Anda di halaman 1dari 40

BAGIAN ILMU MATA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2020


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

IRIDOSIKLITIS

Oleh:
Rasdiana FB. Matong, S.Ked
10542 0624 15

Pembimbing:

dr. Yusuf Bachmid, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan referat ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Besar
Nabi Muhammad SAW.

Laporan kasus berjudul “Iridosiklitis” ini dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Mata. Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang mendalam kepada dr. Yusuf Bachmid, Sp.M selaku pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing,
memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna adanya dan
memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik
moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir kata, penulis
berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada semua orang.

Makassar, September 2020

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Rasdiana FB. Matong, S.Ked

NIM : 10542 0624 15

Judul Laporan Kasus : Iridosiklitis

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Ilmu Mata Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, September 2020

Pembimbing Mahasiswa

dr. Yusuf Bachmid, Sp.M Rasdiana FB. Matong, S.Ked

3
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IdentitasPasien

Nama : Nn. SR
Umur : 21 tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Makassar
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. Mustafa Dg. Bunga
Jenis Kelamin : Perempuan
No.Reg : 44 55 66
Tanggal Periksa : 12 September 2020
Tempat Pemeriksaan : RSUD Syekh Yusuf

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Mata kanan merah dan kabur kurang lebih 1 minggu terakhir

Anamnesis Terpimpin: Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Syekh Yusuf

dengan keluhan mata sebelah kanan merah diikuti penglihatan kabur sejak ± 1

minggu namun memberat sekitar 2 hari yang lalu. Pasien juga mengeluh

pandangan menjadi silau saat terpapar sinar, sering berair namun tidak ada kotoran

mata, dan juga mata kanan terasa nyeri jika tertekan. Gatal (-), sakit kepala (-),

mual (-), muntah (-), demam (-). Selama sakit, pasien memakai obat tetes mata

(INSTO) yang dibeli sendiri oleh pasien.

4
Riwayat penyakit dahulu :

HT (-), DM (-), Kolesterol (-), Merokok (-).


Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada

Riwayat pemakaian kacamata:


Tidak pernah

Riwayat Pengobatan :
Selama sakit, pasien memakai obat tetes mata (INSTO) yang dibeli sendiri oleh

pasien. Setelah obat ini dipakai, keluhan mata merah berkurang, namun keluhan

penglihatan kabur tetap ada.

C. STATUS GENERAL
Kesadaran : Kuantitatif : compos mentis.
Kualitatif : baik, tidak berubah.
Tekanan Darah : 110/70 mmHg.
Nadi : 82 x/menit.
Suhu : 36,7oC.
Respirasi Rate : 20x/ menit

D. STATUS LOKALISASI OFTALMOLOGIS


1. Pemeriksaan Inspeksi
OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Sekret (-) Sekret (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (+) Lakrimasi (-)
Konjungtiva Perdarahan (-), injeksi Perdarahan (-), injeksi

5
konjungtiva (+), injeksi konjungtiva (-), injeksi
siliar (+), secret (-), siliar (-), secret (-),
jaringan fibrovaskuler (+) jaringan fibrovaskuler (+)
Bola Mata Normal Normal
Mekanisme Muskular Normal ke segala arah Normal ke segala arah

Kornea Keruh (+), edema (+) Jernih, edema (-), abrasi


abrasi (-), sikatrik (-), (-), sikatrik (-), keratik
keratik presipitat (+), presipitat (-), infiltrate
infiltrate (+), ulkus (-), (-), ulkus (-), arkus
arkus senilis (-), senilis (-), pericorneal
pericorneal vascular vascular injeksi (-)
injeksi (+)
Bilik Mata Depan Normal Normal
Iris Warna suram (+), Kripte Iris coklat, Kripte (+),
(-) Sinekia (-) Sinekia (-)
Pupil Miosis, diameter 2 mm, Bulat, diameter 3 mm,
ireguler. Reflex cahaya reflex cahaya (+)
melemah

Lensa Jernih Jernih

6
2. Pemeriksaan Palpasi
Palpasi OD OS

TIO Tn Tn
Nyeri tekan Nyeri (+) Tidak nyeri

Massa Tumor Tidak ada Tidak ada


Glandula Preaurikuler Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan

3. Tonometri
Tidak dilakukan

4. Visus
VOD : 6/20
Koreksi : -
Menjadi : -
ADD :

VOS : 6/6
Koreksi : -
Menjadi : -
ADD :

5. Pemeriksaan Slit Lamp

7
SLOD : Konjungtiva hiperemis (+), kornea edema (+), hipopion (-), iris
suram, keratin Presipitat(+) ; pupil miosis(+) ; lensa sulit dievaluasi.
SLOS : Edema palpebra (-), konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih; BMD
normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat, RC (+), lensa jernih.

E. RESUME
Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Syekh Yusuf dengan keluhan mata
sebelah kanan merah diikuti penglihatan kabur sejak ± 1 minggu namun memberat
sekitar 2 hari yang lalu. Pasien juga mengeluh pandangan menjadi silau saat
terpapar sinar, sering berair namun tidak ada kotoran mata, dan juga mata kanan
terasa nyeri jika tertekan. Gatal (-), sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), demam
(-). Selama sakit, pasien memakai obat tetes mata (INSTO) yang dibeli sendiri
oleh pasien.
Dari inspeksi didapatkan OD injeksi konjungtiva (+), Injeksi siliar (+), Iris
suram, Kripte(-), kornea edema (+), Pupil miosis(+) RC(+) melemah. Dari
pemeriksaan visus didapatkan VOD:6/20, VOS: 6/6. Dari pemeriksaan slit lamp
didapatkan OD : Konjungtiva hiperemis (+), kornea edema (+), hipopion (-), iris
suram, keratin Presipitat(+) ; pupil miosis(+) ; lensa sulit dievaluasi.

