Anda di halaman 1dari 6

Studi Literatur: BRUCELLOSIS pada Ternak Sapi

• duniaveteriner
• 11.18.09
• Kesehatan hewan, brucelosis pada ternak, brusela pada sapi, Bruselosis
• Comments Off

Brucellosis adalah penyakit reproduksi menular ruminansia yang


disebabkan oleh kuman Brucella sp (Anonimus 1, 2004). Penyakit ini merupakan
penyakit penting di Indonesia yang dapat menular ke manusia (zoonotik) (Anonimus 1,
2004). Brucellosis dilaporkan menyebar ke berbagai wilayah Indonesia sehingga
menimbulkan kerugian ekonomis yang cukup besar bagi pengembangan peternakan
akibat kematian dan kelemahan pedet, abortus, infertilitas, sterilitas, penurunan produksi
susu dan tenaga kerja ternak, serta biaya pengobatan dan pemberantasan yang mahal
(Anonimus 1, 2004).

Brucella menyebabkan keguguran atau keluron pada umur kebuntingan tertentu


(Soejodono, 1999). Di Indonesi penyakit ini disebut juga penyakit keluron menular atau
Bang (Soejodono, 1999).Bakteri penyebabnya sampai saan ini telah diidentifikasikan
sebagai 6 (enam) spesies yaiu Brucella melitensis, Brucella abortus, Brucella suis,
Brucella neotomae, Brucella ovis, dan Brucella canis (Soejodono, 1999). .

Infeksi Brucella sp. bersifat fakultatif intraseluler yang bersifat kronis (Anonimus 1,
2004). Pada ternak terinfeksi akan terbentuk reaksi tanggap kebal humoral secara
persisten atau bertahan lama dengan terbentuknya antibodi di dalam serum (Anonimus 1,
2004). Antibodi tersebut dapat dideteksi dengan uji coba serologis seperti Rose Bengal
Test (RBT) dan Complement Fixation Test (CFT) (Anonimus 1, 2004).

Usaha pencegahan dan pengendalian terhadap Brucellosis sapi pada umumnya terfokus
pada pemberantasan penyakit dengan mengendalikan populasi sapi bebas dari agen
penyakit (Siregar, 2000). Oleh karena itu semua usaha Dinas Peternakan diarahkan pada
mencegah berpindahnya dan menyebarnya agen penyakit serta mencegah penderita baru
(Siregar, 2000). Pada prinsipnya vaksinasi sapi betina muda dengan vaksin inaktif (strain
19) perlu dilakukan pada wilayah dengan prevalensi Brucellosis tinggi, dengan tujuan
sementara untuk menurunkan jumlah keguguran (Siregar, 2000).

DIAGNOSA SEROLOGIS Brucella abortus


Pemeriksaan bakteriologis terhadap Brucellosis pada dasarnya dapat dilakukan (Siregar,
2000) . Hanya saja pemeriksaan tersebut sangat sulit dan relatif memakan waktu banyak
(Siregar, 2000). Dengan demikian alternatif pemeriksaan secara serologis lebih mudah
dilakukan, dengan memperhatikan ketelitian pengamatan dan interpretasi (Siregar, 2000).

Uji serologis yang dapat dilakukan adalah menggunakan Rose Bengal Presipitation Test
(RBT), Semen Agglutination Test (SAT), Complement Fixation Test (CFT) dan Enzyme-
linked Immunosorbent assay (ELISA) (Siregar, 2000). Kendala dalam uji serologis ini
adalah munculnya reaksi positif palsu, reaksi silang dengan antibodi yang ditimbulkan
oleh bakteri lain seperti Yersinia enterocolitica, E. coli, Vibrio cholerae (Siregar, 2000).

