Anda di halaman 1dari 20

MATERI INTI 2

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DARAH


RAPID HIV DAN SIFILIS

I. DESKRIPSI SINGKAT
Penularan HIV dan Sifilis dapat terjadi melalui transfusi darah dan produk darah, tusukan
benda tajam yang tercemar darah atau cairan tubuh, hubungan seksual dan melalui
plasenta dari ibu ke pada janin yang sedang dikandungnya. Diagnosis untuk
pemeriksaan HIV dan Sifilis menggunakan pemeriksaan serologi dengan darah untuk
menentukan infeksi HIV atau Sifilis.

Infeksi HIV di Indonesia dilaporkan terjadi


peningkatan meskipun angka HIV/AIDS sangat
tinggi terkonsentrasi di beberapa daerah, dan
Sifilis meningkatkan resiko terinfeksi HIV.
Diagnosis HIV dan Sifilis sedini mungkin sangat
penting, agar pasien dapat segera diobati,
sehingga penularan dapat dicegah. Oleh karena
itu, penting bagi petugas laboratorium di
fasyankes primer untuk memiliki keterampilan
dalam melakukan pemeriksaan darah rapid HIV dan Sifilis.

Modul ini akan membahas tentang pemeriksaan


anti-HIV meliputi: Strategi pemeriksaan HIV,
ragam metoda pemeriksaan HIV, syarat pemilihan
reagensia dan pemeriksaan anti-HIV metoda tes
cepat dan Interpretasi hasil pemeriksaan.
Sedangkan untuk modul Sifilis meiliputi:
pengertian sifilis, teknik-teknik pemeriksaan sifilis,
interpretasi hasil pemeriksaan sifilis dan penyebab
positif palsu pada hasil RPR dan pemeriksaan Treponema pallidum Rapid dan RPR.

II. URAIAN MATERI

Pokok Bahasan 1. Pemeriksaan HIV


A. Struktur virion HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) termasuk dalam golongan Retrovirus. Virus ini
memiliki materi genetik berupa sepasang asam ribonukleat rantai tunggal (single-

1
stranded Ribonucleic acid = ss-RNA) yang identik dan suatu enzim yang disebut sebagai
reverse transcriptase. Virion HIV terdiri dari 3 bagian utama yaitu envelope yang
merupakan lapisan paling luar, capsid yang meliputi isi virion dan core yang merupakan
isi virion. Envelope adalah suatu lapisan lemak ganda yang terbentuk dari membran sel
pejamu dan mengandung pula protein pejamu. Pada lapisan ini tertanam glikoprotein
virus yang disebut glikoprotein 41 (gp41). Pada bagian luar glikoprotein ini terikat molekul
gp120. Molekul gp120 ini yang akan berikatan dengan reseptor CD4 pada saat
menginfeksi limfosit CD4+ atau sel lain yang mempunyai reseptor tersebut. Pada
elektroforesis kompleks antara molekul gp41 dan gp120 ini membentuk pita yang disebut
sebagai gp160. Capsid berbentuk ikosahedral dan merupakan lapisan protein yang
dikenal sebagai protein 17 (p17). Pada bagian core terdapat sepasang RNA rantai
tunggal, enzim-enzim seperti reverse transcriptase (p61), endonuklease (p31) dan
protease (p51); serta protein-protein struktural terutama p24 (Gambar 1).

Gambar 1 : Virus HIV

B. Serokonversi yang terjadi pada infeksi HIV


Gambar 2 menunjukkan timbulnya antigenemia dan pembentukan antibodi yang biasa
terjadi dalam darah penderita infeksi HIV. Antibodi terhadap protein core yang utama
(p55, p24) biasanya timbul terlebih dahulu, sedangkan antibodi terhadap protein
envelope dan polymerase dapat timbul pada saat yang sama atau sedikit lebih lambat.
Antibodi terhadap p24 dapat menurun pada saat perjalanan penyakit mencapai stadium
lanjut, yang diikuti peningkatan titer antigen p24 dalam serum. Perubahan dari adanya
antibodi menjadi adanya antigen ini menunjukkan adanya proses sekuestrasi dan
penghilangan antibodi pada saat antibodi tersebut berikatan dengan antigen virus dalam
jumlah yang banyak akibat proses replikasi. Kemungkinan lain adalah penurunan
produksi antibodi yang disebabkan oleh berkurangnya kemampuan untuk berespon dari
sistim imun. Replikasi virus biasanya terjadi pada stadium lanjut penyakit dan biasanya
pada saat itu mulai timbul gejala.