F. DIAGNOSIS KERJA
OD Iridosiklitis

G. DIAGNOSIS BANDING
- Konjungtivitis

- Keratitis

- Glaukoma Akut

8
H. TERAPI
Medikamentosa
- Atropin 1% 3x1 tts
- Prednisolon 1%, 1-2 tetes/ jam
Non-medikamentosa
- Bebat mata

I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

J. DISKUSI
Pasien datang dengan keluhan mata sebelah kanan merah diikuti
penglihatan kabur sejak ± 1 minggu namun memberat sekitar 2 hari yang lalu.
Pasien juga mengeluh pandangan menjadi silau saat terpapar sinar, sering berair
namun tidak ada kotoran mata, dan juga mata kanan terasa nyeri jika tertekan.
Pasien mengeluhkan mata merah yang menandakan adanya proses
radang/inflamasi yang sedang terjadi disertai rasa nyeri yang menandakan
adanya spasme dari oto-otot iris.
Pasien juga mengeluhkan matanya terasa silau apabila diruangan yang
terang atau berada diluar ruangan saat siang hari yang menandakan adanya
fotofobia.. Gejala yang pasien keluhkan berlangsung sejak ± 1 minggu yang
lalu yang menandakan proses ini merupakan proses akut.

9
Dari inspeksi didapatkan OD konjungtiva hiperemis (+), Iris suram,
Kripte(-), kornea edema (+), Pupil miosis(+) RC(+) melemah. Dari
pemeriksaan visus didapatkan VOD:6/20, VOS: 6/6. yakni mata kanan pasien
hanya dapat melihat objek sejauh 6 meter dimana orang normal melihat dalam
20 meter
Dari pemeriksaan slit lamp didapatkan OD : Konjungtiva hiperemis (+),
kornea edema (+), hipopion (-), iris suram, keratin Presipitat(+) ; pupil
miosis(+) ; lensa sulit dievaluasi.
Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien ini adalah pemberian
Atropin 1% yang dapat berguna untuk melebarkan pupil, melepaskan sinekia,
dan yang paling penting untuk mengistirahatkan iris dan badan siliar sehingga
dapat mengurangi nyeri akibat spasme iris. Pemberian kortikosteroid tetes mata
berfungsi untuk meredakan inflamasi yang terjadi.

10
BAB I
PENDAHULUAN

Uveitis adalah inflamasi di uvea yaitu iris, badan siliar dan koroid yang dapat
menimbulkan kebutaan. Di negara maju, 10% kebutaan pada populasi usia profuktif
adalah akibat uveitis. Uveitis dapat disebabkan oleh kelainan di mata saja atau
merupakan bagian dari kelainan sistemik, trauma, iatrogenic dan infeksi, namun
sebanyak 20-30% kasus uveitis adalah idiopatik. Secara anatomi, uveitis dibagi
menjadi uveitis anterior, intermediet, posterior, dan panuveitis.1

Uveitis anterior adalah inflamasi di iris dan badan siliar. Inflamasi di iris saja
disebut iritis sedangkan bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka disebut
iridosiklitis. Insidens uveitis anterior di negara maju lebih tinggi dibandingkan negara
berkembang karena ekspresi human leukocyte antigen (HLA-B27) yang merupakan
factor predisposisi uveitis anterior, lebih tinggi di negara maju. Uveitis posterior
menjadi penyebab kebutaan kelima di negara berkembang seperti Amerika Selatan,
India, dan Frika karena tingginya penyakit infeksi khususnya toksoplasmosis,
tuberkolosis, HIV dan sifilis. Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan
sekitarnya seperti vitreus, retina, dan nervus optic. Penyebab tersering adalah
tuberkolosis, sindrom vogt-koyanagi-harada (VKH), oftalmia simpatika, dan penyakit
behcet.1

Gejala Uveitis umumnya ringan namun dapat memberat dan menimbulkan


komplikasi kebutaan bila tidak ditatalaksanakan dengan baik. Selain itu, uveitis dapat
mengakibatkan peradangan jaringan sekitar seperti sklera, retina dan nervus optic

11
sehingga memperburuk perjalanan penyakit dan meningkatkan komplikasi. Karena
uveitis dapat menimbulkan kebutaan, dokter harus mampu menegakkan diagnosis
klinis, memberikan terapi awal, menentukan rujukan serta menindaklanjuti pasien
rujukan balik yang telah selesai ditatalaksana oleh dokter spesialis.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Uvea, berasal dari Bahasa latin “Uva” yang berarti anggur, terdiri dari
beberapa kompartemen mata yang berperan besar dalam vaskularisasi bola mata,
yaitu iris, badan silier, dan koroid. Uveitis didefinisikan sebagai inflamasi yang
terjadi pada uvea. Meskipun demikian, sekarang istilah uveitis digunakan untuk
menggambarkan berbagai bentuk inflamasi intraocular yang tidak hanya pada uvea
tetapi juga struktur yang ada didekatnya, baik karena proses infeksi, trauma,
neoplasma, maupun autoimun. Uveitis juga banyak dikaitkan dengan berbagai
penyakit sistemik, sehingga penegakan diagnosis uveitis memerlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan laboratorik yang teliti dan perhatian khusus terhadap
system lain yang mungkin terkait.2
Uveitis anterior adalah inflamasi di iris dan badan siliar. Inflamasi di iris saja
disebut iritis sedangkan bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka disebut
iridosiklitis.3