Penilaian uji serologis Brucellosis akan sulit dilakukan tanpa ada pengetahuan mengenai
respon antibodinya (Anonimus 2, 2000). Antibodi adalah serum protein yang dihasilkan
oleh sel limfosit sebagai respons terhadap infeksi atau vaksinasi (Anonimus 2, 2000).
Pada hewan ruminansia, serum protein yang disebut immunoglobulin diklasifikasikan
menjadi IgG1, IgG2, IgM dam IgA (Anonimus 2, 2000). Fungsi immunoglobulin adalah
menginaktifkan dan meneleminasi antigen dengan jalan mengikatnya, sehingga
mengakibatkan aglutinasi, antigen lebih peka terhadap fagositosis dan merupakan awal
reaksi dari ikatan komplemen, sehingga menyebabkan sel menghancurkan diri (lysis)
(Anonimus 2, 2000).

Ditjen Bina Produksi Peternakan menetapkan bahwa , semua CFT sebagai uji serologis
akhir untuk menetapkan ternak menderita Brucellosis dan hanya hasil negatif yang
diperbolehkan dilalulintaskan (Siregar, 2000). Dalam melaksanakan uji tapis secara
serologic MRT, RBT dan CFT dapat dilaksanakan (Siregar, 2000).

Dalam menjalankan usaha pengendalian Brucellosis dilapangan dianjurkan beberapa pola


sebagi berikut, yaitu : 1. Uji tapis yang dilaksanakn pada sapi-sapi yang diketahui gejala
klinisnya, 2. Uji tapis yang dilaksanakn terutama pada sapi-sapi perah yang bernaung
dibawah koperasi (Siregar, 2000).

Pola satu ini diarahkan pada pengamatan gejala klinis :


1. Untuk sapi betina yang diduga menderita Brucellosis karena :
a. Sapi dara bunting pertama mengalami keguguran pada usia kebuntingan 5-7 bulan.
b. Sapi betina dewasa produktif mengalami keguguran pada usia 5-7 bulan.
c. Sapi betina dewasa pernah diketahui mengalami keguguran pada usia kebuntingan 5-7
bulan dan setelah dilakukan 3-4 kali inseminasi buatan belum bunting lagi.
2. a. Sapi jantan dewasa terutama yang dipilih sebagi donor semen atau yang dipakai
sebagai pejantan kawin alam.
b. Sapi jantan lainnya pada kelompok ternak tertentu yang menderita orkiditis dan atau
epididimitis.

Uji MRT dengan menggunakan susu kelompok atau individu , secara teoritis dapat juga
dilakukan pada sapi potong, namun hal tersebut sulit dilakukan karena susu induk pada
umumnya untuk membesarkan anaknya (Siregar, 2000). Tetapi pada sapi perah lebih
mudah karena berada di kandang dan biasa diperah (Siregar, 2000).
1. MRT dengan hasil uji negatif kemungkinan keguguran disebabkan oleh penyakit lain,
kemudian uji ulang serologis harus dilakukan tiga bulan kemudian. Bila MRT positif
dapat dilanjutkan dengan uji RBT.
2. RBT negatif dapat pula disebabkan karena penyakit lain, pemeriksaan ulang setelah
tiga bulan tetap harus dilaksanakan.
3. Bila RBT positif , maka dilanjutkan dengan uji CFT.
4. Bila CFT ternyata negatif, sapi tersebut dianggap bebas penyakit.
5. Bila CFT positif, maka sapi tersebut dikeluarkan dari kandang/ kelompok sapi untuk
dipotong. Kandang didisinfeksi sehingga mengurangi kemungkinan penularan pada sapi
lainnya.

Uji tapis pola 2 mungkin lebih sesuai untuk dilaksanakan pada sapi-sapi perah yang
bernaung pada koperasi. Biasanya koperasi membagi dalam kelompok dan sub kelompok
peternak. Pengelompokan bisa berdasar kedekatan beberapa kandang peternak atau
menurut lokasi. Dimana produksi susu perhati tersebut digabung pengirimannya.

