Anda di halaman 1dari 26

TEORI SINYAL DALAM MANAJEMEN KEUANGAN

NUNUNG ARIFAH
NIM : 43217110020

MATA KULIAH TEORI AKUNTANSI


PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI BISNIS
UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA 2020
2

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Teori sinyal menyatakan bahwa manajer (agen) atau perusahaan secara kualitatif
memiliki kelebihan informasi dibandingkan dengan pihak luar dan mereka menggunakan
ukuran-ukuran atau fasilitas tertentu menyiratkan kualitas perusahaannya. Setidaknya ada
empat jenis teori sinyal yang dikenal dalam literatur keuangan, yaitu model sinyal pilihan
maturitas utang, model sinyal investasi perusahaan, model sinyal struktur keuangan, dan
model sinyal dividen. Masing-masing model memiliki konsekuensi sendiri-sendiri baik
bagi manajer (agen) maupun pemegang saham (investor) atau pemegang surat utang.
Pemegang saham atau investor harus menggunakan segala pemahaman yang dimiliki
untuk menduga kemungkinan sinyal-sinyal yang diisyaratkan oleh manajer. Jika
pemegang saham atau investor tidak mencoba mencari informasi terkait dengan sinyal,
mereka tidak akan mampu mengambil manfaat. Jadi, setiap sinyal yang berpotensi
mempengaruhi nilai perusahaan harus dicermati secara seksama.

Teori sinyal atau signaling theory didasarkan pada asumsi bahwa informasi yang
diterima oleh masing-masing pihak tidak sama. Teori ini berkaitan dengan asimetri
informasi yang mana menunjukkan adanya asimetri informasi antara manajemen
perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan informasi. Untuk itu
manajer perlu memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan melalui
pernerbitan laporan keuangan.
3

1.2 RUMUSAN MASALAH

Agar penulisan lebih terarah dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka penulis
perlu menuliskan rumusan masalah yang akan dibahas pada penyusunan tugas paper atau
makalah ini. Adapun masalah yang akan dibahas, dirumuskan yaitu:
1. Apakah pengertian teori sinyal
2. Bagaimana peran pentingnya teori sinyal
3. Apa saja jenis-jenis model sinyal
4. Apa saja isu-isu penting lain terkait sinyal

1.3 TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut
1. Untuk mengetahui apa pengertian teori sinyal
2. Untuk mengetahui bagaimana peran pentingnya teori sinyal
3. Untuk mengetahui jenis-jenis model sinyal
4. Untuk mengetahui isu-isu penting lain terkait sinyal
4

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 PENGERTIAN TEORI SINYAL

Teori signal atau signaling theory didasarkan pada asumsi bahwa informasi yang diterima
oleh masing-masing pihak tidak sama. Teori ini berkaitan dengan asimetri informasi yang
mana menunjukkan adanya asimetri informasi antara manajemen perusahaan dengan
pihakpihak- uang berkepentingan dengan informasi. Untuk itu manajer perlu memberikan
informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan melalui pernerbitan laporan keuangan.
Teori signal ini pertama kali dikembangkan oleh Ross tahun 1977. Dalam membangun
teori signal berdasarkan adanya inforamasi assimetris anatara informasi dari manajemen
(well- informed) dan informasi dari pemegang saham (poo informed). Teori ini
berdasarkan pemikiran bawah manajemen akan memberikan informasi kepada investor
atau pemegang saham ketika mendapatkan informasi yang baik yang berkaitan dengan
perusahaan seperti peningkatan nilai perusahaan. Akan tetapi investor tidak mempercayai
informasi tersebut karena para manajener merupakan interest parti. Sehingga perusahaan
yang memiliki nilai tinggi akan melakukan signaling pada kebijakan keuangan
perusahaan sehingga tidak sama dengan perusahaan yang memiliki nilai rendah. Signal
adalah proses yang memakan biaya berupa deadweight costing yang bertujuan untuk
menyakinkan investor tentang nilai perusahaan. Signal yang baik adalah yang tidak dapat
ditiru oleh perusahaan lain yang memiliki nilai rendah karena faktor biaya.

Menurut para ahli teori signal (signalling theory) adalah sebagai berikut:
 T. C. Melewar (2008 : 100) menyatakan teori signal menunjukkan bahwa perusahaan
akan memberikan sinyal melalui tindakan dan komunikasi. Perusahaan ini mengadopsi
sinyal-sinyal ini untuk mengungkapkan atribut yang tersembunyi untuk para yang
berkepentingan.
5

 Eugena F. Brigham dan Joel F. Houston (2009 : 444) menyatakan teori sinyal adalah
teori yang mengatakan bahwa investor menganggap perubahan deviden sebagai sinyal
dari perkiraan pendapatan menajemen.
 S. Scott Besley dan Eugene F. Brigham (2008 : 517), Sinyal adalah sebuah tindakan
yang diambil oleh manajemen perusahaan yang memberikan petunjuk kepada investor
tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan.
 Menurut Jama’an (2008) teori signal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya
sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini
berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemn untuk
merealisasikan keinginan pemilik.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa teori sinyal (signaling theory)
membahas bagaimana seharusnya sinyal-sinyal (informasi) keberhasilan dan kegagalan
manajemen disampaikan kepada pemilik. Sinyal-sinyal (informasi) tersebut dapat
diberikan melalui laporan keuangan perusahaan. Manajer memberikan informasi melalui
laporan keuangan bahwa mereka menerpakan kebijakan akuntansi konservatisme yang
menghasilkan laba yang berkualitas. Kebijakan akuntansi tersebut merupakan prinsip
yang mencegah perusahaan melakukan tindakan membesar-besarkan laba dan membantu
pengguna laporan keuangan dengan menyajikan laba dan aktiva yang tidak overstate.

Teori sinyal (signaling theory) merupakan salah satu teori pilar dalam memahami
manajemen keuangan. Secara umum, sinyal diartikan sebagai isyarat yang dilakukan oleh
perusahaan (manajer) kepada pihak luar (investor). Sinyal tersebut dapat berwujud
berbagai bentuk, baik yang secara langsung dapat diamati maupun yang harus dilakukan
penelaahan lebih mendalam untuk dapat mengetahuinya. Artinya, sinyal yang dipilih
harus mengandung kekuatan informasi (information content) untuk dapat merubah
penilaian pihak eksternal perusahaan.
Secara umum, teori sinyal berkaitan dengan pemahaman tentang bagaimana suatu
sinyal sangat bernilai atau bermanfaat sementara sinyal yang lain tidak berguna. Teori
sinyal mencermati bagaimana sinyal berkaitan dengan kualitas yang dicerminkan di
6

dalamnya dan elemen-elemen apa saja dari sinyal atau komunitas sekitarnya yang
membuat sinyal tersebut tetap meyakinkan dan menarik. Selain itu, teori ini juga
mencermati apa yang akan terjadi manakala sinyal yang diisyaratkan tidak sepenuhnya
meyakinkan atau seberapa besar yang ketidakyakinan yang dapat ditoleransi sebelum
sinyal tersebut menjadi tidak bermakna sama sekali.