B. Anatomi dan Fisiologi


1. Bola Mata
Bola mata merupakan salah satu bagian tubuh yang memiliki
struktur yang sangat istimewa. Bola mata berbentuk bulat dengan
diameter 24 mm atau lebih kurang 1 inci. Persarafan organ ini pun
cukup unik karena saraf pada mata merupakan satu-satunya saraf yang
dapat dilihat (dengan oftalmoskop) secara in vivo. mata dilapisi oleh 3 lapis

12
jaringan, yaitu sclera, jaringan uvea dan retina. Sklera merupakan bagian
terluar dari bola mata. Sklera berwarna putih dan tersusun atas kolagen.
Sklera sebenarnya berhubungan langsung dengan kornea pada bagian
anteriornya. Kornea bersifat transparan dan memudahkan cahaya masuk ke
dalam mata. Jaringan uvea kaya akan vaskularisasi. Jaringan uvea terdiri
atas iris, badan siliar dan koroid. Lapisan paling dalam bola mata adalah
retina. Retina terdiri atas 10 lapisan dan bertanggung jawab merubah sinar
yang masuk menjadi rangsangan pada saraf optik untuk diinterpretasikan di
otak.4

Bola mata penuh akan cairan. Ada dua cairan yang berebeda
terdapat di bola mata. Vitreous humourmengisi bagian posterior dari

13
bilik vitreous. Cairan ini merupakan suspense jelly yang menyerupai Jell-
O. Sedangakan aqueous humour mengisi bilik mata depan dan bilik mata
belakang. Cairan ini diproduksi di bilik mata belakang dan mengalir ke bilik
mata depan. Cairan ini kaya akan nutrisi dan membantu komponen
avaskular kornea dan lensa untuk teteap mendapat asupan nutrisi.4

2. Uvea
Uvea terdiri dari iris, korpus siliare dan khoroid. Bagian ini adalah
lapisan vascular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Bagian ini
ikut memasukkan darah ke retina. Uvea dibagi menjadi dua yaitu uvea anterior
yang terdiri dari iris dan badan siliar dan uvea posterior yaitu khoroid.5
a. Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa suatu
permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah pupil. Iris
terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang memisahkan
kamera anterior dan kamera posterior, yang masing-masing berisi aqueus
humor. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua
lapisan berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan
perluasan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina kea arah anterior.5
Pasok darah ke iris adalah dari sirkulus major iris. Kapiler-kapiler iris
mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang sehingga normalnya tidak
membocorkan fluorescein yang disuntikkan secara intravena. Persarafan
iris adalah melalui serat-serat di dalam nervusu siliares.5
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata.
Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara
konstrisi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus

14
kranialis III (n. okulomotoris) dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas
simpatik.5

15
b. Korpus Siliaris
Korpus siliaris yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan
melintang, membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal
iris (sekitar 6mm). Korpus siliaris terdiri dari suatu zona aanterior yang
berombak-ombak, pars plikata dan zona posterior yang datar, pars plana.
Prosesus siliaris berasal dari pars plikata. Prosesus siliaris ini terutama
terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena
vortex. Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang sehingga
membocorkan floresein yang disuntikkan secara intravena. Ada 2 lapisan
epitel siliaris, satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang
merupakan perluasan neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen di
sebelah luar merupakan perluasan dari lapisan epitel pigmen retina.
Prosesus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai
pembentuk aqueus humor.

16
c.

Khoroid
Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.
Khoroid tersusun dari tiga lapisan pembuluh darah khoroid; besar, sedang
dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletah di dalam khoroid, semakin
lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah khoroid dikenal sebagai
khoriokapilaris. Daerah dari pembuluh darah khoroid dialirkan melalui
empat vena vortex, satu di masing-masing kuadran posterior. Khoroid di

17
sebelah dalam dibatasi oleh membrane Bruch dan di sebelah luar oleh
sklera. Ruang supkoroid terletak di antara khoroid dan sklera. Khoroid
melekat erat ke posterior ke tepi-tepi nervus optikus. Ke anterior, khoroid
bersambung dengan korpus siliare. Agregat pembuluh darah khoroid
memperdarahi bagian luar retina yang mendasarinya.

C. Epidemiologi
Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uveitis. Di
Amerika Serikat sekitar 10% penyebab kebutaan disebabkan oleh uveitis. Insiden
uveitis di negara maju sekitar 200 per 100.000 pupulasi, 50% diantaranya
mengalami komplikasi, dan 35% mengalami gangguan tajam penglihatan.

18
Klasifikasi uveitis berdasarkan anatomi mata dibedakan menjadi uveitis
anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis. Uveitis anterior
merupakan kejadian yang paling sering dari peradangan uvea dengan kejadian
yang bervariasi dalam populasi umum dari berbagai negara di seluruh dunia.
Uveitis dapat disebabkan oleh karena genetik, infeksi, lingkungan, penyakit
sistemik, dan reaksi imunologi, namun 20-30% kasus uveitis adalah idiopatik.
Insiden uveitis di negara berkembang sebanyak 714 per 100.000 populasi dan
25% diantaranya menjadi penyebab kebutaan. Negaraberkembang khususnya
negara tropis memiliki iklim dan patogen yang berbeda-beda dengan negara maju
sehingga prevalensi penyakit uveitis akibat infeksi seperti toxoplasma dan
tuberculosis lebih tinggi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kadek Ayu Dorindra Sari dkk (2016) di
RSUP Sanglah Denpasar Bali, mereka menemukan bahwa rerata usia penderita
uveitis yaitu 43,8 tahun dengan proporsi penderita terbanyak yaitu usia 45-64
tahun. Jenis kelamin terbanyak pada pasien uveitis yaitu laki-laki sebanyak 54,5%.
Pasien yang tinggal di Denpasar paling banyak menderita uveitis sebanyak 6 orang
(27,3%) pasien. Keluhan utama terbanyak pasien uveitis yaitu mata kabur
sebanyak 77% mata dengan beberapa pasien uveitis memiliki keluhan utama lebih
dari satu.Jenis uveitis berdasarkan anatomi menunjukkan bahwa pasien uveitis
paling banyak mengalami uveitis anterior sebanyak 80% mata.Sebanyak 18 orang
(81.8%) pasien uveitis mengalami uveitis unilateral.6

