Oleh :
KRISEVI HANDAYANI
( 2017.C.09a.0895 )
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Karena atas
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pendahuluan yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Ny. A di ruang Hemodialisa”
Penyusun menyadari tanpa bantuan dari semua pihak maka laporan studi
kasus ini tidak akan selesai sesuai dengan waktu yang diharapkan. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini pula penyusun mengucapkan banyak terima kasih
terutama kepada:
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd.,M.Kes. selaku Ketua STIKES Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep. selaku ketua program studi Sarjana
Keperawatan.
3. Ibu Ika Paskaria S.Kep.,Ners.Selaku Koordinator PPK IV
4. Ibu Rimba Aprianti, S.Kep.,Ners. selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan bantuan dalam proses praktik lapangan dan penyelesaian
asuhan keperawatan dan laporan pendahuluan ini.
5. Orang tua kami, keluarga kami, dan orang terdekat yang telah memberikan
bimbingan, motivasi dan bantuan kepada saya dalam hal material.
6. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan studi
kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam
penulisan studi kasus ini.Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk menyempurnaan
penulisan studi kasus ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan
semoga laporan studi kasus ini bermanfaat bagi kita semua
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal Ginjal Kronik (GGK) kini telah menjadi masalah kesehatan serius
di dunia.Menurut WHO (2012) penyakit ginjal dan saluran kemih telah
menyebabkan kematian sebesar 850 ribu orang setiap tahunnya.Hal ini
menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke12 tertinggi angka
kematian.Menurut data Pernefri (2011), diperkirakan terdapat 70 ribu orang
penderita GGK dan yang menjalani hemodialisa sekitar 4-5 ribu orang.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Riskesdas (2013), prevalensi penyakit GGK
meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada kelompok
umur 35-44 tahun (0,3%), umur 4554 tahun (0,4%) dan umur 55-74 tahun (0,5%),
tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Di Indonesia jumlah pasien
penyakit ginjal kronik (PGK) meningkat pesat dengan angka kejadian pasien
gagal ginjal tahap akhir (GGTA) yang menjalani hemodialisa dari tahun 2012
sampai 2017 adalah 2077, 2039, 2594, 3556, dan 4344 (Prodjosudjadi et al, 2012).
Menurut data dari The United States Renal Data System (USRDS) tahun 2009
gagal ginjal tahap akhir (GGTA) sering ditemukan dan prevalensinya sekitar 10-
13 %. Di Amerika Serikat jumlahnya mencapai 25 juta orang, dan di Indonesia
diperkirakan 12,5 % atau sekitar 18 juta orang. Menurut data Dinas Kesehatan
Jawa Tengah jumlah penderita GGK di Jawa Tengah tahun 2004 rata-rata 169,54
kasus (Suhardjono, 2012). 2 GGK merupakan suatu sindrom klinis disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup
lanjut, serta bersifat persisten dan irreversibel (Mansjoer, 2012).Perubahan fungsi
ginjal mengakibatkan homeostasis cairan, elektrolit dan asam basa terganggu.
Gagal ginjal yang berada pada tahap yang lebih berat, tubulus tidak dapat lagi
menukar / untuk sehingga menyebabkan hiperkalemia yang berat yang nantinya
dapat memicu terjadinya henti jantung (Price dan Wilson, 2012)
Terapi hemodialisa harus dijalankan secara teratur agar dapat
mempertahankan fungsi ginjal yang stabil sehingga tidak mengalami kondisi
penyakit yang semakin parah. Pengaturan cairan, obat-obatan, aktivitas fisik dan
perubahan gaya hidup seperti diet merupakan penatalaksanaan yang harus
dipatuhi oleh pasien GGK (Hudak dan Gallo, 2011). Pasien yang menjalani
hemodialisa harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi
yang baik.Gizi kurang merupakan prediktor yang penting yang dapat
menyebabkan kematian pada pasien hemodialisa.Oleh karena itu perlu dilakukan
pemantauan asupan zat gizi bagi pasien hemodialisa. Asupan protein diharapkan
1–1,2 g/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi.
Makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan
untuk dikonsumsi.Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing
yang ada di tambah insensible water loss.Asupan natrium dibatasi guna
mengendalikan tekanan darah dan edema (Suwitra, 2012).Pasien GGK juga
diberikan diet rendah kalium karena pada pasien gagal ginjal biasanya
hiperkalemia yang berkaitan dengan oliguria.Oliguri(berkurangnya volume urin)
atau keadaan metabolik, dan obat-obatan yang mengandung kalium.Hiperkalemia
biasanya dicegah dengan penanganan yang cermat terhadap kandungan kalium
pada seluruh medikasi oral maupun intravena (Yaswir, 2012) Menurut Graber
(2012), pembatasan kalium pada pasien gagal ginjal sangat diperlukan untuk
mengontrol eksresi kalium karena adanya gangguan pada fungsi ginjal yang
mengakibatkan hiperkalemia.Asupan kalium diberikan 1560-2730 mg/ hari.
Hiperkalemia (kadar kalium darah yang tinggi) terjadi apabila konsentrasi kalium
darah lebih dari 5 mEq/L darah (Sukandar, 2006). Pada pasien yang menjalani
hemodialisa, prevalensi hiperkalemia sekitar 5-10 %. Hiperkalemia menyebabkan
kematian pada 2-5 % pasien dengan gagal ginjal tahap akhir (Watson, 2010)
3.Ketidak seimbangan kalium merupakan salah satu gangguan serius yang dapat
terjadi pada gagal ginjal. Kadar kalium normal berada dalam rentang kadar kalium
plasma yang sempit sekali (3,5-5,5 mEq/L). Bila kadar kalium kurang dari 3,5
mEq/L dapat terjadi hipokalemia yang menyebabkan frekuensi denyut jantung
melambat (Darwis, 2011). Sedangkan peningkatan kadar kalium lebih dari 5
mEq/L dan terjadi hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia jantung, dan
konsentrasi kadar kalium yang lebih tinggi lagi dapat menimbulkan henti jantung
atau fibrilasi jantung (Fischbach, 2009). Sekitar 90 % asupan normal yaitu sebesar
50-150 mEq/hari atau setara dengan 1950 – 5.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut, maka dapat ditarik
rumusan masalah “Apakah terdapat hubungan antara kepatuhan diet dan asupan
kalium dengan kadar kalium pada pasien GGK rawat jalan yang menjalani
hemodialisa di RSUD Kabupaten Sukoharjo ?“.
Masukkan manfaat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.5 Klasifikasi
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney Disease
(CKD). Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure
(CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk
membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5
grade, dengan harapan klien datang/ merasa masih dalam stage – stage awal yaitu
1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage) menggunakan
terminology CCT (clearance creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5.
sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan
klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila
menggunakan istilah CRF.
2.1.5.1 Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :
1) Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
a) Kreatinin serum dan kadar BUN normal
b) Asimptomatik
c) Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
2) Stadium II : Insufisiensi ginjal
a) Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam
diet)
b) Kadar kreatinin serum meningkat
c) Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)
d) Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
Ringan :40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
Sedang :15% - 40% fungsi ginjal normal
Kondisi berat :2% - 20% fungsi ginjal normal
3) Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia
a) kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
b) ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan
elektrolit
c) air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010
2.1.5.2 KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan
pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju
Filtrasi Glomerolus) :
1) Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten
dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
2) Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG
antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2)
3) Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59
mL/menit/1,73m2)
4) Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-
29mL/menit/1,73m2)
5) Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau
gagal ginjal terminal.
2.1.6 Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya
saring.Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron–nefron rusak.Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan
haus.Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri
timbul disertai retensi produk sisa.Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada
pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila
kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%.Pada tingkat ini fungsi renal yang
demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah
itu.Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah.Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah,
akan semakin berat.
2.1.6.1 Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan
jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens substansi
darah yang sebenarnya dibersihkan oleh ginjal.Penurunan laju filtrasi glomerulus
(GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan
klirens kreatinin. Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya
glomeruli) klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan
meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat.
Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi karena
substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.BUN tidak hanya dipengaruhi
oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme
(jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid.
2.1.6.2 Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan urin
secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap
perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi.Pasien sering
menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi
aksis rennin angiotensin dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi
aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam,
mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status
uremik.
2.1.6.3 Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolic
seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan.Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus
gjnjal untuk menyekresi ammonia (NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat
(HCO3) .penurunan ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi.
2.1.6.4 Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia
berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak napas.
2.1.6.5 Ketidakseimbangan
Kalsium dan FosfatAbnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis
adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat.Kadar serum kalsium dan fosfat
tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat, maka
yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal,
terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan sebaliknya penurunan kadar serum
kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari
kelenjar paratiroid. Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada
tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D (1,25-
dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal menurunan
2.1.6.6 Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium,
fosfat dan keseimbangan parathormon.
Vesikuler
Reaksi Antigen Antibodi Suplai Darah Ginjal Turun Tertimbun Diginjal Retensi Urin
GFR Turun
GGK
B1 B2 B3 B4 B5 B6 Sindrom Uremia
Retensi Na
Tek. Kapiler naik Sekresi eritropoitin Vol. Intersial naik Obstruksi Ginjal Sekresi protein terganggu
Perporasi Ospaleimia
Beban Jantung Naik Produksi Hb Turun Vol. Intersial Naik Fungsi Ginjal Menurun Gangguan Keseimbangan
Asam Basa Pruritis
Tek. Vena Oksigen Hemoglobin Turun Suplai O2 jaringan turun GFR
pulmonalis Asam Lambung Naik Gangguan
Suplai O2 Timb. Asam integritas kulit
Retensi air dan
Kapiler paru naik kasar turun Laktat natrium Iritasi Lambung
Edema Paru
Gangguan Gangguan Perfusi -Fatigue Mual, muntah
-Nyeri sendi Kelebihan
pertukaran Jaringan
Volume Cairan
Gas Gangguan Nutrisi
Intoleransi Aktivitas
2.1.7 Manifestasi klinis
2.1.7.1 Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
1) Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa
sal.cerna, gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek,
bilirubuin serum meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah
retikulosit normal.
2) Defisiensi hormone eritropoetinGinjal sumber ESF (Eritropoetic
Stimulating Factor) → def. H eritropoetin → Depresi sumsum tulang
→ sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap proses
hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.
2.1.7.2 Kelainan Saluran cerna
1) Mual, muntah, hicthcupdikompensasi oleh flora normal usus → ammonia
(NH3) → iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.
2) Stomatitis uremiaMukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan
saliva banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
3) PankreatitisBerhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.
2.1.7.3 Kelainan mata
2.1.7.4 Kardiovaskuler
1) Hipertensi
2) Pitting edema
3) Edema periorbital
4) Pembesaran vena leher
5) Friction Rub Pericardial
2.1.7.5 Kelainan kulit
1) GatalTerutama pada klien dgn dialisis rutin karena:
a) Toksik uremia yang kurang terdialisis
b) Peningkatan kadar kalium phosphor
c) Alergi bahan-bahan dalam proses HD
d) Kering bersisikKarena ureum meningkat menimbulkan
penimbunan kristal urea di bawah kulit
2) Kulit mudah memar
3) Kulit kering dan bersisik
4) rambut tipis dan kasar
5) Neuropsikiatri
2.1.7.6 Kelainan selaput serosa
2.1.7.7 Neurologi :
1) Kelemahan dan keletihan
2) Konfusi
3) Disorientasi
4) Kejang
5) Kelemahan pada tungkai
6) rasa panas pada telapak kaki
7) Perubahan Perilaku
8) Kardiomegali.
2.1.8 Komplikasi
2.1.8.1 Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme
dan masukan diet berlebih.