Penyinalan muncul dalam suatu lingkungan yang kompetitif. Hasrat dari pengirim
sinyal dan penerima sinyal seringkali sesuai, tetapi ada kalanya tidak sesuai sama sekali.
Ada kalanya persaingan agresif dan dilakukan terbuka tanpa upaya untuk
mengungkapkan, sebagaimana dapat dianalogikan seperti buruan dan pemburunya.
Buruan yang potensial dapat menyiratkan dirinya dengan tampilan yang penuh racun atau
mereka dapat lari cepat menghindar lalu kembali melakukan serangan membabi buta.
Pesaing yang potensial mungkin dapat memberi sinyal berupa kekuatan yang dimiliki ke
pesaing yang lain, jika pesaing tidak setara, pesaing yang lebih lemah tidak melakukan
apa-apa atau melakukan pertarungan sesungguhnya yang tentunya akan sangat mahal
biayanya bagi semuanya, atau menghindari persaingan sama sekali. Kadangkala
persaingan berupa adu cerdik, khususnya manakala perusahaan yang bersaing adalah
setara. Suatu sinyal merupakan aksi yang dapat dirasakan atau struktur yang dimaksudkan
untuk atau sudah berevolusi untuk mengindikasikan sesuatu yang sulit ditebak atau sulit
diduga tentang kualitas pemberi sinyal lingkungan pemberi sinyal. Dalam hal ini tujuan
sinyal adalah mengindikasikan kualitas tertentu. Artinya, sinyal diisyaratkan dengan
maksud untuk dinilai berbeda dengan pesaing atau lawan.

Dalam literatur ekonomi dan keuangan, teori sinyal dimaksudkan untuk secara
eksplisit mengungkapkan bukti bahwa pihak-pihak di dalam lingkungan perusahaan
(corporate insiders, yang terdiri atas officers dan directors) umumnya memiliki informasi
yang lebih bagus tentang kondisi perusahaan dan prospek masa depan dibandingkan
dengan pihak luar, misalnya investor, kreditor, atau pemerintah, bahkan pemegang
saham. Dengan kata lain, pihak perusahaan mempunyai kelebihan penguasaan informasi
daripada pihak luar yang memiliki kepentingan dengan perusahaan. Kondisi dimana satu
7

pihak memiliki kelebihan informasi sementara pihak lain tidak dalam teori keuangan
disebut dengan ketimpangan informasi (information asymmetry).

Dalam kondisi adanya ketimpangan informasi ini, maka sangat sulit bagi investor
untuk dapat secara objektif membedakan antara perusahaan yang berkualitas bagus (high
quality firms) dan yang berkualitas jelek (low quality firms). Sementara itu, baik manajer
perusahaan yang ‘bagus’ maupun yang ‘jelek’ akan mengklaim memiliki pertumbuhan
yang menakjubkan (mengesankan) atau secara implisit menyiratkan bahwa perusahaan
yang mereka kelola berkualitas bagus. Seringkali manajer juga mengklaim memiliki
prospek perolehan laba (profitability prospects) yang menarik. Seiring dengan berlalunya
waktu yang mampu untuk membuktikan mana yang memang bagus, perusahaan yang
memiliki kualitas rendah akan mendapatkan keuntungan dengan membuat klaim-klaim
yang tidak benar bilamana investor mempercayai klaim-klaim tersebut. Artinya,
perusahaan yang sebenarnya tidak berkualitas bagus memperoleh manfaat dengan
menyiratkan aksi atau tindakan tertentu.

Awalnya, teori sinyal diarahkan untuk menjelaskan masalah ketimpangan


informasi di pasar tenaga kerja (labor markets). Dalam perkembangannya, teori sinyal
diterapkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan hal-hal yang secara
khusus melekat di dalam perusahaan. Model-model teori sinyal dikembangkan dan
diupayakan untuk mampu menjawab beberapa pertanyaan pokok terkait dengan kebijakan
perusahaan, misalnya kebijakan dividen (Spence, 1973), keputusan struktur modal
(capital structure) (Ross, 1977), penyajian atau pengungkapan informasi secara sukarela
(voluntary disclosures) (Ross, 1979), penahanan kepemilikan manajerial dalam
penawaran saham perdana (initial public offerings) (Leland dan Pyle, 1977; dan Downes
dan Heinkel, 1982), akuntansi nilai sekarang (current value accounting) (Forker, 1984),
dan seleksi sukarela auditor (Bar-Yosef dan Livnat, 1984). Artinya, teori sinyal
dikembangkan ke dalam berbagai aplikasi di dalam perusahaan.
Keberadaan masalah ketimpangan informasi ini, bagaimanapun juga telah
membuat investor memberikan penilaian yang rendah pada semua perusahaan. Artinya,
dibayangi oleh adanya keraguan atas kualitas perusahaan yang sebenarnya dan adanya
8

kesamaan anggapan bahwa perusahaan pada umumnya kurang bagus, maka akan
memunculkan anggapan umum bahwa semua perusahaan pada umumnya adalah jelek
atau tidak baik. Dalam bahasa teori sinyal (signaling theory), hal ini disebut dengan
istilah keseimbangan mengumpul (“pooling equilibrium”). Dalam hal ini, baik
perusahaan yang bagus maupun yang tidak bagus ditempatkan pada penilaian yang sama.
Artinya, semua perusahaan dianggap tidak bagus.

Manajer perusahaan yang bagus memiliki keinginan (insentif) untuk


bagaimanapun juga meyakinkan investor bahwa perusahaan mereka harus dinilai lebih
bagus berdasarkan pada apa yang diketahui oleh manajer bahwa prospek perusahaan
memang bagus. Mereka tentu berharap bahwa jika memang bagus, pasar tentu akan
beranggapan kalau perusahaan tersebut memang dinilai lebih bagus.

