Anda di halaman 1dari 2

Perasaan dalam Konseling 1

Perasaan dalam Konseling

Memperspesikan Perasaan

Komunkasi therapeutik yang kita laksanakan dapat dinilai “menolong” atau “tidak
menolong”. Dikatakan “tidak menolong” apabila konselor mengabaikan atau
menyangkal perasaan klien; bila konselor tidak menyadari atau tidak mengenali apa
yang dirasakan oleh klien dan bagaimana klien merasakannya.
Sebelum merespons, kita harus mempersepsikan terlebih dahulu. Kita harus
menentukan secara tentatif apa yang sedang dirasakan oleh klien di depan kita dan
apa yang dipikirkannya (kata-kata/ungkapan apa yang digunakan) untuk menunjukkan
perasaan atau emosinya.
Untuk membantu kita mempersepsikan perasaan atau afektivitas klien, kita perlu
mengikuti petunjuk-petunjuk berikut ini:

1. Identifikasikan kategori umum atau suasana hati klien – negatif atau positif.
2. Identifikasikan lebih lanjut macam perasaan yang spesifik : takut, cemas,
marah, sedih, gembira, dsb.
3. Tentukan pula tingkat intensitasnya perasaa tersebut: tinggi, sedang, rendah.
4. Pilihlah kata yang tepat atau sama artinya dengan perasaan yang diungkapkan
oleh klien.
5. Verbalisasikan (tuturkan, ungkapkan) kata tersebut yang akan bermakna bagi
klien. Ingat kata itu harus mudah dipahami/diterima oleh klien.

Situasi Klien

1. Saya bagitu jengkel dengan diri sendiri. Saya rasanya lemas dan marah kepada
teman-teman di kos tanpa alasan. Saya kira ada di antara mereka yang
tersinggung oleh kelakuan saya.

Perasaan yang ada:


2. Saya tidak bisa mengajak teman-teman saya dolan ke rumah saya. Bapak
saya mengatakan bahwa temna-teman saya itu bukan seperti kita.

3. Saya pikir saya tidak harus aktif di kegiatan kemahasiswaan. Itu akan
merugikan IP saya semester ini.

4. Kadang-kadang bila orang bertanya kepada saya, saya ingin menjawab. Tetapi
saya tidak tahu apa yang harus saya katakan.
Perasaan dalam Konseling 2

1. Saya kira kamu tidak akan sampai di tempat ini. Mengapa begitu lama?

Perasaan yang ada:


Latarbelakang :
2. Tentu. Aku bisa lebih juga. Kalau aku mau menggunakan taktiknya dia.

3. Bagaimana saya bisa bertemu muka dengan mereka lagi? Mereka akan
menertawakan diriku.

4. Setiap anak bisa bermain-main setelah sekolah. Tetapi saya selalu harus
pulang dan membantu orangtua.

5. Jangan mendesak saya!

6. Sejak dia menulis surat kepada saya, saya merasa mendapat lotere.

7. Bila saya sudah berusaha keras dan kemudian sesuatu terjadi seperti ini, itu
cukup membuat saya tidak meneruskannya lagi.

8. Ketika kami masih kumpul dengan anak-anak, nampaknya tak ada waktu yang
terluang. Sekarang mereka telah meninggalkan rumah. Situasinya jadi berbeda.

1. Suami saya meninggal tiga bulan yang lalu. Ibu harus terus menjalani
kehidupan. Ada yang hidup dalam diri ibu, tetapi juga ada yang rasanya sudah
mati. Ibuk tidak bermaksud mengkhianati dia. Tetapi ibu tidak bisa terus
bertahan begitu sendiri.

2. Aku tidak bisa menyelesaikan persoalan ini. Hidupku rasanya berantakan. Tidak
seorangpun yang mengerti keadaanku yang seperti ini. Keluargaku terus
mendesak aku untuk melupakan persoalan itu.aku tidak sanggup mengambil
langkah-langkah untuk menolong diriku sendiri. Mungkin ada sesuatu yang
bisa kulakukan beberapa minggu lagi. Aku butuh waktu.

3. Aku takut untuk naik motor lagi sesudah kecelakaan itu.kejadian itu begitu
menakutkan dan aku tidak bisa melupakannya. Aku tak tahu apakah aku tahan
hidup dalam keadaan begini. Aku merasa lepas kontrol. Sering panik sendiri
dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Anda mungkin juga menyukai