2.1.8.2 Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
2.1.8.3 Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
rennin-angiotensin-aldosteron
2.1.8.4 Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna kehilangan
drah selama hemodialisa
2.1.8.5 Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
2.1.8.6 Asidosis metabolic
2.1.8.7 Osteodistropi ginjal
2.1.8.8 Sepsis
2.1.8.9 neuropati perifer
2.1.8.10 hiperuremia
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang
2.1.9.1 Laboratorium
1) Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
2) Ureum kreatinin.
3) Asam urat serum.
4) Identifikasi etiologi gagal ginjal
5) Analisis urin rutin
6) Mikrobiologi urin
2.1.9.2 Kimia darah
1) Elektrolit
2) Imunodiagnosis
2.1.9.3 Identifikasi perjalanan penyakit
1) Progresifitas penurunan fungsi ginjal
2) Ureum kreatinin, Clearens Creatinin Test (CCT)
3) FR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault:
Nilai normal :
a. Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau0,93 - 1,32
mL/detik/m2
b. Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau0,85 - 1,23
mL/detik/m2
c. Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
d. Elektrolit : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
e. Endokrin : PTH dan T3,T4
f. Pemeriksaan lain: berdasarkan indikasi terutama faktor
pemburuk ginjal, misalnya: infark miokard.
2.1.9.4 Diagnostik
1) Etiologi CKD dan terminal
2) Foto polos abdomen.
3) USG.
4) Nefrotogram.
5) Pielografi retrograde.
6) Pielografi antegrade.
2.1.9.5 Mictuating Cysto Urography (MCU).
1) Diagnosis pemburuk fungsi ginjal
2) RetRogram
3) USG
2.2.3 Intervensi
Intervensi merupakan fase proses keperawatan untuk menyusun
tindakandengan pertimbangan yang sangat sistematis, mencangkup pembuatan
keputusandan penyelesaian masalah. Berikut adalah Intervensi menurut Standar
IntervensiKeperawatan Indonesia (SIKI) dan Standar Luaran Keperawatan
Indonesia(SLKI) yang diberikan pada pasien dengan nausea
2.2.4 Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana
perawatmelaksanakan rencana atau intervensi yang sudah direncanakan. Tujuan
dariimplementasi adalah untuk mencapai tujuan dari apa yang telah
ditetapkanperawat dalam peningkatan kesehatan klien, pencegahan penyakit dan
pemulihankesehatan (Kozier& Erb, 2011).
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dalam proses keperawatan dimana
dalamtahap ini dapat menentukan keberhasilan pemberian asuhan keperawatan.
Evaluasipada dasarnya adalah membandingkan status kesehatan pasien dengan
tujuan ataukriteria hasil yang telah ditetapkan (Tarwoto& Wartonah, 2015).
Evaluasikeperawatan ini akan dicatat dan disesuaikan dengan setiap
diagnosekeperawatan. Evaluasi untuk setiap diagnose keperawatan meliputi data
subjektif(S) dan objektif (O), analisa permasalahan (A) yang dialami klien
berdasarkandata S dan O, serta perencanaan ulang (P) berdasarkan hasil analisa
diatas.Adapun kriteria evaluasi untuk diagnose keperawatan nausea berdasarkan
SLKI adalah :
1. Nafsu makan meningkat
2. Keluhan mual menurun
3. Perasaan ingin muntah menurun
4. Sensasi panas menurun
5. Sensasi dingin menurun
6. Frekuensi menelan menurun
7. Diaphoresis menurun
8. Jumlah saliva menurun
9. Pucat membaik
10. Takikardi membaik
11. Dilatasi pupil membaik
2.3.2 Indikasi
1) Penyakit dalam (Medikal)
a. ARF- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan konvensional gagal
mempertahankan RFT normal.