1. Milk Rink Test (MRT) dilakukan pada susu gabungan


a. Hasil negatif dilanjutkan dengan pengambilan sample dari sub kelompok peternak
sampai susu individu sapi dikandang. Hal tersebut dilakukan agar mendapatkan hasil
yang akurat. Bila sampai pemeriksaan individu sapi MRT masih menghasilkan uji
negatif, maka kelompok sapi-sapi pada kelompok peternak dianggap bebas dari
Brucellosis. Untuk kelompok ini test dulangi setelah tiga bulan.
b. Bila MRT positif, maka pemeriksaan dilakukan sampai ke sub kelompok peternak,
susu sapi sekandang dan individu sapi.
2. Semua sapi-sapi yang memberikan hasil positif dilanjutkan pemeriksannya dengan
CFT. Sapi dengan hasil uji CFT negatf dianggap bebas Brucellosis, dan dipisahkan dari
sapi yang positif, yang harus dikeluarkan dari kandang
3. Sapi-sapi yang positif dilanjutkan pemeriksannya dengan CFT. Sapi dengan hasil uji
CFT negatif dianggap bebas Brucellosis, dan dipisahkan dari sapi yang positif, yang
harus dikeluarkan dari kandang.

Pola 2 ini memerlukan biaya yang lebih tinggi dan waktu yang lama serta membutuhkan
tenaga yang terampil dilapangan, tetapi dapat menghasilkan data prevalensi
sesungguhnya, sehingga tindakan yang akan diambil lebih tepat (Siregar, 2000).

INTERPRETASI UJI TAPIS SEROLOGIS


Milk Ring Test (MRT) dapat dgunakan untuk uji tapis Brucellosis pada kelompok ternak
maupun individu sapi (Siregar, 2000). Bila populasi sapi laktasi melebihi 1000 ekor,
maka sensitivitas (Kemampuan suatu uji dalam mendeteksi hewan sakit secara tepat
(Siregar, 2000). Rendahnya angka sensitivitas akan menghasilkan negatif palsu) uji MRT
menjadi kurang peka (Siregar, 2000). Susu yang dipakai untuk keperluan uji, harus segar
tidak boleh dibekukan atau homogenisasi, tetapi dapat disimpan pada suhu 40C selam 24
jam. Positif palsu dapat terjadi pada sapi yang baru divaksinasi, atau susu berasal dari
kolostrum atau menderita mastitis.
Rose Bengal Test (RBT) dianggap sangat sensitive terutama pada sapi yang telah
divaksinasi. Oleh karena itu hasil uji positif harus dilanjutkandengan pemeriksaan uji
Complement Fixation Test (CFT), yang dianggap paling sensitive terhadap Brucellosis
(Siregar, 2000).

Tujuan untuk melakukan suatu uji adalah agar mengetahui apakah seekor sapi menderita
Brucellosis atau tidak, artinya kita ingin mengetahui data sapi yang sehat dan yang sakit
sehingga dapat dipisahkan kelompok yang hasil ujinya serologis negatif (sehat) dengan
kelompok hasil uji positif (sakit) dalam frekuensi-distribusi yang terpisah (Siregar, 2000).
Namun dalam prakteknya, karena suatu uji serologis didasarkan pada penetapan empiris,
maka disepakati harga ambang yang memisahkan positif dan negatif pada nilai titer
tertentu, sehingga ada perbedaan pengamatan positif secara klinis dengan pegamatan titer
positif secara serologis. Maka pengamatan klinis positif dan hasil serologis dapat
menghasilkan sebagian positif dan sebagian lagi negatif (Siregar, 2000).

Penentuan cutting point (nilai ambang) perlu berhati hati karena apabila posiif palsunya
lebih banyak maka ini akan merugikan peternak (Siregar, 2000). Apabila negatif
palsunya lebih banyak maka akan menghambat usaha pemberantasan Brucellosis
(Siregar, 2000).
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah informasi mengenai gejala klinis,
menetapkan populasi sapi dengan gejala klinis dugaan terhadap Brucellosis dan dugaan
tidak menderita Brucellosis (Siregar, 2000).