2.2 ARTI PENTING TEORI SINYAL

Akerlof (1970) menyajikan suatu ilustrasi yang sederhana tetapi kaya makna atas
pentingnya sinyal untuk membedakan kualitas yang bagus atas suatu perusahaan
dibandingkan dengan perusahaan lain. Perusahaan yang secara kualitas memang lebih
bagus dituntut untuk kreatif dan berani menggunakan sinyal-sinyal tertentu yang
menyiratkan bahwa diri mereka memang bagus dan tidak dapat disamakan dengan
perusahaan lain yang tidak bagus. Salah satu metode yang dapat dilakukan oleh manajer
adalah dengan menerapkan sebuah sinyal (signal) yang bisa jadi cukup mahal dan masih
dapat dilakukan (affordable), oleh perusahaan mereka, tetapi akan sangat susah dilakukan
atau ditiru oleh perusahaan yang berkualitas rendah karena memang terlalu mahal bagi
mereka. Salah satu metode yang paling efektif dan bermanfaat adalah pemberian dividen
dalam jumlah besar (high dividend pay-out).
Strategi pembagian dividen dalam jumlah besar ini bisa jadi sangat mahal bagi
perusahaan untuk diterapkan karena dapat mengurangi kemampuan perusahaan dalam
memenuhi rencana pengeluaran (anggaran) modalnya yang akan dapat lebih
menguntungkan bilamana perusahaan tidak melakukan kebijakan pemberian dividen
9

dalam jumlah besar. Tetapi hal ini tidak menjadi masalah karena perusahaan masih
mampu untuk mendapatkan keuntungan guna mendanai kebutuhan investasi dan
memberikan penerimaan tunai kepada investor.

Di sisi lain, sinyal dalam bentuk jumlah dividen yang besar mungkin akan sangat
mahal bagi perusahaan yang kualitasnya kurang bagus (jelek) untuk ditiru bilamana
mereka harus mengorbankan kesempatan untuk berinvestasi dengan membayar dividen
dalam jumlah besar. Dana yang dikeluarkan untuk meniru aksi perusahaan besar sangat
mungkin dalam jangka panjang akan memberatkan perusahaan karena akan mengerogoti
cadangan keuangan (reserve). Jika harus tetap mengikuti apa yang dilakukan oleh
perusahaan yang bagus dan besar, maka perusahaan yang berkualitas kurang bagus dan
biasanya cenderung menjadi pengikut, harus mengorbankan aktivitas yang membutuhkan
dana karena dana yang tersedia harus diwujudkan dalam bentuk dividen tunai. Hal ini
tentu sebuah keputusan yang sangat berat dan sulit dilakukan oleh perusahaan dengan
kualitas kurang bagus yang kebanyakan masih membutuhkan banyak dana guna
mendukung pertumbuhannya.

Dengan anggapan bahwa investor memahami kondisi ini, maka investor akan
tetap menilai perusahaan bagus, yaitu perusahaan yang mampu membayar dividen dalam
jumlah besar, dengan nilai yang baik dan menilai perusahaan yang kurang bagus dengan
benar, karena tidak mampu membayar dividen dalam jumlah besar. Oleh karena itu,
investor dikatakan mampu atau memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang
bagus dan mana yang tidak bagus. Kondisi ini melahirkan situasi yang disebut
keseimbangan pemisahan (“separating equilibrium”). Artinya, perusahaan harus mampu
memisahkan diri dari lingkungan yang telah menganggap bahwa perusahaan masuk
dalam kelompok perusahaan kurang bagus (jelek).
Konsep separating equilibrium seringkali diterapkan pada perusahaan yang
mengalami undervalued daripada perusahaan yang overvalued. Perusahaan kurang bagus
sering diidentikkan dengan overvalued, sementara perusahaan baik diidentikkan dengan
undervalued. Motivasi yang mendorong perusahaan undervalued untuk memisahkan diri
dari perusahaan overvalued adalah karena perusahaan tidak mau dianggap jelek padahal
10

sebenarnya perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bagus. Menurut konsep teori
sinyal, perusahaan yang undervalued dapat memisahkan diri dengan memberi sinyal yang
mahal ke pasar modal dimana perusahaan yang overvalued tidak mampu menirunya.
Perusahaan undervalued dapat menggunakan sarana “cheap talk” dimana perusahaan
overvalued tidak akan meniru karena tidak ada manfaat jika ada informasi yang terungkap
sebagai konsekuensi dari aktivitas “cheap talk” tadi. Cheap talk sendiri diartikan sebagai
bentuk pengungkapan sinyal tanpa harus bersusah payah, misalnya dengan
menyampaikan rencana penebritan saham.

Sinyal yang diisyaratkan oleh perusahaan dapat berbentuk sinyal mahal (costly
signaling) atau sinyal murah (costless signaling). Menurut literatur sinyal mahal (Spence,
1973), jika biaya sinyal lebih tinggi bagi perusahaan yang berciri jelek daripada
perusahaan yang berciri bagus, maka perusahaan yang berciri jelek tidak akan menirunya.
Untuk itu, sinyal yang ditunjukkan harus sangat berarti (credible) dan tidak mudah ditiru.
Ross (1977) menunjukkan bagaimana utang dapat digunakan sebagai sinyal mahal untuk
membedakan perusahaan yang undervalued dari yang overvalued. Menurut konsep sinyal
murah (Crawford dan Sobel, 1982), perusahaan dapat menggunakan pesan yang tidak
mengikat dan tidak perlu diverifikasi. Salah satu sinyal yang termasuk sinyal murah
adalah rencana pembelian kembali saham (stock repurchase). Namun demikian, Hertzel
dan Jain (1991) menjelaskan bahwa pembelian kembali saham juga dapat menjadi sinyal
mahal. Brennan dan Hughes (1991) membuat model tentang bagaimana perusahaan yang
undervalued menggunakan stock split yang dianggap sebagai sinyal murah yang diyakini
dapat memotivasi broker untuk menyajikan laporan yang menarik tentang perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Huang et al. (2007) tidak menemukan bukti bahwa stock
split merupakan sinyal untuk kemampulabaan di masa mendatang yang kuat.
Berdasarkan uraian di atas, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa sebuah
sinyal (signal) harus memiliki dua syarat untuk dapat berguna di pasar yang
dikarakterisasi oleh adanya ketimpangan informasi. Pertama, sinyal tersebut harus ‘sangat
mahal’ bagi perusahaan yang melakukannya, dalam arti bahwa perusahaan tidak akan
menerapkannya kecuali sinyal tersebut dimaksudkan untuk memberikan ‘informasi’
kepada investor. Artinya, sinyal yang dipilih atau diterapkan harus merupakan proyek
11

ber-NPV negatif yang anggap saja membakar atau membuang-buang uang (burn money).
Kedua, sinyal yang dipilih harus lebih sangat mahal bagi perusahaan yang lebih lemah
(jelek) dibandingkan dengan perusahaan yang lebih bagus (baik).