Adanya antigen p24 dalam serum penderita pada stadium yang sangat dini juga perlu
diperhatikan. Hal ini biasanya terjadi antara 1-3 minggu setelah infeksi. Namun pada saat
ini, jumlah antigen tersebut dapat sangat rendah, sehingga mungkin tidak terdeteksi.
Masa antara terjadinya infeksi sampai timbulnya antibodi (biasanya sekitar 4-8 minggu,
namun pada beberapa kasus dapat mencapai 3 bulan) dikenal sebagai window period.

2
Pada saat ini uji terhadap adanya antibodi akan memberikan hasil negatif atau non-
reaktif, walaupun telah terjadi infeksi, sehingga dapat memberikan hasil negatif palsu.

Gambar 2: Pembentukan antibodi dan antigenemia pada infeksi HIV.


Dikutip dari Cheesbrough C.

C. Strategi Pemeriksaan HIV


Pemeriksaan HIV pada laboratorium dilakukan untuk kemanan transfusi dan
transplantasi, surveilans dan diagnostik.

Sampel yang reaktif dianggap mengandung anti HIV (antibodi terhadap HIV), sedangkan
yang nonreaktif dianggap tidak mengandung anti HIV (antibodi terhadap HIV).
Untuk reagen generasi keempat, hasil reaktif dapat disebabkan oleh antigen HIV.

Strategi I
Prinsip: sampel diperiksa dengan satu jenis reagensia Enzyme Immunoassay (EIA) atau
rapid test.
Strategi ini dipakai untuk menyaring darah donor dan produk darah yang lain,
transplantasi organ.

Dalam memilih metode uji saring (strategi I) dapat dilihat pada alur sebagai berikut:

3
Gambar 3. Algoritma pemeriksaan Anti HIV dengan strategi I

Strategi II
Pemeriksaan dengan algoritma strategi II dilakukan untuk kegiatan surveilans.
Prinsip: sampel diperiksa dengan reagensia EIA atau rapid test. Sampel yang
memberikan hasil reaktif pada pemeriksaan pertama dilanjutkan dengan reagensia
kedua.
Sampel yang memberikan hasil reaktif pada kedua pemeriksaan tersebut dianggap
mengandung anti HIV.
Sampel yang memberikan hasil yang nonreaktif pada pemeriksaan kedua harus diperiksa
ulang dengan kedua reagensia yang sama. Hasil pemeriksaan ulang yang berbeda
antara reagensia pertama dan kedua dilaporkan sebagai inkonklusif.

Gambar 4. Algoritma pemeriksaan AntiHIV dengan strategi II

Strategi III
Sama seperti pada strategi II, semua bahan pemeriksaan diperiksa pertama kali dengan
satu reagensia EIA atau rapid test, dan yang memberikan hasil reaktif dilanjutkan dengan
reagensia yang berbeda.
Bahan pemeriksaan yang memberikan hasil nonreaktif pada pemeriksaan pertama
dianggap tidak mengandung antiHIV. Bahan pemeriksaan yang memberikan hasil reaktif
pada pemeriksaan pertama dan nonreaktif pada pemeriksaan kedua harus diperiksa

4
ulang dengan kedua reagensia yang sama dengan sampel yang sama. Bila
menggunakan sampel darah kapiler, maka diperlukan pengambilan sampel baru.
Pada strategi III diperlukan pemeriksaan ketiga bila hasil pemeriksaan kedua reaktif atau
pada pemeriksaan ulang dengan reagensia pertama tetap reaktif dan pemeriksaan
dengan reagensia kedua negatif. Ketiga reagensia yang dipakai pada strategi ini harus
memiliki asal antigen dan/atau prinsip tes yang berbeda.
Bahan pemeriksaan yang memberikan hasil reaktif pada ketiga pemeriksaan dianggap
mengandung antiHIV. Bahan pemeriksaan yang memberikan hasil yang tidak sesuai
pada pemeriksaan kedua, atau reaktif pada pemeriksaan pertama dan kedua namun
nonreaktif pada yang ketiga dilaporkan sebagai inkonklusif.
Bahan pemeriksaan yang reaktif pada pemeriksaan pertama serta nonreaktif pada
pemeriksaan kedua dan ketiga dilaporkan inkonklusif bila individu yang diperiksa
mempunyai risiko terpapar HIV (risiko tinggi) dan dilaporkan sebagai nonreaktif bila
individu yang diperiksa tidak mempunyai risiko terpapar HIV.

