Anda di halaman 1dari 114

METODE AL-QURAN MEMBANGUN

MOTIVASI BERIBADAH
(Kajian Tafsir Maudhui)
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Segala puji-pujian hanya milik Allah Swt

yang senantiasa memberi rahmat, hidayah dan kasih sayang kepada hamba-Nya,

sehingga dengan izin-Nya pula tugas mulia telah terselesaikan berupa skripsi yang

berjudul METODE AL-QURAN MEMBANGUN MOTIVASI BERIBADAH.

Salawat dan salam sejahtera kita persembahkan kepada junjungan Allah

yang mulia, baginda besar Muhammad Saw, yang telah memberi jalan cerah

dengan obor ketauhidan sehingga mampu memberi manusia peluang berpikir

untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

Skripsi ini disusun dalam rangka melengkapi syarat untuk menyelesaikan

studi dalam Ilmu Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry di Banda

Aceh. Namun dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari berbagai

hambatan, rintangan, serta kesulitan yang terus datang silih berganti, tetapi berkat

bantuan dan dorongan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

dengan sempurna.

Kata-kata penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Pembimbing I,

Dr. H. Hisyami bin Yazid, Lc, M.Ag, dan pembimbing II, Safrilsyah, M.Si, yang

telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan buah pikiran untuk membimbing

dan memberi arahan atau masukan sejak dari awal sampai selesainya penulisan

ini.

i
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Rektor IAIN Ar-Raniry

Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA merupakan orang tua yang selalu memberi

motivasi dan dorongan kepada anak-anaknya untuk terus berjuang dalam

menggapai sebuah cita-cita. Begitu pula ucapan terima kasih kepada Dekan

Fakultas Ushuluddin Dr. H. Syamsul Rijal Sys, M.Ag yang senatiasa memberi

peluang dan kemudahan bagi kami dalam melaksanakan tugas-tugas

keushuluddinan,

Dan ucapan terima kasih seterusnya kepada ketua jurusan Tafsir Hadits

Dr. Abdul Wahid, M.Ag dan pembimbing Akademik Samsul Bahri, S.Ag, M.Ag

yang selalu siap membantu dan memberi jalan keluar dalam setiap kesulitan yang

kami hadapi.

Begitu pula selanjutnya ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada

seluruh dosen khususnya Dosen Fakultas Ushuluddin yang tak pernah mengenal

lelah dan bosan, panas terik atau hujan badai tetap ikhlas memberi sebuah

pencerahan kepada kami untuk menjadi orang-orang yang berilmu pengetahuan

nantinya.

Dan ucapan rasa terima kasih kepada seluruh teman-teman yang selalu

siap memberi dukungan dan motivasi baik secara moril ataupun materil sehingga

penulisan skripsi dapat kita laksanakan dengan maksimal.

Ucapan terima kasih kepada Bapak Ir. H. Abu Bakar Adam dan kepada

Umi Hj. Rosnawati, S.Pd yang selalu mencurahkan kasih sayang dan perhatian

baik jasmani ataupun rohani, dan sanggup menerima setiap kekurangan dan

menggantikannya dengan kebaikan.

ii
Yang teristimewa, Kata ta’zim dan kehormatan kepada yang mulia Ayah

dan Mak; Ilyas Yusuf dan Hanidah yang selalu menjadi motivator dalam setiap

ruang dan waktu, kasih sayang dan belaian cintanya meski jauh tetap terasa dalam

relung hati sanubari, yang terus tercurah dalam bentuk doa yang terpanjat. Tak

pernah bosan atau jemu untuk selalu memberi yang terbaik untuk anak-anaknya,

tanpa mengenal penat dan lelah walau nyawa menjadi taruhan. Ayah dan Mak

engkau adalah orang yang paling baik dan bijaksana yang pernah aku kenal di

dunia ini.

Akhirnya, penulis mengharapkan doa restu dan kontribusi positif dari

semua lapisan untuk memberi yang terbaik guna skripsi ini bermamfaat dalam

perkembangan ilmu pengetahuan dan kesempurnaan penulisan kedepan nantinya.

Wassalam,
Pasie Raja, 15 Juli 2013
Penulis,

Sufyan Ilyas, S.TH.,MH

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
SINGKATAN............................................................................................................ vi
ABSTRAK ................................................................................................................ vii

BAB SATU : PENDAHULUAN


A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 7
E. Penjelasan Istilah .................................................................... 8
F. Metode Penelitan .................................................................... 9
G. Sistematika Pembahasan......................................................... 10

BAB DUA : METODE AL-QURAN DALAM MOTIVASI BERIBADAH


A. Metode Al-Quran .................................................................. 12
1. Definisi Metode Al-Quran ................................................ 13
2. Macam-Macam Metode Al-Quran ................................... 15
B. Motivasi ................................................................................. 27
1. Definisi Motivasi ............................................................... 27
2. Macam-Macam Motivasi ................................................... 29
3. Peranan Motivasi Dalam Ibadah ........................................ 36
C. Ibadah .................................................................................... 38
1. Definsi Ibadah .................................................................... 38
2. Macam-Macam Ibadah Dalam Islam ................................. 42
3. Syarat Diterimanya Ibadah ................................................ 44

iv
D. Motivasi Beribadah .............................................................. 47
1. Definisi Motivasi Beribadah ............................................. 47
2. Macam-Macam Motivasi Beribadah Dalam Al-Quran .. 48

BAB TIGA : MOTIVASI BERIBADAH PERSPEKTIF AL-QURAN


A. Ayat-Ayat Motivasi Beribadah ............................................... 50
B. Penafsiran Ulama Tentang Ayat-Ayat Motivasi..................... 61
C. Aplikasi Metode Rasulullah ................................................... 72
D. Analisis Penulis ...................................................................... 75
1. Al-Hikmah ........................................................................ 76
2. Mau’idhah ......................................................................... 79
3. Mujadalah ......................................................................... 96

BAB EMPAT : PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................. 100
B. Saran-Saran ............................................................................. 102

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 104


RIWAYAT HIDUP .................................................................................................. 107

v
DAFTAR SINGKATAN

NO SINGKATAN TERJEMAHAN
1 Swt Subhanahu Wa Ta’ala
2 Saw Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
3 ra Radhiallahu ‘Anhu
4 as ‘Alaihissalam
5 QS Al-Quran Surah
6 H Hijriah
7 M Masehi
8 jld Jilid
9 hal Halaman
10 no Nomor
11 terj. Terjemahan
12 cet Cetakan
13 ed Edisi
14 t.th Tanpa Tahun
15 t.tp Tanpa Tempat Penerbit
16 vol Volume
17 juz Juzuk
18 ± Lebih Kurang
19 s/d Sampai Dengan
20 dkk Dan Kawan-Kawan
21 hal Halaman

vi
METODE AL-QURAN MEMBANGUN
MOTIVASI BERIBADAH
(Kajian Tafsir Maudhui)

ABSTRAK

Metode Al-Quran Membangun Motivasi Beribadah merupakan sebuah


judul skripsi yang diangkat karena melihat kondisi masyarakat Islam saat ini telah
jauh dari panggilan Allah Swt, dimana mereka telah disibukkan oleh kegiatan-
kegiatan mengejar hawa nafsu dunia untuk mengumpulkan harta benda yang
terasa tidak akan pernah cukup meski nafas berada ditenggorokan. Maka sudah
seyogyanya kita sadar dan bangkit dari kelalaian permainan dunia yang semakin
dikejar akan terasa semakin jauh meninggalkan kita, seolah-olah dunia terus
menuntut kepada kita untuk terus mengikutinya tanpa pernah merasa cukup atas
apa yang telah kita miliki.
Maka dari itu perlu sebuah metode Al-Quran untuk menumbuhkan
motivasi kepada masyarakat yang saat ini waktu mereka begitu terbatas dalam
melaksanakan ibadah kepada Allah Swt. karena mengingat tujuan hidup
diciptakan oleh Allah hanya untuk mengabdi kepada-Nya, namun realita yang kita
jumpai bertolak belakang dengan apa yang telah disebutkan dalam Al-Quran.
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini penulis menggunakan
penelitian kepustakaaan (Library Research) yakni mengumpulkan buku atau kitab
yang mempunyai relevansi dengan pokok pembahasan dengan menggunakan
metode maudhu’i, dimana penulis mencoba menganalisis data-data yang
diperoleh secara keseluruhan untuk melihat pemahaman dan pendapat ulama
terhadap ayat-ayat motivasi.
Hasil penelitian ini Al-Quran menawarkan metode praktis menumbuhkan
motivasi kepada manusia untuk beribadah kepada Allah, yaitu metode al-hikmah,
metode al-mau’idhah dan metode al-mujadalah. Dengan adanya metode Al-Quran
dalam membangun motivasi beribadah setidaknya sudah ada rujukan pasti bagi
kita atau psikolog modern khususnya untuk menjadi sumber dan pegangan dalam
melaksanakan tugas-tugas keduniawian dengan tujuan memperoleh ridha Allah
dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

vii
BAB SATU
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekuasaan yang hakiki dan paling agung adalah milik Allah swt.

Penciptaan mahkluk, kejadian langit dan bumi serta isi diantara keduanya

merupakan bukti bahwa Allah itu Maha Kuasa. 1 Namun demikian terdapat pula

berbagai kejadian, hikmah dan mukjizat yang menjadi petunjuk bagi setiap

hamba-Nya, sehingga tiada satupun yang ada dalam realitas luput dari

penjelasannya. Al-Quran menceritakan berbagai hal yang menghubungkan

manusia dengan Allah, dan hubungan muamalah dengan sesama manusia serta

lingkungannya.

Al-Quran merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt kepada

Nabi Muhammad Saw sebagai mukjizat yang menjadi petunjuk dan pelajaran bagi

manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia ataupun di akhirat. Ia diturunkan

senantiasa mengiringi manusia sesuai dengan perkembangan zaman serta

kemajuan berpikir manusia. Al-Quran memberi jalan keluar dari berbagai masalah

yang dihadapi oleh setiap manusia baik yang berkaitan dengan masalah kejiwaan,

jasmani, rohani, sosial, ekonomi maupun politik dengan pemecahan yang penuh

bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.

1
M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna Dalam Perspektif Al-
Quran, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 1998), hal. 246.

1
Untuk menjawab setiap persoalan Al-Quran meletakkan dasar-dasar umum yang

dapat dijadikan landasan oleh manusia dalam mencari jalan penyelesaian. 2

Al-Quran berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh manusia, penjelas atas

segala petunjuk, membedakan antara hak dan yang bathil serta sebagai mu’jizatul

kubra (mukjizat terbesar) bagi Nabi Muhammad dan seluruh umatnya.3 Melalui

pesan dan kandungannya, Al-Quran dapat membimbing untuk mengangkat harkat

martabat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Para pakar ilmu Al-

Quran telah menjelaskan bahwa secara umum kandungan Al-Quran terdiri dari
4
beberapa aspek, yaitu sebagai berikut: Pertama Berkaitan dengan ajaran

pengesaan kepada Allah (Tauhid), kedua Al-Quran mengandung berita-berita

ghaib yang bersifat metafisik, ketiga Al-Quran mengandung Al-Wa’du (janji

baik) dan Al-Wa’id (janji ancaman),keempat Al-Quran mengandung kisah umat-

umat terdahulu, kelima Al-Quran mengandung norma-norma hukum yang

mengatur kehidupan, sehingga berlangsung damai, tertib dan penuh

keharmonisan.

Maka dapat dipahami bahwa Al-Quran mencakup inti yang menyangkut

berbagai masalah, salah satu aspek inti dalam Al-Quran yang mempunyai peran

penting bagi kehidupan umat adalah berkaitan tentang motivasi, karena tanpa

motivasi maka manusia tak akan mampu melaksanakan suatu hal apapun baik

yang menyangkut dengan kepentingan dirinya ataupun orang lain.

2
Manna’ Al-Qathtan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, Cet. II (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2007), hal. 11-12.
3
Kahar Masyur, Pokok-Pokok Ulumul Quran, Cet. I (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal.
11.
4
Ahmad Mukhrij Aji, Memaknai Peringatan Nuzulul Quran, www.radarbogor.com, 07
September 2009.

2
Pada prinsipnya ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berarti

penyerahan diri secara sempurna kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Dengan

demikian dalam melaksanakan ibadah butuh motivasi sebagai pendukung utama

untuk bisa mencapai tingkat ketaqwaan yang diinginkan oleh Allah.

Membangun motivasi sangat penting terutama jika dihubungkan dengan

hal ibadah kepada Allah, hanya saja metode yang pasti menurut Al-Quran belum

diimplementasikan, sehingga masyarakat banyak menggunakan metode yang

berbeda-beda. Misalnya seorang Da’i membangun motivasi hanya dengan jalan

ceramah dan nasehat, seorang guru menggunakan jalan hukuman dan ancaman,

seorang atasan menggunakan penghargaan kepada bawahan, juga tidak sedikit

masyarakat menggunakan jalan praktek atau memberi contoh teladan kepada

orang lain.

Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Allah adalah untuk mengabdi

kepada-Nya, hal itu tercermin dalam firman Allah dalam QS.Al-Dzariyat:56, yang

berbunyi:

      


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah

kepada-Ku”( QS.Al-Dzariyat:56)

Dengan demikian, manusia itu diciptakan bukan sekedar untuk hidup

mendiami dunia ini dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya pertanggung

jawaban kepada penciptanya, melainkan manusia itu diciptakan untuk beribadah

3
kepada-Nya, karena tidak ada alasan bagi manusia untuk mengabaikan kewajiban

beribadah kepada-Nya5, Allah Swt berfirman dalam QS Al-Baqarah:21:

           

“Wahai sekalian manusia! Beribadahlah kepada Tuhan kamu yang telah

menciptakan kamu dan orang-orang yang terdahulu daripada kamu, supaya kamu

(menjadi orang-orang yang) bertaqwa.” (QS Al-Baqarah:21)

Hal senada juga terdapat dalam beberapa ayat lain yang menganjurkan kita

untuk beribadah, diantaranya:

     

“Dan Sembahlah Tuhanmu, sehingga datang kepadamu (perkara Yang tetap)

yakin”. (QS. Al-Hijr:99)

          

   


“Dan Tuhan kamu berfirman: "Berdoalah kamu kepada-Ku niscaya Aku

perkenankan doa permohonan kamu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong

takabur dari pada beribadah dan berdoa kepada-Ku, akan masuk neraka

jahannam dalam keadaan hina.” (QS.Al-Mukmin:60)

Dari ayat di atas sangat jelaslah bahwa Allah sangat menganjurkan kita

untuk beribadah, tiada alasan bagi manusia untuk menghindari dari perintah Allah

tersebut, maka sangat pentinglah bagi seorang muslim untuk mengetahui

5
Ahmad Thib Raya & Siti Musda Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam
(Bogor: Kencana, 2003), hal. 140.

4
bagaimana cara dan langkah untuk menumbuhkan motivasi dalam melaksanakan

ibadah seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt.

Namun demikian, kita perlu melihat kembali metode yang berkembang di

masyarakat selama ini, apakah telah sesuai dengan cara yang dianjurkan atau yang

digunakan Al-Quran. Karena dalam realita banyak kita lihat masyarakat tidak

tergugah dengan segala macam metode yang dibangun untuk menciptakan

motivasi, sehingga banyak masyarakat yang hanya menghabiskan waktu dengan

sesuatu hal yang tidak bermanfaat dan sia-sia. Sehingga menimbulkan kejenuhan

yang akhirnya akan terpikir pada hal-hal yang anarkis, buruk dan bisa merugikan

orang lain. Padahal masih banyak jalan dan langkah yang harus ditempuh untuk

meraih suatu hal yang berguna baik untuk dirinya ataupun orang lain.

Hanya saja masyarakat selama ini belum mampu menciptakan suatu hal

yang lebih bermanfaat tanpa ada motivasi yang mendasarinya. Maka dari itu

penulis merasa sangat penting pengkajian lebih dalam tentang penelitian ini

khususnya metode Al-Quran dalam membangun motivasi. Walaupun tidak

sepenuhnya bisa diimplemantasikan namun setidaknya telah ada kepastian yang

jelas bagaimana sebenarnya metode dalam membangun motivasi yang benar dan

pasti, sehingga telah ada bayangan yang konkrit dalam melaksanakannya.

Dalam kehidupan sehari-hari motivasi merupakan hal yang sangat

dibutuhkan dalam semua aspek, baik yang berkaitan dengan kegiatan duniawi

maupun dalam hal berta’abud kepada Allah Swt. Metode yang digunakan Al-

Quran merupakan metode yang pasti dan benar tanpa ada kekurangan dan

5
kesalahan sedikitpun karena ia berasal dari sisi yang Maha Benar lagi Maha

Bijaksana.

B. Rumusan Masalah

Untuk membatasi permasalahan ini, penulis telah merinci agar

pembahasan lebih terfokus dan tidak melebar. Diantara pembahasan yang ingin

dikaji adalah menafsirkan dan meneliti serta menganalisa makna ayat-ayat Al-

Quran yang berhubungan dengan motivasi beribadah. Maka penulis merumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah metode Al-Quran dalam membangun motivasi untuk

beribadah?

2. Bagaimana pandangan ulama dalam memahami ayat motivasi beribadah

dalam Al-Quran?

C. Tujuan Penelitian

Di bagian ini, ada beberapa tujuan pokok yang mendasari penulis dalam

menulis skripsi ini, yaitu:

1. Penulis ingin meneliti metode apa yang dipakai Al-Quran dalam

membangun motivasi.

2. Ingin mengetahui pandangan ulama dalam memahami ayat-ayat motivasi

beribadah dalam Al-Quran.

6
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang terdapat dalam skripsi ini yang perlu

dijelaskan adalah sebagai berikut:

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dengan adanya penulisan skripsi ini penulis berharap bisa memberi

sumbangan ilmu dan masukan untuk bisa menambah wawasan dan ilmu

pengetahuan bagi perkembangan pemikiran generasi muda Islam dalam arus

persaingan dunia globalisasi dewasa ini.

2. Bagi Masyarakat

Dengan adanya penulisan skripsi ini penulis berharap bisa memberi

sumbangan dan masukan serta informasi yang pasti kepada seluruh lapisan

masyarakat untuk bisa mengembangkan dalam pengabdian kepada bangsa dan

agama.

3. Bagi Diri Sendiri

Untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan penulis khususnya

tentang metode Al-Quran dalam membangun motivasi, sehingga dengan adanya

penulisan ini bisa menjadi tonggak ukur bagi penulis dalam menjunjung salah satu

Tri Darma Perguruan Tinggi.

7
E. Penjelasan Istilah

Penelitian ini memiliki beberapa kata kunci yang perlu penulis jelaskan

terlebih dahulu, agar nantinya pembaca dapat memahami secara garis besar

tentang pokok pembahasan pada bab selanjutnya.

1. Metode

Metode adalah seperangkat langkah, cara ataupun proses yang sudah

tersusun secara berpola dan sistematis yang dilakukan dengan mengikuti langkah-

langkah tertentu guna mencapai tujuan yang hendak dicapai.

2. Al-Quran

Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

Saw dengan perantaraan malaikat Jibril sebagai kitab suci umat Islam yang ditulis

secara mutawatir untuk pedoman dan petunjuk serta mendapat pahala bagi orang

yang membacanya. 6

3. Motivasi
Motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal

bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan

persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.7

4. Ibadah
Ibadah dalam bahasa Arab memiliki arti kehinaan dan ketundukan.

Adapun pengertian ibadah menurut istilah syar’i adalah nama yang merangkum

6
Kahar Masyur, Pokok-Pokok Ulumul Quran, Cet. I (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 2.
7
Winardi, Manajemen Prilaku Organisasi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hal.
123.

