Modul 4, Strategi Testing
Modul 4, Strategi Testing
Telah tersedia bermacam-macam tes antibodi HIV . Tes-tes ini dapat digolongkan dalam
3 kelompok : (1) Rapid Tests, (2) Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA); dan
(3) Western Blot. Ketiga tes ini menggunakan metode yang berbeda. Kebanyakan tes
antibodi yang ada sekarang mampu mendeteksi antibodi HIV-1 dan HIV-2.
Ada berbagai macam keadaan dimana tes antibodi HIV digunakan. Pemilihan tes yang
akan dipakai ditentukan oleh 3 faktor : (1) tujuan tes (2) sensitivitas dan spesifitas tes
(3) prevalensi HIV dalam populasi yang di tes.
WHO tidak merekomendasikan UTD (Unit Transfusi Darah) sebagai tempat pelayanan
diagnosis HIV bila tidak ada tempat pelayanan testing klinis secara efektif. Pemeriksaan
sampel darah di UTD hanya digunakan untuk pelayanan transfusi, bukan tempat yang
baik untuk tes diagnosis klinis HIV. (lihat di bawah)
Penggolongan tes
Tes biologis tidak akurat 100% pada saat ini. Setiap tes biologis mempunyai potensi
untuk memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Ketepatan dari tes untuk
membedakan antara sampel darah yang terinfeksi HIV dan yang tidak terinfeksi HIV
ditentukan oleh : (1) sensitifitas, (2) spesifisitas dan (3) nilai prediktif. Pemahaman dari
konsep ini penting ketika memberikan hasil tes atau mengembangkan program testing.
Sensitifitas : Menunjukkan
kemampuan tes untuk menemukan kasus yang terinfeksi (true case). Tes yang
mempunyai sensitifitas tinggi akan memberikan hasil negatif palsu yang sedikit.
Tes yang mempunyai sensitifitas tinggi digunakan bila ada kebutuhan absolut
untuk mendapat sangat sedikit negatif palsu, seperti pada testing darah untuk
pelayanan transfusi.
Spesifisitas : Menunjukkan
kemampuan untuk menemukan kasus yang tidak terinfeksi (true non-case). Tes
yang mempunyai spesifisitas tinggi akan memberikan hasil positif palsu yang
sangat sedikit. Tes yang mempunyai spesifisitas tinggi digunakan pada
kebutuhan absolut untuk mendapat sedikit hasil positif palsu, seperti pada kasus
untuk diagnosis klinis pada individu dengan infeksi HIV.
Standar minimum yang direkomendasi WHO untuk sensitifitas 99% dan untuk
spesifisitas 95%.
Strategi satu : Seluruh darah dites dengan salah satu Elisa / Rapid Test.
Seluruh hasil positif dianggap terinfeksi dan seluruh hasil negatif dianggap tidak
terinfeksi. Strategi ini dikerjakan untuk 2 tujuan : (1) pelayanan transfusi/jaringan
transplantasi dan (2) surveilans. Pada pelayanan transfusi, tes yang digunakan
adalah kombinasi HIV-1/HIV-2 yang mempunyai sensitifitas tinggi. Sampel darah
yang reaktif atau tidak dapat ditentukan (intermediate) harus dianggap terinfeksi
dan dibuang/diamankan. Bila menggunakan strategi ini untuk surveilans, tes
yang digunakan tidak perlu sesensitif seperti yang digunakan pada keamanan
transfusi dan jaringan transplantasi.
Strategi tiga : Ini mirip dengan strategi dua. Tes ketiga diharapkan dapat
dilakukan pada seluruh sampel yang positif yang sudah dideteksi. Karena
seluruh spesimen yang positif dan seluruh hasil spesimen yang berbeda diulang
dengan menggunakan tes yang ketiga. Tiga tes yang dikerjakan adalah strategi
yang harus berdasarkan pada persiapan dan metodologi antigen yang berbeda.