b. CRF, ketika pengobatan konvensional tidak cukup
c. Snake bite
d. Keracunan
e. Malaria falciparum fulminant
f. Leptospirosis
2) Ginekologi
a. APH
b. PPH
c. Septic abortion
3) Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa
a. Peningkatan BUN > 20-30 mg%/hari
b. Serum kreatinin > 2 mg%/hari
c. Hiperkalemia
d. Overload cairan yang parah
e. Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
4) Pada CRF:
a. BUN > 200 mg%
b. Creatinin > 8 mg%
c. Hiperkalemia
d. Asidosis metabolik yang parah
e. Uremic encepalopati
f. Overload cairan
g. Hb: < 8 gr% – 9 gr% siap-siap tranfusi
2.3.3 Peralatan
2.3.3.1 Dialiser (ginjal buatan)
Seperti inilah bentuk tipikal dari hollow fiber dializer.Di dalamnya
terdapat serabut yang memungkinkan darah untuk lewat.Cairan dialisis, yang
merupakan cairan pembersih dipompakan di antara serabut-serabut
tersebut.Serabut tersebut memiliki lubang-lubang halus yang memungkinkan air
dan sampah metabolisme terserap dalam cairan pembersih dan membawanya
keluar.
2.3.3.2 Dialiser Reuse
Unit Renal kadang menggunakan dialiser yang sama lebih dari satu kali
tindakan. Penggunaan dialiser berulang ini dinamakan reuse. Reuse merupakan
tindakan yang aman yaitu proses membersihkan dialiser sesuai dengan standart
prosedur yang telah teruji. Dialiser ini akan diuji kelayakannya terlebih dahulu
sebelum digunakan dan hanya digunakan pada satu orang untuk satu dialiser.
Sebelum tindakan cuci darah dilakukan, pastikan dialiser yang dipasang sesuai
dengan nama pasien pemilik.
2.3.3.3 Cairan Dialisis (Dialisat)
Cairan pencuci yang disebut dialisat, adalah cairan yang membantu
mengeluarkan sampah dan kelebihan air dari tubuh.Cairan ini terdiri dari zat
kimiawi yang membuatnya seperti spon. Dokter akan memberikan spesifikasi
cairan yang sesuai dengan keadaan pasien.
2.3.3.4 Akses Jarum (Fistula)
Beberapa pasien berfikir, jarum adalah bagian paling menakutkan dari cuci
darah. Kebanyakan pasien baru akan terbiasa dengannya setelah beberapa kali
menjalani cuci darah. Bila pasien merasa acara penusukan terasa sangat
menyakitkan, krim anestesi ataupun spray bisa digunakan untuk mengurangi rasa
sakit tersebut.Kebanyakan unit renal menggunakan dua jarum untuk memasukkan
dan mengeluarakan darah.Memang ada juga jarum khusus yang bisa digunakan
dengan duabukaan, tapi jarum ini dianggap kurang efisien dan memerlukan waktu
yang lebih lama.
.
2.3.5 Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa
1) Perawatan sebelum hemodialisa
a. Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa
b. Kran air dibuka
c. Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk
kelubang atau saluran pembuangan
d. Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak
e. Hidupkan mesin
f. Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit
g. Matikan mesin hemodialisis
h. Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat
i. Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin
hemodialisis
j. Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)
2) Menyiapkan sirkulasi darah
a. Bukalah alat-alat dialysis dari set nya
b. Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi “inset” (tanda merah)
diatas dan posisi “outset” (tanda biru) di bawah.
c. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inset”dari dializer.
d. Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung “out set” dari dializer
dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah..
e. Set infus ke botol NaCl 0,9% – 500 cc
f. Hubungkan set infus ke slang arteri
g. Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang lalu
diklem.
h. Memutarkan letak dializer dengan posisi “inset” di bawah dan “out set”
di atas, tujuannya agar dializer bebas dari udara.
i. Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin
j. Buka klem dari infus set ABL, VBL
k. Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit,
kemudian naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
l. Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan
m. Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan udara
dari dalam dializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas udara
(tekanan lebih dari 200 mmHg).
n. Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500
cc yang terdapat pada botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas ukur.
o. Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru
p. Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan
menggunakan konektor.
q. Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-20
menit untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit.
r. Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet” di atas dan
“outlet” di bawah.
s. Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit,
siap untuk dihubungkan dengan pasien )soaking.