D. Etiopatogenesis
Uveitis anterior adalah inflamasi di iris dan badan siliar. Inflamasi di iris saja
disebut iritis sedangkan bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka disebut
iridosiklitis. Uveitis anterior dapat terjadi akibat kelainan sistemik seperti
spondiloartropati, artritis idiopatik juvenile, sindrom uveitis fuchs, colitis ulseratif,
penyakit chron, penyakit whipple, tubulointerstitial nephritis and uveitis. Infeksi

19
yang sering menyebabkan uveitis anterior adalah virus herpes simpleks (VHS),
virus varisela zozter (VVZ), tuberkolosis, dan sifilis.1
Uveitis anterior akut umumnya terjadi di satu mata namun pada kasus kronik
dapat melibatkan kedua mata. Uveitis anterior akut dapat disebabkan oleh trauma,
pasca-oprasi, dan reaksi hipersensitivitas. Frekuensi uveitis anterior kronik lebih
jarang dan umumnya asimptomatik namun dapat menimbulkan komplikasi seperti
katarak dan glaucoma. Uveitis anterior pada anak meningkatkan komplikasi
strabismus, keratopati, katarak, edema macular, dan glaucoma yang mengganggu
penglihatan serta memicu amblyopia sehingga perlu diterapi secara agresif.1
Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara
lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain. Penyebab autoimun terdiri dari:
artritis Rheumathoid juvenile, spondylitis ankilosa, sindrom reiter, colitis ulseratif,
uveitis terinduksi-lensa, sarcoidosis, penyakit crohn, psoriasis. Penyebab infeksi
terdiri dari: sipilis, tuberkolosis, lepra, herpes simpleks, onkoserkiasis, adenovirus.
Untuk penyebab keganasan terdiri dari: sindrom masquereda, retinoblastoma,
leukemia, limfoma, melanoma maligna. Sedangkan yang lainnya berasal dari:
iridopati, uveitis traumatika, ablatio retina, gout, dan krisis glaukomatosiklitik.7
Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan dapat mengenai satu atau
ketiga bagian secara bersamaan. Bentuk uveitis paling sering terjadi adalah uveitis
anterior akut (iritis), umumnya unilateral dan ditandai dengan riwayat sakit,
fotopobia dan penglihatan kabur, mata merah, pupil kecil serta ireguler.
Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis, yang non
granulomat (lebih umum) dan granulomatosa.
Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini,
yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrate
sel-sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit
mononuclear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion
di kamera okuli anterior.

20
Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humous aqueus)
yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di
iris dan badan siliar, maka timbul lah hiperemus yang aktif, pembuluh darah
melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaucoma
sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui
oleh sel darah putih, sel darah merah dan eksudat yang akan mengakibatkan
tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaucoma.
Cairan dengan lain-lainnya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antara lensa
iris dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris
banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis
cairan berkurang sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah kornea karena
tidak mengandung pembuluh darah, suhu menurun dan berat jenis bertambah
sehingga cairan di sini akan bergerak ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan
fibrin dapat melekat pada endotel kornea, membentuk keratik presipitat yang dari
depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke bawah semakin
besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula masuk ke dalam
kanalis schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya
cairan ini masih seimbang maka tekanan bola mata akan berada pada batas normal
15-20mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera okuli
anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaucoma sekunder.
Glaucoma juga bias terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit.
Elemen darah dapat bertumpuk di kamera okuli anterior dan timbul lah
hiferna (bila banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul
banyak mengandung sel darah putih). Elemen- elemen radang yang mengandung
fibrin yang menempel pada pupil dapat juga mengalami organisasi, sehingga
melekatkan ujung iris pada lensa. Perlengketan ini disebut sinekia posterior. Bila
seluruh iris menempel pada lensa disebut seklusio pupil sehingga cairan yang dari
kamera okuli posterior tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke kamera okuli
anterior, iris terdorong ke depan, disebut iris bomb dan menyebabkan sudut

21
kamera okuli anterior menyempit, dan timbul lah glaucoma sekunder.
Perlengketan-perlengketan iris pada lensa menyebabkan bentuk pupil tidak teratur.
Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan kekeruhan pada
badan kaca yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan adanya
peradangan ini maka metabolism pada lensa terganggu dan dapat mengakibatkan
katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat
mengakibatkan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrane yang terdiri
dari jaringan ikat dengan neurovaskuler dari retina yang disebut renitis
proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasio retina.

E. Klasifikasi
Berdasarkan spesifitas penyebab uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis
infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas. Uveitis
infeksius dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus. Uveitis non infeksius
dapat disebabkan oleh agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan
lainnya), agen spesifik pada mata (oftalia simpatika, uveitis imbas lensa) dan
penyakit sistemik seperti Behcet, sarcoidosis, sindroma reiter, dll.
Berdasarkan asalnya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan
uveitis endogen. Uveitis eksogen pada umumnya dikarenakan oleh trauma, operasi
intraokuler, ataupun iatrogenic. Sedangkan uveitis endogen dapat disebabkan oleh
fokal infeksi di organ lain maupun reaksi autoimun.
Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis
anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis.
Uveitis anterior akut biasanya timbulnya mendadak dan perjalanan penyakitnya
kurang dari 5 minggu. Sedangkan yang kronik mulainya berangsur-angsur, dan
perjalan penyakitnya dapat berbulan-bulan maupun tahunan.
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe
granulomatosa dan non granulomatosa. Tipe granulomatosa infiltratnya terdiri dari

22
sel epiteloid dan makrofag. Sedangkan tipe non granulomatosa infiltratnya terdiri
dari sel plasma dan limfosit.