5
Gambar 5. Algoritma pemeriksaan anti HIV Strategi 3 (Diagnosis)

6
7
Catatan penting:
 Pemeriksaan HIV untuk menegakkan diagnosis HARUS dan HANYA BOLEH dilakukan
atas pengetahuan dan persetujuan individu yang diperiksa. Bila individu yang
bersangkutan menolak untuk dilakukan pemeriksaan, maka individu yang bersangkutan
HARUS memberikan pernyataan penolakan secara TERTULIS.
 Untuk individu yang baru didiagnosis, hasil reaktif harus dilakukan pemeriksaan ulang
dengan bahan pemeriksaan baru, pada kondisi:
o Pasien dengan risiko rendah
o Perbedaan gejala klinik dan hasil laboratorium
o Untuk bahan pemeriksaan yang memberikan hasil “inkonklusif”, pemeriksaan perlu
diulang dengan bahan baru yang diambil minimal 14 hari sesudah pengambilan yang
pertama. Bila hasil pemeriksaan kedua juga “inkonklusif”, perlu dipantau ulang lebih
lama yaitu pada 3, 6 atau 12 bulan. Untuk risiko rendah, bila hasil tetap menunjukan
“inkonklusif” setelah 1 tahun, maka individu tersebut dianggap sebagai non reaktif.
Sedangkan untuk risiko tinggi, hasil dengan “inkonklusif” setelah 1 tahun tetap
disebut “inkonklusif”.

Keterangan:
Kemungkinan hasil inkonklusif dapat terjadi pada: gangguan autoimun (SLE), lepra,
keganasan, infeksi dini (window period), kasus terminal, infeksi kronis, pasien
hemodialisa, penyakit ginjal kronik, kehamilan multipara, dan lain-lain (lihat lampiran).

Apakah perlu dimasukkan draft alur yang baru?

D. Cara Pelaporan Hasil Pemeriksaan Anti HIV


Pada laporan hasil pemeriksaan anti HIV dituliskan hasil pemeriksaan tiap-tiap tahap
pemeriksaan (tes 1 dan tes 2), diikuti dengan kesimpulan akhir pemeriksaan yaitu
“reaktif”, “nonreaktif atau “inkonklusif”.
Bila hasil pemeriksaan pertama “nonreaktif”, maka pemeriksaan tidak perlu dilanjutkan
dan pada laporan, tes kedua dan ketiga dituliskan “tidak dikerjakan”, diikuti dengan
kesimpulan akhir sebagai “nonreaktif”.
Kesimpulan akhir pemeriksaan sebaiknya dituliskan sebagai “reaktif” dan “nonreaktif”
sebagai pengganti istilah “positif” dan “negatif”. Istilah “positif” dan “negatif” hanya dipakai
sebagai pelaporan hasil pemeriksaan konfirmasi (bila diperlukan), dengan teknik
Western Blot.

E. Ragam metoda pemeriksaan HIV


Daftar di bawah ini menunjukkan pemeriksaan HIV yang umum dipakai. Beberapa
pemeriksaan bertujuan diagnostik, seperti EIA, Pemeriksaan Rapid, Western Blot, dan
p24. Pemeriksaan lain merupakan tambahan dalam memantau perkembangan penyakit,
seperti CD4 dan Viral Load.
 Diagnosis HIV (Pemeriksaan Antibodi/Antigen)
• Enzyme Immunoassays (EIAs)
• Pemeriksaan Rapid
• Western Blot (WB)
• NAT