Setiap sampel yang hasilnya tidak dapat ditentukan (indeterminate) dengan tes
ketiga akan dipertimbangkan indeterminate.
A11 A1 A1
A2 A2
A3
Lapor Pertbgkan
positive4 indeterminate5
High risk Low risk
Pertbgkn Pertbgkn
indeterminate5 negative6
1
Tes A1, A2 dan A3 mewakili tiga tes yg berbeda
2
Hasil yg tidak adekuat utk tujuan diagnosis: gunakan strategi II atau III. Apapun diagnosis, darah yg reaktif
lebih awal, tidak digunakan utk tranfusi/transplant
3
Laporan : hasil yg dilaporkan
4
Diagnosis awal individu hasil positif, harus dikonfirmasi dengan specimen kedua
5
Testing harus diulang dengan specimen kedua yg diambil 14 hr kemudian
6
Hasil yg dipertimbangkan negative pada seseorang yg tidak mempunyai risiko infeksi HIV
Pemilihan tes mana yang akan dikerjakan dari strategi-strategi ini secara umum adalah :
tes yg paling sensitif harus digunakan pertama kali, diikuti dengan tes yg lebih spesifik.
Banyak strategi testing dikerjakan dalam bentuk testing serial. Pada testing serial , tes
kedua tidak dilaksanakan bila tes pertama menunjukkan hasil negatif. Tes yang
mempunyai sensitifitas tinggi digunakan sebagai tes awal pada algoritma testing serial,
negatif palsu tidak sering terjadi. Sebaliknya, negatif palsu diharapkan akan menjadi
meningkat pada prevalensi tinggi kohort.
Sebaliknya, testing paralel secara rutin menggunakan 2 tes HIV pada setiap sampel yg
di tes. Tes pertama harus lebih sensitif dan tes kedua harus lebih spesifik. Tes akan
berbeda menurut target antigen; metodologi, sensitifitas dan spesifisitas. Pada kasus
dengan hasil yang berbeda (discordant) tes harus diulang dengan tes ketiga yang
berbeda yang disebut sebagai ‘tes penentu/tie breaker’. Untuk maksud jaminan mutu
(lihat di belakang) hasil tes penentu mungkin dikonfirmasi lebih lanjut dengan tes
Western Blot (atau ELISA bila tiga Rapid Test telah digunakan)
Testing paralel lebih mahal daripada testing serial, tetapi mempunyai keuntungan lain
termasuk pengurangan risiko dari hasil negatif palsu dan hanya membutuhkan sekali
pengambilan darah ; .Lebih dapat diterima bahwa dua tes lebih baik daripada satu tes. ;
mengurangi stigma dihubungkan dengan pasien yang harus kembali untuk tes kedua.
WHO sekarang mempromosi penggunaan Rapid Test untuk pelayanan VCT dengan
menggunakan algoritma serial testing. ( lihat di bawah )
Testing algoritma WHO sedang direvisi. Pada tempat dengan prevalensi rendah,
algoritma testing paralel akan memberikan ketepatan testing lebih tinggi Untuk saran
yang lebih spesifik pada strategi testing yang sesuai dengan seroprevalens, merujuk ke :
Situasi dimana tes antibodi HIV tidak dapat digunakan untuk diagnosis infeksi
HIV.
Ada situasi klinis dimana infeksi HIV tidak mampu didiagnosis dengan tes antibodi HIV
standard, yaitu (1) periode jendela dari infeksi akut, dan (2) infeksi HIV pada bayi yang
baru lahir.
Periode jendela adalah waktu antara mulainya infeksi HIV dan saat dimana antibodi HIV
sudah dapat dideteksi dalam aliran darah. Selama periode ini, HIV bereplikasi dalam
darah dan kelenjar limfe , orang ini sangat menular dan mungkin ada gejala tapi darah
pasien yang di tes masih negatif dari antibodi HIV. Periode jendela akan berakhir
sampai 12 minggu dan mungkin bervariasi diantara tes yang berbeda yang
menggunakan metodologi yang berbeda. Elisa yang sangat sensitif mempunyai periode
jendela yang pendek. Selama periode ini, Infeksi HIV tidak dapat didiagnosis dengan
menggunakan tes berdasarkan antibodi.