F. Gejala Klinis
Gejala akut dari uveitis anterior adalah mata merah, fotopobia, nyeri,
penurunan tajam penglihatan dan hiperlakrimasi. Sedangkan pada keadaan kronis
gejala uveitis anterior yang ditemukan dapat minimal sekali, meskipun proses
radang hebat sedang terjadi.
a. Uveitis Anterior Jenis Non-Granulomatosa
Pada bentuk non-granulomatosa, onsetnya khas akut, dengan rasa sakit,
injeksi, fotopobia dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkumkorneal
atau injeksi siliar yang disebabkan oleh dilatasi pembuluh-pembuluh daraj
limbus. Deposit putih halus (Keratic precipitate/ KP) pada permukaan kornea
dapat dilihat dengan slit lamp atau dengan kaca pembesar. KP adalah deposit
seluler pada endotel kornea. Karakteristik dan distribusi KP dapat memberikan
petunjuk bagi jenis uveitis. KP umumnya terbentuk di daerah pertengahan dan
inferior dari kornea. Terdapat 4 jenis KP yang diketahui, yaitu small KP,
medium KP, large KP dan fresh KP. Small KP merupakan tanda khas pada
herpes zoster dan Fuch’s uveitis syndrome. Medium KP terlihat pada
kebanyakan jenis uveitis anterior akut maupun kronis. Large KP biasanya jenis
mutton fat biasanya teradapat pada uveitis anterior tipe granulomatosa. Fresh
KP atau KP baru terlihat berwarna putih dan melingkar. Seiring bertambahnya
waktu akan berubah menjadi leboih pucat dan berpigmen. Pupil mengecil dan
mungkin terdapat kumpulan fibrin dengan sel di kamera anterior. Jika terdapat
sinekia posterior, bentuk pupil menjadi tidak teratur.

b. Uveitis Anterior Jenis Granulomatosa


Pada bentuk granulomatosa, biasanya onsetnya tidak terlihat. Penglihatan
berangsur kabur dan mata tersebut memerah secara difus di daerah

23
sirkumkornea, sakitnya minimal dan fotopobianya tidak seberat bentuk non-
granulomatosa. Pupil sering mengecil dan tidak teratur karena terbentuknya
sinekia posterior. KP mutton fat besar-besar dapat terlihat dengnan slit-lamp di
permukaan posterior kornea. Tampak kemerahan, flare dan sel-sel putih di
tepian pupil (nodul Koeppe). Nodul-nodul ini sepadan dengan KP mutton fat.
Nodul serupa di seluruh stroma iris disebut nodul Busacca.

24
G. Penegakan Diagnosis
Diagnosis uveitis anterior dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan menanyakan riwayat kesehatan pasien, misalnya
pernah menderita iritis atau penyakit mata lainnya, kemudian riwayat penyakit
sistemik yang mungkin pernah diderita oleh pasien.
Keluhan yang dirasakan pasien biasanya antara lainnya:
a. Nyeri dangkal (dull pain), yang muncul dan sering menjadi lebih terasa
ketika mata disentuh pada kelopak mata. Nyeri tersebut dapat beralih ke
daerah pelipis atau daerah periorbital. Nyeri tersebut sering timbul dan
menghilang segera setelah muncul.
b. Fotopobia atau fotosensitif terhadap cahaya, terutama cahaya matahari
yang dapat menambah rasa tidak nyaman pasien.
c. Kemerahan tanpa secret mukopurulen.
d. Pandangan kabur (blaring)
e. Umumnya unilateral

2. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Visus: visus biasanya normal atau dapat sedikit menurun.
b. Tekanan intraocular (TIO) pada mata yang meradang lebih rendah
daripada mata yang sehat. Hal ini secara sekunder disebabkan oleh
penurunan produksi cairan akuos akibat radang pada korpus siliaris. Akan
tetapi TIO juga dapat meningkat akibat perubahan aliran keeluar (outflow)
cairan akuos.
c. Konjungtiva : terlihat injeksi silier/ perilimbal atau dapat pua (pada kasus
yang jarang) injeksi pada seluruh konjungtiva.
d. Kornea: KP(+), udema stroma kornea

25
e. Camera Oculi Anterior (COA): sel-sel flare dan/ atau hipopion.
Ditemukannya sel-sel pada cairan akuos merupakan tanda dari proses
inflamasi yang aktif. Jumlah sel yang ditentukan pada pemeriksaan
slitlamp dapat digunakan untuk grading. Grade 0 sampai +4 ditentukan
dari:
i. 0 : tidak ditemukan sel
ii. +1 : 5-10 sel
iii. +2 : 11-20 sel
iv. +3 : 21-50 sel
v. +4 : >50 sel
Aqueous flare adalah akibat dari keluarnya protein dari pembuluh
darah iris yang mengalami peradangan. Adanya flare tanpa ditemukannya
sel-sel bukan indikasi bagi pengobatan. Melalui hasil pemeriksaan slit
lamp yang sama dengan pemeriksaan sel, flare juga diklasifikasikan
sebagai berikut:
i. 0 : tidak ditemukan flare
ii. +1 : terlihat hanya dengan pemeriksaan yang teliti
iii. +2 : moderat, iris terlihat bersih
iv. +3 : iris dan lensa terlihat keruh
v. +4 : terbentuk fibrin pada cairan akuos
Hipopion ditemukan sebagian besar mungkin sehubungan dengan penyakit
terkait HLA-B27, penyakit Beheet atau penyakit infeksi terkait iritis.
f. Iris: dapat ditemukan sinekia posterior
g. Lensa dan korpus vitreus anterior: dapat ditemukan lenticular presipitat
pada kapsul lensa anterior. Katarak subkapsuler posterior dapat ditemukan
bila pasien mengalami iritis berulang.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya tidak diperlukan untuk
uveitis anterior, apalagi bila jenisnya non-granulomatosa atau menunjukkan