8
 Diagnosis awal untuk bayi
• Antigen p24
• PCR DNA/RNA
 Menginisiasi dan memantau pengobatan
• CD4
• Viral Load

F. Tantangan pemeriksaan HIV


Ada beberapa tantangan terkait pemeriksaan HIV:
 Pemeriksaan antibodi terhadap HIV tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis
pada bayi usia kurang dari 18 bulan.
 Beberapa pemeriksaan mungkin tidak mampu mendeteksi antibodi terhadap semua
subtipe HIV. Contohnya pada generasi pemeriksaan HIV pertama tidak mampu
mendeteksi grup O.
 Reaksi silang dengan kondisi penyakit atau infeksi lain menurunkan spesifisitas
pemeriksaan. Contoh: virus sitomegalovirus dan Epstein-Barr.
 Beberapa teknologi membutuhkan peralatan khusus yang harus dirawat dengan
tepat.
 Petugas harus mempunyai keahlian tertentu untuk menginterpretasikan hasil
pemeriksaan dengan akurat (dari mudah hingga yang sulit).

G. Pemeriksaan Rapid HIV


Pemeriksaan Rapid juga ditujukan untuk mendeteksi Antibodi HIV. Kebanyakan dari
Pemeriksaan Rapid dapat mendeteksi HIV 1 dan HIV 2. Bila dikerjakan dengan tepat,
pemeriksaan-pemeriksaan ini memiliki kemampuan yang sama seperti EIA.
Berbagai teknik Pemeriksaan Rapid yang dikenal saat ini adalah aglutinasi, dotblot atau
flow-through, immunocomb dan imunokromatografi atau lateral flow. Masing-masing
dengan kelebihan dan kekurangannya.
Satu keuntungan dari Pemeriksaan Rapid HIV adalah dapat menggunakan bahan
pemeriksaan berupa darah lengkap. Pemeriksaan Rapid HIV tidak begitu rumit tetapi
semua pemeriksaan harus dievaluasi dan dikerjakan dengan tepat oleh petugas terlatih.
Sama pentingnya untuk menvalidasi pemeriksaan ketika pemeriksaan dilakukan.

Pemeriksaan Rapid HIV mempunyai kelebihan sebagai berikut:


 Meningkatkan akses untuk pencegahan (VCT/PITC) dan intervensi (PMTCT)
 Mendukung peningkatan jumlah klinik
 Konseling dan diagnosis di hari yang sama
 Mudah digunakan
 Waktu pemeriksaan di bawah 30 menit
 Kebanyakan tidak membutuhkan pendinginan
 Tidak ada atau hanya satu reagen (substansi yang digunakan dalam reaksi kimia
untuk mendeteksi atau memproduksi substansi lain)
 Perlengkapan dibutuhkan minimal atau tidak ada keahlian teknis minimal

Pemeriksaan Rapid HIV mempunyai beberapa kekurangan:

9
 Jumlah yang sedikit untuk menjalankan setiap pemeriksaan
 Harus melakukan Quality Assurance (QA)/Quality Kontrol (QC) di berbagai klinik
 Kemampuan pemeriksaan bervariasi
 Pendinginan dibutuhkan oleh beberapa produk, seperti Capillus
 Pembacaan hasil pemeriksaan bervariasi
 Kestabilan pembacaan hasil terbatas, contoh: Pembacaan harus dilakukan dalam
waktu yang singkat
Masalah dalam pengembalian hasil terjadi di masa dahulu dan sekarang, dan ditambah
tingkat keinginan pasien untuk mengambil hasil juga kurang (karena ketakutan, masalah
biaya, transportasi, dll.).
Jika pasien tidak mengambil hasil pemeriksaan HIV, maka hal ini akan mengurangi
kesempatan pemberian terapi atau pencegahan.

1. Syarat Pemilihan Reagensia Pemeriksaan Anti HIV


Reagensia yang dipilih untuk dipakai pada tiap strategi pemeriksaan didasarkan pada
sensitivitas dan spesifisitas tiap jenis reagensia
a. Reagensia pertama harus memiliki sensitivitas tertinggi, ≥99 %,
b. Reagensia kedua memiliki spesifisitas ≥98% serta lebih tinggi dari spesifisitas
reagensia pertama
c. Reagensia ketiga memiliki spesifisitas ≥99% serta lebih tinggi dari spesifisitas
reagensia pertama atau kedua.
d. Kombinasi reagensia yang benar adalah bila hasil inkonklusif atau
ketidaksesuaian hasil pada salah satu atau lebih dari pada ketiga pemeriksaan ≤
5%.
e. Prinsip tes dari reagen 1,2, dan 3 tidak sama. Reagensia yang dipakai pada
pemeriksaan pertama, kedua atau ketiga mempunyai prinsip pemeriksaan
(misalnya EIA, dotblot, imunokromatografi atau aglutinasi) yang berbeda atau
menggunakan antigen yang berbeda asal atau jenisnya.
f. Pemilihan jenis reagensia (EIA atau rapid test) harus didasarkan pada:
- Sarana dan prasarana yang tersedia, termasuk SDM terlatih
- Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil
- Jumlah spesimen yang diperiksa dalam satu kali pengerjaan
- Reagensia dengan masa kadaluarsa yang lebih Panjang

