Anda di halaman 1dari 1

RADAR SURABAYA l MINGGU, 20 AGUSTUS 2017  HALAMAN 6

O Pasar Saba
rang-orang menatap bangunan megah di
menyebutnya Pasar hadapannya. Pembangunan
Saba, karena dinding, berlangsung selama setahun.
sekat, dan anak tangga Pemerintah memang merelokasi para
yang menjulur itu pedagang ke tempat lain. Namun,
dibuat dari kayu saba. Atapnya telah tidak mengganti modal yang hilang
diperbaiki dan direnovasi beberapa terbakar malam itu. Tangis ribuan
kali karena bocor. Konon, kayu-kayu pedagang yang gulung tikar berakhir
yang dijadikan sebagai bahan di meja bank. Pinjaman ke bank
bangunan itu bukan kayu biasa. Kayu menggunung tinggi di setiap pundak
itu berasal dari pohon saba dari banyak berkurang. Ia memanggil tempat itu. Ia menganggap keberadaan pedagang yang masih harus terus
daerah Sabrangan, sebuah Jaludin, salah seorang anaknya.
Oleh : Pasar Saba merusak pemandangan. bertahan.
pemakaman tua di pinggiran kota Sebelum meninggal Kiai Saba Karisma Fahmi Y* Pasar itu tampak tidak sesuai dengan Rohman menatap gedung itu dari
yang ditumbuhi pohon-pohon saba. berpesan, agar ia dikuburkan di bangunan mal dan gedung-gedung lain kejauhan. Dindingnya menjulang. Di
Di pemakaman tua itu telah wilayah paling ujung kampung itu. Di Dari hari ke hari, Pasar Saba yang indah dan megah. Banyak bagian depan tertulis nama pasar
dimakamkan para pendahulu yang sana ada tanah terbuka yang tidak semakin ramai. Berbagai barang tawaran yang dilakukan oleh Lurah dengan tulisan besar, “Pasar Saba”
telah membangun dan mendirikan ditanami pohon. Di ujung usianya, diperjualbelikan di pasar itu. Banyak Demang untuk memperbaiki pasar. dengan warna mengilat keemasan. Di
kota ini. Sebagian besar di antaranya Kiai Saba lupa bahwa kampung itu yang telah melupakan asal mula Namun, selalu ditolak oleh para bagian kanan dan kiri, tangga kokoh
adalah pendiri dan pedagang- harus terus bersatu dan mempunyai pasar itu. Seiring berlalunya waktu, pedagang. Pasar itu sudah menjadi terjulur. Aroma cat yang masih baru
pedagang di Pasar Saba. Kayu saba kekuatan sendiri. pasar berubah menjadi padat dan bagian dari diri mereka sendiri. tertiup angin hingga tempatnya
bukan kayu biasa. Kayu itu keras dan “Makamkan aku di seberang, di kumuh. Banyak pedagang dari Keberadaan pasar dari kayu itu berdiri. Tak ada lagi pedagang yang
kuat seperti baja. Kayu-kayu pilihan bawah langit biru dengan padang tempat lain ikut berdagang di tempat- menjadi tumpuan para pedagang. berjualan di sembarang tempat.
yang tumbuh di sekitar makam Kiai rumput yang luas.” tempat yang tidak seharusnya. Hingga di suatu malam, percikan Semua telah diatur dengan rapi di
Saba itulah yang digunakan untuk Maka, pemakaman itu pun disebut Mereka menata pasar dengan api melalap seluruh isi pasar. bagian dalam. Pasar akan semakin
membangun pasar. Nama Kiai Saba dengan daerah Sabrangan. Para tumpang tindih bersama pedagang Bertangki-tangki truk pemadam rapi dan teratur. Pembangunan itu
diabadikan untuk nama pasar itu. santri menangis karena kehilangan pendatang yang lain. Namun, pasar kebakaran dikerahkan untuk tidak sesuai dengan kesepakatan.
Rohman duduk di seberang pasar. guru sekaligus orang tua yang itu tetap berdiri dengan gagah. Kayu memadamkan. Namun, tak juga Para pedagang seolah diusir dari
Jalanan yang riuh itu tampak lebih mereka segani. saba yang menyangga pasar itu berhasil memadamkannya. Pasar tempat yang selama ini menaunginya,
bersih dan nyaman. Polisi memblokir “Seratus hari setelah kepergianku, seolah tak kalah dengan zaman. dengan aneka macam dagangan itu termasuk Rohman. Kios yang semula
jalanan depan pasar, karena akan ada kalian akan melihat pohon-pohon Pasar itu tetap berdiri kokoh di lenyap tak bersisa. Hanya arang dan dijanjikan dengan lebar yang sama,
peresmian pasar oleh gubernur. Hanya yang tumbuh di sekitar makamku. tengah-tengah kota. abu yang menyisakan penyesalan. Api ternyata semakin sempit. Pasar yang
mobil polisi dan beberapa mobil media Buatlah sebuah bangunan yang bisa Keberadaan pasar yang kumuh dan dengan cepat dan sigap melalap dulunya berdinding kayu kini menjadi
yang diperbolehkan masuk. Wartawan kalian gunakan, sebagai pasar dan padat itu menjadi perhatian Lurah bangunan kayu itu, dan tembok, dan tentu saja memakan
dan reporter televisi bersiap-siap mengembangkan masjid dari kayu Demang. Lurah yang berkuasa di menjadikannya tumpukan arang. tempat untuk kios. Kios-kios
meliput. Ia menatap kesibukan itu pohon- pohon itu. Dengan Sirine menyempit dan lebih mirip pagupon,
dengan mata berkaca. begitu kandang burung. Pendingin ruangan
“Bangunan yang hebat, ya?” tanya kalian tidak mampu menangani gerahnya
seseorang yang tiba-tiba berdiri di pasar yang semkin sempir saat
sebelahnya. pembeli berjubel.
Ia tak menjawab. Bibirnya Rohman masih termangu menatap
terkatup seolah terkunci dan tak bangunan itu dengan masygul. Sesaat
lagi bisa membuka. lagi pasar itu akan diresmikan oleh