Selain dalam bentuk pembayaran dividen, sinyal lain yang mungkin akan terasa
sangat mahal bagi perusahaan yang jelek untuk ditiru telah diajukan dalam penerapan
teori sinyal. Leland dan Pyle (1977) membuat model yang menunjukkan bagaimana
pengusaha yang sedang mencari pembiayaan dari luar untuk investasi proyeknya dapat
menunjukkan bahwa proyek dimaksud memiliki nilai yang tinggi (high value) dengan
menahan kepemilikan (retaining the proportion of ownership) atas proyek tersebut.
Dalam hal ini pemilik perusahaan menggunakan tingkat kepemilikan saham, yaitu dengan
menahan porsi saham lebih besar (higher retained ownership). Bukti-bukti empiris
mendukung teori ini dengan temuan bahwa semakin tinggi bagian saham yang ditahan
oleh pemilik lama pada perusahaan yang akan go public, semakin tinggi nilai perusahaan.
Hasil penelitian Downes dan Heinkel (1982) dan Grinbalt dan Hwang (1989) mendukung
teori Leland dan Pyle (1977).

Adapun contoh lain dari suatu sinyal adalah penggunaan utang dalam struktur
modal (capital structure) perusahaan. Dalam situasi ini, perusahaan meningkatkan beban
utangnya. Dalam skenario ini perusahaan yang berani meningkatkan beban utangnya
diyakini memiliki kemampuan untuk membayar kembali utangnya, karena hanya
perusahaan yang prospektif yang berani mengambil risiko untuk meningkatkan beban
utangnya. Investor akan menilai dan menghargai lebih bagus perusahaan yang memiliki
beban utang tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang berutang rendah. Tentu saja
dalam hal ini perusahaan dimaksud haruslah perusahaan yang sudah mapan.
Model-model sinyal yang berkembang sejauh ini memang cukup menarik untuk
dipelajari, karena kemampuannya dalam memprediksi cenderung manghasilkan sesuatu
yang masuk akal bahkan bagi orang awan sekalipun. Tentu saja perlakuan yang sama
tidak dapat diterapkan pada paper awal yang membahas model sinyal yang banyak dihiasi
oleh pendekatan matematis yang rumit untuk dipahami oleh orang biasa. Sayangnya, bagi
para pendukung model ini, kemampuan empiris model ini belum begitu dapat diandalkan
12

karena biasanya teori sinyal memprediksi sesuatu yang berlawanan dengan apa yang
kenyataannya ditemui dalam perilaku perusahaan. Misalnya, model sinyal biasanya
memprediksi bahwa perusahaan yang paling menguntungkan dan paling menjanjikan
(dalam hal prospek pertumbuhan) akan juga membayar dividen dalam jumlah besar dan
akan memiliki rasio utang terhadap modal sangat tinggi.

Dalam praktik nyata, sayangnya, perusahaan teknologi yang tumbuh cepat


cenderung sama sekali tidak membayar dividen sementara perusahaan dalam industri
yang stabil biasanya membayar dividen atas hampir semua labanya. Misalnya, sektor
biotechnology atau penerbangan yang tidak pernah membayar dividen atau sektor minyak
dan gas yang membagi dividen sampai tiga perempat dari laba bersihnya. Hal yang sama
juga ditemui dalam kaitannya dengan struktur modal. Rasio utang yang sebenarnya
cenderung berhubungan terbalik dengan tingkat pertumbuhan industri dan keuntungan. Di
samping masalah-masalah tersebut, model sinyal masih tetap merupakan alat yang
bernilai dalam teori keuangan, baik itu karena model-model awal sudah dimodifikasi
untuk secara lebih akurat mencerminkan realitas atau karena kemampuan prediksi model-
model tersebut di bidang selain kebijakan dividen dan struktur modal telah terbukti lebih
masuk akal dan kuat.

BAB 3

PEMBAHASAN
13

3.1 JENIS-JENIS MODEL SINYAL

Megginson (1996) merangkum bahwa setidaknya ada empat pilar utama model sinyal
yang dikenal dalam literatur keuangan. Keempat model dimaksud adalah (1) Model sinyal
berbasis masa jatuh temponya utang (signaling models of debt maturity choice), (2)
Model sinyal berbasis investasi korporasi (signaling models of corporate investment), (3)
Model sinyal struktur keuangan (signaling models of financial structure), dan (4) Model
sinyal dividen (dividend signaling model). Berikut ini adalah ulasan masing-masing jenis
model sinyal dimaksud.

3.1.1 Model Sinyal Berbasis Masa Jatuh Temponya Utang

Menurut model sinyal berbasis masa jatuh temponya utang manajer akan memilih
lama atau pendeknya masa pembayaran atau jatuh tempo (maturity date) utang sebagai
salah satu sinyal yang dapat menunjukkan bagus tidaknya suatu perusahaan. Manajer
melakukan hal ini karena didorong oleh adanya ketimpangan informasi antara mereka dan
investor (pihak luar). Pada model sinyal atas struktur jatuh temponya utang, sinyal
ditunjukkan manakala perusahaan memiliki informasi privat tentang rating kredit di masa
mendatang (Flannery, 1986) dan penawaran tender (tender offer) pada saat perusahaan
yang menawar memiliki informasi privat tentang sinergi yang akan diperoleh (Hirchleifer
dan Titman, 1990). Brennan (1990) dan Stem (1988) telah juga menunjukkan bahwa
pertimbangan sinyal mungkin mempengaruhi bukan saja keputusan keuangan tetapi juga
keputusan investasi riil, yaitu pada saat manajer memiliki kepentingan terhadap tingkat
harga saat ini.
Dukungan atas model ini dilaporkan oleh Flannery (1986). Flannery mengajukan
suatu model klasik yang berbendapat atau beragumen bahwa perusahaan yang bagus akan
memilih mengeluarkan utang berjangka pendek dibandingkan dengan perusahaan yang
relatif kurang bagus. Dengan mengeluarkan utang berjangka pendek, manajer perusahaan
yang bagus menempatkan perusahaannya pada tingkat risiko yang tinggi, yaitu mereka
dituntut untuk dapat dengan segera memenuhi kewajibannya, apalagi bila setelah
14

beberapa waktu investor dapat mengetahui kinerja atau hal-hal sensitif perusahaan.
Sementara itu, mengingat kondisi perusahaan yang sudah bagus dan pertimbangan yang
matang, manajer perusahaan yang bagus tidak kuatir akan kemampuan untuk dapat
membayar kewajibannya itu. Oleh karena itu, manajer perusahaan yang kurang bagus
akan berfikir ulang untuk mengambil risiko dengan mencontoh apa yang dilakukan oleh
manajer perusahaan yang bagus.