26
respon terhadap pengobatan non spesifik. Akan tetapi pada keadaan dimana
uveitis anterior tetap tidak responsive terhadap pengobatan maka diperlukan
usaha untuk menemukan diagnosis etiologiknya. Pada pria muda iridosiklitis
akut rekurens, foto rontgen sakroiliaka diperlukan untuk mengeksekusi
kemungkinan adanya spondylitis ankilosis. Pada kelompok usia yang lebih
muda, artritis rheumatoid juvenile harus selalu dipertimbangkan khusunya
pada kasus-kasus iridosiklitis kronis. Pemeriksaan darah untuk antinuclear
antibody dan rheumatoid factor serta foto rontgen lututsebaiknya dilakukan.
Perujukan ke ahli penyakit anak dianjurkan pada keadaan ini. Iridosiklitis
dengan KP mutton fat memberikan kemungkinan sarcoidosis. Foto rontgen
toraks sebaiknya dilakukan dan pemeriksaan terhadap enzim lisozim serum
serta serum angiotensineconverting enzyme sangat membantu.
Pemeriksaan terhadap HLA-B27 tidak bermanfaat untuk penatalaksaan
pasien dengan uveitis anterior, akan tetapi kemungkinan dapat memberikan
pikiran akan susepibilitas untuk rekurens. Sebagai contoh, HLA-B27
ditemukan pada sebagian kasus iridosiklitis yang terkait dengan spondylitis
ankilosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis dan histoplasmosis dapat berguna,
demikian pula antibody terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes tersebut
dengan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosis
etiologiknya. Dalam usaha penegakan diagnosis etiologis dari uveitis
diperlukan bantuan atau konsultasi dengan bagian lain seperti ahli radiologi
dalam pemeriksaan foto rontgen, ahli penyakit anak atau penyakit dalam pada
kasus artritis rheumatoid, ahli penyakit THT pada kasus uveitis akibat infeksi
sinus paranasal, ahli penyakit gigi dan mulut pada kasus uveitis dengan focus
infeksi di rongga mulut, dan lain-lain.
H. Diagnosa Banding
Berikut adalah beberapa diagnosis banding dari uveitis anterior:
a. Konjungtivitis

27
Pada konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada
kotoran mata dan umumnya tidak ada rasa sakit, fotopobia atau injeksi siliaris
b. Keratitis atau keratokonjungtivitis
Pada Keratitis atau keratokonjungtivitis, penglihatan dapat kabur dan ada
rasa sakit dan fotopobia. Beberapa penyebab keratitis sepeeti herpes simpleks
dan herpes zoster dapat menyertai uveitis anterior sebenarnya.
c. Glaucoma akut
Pada glaucoma akut, pupil melebar, tidak ditemukan sinekia posterior dan
korneanya “beruap”.

I. Penatalaksanaan
Tujuan terapi uveitis anterior menurut AOA, antara lain:
 Mengembalikan tajam penglihatan
 Mengurangi rasa nyeri mata
 Mengeliminasi peradangan atau penyebab peradangan
 Mencegah terjadinya sinekia iris
 Mengendalikan tekanan intraocular

Sedangkan prinsip pengobatan uveitis antara lain:

 Menekan peradangan
 Mengeliminir agen penyebab
 Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di
luar mata

a. Terapi Non Spesifik


Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada uveitis, yaitu
midriatik-sikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan
1. Midriatik-sikloplegik

28
Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja
dengan menghambat neurotransmitter pada reseptor sfingter iris dan
korpus silier. Pada pengobatan uveitis anterior sikloplegik bekerja dengan
3 cara yaitu:
o Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris
o Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior) yang
dapat meningkatkan tekanan intraocular dan menyebabkan glaucoma
sekunder
o Menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare

Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis menurut AOA


(2004) antara lain:

o Atropine 0,5%, 1%, 2%


o Homatropin 2%, 5%
o Scopolamine 0,25%
o Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%

2. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang bermanfaat pada
uveitis. Efek samping baik topical maupun sistemik telah kita ketahui,
tetapi tidak ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi
efek anti inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang
dipakai dalam pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intra ocular
dengan kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan
kortikosteroid pada uveitis yaitu local (tetes mata, dan injeksi peri ocular),
dan sistemik.
o Local

29
Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik sikloplegik
local adalah paling logis dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai
dengan efek samping yang minimal. Dan apabila terjadi komplikasi,
maka obat ini dapat segera distop.
o Tetes mata
Efek terapeutik kortikosteroid topical pada mata dipengaruhi oleh sifat
kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topical ke dalam mata,
sehingga daya tembus obat topical akan tergantung pada:
a. Konsentrasi dan frekuensi pemberian
Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering frekuensi
pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya.
b. Jenis kortikosteroid
Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan
preparat dexametason, betametason dan prednisolone karena
penetrai intra ocular baik, sedangkan preparat medryson,
fluorometolon dan hidrokortisun hanya dipakai pada peradangan
pada palpebral, konjungtiva dan kornea superfisial
c. Jenis pelarut yang dipakai
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat
topical mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma,
endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel
lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak
sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang larut
dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang
baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-
obat kortikosteroid topical dalam larutan alcohol dan asetat bersifat
biphasic.
d. Bentuk larutan