8
segala sesuatu yang diridhai Allah dan yang dicintai-Nya, baik berupa perkataan

maupun perbuatan, yang dzahir maupun yang bathin.8

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam penulisan skripsi ini merupakan penelitian yang bersifat

kepustakaan (Library Research), yaitu mengumpulkan data dari berbagai sumber

dan literatur yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini yang kemudian

dijelaskan dengan menggunakan metode maudhu’i.

2. Sumber Data

a. Sebagai data primer penulis merujuk kepada buku-buku atau kitab-kitab

tafsir Al-Quran yaitu kitab Tafsir Al-Misbah, Tafsir Ibnu Katsir dan

Tafsir Al-Azhar.

b. Data-data sekunder atau data pendukung penulis merujuk kepada buku-

buku yang diperoleh dari karya para tokoh, karya ilmiah, artikel,

literatur-literatur dan kajian-kajian lain yang terkait dengan bahan

penelitian.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode maudhu’i

yaitu mencoba mencari dan meneliti ayat-ayat yang berkaitan dengan

motivasi serta menganalisa terhadap penafsiran ayat-ayat tersebut sesuai

dengan tema yang dikaji.

8
Abu Ammar & Abu Fatiah Al-Adnani, Mizanul Muslim (Solo: Cordova Mediatama,
2009), hal. 388.

9
4. Analisis Data

a. Metode Deskriptif

Yaitu tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan

data, akan tetapi akan meliputi analisa dan interprestasi tentang arti data

itu, dan dengan data tersebut nantinya dapat sebuah penyelidikan

deskriptif membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu

yang kemudian mengambil suatu kesimpulan yang konkrit. 9

b. Metode Content Analysis

Yaitu dengan melakukan pengolahan dan pemeriksaan data secara

konsepsional atas suatu pernyataan. Dengan demikian penulis memperoleh

pemahaman yang jelas apa yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan

sehingga nantinya mudah dipahami.

G. Sistematika Pembahasan

Sesuai dengan masalah yang diteliti dalam penyusunan skripsi ini terbagi

kedalam empat bab dan untuk memudahkan bagi pembaca dalam menelusuri isi

uraian selanjutnya, penulis memandang perlu adanya uraian singkat sebagai garis

besar dalam penulisan ini, yaitu:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang menjadi pengantar umum

dalam penulisan skripsi ini yang diisi dengan pembahasan mengenai latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

9
Chairani, Penafsiran Ilmiah Al-Quran Terhadap Ayat Kejadian Manusia, Cet. I
(Banda Aceh:IAIN Ar-Raniry, 2004), hal. 9.

10
penjelasan istilah, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Dalam bab ini

menjelaskan gambaran singkat masalah yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

Bab kedua memuat tentang makna dari metode Al-Quran dan gambaran

umum tentang teori motivasi dan ibadah serta sekilas membahas tentang jenis

metode yang digunakan Al-Quran.

Bab ketiga berisi ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan motivasi

dan pandangan para mufassir dalam memahami ayat-ayat yang berhubungan

dengan tumbuhnya motivasi beribadah, yang selanjutnya dianalisa untuk mencari

metode yang digunakan Al-Quran dalam membangun motivasi beribadah.

Bab keempat adalah penutup, berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan

yang telah diuraikan dan dikemukakan beberapa saran yang dapat bermafaat bagi

pembaca.

11
BAB DUA
METODE AL-QURAN
DALAM MOTIVASI BERIBADAH

A. Metode Al-Quran

Al-Quran adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu

pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah Swt menurunkan

kepada Nabi Muhammad Saw demi membebaskan manusia dari berbagai

kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang

lurus. Manusia yang berpegang teguh pada tuntunan Al-Quran akan memperoleh

kebahagiaan dan selalu dalam lindungan Allah Swt, namun sebaliknya, mereka

yang ingkar dan menjauhkan diri dari Al-Quran ingatlah azab Allah sangat

dahsyat. Oleh karena itu kita harus mengerti apa maksud dan tujuan yang

dimaksud Al-Quran, bila tidak, salah satu langkah untuk mencari makna yang

sebenarnya perlu merujuk kepada hadits Nabi dan pendapat ulama, bukan

memahami secara tekstual saja hingga terjerumus kepada kecelaan akal dan hawa

nafsu.

Di zaman sekarang sudah tidak sulit lagi dalam memahami makna Al-

Quran, karena telah banyak ulama-ulama mengeluarkan karya hebat dalam bentuk

tafsir, tetapi yang sangat sulit bagi masyarakat sekarang adalah bagaimana mereka

mengamalkannya, maka dari itu perlu sebuah metode praktis dalam mengamalkan

perintah-perintah Ilahi yang tersurat dalam Al-Quran.

12
1. Definisi Metode Al-Quran

Pengertian metode secara etimologi berasal dari dua kata, yaitu meta

dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan” atau “cara” 1.

Dalam bahasa Arab dikenal dengan thariqah yang berarti jalan, cara atau

langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk mencapai tujuan dalam

melakukan sebuah kegiatan2. Para ahli mengemukakan makna „metode‟

dengan beragam variasi tergantung dari pemahaman mereka, agar lebih jelas

penulis memaparkan beberapa pendapat para ahli psikologi dalam

memaparkan makna „metode‟.

Menurut Rothwell & Kazanas metode adalah cara, pendekatan, atau

proses untuk menyampaikan informasi. Titus mengatakan metode adalah

rangkaian cara dan langkah yang tertib dan terpola untuk menegaskan bidang

keilmuan. Hal senada juga dikemukakan oleh Acquarie, dia mengungkapkan

bahwa metode adalah suatu cara melakukan sesuatu, terutama yang

berkenaan dengan rencana tertentu. Winardi mengatakan metode adalah

seperangkat langkah (apa yang harus dikerjakan) yang tersusun secara

sistematis (urutannya logis). Menurut Almadk metode adalah cara

menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan

penjelasan kebenaran.

1
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, Cet. I (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 61.
2
Shahih Abd. Al-Aziz, al-Tarbiyah al-Haditsah maddatu, Mabadi‟uba, tathiqatuha al-
Amaliyah, (Kairo: Dar al-M‟arif, 1119 H), hal.196.

13
Menurut Ostle metode adalah pengajaran terhadap sesuatu untuk

memperoleh sesuatu interelasi. Drs. Agus M. Hardjana mengatakan metode

adalah cara yang sudah dipikirkan masak-masak dan dilakukan dengan

mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan yang hendak

dicapai.

Menurut Hebert Bisno metode adalah teknik-teknik yang

digeneralisasikan dengan baik agar dapat diterima atau digunakan secara

sama dalam satu disiplin dan praktek. Menurut Max Siporin metode adalah

sebuah orientasi aktifitas yang mengarah kepada persyaratan tugas-tugas dan

tujuan-tujuan nyata. Rosdy Ruslan mengatakan bahwa metode merupakan

kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk

memahami suatu subjek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban

yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk

keabsahannya.3 Hasan Langgulung mendefinisikan bahwa metode adalah

cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai sebuah tujuan. 4 Al-Abrasy

mendefinisikan metode adalah jalan yang kita ikuti untuk memberikan

pengertian dan pemahaman dalam sebuah kegiatan untuk memperoleh tujuan

tertentu.5

3
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, hal. 155.
4
Hasan Langgulung, Pendidikan Dan Peradaban Islam , (Jakarta: ustaka Al-Husna, 1985),
hal. 79.
5
Muhammad Athiyah, al-Abrasy, Ruh aal-Tarbiyat wa al-Ta;lim, (Kairo: Isa al-babi al-
nalabi, tt), hal.257.

14
Dengan demikian dapat dipahami bahwa metode merupakan cara atau

jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sebuah tujuan yang diharapkan.

Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat kita pahami bahwa metode Al-

Quran adalah sebuah langkah atau cara yang digunakan oleh Al-Quran dalam

membimbing untuk melaksanakan sesuatu tujuan yang hendak dicapai.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pemilihan metode dari Al-

Quran adalah untuk membangun motivasi manusia dalam menjalankan

ibadah kepada Allah guna untuk memperoleh tujuan kebenaran yang hakiki,

dimana tujuan disini merupakan tujuan yang sudah pasti, yaitu menjadi

manusia yang berta‟abud kepada Allah dengan sesungguh hati, bukan hanya

sebatas kata dan separuh hati, sehingga dengan menggunakan metode Al-

Quran nantinya mampu menumbuhkan motivasi yang kuat untuk beribadah

kepada Allah serta membendung hal-hal yang dapat menjadi murkanya Allah

kepada kita.

2. Macam-Macam Metode Al-Quran

Al-Quran memiliki gaya bahasa yang sangat menarik yang mampu

membawa pemaknaan dan pemahaman berdasarkan zaman dan keadaan,

meski dalam memahaminya banyak terjadi perbedaan dikalangan ulama

tafsir, itu hanya tergantung sisi dan sudut pandang yang mereka gunakan.

Seperti halnya dalam memahami metode yang digunakan Al-Quran dalam

membangun motivasi beribadah, mereka memiliki cara dan sudut pandang

masing-masing sedangkan tujuan hanya satu yaitu beribadah kepada Allah.

15
a. Pandangan Ahli Pendidikan Islam
Sebelum jauh mengkaji tentang metode yang digunakan Al-Quran,

kita terlebih dahulu melihat pendapat para ahli pendidikan Islam yang

telah mengemukakan beberapa metode yang digunakan dalam

menumbuhkan motivasi pada seseorang khususnya dalam melaksanakan

ibadah kepada Allah Swt, dengan menggunakan metode ini mereka

berharap mampu membawa kepada kesungguhan yang amat sangat dalam

menjalankan ibadah dengan sepenuh hati. Adapun tokoh pendidikan Islam

yang mengemukakan tentang hal tersebut diantaranya:

1) Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali metode yang digunakan untuk

menumbuhkan motivasi diberikan kepada anak sejak usia dini, sewaktu

ia menerimanya dengan hafalan diluar kepala. Ketika ia menginjak

dewasa, sedikit demi sedikit makna agama akan tersingkap pada

dirinya. Jadi proses dimulai dengan hafalan, diteruskan dengan

pemahaman. Demikianlah keimanan akan tumbuh pada anak tanpa dalil

terlebih dahulu.6

Menurut Al-Ghazali proses penuntutan anak ibarat menanam

sebuah benih, sedangkan keyakinan dalam memberikan keterangan atau

pemahaman dalam ibadah merupakan penyiramannya, adapun pagar

untuk menjaga adalah kedisiplinan waktu dalam melaksanakannya,

sehingga setelah besar ia akan tumbuh kokoh yang tak mampu

terombang-ambing dalam angin topan kekejaman dunia.

6
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal. 23.

16
Dari paparan yang dikemukakan Al-Ghazali diatas, dengan

demikian dapat kita pahami bahwa dalam menumbuhkan motivasi

untuk beribadah, dimulai dari usia dini dengan permulaan hafalan

beserta pemahaman, lalu disusul dengan keyakinan dan pembenaran,

dan terakir ditegakkan dengan dalil-dalil dan keterangan-keterangan

yang menunjang dalam melaksanakan ibadah.

2) Adullah Nashih Ulwan

Menurut Adullah Nashih Ulwan metode yang digunakan dalam

menumbuhkan motivasi itu dimulai dari orang tua dan rumah tangga

dengan menyuruh membaca dan memperkenalkan kekuasaan Allah

kepada anak-anaknya, memperkenalkan sejak awal hukum-hukum

Islam, dan membiasakan diri dalam melaksanakan ibadah kepada Allah,

membaca Al-Quran, serta mendidik mereka untuk meneladani ahklak

Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari.7

3) Abd. al-Rahman al-Nahlawi

Menurut an-Nahlawi, metode yang dapat menyentuh perasaan

sehingga akan menumbuhkan motivasi bagi seseorang yaitu dengan

metode hiwar (percakapan), dengan kisah, dengan amtsal, dengan

teladan, ibrah (pelajaran) mauizah (peringatan), targhib (senang), tarhib

(takut).8

7
Adullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Uulad Fi al-Islam, jilid I, Dar al-Salam, hal.157.
8
Abd. al-Rahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip Dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung:
Diponegoro, 1989), hal. 304.

17
4) Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani

Adapun yang dikemukakan oleh Omar hampir sama dengan apa

yang dikemukakan oleh an-Nahlawi, hanya saja Omar menambahkan

adanya metode perbandingan (qiyasiyah), halaqah, dialog, hafalan dan

pemahaman.9

Dari kutipan diatas, kita dapat melihat bahwa metode yang

dikemukakan para ahli tersebut dilaksanakan sejak dini, bertahap,

berkesinambungan dan tuntas, serta dengan cara bijaksana, penuh kasih

sayang, teladan yang baik yang sesuai dengan perkembangan yang

dapat membangkitkan dan menumbuhkan motivasi secara praktis.

Namun demikian metode yang dikemukakan oleh para ahli

tersebut bila kita hayati dengan seksama sebenarnya telah terkandung

dalam Al-Quran, bahkan Al-Quran menjelaskan dengan sangat rinci

dan begitu lebih praktis lagi, sehingga metode yang ditawarkan Al-

Quran begitu dinamis dan fleksibel dalam ranah masyarakat modern

sekarang ini.

b. Motivasi Al-Quran

Melihat masyarakat zaman sekarang sudah begitu sibuk dengan

kegiatannya, sehingga sangat sedikit dan terbatas waktu untuk melakukan

ibadah kepada Allah Swt. maka dari itu perlu metode yang tepat dalam

menumbuhkan kembali motivasi tersebut supaya mampu tertancap kokoh

9
Omar Mohammd al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Langgulung,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 589.

18
dalam setiap jiwa untuk selalu dekat dengan Allah Swt. meski waktu

terbatas tetapi mampu dipergunakan dengan semaksimalnya Karena bila

jiwa dan hati dekat dengan Allah maka perbuatanpun akan terjaga dari

kejahatan-kejahatan merusak umat; kita sadari atau tanpa kita sadari

betapa banyak kejahatan yang tumbuh pada diri masing-masing lantaran

masih kurangnya rasa takut kepada Allah Swt, seolah-olah dalam

melakukan sesuatu kemungkaran hidup ini tanpa diawasi oleh Allah yang

Maha Mengawasi.

Maka dari itu Al-Quran memberi jalan bagi kita dalam membendung

kejahatan, menolak kemungkaran, dan menggunakan waktu dengan

kebenaran tanpa ada kesia-siaan dalam kehidupan walau hanya sementara.

Jalan tersebut adalah dengan beribadah sepenuh hati dan dengan

keikhlasan yang sesungguh kepada Allah Swt, dengan cara yang diberikan

Al-Quran. Adapun cara tersebut tercantum dalam QS. An-Nahl:125 yang

berbunyi:

          

             

“Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran


yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui orang yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk”

19
Ayat tersebut menggambarkan bahwa Al-Quran memiliki metode yang

sangat pantas untuk diimplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam

melaksanakan ubudiyah kepada Allah „Azza wa Jalla, dengan tujuan dapat

menumbuhkan motivasi dalam beribadah kepada Allah Swt.

Dari ayat tersebut secara garis besar metode yang digunakan Al-Quran

dalam menumbuhkan motivasi bagi seseorang khususnya dalam bidang

ibadah itu terbagi atas tiga bagian, yaitu Al-Hikmah, Al-Mauizhah Hasanah,

dan Al-Mujadalah.

Ketiga metode tersebut sesungguhnya masih sangat bersifat umum

(global), karena memang hampir kebanyakan pesan-pesan Al-Quran

menggunakan kata global yang kemudian dielaborasikan melalui hadits-

hadits Nabi dan interpretasi para ulama yang kadang-kadang atas

pertimbangan situasi dan kondsi. Oleh karena itu, jenis metode ini perlu

dipahami dan dianalisis dengan seksama melalui pendekatan ilmu dakwah

yang kemudian dijadikan sebuah rumusan yang sistematis, sehingga bisa

diharapkan menjadi pedoman bagi kita dalam upaya menumbuhkan motivasi

bagi diri sendiri atau orang lain dalam hal beribadah kepada Allah Swt.

1) Al-Hikmah

Kata “hikmah” dalam Al-Quran disebutkan 20 kali, baik dalam

bentuk nakirah maupun ma‟rifah. Bentuk masdarnya adalah “hukman”

secara bahasa bermakna mencegah. Bila dikaitkan dengan hukum

bermakna mencegah dari kedhaliman, dan jika dikaitkan dengan ibadah

20
adalah mencegah hal-hal yang dapat merusak dan menghalangi jalannya

ibadah kepada Allah Swt.

Menurut al-Ashma‟i asal mula didirikan hukumah (pemerintahan)

ialah untuk mencegah manusia dari perbuatan zalim. Maka digunakan

istilah hikmatul lijam, karena lijam bermakna cambuk atau kekang kuda

yang berguna untuk mencegah tindakan hewan.10

Al-Hikmah juga berarti tali kekang pada binatang sebagaimana

yang dijelaskan dalam kitab Misbahul Munir. Diartikan demikian

karena tali kekang itu membuat penunggang dapat mengendalikannya,

sehingga dapat mengendalikan dan mengatur perintah bagi

tunggangannya. Dari kiasan tersebut maka orang yang memiliki hikmah

bermakna orang yang memiliki kendali diri yang dapat mencegah

dirinya dari hal-hal yang kurang bernilai, atau menurut Ahmad bin

Munir al-Muqri al-Fayumi berarti dapat mencegah dari perbuatan yang

hina.11

Orang yang memiliki hikmah disebut al-Hakim, yaitu orang yang

memiliki pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu, maka bila

dikaitkan dalam konteks ibadah, maka orang-orang yang telah

mendapat hikmah merupakan orang-orang yang telah dianugerahi oleh

Allah Swt sesuatu yang lebih sehingga ia mampu mengisi

kehidupannya dengan semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt.

Jenis-jenis hikmah yang diberikan oleh Allah kepada manusia pilihan

10
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, jilid 12, (Beirut: Dar Fikr, 1990), hal. 141.
11
Ahmad bin Muhammad al-Muqri‟ al-Fayumi, al-Misbahul Munir, tp. tth, hal. 120.

21
dalam hal beribadah meliputi hikmah jiwa, hikmah hati, dan hikmah

pikiran. Adapun hikmah jiwa meliputi:

a) Perasaan tanggung jawab pada dirinya untuk melasanakan

ibadah kepada Allah Swt.

b) Timbulnya perasaan takut (al-khauf) kepada Allah bila yang

dilaksanakan tersebut merupakan pekerjaan yang tercela.

c) Merasa butuh (al-faqr) kepada Allah, karena yakin bahwa ia

tidak mampu hidup tanpa ada pertolongan dari-Nya.

d) Tumbuhnya perasaan selalu diawasi (muraqabah) oleh Allah

sehingga selalu berhati-hati dalam setiap langkah yang hendak

diayun.

e) Adanya rasa malu (al-haya‟) kepada Allah bila keseharian

berada dalam gelimang dosa.

Selain itu, Allah juga memberi hikmah pada seseorang yang

lebih berpotensi pada hati, karena bila hati telah dianugerahi cahaya

hikmah oleh Allah, maka hati tersebut akan bersinar laksana cermin

yang memantulkan bayangan kemilauan yang luar biasa, sehingga akan

menumbuhkan perasaan yang luar biasa pada dirinya, adapun perasaan

tersebut diantaranya:

a) Tumbuhnya rasa cinta (hubb) yang kuat kepada Allah, melebihi

segala sesuatu, sehingga ia akan selalu ingin bersama dengan

Allah, seolah-olah ia tidak mampu jauh dan selalu teringat

kepada Allah Azza wa Jalla.