“Anda pedagang di pasar gubernur. Umbul-umbul dan bendera
ini?” warna-warni serta berbagai hiasan
Rohman mengangguk. dipasang untuk acara penyambutan
“Anda senang dengan dan peresmian. Wartawan dan
pembangunan pasar ini?” reporter televisi telah bersiaga.
Ia menggeleng. Ia benar- Bahkan, beberapa mulai mengudara
benar tidak berminat dengan dengan laporannya.
pembicaraan itu. Rohman melangkah dengan kaki
“Mengapa?” tanya orang itu gontai. Di kejauhan, iring-iringan
mendesak. Rupanya ia wartawan mobil gubernur telah sampai. Sorak
yang hendak menulis berita sorai dan tepuk tangan terdengar
ke­da­tangan gubernur dan peres­mi­ riuh. Anak-anak sekolah menyanyikan
an pasar. Rohman menatap war­ta­ lagu-lagu nasional dengan membawa
wan itu tanpa menjawab. Rohman bendera kecil di tangan.
menaksir lelaki muda di depannya Rohman mengusap wajahnya yang
adalah sarjana yang baru lulus dan nanar. Air matanya rembang. Tak
baru saja mengenal dunia kerja. sebilah kayu saba pun terpasang di
Pertanyaan itu mengambang di udara. bangunan megah itu. Kayu saba
Mata wartawan itu tampak kecewa. semakin langka. Pohon saba tak lagi
Rohman segera pergi dari tempat itu. tumbuh di pemakaman atau di
*** tempat manapun di kota ini.
Kiai Saba adalah pendiri kota ini. Ia Pemerintah menebang pohon-pohon
datang dari wilayah pesisir. Ia saba untuk memperluas pemakaman
membabat hutan dan membangun beberapa tahun yang lalu. Sabrangan
sebuah padepokan. Ia pandai pemadam menjadi pemakaman tua yang sepi,
membuat seruling. Ia meniup seruling kebakaran kumuh, dan tak terawat.
setiap siang dan malam hari. Banyak berdengung Arak-arakan kedatangan gubernur
pengembara yang memutuskan untuk sepanjang semakin ramai. Gubernur membuka
beristirahat sambil melepas lelah malam. Api pidatonya dengan penuh semangat dan
demi mendengar tiupan seruling Kiai menjilat-jilat kebanggaan membangun gedung
Saba yang menentramkan. Konon, dan asap hitam semegah itu. Penonton bertepuk tangan
suara seruling Kiai Saba memiliki tidak membumbung seusai gubernur mengucapkan salam,
tuah. Setiap pengembara yang datang merasa jauh ke langit. Api mengakhiri pidato panjangnya. Sirine
selalu ingin singgah dan berlama- dariku, dan aku memupuskan kembali berdengung kencang, kali ini
lama di wilayah itu, hanya untuk akan ada di sekitar harapan semua lebih kencang. Sekali lagi tepuk tangan
menyimak suara serulingnya. Selain kalian.” orang. Lamat- dan sorak-sorai bersahutan. Resmi
meniup seruling, Kiai Saba juga Itu adalah wasiat lamat dari sudah gedung itu sebagai tempat untuk
berdakwah. Banyak pedagang dan terakhir sang kiai. Mereka seberang pasar, menggantikan pasar kayu dalam
pengembara yang memutuskan untuk melaksanakan wasiat sang kiai Rohman menyimak ingatannya.
tinggal di tempat itu guna belajar dengan sebaik-baiknya. Seratus hari kereta api yang Reporter dan wartawan masih
agama. Mereka membuka lahan dan berlalu, pohon-pohon itu tumbuh. menghabisi seluruh menyiarkan berita peresmian pasar.
membuat tempat tinggal. Tempat itu Pohon itu tumbuh dengan sangat penghidupannya selama Gubernur memasuki gedung untuk
menjadi ramai. Orang-orang cepat. Pohon biasanya membutuhkan ini. Ia tak tahu, apakah ia meninjau keadaan. Matahari semakin
berdagang dan bertukar barang- waktu tumbuh setahun. Namun, pohon akan terus bertahan untuk terik. Rohman meninggalkan tempat
barang yang mereka miliki. Melihat di sekitar makam Kiai Saba, pohon itu, pasar itu, ataukah harus itu dengan rasa kehilangan dan
hal itu, Kiai Saba merasa senang. hanya membutuhkan waktu selama rubuh bersama kayu terakhir kesunyian. Di belakangnya, bangunan
Bersama-sama mereka membuat seratus hari. Belum ada yang pernah yang terbakar malam itu. itu berdiri tinggi menjulang.
sebuah kampung kecil. Kiai Saba melihat pohon itu, sehingga mereka Rohman membaca judul utama Mengabaikan banyak mata yang
membangun sebuah masjid. menamainya pohon saba. Pohon yang berita di koran. Korsleting listrik ditinggalkan kenangan.
Kini semakin banyak yang tinggal berasal dari makam Kiai Saba. menjadi penyebab utama Meninggalkan satu persatu ingatan
di kampung itu. Mereka sepakat Pohon itulah yang digunakan untuk terjadinya kebakaran. Namun, ia akan pohon-pohon saba yang tumbuh
menamai tempat itu dengan sebutan membuat pasar dan memperluas bukan orang bodoh yang mudah di sekitar pemakaman. (*)
Kampung Suling, sesuai dengan masjid. Semakin hari, pasar itu percaya pada pemberitaan seperti
tiupan seruling Kiai Saba yang tumbuh dengan pesat. Begitu pula itu. Telah lama ia mendengar kasak- Juni 2017
menjadi tanda agar mereka dengan kampung itu. Kampung yang kusuk dan ancaman pembakaran
berkumpul dan mengaji. dulunya kecil, kini tumbuh menjadi pasar oleh para preman.
Waktu berlalu, Kiai Saba mulai kota. Bahkan kota yang besar. Pasar *** *Penulis aktif menulis esai, cerpen, dan puisi. Karyanya
sakit-sakitan. Kekuatannya sudah itu dinamai dengan Pasar Saba. Rohman masih berdiri termenung pernah dimuat di sejumlah media lokal maupun nasional.