30
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan
suspense. Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra
ocular lebih baik daripada bentuk solution karena bersifat biphasic,
tapi kerugiannya bentuk suspense ini memerlukan pengocokan
terlebih dahulu sebelum dipakai.
Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasi
seperti: glaucoma, katarak, penebalan kornea, aktivitas infeksi,
midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.

o Injeksi peri-okular
Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun
bentuk short acting berupa solution. Keuntungan injeksi peri-okular
adalah dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata
dengan efek samping sistemik yang minimal.
Indikasi injeksi peri-okular adalah:
- Apabila pasien tidak responsive terhadap pengobatan tetes mata,
maka injeksi peri-okular dapat dianjurkan.
- Uveitis unilateral
- Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata
- Anak-anak
- Komplikasi edema sistoid macula pada pars planitis

Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada


uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis.

Lokasi injeksi peri-okular:

 Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior


Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository
(triamcinolone acetonide 40mg, atau, metyl prednisolone acetate

31
20mg) efektif pada peradangan kronis segmen anterior bola mata.
Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat
mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada jaringan
intraocular selama 2-4 minggu sehingga tidak membutuhkan
pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian topical tetes
mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai
dexametason 2-4 mg.
 Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar
Cara ini dpergunakan pada peradangan segmen posterior (sklera,
koroid, retina dan saraf optic).

Komplikasi injeksi peri-okular:


- Perforasi bola mata
- Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ekstra
ocular dan katarak sub-kapsular posterior
- Glaucoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam
bentuk depo di mana membutuhkan tindakan bedah untuk
mengangkat steroid tersebut dari bola mata
- Atrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebral

o Sistemik
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat
peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat
prednisone dengan dosis awal antara 1-2 mg/kg BB/hari, yang
selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating single
dose). Dosis prednisone diturunkan sebesar 20% dosis awal selama 2
minggu pengobatan, sedangkan preparat prednisone dan dexametason
dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu. Pada

32
uveitis kronis dan anak-anak bias terjadi komplikasi serius seperti
supresi kelenjar adrenal dan gangguan partum uhan badan, maka
diberikan dengan cara alternating single dose.
Indikasi kortikosteroid sistemik:
- Uveitis posterior
- Uveitis bilateral
- Edema macula
- Uveitis anterior kronik (JRA, reiter)
- Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik

Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi


efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi,
diabetes mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan
pertumbuhan anak, hirsutisme, dan lain-lain.

o Imunosupresan
a. Sitostatika
Pengobatan sitostatika digunakan uveitis kronis yang refrakter
terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai refarat preparat
klorambusil 0,1-0,2 mg/kgBB/hari, dosis klorambusil ini
dipertahankan selama 2-3 bulan lalu diturunkan sampai 5-8 mg
selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5mg/hari,
sampai 6-12 bulan. Selain itu juga dipakai preparat kolkhisindosis
0,5 mg- 1 mg/peroral/2kali/hari. Dosis letak adalah 7mg/hari.
Selama terapi sitostatika kita harus bekerja sama dengan internist
atau hematologist. Sebagai patokan kita harus mengontrol darah
tepi, yaitu leukosit harus lebih dari 3000/mm3 dan trombosit lebih
dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan.
Preparat sitostatika ini menekan respon imun lebih spesifik
dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini

33
mempunyai resiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, gangguan
gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi
oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom.
Indikasi sitostatika:
- Pengobatan steroid inefektif atau intolerable
- Penyakit beheet
- Oftalmia simpatika
- Uveitis pada JRA (juvenile rheumathoid arthritis)

Kontraindikasi sitostatika:
- Uveitis dengan etiologi infeksi
- Bila tidak ada: internist/hematologist; fasilitas monitoring
sumsum tulang; fasilitas penanganan efek samping akut

b. Siklosporin A
Silosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang
relative baik yang tidak menimbulkan efek samping terlalu berat
dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa menekan
sluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid dan
sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian besar system
imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit dan
sel neutrophil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi sumsum
tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenic seperti obat
sitostatika.
Mekanisme kerja siklosporin A dalam respon imun adalah spesifik
dengan:
- Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan
secara umum produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon,
MAF, MIF). Secara umum CsA tidak menghambat fungsi sel B

34
- Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking
sintesis IL-2
- Secara tidak langsung mengganggi aktivitas sel NK (Natural
Killer cell) dengan menekan produksi interferon, di mana
interferon dalam mempercepat proses pematangan dan sitolitik
sel NK
- Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA
sehingga tidak mempengaruhi efek fagositosis, processing
antigen dan elaborasi IL-1

b. Terapi Spesifik
1. Toxoplasmosis
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi
o Sufadiazin atau trisulfa:
Dosis 4 kali 0,5-1gr/haari selama 3-6 minggu
o Pirimetamin:
Dosis awal 75-100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25
mg/hari selama 3-6 minggu
o Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®)
Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4-6 minggu. Preparat sulfa
mencegah konversi asam parasminobenzoat menjadi asam folat
preparat pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya
tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxoplasma
untuk metabolism karbon. Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi
depresi sumsum tulang, maka control darah tepi tiap minggu, apabila
trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk mencegah depresi
sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5mg tiap 2 hari.
o Klindamisin:

35
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat
sulfa. Secara invivo pada eksperimen obat ini dapat menghancurkan
kista toxoplasma pada jaringan retina
Dosis: 3 kali 150-300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva
klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik
o Spiramisin:
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang
minimal. Obat ini kurang efektid salam mencegah rekurensi.