22
b) Kesungguhan dalam melaksanakan ibadah baik itu dalam

melaksanakan ibadah lisan, hati maupun perbuatan untuk

mengisi waktu-waktu dalam kehidupan sehari-hari.

c) Hati akan terpaut dengan rasa kekhawatiran (isyfaq) terhadap

apa yang dilaksanakan, apakah hal tersebut diterima atau diridha

oleh Allah atau bahkan sebaliknya ditolak tanpa ada harapan

mendapat ridha-Nya.

d) Apapun yang dilaksanakan dalam kehidupannya, baik itu suka

duka, gembira, bahagia ataupun kesedihan dan kesengsaran itu

diterima dengan ikhlas dan lapang dada, karena yakin bahwa

segala sesuatu itu datangnya dari Sang Pencipta.

Adapun hikmah selanjutnya yang diperoleh dari Allah melalui

akal dan pikiran, yang ditanamkan oleh Allah dalam akalnya sehingga

ia mampu berpikir dan merenungi kekuasaan dan ayat-ayat Tuhan yang

berada di sekitarnya, karena Allah sangat menganjurkan manusia selalu

berpikir tentang kekuasaan Allah-Nya. Orang-orang yang mendapat

hikmah pikiran akan mampu mengambil ibrah terhadap apa yang

dilihatnya. Adapun hikmah pikiran tersebut sangat banyak, namun

secara garis besar meliputi:

a) Senantiasa memikirkan tujuan dari penciptaan dirinya sendiri.

b) Memikirkan tentang penciptaan alam semesta.

c) Memikirkan sifat kehidupan dunia yang sementara.

d) Memikirkan nikmat-nikmat yang mereka miliki.

23
e) Berpikir tentang akhirat, hari kiamat dan hari penghisaban.

f) Sering berpikir tentang kematian.

2) Mau’idhah Hasanah

Secara bahasa Mau‟idhah Hasanah terdiri dari dua kata, yaitu

mau‟idhah dan hasanah. Kata mau‟idhah berasal dari kata wa‟adha-

ya‟idhu-wa‟dhan-‟idhatan, yang berarti nasehat, bimbingan, pendidikan

dan peringatan.12 Sementara hasanah merupakan lawan dari sayyi‟ah

yang bermakna kebaikan lawan dari kejelekan.

Adapun secara istilah, kata Mau‟idhah Hasanah memilki

beberapa pengertian, seperti menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-

Nasafi yang dikutip oleh H. Hasanuddin, “Mau‟idhah Hasanah adalah

perkataan-perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa

engkau memberikan nasehat dan menghendaki mamfaat kepada mereka

atau dengan Al-Quran”.13

Menurut Abd. Hamid al-Bilali “Mauidhah Hasanah merupakan

salah satu metode dalam Al-Quran yang berkaitan dengan dakwah

untuk mengajak kejalan Allah dengan memberi nasehat atau bimbingan

dengan cara yang lemah lembut agar mereka mau melakukan suatu

kebaikan”.14

12
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, jilid VI, (Beirut: Dar Fikr, 1990), hal. 466.
13
Hasanuddin, SH., Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hal. 37.
14
Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah fi Ingkar al-Munkar, (Kuwait: Dar al-Dakwah,
1989), hal. 260.

24
Mau‟idhah Hasanah dapat pula diartikan sebagai ungkapan yang

mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-ksah,

berita gembira, peringatan, wasiat positif berupa pesan-pesan yang

dapat menjadi pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan

keselamatan dunia dan akhirat.

3) Mujadalah

Secara bahasa lafadz mujadalah terambil dari kata “jadala”

yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambah huruf alif pada

huruf jim, yang mengikuti wazan “faa-„ala” kata ini dapat bermakna

berdebat, berbantah dan mujadalah.15

Kata “jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya

guna untuk menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan

menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawan bicaranya dengan

menguatkan pendapat melalui argumentasi yang disampaikan. 16

Menurut Ali al-Jarisyah, dalam kitabnya al-Hiwar wa al-

Munadzarah mengartikan bahwa “al-Jidal” secara bahasa dapat

bermakna “datang untuk memilih kebenaran” dan apabila berbentuk

isim “al-Jadlu” maka bermakna “pertentangan atau perseteruan yang

tajam”17 beliau juga menambahkan lafadz ini musytaq dari lafadz al-

Qatlu yang sama-sama bermakana pertentangan.

15
Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
hal.175.
16
Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000), hal. 553.
17
Ali al-Jarisyah, al-hiwar wa al-Munadzarah, (al-Munawarah: Dar al-Wifa, 1989), hal.
19.

25
Secara istilah terdapat beberapa pendapat dalam mengemukakan

makna lafadz al-Mujadalah ini, seperti yang dikemukakan oleh Abdus

Salam dalam buku etika diskusi mengungkapkan bahwa al-Mujadalah

merupakan uapaya tukar pendapat yang dilakukan dua pihak secara

sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya pemusuhan

diantara keduanya.18

Menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah suatu upaya

yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara

menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.19

Dari beberapa pendapat diatas dapat kita pahami bahwa

mujadalah merupakan cara yang ditempuh dengan argumentasi kuat

berdasarkan dalil untuk memperoleh suatu puncak kebenaran.

Al-Quran melalui ayat-ayatnya menaruh perhatian yang besar

pada masalah ini, terbukti dalam Al-Quran Allah menyebutkan redaksi

al-Mujadalah sebanyak 16 kali,20 karena metode ini ditempuh demi

menggapai kebenaran yang meyakinkan hati, menyegarkan jiwa,

menenangkan perasaan dan menjadikan kaum muslimin termotivasi

untuk menjalankan ibadah sehingga akan hidup dalam iman yang kuat

untuk memperoleh kesempurnaan tujuan dan kebahagian dunia dan

akhirat.

18
World Assembly of Muslim Youth (WAMY), Fi Ushulil Hiwar, (Mesir: Maktabah
Wahbah Cairo), Terj. Abdus Salam, Muhil Dhafir, Etika Diskusi, Cet. II (Jakarta:Era Inter Media,
2001), hal.21.
19
Sayyid Muhammad Thanthawi, Adab al-Khiwar fi Islam, (Mesir: Dar al-Nahddhah),
Terj. Zuhaeri Misrawi, Zamroni Kamal, cet. I, (Jakarta: Azam, 2001), pada kata pengantar.
20
Al-Raghib al-Afsan, Mu‟jam al-Faadh Al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), hal. 610.

26
B. Motivasi

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah yang ditugaskan untuk

memakmurkan bumi, mengenal potensinya, perbendaharaan yang terpendam di

dalamnya, sambil mewujudkan apa yang dikehendaki Allah dalam

penggunaannya, pengembangan dan peningkatannya, juga memuat upaya

penegakan syariat Allah di bumi, juga mewujudkan sistem yang sejalan dengan

undang-undang dan hukum yang telah ditetapkan Ilahi.

Oleh karena itu, manusia hidup di dunia ini telah mengemban sebuah

amanah besar yang harus dijaga dengan hati-hati dan penuh kesabaran. Untuk

Menjaga dan memelihara itulah terkadang manusia salah kaprah dalam

melaksanakannya, manusia telah banyak digoda oleh syahwat dan hawa nafsu

sehingga banyak terjadi kerusakan dan kedhaliman di muka bumi.

Namun demikian semua itu bisa terkendali bila manusia telah memiliki

motivasi yang kuat dalam menjaga amanah dengan semata-mata sebagai ibadah

dan mengharap ridha Allah. Maka dari itulah motivasi merupakan salah satu

faktor akurat yang menjadi pendukung terlaksananya sebuah kegiatan dengan baik

dan sempurna.

1. Definisi Motivasi

Kata motivasi berasal dari bahasa latin “Movere” yang artinya

menimbulkan pergerakan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia bermakna:

“Dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk

melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; dan usaha yang dapat

menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan

27
sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat

kepuasan dengan perbuatannya.21

Pengertian motivasi sering kali diartikan dengan motif yaitu dorongan.

Dorongan tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat dan

menggerakkan manusia melakukan sesuatu pekerjaan dan pencapaian suatu

tujuan. Seperti yang dikemukakan oleh Woodworth dan Marques dimana

motivasi sering diartikan sebagai motif yaitu suatu tujuan jiwa yang

mendorong individu dan aktivitas-aktivitas tertentu dan untuk tujuan-tujuan

tertentu terhadap situasi disekitarnya.22

Menurut Wexley dan Yukl motivasi adalah pemberian atau penimbulan

motif atau dorongan seseorang untuk melakukan suatu hal23, sedangkan

menurut Mitchell motivasi mewakil proses-proses psilogikal yang

menyebabkan timbulnya, dan tumbuhnya dan diarahkannya agar dapat terjadi

suatu kegiatan dalam pencapaian tujuan tertentu24. Lain halnya menurut Gray

motivasi merupakan sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi

setiap individu yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan

partisipasi dalam hal melakukan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan

tertentu.

Morgan (Soemanto 1987) mengemukakan bahwa motivasi bertalian

dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek-aspek dari motivasi. Ketiga

hal tersebut adalah: keadaan yang mendorong tingkah laku (motivating

21
Pusat Bahasa, KBBI, Jakarta: 2008, hal. 973.
22
Mustaqim, Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan, (Semarang: Rineka Cipta, 1990), hal.72.
23
Moh. As‟Ad, Psikologi Industri, (Yokyakarta: Liberty, 1998),
24
Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi, (Bandung: PT.Citra Aditya, 1992)

28
states). Tingkah laku yang didorong oleh keadaaan tersebut (motivated

behavior) dan tujuan-tujuan dari tingkah laku tersebut (goals or ends of such

behavior). Mc Donald mendefinisikan motivasi sebagai perubahan tenaga

dalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi-reaksi

mencapai tujuan.25 Selain dari itu, masih banyak sekali ahli-ahli psikologi

mendefinisikan makna motivasi dengan sudut pandang yang berbeda.

Maka dari itu dapat kita simpulkan bahwa Motivasi adalah energi aktif

yang menyebabkan terjadi suatu keinginan yang kuat untuk menyebabkan

perubahan pada diri individu yang nampak pada gejala jiwa perasaan dan juga

emosi, sehingga mendorong seseorang untuk bertindak dan melakukan

sesuatu karena adanya kebutuhan, keinginan dan tujuan yang harus

terpuaskan.

2. Macam-Macam Motivasi

Secara garis besar, teori motivasi dikelompokkan ke dalam tiga

kelompok yaitu teori motivasi dengan pendekatan isi/kepuasan (content

theory), teori motivasi dengan pendekatan proses (process theory) dan teori

motivasi dengan pendekatan penguat (reinforcement theory). Motivasi dapat

diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan

tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan,

baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik)

maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). 26

25
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1987),
26
Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku, (Yokyakarta: Kanisius,
1995), hal. 41.

29
Maka jelaslah motivasi memiliki dua variasi yang pertama Motivasi

Ekstrinsik yaitu motivasi yang didapat dari luar, baik dari lingkungan sekitar,

dorongan dari orang lain, pengaruh kultur sosial dan hal-hal lain yang berasal

dari luar, dan yang kedua Motivasi Intrinsik yaitu motivasi yang berasal dari

diri sendiri, jenis ini berupa hasrat untuk melakukan sesuatu, keinginan, dan

hal-hal yang tumbuh dari jiwa seseorang tanpa dorongan dan pengaruh dari

luar.27

Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan

terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks ibadah,

belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi

telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik,

manager, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya

pencapaian kinerja (prestasi) seseorang dalam belajar atau bekerja, namun

sangat sedikit yang memuat tentang bagaimana dalam beribadah.

Sebelum melangkah jauh, kita melihat sedikit tentang jenis-jenis,

faktor, ataupun teori motivasi menurut para ahli terlebih dahulu, yang

nantinya akan kita kaitkan dengan metode yang digunakan Al-Quran dalam

membangun motivasi khususnya dalam masalah ibadah kepada Allah Swt.

a. Motivasi Intrinsik

Menurut Sadirman AM, motivasi intrinsik adalah: “motif-motif yang

menjadi aktif atau berfungsi tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam

diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu”.

27
Mustaqim, Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan, (Semarang: Rineka Cipta, 1990), hal.
72.

30
Dengan demikian motivasi intrinsik dapat pula dikatakan sebagai

bentuk motivasi yang didalamnya aktivitas dimulai dan diteruskan

berdasarkan pada suatu dorongan dalam diri dan secara mutlak terkait

dengan aktivitas tersebut. Sedangkan menurut Chalijah Hasan motivasi

intrinsik adalah: “jenis motivasi ini timbul sebagai akibat dari dalam diri

individu sendiri tanpa ada paksaan dan dorongan dari orang lain”

Ada beberapa macam terbentuknya motivasi intrinsik antara lain:

1) Adanya Kebutuhan

Menurut Ngalim Purwanto: “Tindakan yang dilakukan oleh

manusia pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhannya, baik

kebutuhan fisik maupun psikis”.

Dari pendapat tersebut, misalnya bagi keluarga sakinah yang

bermaksud memberikan motivasi kepada anak, maka harus berusaha

mengetahui terlebih dahulu apa kebutuhan-kebutuhan anak yang akan

dimotivasi. Begitu juga dalam melaksanakan setiap kegiatan lainnya,

kita setidaknya mesti mengetahui sedikit tidaknya mamfaat dan

hikmah dari apa yang kita laksanakan tersebut. seperti firman Allah

dalam Al-Quran surah Al-Anbiya:80 yang berbunyi:

         
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk

kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka

hendaklah kamu bersyukur kepada Allah”

31
Menurut Yaumil Agoes menambahkan sedikit, bahwa dalam

memahami kebutuhan anak adalah semata-mata untuk memberi

peluang pada anak memilih berbagai alternatif yang tersedia dalam

suatu lingkungan yang kaya stimulasi”.28 Berdasarkan kepada

pendapat tersebut dapat dipahami bahwa kebutuhan merupakan salah

satu hal yang dapat menumbuhkan motivasi.

2) Adanya Cita-Cita

Selanjutnya pendorong yang mempunyai pengaruh besar adalah

adanya cita-cita. Cita-cita merupakan pusat bermacam-macam

kebutuhan-kebutuhan, artinya kebutuhan-kebutuhan itu biasanya

direalisasikan di sekitar cita-cita itu, sehingga cita-cita tersebut

mampu memberikan energi kepada seseorang untuk melakukan

sesuatu aktifitas. Jadi seseorang harus mempunyai cita-cita dan

dengan cita-cita tersebut dapat meraih apa saja yang diinginkan.

Selanjutnya Zakiah Daradjad menjelaskan bahwa: “Mamfaat sikap-

sikap cita-cita dan rasa ingin tahu seseorang misalnya ada pada

umumnya anak-anak preadolescent dan permulaan adolesent memiliki

cita-cita yang tinggi dan sering mereka memberi respon dalam bentuk

kerja sama permainan, kejujuran dan karajinan”29

28
Yaumil Agoes, Peranan Keluarga Dalam Pembinaan SDM, (Jakarta:Pustaka Antara,
1993), hal. 21.
29
Zakiah Daradjad, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), hal.144.

32
Dari pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa perlu pemberian

motivasi yang tepat terhadap seseorang yang belum mengetahui

pentingnya kegiatan tersebut yang menunjang terhadap pencapaian

cita-citanya. Maka bila dikaitkan dengan ibadah, maka disinilah

peranan dan kontribusi orang lain dituntut untuk memberikan

motivasi, agar ia dapat melakukan ibadah yang dapat menunjang

pencapaian cita-cita ataupun tujuan hidupnya dan dalam hal ini,

kontribusi ini dapat berupa dakwah, nasehat ataupun dialog untuk

mewujudkannya dengan cara menerangkan manfaatnya, sehingga

akan terasa terpanggil untuk beribadah secara efektif dan efisien agar

dapat menggapai cita-citanya.

3) Keinginan Tentang Kemajuan Dirinya

Bila dikaitkan dalam proses belajar, motivasi memang memegang

peranan penting. Namun dalam ibadah juga tidak kalah pentingnya

untuk menumbuhkan motivasi tersebut. Menurut Sadirman bahwa:

”Melalui aktualisasi diri pengembangan kompetensi akan

meningkatkan kemajuan diri seseorang. Keinginan dan kemajuan diri

ini menjadi salah satu keinginan diri seseorang. Keinginan dan

kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan bagi setiap individu”.30

30
Sardiman, A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Persada,
1990), hal. 85.

33
4) Minat

Motivasi muncul karena ada kebutuhan, begitu juga minat

sehingga tepatlah kalau minat merupakan alat motivasi yang pokok.

Proses tersebut itu akan berjalan kalau disertai dengan minat. Namun

dalam metode Al-Quran minat termasuk bagian kecil dalam

beribadah, karena ibadah adalah suatu perintah dan kewajiban yang

wajib dilaksanakan oleh setiap manusia.

b. Motivasi Ekstrinsik

Menurut Chalijah Hasan motivasi ekstrinsik adalah “jenis motivasi

yang timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena

adanya ajakan, suruhan atau paksaan dari orang lain sehingga dengan

kondisi yang demikian akhirnya mau melakukan sesuatu kegiatan”.31

Sedangkan Sadirman menyebutkan: “motivasi ekstrinsik itu adalah motif-

motif yang aktif dan fungsinya karena adanya perangsang dari luar”.32

Motif ekstrinsik dapat pula dikatakan sebagai suatu bentuk

motivasi yang didalamnya aktivitas sesuatu diteruskan berdasarkan

dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas

tersebut. Berdasarkan pada pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

motivasi ekstrinsik itu aktif jika dirangsang dari luar dan mempunyai

kontribusi besar dalam menumbuhkan motivasi ini adalah keluarga sebagai

tempat yang pertama dan utama dalam segala proses kehidupan. Ada

31
Chalijah Hasan, Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994),
hal. 42.
32
Sardiman, A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Persada,
1990), hal. 88.

34
beberapa cara untuk menumbuhkan dan membangkitkan motivasi

seseorang agar melakukan sebuah aktifitas ataupun kegiatan, diantaranya

adalah:

1) Pemberian Hadiah

Hadiah merupakan sarana penting bagi seseorang dalam

membangun dan menumbuhkan motivasi, ini merupakan salah satu

alat yang bersifat positif dan fungsinya sebagai alat represif positif.

Hadiah juga merupakan alat pendorong untuk lebih aktif.

Dalam Al-Quran sangat jelas bila kita melihat berbagai hadiah

yang dijanjikan Allah kepada manusia, baik itu hadiah yang akan

diberikan di alam dunia maupun hadiah terbesar yang nantinya

diperoleh di akhirat kelak.

2) Kompetensi

Saingan atau kompetensi dapat digunakan sebagai alat untuk

mendorong untuk menumbuhkan sebuah motivasi, baik persaingan

individu maupun kelompok dalam rangka meningkatkan atau

mencapai sebuah kemenangan. Memang unsur persaingan itu banyak

digunakan dalam dunia modern sekarang ini, hampir setiap aspek

butuh persaingan untuk mencapi tujuannya tersebut. tetapi sangat baik

jika digunakan untuk meningkatkan kegiatan motivasi dalam

beribadah kepada Allah.

35
Namun demikian Al-Quran juga menjelaskan tentang hal ini,

yang dikupas secara panjang lebar yang lebih dikenal dengan sebuah

metode praktis yang disebut dengan mujadalah.

3) Hukuman

Hukuman merupakan pendidikan yang tidak menyenangkan, alat

yang bersifat negatif, namun demikian dapat menjadi alat motivasi

atau pendorong untuk mempergiat kegiatan tersebut agar tidak

memperoleh hukuman yang telah ditetapkan.

Ishom Ahmadi menyebutkan, “Hukuman adalah termasuk alat

pendidikan represif yang bertujuan menyadarkan anak didik agar

melakukan hal-hal yang baik dan sesuai dengan tata aturan yang

berlaku”. Menurut Sadirman adalah “Bentuk reinforcement yang

positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baik”.