2. Pemeriksaan Anti HIV Metoda Rapid Dan Interpretasi Hasil Pemeriksaan HIV
Persiapan Pasien
 Setiap pasien yang akan diperiksa untuk HIV perlu melalui prosedur konseling.
 Pasien harus menandatangani inform consent sebagai tanda persetujuan
untuk dilakukan pemeriksaan HIV.

Persiapan Petugas
 Petugas yang melakukan pemeriksaan HIV sudah mendapatkan pelatihan dan
pemeriksaan HIV harus memenuhi syarat 3 C, Consent, Counseling dan
confidential

10
Persiapan Sampel
 Pengambilan sample darah vena dilakukan oleh Flebotomis atau tenaga yang
berkompeten untuk melakukan pengambilan sample darah.
 Sample darah harus dilakukan pengolahan sesuai petunjuk package insert
reagensia yang dipakai sebelum dilakukan pemeriksaan
 Prosedur pengambilan dan pengolahan sampel darah harus mengikuti
Prosedur Kerja Standar (PKS).

Contoh Pemeriksaan HIV dengan Rapid Test (SD Bioline HIV 1/2 3.0)
a. Prinsip Pemeriksaan
 Antigen HIV dilekatkan pada absorbent
 Antibodi dari serum akan terikat
 Kompleks antigen-antibodi akan divisualisasi dengan penambahan
konjugat berwarna

b. Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan HIV


dengan rapid test
1) Cek Masa Kedaluwarsa
 Lihat masa kedaluwarsa reagensia di balik kemasan.
 Jangan gunakan bila reagensia sudah kedaluwarsa.
2) Cek Warna Silika Gel
 Bila silika gel dalam kemasan berubah menjadi warna hijau.
 Ganti reagen dengan kemasan yang baru.

c. Alat dan Bahan


 Strip test SD HIV 1/2 3.0
 Buffer SD HIV 1/2 3.0
 Mikropipet ukuran 5-50 µl beserta tip pipet yang sesuai atau pipet kapiler
yang disediakan dalam kemasan
 Lancet
 Kapas alkohol
 Sarung tangan
 Timer

P Contoh Pemeriksaan HIV dengan Rapid Test (SD Bioline HIV 1/2 3.0)
d. Prinsip Pemeriksaan
 Antigen HIV dilekatkan pada absorbent
 Antibodi dari serum akan terikat
 Kompleks antigen-antibodi akan divisualisasi dengan penambahan
konjugat berwarna
e. rosedur
1) Biarkan reagen pada suhu kamar;
2) Pakai sarung tangan;
3) Buka kemasan lalu beri identitas sampel pada membran;
4) Gunakan adjustable micropipette ukuran 5-50 µl atau pipet kapiler;

11
5) Ambil serum/plasma dengan menggunakan mikropipet sebanyak 10 µL, atau
whole blood 20 µL, lalu teteskan ke lubang sampel;
6) Tunggu dan biarkan menyerap;
7) Lalu teteskan 4 (empat) tetes buffer (± 110 µL);
8) Baca hasil dalam waktu 10-20 menit (jangan melebihi 30 menit);
9) Catat hasil pada lembar hasil pemeriksaan laboratorium.

Catatan: Lakukan prosedur sesuai insert kit masing-masing reagen

f. Interpretasi Hasil
Nonreaktif:
Hanya muncul garis kontrol (C).

Reaktif (HIV-1):
Muncul 2 garis. Garis kontrol (C) dan garis 1.

Kuat

Sedang

Lemah

Muncul 3 garis. Garis kontrol “C” dan garis “1” jelas, garis “2” samar.

