 compos mentis, drain NGT dan DC sudah dilepas.
15.00 Bella - Melakukan perawatan luka post op, tidak rembes
16.00 Bella - Memfasilitasi personal hygiene pasien
18.00 Bella - Melakukan re edukasi nafas dalam, batuk efektif
19.30 Bella - Mengevaluasi nyeri akut pada pasien VAS 2
Nama : Ny. A
No.Rm : C832249
LEMBAR CATATAN Tgl Lahir: 19/01/1987 Umur: 33 Th 9 Bln
No.Register: 11043640
TERINTEGRASI Nama DPJP : Erik Prabowo, dr, Sp.B
Nama PPJP :Theresia Ika Septiana,S.Kep.
Ns.
Ruang Rawat: Merak Lt 1

Nama
Catatan Kemajuan, Rencana Tindakan dan Terang &
Tanggal Jam Profesi
Terapi Tanda
Tangan
S: pasien mengatakan masih lemas, mual muntah
± 4x, sari kacang hijau dari RS hanya masuk
sedikit

O: keadaan umum lemah, composmentis,


terpasang NGT warna hijau kecoklatan produksi
500cc/24 jam, CVC, sisa diit dari RS 2/3 porsi

A: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
10/11/202 12.3 nutrisi yang tidak adekuat Bella
Perawat
0 0
P:
- Monitor produksi drain dan NGT, cek
residu
- Buka tutup NGT/2 jam
- Diit boost optimum 100ml
- Diit sari kacang hijau dan air gula via
oral
- Anjurkan konsumsi sedikit tapi sering

10/11/202 12.3 S : Pasien mengatakan nyeri di perut luka bekas Perawat Bella
0 0 operasi
P : saat bergerak, batuk dan duduk
Q : hilang timbul seperti ditusuk-tusuk
R : perut
S : skala 4
T : durasi ± 1 menit

O : Keadaan umum tampak melindungi area


nyeri,
TD : 120/85 mmHg
Nadi : 98x/menit
RR : 22 x/menit

A : Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka


(faktor mekanik) sekunder dengan tindakan
laparatomi
P:

- Lakukan pengkajian nyeri secara


komprehensif termasuk lokasi karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi
- Ajarkan tentang teknik non farmakologi
(distraksi, relaksasi, atau modifikasi)
- Tingkatkan istirahat
- Berikan oksigenasi 3L
- Mobilisasi miring-duduk
S: pasien mengatakan batuk berdahak, tidak bisa
mengeluarkan dahak

O: Tampak lemah, terpasang O2 NC 3 L, RR :


22x/menit, SpO2 : 97%, auskultasi paru ronkhi
basah

10/11/202 12.3 A: Bersihan jalan napas tidak efektif Bella


Perawat
0 0 berhubungan dengan adanya secret dijalan napas.

P:
- Berikan edukasi batuk efektif
- Anjurkan mengonsumsi minuman
hangat
- Atur posisi semi fowler atau fowler

S: pasien mengatakan masih lemas, sari kacang


hijau dari RS hanya masuk sedikit

O: keadaan umum lemah, composmentis,


terpasang NGT warna hijau kecoklatan produksi
500cc/24 jam, CVC, sisa diit dari RS 2/3 porsi

A: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
11/11/202 12.3 nutrisi yang tidak adekuat Bella
Perawat
0 0
P:
- Monitor produksi drain dan NGT, cek
residu
- Buka tutup NGT/2 jam
- Diit boost optimum 100ml
- Diit sari kacang hijau dan air gula via
oral
- Anjurkan konsumsi sedikit tapi sering

11/11/202 12.3 S : Pasien mengatakan nyeri di perut luka bekas Perawat Bella
0 0 operasi
P : saat bergerak, batuk dan duduk
Q : hilang timbul seperti ditusuk-tusuk
R : perut
S : skala 3
T : durasi ± 1 menit

O : Keadaan umum tampak melindungi area


nyeri,
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
RR : 22 x/menit

A : Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka


(faktor mekanik) sekunder dengan tindakan
laparatomi

P:

- Lakukan pengkajian nyeri secara


komprehensif termasuk lokasi karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi
- Ajarkan tentang teknik non farmakologi
(distraksi, relaksasi, atau modifikasi)
- Tingkatkan istirahat
- Berikan oksigenasi 3L
- Mobilisasi miring-duduk
S: pasien mengatakan batuk berdahak, tidak bisa
mengeluarkan dahak

O: Tampak lemah, terpasang O2 NC 3 L, RR :


22x/menit, SpO2 : 97%, auskultasi paru ronkhi
basah

11/11/202 12.3 A: Bersihan jalan napas tidak efektif Bella


Perawat
0 0 berhubungan dengan adanya secret dijalan napas.