Maka jelaslah bagi kita dalam menempuh jalan ini perlu berhati-

hati karena ditakutkan dikenakan hukuman, hal tersebut juga

dijelaskan oleh banyak ayat Al-Quran tentang ancaman dan hukuman

yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.

3. Peranan Motivasi Dalam Ibadah


Perlu ditegaskan, bahwa motivasi bertalian dengan suatu tujuan yang

berpengaruh pada aktifitas, maka fungsi motivasi dalam beribadah adalah:

a. Mendorong manusia untuk beribadah dengan sepenuh hati, yang

menjadi penggerak atau motor yang mampu membendung segala

36
kemungkaran. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari

setiap ibadah yang akan dikerjakan.

b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.

Dengan demikian motivasi dalam beribadah dapat memberikan arah

dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan yang telah

ditetapkan.

c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa

yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan

menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan

tersebut. Sehingga akan muncul waktu yang tersisa selalu terisi dengan

hal-hal yang bermamfaat, tanpa berlalu dengan sia-sia. Disamping itu,

dalam beribadah motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha

pencapaian ibadah yang sempurna, dengan melangkah kepada tempat

atau majelis ilmu yang mampu membawa kepada kebaikan dan

keabsahan ibadah selama ini.

Melihat uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa dengan

adanya motivasi pada diri seseorang dalam melaksanakan ibadah

kepada Allah, baik itu motivasi yang dibangun dari dasar diri

individual, ataupun kondisi dan dorongan dari luar yang dibangkitkan

melalui pemberian motivasi oleh orang lain maka kegiatan ibadah yang

merupakan tujuan pokok dalam kehidupan akan terlaksana secara

optimal.

37
C. Ibadah

Manusia bukan hanya sebatas mahkluk ciptaan Allah yang hanya hidup,

makan dan tidur seperti mahkluk-mahkluk lain tanpa ada pertanggung jawaban di

depan Tuhannya. Manusia adalah jenis mahkluk sempurna yang diciptakan Tuhan

yang diberi akal untuk berpikir kebesaran-Nya, diberi hati untuk merenungi kasih

sayang-Nya, diberi jiwa untuk menghayati ciptaan-Nya, diberi nafsu untuk

melaksanakan perintah-Nya, selain itu Allah juga memberikan kepada manusia

raga yang hebat untuk mampu menundukkan hewan, tumbuhan, dan dunia beserta

isinya, semua itu dengan tujuan satu yaitu agar memudahkan manusia beribadah

kepada Tuhannya.

1. Definisi Ibadah

Ibadah dalam dalam bahasa Arab memiliki arti kehinaan dan ketundukan.

Ibadah ialah penghambaan diri kepada Allah ta‟ala dengan mentaati segala

perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana yang telah

disampaikan oleh Rasulullah Saw inilah hakekat agama Islam, karena Islam

maknanya ialah penyerahan diri kepada Allah semata, yang disertai dengan

kepatuhan mutlak kepada-Nya, dengan penuh rasa rendah diri dan cinta. Ibadah

berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang

dicintai dan diridhai oleh Allah. Dan suatu amal akan diterima oleh Allah

sebagai ibadah apabila diniatkan dengan ikhlas karena Allah semata; dan

mengikuti tuntunan Rasulullah Saw.

38
Adapun pengertian ibadah menurut istilah syar‟i adalah nama yang

merangkum segala sesuatu yang diridhai Allah dan yang dicintai-Nya, baik

berupa perkataan maupun perbuatan, yang dzahir maupun yang bathin.33

Dr. Ibrahim Al-Buraini dalam kitab Al-Makhal li Dirasatil Aqidah, hal


14-15 memberi definisi ibadah sebagai berikut: ”Nama yang mencakup segala
sesuatu yang diridhai Allah dan dicintai-Nya, baik berupa perkataan maupun
perbuatan yang tampak atau yang tidak, dengan penuh rasa cinta, kepasrahan
dan ketundukan yang sempurna serta membebaskan diri dari segala hal yang
bertentangan dan menyalahi”34

Namun demikian jika kita melihat definisi diatas maka jelaslah bahwa

ibadah seorang mukmin itu mesti dibangun atas tiga dasar utama, yaitu: Rasa

Cinta (Al-Hubb), Rasa Takut (Al-Khauf) dan Rasa Harap (Ar-Raja‟).

a. Rasa Cinta (Al-Hubb)


Adanya rasa cinta yang sangat kepada Allah dan Rasul-Nya dan

kecintaan dalam hal beribadah kepada-Nya yang akan mendahulukan

segala hal yang datang dari Allah. Hal ini menuntut seorang hamba untuk

mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi segala sesuatu dari yang lain.

Seperti yang telah disebutkan dalam Al-Quran Allah berfirman dalam

surat At-Taubah ayat 24 yang berbunyi:

        

       

33
Abu Ammar & Abu Fatiah Al-Adnani, Mizanul Muslim, (Solo: Cordova Mediatama,
2009), hal. 388.
34
Ibid. hal. 388.

39
           

     

“Katakanlah (Wahai Muhammad): "Jika bapa-bapa kamu, dan anak-anak


kamu, dan saudara-saudara kamu, dan isteri-isteri (atau suami-suami)
kamu, dan kaum keluarga kamu, dan harta benda yang kamu usahakan,
dan perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai, (jika semuanya itu) menjadi perkara-
perkara yang kamu cintai lebih dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari
pada) berjihad untuk agama-Nya, maka tunggulah sehingga Allah
mendatangkan keputusan-Nya (azab siksa-Nya); karena Allah tidak akan
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (durhaka)”.

Melihat ayat diatas maka jelaslah bagi seorang hamba untuk

mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi dari sesuatu yang lain, ini

merupakan bagian dari maqam yang pertama untuk menumbuhkan rasa

cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya yang disebut dengan

Maqam Takmil (Penyempurnaan).

Pada tingkatan selanjutnya disebut dengan Maqam Tafriq

(Perbedaan), dalam artian bahwa seorang hamba dalam mencintai

saudaranya berlandaskan cinta kepada Allah. Ia tidak mencintainya kecuali

karena Allah35. Ia harus mampu membedakan antara apa yang ia cintai

dengan apa yang ia benci. Dan pada tingkatan yang terakir disebut dengan

Maqam Daf‟udh Dhidd (Penolakan Terhadap Lawan), yaitu seorang

hamba hendaknya membenci segala hal yang bertentangan dengan

cintanya kepada Allah, ia harus menjadikan kebencian tersebut

sebagaimana kebenciannya untuk dilempar kedalam api neraka, seperti

yang pernah disabdakan oleh Rasulullah :

35
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Mujadilah [58]: 22.

40
“Ada tiga perkara yang bila terkumpul pada diri seseorang niscaya ia
akan mengalami kelezatan iman, yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya lebih
ia cintai dari apapun, seseorang yang mencintai orang lain semata-mata
karena Allah (karena keimanan dan amal shaleh kepada Allah), dan benci
kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran
sebagaimana ia tidak suka apabila dilemparkan kedalam neraka.36

b. Rasa Takut (Al-Khauf)

Yaitu adanya rasa takut yang sangat kepada Allah, sehingga tiada

sesuatu apapun yang lebih ditakutkan kecuali takut kepada Allah, murka-

Nya dan azab-Nya. Rasa takut yang menyebabkan seseorang tunduk, patuh

dan taat kepada sesuatu yang ia takuti adalah bagian dari ibadah yang

hanya boleh ditujukan kepada Allah. Rasa takut ini merupakan bagian

yang harus ada, agar iman dan ibadah seorang hamba menjadi benar dan

lurus. Allah berfirman dalam surh Ali Imran:175, yang berbunyi:

         

 
“Sesungguhnya (pembawa berita) yang demikian itu ialah Syaitan yang
(bertujuan) menakut-nakutkan (kamu terhadap) pengikut-pengikutnya
(kaum kafir musyrik). oleh karena itu, janganlah kamu takut kepada
mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika betul kamu orang-orang yang
beriman”37.

c. Rasa Harap (Ar-Raja’)


Yaitu harapan untuk memperoleh pahala yang ada di sisi Allah

berupa ridha dan kasih sayang-Nya, pahala dan syurga-nya tanpa rasa

putus asa. Dengan adanya harapan terhadap karunia-karunia Allah yang

agung ini seseorang hamba akan giat beribadah kepada Allah untuk

36
HR. Bukhari; Kitab Al-Iman no. 16 Muslim Kitab Al-Iman no. 43.
37
Lihat juga QS. Al-Baqarah [2]:40 QS. Al-Maidah [5]: 44.

41
melaksanakan amal shaleh dan menjauhi larangan-Nya. Rasa harap ini ada

dua macam pembagiannya yang pertama; rasa harap hamba yang

melakukan amal kebajikan untuk diterima, diridhai dan dibalas oleh Allah

dengan pahala dari sisi-Nya. Dan jenis yang kedua merupakan rasa harap

seorang hamba yang melakukan amal keburukan untuk diterima taubatnya.

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri

mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.

Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya

Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar

[39]: 53).

2. Macam-Macam Ibadah Dalam Islam


Kita telah mengetahui bahwa misi utama manusia di muka bumi ialah

menyembah Allah azza wa jalla yang telah menciptakan dan memberi nikmat

yang tak terhingga kepada setiap mahkluknya yang bernyawa, namun tak bisa

kita pungkiri bahwa tujuan hidup ini hanyalah untuk beribadah kepada-Nya,

hanya saja kita perlu mengetahui aspek dan cara-cara yang mesti kita tempuh

untuk menuju tujuan utama dengan benar dan di ridhai-Nya.

Islam telah menjelaskan panjang lebar tentang ibadah-ibadah yang mesti

dilaksanakan oleh seorang Muslim dalam mendekatkan diri kepada Allah, yang

semua itu bila kita asumsikan bisa dibagi dua macam yaitu ibadah dalam

makna umum dan khusus. Adapun ibadah yang termasuk kedalam

pembahagian umum itu mencakupi dua hal, yaitu38 :

38
Yusuf Al-Qaradhawi, Ibadah Dalam Islam, (Jakarta: Akbar, 2005), hal. 57.

42
a. Mencakupi keseluruhan agama dan kehidupan, yaitu meliputi seluruh

hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban dan rukun syiar agama

seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Juga hal-hal yang diluar kewajiban

seperti zikir, doa, istighfar, tasbih, tahlil, takbir dan tahmid. Dalam

aspek yang berhubungan dengan seluruh kehidupan ini mencakupi

hubungan baik antara sesama, seperti menepati janji, menunaikan hak-

hak sesama berbuat baik, dan segala macam perbuatan yang

menyangkut dengan sesama manusia dan binatang. Maka dari kedua

aspek tersebut terbentuk sebuah bingkai yang memiliki cakupan yang

besar yaitu amar ma‟ruf nahi munkar.

b. Ibadah mencakup seluruh hal yang berkaitan dengan eksistensi

manusia baik yang tampak maupun yang tidak tampak seperti: Islam,

Iman, Ihsan, Doa, Khauf (rasa takut), Raja‟ (rasa harap), Tawakkal,

Raghbah, Rahbah, Khusyu‟, Khasyah, Inabah, Isti‟anah, Isti‟adzah,

Istighatsah.

Ulama Membagi Ibadah kepada tiga: Hati (qalbiyah), Lisan

(lisaniyah) dan Perbuatan. Rasa khauf (takut), raja‟ (mengharap), mahabbah

(cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut)

adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil,

takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah (hati).

Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah (perbuatan).

Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan

hati, lisan dan badan.

43
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia, “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku
tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya
Allah Dia-lah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat
kokoh.” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56-58)
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin

dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah

Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan

tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka

kepada Allah, maka barang siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia

adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa

yang disyari‟atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi‟ (pelaku bid‟ah). Dan

barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari‟atkan-

Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

3. Syarat Diterimanya Ibadah


Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah

yang disyari‟atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang

tidak disyari‟atkan berarti bid‟ah mardudah (bid‟ah yang ditolak) sebagaimana

sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam “Barangsiapa yang beramal tanpa


39
adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” Agar dapat

diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan

benar dan diterima oleh Allah kecuali dengan adanya dua syarat:

a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.

b. Ittiba‟, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.

39
HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits „Aisyah, ra.

44
Syarat yang pertama merupakan konsekwensi dari syahadat laa ilaaha

illallaah, karena mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh

dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekwensi dari

syahadat Muhammad Rasulullah, karena menuntut wajibnya taat kepada Rasul,

mengikuti syari‟atnya dan meninggalkan bid‟ah atau ibadah-ibadah yang

diada-adakan. “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri

sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di

sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih

hati.” (QS. Al-Baqarah:112)

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak

beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan

apa yang disyari‟atkan, tidak dengan bid‟ah.” Sebagaimana Allah berfirman.

             
“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka

hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan

sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi:110)

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua

kalimat syahadat “laa ilaaha illallaah, muhammad rasulullah”. Pada yang

pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua,

bahwasanya Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang

menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai

beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau telah menjelaskan bagaimana cara

kita beribadah kepada Allah, dan melarang kita dari hal-hal baru atau bid‟ah.

45
40
Serta Nabi Saw menyebutkan bahwa semua bid‟ah itu sesat. adapun hikmah

dibalik kedua syarat tersebut adalah:

a. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah

kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping

beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Swt berfirman: “Maka

sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” (QS.

Az-Zumar:2)

b. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang tasyri‟

(memerintah dan melarang). Hak tasyri‟ adalah hak Allah semata.

Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang

diperintahkan-Nya, maka telah melibatkan dirinya di dalam tasyri‟.

c. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita41 Maka,

orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia

telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak

sempurna (mempunyai kekurangan).

d. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata

cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki

caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang

terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada

taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan

mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan masing-masing.

40
Lihat al-„Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Tahqiq „Ali Hasan „Ali
„Abdul Hamid (hal. 221-222).
41
QS. Al-Maidah: 3.

46
D. Motivasi Beribadah

1. Definisi Motivasi Beribadah

Dalam hidup ini kita bukanlah dicipta hanya sekedar untuk makan,

minum, tidur ataupun mengumpulkan harta benda untuk keperluan duniawi

semata, tetapi perlu kita ketahui bahwa kita hidup nantinya perlu pertanggung

jawaban atas apa yang telah dianugerahi oleh Allah kepada kita selama hidup di

dunia ini.

Maka sudah seyogyanya kita sadar dan bangkit dari kelalalian permainan

dunia yang semakin dikejar akan terasa semakin jauh meninggalkan kita, seolah-

olah dunia terus menuntut kepada kita untuk terus mengikutinya tanpa pernah

merasa cukup atas apa yang telah kita miliki.

Melihat pembahasan yang telah penulis paparkan secara panjang lebar

diatas, maka jelaslah bagi kita tentang hal-hal yang patut kita laksanakan dalam

upaya membentuk kepribadian yang selalu dalam keadaan ber‟ubudiyah kepada

Allah semata.

Dalam hal itu perlu kita paparkan sedikit tentang makna dari motivasi

beribadah itu sendiri, karena ini merupakan sebuah fenomena yang telah hilang

dalam kehidupan umat zaman modern dewasa ini.

Motivasi beribadah merupakan dua serangkaian kata yang telah terikat

dalam sebuah makna yang memiliki pengertian yang satu, namun demikian jika

kita lihat pengertian dari masing kata tersebut memiliki keterkaitan erat dalam

kehidupan kita sehari hari.

47
Motivasi adalah: “Dorongan yang timbul pada diri seseorang secara

sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; dan

usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak

melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau

mendapat kepuasan dengan perbuatannya”, atau dengan kata lain, motivasi

adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan sebuah kegiatan”.

Sedangkan ibadah adalah: “Segala sesuatu yang diridhai Allah dan

dicintai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang tampak atau yang

tidak, dengan penuh rasa cinta, kepasrahan dan ketundukan yang sempurna serta

membebaskan diri dari segala hal yang bertentangan dan menyalahi”.

Maka dapat dipahami bahwa motivasi beribadah adalah “energi aktif yang

mendorong sehingga menyebabkan terjadi suatu keinginan yang kuat untuk

melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diridhai dan dicintai Allah Swt”.

2. Macam-Macam Motivasi Beribadah Dalam Al-Quran


Diantara metode yang digunakan oleh Al-Quran dalam membangun

motivasi seorang hamba untuk berubudiah kepada Allah dapat dikelompokkan

menjadi dua pembahagian.

Bagian yang petama Al-Quran mengeluarkan konsep yang bertalian

dengan diri pribadi terlebih dahulu, dimana konsep ini bertalian erat dengan

dorongan yang akan memberi motivasi bagi diri sendiri tanpa ada pengaruh dari

luar sedikitpun, walaupun dalam keadaan apapun dan dimanapun, konsep ini akan

lebih praktis bila telah ada dalam diri seorang hamba, bila dikaitkan dengan teori

motivasi, Al-Quran menjelaskan bahwa konsep ini lebih condong kepada motivasi

48
yang bersifat instrinsik, dalam hal ini mencakup: Perasaaan tanggung jawab, Rasa

Takut (Al-Khauf), Merasa Butuh (Al-Faqr), Selalu di Awasi (Muraqabah),

Pengetahuan, Bersabar, Menentramkan Jiwa (Sakinah), Memilih (Ijtiba‟),

Mengingat Bayangan Atas Nikmat, Doa, Rasa Harap (Raja‟), Rasa Cinta,

Kebulatan Tekad („Azzam), Kekhawatiran (Isyfaq), Kesungguhan, Ikhlas (Ikhlas),

Merasa Paling Banyak Dosa, Rasa Malu (Al-Haya‟).

Bagian yang kedua dalam membangun motivasi kepada manusia untuk

beribadah kepada Allah, Al-Quran memberi konsep selain berhubungan dengan

kepribadian diri sendiri juga memberi konsep yang bertalian dengan dorongan

dari luar, dimana konsep ini membutuhkan objek lain yang akan memberi

dorongan untuk beribadah, dalam artian Al-Quran memjelaskan bahwa bahwa

manusia tak akan mampu hidup sendiri tanpa ada orang lain, maka disini objek

yang menjadi pendorong adalah orang lain, hanya saja Al-Quran memberi motode

bagi objek dalam penyampaian bagi manusia agar tumbuhnya motivasi yang

tinggi untuk dapat beribadah kepada Allah dengan sebenarnya dan dengan

sepenuh hati, adapun metode yang kedua ini bisa disebut dengan motivasi bersifat

ekstrinsik yaitu dorongan dari luar yang meliputi ancaman, hukuman, janji-janji

baik atau buruk, nasehat, dialog, dan hal-hal lain yang berasal dari luar individu

manusia.

49
BAB TIGA
MOTIVASI BERIBADAH PERSPEKTIF AL-QURAN

A. Ayat-Ayat Motivasi Beribadah


Sebelum Allah menciptakan mahkluk diatas muka bumi, Dia telah

berfirman kepada seluruh para malaikat akan menciptakan seorang manusia yang

nantinya dijadikan khalifah dan pengurus dunia ini1, namun para malaikat tidak

begitu yakin kepada manusia sehingga Allah mengajarkan bermacam-macam

pengetahuan kepada manusia (adam) yang tidak diketahui oleh malaikat

sebelumnya sehingga mereka mengakui dan sujud didepannya kecuali iblis yang

sombong. Iblis menduga bahwa substansi dirinya lebih baik dari manusia, karena

dia diciptakan dari api sedangkan manusia diciptakan dari tanah. Api yang

menjadi bahan dasar penciptaan iblis lebih baik naturnya dari bahan dasar

penciptaan manusia, Allah Swt berfirman dalam Al-Quran surah Shad [38]:76):

Iblis berkata: "Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari

api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah". Menurut Ihkwan al-Shafa, iblis

mengalami kesalahan persepsi dalam melihat keutuhan manusia, dia hanya

melihat aspek fisik manusia tanpa melihat aspek ruhaniyahnya. 2 Hal itu terungkap

dari firman Allah yang berbunyi:

          

        

1
QS. Al-Baqarah [2]:30)
2
Abd al-Lathif Muhammad, al-Insan fi Fikr Ikhwan al-Shafa‟, (Cairo:Maktabah al-Anjalu
al-Mishriyat, t.th), hal. 159.