12
Jika garis “1” lebih tebal dibandingkan garis “2”, seharusnya diartikan bahwa
hanya HIV-1 positif. (tidak HIV-2 positif)
Garis samar: Karena asam amino HIV tipe-1 dan HIV tipe-2 homolog.

Reaktif (HIV-2):
Muncul 2 garis. Garis kontrol (C) dan garis 2.

Kuat

Sedang

Lemah

Muncul 3 garis. Garis kontrol “C” dan garis “2” jelas, garis “1” samar.

13
Jika garis “2” lebih tebal dibandingkan garis “1”, seharusnya diartikan bahwa
hanya HIV-2 positif. (tidak HIV-1 positif)
Garis samar: Karena asam amino HIV tipe-1 dan HIV tipe-2 homolog.

Catatan:
[HIV-1 dan HIV-2 Positif]
Jika intensitas antara garis-1 dan garis-2 sama satu sama lain, bahkan sangat
jarang, ini dapat menjadi HIV-1 dan HIV-2 positif. Sebaiknya, lakukan tes lagi
menggunakan Western Blot untuk mengetahui tipe virus yang sebenarnya.

Invalid
Garis kontrol (C) tidak muncul atau samar.

14
Pokok Bahasan 2: Pemeriksaan Sifilis
A. Pengertian Sifilis
Sifilis yang disebut juga Lues Venerea atau Raja Singa disebabkan oleh Treponema
pallidum yang ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman pada tahun 1905. Sifilis
merupakan penyakit kronis dan sistemik, dapat menyerang seluruh organ tubuh dan
pada masa laten dapat tanpa manifestasi lesi tubuh. Masa tunas biasanya 2-4 minggu
dengan gejala klinis pada stadium primer berupa ulkus atau lesi/tukak pada alat genital
yang tidak menimbulkan rasa sakit dan hilang dengan sendirinya walaupun kuman
penyebabnya masih berada dalam tubuh. Penyakit ini dapat ditularkan pada janin dalam
kandungan serta mempunyai masa inkubasi 9-90 hari.

Morfologi
Treponema pallidum
Berbentuk spiral teratur, dengan panjang rata-rata 11 µm (6-20 µm) dan diameter 0,09-
0,18 µm. Pada umumnya dijumpai 8-24 lekukan dengan panjang gelombang sekitar 1
µm.
Gejala klinis dari penyakit sifilis adalah:
a. Ulkus soliter, bulat/lonjong. Dasar bersih dengan indurasi tidak nyeri
b. Pembesaran kelenjar getah bening, umumnya bilateral, kenyal, tidak nyeri dan
eritema (kemerahan)
c. Tidak ada gejala sistemik

Perjalanan penyakitnya sebagai berikut:


a. Primer : muncul ulkus 1-4 minggu, kemudian menghilang
b. Sekunder: erupsi timbul 2 minggu kemudian, kondilomalata, lesi mukosa mulut,
kerongkongan, servix
c. Laten dini : primer dan sekunder < 1 tahun dan menular
d. Tertier /laten lanjut: bertahun-tahun, kelainan susunan syaraf pusat & kardiovaskuler
tidak menular

B. Pemeriksaan Antibodi terhadap Sifilis


Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi yang terbentuk setelah infeksi
Treponema dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan antigen yang dipakai.
1. Antigen nontreponema
Menggunakan antigen tidak spesifik (kardiolipin yang dikombinasikan dengan lesitin
dan kolesterol) sehingga dapat menghasilkan positif semu biologik (akut dan kronis)
ataupun negatif semu (reaksi prozon).
Prinsip reaksinya adalah reagin (antibodi terhadap nontreponema) yang menggumpal
membentuk massa yang dapat dilihat pada tes flokulasi. Contohnya tes RPR (Rapid
Plasma Reagin).

2. Antigen treponema
a. Tes Hemaglutinasi (TPHA - Treponema Pallidum Haemagglutination Assay)
TPHA merupakan tes serologis treponema untuk diagnosis sifilis. Pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan hemaglutinasi pasif yang didasarkan pada
hemaglutinasi eritrosit yang disensitisasi dengan antigen T. pallidum ketika

15
terdapat antibodi di dalam plasma atau serum pasien.

b. Tes Treponema Pallidum Rapid (TP Rapid)


Saat ini Rapid Diagnostic Test (RDT) sifilis berkembang pesat. Hasil pemeriksaan
sifilis menggunakan RDT dapat diperoleh dalam waktu cepat (5-20 menit) dan
dapat dilakukan dalam berbagai keterbatasan laboratorium serta mudah dan
cepat dalam interpretasi hasil.