Negatif palsu dapat terjadi karena beberapa alas an (Anonimus 2, 2000):


1. Pada masa inkubasi.
2. Infeksi laten pada anak sapi, sapi dara dan sapi bunting.
3. Segera sebelum dan setelah keguguran atau kelahiran, biasanya reaksi tertunda 2-4
minggu.
4. Infeksi kronis.
5. kesalahan petugas dalam pemberian label sample atau sample tertukar sewaktu
pemeriksaan dilaboratorium.

Positif palsu dapat terjadi karena beberapa alas an (Anonimus 2, 2000) :


1. Adanya titer antibody yang persisten setelah vaksinasi dan ini sering terjadi
dilapangan. Sebaiknya anak sapi yang divaksin S19 pada umur 3 dan 9 bulan sebaiknya
tidak diambil sampelnya pada umur dibawah 20 bulan.
2. Adanya reaksi silang (cross reaction) dengan bakteri lain seperti Yersinia enterocolitica
serotipe IX dan beberapa species Salmonella dan Pasteurella.
3. Beberapa hewan menghasilkan abnormal serum globulin yang dapat menimbulkan
reaksi aglutinasi.
4. Menggunakan alat suntik untuk vaksinasi S19 dengan vaksinasi lain atau untuk
keperluan pengobatan. Alat suntik yang mengandung S19 sulit disterilkan pada kondisi
lapangan.

PEMUPUKAN
Evaluasi uji serologis juga dapat dilakukan dengan pemupukan (kultur) terhadap serum
hewan atau jaringan yang memperlihatkan hasil uji serologi positif (Anonimus 2, 2000).
Pada BPPH wilayah maros terhadap jumlah spesimen uji serologi positif yang
menunjukkan hasil pemupukan kultur positif (Anonimus 2, 2000).
Beberapa media yang dapat digunakan adalah (Madkour, 1989) :
a. Serum dextrose Agar (SDA).
b. Farrells Antibiotic Medium.
c. Glycerol Dextrose Agar.
d. Modified Brodie and Sintons liquid medium.
e. Castaneda biphasic medium culture bottles.
f. Modified vancomycin-colistimethate-nystatin (VCN) medium.
g. Dye sensitive test media
h. Dan lain-lain

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK
Swap dari vagina, plcenta, dan jaringan pada kejadian aborsi dapat di buat preparat ulas,
kemudian di warnai dengan pewarnaan Stamp modifikasi Ziehl neelsen, Koster dan
Macchiavello (Madkour, 1989). Brucella tidak akan terwarnai oleh asam lemah ataupun
basa, dan muncul dengan warna merah atau oranye, sering dikelirukan dengan Chlamydia
dan Coxiella burnettii (Madkour, 1989). FAT dapat dilakukan sebagai alternatif
(Madkour, 1989)

PEMERIKSAAN IN VIVO
Brucella yang berasal dari susu dan material lain yang terkontaminasi dapat
diinokulasikan intra muscular pada Hamster (Madkour, 1989). Hamster akan mati dalam
4-6 minggukemudian limpa, testis, epididimis dan limfoglandulanya di sub cultrure ke
SDA (Madkour, 1989). Untuk Brucella canis yang diisolasi dari darah anjing dapat di
inokulasikan pada telur berumur 6-8 hari (Madkour, 1989). Apabila embrionya telah
mati, diambil hatinya kemudian di sub culturkan pada SDA (Madkour, 1989).