Manajer perusahaan yang kurang bagus akan cenderung untuk memilih


mengeluarkan obligasi berjangka panjang yang tidak terbebas dari kemungkinan adanya
negosiasi ulang atas persyaratan obligasi. Selanjutnya, Flannery (1986), dengan
menggunakan alibi bahwa pengeluaran sekuritas merupakan alternatif yang mahal,
menemukan bahwa separating equilibrium akan muncul dengan mana perusahaan yang
bagus akan mengeluarkan utang jangka pendek (yang sahamnya cenderung akan
mendapatkan apresiasi di pasar modal), sementara perusahaan yang kurang bagus akan
mengeluarkan utang berjangka panjang. Implikasi dari model yang diajukan oleh
Flannery adalah jika pengeluaran sekuritas secara ekonomis tidak mahal, maka pooling
equilibrium akan terjadi dimana investor tidak mampu untuk membedakan mana
perusahaan yang bagus dan mana yang kurang bagus. Sementara itu, Diamonds (1991,
1993) mengajukan model ketimpangan informasi berbasis pilihan struktur kedewasaan
(jatuh tempo). Dalam tulisannya, tentang pilihan struktur kedewasaan utang, Diamonds
(1991) menggunakan model keseimbangan antara keinginan peminjam (borrowers) untuk
mengeluarkan utang jangka pendek (berkenaan dengan informasi privat tentang prospek
cerah perusahaan) dan risiko likuiditas (liquidity risk) yang melekat apabila peminjam
menggunakan pinjaman jangka pendek. Risiko likuiditas diartikan sebagai risiko pada
mana peminjam akan kehilangan manfaat dari kendali sewa (control rents) yang tidak
diperhitungkan dalam suatu kondisi dimana penyandang dana tidak berkenan untuk
mendanai ulang bilamana berita-berita kurang menarik muncul. Kendali sewa diartikan
sebagai manfaat keuangan dan non-keuangan yang diperoleh manajer dan yang tidak
dapat didistribusikan kepada pemegang sekuritas. Dalam model ini, Diamonds
menyatakan bahwa perusahaan berkinerja sangat baik akan memilih untuk mengeluarkan
utang jangka pendek, adapun perusahaan yang berkinerja sangat buruk tidak memiliki
15

alternatif selain meminjam utang jangka pendek, dan perusahaan berkinerja menengah
akan mengeluarkan utang jangka panjang. Bentuk tiga kemungkinan ini merupakan sisi
menarik model teoritis yang dikembangkan oleh Diamonds.

Dalam artikelnya yang lain, Diamonds (1993) membuat model yang menjelaskan
bagaimana peminjam dengan informasi privat tentang prospek kreditnya memilih
kedewasaan dan senioritas suatu jenis utang. Penggunaan utang berjangka pendek sekali
lagi meningkatkan risiko likuiditas bagi manajer perusahaan dan juga meningkatkan
sensitivitas biaya-biaya pendanaan atas informasi baru. Oleh karena itu, hanya
perusahaan-perusahaan besar dan mapan yang akan menggunakan pendanaan utang
jangka pendek. Model yang dikembangkan oleh Diamonds memprediksi bahwa utang
jangka pendek akan lebih senior daripada utang jangka panjang, dan keberadaan utang
jangka panjang akan memungkinkan untuk pengeluaran tambahan utang senior selama
strategi tersebut akan meningkatkan sensitivitas biaya-biaya pendanaan atas informasi
baru untuk suatu derajat proteksi tertentu pada kendali manajer.

Goswani, Noe, dan Rebello (1995) mengembangkan model lain. Dalam model ini,
pilihan struktur kedewasaan merupakan suatu fungsi dari distribusi temporal ketimpangan
informasi. Misalnya, apabila ketimpangan informasi benar-benar dikaitkan dengan
ketidakpastian berkenaan dengan aliran kas jangka panjang, maka perusahaan akan
memilih untuk mengeluarkan utang jangka panjang, misalnya utang berbasis pembayaran
kupon yang secara parsial membatasi atau mengurangi porsi untuk pembayaran dividen.
Di sisi lain, jika ketimpangan informasi secara acak terdistribusikan antara utang jangka
pendek dan jangka panjang, maka perusahaan akan cenderung untuk menggunakan
pinjaman jangka pendek. Selanjutnya, Goswani et al. mampu untuk menjelaskan
popularitas baik itu utang jangka pendek maupun utang jangka panjang, termasuk juga
keberadaan pembatasan dividen dan obligasi berbasis pembayaran dividen. Implikasi lain
dari model yang dikembangkan oleh Goswani et al. adalah tidak adanya keharusan untuk
berbenturan dengan ketidaksempurnaan pasar (market imperfections) dan biaya-biaya
keagenan (agency costs). Artinya, model tersebut tidak memerlukan batasan-batasan yang
ketat tentang tingkat kesempurnaan pasar dan juga keberadaan biaya-biaya keagenan
16

sebagai salah satu pembatas yang dalam banyak hal dapat mempengaruhi keabsahan dari
suatu model.

3.1.2 Model Sinyal Investasi Korporasi

Investasi modal dapat dijadikan sebagai suatu model untuk menunjukkan tingkat
keuntungan perusahaan (firm’s profitability) kepada investor di pasar yang dikarakterisasi
oleh ketimpangan informasi. Dalam hal ini manajer perusahaan yang bagus dapat
memilih atau menetapkan untuk melakukan pengeluaran dana yang besar untuk investasi
yang tidak dapat dengan mudah ditiru oleh perusahaan yang kurang bagus. Manajer
perusahaan yang bagus bisa jadi mengorbankan keuntungan dengan harapan bahwa
mereka mampu membedakan keunggulannya kepada investor.

Beberapa peneliti mencoba menguji atau meneliti kebenaran teori ini. John dan
Nachman (1985), Miller dan Rock (1985) dan Ambarish, John, dan Williams (1987)
mengembangkan suatu model dimana tingkat (level) pengeluaran investasi yang dipilih
oleh manajemen merupakan sinyal yang efektif mengenai tingkat aliran kas perusahaan
(firm’s cah flow). Sinyal tersebut dikatakan efektif bilamana sinyal dimaksud tidak dapat
ditiru dengan mudah oleh perusahaan yang kurang lemah tanpa mengorbankan cadangan
uangnya (cash reserve). Dalam skenario ini, peningkatan investasi menunjukkan berita
bagus kepada investor sementara penurunan investasi merupakan berita yang kurang
bagus bagi investor. Akibatnya, hanya perusahaan-perusahaan yang relatif lebih berani
mengeluarkan dana tinggi untuk investasi akan lebih dinilai bagus oleh investor.
Sedangkan perusahaan yang tidak mampu mengeluarkan dana untuk investasi akan
kurang mendapatkan respon baik di mata investor.
Umumnya manajer memiliki dorongan untuk melampirkan informasi yang lebih
banyak manakala perusahaan memiliki prospek laba atau peluang pertumbuhan lebih
bagus di masa mendatang. Dalam konteks ini, investor disisi lain akan cenderung
meminta informasi lebih banyak agar mampu menilai perusahaan. Sejumlah penelitian
mencoba untuk menguji apakah peluang pertumbuhan perusahaan di masa mendatang
menjadi alasan untuk mengungkapkan sinyal-sinyal tertentu. Misalnya, Gul (1999)
17

menggunakan observasi berbasis longitudinal pada saham-saham di Shanghai tahun


1990-1995 untuk menguji hubungan antara tingkat kepemilikan saham oleh pemerintah,
peluang pertumbuhan perusahaan yang diukur dengan IOS dan keputusan kebijakan
perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan dividen dan pendanaan
dengan sumber utang dipengaruhi oleh tingkat kepemilikan saham oleh pemerintah
dengan koefisien positif, sedangkan IOS berpengaruh negatif.