Sebagian besar RDT menggunakan antigen T. pallidum untuk mendeteksi


antibodi spesifik treponema. Banyak tes menggunakan strip imunokromatografi,
dimana antigen T. pallidum bereaksi dengan antibodi terhadap sifilis dari darah
(serum, plasma, wholeblood). Tes ini merupakan tes treponemal spesifik, namun
tidak dapat membedakan antara infeksi aktif atau yang pernah diobati.

C. Pemeriksaan Laboratorium Sederhana untuk Diagnosis Sifilis


Pemeriksaan tapisan pertama menggunakan Treponema Pallidum Rapid (TP Rapid), bila
didapatkan hasil yang reaktif dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR. Bila hasil
pemeriksaan RPR reaktif, lanjutkan RPR Titer.

Gambar 6. Alur Tes Serologis Sifilis

1. Pemeriksaan TP Rapid
a. Alat dan Bahan
1) Pipet kapiler yang disediakan dalam kemasan atau mikropipet ukuran 5-50 µl beserta
tip pipet yang sesuai
2) Sarung tangan
3) Kapas alkohol
4) Lancet

16
5) Kasa steril
6) Timer
7) Strip test/Kaset
8) Larutan buffer
9) Wadah infeksius
10) Wadah tahan tusuk
11) Marker

b. Prosedur
Ada beberapa macam reagensia komersil sifilis Rapid yang beredar di Indonesia
yang dapat memberikan hasil dalam waktu cepat (kurang dari 30 menit) dan
dilakukan dengan 3-4 langkah saja sebagai berikut:
1) Buka kemasan dan tempatkan kaset pada permukaan yang rata.
2) Tambahkan spesimen pasien (wholeblood, serum atau plasma) sejumlah tertentu
pada lubang/sumur spesimen (S).
3) Tambahkan larutan buffer sejumlah tertentu pada lubang/sumur spesimen (S).
4) Baca hasil setelah waktu tertentu (sesuai dengan kit insert produk yang
digunakan).

Contoh pembacaan hasil TP Rapid adalah sebagai berikut:

Interpretasi Hasil:

Negatif = Jika terdapat 1 garis pada


jendela C (Kontrol)

Positif = Jika terdapat 2 garis pada


jendela C (Kontrol) dan T (Tes)

Invalid = Jika tidak muncul garis di


jendela C (Kontrol) walaupun
muncul garis pada T (Tes)

Gambar7. Pembacaan TP Rapid

2. Pemeriksaan RPR
Metoda: Aglutinasi

Sampel: Serum atau plasma

Alat dan bahan:


 Rotator
 Mikropipet 50 µl beserta tip yang sesuai
 Sarung tangan

17
 Peralatan yang biasanya sudah tersedia di dalam kit (Pipet/Pengaduk,
Dispenser & Jarum antigen, Test card, Kontrol Negatif, Kontrol Positif).
 Wadah infeksius
 Marker

Reagen:
 RPR Antigen yang dilengkapi dengan kontrol negatif, kontrol positif
 Larutan NaCl 0,9 %
 Larutan Hipoklorid 0,05%

Prosedur Kerja:
RPR Kualitatif
1) Keluarkan reagensia RPR dari kotak penyimpanan dan biarkan pada suhu
ruangan selama ± 30 menit.
2) Isi antigen ke dalam botol penetesnya dengan cara menghisapnya langsung dari
botol antigen, lalu pasang tutup/jarum dispensernya.
3) Siapkan test card.
4) Beri kode/tulisan pada tiap lingkaran test card (kontrol positif, kontrol negatif,
spesimen).
5) Ambil kontrol positif dan kontrol negatif masing-masing satu tetes (50 µl) dan
teteskan pada lingkaran sesuai dengan kode.
6) Ambil spesimen 1 tetes dengan menggunakan pipet yang tersedia dalam kit, dan
teteskan ke dalam lingkaran kode S (spesimen 1:1).
7) Dengan menggunakan pengaduk, lebarkan kontrol dan spesimen sampai
memenuhi seluruh lingkaran.
8) Kocok antigen, kemudian teteskan antigen (1 tetes) dengan menggunakan
dispenser & jarum di atas spesimen (posisi vertikal). Tidak perlu mengocok
antigen dengan spesimen.
9) Letakkan di atas rotator kemudian putar rotator selama 8 menit dengan kecepatan
100rpm.
10) Baca hasil pemeriksaan.
11) Bila terjadi flokulasi, hasil dinyatakan reaktif dan dilanjutkan ke pemeriksaan RPR
titer.