50
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan

gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka

khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.

Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS. Al-Ahzab [33]:72).

Meski Allah menyebutkan bahwa manusia merupakan mahkluk bodoh dan

zalim, namun tugas kekhalifahan merupakan sebuah amanah yang begitu besar

yang tak satupun mahkluk Allah mampu memikulnya, tetapi karena derajat

manusia itu telah diangkat oleh Allah dibandingkan dengan mahkluk ciptaan

lainnya, maka hal itulah yang menjadi manusia lebih mulia dari mahkluk-mahkluk

lain, firman Allah yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-

anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan . Kami beri mereka

rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang

sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al-Isra

[17]:70)

Maka jelaslah bagi kita sebagai seorang hamba yang hina, ternyata Allah

telah mengangkat derajat kita menjadi orang yang mulia diantara mahkluk-

mahkluk-Nya yang lain, sungguh ini suatu kehormatan bagi kita disisi Allah,

sehingga dengan adanya firman Tuhan yang Maha tinggi menjadi pedoman bagi

kita agar kita tidak merasa rendah didepan manusia yang lain, tapi seyokyanya

bagi kita tetap tunduk dan patuh kepada Allah Swt.

Maka dapat dipahami bahwa amanah inilah yang menjadi konsep utama

manusia diciptakan dan merupakan inti kodrat manusia yang diberi sejak awal

penciptaan, karena tanpa amanah manusia tidak memiliki keunikan dengan

51
mahkluk-mahkluk lain. Amanah dalam arti etimologi bermakna titipan,

kepercayaan, janji dan kesaksian.3 Maka dengan adanya amanah yang menjadi

perjanjian di alam pra-kehidupan inilah yang menjadi motivasi bagi manusia

untuk hidup diatas muka bumi ini.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip pendapat Al-„Aufi, ia berkata dari

Ibnu Abbas ra, “yang dimaksud dengan amanah adalah ketaatan yang

ditawarkan kepada mereka sebelum ditawar kepada Adam, akan tetapi mereka

tidak menyanggupinya, lalu Allah berfirman kepada Adam: “Aku memberikan

amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, tetapi mereka tidak

menyanggupinya, apakah kamu sanggup menerimanya?” Adam menjawab: “ya

Rabb-ku apa isinya” Allah berfirman: “jika engkau berbuat baik engkau akan

diberi balasan, dan jika engkau berbuat buruk engkau akan disiksa” lalu Adam

menerimanya, itulah firman Allah: “dan dipikullah amanat itu oleh manusia,

sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan amat bodoh.”4

Makna amanah secara umum mencakup semua beban agama,5 yang harus

dilaksanakan oleh manusia seutuhnya, salah satu beban tersebut adalah beribadah

kepada Allah Swt dengan sesungguh hati. Maka dari itu perlu kita melihat redaksi

ayat Al-Quran tentang membangun motivasi beribadah mengingat pentingnya

ibadah pada setiap jiwa manusia. Hal ini tercermin dalam Al-Quran surah Adz-

Dzariyat [51]:56, yang berbunyi:

3
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 77
4
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, Abu Ihsan, jilid 6, (Jakarta:
Pustaka Imam Syafi‟i, 2000), hal. 121.
5
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hal. 332.

52
      
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi

kepada-Ku.

Ayat diatas merupakan dalil untuk melihat kodrat manusia yang

sebenarnya, yang merupakan janji antara manusia dan Tuhan yang telah

diikrarkan di alam arwah, yang semua itu menjadi pondasi pokok bagi kita untuk

menumbuhkan kembali motivasi untuk melaksanakan seluruh ikrar yang telah

disepakati dengan Allah yaitu beribadah kepada-Nya.

Ini merupakan motivasi dan tujuan akhir manusia yang sebenarnya hanya

untuk Allah, yaitu setiap langkah dan detak jantung dalam kehidupan selalu

berpusat kepada Allah, tanpa ada ketergantungan pada lainnya, namun disisi lain

bila kita tilik dalam kehidupan manusia lebih termotivasi dengan keinginan masuk

syurga atau terhindar dari api neraka, sehingga setiap langkah yang dilakukan alat

ukur yang sering digunakan adalah syurga atau neraka.

Meski demikian, ini merupakan salah satu aspek motivasi dari Al-Quran

dalam menumbuhkan motivasi kepada manusia untuk melaksanakan ibadah

kepada Allah Swt, karena ayat Al-Quran tidak menyebutkan secara langsung kata

motivasi, tetapi di sini penulis mengambil aspek dari pengaruh timbulnya

motivasi yaitu berupa janji-janji yang difirmankan Allah dalam Al-Quran.

Adapun janji merupakan salah satu aspek pendorong yang paling ampuh

untuk dapat menumbuhkan motivasi beribadah kepada Allah Swt, janji yang

disampaikan Allah berupa balasan terhadap apa yang kita lakukan baik berupa

janji kebaikan maupun ancaman yang berupa keburukan.

53
Dengan mengingat adanya janji dari Allah Swt berupa kenikmatan

ataupun janji berupa ancaman dan hukuman yang diperoleh baik disaat di dunia

ataupun di alam akhirat kelak, maka menjadi faktor yang mendorong tumbuhnya

motivasi bagi jiwa manusia untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah

Swt. Diantara ayat-ayat Al-Quran yang menjanjikan balasan terhadap hamba-Nya

berupa kebaikan atau keburukan adalah:

             

                

            

               

           

               

 
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang)
kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan
(demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah
menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali
tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi
keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-
Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit
dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah;
dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al-Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat
dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa
saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di
sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.
Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Muzammil [73]:20).

54
Ayat ini mengambarkan sebuah prinsip praktis dalam Al-Quran, dimana

Allah memberi kita kemudahan tanpa memberatkan kita, Prinsip ini merupakan

prinsip yang sangat akurat bagi seseorang dalam melihat serta meninjau sesuatu

yang hendak dilaksanakan, karena bila sesuatu tersebut mudah dan dipermudah,

maka kemungkinan besar objek tujuan akan lebih mudah terserap dan tertarik atas

apa yang ditetapkan. Maka dari itulah sesuatu yang ditetapkan sudah seharusnya

dipermudah, tetapi bukan memudah-mudahkan, atau mencari yang paling mudah,

tetapi Al-Quran telah menjelaskan segala sesuatu dengan sangat mudah.

            

   


Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi

supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap

apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang

berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga). (QS. An-Najm [53]:31)

Allah Swt telah menegaskan keadaan manusia di dalam Al-Quran bahwa

surga dijanjikan hanya untuk orang-orang yang memelihara diri daripada

kejahatan, yaitu orang-orang yang berlomba-lomba menuju pengampunan dan

keridhaan Allah Swt serta bertaubat kepada-Nya dengan mengerjakan kebajikan

dan beramal shaleh. Namun bagi mereka yang ingkar Allah telah menyebutkan

bahwa azab-Nya sangat pedih.

             

     

55
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan

dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya

kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka

dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-

Nahl [16]:97).

    


Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.

(QS.An-Najm [53]:41).

          
Supaya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang beriman dan

mengerjakan amal shaleh. Mereka itu adalah orang-orang yang baginya

ampunan dan rezki yang mulia. (QS. Saba‟ [34]:4).

              

            

          
Atau agar kamu (tidak) mengatakan: "Sesungguhnya jikalau kitab ini diturunkan
kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari mereka." Sesungguhnya
telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan
rahmat. Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mendustakan ayat-
ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksa yang
buruk, disebabkan mereka selalu berpaling. (QS. Al-An‟Am [6]:157).

             

56
Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah

dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan. (QS.

As-Sajdah [32]:10).

               
Demikianlah balasan terhadap musuh-musuh Allah, (yaitu) neraka; mereka

mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya sebagai balasan atas

keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Kami. (QS. Fushilat [41]:28).

             

 
(Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan

kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka

kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah

memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. An-Nur

[24]:38).

    


Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-Waqi‟ah [56]:24).

        


Sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami member balasan kepada orang-

orang yang bersyukur. (QS. Al-Qamar [54]:35).

             

57
Masukklah kamu ke dalamnya (rasakanlah panas apinya); maka baik kamu

bersabar atau tidak, sama saja bagimu; kamu diberi balasan terhadap apa yang

telah kamu kerjakan. (QS. At-Thuur [52]:16).

             

              

            
Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah,
padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama
di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum
penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang
menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada
masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan. QS. Al-Hadid [57]:10).

Melihat beberapa ayat yang telah penulis paparkan diatas, marilah kita

hayati dan kita renungkan kembali bahwa sebenarnya kita ini hanyalah mahkluk

yang sangat lemah dan tiada apa-apanya dibandingkan dengan kekuasaan Allah

yang Maha Tinggi, karena tiada suatupun yang bermakna bila tanpa pertolongan

dari-Nya. semoga dengan adanya ayat-ayat tersebut dapatlah ini menjadi pokok

dan pondasi bagi kita untuk selalu patuh dan tunduk kepada perintah Allah dan

dapat menjadi motivasi bagi kita agar selalu berada dalam keadaan beriman dan

beribadah kepada-Nya dan semoga kita menjadi hamba-hamba yang selalu dalam

Ridha-Nya.

Setiap manusia memiliki target dalam kehidupannya. Hasanah di dunia

dan hasanah di akhirat. Seperti firman Allah SWT. dalam surah Al-Baqarah ayat

201 yang berbunyi:

58
             
Dan di antara mereka ada yang berdoa: ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di

dunia dan kebaikan di akhirat dan periharalah kami dari siksa api neraka.

Tak jarang manusia memiliki sikap mengharapkan usahanya berbuah hasil

dalam jangka waktu yang singkat. Mengharapkan upah segera dalam bekerja,

mengharapkan balasan segera setelah beramal saleh. Dalam setiap aktivitas kita,

tentunya ada harapan jangka pendek dan jangka panjang. Sejatinya setiap manusia

harapan jangka panjangnya adalah akhirat.

Dalam beribadah, tentunya juga memiliki target jangka pendek dan jangka

panjang. Perasaan berat saat mengupayakan diri mendekatkan diri kepada Allah

dengan segala target dan usaha yang harus dillakukan, terkadang kita hanya

berdiam diri tidak melakukan apa-apa untuk meningkatkan kemampuannya dalam

beribadah kepada Allah akibatnya sepanjang usia yang Allah Swt. berikan, tidak

ada peningkatan dalam melaksanakan ibadah, baik kualitas maupun kuantitasnya.

Bentuk motivasi yang juga di jelaskan adalah tentang berbahagia bersama

orang-orang yang sedikit. “dan orang-orang yang dahulu (beriman), merekalah

yang paling dahulu (masuk surga). Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah.

Derada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang

terdahulu. Dan segolongan sedikit dari orang-orang generasi terakhir”. (QS. Al-

Waqi‟ah: 10-14)

Kata qalil (sedikit), dalam banyak ayat Al-Qur‟an selalu menunjukkan

sekelompok manusia yang berkualitas, dan orang-orang yang memiliki kemauan

kuat dan keras untuk meningkatkan kualitas hidup. Orang-orang yang bersegera

59
untuk melakukan amal saleh, jumlahnya memang sedikit. Kita tidak boleh

terpengaruh oleh banyaknya (kuantitas) manusia yang tidak tertarik melakukan

amal saleh tersebut. Teguhkanllah diri kita bahwa amal saleh ini adalah sesuatu

yang sangat dicintai oleh Allah SWT. Renungkanlah beberapa terjemahan ayat

berikut: “dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit”. (QS. Hud:

40). “bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit

sekali dari hamba-hamba Ku yang besryukur (berterima kasih)”. (QS. Saba: 34)

Dan masih banyak lagi ayat yang menjelaskan tentang “kelompok yang

sedikit”, dibalik berat dan banyaknya tantangan untuk melakasanakan niat di atas,

sesungguhnya kenyataan di lapangan kehidupan menunjukkan bahwa memang

sangat sedikit orang yang siap berkorban untuk menggapai niat mulia tersebut.

Menyadari realita tersebut maka kita harus memiliki sifat yang sabar, teguh, tidak

mudah putus asa. Apa yang akan kita raih itu sesungguhnya merupakan sesuatu

yang besar dan berat perjuangannya, dan tidak semua manusia siap

melakukannya. Dengan demikian, sejak awal melangkah dan seterusnya, kita

tidak boleh melupakan hakikat ini.

Kekhawatiran akan selalu dibisikkan ketika kita mulai intens

melaksanakan ibadah kepada Allah, baik itu muncul dari golongan manusia

ataupun jin. Ada saja yang membuat kita ragu untuk meneruskan, terlebih ketika

kita berpikir tentang masa depan yang belum kita ketahui. Rasa was-was inilah

yang mampu mengendorkan semangat kita, semoga kita sabar dan teguh

melakukan ibadah untuk mengharap ridha Allah dan mengingat janji-Nya.

60
B. Penafsiran Ulama Tentang Ayat-Ayat Motivasi

1. QS. Adz-Dzariyat [51]:56

      


“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi kepada-Ku”

Ayat diatas memberi gambaran yang jelas bagi kita, seperti yang

disampaikan oleh Quraish Shihab dalam karya yang berjudul Tafsir Al-Mibah,

yang dikutip dari Syeikh Muhammad Abduh dimana beliau menjelaskan bahwa

ibadah bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia merupakan sebuah

bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa

keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepada-Nya ia mengabdi, Ia

juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa keyakinan itu tertuju pada yang

memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.

Menurut Quraish Shihab ibadah itu ada dua bagian, yaitu ibadah murni

(ibadah mahdhah) dan ibadah tidak murni (ghairu mahdhah), ibadah mahdhah

yaitu ibadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar atau waktunya,

seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, sedangkan ibadah ghairu mahdhah

merupakan ibadah dalam bentuk segala aktivitas manusia lahir dan batin yang

dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. 6

Lain halnya menurut Thabathaba‟I seperti yang dikutip dalam Tafsir al-

Misbah, dimana menurut ulama ini tujuan dari ayat diatas memiliki makna bahwa

sesuatu yang digunakan oleh yang bertujuan itu (Allah) adalah untuk

6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 13, (Jakarta:Lentera Hati, 2005), hal. 356.

61
menyempurnakan yang belum sempurna bagi-Nya, atau menanggulangi

kebutuhan kekurangan-Nya.

Pendapat ini dengan tegas dibantah oleh Quraish Shihab bahwa itu

merupakan hal yang mustahil bagi Allah, karena Dia tidak memiliki kebutuhan,

dengan demikian tidak ada bagi-Nya yang perlu disempurnakan ataupun

kekurangan yang perlu ditanggulangi. Namun disisi lain, suatu perbuatan yang

tidak memiliki tujuan adalah perbuatan sia-sia yang perlu dihindari, maka perlu

dipahami bahwa ada tujuan bagi Allah Swt dalam perbuatan-Nya.7

Selanjutnya Thabathaba‟I menjelaskan bahwa ibadah yang dimaksud itu

adalah kehadiran dihadapan Allah Swt dengan kerendahan hati dan penghambaan

diri kepada-Nya, serta membutuhkan sepenuhnya kepada Tuhan pemilik

kemuliaan mutlak dan kekayaan murni, beliau menambahkan hakikat ibadah

adalah menempatkan diri seseorang dalam ketundukan serta mengarahkan kepada

maqam Tuhannya.

Sayyid Quthub mengomentari ayat diatas secara panjang lebar, antara lain

ditegaskan bahwa ayat diatas meskipun singkat namun mengundang hakikat dan

makna agung. Manusia tidak akan berhasil dalam kehidupan tanpa menyadari

maknanya dan meyakininya baik kehidupan pribadi atau kolektif. Ayat ini

menurut beliau membuka sekian banyak sisi dan aneka sudut dari makna dan

tujuan. Sisi pertama, bahwa pada hakikatnya ada tujuan tertentu dari wujud

manusia dan jin, ini merupakan suatu tugas, siapa yang melaksanakannya berarti

ia telah mewujudkan tujuan wujudnya, dan siapa saja yang mengabaikannya maka

7
Ibid, hal. 357

62
dia telah membatalkan hakikat wujudnya, dan menjadikan dia seorang yang tidak

memiliki tugas atau pekerjaan, hidupnya kosong tidak bertujuan dan berakir

dengan dengan kehampaan. Tugas tersebut adalah ibadah kepada Allah, yakni

penghambaan diri kepada-Nya, disini ada hamba dan disana ada Allah, disini ada

hamba yang menyembah dan mengabdi disana ada Tuhan yang disembah, juga

diarahkan seluruh pengabdian hanya kepada Allah Swt.

Menurut Sayyid Quthub pengarang Tafsir fi Zilalil Al-Quran,

menambahkan sisi lain yang menonjol dari hakikat besar dan agung itu ditinjau

dari makna ibadah, dimana ibadah bukanlah hanya terbatas pada pelaksanaan

tuntunan ritual, karena jin dan manusia tidak menghabiskan waktu mereka dalam

pelaksanaan ibadah ritual, Allah tidak mewajibkan mereka melaksanakan hal

tersebut, Allah mewajibkan aneka kegiatan lain yang menyita sebagian besar

kehidupan mereka. Memang kita tidak menyadari batas-batas yang diwajibkan

kepada jin tetapi kita dapat mengetahui batas-batas yang diwajibkan kepada

manusia, yaitu seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran tentang penicptaan

manusia sebagai khalifah di bumi.

Hal ini menuntut aneka ragam aktivitas penting, guna memakmurkan

bumi, mengenal potensinya, perbendaharaan yang terpendam di dalamnya, sambil

mewujudkan apa yang dikehendaki Allah dalam penggunaannya, pengembangan

dan peningkatannya. Kekhalifahan juga memuat upaya penegakan syariat Allah di

bumi, juga mewujudkan sistem yang sejalan dengan undang-undang dan hukum

yang telah ditetapkan Ilahi.

63
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jangkauan ibadah disini lebih

luas maknanya dari pada ibadah yang berbentuk ritual. Tugas kekhalifahan

termasuk dalam ibadah, karena hukum ibadah mencakup dua hal pokok, yaitu:

a. Kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap

insan, kemantapan perasaan bahwa ada hamba dan ada Tuhan, hamba

sebagai yang patuh dan Allah yang wajib dipatuhi tidak ada sekutu

bagi-Nya, tidak ada wujud ini kecuali satu, selain dari-Nya adalah

mahkluk dan hamba.

b. Mengarah kepada Allah dalam setiap gerak pada nurani, pada setiap

anggota badan dan setiap gerak dalam kehidupan, semuanya hanya

mengarah kepada Allah secara tulus ikhlas, melepaskan diri dari segala

perasaan yang lain dan dari segala makna yang selain makna

penghambaan diri kepada Allah.

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa maksud QS. Adz-Dzariyat

[51]:56 Allah menciptakan manusia dan jin dengan tujuan beribadah kepada-Nya,

bukan disebabkan karena Dia membutuhkannya, Allah tidak pernah butuh

sedikitpun kepada ciptaan-Nya, dan tidak memberi atau mengambil manfaat atas

apa yang telah Allah ciptakan, beribadah atau tidaknya mahkluk atau ciptaan-Nya,

tidak sedikitpun mengangkat dan menurunkan derajat Kemahakuasaan Allah yang

Maha Tinggi atas segala sesuatu. Tetapi hamba yang sangat butuh pertolongan

dan bimbingan setiap saat dari Allah Swt.