Tes yang mendeteksi bagian dari virus (berlawanan dengan antibodi dari host yang
terinfeksi) dapat digunakan pada situasi ini. Tes yang umumnya digunakan pada situasi
ini adalah p24 antigen dan tes DNA HIV pro-virus. Tes antigen p24 mendeteksi protein
virus p24, mempunyai spesifitas yang tinggi (>95%) tapi sensitifitas yang rendah
(80%). DNA pro-virus mendeteksi adanya DNA HIV yang terintegrasi ke dalam gen host
dalam sel limfosit darah perifer. Tes ini berdasarkan pada teknologi Polymerase Chain
Reaction (PCR) dan mempunyai spesifitas tinggi (98%) dan sensitifitas tinggi (>99%).
Penampilan dari tes ini dalam mendeteksi HIV-1 dan non-HIV-1 subtypes belum
ditentukan . Tes DNA HIV hanya dipakai dalam penelitian. Tes PCR RNA HIV tidak
direkomendasi untuk diagnosis infeksi HIV akut sebab tingkat kemaknaan hasil positif
palsu (10%). Secara khas, hasil positif adalah lebih besar dari 100.000 copy/ml
sebaliknya hasil positif palsu umumnya kurang dari 1.000 copy/ml.
Tes antibodi HIV tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV pada neonatus
karena antibodi ibu akan tetap ada pada neonatus sampai 18 bulan. Neonatus akan di
tes antibodi HIV, apakah mereka mengandung infeksi HIV atau tidak selama periode ini.
Diagnosis antenatal dikonfirmasi pada umur 18 bulan dimana hasil antibodi HIV tetap
positif.
HIV dapat didiagnosis pada bayi baru lahir (selama 18 bulan pertama usia bayi) dengan
menggunakan macam–macam tes berdasarkan non-antibodi. Tes – tes ini termasuk (1)
antigen p24 HIV (2) kultur virus (dari sel mononukleus darah perifer) atau dengan (3) tes
viral load HIV untuk mendeteksi salah satu RNA HIV atau DNA HIV. Sensitifitas dari tes-
tes ini bervariasi dari.
Konselor harus mempunyai kemampuan untuk intepretasi hasil antibodi HIV negatif
palsu dan positif palsu agar dapat menasehati pasien secara tepat dalam interpretasi
hasil tes.
Hasil positif palsu: Saat ini tersedia tes antibodi HIV yang secara ekstrim
sensitif dan tingkat positif palsu dapat dinilai , terutama pada populasi dengan
prevalensi rendah. Semua strategi testing HIV klinis membutuhkan pengulangan
tes antibodi HIV harus dijalankan. Positif palsu dengan satu tes tidak selalu
menghasilkan positif pada tes kedua. Alasan potential positif palsu termasuk
kesalahan teknis; reaksi silang serologis; pengulangan pengenceran dan
pembekuan sampel.
Hasil negatif palsu: Laporan hasil negatif palsu berarti sampel tidak terinfeksi
padahal kenyataannya terinfeksi. Alasan paling umum untuk hasil antibodi HIV
negatif palsu adalah pasien yang saat ini terinfeksi tapi sekarang dalam periode
jendela seperti dijelaskan diatas. Karena itu pengkajian risiko HIV secara tepat
pada periode ini perlu dijalankan.
Banyak orang terinfeksi HIV tapi tidak bergejala. Mereka tidak mempunyai gejala atau
tanda klinis yang menandakan penurunan fungsi kekebalan. Oleh karena itu tes
laboratorium perlu untuk membuat diagnosis HIV. Seorang klien mungkin meminta tes
HIV sebab mereka merasa berisiko atau alasan lain. Seorang petugas pelayanan
kesehatan juga boleh merekomendasi suatu tes berdasarkan sejarah perilaku pasien
atau penemuan klinis seperti IMS atau infeksi oportunistik. Dengan mengabaikan
keadaan di mana seseorang mencari tes HIV, Testing antibodi HIV dan konseling
harus selalu sukarela dan rahasia. Testing HIV harus sukarela dan klien memberi
persetujuan setelah mendapat informasi (informed consent) untuk tes yang dijalankan
setelah pre-tes konseling dan tidak dibawah paksaan.
Pada linked-anonymous testing, tidak ada nama atau identifikasi lain dari klien yang
dicatat. Klien menerima nomor unik, tidak dapat dikaitkan dengan catatan medik apapun
yang sesuai dengan nomor yang ditempelkan pada sampel darah yang dikirim ke
laboratorium. Hasil dari laboratorium untuk nomor khusus dilaporkan kembali ke klinik /
tempat konseling. Klien datang ke klinik dengan membawa nomor yang benar dan di
informasikan hasilnya. Prosedur ini, tidak ada catatan klien yang disimpan dan tidak ada
cara untuk menemukan klien bila ia tidak kembali mengambil hasil.
Pada linked testing, sampel darah yang dikirim untuk tes HIV mempunyai identifikasi
seperti nama atau nomor klinik, yang dikaitkan dengan sampel kepada klien. Untuk
menjamin kerahasian secara maksimal dari klien, sampel yang dikirim untuk tes HIV
tidak harus diidentifikasi menurut nama klien, tetapi bisa dengan beberapa petanda lain
sehingga petugas laboratorium dan orang lain yang mempunyai akses pada catatan
laboratorium tidak akan mampu mengidentifikasi klien. Kadang-kadang klinik tes HIV
mempunyai formulir dengan nomor berurutan. Laboratorium mendapat salinan
permintaan hanya dengan nomor tersebut.
Unlinked, anonymous testing sering dijalankan pada sampel darah yang diminta untuk
alasan lain (mis. serologi sifilis pada klinik antenatal atau darah donor) Prosedur testing
ini, semua identifikasi dilepas dari darah yang akan di tes antibodi HIV. Dalam konteks
ini, skrining unlinked anonymous berarti bahwa hasil tes tidak dapat dikaitkan dengan
klien yang memberikan spesimen darah dan tidak ada catatan klien pada sampel.
Departemen Kesehatan menggunakan skrining unlinked anonymous untuk memantau
trend / kecenderungan infeksi HIV pada daerah geografik dan populasi yang berbeda
dan memahami lebih lanjut riwayat alamiah infeksi HIV.
From WHO Guidelines for Using HIV Testing Technologies in Surveillance: Selection,
Evaluation, and Implementation 2001 WHO/CDS/EDC/2001.16
Menjamin kualitas testing HIV dalam pelayanan VCT
Perlu ada suatu “Laboratorium rujukan ” untuk me review secara terus menerus testing
dan pelaporan dari hasil tes HIV pada individual sites.
2) Fase Analitik
Prosedur pemeriksaan tertulis
Tata laksana pemeriksaan
Penggunaan reagen yang benar (bila ada)
Kontrol kualitas reagen
Prosedur monitoring jaminan mutu
WHO (1997) WHO recommendations for HIV testing strategies Weekly epidemiological
record 72 81-83
WHO (1998) The importance of simple and rapid tests in HIV diagnostics: WHO
recommendations Weekly Epidemiological Record 73 (42) 321-328
MMWR 47 11 (1998) Update: HIV counselling and testing using rapid tests United
States
MMWR 47 11 (1998) Update: HIV counselling and testing using rapid tests United
States
Kelan G., Shahan J., Quinn T., The Project Educate Work Group (1999) Emergency
department-based HIV screening and counselling: Experience with rapid and standard
serological testing. ANN of emergency Medicine 33 (2) 147-155