P:
- Berikan edukasi batuk efektif
- Anjurkan mengonsumsi minuman
hangat
- Atur posisi semi fowler atau fowler

12/11/202 12.3 S: pasien mengatakan masih lemas, sari kacang Perawat Bella
0 0 hijau dari RS hanya masuk sedikit

O: keadaan umum lemah, composmentis,


terpasang NGT warna hijau kecoklatan produksi
500cc/24 jam, CVC, sisa diit dari RS 2/3 porsi

A: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi yang tidak adekuat
P:
- Monitor produksi drain dan NGT, cek
residu
- Buka tutup NGT/2 jam
- Diit boost optimum 100ml
- Diit sari kacang hijau dan air gula via
oral
- Anjurkan konsumsi sedikit tapi sering
S : Pasien mengatakan nyeri di perut luka bekas
operasi
P : saat bergerak, batuk dan duduk
Q : hilang timbul seperti ditusuk-tusuk
R : perut
S : skala 3
T : durasi ± 1 menit

O : Keadaan umum tampak melindungi area


nyeri,
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 70x/menit
RR : 20 x/menit

12/11/202 12.3 A : Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka


Perawat Bella
0 0 (faktor mekanik) sekunder dengan tindakan
laparatomi

P:

- Lakukan pengkajian nyeri secara


komprehensif termasuk lokasi karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi
- Motivasi manajemen nyeri teknik non
farmakologi (distraksi, relaksasi, atau
modifikasi)
- Tingkatkan istirahat
- Berikan oksigenasi 3L
- Mobilisasi miring, duduk dan berdiri
12/11/202 12.3 S: pasien mengatakan batuk, tidak bisa Perawat Bella
0 0 mengeluarkan dahak

O: Tampak lemah, terpasang O2 NC 3 L, RR :


20x/menit, SpO2 : 97%, auskultasi paru ronkhi
basah

A: Bersihan jalan napas tidak efektif


berhubungan dengan adanya secret dijalan napas.

P:
- Berikan edukasi batuk efektif
- Anjurkan mengonsumsi minuman
hangat
- Atur posisi semi fowler atau fowler
S: pasien mengatakan diit sari kacang hijau dari
RS sudah diminum 2/3 porsi

O: keadaan umum lemah, composmentis, NGT


sudah dilepas, CVC, sisa diit dari RS 1/3 porsi

A: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari


14/11/202 12.3 kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake Bella
Perawat
0 0 nutrisi yang tidak adekuat

P:
- Infus TPN
- Diit boost optimum 100ml
- Diit sari kacang hijau dan air gula via
oral
- Anjurkan konsumsi sedikit tapi sering
S : Pasien mengatakan nyeri di perut luka bekas
operasi
P : saat bergerak, batuk dan duduk
Q : hilang timbul seperti ditusuk-tusuk
R : perut
S : skala 2
T : durasi ± 1 menit

O : Keadaan umum tampak melindungi area


nyeri,
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 78x/menit
14/11/202 12.3
Perawat Bella
0 0 RR : 20 x/menit

A : Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka


(faktor mekanik) sekunder dengan tindakan
laparatomi

P:

- Motivasi manajemen nyeri teknik non


farmakologi (distraksi, relaksasi, atau
modifikasi)
- Tingkatkan istirahat
- Mobilisasi berjalan
14/11/202 12.3 S: pasien mengatakan masih batuk, sudah bisa Perawat Bella
0 0 mengeluarkan dahak

O: RR : 20x/menit, SpO2 : 100%, napas vesikuler

A: Bersihan jalan napas tidak efektif


berhubungan dengan adanya secret dijalan napas.

P: Anjurkan mengonsumsi minuman hangat


- Atur posisi fowler

DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus


Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni
Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan :
Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
Kurnia, Nila Ramdani. Kolelitiasis
http://bedahmataram.org/index.php?
option=com_content&view=article&id=104:kolelitiasis-ur&catid=43:regfrat-
urologi&Itemid=81
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Nurarif, A.H. & Hardhi, K. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Mediaction.
Sanjaya, Arif. Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu
http://penyuluhan-kesehatan.blogspot.com/2011/12/patofisiologi-
pembentukan-batu-empedu.html
Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Sherlock, Sheila. 1990. Penyakit Hati dan Sistem Saluran Empedu. Jakarta:
Widya Medika.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC
Sulaiman, Ali dkk. 1990. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta : CV.Sagung Seto
Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media
Tjokronegoro, Arjatmo dan Utama, Hendra. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.
Rampengan, S., Rolly & Franly. 2014. Pengaruh Teknik Relaksasi dan Teknik
Distraksi terhadap Perubahan Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi di
Ruang Irina A Atas RSUP Prof. Dr. R. D. Kandao Manado.

Anda mungkin juga menyukai