64
Seperti HR. Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa

Rasulullah bersabda: “Allah berfirman: wahai anak Adam, luangkanlah waktu

untuk beribadah kepada-Ku, Aku akan memenuhi hatimu dengan kekayaan, dan

Aku akan menutupi kefakiranmu, dan jika kamu tidak melakukannya, maka Aku

akan mengisi hatimu dengan kesengsaraan dan Aku tidak akan menutupi

kefakiranmu”8

Dalam tafsir Al-Azhar karya Prof. Dr. Hamka, menyebutkan bahwa ayat

ini memberi peringatan kepada manusia bahwa sadar atau tidak dia pasti

mematuhi kehendak Tuhan. Maka jalan yang lebih baik bagi manusia adalah

menginsafi kegunaan hidupnya sehingga ia tidak merasa keberatan mengerjakan

berbagai ibadh kepada Tuhan.

Apabila manusia mengenal kepada budi luhur, maka ia akan mengenal apa

yang disebut terima kasih, bayangkan saja segala yang telah dianugerahi Allah

bagi menjamin hidup di dunia, mulai dari kita masih tertutup mata sampai

sekarang ini, itu semua tidaklah dapat dihitung dan dinilai betapa besar nikmat

dan karunia Allah kepada kita. Semua itu belumlah sebanding dengan amal yang

sangat sedikit baru kita laksanakan, atas berkat rahmat dan kasih saying-Nya kita

pada hari ini masih mampu menatap wajah dunia.9

8
Tafsir Ibnu Katsir, Labaabut Tafsir Min Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, Abu Ihsan,
jilid 6, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i, 2000), hal, 18-19.
9
Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzuk XXVII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal.
37-42.

65
2. QS. Al-Ahzab [33]:72

         

         

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat, kepada langit, bumi dan

gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan

mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh

manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan makna „amanah‟

yang terkandung dalam ayat ini merupakan satu ilustrasi yang ditawarkan Allah

yang bukan bersifat paksaan, tentunya siapa saja yang ditawarkan Allah dirinya

itu memiliki potensi untuk melakukannya. Namun tawaran yang diberikan Allah

merupakan beban yang sangat berat, sehingga langit, bumi dan gunung

menolaknya, karena mereka bukan mahkluk pemikul amanah. 10

Kata „amanah‟ dalam ayat diatas, ulama berbeda-beda pendapat dalam

memahaminya, ada yang mempersempit sehingga menentukan kewajiban

keagamaan tertentu, seperti rukun Islam, puasa dan mandi junub, seperti pendapat

Malik meriwayatkan bahwa Zaid bin Aslam mengatakan bahwa amanat itu ada

tiga, yaitu shalat, puasa dan mandi junub.11 Ada juga yang memperluas sehingga

sehingga mencakup semua beban agama. Selain itu ada yang memahami dalam

arti „akal‟ karena dengan akal mahkluk atau manusia memikul tanggung jawab. 12

10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 332.
11
Tafsir Ibnu Katsir, Labaabut Tafsir Min Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar, Abu Ihsan,
jilid 5, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i, 2000), hal, 122.
12
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hal. 332.

66
Penawaran amanah ada juga dipahami oleh banyak ulama dalam arti kiasan, ada

yang memahami mahkluk yang disebut diatas seperti langit, bumi dan gunung

benar ditawarkan amanah tersebut, dan ada juga yang memahaminya bahwa yang

ditawarkan bukan langit, bumi, atau gunung, tetapi yang ditawarkan adalah

penghuni langit, penghuni bumi dan penghuni gunung, sedangkan kata “insan”

ada ulama yang memahami khusus kepada Adam, dan ada juga pendapat bahwa

yang dimaksud adalah berbagai jenis manusia.

Ibnu „Asyur cenderung memahami kata „amanah‟ dalam makna hakiki,

yaitu apa yang diserahkan kepada seseorang untuk dipelihara dan ditunaikan

sebaik mungkin, serta menghindari segala bentuk penyia-nyiaan baik itu secara

sengaja ataupun lupa.

Demikian juga diungkapkan Thabathaba‟i bahwa amanah itu pada

hakikatnya adalah suatu yang dititipkan kepada orang lain untuk dipelihara dan

suatu saat dikembalikan kepada pemiliknya, ini berarti ada sesuatu yang dititipkan

Allah kepada manusia dan harus dikembalikan kepada-Nya. Selanjutnya ulama ini

menambahkan bahwa siapa saja yang menyandang amanah akan berpotensi

kepada sifat kemunafikan, kemusyrikan atau kedhaliman. Bagi yang tidak

menjaga atau merusak amanah yang diberikan ataupun menjaga dan memelihara

dengan sebaik-baiknya, tentu akan memikul salah satu dari tiga sifat yang

disebutkan diatas.13

13
Ibid, hal 334.

67
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip pendapat Al-„Aufi, ia berkata dari
Ibnu Abbas ra, “yang dimaksud dengan amanah adalah ketaatan yang
ditawarkan kepada mereka sebelum ditawar kepada Adam, akan tetapi mereka
tidak menyanggupinya, lalu Allah berfirman kepada Adam: “Aku memberikan
amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, tetapi mereka tidak
menyanggupinya, apakah kamu sanggup menerimanya?” Adam menjawab: “ya
Rabb-ku apa isinya” Allah berfirman: “jika engkau berbuat baik engkau akan
diberi balasan, dan jika engkau berbuat buruk engkau akan disiksa” lalu Adam
menerimanya, itulah firman Allah: “dan dipikullah amanat itu oleh manusia,
sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan amat bodoh.”14
Melihat ayat diatas, muncul sebuah pertanyaan: “mengapa Allah yang

Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui membebankan kepada manusia beban

yang berat dan penting, yang justru telah ditolak oleh mahkluk-mahkluk besar dan

kuat seperti langit dan bumi ataupun gunung-gunung, padahal Allah telah

mengetahui bahwa manusia itu mahkluk kecil dan lemah, dan menerima amanah

itu karena kedhaliman dan kebodohan manusia, keangkuhan serta kelengahannya

menyangkut dampak-dampak penerimaannya ?” ini serupa dengan membebani

seseorang yang tidak waras suatu tugas yang bersifat umum yang sebelumnya

telah ditolak oleh orang-orang hebat dan berakal sehat”.

Menurut Thabathaba‟i bahwa kedhaliman dan kebodohan merupakan

suatu yang buruk dan mengandung kecaman terhadap pelakunya, dan juga karena

kedhaliman dan kebodohan manusia itulah sebab yang menjadikan ia memikul

amanah besar tersebut.15

Di sisi lain Quraish Shihab menjelaskan bahwa penyerahan amanah oleh

Allah kepada manusia dan diterimanya menunjukkan bahwa manusia memiliki

potensi untuk menunaikannya dengan baik, itu karena Allah tidak menyerahkan

amanah itu bila Ia tidak mengetahui ketiadaan potensi itu, tidak ubah seperti

14
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, hal. 121.
15
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 334.

68
seorang yang akan tercela jika menyerahkan sebilah pisau kepada anak kecil atau

memerintahkan anak dibawah umur mengemudi kendaraan, sang ayah yang

bijaksana baru akan menyerahkan hal tersebut atau menugaskan siapa yang

diketahuinya memiliki potensi untuk melaksanakan amanah.16

Adapun tujuan penolakan langit, bumi dan gunung adalah untuk

menggambarkan betapa besar amanah itu, bukannya untuk menggambarkan

betapa kecil dan remeh ciptaan-ciptaan Allah.

Sayyid Quthub menulis bahwa langit, bumi dan gunung yang dipilih Allah

merupakan mahkluk yang sangat besar, manusia hidup di dalam dan di sekitarnya,

sehingga terlihat manusia itu sangat kecil. Mahkluk-mahkluk ini mengenal Allah

tanpa upaya dari mereka, kesemuanya taat secara otomatis tanpa berfikir atau

perantara, mereka berjalan sesuai sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah

secara teratur tanpa berhenti walau sesaatpun, dan tanpa menyadari atau

mempunyai pilihan menyangkut kerjanya itu, semua tunduk kepada-Nya, namun

mereka merasa takut memikul amanah, tanggung jawab dan pengetahuan.

Sedangkan manusia mengenal Allah dengan pengetahuan dan perasaannya, serta

memahami hukum-hukum-Nya, manusia mengamalkan hukum-hukum itu melalui

upaya dan kesungguhan, taat kepada Allah berdasarkan kehendak dan dorongan

dirinya seta dengan melawan nafsu yang mengajak kepada penyimpangan dan

setiap langkah yang ditempuh melalui pikiran dan pengetahuan.

16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal. 332.

69
Manusia memilih suatu jalan mengetahui arah dan tujuannya, ini

merupakan amanah besar yang dipikul oleh mahkluk kecil badannya, lemah

kekuatan dan kemampuannya, terbatas umurnya, dan diperebutkan oleh aneka

syahwat, dorongan, kecenderungan serta keinginan-keinginan.17

Amanah merupakan sebuah hal yang berat, karena penerimaan itu

menyandang resiko yang besar, dengan menerima maka ia telah memikul satu

beban tanggung jawab yang besar, dan karena itu pula ia mendapat lakap

“dhaliman” menganiaya dirinya dan “jahulan” tidak mengetahui kemampuannya,

jika dibandingkan dengan besarnya tanggung jawab yang bersedia dipikulnya.

Memang jika ia berhasil memikul dan bangkit melaksanakan apa yang dituntut

amanat tersebut, maka sungguh dia telah mencapai maqam yang mulia, suatu

kedudukan unik dan terhormat diantara mahkluk-mahkluk Allah Swt.

Prof. Dr. Hamka dalam karyanya Tafsir Al-Azhar mengomentari ayat

tersebut, dimana dalam tawaran Allah kepada langit dan bumi serta gunung

tentang tanggung jawab amanah yang hendak diberikan kepada mereka, namun

mereka menolak tidak menyanggupinya tetapi manusia menampilkan diri untuk

memangku amanat besar tersebut, tetapi apalah jadinya setelah manusia

menyanggupinya, ujung ayat menjelaskan “sesungguhnya mereka amat dhalim

dan bodoh”. Mereka disebut dhalim karena menyia-nyiakan amanat itu, tidak

menjunjung tinggi tawaran Allah yang telah mereka terima, mereka menjadi

terhitung bodoh karena tidak tahu harga diri, sampai ada yang mau menyekutukan

yang lain dengan Allah, dan sampai ada yang mau menjadi orang munafik, dan

17
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hal. 335.

70
juga mereka tidak menyadari bahwa hidup manusia itupun merupakan amanah

Allah, seperti yang termaktub dalam Al-Quran bahwa tujuan penciptaan manusia

adalah untuk beribadah kepada Allah Swt, mereka terkadang lupa sehingga

hidupnya sia-sia.18

Tafsir Al-Qaffal seperti yang dikutip dalam tafsir Al-Azhar mengatakan

bahwa amanah yang terkandung dalam ayat ini adalah semata-mata adalah

perumpamaan belaka, karena didalam Al-Quran terdapat banyak perumpamaan

yang mendalam, diantaranya seperti yang tersebut dalam QS. Al-Hasyr [59]:21

yang menerangkan jika Al-Quran diturunkan diatas puncak sebuah gunung,

pastilah akan kamu lihat gunung itu tunduk hingga menjadi hancur karena

takutnya kepada Allah, namun jika kita bawa sebuah mushaf ke sebuah gunung

atau bukit, lalu kita letakkan disana, maka gunung itu tidak akan runtuh sedikitpun

karena itu.

Maka Al-Quffal mengatakan bahwa yang ditekan disini adalah perhatian

kita terhadap amanah yang diletakkan Tuhan keatas pundak manusia, sekiranya

langit bertubuh seperti manusia, begitu pula bumi ataupun gunung akan beratlah

mereka menerima amanat itu karena sangat mulia, tetapi manusia yang kecil

menerima tetapi disia-siakannya.19

Hal senada disampaikan Al-Qurthubi dalam tafsirnya, bahwa ini adalah

majaz atau sindiran, sedangkan langit, bumi dan gunung merasa berat

memikulnya, maka sebab itu hendaklah manusia berhati-hati.

18
Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal.111.
19
Ibid, hal.112.

71
Dengan ketegasan hidup yang memiliki tanggung jawab dan amanah,

semoga kita termasuk dalam jiwa orang-orang beriman yang memegang teguh

amanah, tidak menjadi orang yang goyang pendirian, jiwa kecil tidak menjadi

munafik ataupun musyrik, meski banyak godaan hawa nafsu atau dorongan

kemaksiatan untuk menyia-nyiakan amanah yang telah terpundakkan, mereka

telah membuat sekutu untuk menghancurkannya, tetapi mereka akan rapuh dan

hancur disebabkan hati dan jiwa telah terpatri kokoh dalam ketauhidan kepada

Allah Swt.

C. Aplikasi Metode Rasulullah

Rasulullah merupakan contoh teladan yang patut kita teladani, setiap

langkah dan gerak gerik beliau merupakan pelajaran berharga bagi kita sebagai

umatnya. Maka tidak heran bila kita membaca literatur umat-umat dahulu yang

memiliki kepribadian kokoh dan konsistens dalam menjalankan risalah Rasul,

yang tidak pernah bimbang dan tak sedikitpun goyang dalam menegakkannya.

Sayangnya umat belakangan ini yang mereka mencoba mengikuti jejak

Rasul tetapi tidak mampu memberi jalan terang malah jauh tersesat dalam jurang

kehinaan. Maka seyokyanya sebelum kita mengikuti sunah Rasul sudah

sepatutnya kita melihat dalil-dalil hadits tentang hal tersebut, bukan hanya

berpegang atas dasar logika semata sehingga bersandar pada hadits dhaif bahkan

palsu. Tetapi kita mesti mencoba menelusuri dan menggali kembali kebenaran

yang dipaparkan oleh ahli-ahli modern sehingga tidak terjadi praktek bid‟ah yang

tidak pernah kita harapkan.

72
Dalam penyiaran Islam, Rasulullah memiliki beberapa pendekatan dalam

menyampaikan misi, guna dan tujuan beliau diantaranya untuk menghapus

kedhaliman kaum jahiliyah seperti dalam hal penyembahan berhala dan diganti

dengan penyembahan kepada Allah Swt, serta berusaha menumbuhkan motivasi

bagi mereka terutama dalam beribadah kepada Allah Swt dengan sebenarnya.

Adapun pendekatan tersebut ternyata mampu merubah kaum jahiliyah

menjadi kaum yang berbudi dan berahklak mulia, sehingga dalam waktu dua

periode ± 23 tahun mereka mampu menerima ajaran Rasul dengan mantap dan

kokoh. Maka pendekatan inilah yang menjadi pelajaran berharga bagi kita sebagai

manusia yang dipundakkan untuk terus mengembangkan serta menyiarkan agama

ini agar terus berkibar panji-panji Islam hingga seluruh pelosok dunia. Pendekatan

tersebut yaitu:

1. Pendekatan Personal
Pendekatan dengan cara ini terjadi dengan cara individual yaitu Rasul

langsung bertatap muka dengan sahabat dan orang sekitar dalam memberi

materi dan pelajaran agama, sehingga apa yang disampaikan Rasul langsung

diterima oleh mereka tanpa ada perantaraan.

Pendekatan ini dilakukan Nabi disaat permulaan turunnya Wahyu dari

Allah melalui Jibril disaat beliau berada di Jabal Nur dalam gua Hira‟

menggunakan pendekatan ini kepada orang-orang terdekat secara rahasia.

Pendekatan ini dilakukan dengan tujuan tidak menimbulkan goncangan

reaksionel dikalangan masyarakat Quraish mengingat saat itu mereka masih

berpegang teguh pada kepercayaan animisme warisan leluhur mereka.

73
2. Pendekatan Pendidikan
Diantara metode yang digunakan Rasulullah dalam menumbuhkan

keyakinan kepada para sahabat tentang ketauhidan Allah Swt melalui

pendekatan pendidikan. Dimana Rasul menyampaikan nasehat atau pelajaran

lewat pendidikan yang dilakukan perkelompok atau komunitas, hal itu sering

dilakukan di As-Shuffah, Dar Al-Qurraa dan Kuffah.

3. Pendekatan Diskusi
Pendekatan diskusi merupakan salah satu dari bentuk yang paling

akurat dalam memecah sebuah masalah. Pendekatan ini akan memberi

peluang kepada yang lain untuk memberi tanggapan atau menyanggahinya.

4. Pendekatan Penawaran
Salah satu falsafah pendekatan penawaran yang dilakukan Nabi adalah

ajakan untuk beriman kepada Allah tanpa menyekutui-Nya dengan yang lain.

Cara ini dilakukan Nabi Saw dengan memakai metode yang tepat tanpa

paksaan sehingga orang yang meresponnya tidak dalam keadaan tertekan

bahkan ia akan melakukannya dengan niat ikhlas yang timbul dari hati yang

paling dalam.

5. Pendekatan Misi
Maksud dari pendekatan ini adalah pengiriman utusan yang telah

dianggap mampu oleh Nabi kepada tempat-tempat yang masih jauh dalam

ketauhidan Allah Swt, meskipun pendekan model ini saat dirintis di Mekkah

belum berhasil, tetapi Rasulullah mengembangkan saat beliau berada di

Madinah, ternyata model pendekatan ini juga berhasil dengan maksimal.

74
D. Analisis Penulis

Dalam banyak ayat Al-Quran telah disinggung oleh Allah Swt tentang

hal-hal yang berhubungan dengan tumbuhnya motivasi pada diri manusia,

meskipun redaksi yang digunakan bukan langsung tertuju pada “tumbuhnya

motivasi” karena teks Al-Quran bersifat global atau universal yang mencakup hal-

hal umum lainnya. Tetapi perlu kita ketahui dari beberapa ayat yang telah

dipaparkan diatas telah mencakup beberapa hal yang menjadi faktor tumbuhnya

motivasi pada seseorang, baik itu yang bersifat internal ataupun eksternal.

Dalam pembahasan ini penulis bukan membahas tentang penjelasan ayat-

ayat motivasi tersebut ditinjau dari pengertian definisi saja, tetapi melihat

bagaimana dan metode apa saja yang digunakan dalam Al-Quran dalam

menumbuhkan motivasi tersebut. seperti contoh dalam QS. Yunus ayat 108-109,

dimana Allah menyerukan sesuatu penuh dengan kelembutan (qaulan layyinan),

QS. Isra ayat 70, Allah akan mengangkat derajat anak-anak Adam dari seluruh

ciptaan-Nya yang lain. Ini merupakan salah satu bentuk motivasi yang bersifat

ekstrinsik yang terakum dalam pemberian hadiah atau bagian dari mau‟idhah.

Ataupun berupa janji-janji baik yang disampaikan oleh Allah maupun hukuman

yang akan diberikan-Nya.

Oleh karena itu melihat beragam macam redaksi ayat yang di sampaikan

Allah lewat kalam suci, penulis melihat semua itu telah terakum dalam dalam QS.

An-Nahl:125 yang berbunyi:

75
            

            
“Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang

baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu

Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan

Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”

Ayat ini merupakan ayat yang telah mencakup dari berbagai macam faktor

untuk menumbuhkan motivisi beribadah pada diri manusia yang dilihat dari

metode yang disampaiakan, yaitu dengan Al-Hikmah, Al-Mau’idhah, Al-

Hasanah.

Dalam memahami ayat ini, penulis melihat metode tersebut merupakan

langkah yang ditempuh untuk menumbuhkan kembali motivasi beribadah kepada

Allah. Hal ini bertalian erat dengan kewajiban kita untuk merealisasikan kembali

perjanjian hamba dengan Allah yang telah terikrar sejak awal mula diciptakan.