Hossain et al (2005) menguji hubungan antara tingkat disklosur atas informasi


harapan dan peluang investasi (IOS) pada perusahaan di Selandia Baru. Mereka
menemukan bukti bahwa tingkat disklosur informasi berhubungan positif dengan IOS.
Sementara IOS sendiri dipengaruhi oleh investasi perusahaan pada aset tetap dan
kemampulabaannya. Temuan lainnya menunjukkan bahwa tingkat disklosur yang
berkaitan dengan prospek masa depan ditentukan oleh proporsi dewan direksi dari luar.

Bukti empiris yang ditemukan oleh Gul (1999) dan Hossain et al. (2005) secara
eksplisit menyiratkan bahwa perusahaan menggunakan sinyal tertentu untuk
menunjukkan kepada pihak luar atas prospek perusahaan di masa mendatang. Dengan
kata lain, manajer percaya bahwa sinyal peluang pertumbuhan tidak harus dinyatakan
dalam bentuk yang demonstratif melainkan cukup dengan isyarat-isyarat tertentu yang
diyakini bahwa pasar akan memaknai isyarat tersebut secara proporsional.

3.1.3 Model Sinyal Struktur Keuangan

Hipotesis dalam teori model sinyal struktur keuangan (signaling models of


financial structure) masih bermuara pada ketimpangan informasi antara manajer dan
investor (sebagaimana dalam pecking order hypothesis). Dalam model ini ditetapkan
bahwa perusahaan berkualitas bagus akan menggunakan struktur modal dalam upaya
18

untuk membedakan dirinya dari perusahaan yang berkualitas kurang bagus. Sinyal yang
dipilih dalam konteks ini memang cukup berisiko (mahal), yaitu dengan memilih utang
relatif tinggi dalam struktur modalnya. Hanya manajer perusahaan yang dapat mengatasi
kemungkinan kegagalan keuangan (financial distress) yang berani mengambil risiko
memilih sinyal ini. Oleh sebab itu, investor akan menghargai lebih bagus dan investor
memiliki kemampuan untuk membedakan dengan cepat mana perusahaan yang bagus dan
mana yang kurang bagus dari struktur modal suatu perusahaan. Dalam hal ini investor
telah dapat melakukan pemisahan. Dengan kata lain, keseimbangan pemisahan
(separating equilibrium) dapat dicapai. Walaupun model sinyal berbasis struktur modal
cukup menarik, model-model yang ada tidak menjelaskan perilaku struktur modal yang
ada dengan baik.

Selain itu, bagian lain dari literatur keuangan menjelaskan perilaku struktur modal
dari sudut pandang teori permainan (game theory). Dalam hal ini, literatur tersebut
memodelkan industri riil sebagai bentuk oligopoli, yaitu suatu bentuk pasar yang
menggambarkan bahwa beberapa perusahaan memiliki pengaruh yang signifikan di pasar.
Selanjutnya, teori tersebut menguji bagaimana perusahaan dapat menggunakan
keputusan-keputusan struktur modalnya untuk bekerja sama dan berkomunikasi
sesamanya sebagai langkah untuk memaksimalkan keseluruhan keuntungan industri
dimana perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi. Dalam hal ini, rasio leverage dapat
mengkomunikaskan baik itu kemauan untuk bekerja sama ataupun komitmen untuk
menekan perusahaan lain jika perusahaan-perusahaan tersebut mengambil tindakan yang
berbeda.

Sejumlah penelitian telah dilakukan dalam upaya untuk menguji hipotesis ini.
Misalnya, Brander dan Lewis (1986), Maksimovic (1988), dan Maksimovic dan Zechner
(1991) menunjukkan bukti bahwa tingkat leverage perusahaan dapat mengkomunikasikan
baik keinginan untuk bekerja sama (cooperate) atau komitmen untuk menghukum
perusahaan lain bilamana perusahaan yang kurang mampu berani mengambil atau
mencontoh apa yang dilakukan oleh perusahaan yang relatif lebih bagus kualitasnya.
19

Dalam hal ini rasio leverage dapat dijadikan sebagai patokan untuk menilai bagus
tidaknya perusahaan.

3.1.4 Model Sinyal Dividen

Model sinyal dividen (signaling models of dividend) didasarkan pada asumsi


bahwa dividen perlu dibagikan dalam rangka untuk memberikan sinyal tentang adanya
informasi positif (prospek bagus) perusahaan dari pihak internal (manajer) yang diyakini
memiliki kelebihan informasi kepada pemegang saham di pasar yang dicirikan oleh
adanya ketimpangan informasi. Manajemen atau para pengelola perusahaan memiliki
akses dan pengetahuan terhadap informasi lebih bagus dibandingkan dengan pemegang
saham (calon pemegang saham). Perlu dicatat bahwa model sinyal dividen merupakan
salah satu model sinyal yang paling banyak diteliti.

Anggapan umum seakan sepakat bahwa pembagian dividen tunai tidak hanya
diyakini sebagai sesuatu yang mahal bagi manajemen (perusahaan), tetapi juga bagi
pemegang saham. Bagi perusahaan, pembagian dividen tunai merupakan bentuk
pengorbanan manajemen (perusahaan), dimana sebenarnya bila perusahaan memerlukan
dana untuk pengembangan (investasi), laba yang diperoleh tidak harus dalam jumlah
besar dibagikan kepada pemegang saham. Bagi pemegang saham, penerimaan dividen
tunai harus diimbangi dengan pembayaran pajak. Oleh karena itu, hanya perusahaan besar
dan mapan saja yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk mampu membayar dividen
tunai dalam jumlah relatif besar. Artinya, perusahaan tersebut masih memiliki kelebihan
dana untuk keperluan investasi walaupun sebagian keuntungan dari usahanya telah
dibayarkan dalam bentuk dividen tunai kepada pemegang saham.