ANTIGEN BRUCELLA ROSE BENGAL


Antigen Brucella Rose Bengal adalah sediaan yang dibuat dari sel kuman Brucella
abortus S19 yang diwarnai dengan pewarna Rose Bengal sehingga berwarna merah
jambu (Anonimus 1, 2004). Uji Rose Bengal digunakan sebagai uji saring (screening test)
dalam diagnosis serologis secara kuantitatif terhadap brucelosis (Anonimus 1, 2004).
Apabila hasil pengujian menghasilkan reaksi positip maka dilanjutkan dengan uji ikatan
komplemen (Complement Fixation Test CFT) untuk peneguhan diagnosis cara kualitatif
(Anonimus 1, 2004).

Uji RBT memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga berguna untuk mendiagnosa penyakit
brucellosis pada daerah dengan tingkat prevalensi yang rendah tetapi presentasi vaksinasi
cukup tinggi (Anonimus 1, 2004). Uji RBT dapat mendeteksi antibodi yang terbatas pada
IgG terhadap B.abortus yang spesifitasnya sangat tergantung pada pH media yang
digunakan (Anonimus 1, 2004).

KOMPOSISI
Antigen Rose Bengal dibuat dari biakan B.abortus S19 yang diperbanyak dalam media
trypticase soy agar (Anonimus 1, 2004).
Suspensi kuman ditetapkan pada konsentrasi 8% dalam larutan penyangga asam (pH
3,57) (Anonimus 1, 2004). Keasaman pH untuk mencegah aglutinasi antibodi non
spesifik (IgM) (Anonimus 1, 2004).
Suspensi kuman diwarnai dengan pewarna Rose Bengal sehingga berwarna merah jambu
(Anonimus 1, 2004).
Disimpan pada suhu 40-80 C agar dapat bertahan lama (Anonimus 1, 2004).
Sebanyak 0,025 ml sampel serum dimasukkan ke dalam setiap lubang cawan mikro.
Tambahkan 0,025 ml antigen Rose Bengal (Anonimus 1, 2004).
Aduk larutan tersebut dengan cara menggoyangkan cawan mikro selama 4 menit.
Baca reaksi di atas lampu neon yang terang (Anonimus 1, 2004).

PEMBACAAN HASIL
Positip (+) apabila terjadi aglutinasi sempurna (Anonimus 1, 2004).
Meragukan (+) bila aglutinasi tidak sempurna (Anonimus 1, 2004).
Negatip (-) bila tidak terjadi aglutinasi sama sekali (Anonimus 1, 2004).

COMPLEMENT FIXATION TEST


Umumnya mendeteksi IgG1, juga sedikit IgM (Anonimus 2, 2000). Reaksi positif tidak
dapat membedakan antara hewan yang divaksin dengan infeksi alam (Anonimus 2,
2000).

ELISA
Lebih sensitive dibandingkan dengan CFT (Anonimus 2, 2000). Secara umum uji ini
mengatasi masalah prozone, karena IgG1 menghambat IgG2 (Anonimus 2, 2000).
Menghindari reaksi anti komplimentari yang sering timbul pada CFT (Anonimus 2,
2000).

RESPON ANTIBODI TERHADAP Brucella abortus


Produksi antibody setelah infeksi dipengaruhi oleh status fisiologi hewan, umur dan lain-
lain (Anonimus 2, 2000). Respon antibody yang diperoleh adalah (Anonimus 2, 2000) :
1. Infeksi alam
IgM pertama kali diproduksi beberapa hari dan mencapai puncaknya kira-kira 2 minggu
setelah infeksi. Pada saat itu juga IgG1 dan IgG2 mulai timbul dan mencapai puncaknya
kira-kira 1 bulan.
2. Vaksinasi S19
Jumlah IgM yang diproduksi lebih besar daripada infeksi alam, sedangkan IgG lebih
rendah dan umumnya adalah IgG1

Daftar Pustaka

Alton GG, Jones LM, Angus RD, and Verger JM. 1991. Techniques for the Brucellosis
Laboratory. Institut National De La Recherche Agronomique. Paris

Anda mungkin juga menyukai