2. Infeksi virus
o Herpes simpleks:
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topical antivirus seperti
asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh maka
dapat diberikan topical steroid bersama antivirus. Diberikan juga
asiklovir 5 kali 200mg/hari selama 2-3 minggu yang kemudian
diturunkan 2 atau 3 tablet/hari
Pada kasus retinitis herpes simplex dan ARN (Acute Retinal Necrosis)
diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5mg/kgBB/kali yang
dapat diberikan 3 kali perhari.
o Herpes Zoster:
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10-14
hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah
terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior diberikan steroid
dan sikloplegik topical.

J. Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komolikasi dari uveitis anterior:

36
- Sinekia anterior perifer. Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior
perifer yang menghalangi humor akuos keluar di sudut iridokornea (sudut
kamera anterior) sehingga dapat menimbulkan glaucoma
- Sinekia posterior dapat menimbuklan glaucoma dengan berkumpulnya akuos
humor di belakang iris, sehingga meninjolkan iris ke depan
- Gangguan metabolism lensa dapat menimbulkan katarak
- Edema kistoid macular dan degenerais macula dapat timbul pada uveitis
anterior yang berkepanjangan

K. Prognosis
Gejala Uveitis umumnya ringan namun dapat memberat dan menimbulkan
komplikasi kebutaan bila tidak ditatalaksanakan dengan baik. Selain itu, uveitis
dapat mengakibatkan peradangan jaringan sekitar seperti sklera, retina dan nervus
optic sehingga memperburuk perjalanan penyakit dan meningkatkan komplikasi.
Karena uveitis dapat menimbulkan kebutaan, dokter harus mampu menegakkan
diagnosis klinis, memberikan terapi awal, menentukan rujukan serta
menindaklanjuti pasien rujukan balik yang telah selesai ditatalaksana oleh dokter
spesialis

37
BAB III

KESIMPULAN

Uveitis anterior atau iridosiklitis merupakan peradangan iris dan bagian depan
korpus siliare (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang
bola mata, kornea dan sklera.

Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis


infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelass. Berdasarkan
asalnya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan uveitis endogen.
Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis anterior
dibedakan menjadi uveitis anterior dan uveitis anterior kronis. Klasifikasi uveitis
anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe granulomatosa dan non
granulomatosa.

Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara


lain: autoimun, infeksi keganasan, dan lain-lain. Terjadinya uveitis anterior juga
berhubungan dengan beberapa penyakit sistemik, antara lain: spondyloarthrirides,
Chron’s disease, Sacroidosis, Bechet’s disease, Hypersensitivity reactions,
Tubulointerstitial nephritis, Juvenile rheumathoid arthritis, Kawasaki disease,
multiple sclerosis, and relapsing polychondritis, multiple sclerosis, Relapsing
polychondritis, Sjogren’s syndrome, Systemic lupus erythematosus, Systemic
vasculitis, Granulomatous angiitis of the central nervous, Vogt-Koyanagi-Harada
syndrome, AIDS, Blau syndrome.

38
Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotopobia, lakrimasi, rasa
sakit, dan penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya unilateral, disertai dengan
adanya flare dan sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion.
Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan factor penyebab.

Diagnosis banding uveitis anterior antara lain adalah konjungtivitis, keratitis


atau keratokonjungtivitis, dan glaucoma akut.

Tujuan terapi uveitis anterior antara lain adalah mengembalikan tajam


penglihatan, mengurangi rasa nyeri di mata, mengeliminasi peradangan atau
penyebab peradangan, mencegah terjadinya sinekia iris, mengendalikan tekanan
intraocular. Prinsip pengobatan uveitis anatar lain adalah menekan peradangan,
mengeliminir agen penyebab, menghindari efek samping obat yang merugikan pada
mata dan organ tubuh di luar mata. Terapi uveitis anterior terdiri dari terapi non
spesifik dan terapi spesifik. Terapi non spesifik menggunakan obat-obat midriatik-
sikloplegik, kortikosteroid dan immunosupresan. Sedangkan terapi spesifik
didasarkan pada penyebabnya.

Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain adalah katarak,
glaucoma, band keratophaty, dan cystoid macular edema.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Sitompul, R. (2016). Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya


Mencegah Kebutaan. eJKI Vol. 4, No. 1, April 2016. Jakarta
2. Hartono, Y.R.H, Utomo PT, Hernowo AS. (2007). Ilmu Kesehatan Mata.
Edisi Pertama. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
3. Ilyas, S. (2007). Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta
4. Septadina I. (2015) Perubahan Anatomi Mata Pada Penderita Diabetes
Melitus. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
5. Vaughan DG. Anatomi & Embriologi Mata: Oftalmologi Umum (General
Ophtalmology), Edisi 14. Widya Medica. Jakarta.
6. Sari, K.A.D. Susila, N.K.N. Budhiastra, P. (2019) Karakteristik Pasien Uveitis
Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Periode Maret 2016 Sampai
Desember 2016. Jurnal Medika Udayana, Vol. 8 No.8,Agustus, 2019.
Denpasar.
7. Agrawal Rupesh, Murthy, Sangwan. Current Approach in Diagnosis and
Management of Anterior Uveitis. Indian J Ophthalmol. 2010.58(1): P. 11-9.
Available in http://www.ijo.in/temp/IndianJOphthalmol58111-
2910342_080503.pdf
8. N Monalisa Muchatuta. Iritis and Uveitis. Medscape. 2017. Available in
https://emedicine.medscape.com/article/798323-overview#a6

40

Anda mungkin juga menyukai