Bagi perusahaan kecil (small firms) atau perusahaan dengan kondisi keuangan
relatif lemah, dorongan untuk membagi dividen dalam jumlah besar tentunya tidak sama
dengan perusahaan besar. Artinya, perusahaan kecil tidak memiliki dorongan untuk
meniru perusahaan besar dengan membagi dividen karena memang secara finansial masih
belum memungkinkan.
20

Konsekuensi dari skenario tersebut adalah perusahaan besar dan mapan


(established firms) akan dapat membedakan dirinya dari perusahaan yang lebih kecil
secara lebih baik. Jika perusahaan besar mampu melakukan sesuatu dan tidak mampu
ditiru oleh perusahaan lain dan mampu memisahkan diri dari perusahaan di sekitarnya,
maka kondisi ini disebut dengan istilah keseimbangan pemisah (separating equilibrium).
Artinya, perusahaan dengan kemampu-labaan lebih tinggi (dan biasanya perusahaan
tersebut memiliki peluang investasi yang lebih bernilai) akan mampu membayar dividen
dan tidak dapat ditiru oleh perusahaan kecil (lemah) walaupun harus mengorbankan
sebagian usulan investasinya.

Dalam konteks pasar modal yang sempurna, kira-kira bagaimana sebenarnya


peran kebijakan dividen dalam kehidupan perusahaan. Bila kita menyikapi fenomena ini,
mau tidak mau kita harus menoleh kembali ke belakang dan mencermati model relevansi
kebijakan dividen (irrelevance proposition of dividend policy) yang dikembangkan oleh
Miller dan Modligiani (1961), yang kesimpulan akhirnya menyatakan bahwa kebijakan
dividen adalah tidak relevannya. Dalam dunia dimana pasar modalnya adalah sempurna
dan akses terhadap informasi tidak terbatas, kebijakan dividen tidak dapat mempengaruhi
nilai pasar suatu perusahaan. Artinya, nilai perusahaan adalah independen dari kebijakan
dividennya.

Anggapan yang menyatakan bahwa tingkat keuntungan menentukan kemampuan


perusahaan dalam membayar dividen disamping juga kompetensi manajemennya tidaklah
dapat dengan serta merta diterima. Namun demikian, tidak berarti bahwa bila kita
mencoba mencermati ada tidaknya hubungan antara kebijakan dividen dan nilai
perusahaan merupakan upaya yang sia-sia. Setidaknya, jika kita mau meneliti pada
kondisi apa sebenarnya kebijakan dividen mampu mempengaruhi persepsi pemegang
saham (investor) atas suatu perusahaan atau bagaimana seharusnya manajer menetapkan
kebijakan dividen, maka kita akan mendapatkan gambaran yang lebih nyata atas
fenomena tersebut.
21

Bukti empiris tentang kandungan informasi atas pengumuman dividen juga


menawarkan kesempatan tersendiri untuk menjelaskan pembentukan dan pemikiran
pengembangan atas model sinyal. Bhattaracharya (1989) dan John dan William (1985)
mengembangkan model yang menekankan pada kemampu-pajakan dividen, sementara
Miller dan Rock (1985) membuat model yang menekankan pada suatu hubungan antara
dividen dan investasi untuk menyediakan biaya sinyal yang diperlukan. Semua model
yang disebutkan tadi berasumsi secara implisit bahwa orang dalam (insider) yang
memiliki kelebihan informasi (informed insider) menempatkan hubungan positif pada
baik harga saham saat ini maupun masa mendatang.

Li dan Zhao (2008) menguji apakah ketimpangan informasi mempengaruhi


kebijakan dividen. Pengamatan terhadap 22.413 tahun perusahaan selama 1983-2003 di
pasar modal Amerika (NYSE) yang mereka lakukan menunjukkan bahwa perusahaan
yang mengalami ketimpangan informasi cenderung membayar dividen lebih rendah,
cenderung tidak membayar dividen, kurang tertarik untuk menginisiasi dividen, dan
cenderung tidak menaikkan dividen. Secara umum, Li dan Zhao tidak menemukan bukti
kuat bahwa model sinyal dividen terbukti. Analisis terhadap fenomena pembelian
kembali saham (stock repurchase) menunjukkan bahwa teori sinyal dividen juga kurang
terdukung

3.2 ISU-ISU PENTING LAIN

Terlepas dari apa yang disampaikan oleh Miller dan Modligiani (1961) bahwa aksi
manajerial memiliki atau mengandung informasi (information content) kepada pihak luar
(investors atau pihak lain) yang kurang memiliki informasi, model resmi pertama
terhadap fenomena tersebut dikembangkan oleh Leland dan Pyle (1977) dan Ross (1977)
22

dimana mereka menerapkan dan mengembangkan hasil kerja Rothschild dan Stiglitz
(1976) dan Spence (1973). Leland dan Pyle mungkin adalah yang pertama yang
mengungkapkan suatu kejadian atau transaksi tertentu dalam sejarah keuangan.
Sementara Ross adalah yang pertama memberi perhatian terhadap pentingnya fungsi
kompensasi manajerial, walaupun Ross menganggap bahwa fungsi tersebut sebagai
variabel luar.

Dengan menggunakan metode yang saat ini sudah dikenal luas, yaitu metodologi
studi kejadian atau studi peristiwa (event study), Asquith dan Mullins (1986) menemukan
bahwa harga saham cenderung turun (jatuh) pada peristiwa pengumuman pengeluaran
saham (stock issue). Smith (1990) merangkum sejumlah penelitian yang mendukung
anggapan tersebut. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, yaitu “Mengapa
manajer mengambil kebijakan yang kurang menguntungkan bahkan merugikan pemegang
saham?”, yang jelas-jelas tidak populis di mata pemegang saham. Padahal filisofi di balik
kegiatan operasional perusahaan adalah memakmurkan pemegang saham. Myers dan
Majluf (1984) menawarkan penjelasan yang elegan dalam konteks seleksi balikan
(adverse selection). Dalam modelnya, Myers dan Majluf, tidak seperti dalam Leland dan
Pyle (1977) dan Ross (1977), menyatakan bahwa manajer yang memiliki informasi
pribadi (privat) sangat akurat diasumsikan bekerja demi kepentingan pemegang saham
lama.

Logue (1973) mungkin merupakan peneliti pertama yang mengungkap fenomena


underpricing dalam penawaran saham perdana (initial public offering = IPO). Namun
demikian, baru pada tahun 1986 fenomena yang mengarah pada penjelasan perilaku
seleksi balikan yang dialami oleh investor yang tidak terinformasi (tidak memiliki
kelebihan informasi) disampaikan oleh Rock (1986). Teori seleksi balikan di pasar IPO
mendapat dukungan melalui penelitian Koh dan Walter (1989) dan upaya yang paling
baru yang mencoba menjelaskan fenomena underpricing sebagai sinyal kualitas kurang
mendapat dukungan bukti empiris (lihat misalnya hasil laporan Michaely dan Shaw,
1994).
23

Satu catatan penting yang harus diperhatikan adalah model yang dikemukakan
oleh Rock (1986) bisa jadi lebih cocok dan dapat diterapkan pada sistem yang berlaku di
negara Inggris atau negara-negara persemakmuran (commonwealth) yang telah
mengadopsi sistem Inggris sebagai model formal dalam penawaran umum dan kurang
dapat diterapkan dalam konteks sistem yang berlaku di Amerika Serikat. Model lain yang
mencerminkan keberpihakan terhadap sistem penawaran yang berlaku di Amerika Serikat
adalah yang dikemukan oleh Spatt dan Srivastava (1991) yang memberi tekanan insentif
bagi investor potensial untuk mengungkap penilaian mereka yang sebenarnya atau
Welsch (1992) yang melakukan analisis atas konsekuensi dengan melakukan pendekatan
pembeli potensial atas suatu penawaran umum atau penjualan saham baru.