3) Persiapan pasien
a. Menimbang berat badan
b. Mengatur posisi pasien
c. Observasi keadaan umum
d. Observasi tanda-tanda vital
e. Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya
mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti di bawah ini:
1) Dengan interval A-V shunt / fistula simino
2) Dengan external A-V shunt / schungula
3) Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)
2.4.6 Komplikasi
1) Ketidakseimbangan cairan
a. Hipervolemia
b.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Ket:
: Laki-laki : Tinggal Serumah
: Perempuan : Meninggal
: Pasien
3.1.3.Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Pasien tampak lemas, kesadaran : Composmentis, terpasang Stopper sebelah
kananPenampilan : Kurang rapi, terpasang Oksigen Nasal canul 3 lpm
2. Status Mental
Tingkat kesadaran pasien compos mentis, ekpresi wajah tampak cemas,
bentuk badan pasien Sedang, pasien tidur Semi fowler, pasien berbicara
dengan jelas, suasana hati pasien Lemas dan penampilan pasien Kurang rapi.
Fungsi Kognitif:
Pasien mengetahui pagi, sore dan malam, pasien dapat membedakan keluarga
dan petugas kesehatan, pasien mengetahui bahwa dirinya sedang dirawat
dirumah sakit RSD
3. Tanda-Tanda Vital
Saat pengkajian 24 Januari 2020, pukul 11:00 WIB Suhu tubuh pasien36,7ºC
tempat pemeriksaan axilla, nadi/HR 95 x/menit, pernapasan/RR 23 x/menit,
tekanan darah/BP 149/99 mmHg.
4. Pernapasan (Breathing)
Bentuk dada simetris,kebiasaan merokok 1 Batang/Hari, Nyeri Dada, Sesak
nafas, dengan type pernfasan dada dan perut, irama pernapasan teratur, suara
nafas vesikuler.
Masalah keperawatan yang muncul Pola Nafas Tidak Efektif
5. Cardiovasculer (Bleeding)
Suara jantung normal lup dup (s1-s2), tidak ada peningkatan Vena Jugularis,
dan nyeri pada dada.
Masalah keperawatan yang muncul nyeri akut
6. Persyarafan (Brain)
Nilai GCS: E: 4 (Membuka mata spontan) V: 5 (Komunikasi verbal baik) M:
6 (mengikuti perintah)Total GSC: 15 (Normal), kesadaran compos mentis,
pupil Ny.A isokor tidak ada kelainan, reflex cahaya positif, nyeri pada dada ,
pasien lemas.
Hasil dari uji syaraf karnial, Nervus Kranial I (Olfaktori): pasien dapat
mencium bau-bauan,Nervus Kranial II (Optik): pasien dapat melihat dengan
jelas orang yang disekitarnya.Nervus Kranial III (Okulomotor): pupil pasien
dapat berkontraksi saat melihat cahaya.Nervus Kranial IV (Trokreal): pasien
dapat menggerakkan bola matanya ke atas dan ke bawah.Nervus KranialV
(Trigeminal): pasien dapat mengunyah makanan: Nasi lunak Nervus Kranial
VI (Abdusen): pasien dapat melihat ke samping.Nervus Kranial VII (Fasial):
pasien dapat tersenyum.Nervus Kranial VIII (Auditor): pasien dapat
mendengar perkataan Dokter, Perawat dan keluarganya. Nervus Kranial IX
(Glosofaringeal): pasien dapat membedakan rasa pahit, manis. Nervus
Kranial X (Vagus): pasien berbicara dengan jelas. Nervus Kranial XI
(Asesori): pasien dapat mengangkat bahunya. Nervus Kranial XII
(Hipoglosol): pasien tidak mengatur posisi lidahnya ke atas dan ke bawah..