1. Al-Hikmah
Ajaran Islam sungguh sangat humanis, karena ia merupakan ajaran yang

sesuai dengan fitrah manusia, dan pada dasarnya manusia akan cenderung dan

membutuhkan hal-hal yang bersifat fitrah. Bahkan dalam Al-Quran sudah

Allah tegaskan bahwa manusia sebelum lahir sudah mengadakan perjanjian

dengan Rabbnya bahwa ia mengakui Allah sebagai Tuhannya, ini merupakan

perjanjian tauhid.

76
Firman Allah dalam QS. Al-„Araf [7]:172 yang berbunyi: “Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

Melihat konteks ayat ini maka dapat kita pahami bahwa salah satu bentuk

metode Al-Hikmah adalah untuk mengembalikan manusia kepada asal

hakikat fitrahnya yakni mengakui serta menjunjung tinggi ikrar yang telah

diucapkan di depan Tuhannya.

Karena demikian sebuah aktifitas yang sangat penting perlu dilakukan

dengan penuh hikmah dan kearifan untuk menghindari dari segala bentuk

konflik ataupun hal yang tak diinginkan, karena dalam melaksanakan ini

bukanlah hal yang mudah, kesulitan disebab oleh banyak faktor diantaranya

masyarakat memiliki tipe yang berbeda-beda. Menurut M. Bahri Ghazali

mengklasifikasi masyarakat dalam lima tipe, yaitu:

a. Tipe innovator, yaitu masyarakat yang memiliki keinginan keras pada

setiap keadaan yang sifatnya membangun, bersifat agresif, dan

tergolong memiliki kemampuan antisipatif dalam setiap langkah.

b. Tipe pelopor, yaitu masyarakat yang selektif dalam menerima

pembaharuan dengan pertimbangan tidak semua pembaharuan dapat

membawa perubahan yang positif. Untuk menerima dan menolak ide

pembaharuan mereka mencari pelopor yang mewakili mereka dalam

menggapai pembaharuan itu.

77
c. Tipe pengikut dini, yaitu masyarakat sederhana yang kadang-kadang

kurang siap mengambil resiko dan umumnya lemah mental.

Kelompok masyarakat ini selalu membutuhkan seorang pelopor untuk

menangani setiap masalah mereka.

d. Tipe pengikut akhir, yaitu masyarakat yang ekstra hati-hati sehingga

berdampak kepada anggota masyarakat yang skeptis terhadap

pembaharuan, karena faktor kehati-hatian yang berlebihan, maka

setiap gerakan pembaharuan memerlukan waktu dan pendekatan yang

sesuai untuk bisa masuk.

e. Tipe kolot, yaitu masyarakat yang tidak mau menerima pembaharuan

sebelum mereka benar-benar terdesak oleh lingkungannya.

Maka setelah melihat beberapa tipe masyarakat diatas, maka sudah

seyogyanya sebelum kita masuk kedalam mereka mesti mempelajari terlebih

dahulu tentang mereka, karena metode hikmah ini akan mampu menetapkan

manusia sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan.

Hal ini sejalan dengan sunatullah dalam penciptaan mahkluk dan

mengikuti metode perundang-undangan hukum Islam, dengan mengetahui

bahwa manusia tidak senang menghadapi perpindahan yang dilakukan

sekaligus dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain, meskipun keadaan

yang selama ini mereka jalani merupakan kehidupan yang salah dan mereka

tahu bahwa keadaan yang asing itu sebenarnya sesuatu kebenaran yang nyata,

tetapi semua itu perlu tahapan tersendiri untuk memperoleh sebuah

kesempurnaan.

78
Salah satu hal yang menjadi contoh seperti diturunnya Al-Quran tidak

secara sekaligus, melainkan surat demi surat, ayat-demi ayat dan kadang-

kadang menurut peristiwa-peristiwa yang menghendaki diturunkannya, agar

dengan cara demikian lebih disenangi oleh jiwa dan lebih bisa meresapi

kembali untuk mendorong kearah mentaati serta bersiap-siap untuk

meninggalkan ketentuan-ketentuan lama dan menerima hukum yang baru.

Maka sebagai metode hikmah ini juga perlu tahapan-tahapan tertentu.

2. Mau’idhah
Mau‟idhah Hasanah merupakan salah satu metode dalam Al-Quran yang

berkaitan dengan dakwah untuk mengajak kejalan Allah dengan memberi

nasehat atau bimbingan dengan cara yang lemah lembut agar mereka mau

melakukan suatu kebaikan”.20

a. Nasehat
Islam merupakan agama yang saling menasehati, seperti riwayat

dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad-Daari radhiyallohu‟anhu,

sesungguhnya Nabi shallallahu „alaihi wasallam pernah bersabda:

”Agama itu adalah nasehat”. Kami (sahabat) bertanya: ”Untuk siapa?”

Beliau bersabda: ”Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin-

pemimpin umat Islam, dan untuk seluruh muslimin.” (HR.Muslim)

Maka jelaslah bahwa nasehat merupakan salah satu pilar yang

menjadi pondasi kuat kaum muslimin dalam menegakkan kebenaran

untuk menghapus kedhaliman yang terus merajalela dalam dunia modern.

20
Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah fi Ingkr al-Munkar, (Kuwait: Dar al-Dakwah,
1989), hal.260.

79
Karena Rasul telah mengungkapkan secara tegas kewajiban muslim

untuk saling menasehati muslim lainnya bila telah berada dalam jalur

kemungkaran. Ini merupakan kewajiban personal yang mesti diterapkan

oleh setiap individu bukan hanya sebatas bergantung pada ulama dan

umara semata, tetapi ini merupakan kewajiban individual yang secara

fenomenal sulit kita jumpai karena manusia telah jauh larut dalam

ketergantungan tersebut. maka seyokyanya hal ini mesti kita tumbuhkan

kembali mengingat realita yang telah jauh merosot dan menyimpang dari

ajaran-ajaran kebenaran.

Maka dapat diasumsikan, bahwa menasehati merupakan sebuah

langkah mulia dalam membangun kembali jalan yang benar guna untuk

beribadah kepada Allah, ini merupakan sebuah langkah yang lebih

praktis disebut dengan dakwah. Dimana dakwah merupakan metode yang

digunakan dalam bentuk penyajian secara lisan dan dilakukan langsung

didepan masyarakat dengan menyampaikan perintah Allah dan untuk

menjauhi semua larangan Allah dan Rasul-Nya. Metode ini adalah

metode yang pertama sekali dilakukan oleh Nabi kita Muhammad Saw

dalam menyampaikan risalah kepada ummatnya untuk berbuat

kebajikaan dan meninggalkan larangan. Banyak manusia yang tergugah

dan luluh hatinya dengan mendengar dakwah dan seruan yang

disampaikan sehingga metode ini seringkali digunakan oleh para guru,

ulama, dan kyai-kyai dalam pencapaian sebuah tujuan, sebagai mana

Firman Allah:

80
              

  

“Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu)

itu maka ketahuilah, sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu

Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu

berserah diri (kepada Allah)? (QS. Hud [11]:14)

    


"Kemudian Aku telah menyeru mereka dengan terang-terang” (QS.

Nuh:8)

Dan tidak sedikit juga dari metode ini memiliki kecenderungan

yang negatif dimana metode ini seringkali tidak menjadi metode yang

lunak bagi sebagian kecil manusia, seperti yang telah Allah sebutkan

           

     


“Dan mereka berkata: "Hati kami dalam tutupan yang berlapis-lapis
(menghalang kami) dari pada memahami apa yang Engkau serukan kami
kepada-Nya, dan pada telinga kami penyumbat (menjadikan kami tidak
dapat mendengarnya), serta di antara kami dengan mu ada sekatan
(yang memisahkan fahaman kita); oleh itu, bekerjalah engkau (untuk
agama mu), Sesungguhnya kami juga tetap bekerja (untuk
mempertahankan kepercayaan kami)! " (QS. Fushilat: [41:5)

Dalam Ayat lain Allah menjelaskan kepada orang yang

menyerukan dakwah, agar mereka senantiasa patuh dan mengikuti jalur

syariat yang benar, jangan menyampaikan sesuatu yang bathil sesuai

81
dengan kemauan hawa nafsu sendiri, hal itu telah ditegaskan dalam Al-

Quran yang berbunyi :

          

      


“Supaya mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada

hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan

yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah,

amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.” (QS. An-Nahl [16]:25)

Dari beberapa ayat diatas maka jelaslah bagi kita bahwa

menyiarkan agama ini bagi masyarakat perlu dakwah dan seruan yang

harus ditempuh dengan baik, karena dengan dakwah setidaknya kita

dapat membawa pendengar kedalam pengetahuan dan penghayatan yang

dalam tentang kekuatan dan kekuasaan Allah yang dapat kita laksanakan

secara lisan dan langsung di depan masyarakat. Karena metode ini adalah

cara yang ditempuh oleh Nabi-Nabi Allah dalam menyiarkan agama

tauhid dan mengajak beriman kepada Allah, dan ternyata metode ini

adalah metode yang sangat ampuh bagi kita dalam mencontoh cara Nabi

menyampaikan risalah kepada ummatnya.

Oleh karena itu Al-Quran menjadi pedoman bagi kita untuk

melihat langkah dan metode dalam memberi nasehat telah termaktub

dalam kitab suci yang mampu memberi dampak positif dalam

menanggapi tujuan yang kita harapkan. Adapun jenis-jenis ungkapan Al-

Quran dalam menyampaikan nasehat memiliki kevariasian yang begitu

82
menakjubkan, tergantung atas situsi dan kondisi objek yang dituju. Jenis

tersebut diantaranya:

1) Qaulan Baligha
Qaulan Baligha merupakan ungkapan Al-Quran yang

membekas dalam jiwa, yang memiliki makna yang sangat

mengesankan, sehingga siapa yang mendengar akan merasa diberi

pelajaran yang begitu dahsyat padanya. Ungkapan ini terletak pada

surah An-Nisa ayat 63 dengan Firman-Nya:

          

     


“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang

di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka,

dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka

perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”

Yang dimaksud dalam ayat diatas adalah perilaku orang

munafik. Dimana mereka ketika diajak untuk memahami hukum

Allah, mereka menghalangi orang lain untuk patuh21. Kalau mereka

dapat musibah atau kecelakan karena perbuatan mereka sendiri,

mereka datang mohon perlindungan atau bantuan. Mereka inilah

yang perlu dihindari, diberi pelajaran atau diberi penjelasan dengan

21
QS. An-Nisa: 61.

83
cara yang berbekas dan mengesankan agar mereka tercegah dari niat

jahatnya22

Karena itu Qaulan Baligha dapat disebut dengan komunikasi

yang efektif. Merujuk pada asal kata baligha yang bermakna

“matang, sampai atau fasih”23 Jadi, untuk orang munafik24 seperti

ini diperlukan komunikasi yang efektif yang dapat menggugah

jiwanya, bahasa yang dipakai adalah bahasa yang mengesankan atau

membekas pada hatinya, karena hati orang munafik telah dikotori

dengan sifat dusta, khianat dan ingkar janji maka bila hati tersebut

tidak mampu disentuh sulit untuk menundukkannya.

2) Qaulan Layyinan
Qaulan Layyinan secara harfiyah bemakna komunikasi

dengan cara lemah lembut yang dianjurkan oleh Allah melalui

kalamnya, hal ini tercantum dalam surah Thaha ayat 43-44 yang

berbunyi:

            

 
“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah

melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya

dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau

takut".

22
Tafsir Ibnu Katsir, juz 5. hal.281.
23
Kamus Munawir, hal.107.
24
Munafik merupakan sebutan bagi orang-orang yang mengaku mengikuti ajaran agama
tetapi kenyataannya mereka ingkar

84
Ungkapan Qaula Layyinan merupakan perintah Allah yang

dituju kepada Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menyampaikan

kepada Fir‟aun dengan kata-kata yang lemah lembut, dengan tujuan

untuk menyadarkannya supaya jangan mengaku menjadi tuhan dan

mau menerimanya atau takut kepada Allah lalu karenanya ia mau

sadar. 25

Berhadapan dengan hal seperti ini seperti penguasa yang

dhalim, Al-Quran mengajarkan cara dan metode penyampaian

dengan ungkapan sejuk dan lemah lembut, tidak kasar atau dengan

ucapan keras dan lantang, karena hak tersebut bila ungkapan tersebut

dikeluarkan akan cenderung terpancing respon keras dalam waktu

spontan, sehingga menghilangkan peluang untuk dialog dan

komunikasi yang hendak disampaikan. Ini merupakan sebuah hal

yang perlu sekali kita perhatikan dalam melihat orang yang hendak

dituju jangan sampai semua itu hancur berantakan akibat salah

langkah dalam mengambil tindakan.

3) Qaulan Ma’rufan
Qaulan Ma‟rufan dapat diterjemahkan sebagai ungkapan

yang pantas, salah satu pengertian ma‟rufan secara etimologi adalah

al-khair atau ihsan yang bermakna “baik-baik”. Jadi qaulan

ma‟rufan mengandung pengertian perkataan atau ungkapan yang

pantas dan baik.

25
Tafsir Jalalain.

85
            

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf, lebih baik dari sedekah

yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si

penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-

Baqarah [2]:263)

Jalaluddin Rahmad menjelaskan bahwa qaulan ma‟rufan

adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika

berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau orang yang kuat

terhadap orang-orang miskin atau lemah. Qaulan ma‟rufan berarti

pembicaraan yang bermamfaat, memberikan pengetahuan,

mencerahkan pemikiran, menunjukkan pemecahan terhadap

kesulitan pada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara

material, setidaknya kita dapat membantu dengan psikologi. 26

4) Qaulan Maisura
Qaulan Maisura adalah perkataan yang ringan, kalimat

yasura berasal dari kata yasr yang bermakna “mudah”, qaulan

maisura adalah lawan dari ma‟sura; perkataan sulit. Maka dapat

dipahami qaulan maisura merupakan perkataan yang mudah

diterima, ringan, pantas dan tidak berliku-liku, dalam artian pesan

yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat

dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Firman Allah:

26
Jalaluddin Rahmad, Etika Komunikasi Perspektif Religi, Makalah Seminar, (Jakarta:
Perpustakaan Nasional, 18 Mei 1996).

86
          

 
“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat

dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada

mereka ucapan yang pantas.” (QS. Al-Isra‟ [17]:28)

5) Qaulan Karima
Qaulan karima adalah perkataan yang mulia, santun, penuh

penghormatan dan penghargaan, dimana saat menyampaikan sebuah

nasehat mereka tidak merasa sedang menggurui.

           

          

    

“Dan Tuhanmu telah menetapkan supaya kamu jangan menyembah


selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra [17]:23)
Berkenaan dengan redaksi ayat ini, qaulan karima yang

dimaksud lebih cocok bila kita menghadapi seseorang yang sudah

termasuk kategori lanjut usia, haruslah bersikap seperti orang tua

sendiri, yakni hormat dan tidak berkata kasar kepadanya. Karena

manusia meskipun sudah mencapai usia lanjut namun mereka masih

87
bisa juga berbuat khilaf dan kesalahan. Sementara kondisi fisik

mereka mulai melemah membuat mereka sangat sensitif dan mudah

tersinggung, maka sudah seyokyanya perkataan yang mulia dan

hormat yang dapat melunakkan mereka.

b. Tabsyir Wa Tandzir

1) Tabsyir

Tabsyir secara bahasa berasal dari kata basyra yang

bermakna memperhatikan dan merasa senang.27 Menurut Quraish

Shihab basyara berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan

indah.28 Maka basyar dalam bahasa Arab sering juga dimaknai

dengan kulit, karena kulitlah yang membuat keindahan. Kenapa

manusia sering disebut basyar karena bagian terbesar pada diri

manusia yang mampu dilihat dan ditatap hanya bagian luar saja yaitu

kulit, dan dengan kulit itu pula manusia sombong, angkuh dan ada

juga sebagian kecil yang baik dan indah.

Dalam Al-Quran kata tabsyir banyak disebutkan, menurut

Muhammad Abdul Baqi‟ kata tabsyir atau mubasyir disebutkan

sebanyak 18 kali.29 Dari sekian banyak kata tabsyir semua diartikan

dengan “kabar gembira atau berita pahala”, hanya saja bentuk kabar

gembira beragam bentuk. Antara lain kabar gembira dengan syariat

Islam, kabar gembira dengan kedatangan Rasul, kabar gembira

27
Ahmad Wason Munawir, Kamus Munawir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 85.
28
M. Qurish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 279.
29
Abdul Baqi Muhammad Fuad, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfadz Al-Quran al-Karim,
(Cairo: Dar Al-Kutub al-Misyriyah, tt), hal. 120.

88
tentang turunnya Al-Quran, dan kabar gembira tentang syurga dan

kenikmatan. Adapun tujuan dari tabsyir adalah:

a) Menguatkan atau memperkokoh keimanan

b) Memberikan harapan

c) Menumbuhkan semangat untuk beramal

d) Menghilangkan sifat keragu-raguan

Tujuan-tujuan diatas diharapkan mampu menjadi sebuah

motivasi didalam beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan sepenuh

hati. Adapun motivasi tersebut oleh Said bin Ali al-Qahtani30

membagi dua macam, yaitu: pemberian motivasi dengan janji dan

pemberian motivasi dengan menyebutkan bermacam-macam

ketaatan. Adapun pemberian motivasi dengan janji mempunyai

gambaran yang beraneka ragam, antara lain:

a) Janji berupa kehidupan yang baik, yakni selamat dari segala

yang dibenci oleh Allah, selalu dalam lindungan dan

pengawasan Allah Swt. dalam firman-Nya Allah

menjanjikan kebaikan kepada orang-orang yang beramal

shaleh yang disertai dengan ikhlas:

         

       

 

30
Said bin Ali al-Qathani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press,
1994), hal. 362.

89
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-
laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl [16]:97)

b) Janji berupa pemberian kekuasan diatas bumi, ini

merupakan janji Tuhan yang telah disebutkan dalam Al-

Quran, meskipun manusia merupakan mahkluk khalifah,

yang bertugas menjadi pemimpin, paling kecil pemimpin

dirinya dan keluarganya, tetapi bila berada dalam keimanan,

apapun yang mereka pimpin tidak sedikitpunm goyang dan

bimbang dalam melaksanakannya, ia akan merasa aman dan

tentram melaksanakannya.

      

      

        

          

      


“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang
shaleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di muka bumi, sebagai mana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar
akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap

90
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang
fasik.” (QS: An-Nur [24]:55)

c) Janji berupa segala penambahan kebaikan yang disertai

dengan rasa syukur kepada Allah Swt. Karena dengan

syukur akan terasa besarnya nikmat dan karunia Allah,

hingga hati akan mersa cukup atas apa yang telah

dianugerahi Allah kepadanya. Namun sebaliknya bila ia

ingkar sungguh dia berada dalam kerugian, ia merasa betapa

sedikitnya nikmat yang diperoleh selama ini, hingga ia akan

terus mencari dengan mengedepankan hawa nafsu tanpa

pernah mersa cukup atas semua yang telah diperolehnya.

        

   


“Dan tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim [14]:7)

d) Janji berupa panjang umur, hal ini bukan bermakna hidup

lama diatas permukaan bumi Tuhan, tetapi hidupnya selama

di bumi walau hanya sesaat dipenuhi dengan keberkahan,

waktu tanpa berlalu sia-sia, hati tidak pernah absen untuk

mengingat Allah, sehingga kehidupannya akan jauh dari

perbuatan maksiat dan akan dilindungi Allah dari murka-

Nya.

91
         

       

           

      


“Berkata Rasul-Rasul mereka: "Apakah ada keragu-
raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia
menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari
dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu sampai masa
yang ditentukan?" Mereka berkata: "Kamu tidak lain
hanyalah manusia seperti kami juga. kamu menghendaki
untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa
yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu
datangkanlah kepada kami, bukti yang nyata." (QS. Ibrahim
[14]:10)

e) Janji berupa pertolongan dan taufik-Nya, yakni Allah selalu

memberi pertolongan kepada hamba-hamba yang beriman,

baik disaat ia hidup di dunia dan disaat berada di akhirat.

Bila taufik dan pertolongan Allah telah didapati, sungguh

hamba tersebut telah berada dalam jenjang keberuntungan

yang tiada bisa dsibandingkan dengan segala sesuatu.

         

     

         

 

92
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada
cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-
pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka
daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu
adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS.
Al-Baqarah [2]:257)

Dari beberapa ayat diatas, maka jelaslah Al-Quran

memberi motivasi pada seseorang untuk melakukan ibadah

dan beramal shaleh berupa janji-janji yang dapat mendorang

untuk melaksanakannya. Janji-janji yang termaktub dalam

Al-Quran menjadi motivator bagi seseorang untuk

melaksanakan ibadah, mengingat ada aspek yang ingin

dicapai bila ibadah telah dilaksanakan.

Janji-janji dalam Al-Quran merupakan bagian dari

aspek motivasi ekstrinsik yang timbul akibat dorongan dan

pengaruh dari luar berupa harapan untuk mendapatkan apa

yang telah dijanjikan oleh Allah Swt. Maka dapat kita

asumsikan janji merupakan salah satu metode Al-Quran

dalam menumbuhkan motivasi beribadah pada seseorang.

93
2) Tandzir
Kata tandzir atau indzar secara bahasa berasal dari kata na-

dza-ra yang menurut Ahmad bin Faris adalah suatu kata yang

menunjukkan untuk menakutkan (takhwif). 31

Adapun secara istilah, tandzir merupakan ungkapan yang

mengandung unsur peringatan kepada orang yang tidak beriman atau

kepada orang yang melakukan perbuatan dosa atau hanya untuk

tindakan preventif agar tidak terjerumus pada perbuatan dosa dengan

bentuk ancaman berupa siksaan di hari kiamat. Ini merupakan salah

satu bentuk metode dakwah Al-Quran dimana isinya berupa

peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat

dengan segala konsekuensinya.32

c. Qashash
Secara epistimologi lafadz qashash merupakan bentuk jamak dari

kata qishah lafadz ini merupakan bentuk masdar dari kata qassa ya

qussu.33 yang bermakana menceritakan atau menelusuri/mengikuti jejak.

Adapun makna dari sebagian besar ayat-ayat Al-Quran mengarah kepada

kisah atau cerita.

Adapun makna secara terminologi qashash berarti kisah-kisah dalam

Al-Quran yang menceritakan hal ikhwal umat terdahulu dan Nabi-Nabi

mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa

31
Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu‟zam al-Muqayis fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1994), hal. 1021.
32
Ali Mustafa Yakub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1997), hal. 49.
33
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab. 12/148.

94
kini dan masa yang akan datang.34 Allah berfirman dalam Al-Quran

surah Ali Imran ayat 62 yang berbunyi:

               


“Sesungguhnya ini ialah kisah-kisah yang benar; dan tiadalah Tuhan

(yang berhak disembah) melainkan Allah; dan (ingatlah), Sesungguhnya

Allah, Dia lah Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana”.

Dari ayat diatas jelas bagi kita bahwa kisah-kisah yang termaktub

dalam Al-Quran merupakan peristiwa nyata yang tak perlu diragukan lagi

kebenarannya. Adapun tujuan dengan adanya kisah dalam Al-Quran

sangatlah penting untuk menjadi cermin bagi kita dalam hidup didunia

ini dan dapat mengoreksi kepribadian masing-masing, dimana kisah itu

merupakan salah satu bentuk dari peradaban masa lalu, sehingga bisa

menumbuhkan ahklakul karimah untuk mendidik dan meresapi kembali

hikmah dibalik semua itu dan berusaha untuk menjauhi dan tidak

mengulangi perbuatan buruk yang dapat menjadi murka-Nya kepada kita.

34
Mustafa Muhammad Sulaiman, al-Qishash fi al-Karim, (Mesir: Mathbah al-Amanah,
1994), hal. 4.

95
3. Mujadalah
Al-Quran melalui ayat-ayatnya menaruh perhatian besar pada

percakapan atau dialog demi menegakkan dalil-dalil ke-Esaan Allah dan

membuktikan misi Rasulullah Saw. Metode ini ditempuh demi untuk

menggapai kebenaran yang meyakinkankan hati, menyegarkan jiwa,

menenangkan perasaan dan menjadikan kaum muslimin hidup dalam iman

yang kuat.

Dalam hal ini yang perlu digaris bawahi bahwa antara debat dan

dialog memiliki sisi pembeda, biasanya dalam perdebatan terjadi perseteruan

meski hanya sekedar perseteruan lisan, perdebatan senantiasa bermuara pada

permusuhan yang diwarnai oleh fanatisme terhadap pendapatnya masing-

masing pihak dengan merendahkan pihak lainnya. Sedangkan dialog dalam

redaksi Al-Quran menggunakan lafadz Al-Hiwar.

Menyikapi hal ini redaksi yang digunakan Al-Quran bukan

menggunakan “al-mujadalah al-hiwar” akan tetapi Al-Quran menggunakan

lafadz “qaala” (dia telah berkata), “yaquulu” (dia sedang / akan berkata),

“qul‟ (katakanlah), qaalu” (mereka telah berkata), “yaquuluuna” (mereka

sedang / akan berkata), dan “quuluu” (katakanlah oleh kamu semua)

diturunkan dari kata dasar “Al-Qawl” yang bermakna pendapat. Karena

dalam dialog tersebut kedua pihak saling mengemukakan pendapatnya, dan

96
hal ini telah diungkapkan oleh Al-Quran secara berulang-ulang lebih dari

1.700.35

a. Al-Hiwar
Islam merupakan agama saling menasehati, sebuah agama tidak

mampu berdiri kokoh atau tersebar suatu pola kecuali dengan sebuah

nasehat yang mampu mendorong dan memberi motivasi kepada

pemeluknya untuk tetap konsisten terhadap kepercayaan yang dianutnya,

bukan hanya sekedar mengeluarkan dari lisan, tetapi harus mampu

membuktikan dalam segala aspek kehidupan. Kewajiban ini didasarkan

atas suatu ajaran, bahwa Islam merupakan sebuah agama risalah untuk

manusia, sedangkan pemeluknya harus mampu menanggung amanah

yang telah ditetapkan yaitu sebagai penerus risalah Islam yang telah

disampaikan oleh Nabi dalam segala dimensi ruang dan waktu.

Dalam mengemban amanah yang berat ini bagi jiwa-jiwa muslim

dituntut selalu berpijak untuk mampu menyentuh dan menyejukkan hati

agar apa yang disampaikan dapat mereka terima, sehingga dapat

memberi perubahan kearah yang lebih bagus.

Dalam hal melakukan perdebatan atau dialog mesti disikapi dengan

arif dan bijaksana karena dengan cara ini akan mampu memicu dan

menumbuhkan motivasi mereka untuk berpikir atau menghayati kembali

atas apa yang telah kita sampaikan.

35
Dapat dilihat pada Al-Mu‟jam Al-Mufahras dan ayat-ayat yang mempergunakan lafadz
Al-Khiwar. (Disamping menggunkan lafadz yang berakar kata al-qawl, terdapat pula lafadz “Haa-
jjaka, Tuhaa-jjuna, Haa-jjajtum” yang berarti membantah: QS. Ali Imran ayat 61, 65, 66 ).

97
Ibarat dua insan yang dipisahkan oleh sebuah sungai yang luas

ataupun jurang yang dalam, dan apabila mereka ingin bertemu maka

mereka memerlukan sebuah jembatan, dalam konteks dua insan yang

berbeda yang ingin menggapai suatu kata kesepakatan, jembatan bisa

disebut dengan dialog, sedangkan jembatan tersebut meski ditopang

dengan pondasi yang kokoh agar mampu mengatur para penyeberang

sehingga sampai tujuan kesepakatan dengan selamat.

b. As-Ilah Wa Ajwibah
Kata As-„Ilah merupakan jamak dari kata As-Saw-al yang berarti

pertanyaan-pertanyaan36 begitu pula kata Ajwibah merupakan jamak dari

kata Ajabah yang bermakna jawaaban-jawaban37 Maka pengertian dari

mujadalah al-Islah wa Ajwibah adalah perdebatan yang dilakukan oleh

dua orang maupun sekelompok orang untuk berusaha memunculkan

suatu yang paling bagus atau yang paling baik, dalam bentuk mengajukan

pertanyaan dan jawaban yang merupakan argumennya masing-masing.

As-Ilah wa Aj-wibah dalam Al-Quran pada dasarnya sebuah

jawaban itu harus sesuai dengan dengan pertanyaan dengan bunyi kaedah

“Asalnya suatu jawaban adalah harus sesuai dengan pertanyaan.38

Namun terkadang ia menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan.

Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya

ditanyakan, contohnya seperti QS. Al-Baqarah ayat 189, mereka

36
Ahmad Warson, Munawir, hal. 636.
37
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi „Ulumul Quran, Juz II, (Kairo: Dar al-Ihya al-Kutub al-
Arabiyyah, 1376 H), hal. 83.
38
op.cit,. (Beirut:Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1988), cet. I. hal. 50

98
menanyakan kepada Rasulullah tentang bulan, mengapa pada mulanya ia

tampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit

hingga sempurnama, dan kemudian menyusut kembali seperti semula.

Adapun jawaban yang diberikan Rasul berupa penjelasan dari

hikmahnya, untuk mengingat bahwa yang lebih penting ditanyakan ialah

hal tersebut bukan yang mereka tanyakan.

99
BAB EMPAT
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Quran memiliki banyak ragam metode dalam hal menumbuhkan

motivasi bagi manusia dalam hal ibadah khususnya. Hal ini dapat penulis

bandingkan dengan teori-teori yang dikeluarkan para ahli psikologi dalam hal

menumbuhkan motivasi. Walaupun sebagian yang telah disebutkan para ahli juga

disebutkakan dalam Al-Quran, tetapi banyak hal yang belum kita temukan di

beberapa buku atau rujukan tentang psikologi yang menjelaskan hal-hal yang

membangun motivasi sebagaimana yang telah disebutkan Al-Quran kira-kira 14

abad yang lalu.

Sungguh takjub bila kita terus menelusuri dan mempelajari ayat-ayat

Tuhan yang terpancarkan dalam Al-Quran memiliki banyak sekali ilmu yang

tersimpan dan tak akan habis-habisnya bila seorang hamba mampu

memahaminya. Maka dari itu penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1. Al-Quran merupaka kalam suci yang mengatur seluruh perundang-

undangan hidup manusia, salah satu isi yang terkandung dalam Al-Quran

adalah menganjurkan manusia untuk selalu taat beribadah kepada Allah

tanpa menyekutui-Nya dengan sesuatu apapun.

2. Dalam beribadah kepada Allah memiliki rambu-rambu yang harus dilalui

oleh setiap manusia yang ingin melaksanakannya. Diantara rambu-rambu

yang paling penting adalah motivasi pada diri pribadi untuk melakukan

100
ibadah sesuai dengan kodrat, hakikat, dan motto hidup di dunia yaitu untuk

selalu beribadah kepada Allah.

3. Dalam menumbuhkan motivasi khususnya dalam beribadah, Allah

menjelaskan dalam Al-Quran dengan beberapa metode yang mampu

memberi solusi dan harapan agar dapat menjadi hamba yang selalu ingat

kepada-Nya.

4. Metode yang digunakan Al-Quran dalam menumbuhkan motivasi

beribadah terangkum dalam Al-Quran surah An-Nahl:125 yang artinya:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran

yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya

Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari

jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat

petunjuk”.

5. Adapun Ayat ini merupakan ayat yang telah mencakup dari berbagai

macam faktor untuk menumbuhkan motivisi beribadah pada diri pribadi

manusia atau orang lain yang dilihat dari metode yang disampaiakan, yaitu

dengan Al-Hikmah, Al-Mau’idhah, Al-Hasanah.

101
B. Saran-Saran

Berdasarkan pembahasan tentang Metode Al-Quran Membangun Motivasi

Beribadah, penulis akan mengemukakan beberapa saran yang diharapkan

nantinya mampu menjadi pijakan atau pedoman bagi penulis khususnya,

selanjutnya bagi Mahasiswa, Dosen/Guru, Masyarakat, Pemerintah dan Perguruan

Tinggi.

1. Bagi mahasiswa yang menjadi Agent of Change atau Agent of Sosial

Control dengan adanya pemabahasan ini mampu mempersiapkan diri

menjadi motivator, inovator, dinamisator dan katalisator dalam berbagai

problem sosial keagamaan bagi diri sendiri ataupun orang lain.

2. Bagi masyarakat; setelah melihat pembahasan yang penulis paparkan

diatas, diharapkan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk bisa

mengintrofeksi diri, apakah selama ini motto atau tujuan hidup telah kita

laksanakan dengan maksimal, jika belum mulai sekarang mari kita

berusaha sekuat mungkin untuk menuju kearah yang lebih baik.

3. Bagi Pemerintah yang menjadi penggerak dalam setiap kegiatan bernegara

diharapkan mampu memberi arahan dan bimbingan yang lebih kepada

warga negara dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berbau

keislaman, melihat kondisi masyarakat telah jauh dan dilalaikan dengan

persoalan duniawian.

4. Bagi Dosen/Guru yang merupakan pilar kebangkitan ummat diharapkan

lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas anak didiknya dalam

mengayomi pendidikan agama, mengingat betapa banyaknya remaja-

102
remaja muslim telah terdekadensi moral yang sangat drastis diera modern

ini.

5. Bagi Perguruan tinggi; Pembahasan ini selain salah satu aktualisasi Tri

Darma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan/pengajaran, pengabdian dan

yang terakir dalam bentuk penelitian, juga merupakan salah satu karya

yang sangat penting untuk menjadi rujukan dan pedoman khusunya dalam

psikologi Islam untuk meningkatkan partispasi dalam melaksanakan

pembangunan dan perubahan khususnya di bidang agama.

6. Semoga dalam menjalani kehidupan dunia kita semua mampu menjadi

insan yang beriman, taat dan patuh atas setiap perintah Allah Swt,

sehingga bila ia seorang Mahasiswa, Masyarakat, Pemerintah ataupun

Dosen/Guru menjadi orang-orang beriman, sungguh dunia akan terasa

damai dan tentram, bila semua kita telah benar-benar beriman tidak ada

lagi kedhaliman, pembunuhan, penganiayaan, korupsi, kolusi ataupun

nepotisme yang sekarang telah merajalela dalam hati masyarakat muslim.

103
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Al-Karim

Abd. al-Rahman al-Nahlawi. Prinsip-Prinsip Dan Metode Pendidikan Islam.


Bandung: Diponegoro, 1989.

Abdul Hamid al-Bilali. Fiqh al-Dakwah fi Ingkar al-Munkar. Kuwait: Dar al-

Dakwah. 1989.

Abd. Al-Lathif Muhammad. al-‘Abd, al-Insan fi Fikr Ikhwan al-Shafa’. Cairo:


Maktabah al-Anjalu al-Mishriyat. tt.

Adullah Nashih Ulwan. Tarbiyah al-Uulad Fi al-Islam. Dar al-Salam. jilid I.

Abdul Baqi Muhammad Fuad. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Quran al-


Karim. Cairo: Dar Al-Kutub al-Misyriyah. tt.

Abu Ammar & Abu Fatihah Al-Adnani. Mizanul Muslim. Solo: Cordova

Mediatama. 2009.

Ahmad Warson al-Munawir. Kamus al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif.

1997.

Ahmad Mukhrij Aji. Memaknai Peringatan Nuzulul Quran,


www.radarbogor.com, 07 September 2009.

Ahmad bin Muhammad al-Muqri’ al-Fayumi. Al-Misbul Munir. tt.

Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin. Semarang: Usaha Keluarga. tt.

Al-Raghib al-Afsan. Mu’jam al-Faadh Al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr. tt.

Ali al-Jarisyah. al-hiwar wa al-Munadzarah. al-Munawarah: Dar al-Wifa. 1989.

Ahmad Thib Raya & Siti Musda Mulia. Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam
Islam. Bogor: Kencana. 2003.

Arifin. Ilmu Pendidikan Islam:Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan


Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara. 1991.

Chairani. Penafsiran Ilmiah Al-Quran Terhadap Ayat Kejadian Manusia. Cet. I.


Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry. 2004.

104
Chalijah Hasan. Deminsi-Deminsi Psikologi Pendidikan. Surabaya: Al-Ikhlas.
1994

Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1988.

Hasanuddin. Hukum Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1996.

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/02/07/semangat-itu/

Ibnu Mandzur. Lisanul Arab. Jld.12. Beirut: Dar Fikr. 1990.

Ibnu Katsir. Labaabut Tafsir Min Ibnu Katsir. Terj. M. Abdul Ghoffar, Abu Ihsan.
Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i. 2000.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah. al-Ruh.

Jalaluddin Rahmad. Etika Komunikasi Perspektif Religi. Makalah Seminar,


Jakarta: Perpustakaan Nasional. 18 Mei 1996.
Kahar Masyur. Pokok-Pokok Ulumul Quran. Cet. I, Jakarta: Rineka Cipta. 1992.

M. Quraish Shihab. Menyingkap Tabir Ilahi;Asma al-Husna Dalam Perspektif Al-

Quran. Cet. I, Jakarta: Lentera Hati. 1998.

Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati. 2005.

Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan. 1996.

Manna’ al-Qathtan. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Cet. II, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar. 2007.

Martin Handoko. Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yokyakarta: Kanisius.

1995.

Muhammad Athiyah, al-Abrasy,. Ruh al-Tarbiyat wa al-Ta’lim. Kairo: Isa al-Bahi


al-Nalabi. tt.

Mustaqim, Abdul Wahib,. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta: Semarang. 1990.

Moh. As’ad. Psikologi Industri. Liberty: Yokyakarta. 1998.

Omar Mohammd al-Toumy al-Syaibani. Falsafah Pendidikan Islam. Terj.


Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang. 1979.
Pusat Bahasa, KBBI. Jakarta,. 2008.

105
Sayyid Muhammad Thanthawi. Adab al-Khiwar fi Islam. Mesir: Dar al-
Nahddhah. Terj. Zuhaeri Misrawi, Zamroni Kamal. Cet. I. Jakarta: Azam,
2001, pada kata pengantar.

Shahih Abd. Al-Aziz. al-Tarbiyah al-Haditsah Maddatu, Mabadi’uba,


Tathiqatuha al-Amaliyah. Kairo: Dar al-M’arif. 1119 H.
Sudirman, A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali

Persada. 1990.

Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Bina Aksara. 1987.

Winardi. Manajemen Prilaku Organisasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1992.

World Assembly of Muslim Youth (WAMY), Fi Ushulil Hiwar. Mesir: Maktabah


Wahbah Cairo, Terj. Abdus Salam, Muhil Dhafir. Etika Diskusi. Cet. II.
Jakarta: Era Inter Media. 2001.
Yaumil Agoes. Peranan Keluarga Dalam Pembinaan SDM. Jakarta: Pustaka
Antara. 1993.
Yusuf Al-Qaradhawi. Ibadah Dalam Islam. Jakarta: Akbar. 2005.
Zakiah Daradjad. Metode Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi
Aksara. 1995.

106

Anda mungkin juga menyukai