Model Spatt dan Srivastava (1991) dan Welsch (1992) mengasumsikan perilaku
strategik dalam bagian penjamin emisi (underwriter) atau investor dan model-model yang
lain yang semuanya mengarah pada penekanan pentingnya perhatian pada hal-hal penting
berkenaan dengan mekanisme institusional. Benveniste dan Wilhelm (1990) dan
Chowdhury dan Sherman (1994) secara eksplisit melakukan analisis terhadap implikasi
perpedaan aturan institusi pada IPO. Bukti akhir-akhir ini yang mengindikasikan
terjadinya return negatif dalam jangka panjang (long-run overpricing) baik terhadap
penawaran perdana maupun penawaran terbatas (right issue) memberikan peluang untuk
diteliti dan merupakan tantangan bagi para ahli manajemen keuangan.

Karena penerbit saham (sekuritas) baru (issuer of new shares) menghadapi seleksi
balikan, adalah suatu yang alami (biasa) untuk memperhitungkan bagaimana perusahaan
dapat memberikan sinyal tentang kemampuannya dengan pilihan sekuritas dan sarana
lain. Masulis (1980) menemukan bukti bahwa perubahan struktur modal murni yang
dikaitkan dengan pertukaran penawaran (exchange offer) meyebabkan perubahan pada
harga saham. Beberapa peneliti, misalnya Brennan dan Kraus (1987), Constatinides dan
Grundy (1989), dan Heinkel (1982), mengembangkan model sinyal dalam mana sebuah
perusahaan dapat mengungkapkan tipe-tipe sinyal tertentu dengan pilihan terhadap paket
keuangan yang ada.
24

Kenyataan yang dapat dilihat dari model sinyal tersebut di atas mengindikasikan adanya
kekuatan teori tersebut. Sayangnya, model yang ada cenderung kurang memiliki penjelas
karena biasanya model tersebut kurang mampu menghasilkan prediksi di luar yang
seharusnya terjadi (efek samping). Williamson (1994) menyebut kondisi ini sebagai
“naive functionalism”. Khususnya, pada saat suatu model menunjukkan bahwa instrumen
tertentu dapat digunakan sebagai sinyal, umumnya model tersebut tidak mampu
menunjukkan mengapa satu instrumen harus dipilih sedangkan yang lain tidak. Ambarish,
John, dan Williams (1987) menelaah isu ini dengan menganalisis kombinasi sinyal-sinyal
yang dapat menghasilkan keseimbangan pemisah (separating equilbrium) pada biaya
minimum. Sementara hampir semua model sinyal berasumsi bahwa hanya ada satu
paramater atas distribusi relevan yang disinyalkan, Hughes (1986) mengembangkan suatu
model dalam mana baik distribusi rata-rata maupun varian dicerminkan oleh aksi pilihan
orang dalam sendiri.

Selanjutnya, pilihan fungsi tujuan bagi orang dalam yang terinformasi (informed
insider) dalam model sinyal masih merupakan kesepakatan ad hoc dan kadang-kadang
kontroversial. Dybvig dan Zander (1991) mengekspresikan ketidaksetujuannya dengan
menyebut kontrak sub-optimal yang dikenakan oleh manajemen Fiat dan mengajukan
kontrak bagi hasil sederhana yang menghasilkan keputussan investasi efisien dan
memberikan motivasi bagi pengembangan model sinyal lainnya. Tetapi, Pearsons (1994)
menunjukkan bahwa model kontrak Dybvig-Zender tidak konsisten terhadap waktu
dalam hal bahwa akan ada dorongan (insentif) bagi pemegang saham dan manajer untuk
menegosiasi ulang kontrak dengan kondisi-kondisi tertentu.

BAB 4

PENUTUP
25

4.1 KESIMPULAN

Kita telah membahas beberapa model sinyal yang telah diuji kekuatan empirisnya.
Pengujian-pengujian yang ada sejauh ini banyak dilakukan di Negara-negara yang maju,
dalam hal ini adalah Amerika Serikat atau Inggris. Tentu saja masih sangat terbuka
kesempatan untuk menguji hipotesis model teori sinyal pada konteks pasar modal atau
negara yang berbeda. Pengujian ulang selain dimaksudkan untuk menguji validitas
eksternal juga dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana praktik-praktik
penerapan teori sinyal di suatu negara dilakukan oleh manajemen. Pengujian susulan
dapat dilakukan dengan secara langsung menguji variable-variabel yang diteliti oleh
peneliti terdahulu, tetapi dapat juga dengan mengurangi atau menambah jumlah
variabelnya yang disesuaikan dengan kondisi dan keadaan dimana penelitian tersebut
akan dilakukan. Dari aktivitas ini diharapkan akan dapat ditemukan teori baru yang lebih
bagus atau mungkin teori baru yang benar-benar berbeda dengan hipotesis yang sudah
ada.
Dari apa yang tersaji kiranya dapat disimpulkan bahwa sinyal atau hal-hal tertentu
yang ditunjukkan oleh suatu perusahaan (manajer) dapat dijadikan sebagai suatu tanda
akan kualitas suatu perusahaan. Pemilihan suatu sinyal akan sangat mempengaruhi
kinerja suatu perusahaan. Hanya manajer perusahaan yang memiliki kemampuan dan
keyakinan untuk dapat secara eksplisit membedakan bahwa perusahaannya lebih bagus
dibandingkan dengan perusahaan lain yang akan menyiratkan suatu sinyal. Selain itu,
akan sangat mahal dan berisiko bagi perusahaan yang kurang berkualitas untuk
menirunya. Setiap keputusan pemilihan sinyal akan memiliki implikasi langsung terhadap
kinerja keuangan perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA

Gumanti Tatang A. (2018). Teori Sinyal Dalam Manajemen Keuangan. Diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/265554191 Teori Sinyal Dalam Manajemen
Keuangan
26

Ananda Restu. (2015). Diakses dari https://www.scribd.com/doc/266602717/Signaling-


Theory

Anda mungkin juga menyukai