RPR Titer
1) Beri kode/tulisan 1:2 sampai dengan 1:128.
2) Teteskan larutan NaCl 0,9% masing-masing 50 µl pada lingkaran dengan kode
1:2 sampai 1:128.
3) Ambil spesimen 1 tetes dengan menggunakan pipet yang tersedia dalam kit, dan
teteskan ke dalam lingkaran kode 1:2.
4) Pada lingkaran kode 1:2, campurkan larutan NaCl 0,9% dan spesimen dengan
cara menghisap dan mengeluarkannya 5-10x dengan menggunakan mikropipet.
Lalu ambil 50 µl dan masukkan ke lingkaran 1:4. Lakukan hal yang sama sampai
lingkaran 1:128. Pada lingkaran 1:128, ambil 50 µl campuran (spesimen dan
larutan NaCl 0,9%) dan buang.

18
5) Dengan menggunakan pengaduk, lebarkan semua spesimen sampai memenuhi
seluruh lingkaran.
6) Kocok antigen, kemudian teteskan antigen (1 tetes) dengan menggunakan
dispenser & jarum di atas spesimen (posisi vertikal). Tidak perlu mengocok
antigen dengan spesimen.
7) Letakkan di atas rotator kemudian putar rotator selama 8 menit dengan kecepatan
100 rpm.
8) Baca hasil dengan melihat adanya flokulasi pada setiap pengenceran. Titer
ditunjukkan pada pengenceran yang tertinggi yang masih terjadi flokulasi.
9) Tuliskan hasil pada lembar hasil pemeriksaan laboratorium.

Interpretasi Hasil:
Hasil pemeriksaan RPR sifilis kualitatif dinyatakan reaktif bila terjadi pembentukan
flokulasi antara serum dengan antigen non treponema, dan dinyatakan non reaktif
bila tidak terjadi flokulasi. Pada pemeriksaan titer dengan menggunakan RPR
hasilnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI, PERMENKES 15 TAHUN 2015, Pedoman Standar Pelayanan
Laboratorium untuk pemeriksaan HIV dan infeksi oportunistik, 2015.
2. CDC, HIV Rapid Training Module, Atlanta, 2005.
3. Cheesbrough M. HIV supplement. Volume II : Medical laboratory manual for tropical
countries. 1st ed. Oxford : Butterworth-Heinemann, 1990 : p.S1 - 23.
4. Cheingsong-Popov R, Constantine NT, Weber J. Humoral immune responses and
detection during HIV infection. In : Karn J, ed. HIV : A practical approach. Volume I.
1st ed. Oxford : IRL Press, 1995 : p.191 - 209.
5. Constantine NT, Callahan JD, Watts DM. HIV pemeriksaanting and quality control. 1st
ed. Durham : Family Health International, 1991 : p.37 - 70.
6. Schochetman G. Laboratory diagnosis of infection with the AIDS virus. Labmedica
1990; VII(2) : p.15 -24.

19
7. Weber JN, Weiss RA. The virology of human immunodeficiency virus. Brit Med Bull
1988; 44 (1) : p.20 - 37.
8. World Health Organization. Global programme on AIDS. WHO Wkly Epidemiol Rec
1992; 20 : p.145 - 9
9. SOP Manajemen Klinik IMS, FHI
10. Pelatihan Managemen Klinik Infeksi Menular Seksual untuk Analis Laboratorium, FHI
11. Training Modules for the Syndromic Management of Sexually Transmitted Infection,
2nd Edition, WHO, 2007
12. Pedoman Pelaksanaan Infeksi Menular Seksual, Depkes.RI, 2011
13. The Use Of Rapid Syphilis Test. WHO/TDR, 2006
14. Laboratory diagnosis of sexually transmitted infection, including Human
immunodeficiency virus, WHO, 2013
15. Syphilis Report

20

Anda mungkin juga menyukai