juga enggan melawan musim liang yang kau gali sendiri liatnya. berselimut embun: yang melayang-layang diterpa angin
sebagai dendam. menggigil. kemudian dijadikannya musim dan gugur
suaramu parau, lirik-lirikmu tak seharu daun
kami adalah ranting kering dulu. kini cuma seperti dengkuran merahnya melebur sebagai baju kepedihan
MALAM DI KOTA yang sekarang menjadi abu, semalam lalu menghilang. dengan biru subuh
seperti tubuh telanjang ; tak ada mengabur bersama malam. yang tegun. Surabaya, 2016
pembicaraan panjang tanpa Semeru, 2016 dan sampai kapankah kau tidur
persetubuhan yang dalam kesunyian, Bung? sekuntum bunga,
mengenang. SEMUSIM KEMARAU 2017 daunan layu, MENEMPUH JALAN PEDANG
2017 semusim kemarau tiba, samudera bertambah sendu. menunggu hujan bertahan hidup
RANTING KERING padanya, senja membentangkan cahaya yang sedikit DI PANTAI KENJERAN mengguyur sepi. adalah seni bertarung
kami adalah ranting kering redup. pada purnama kesebelas yang duduk termangu. paling indah bagi
di langit, sebelum gelagat pekat bersurai sekuntum bunga: seorang kesatria.
yang ranggas digerus musim.
burung camar terbaring di atas awan dengan menyambut mati ditelan musim
sayap dendang sampan bernaung di pangkuan Malang, 2016 namun kematian
kami adalah ranting kering
yang telungkup ditelan sunyi. patah sebelah. ia terkapar. sukmanya, jatuhkan bebatuan lanau, adalah proses menuju
butiran rindu melalui desau angin yang terus pun setelah hujan menyisakan rinai-rinai kenangan KENANGA penyucian diri bagi
kami adalah ranting kering bersemi. yang menggenang di lubang-lubang kerinduan. : 17 September 1904 seorang pengembara.
yang merintihkan doa agar Kenjeran, 2015 nun, senja berduyun-duyun memecah
hujan menggugurkan merah dan jingga : camar berpesta. kijang-kijang menyeret kencana sedang keduanya ada
rintik–rinainya. BIOLA TUA TERBARING DI SURABAYA Kenjeran, 2015 menuju kebun kenanga pada sukma yang suci.
: W. R. Soepratman yang menyimpan kematian
kami adalah ranting kering SEKUNTUM BUNGA singgah di dekat sungai darah 2016
yang dibakar untuk kehidupan. ketika kota telah aman dari ancaman : Inggit Ganarsih
senapan dan bau mesiu. aku mendengar di tengah sepi, ada gadis kecil menyulam musim *Penulis aktif di Komunitas Teater Kaki Langit
pun kami tak pernah menyalahkan api, dawai lengkingmu merintih di bawah sekuntum bunga dengan seribu daun FBS Universitas Negeri Surabaya (Unesa)

layouter: edo

Anda mungkin juga menyukai