12 November 2020
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
No. Parameter Hasil Satuan Nilai
Normal
1. Glukosa – Sewaktu 105 Mg/dl <200
2. Ureum 239 Mg/dl 21 – 53
3. Creatinin 5.30 Mg/dl 1.7 – 1.5
4. HbsAg (-)/Negatif (-)/Negatif
12 November 2020
Hasil pemeriksaan laborarorium
Parameter Result/Unit Raf Range
WBC 14.87 x 10^3/ul. 4.50 – 11.00
HGB 5.0 (g/dL) 10.5 – 18.0
HCT 15.9 (%) 37.0 – 48.0
PLT 460 x 10^3/uL 150 – 400
3.1.9 Penatalaksanaan medis
No Nama Obat Indikasi Dosis Rute
1 ceftriaxone untuk mengobati berbagai 2 x 1gr IV
macam infeksi bakteri
2 Furosemide mengurangi cairan berlebih 1 amp IV
dalam tubuh (edema) yang
disebabkan oleh kondisi seperti
gagal jantung, penyakit hati, dan
ginjal.
3 Transfusi prosedur untuk menyalurkan 5 Kolf IV
PRC darah yang terkumpul dalam
kantung darah kepada orang
yang membutuhkan darah
4 Almodipin Menurunkan tekanan darah 10 mg PO
Krisevi Handayani
( 2017.C.09a.0895)
3.1.10 Analisa data
DATA SUBYEKTIF DAN DATA KEMUNGKINAN
MASALAH
OBYEKTIF PENYEBAB
DS : Pasien mengatakan sesak nafas Invansi bakteri tuberkulosis Pola nafas tidak efektif
DO :- Klien tampak lemah
- Terpasang Stopper Infeksi primer
- TTV :
TD : 149/99 mmHg Reaksi infeksi/ inflamasi.
N : 95x/menit Kavitar, dan merusak parenkim
RR : 26x/menit paru
S : 36,7ºC
- Terpasang O2 nasal kanul 3 Sesak napas
lpm,bentuk dada simetris,tife
pernapasan dada dan Pola nafas tidak efektif
perut,suara napas vesikuler.
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi tanda-tanda vital. 1. hubungan yang baik membuat klien
dengan keperawatan selama 2x7 jam 1. Kaji tingkat intensitas dan dan keluarga kooperatif
trauma/diskontinuitas diharapkan : frekuensi nyeri 2. untuk mengetahui perkembangan
jaringan Kriteria Hasil : 2. Lakukan pendekatan pada klien klien
1. Nyeri berkurang skala 1-3 dan keluarga 3. tingkat intensitas nyeri dan frekwensi
atau hilang 3. jelaskan pada klien penyebab dari menunjukkan skala nyeri
2. Klien tampak tenang.. nyeri 4. memberikan penjelasan akan
3. Tanda-tanda vital normal 4. kolaborasi dengan tim medis menambah pengetahuan klien tentang
dalam pemberian obat nyeri
5. Mengajarkan teknik relaksasi untuk
mengurangi nyeri
6. merupakan tindakan dependent
perawat, dimana analgesik berfungsi
untuk memblok stimulasi nyeri.
sabtu, 26-09-2020 1. Mengukur TTV pasien S : Pasien mengatakan sesak nafas berkurang
Jam : 18.00 Wib 2.Mengobservasi frekuensi O :- Klien tampak lemah berkurang
Diagnosa Keperawatan 1 kedalaman pernapasan dan - Terpasang Stopper
ekspansi dada - TTV :
3. Memberikan posisi semi fowler TD : 110/90 mmHg
4. Ajarkan teknik relaksasi N : 80x/menit
5. Berkolaborasi dalam pemberian RR : 21x/menit
terapi O2 : Nasal kanul 3 lpm S : 36,7ºC
A : Masalah teratasi
P : Hentikan intervensi
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2013. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC
Carpenito. 2011. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa
keperawatan dan masalah kolaboratif. Jakarta: EGC
Kasuari.2012. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler Dengan
Pendekatan Patofisiology.Magelang. Poltekes Semarang PSIK
Magelang
Mansjoer, A dkk. 2012. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Nanda. 2013. Nursing Diagnoses Definition dan Classification. Philadelpia
Rab, T. 2014. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni
Santosa, Budi. 2012. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
Udjianti, WJ. 2012. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika