OLEH :
Hendra
2017.C.09a.0843
Pembimbing Akademik
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan Rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan Asuhan Keperawatan
Kebutuhan Dasar Manusia di Ruang ICU RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penyusunan Asuhan Keperawatan ini bertujuan untuk memenuhi tugas Praktik
Praklinik Keperawatan IV (PPK IV) pada Program Studi S-1 Keperawatan. Selain
itu, Asuhan Keperawatan ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi pembaca
maupun kami sebagai penulis. Sehingga pada waktu yang akan datang materi ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis menyadari bahwa pelaksanaan dan penyusunan Asuhan Keperawatan
ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes, selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners, M.Kep, Selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Nia Pristina, S.Kep,Ners Selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak
memberi arahan, masukan dan bimbingan dalam penyelesaian Asuhan
Keperawatan ini.
4. Semua pihak yang turut ambil bagian dalam membantu penulis menyelesaikan
LaporanAsuhan Keperawatan ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Asuhan Keperawatan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya ilmu keperawatan. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, untuk perbaikan dimasa
yang akan mendatang. Akhir kata penulis mengucapkan sekian dan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Konsep penyakit.................................................................................... 1
...............................................................................................................
1.1.1 Definisi.................................................................................................. 1
1.1.2 Anatomy fisiologi otak......................................................................... 2
1.1.3 Etiologi................................................................................................. 6
...............................................................................................................
1.1.4 Klasifikasi............................................................................................. 6
1.1.5 Paofisiologi (Patway)............................................................................ 7
1.1.6 Manifestasi Klinis (tanda dan gejala)................................................... 16
1.1.7 Komplikasi............................................................................................ 16
1.1.8 Pemeriksaan Penunjang........................................................................ 16
1.1.9 Penatalaksanaan.................................................................................... 17
1.1.10 Konsep dasar teori craniotomy............................................................. 17
1.2 Manajemen Asuhan Keperawatan........................................................ 28
1.2.1 Pengkajian Keperawatan...................................................................... 28
1.2.6 Diagnosa Keperawatan......................................................................... 39
1.2.7 Intervensi Keperawatan........................................................................ 40
1.2.8 Implementasi Keperawatan................................................................... 54
1.2.9 Evaluasi Keperawatan........................................................................... 54
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 97
...............................................................................................................
3.2 Saran........................................................................................................... 97
Lampiran
iii
Kasus
Leaflet
Jurnal Terkait
iv
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1
2
1.1.2.2 Cerebrum
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan
nama cerebral cortex, forebrain, atau otak depan. Cerebrum membuat manusia
memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan,
3
memori dan kemampuan visual. Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian
yang disebut lobus yaitu lobus frontal, lobus parietal, lobus occipital dan lobus
temporal.Lobus frontal merupakan bagian lobus yang terletak pada bagian depan
cerebrum. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan
gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas,
kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
Lobus parietal berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan
dan rasa sakit. Lobus temporal berhubungan dengan kemampuan pendengaran,
pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara. Lobus occipital ada di bagian
paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan
manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina
mata.
1.1.3.1 Cerebellum
Cerebellum atau otak kecil adalah bagian dari sistem saraf pusat yang terletak di
bagian belakang tengkorak (fossa posterior cranial). Semua aktivitas pada bagian ini
di bawah kesadaran (involuntary). Fungsi utama cerebelum yaitu mengkoordinasi dan
memperhalus gerakan otot serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk
mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh. Apabila terjadi cedera pada
cerebelum, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot
sehingga gerakan menjadi tidak terkoordinasi.
1.1.4.1 Brainstem
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan,
denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan
sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya
bahaya. Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a) Mesencephalon atau otak tengah (mid brain) adalah bagian teratas dari batang
otak yang menghubungkan cerebrum dan cerebelum. Mesencephalon berfungsi
4
halus, masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua
lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus
di sisi medial homisfer otak. Prametar membentuk sawan antar ventrikel dan
sulkus atau vernia. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus
foroideus pada setiap ventrikel. Diantara arachnoid dan parameter terdapat
ruang subarachnoid, ruang ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu.
Dan memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada kedalam system
vena.
1. Otak.
Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak yang dijumpai
pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran :
a. Efek langsung trauma pada fungsi otak,
b. Efek-efek lanjutan dari sel- sel otak yang bereaksi terhadap trauma.
Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar (fraktur
cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak keluar dari hidung /
telinga), merupakan keadaan yang berbahaya karena dapat menimbulkan
peradangan otak.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dan karena
tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan
menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggian
tekanan tekanan intra cranial).
2. Tekanan Intra Kranial (TIK).
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak,
volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak pada 1
satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan
berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau berisi jaringan otak (1400 gr),
Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2 tekanan pada 3
komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan Hipotesa
Monro – Kellie menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di
dalam tengkorak, adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini
6
1.1.3 Etiologi
Penyebab cedera kepala berat adalah:
1.1.3.1 Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi kontusio serebral, hematom
serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran
otak atau hernia.
1.1.3.2 Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi).
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera
akson,kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral,
batang otak atau kedua-duanya.
1.1.4 Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal
3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat - ringan, dan
morfologi.
1.1.4.1 Mekanisme cedera kepala
Cedera kepala secara luas dapat dibagi atas cedera kepala tertutup dan cedera
kepala terbuka. Cedera kepala tertutup biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil
atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedangkan cedera tembus
disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
1.1.4.2 Berat cedera kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan suatu komponen untuk mengukur
secara klinisberatnya cedera otak. Glasgow Coma Scale meliputi 3 kategori yaitu
respon membuka mata, respon verbal, dan respon motorik. Skor ditentukan oleh
7
jumlah skor dimasing -masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor
minimum 3 ialah sebagai berikut:
1) Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala berat.Kehilangan
kesadaran atau terjadi amnesia > 24 jam, juga meliputi kontusio serebral, laserasi,
atau hematoma intrakranial.
2) Nilai GCS 9 – 12 didefinisikan sebagai cedera kepala sedang. Kehilangan
kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi kurang dari 24 jam dan dapat
mengalami fraktur tengkorak.
3) Nilai GCS 13 – 15 didefinisika n sebagai cedera kepala ringan (D. Jong, 2010)
1.1.5 Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap
jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada
cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan mobil,
sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak
ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik bentur
kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal.
Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi
sebaliknya (contra coup).
Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan
otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan
otak dan pembuluh darah. Respon awal otak yang mengalami cedra adalah
”swelling”. Memar pada otak menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran
darah ke daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan
penekanan terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih
dalam tengkorak kepala maka ‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan
meningkatkan tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak.
Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak segera terjadi tetapi mulai
berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini untuk mempertahankan
8
arteri kecil pada serebral. Setelah anoksia 4 hingga 6 menit, perbaikan oksigenasi dan
tekanan darah tidak akan memperbaiki perfusi korteks (tidak ada fenomena reflow)
dan cedera anoksia akan terus berlangsung dalam sel otak. Sepertinya hipotermia
mampu melindungi otak terhadap efek tersebut dan terdapat laporan kasus pasien
hipotermia yang diresusitasi setelah mengalami hipoksia selama 1 jam
15
Trauma tajam/Tekenan Trauma tumpul
pleura,benda tajam kecelakaan,terjatuh,trauma
Persalinan,Penyalah gunaan
Obat-obatan
WOC COB POST OP CRANIOTOMY Trauma
kepala
Ekstra Kranial/ kulit kepala Tulang Kranial Pendarahan otak Intra karnial/jaringan otak
Post op craniotomy
1.1.8 Penunjang
1.1.8.1 Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas
darah.
1.1.8.2 CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
1.1.8.3 MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
1.1.8.4 Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
17
5. Sinar-X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari garis tengah (karena perdarahan,edema), adanya fragmen tulang
6. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak
7. Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak
8. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarachnoid
9. Gas Darah Arteri (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK
10. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK/perubahan mental
11. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
1.1.10.4 Penatalaksanaan
1. Preoperasi
Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien diterapi dengan
medikasi antikonvulsan (fenitoin) untuk mengurangi resiko kejang pasca
operasi. Sebelum pembedahan, steroid (deksametason) dapat diberikan untuk
mengurangai edema serebral. Cairan dapat dibatasi. Agens hiperosmotik
(manitol) dan diuretik (furosemid) dapat diberikan secara intravena segera
sebelum dan kadang selama pembedahan bila pasien cenderung menahan air
yang terjadi pada individu yang mengalami disfungsi intrakranial. Kateter
urinarius menetap di pasang sebelum pasien dibawa ke ruang operasi untuk
mengalirkan kandung kemih selama pemberian diuretik dan untuk
memungkinkan haluaran urinarius dipantau. Pasien dapat diberikan antibiotik
bila serebral sempat terkontaminasi atau diazepam pada praoperasi untuk
22
2. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek
sterildi bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi.
3. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar
dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk
kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk mengetahui
lokasi, zygoma – sebagai batas basis crani, jalannya N VII (kurang lebih 1/3
depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita).
24
4. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin1:200.000
yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengandoek steril.
5. Prosedur Operasi
1) Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
3) Buka flap secara tajam pada looseconnective tissue. Kompres dengan kasa
basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah
tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulitkepala). Klem pada pangkal flap
dan fiksasi pada doek.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara
simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi
perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah
selanjutnya adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U)
berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura,
kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat
lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan otak, berarti
arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas berbuntut melalui lubang
sayatan ke bawah duramater di dalam ruang subdural, dan selanjutnya
dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap kemungkinan trauma pada
lapisan tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.
Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk
pembuluh darah kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otakdengan
pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan
diruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak
dibawahnya tak ada darah lagi
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak
yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas dari
perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan
kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang
jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya
tulang dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak
dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara
sebagai berikut:
27
(1) Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus
keluar kulit.
(2) Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
(3) Pasang drain subgaleal.
(4) Jahit galea dengan vicryl 2.0.
(5) Jahit kulit dengan silk 3.0.
(6) Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
(7) Operasi selesai.
22) Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada
tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang
akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada
tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi
(3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura).
Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis
demi lapis seperti diatas.
1.1.10.6 Komplikasi Pasca Operasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pascabedah intrakranial
atau kraniotomi adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan tekanan intrakranial
2. Perdarahan dan syok hipovolemik
3. Ketidakseimbangan cairan dan elekrolit
4. Infeksi
5. Kejang
6. Edema cerebral.
7. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
8. Hipovolemik syok.
9. Hidrocephalus.
10. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus).
11. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
12. Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi.
28
13. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
14. Pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli keparu-paru, hati
dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi,
ambulatif. (Brunner & Suddarth, 2002).
1.1.10.7 Perawatan Pasca bedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. sebagai berikut :
1. Monitot kesadran Tanda-tanda vital
2. Monitor Intake dan out put
3. Observasi dan catat sifat drainage ( warna dan jumlah)
4. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati jangan
sampai drainage tercabut
5. Perawatan luka operasi secara steril.
1.1.10.8 Follow-Up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan
untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga:
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
1. Primery Survey
a. Air way
1) Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair)setelah
dilakukan pembedahan akibat pemberian anestesi.
2) Potency jalan nafas, → meletakan tangan di atas mulut atau
hidung.
3) Auscultasi paru → keadekwatan expansi paru, kesimetrisan.
b. Breathing
1) Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguanirama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensimaupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau
Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
( kemungkinana karena aspirasi), cenderungterjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
2) Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X
/ menit → depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal → gangguan
cardiovasculair atau rata-rata metabolisme yang meningkat.
30
3. B3 (BRAIN)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral dan
pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan
klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian fungsi serebral : status mental
observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik
klien Pengkajian sistem motorik inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada
ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, dan paraplegia. Pengkajian sistem
sensori ganguan sensibilitas pada klien cedera kepala berat sesuai dengan
segmen yang mengalami gangguan.
4. B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
5. B5 (BOWEL)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan
defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang
akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
6. B6 (BONE)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi
saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi
segmental dari saraf yang terkena.disfungsi motorik paling umum adalah
kelemahan dan kelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit,
32
KHUSUS
1. Konservatif : Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian
steroid
2. Operatif : Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
3. Monitoring tekanan intrakranial : yang ditandai dengan sakit kepala
hebat, muntah proyektil dan papil edema
4. Pemberian diet/nutrisi
5. Rehabilitasi, fisioterapi
- Uvula: simetris
f. Tenggorokan :
a) Inspeksi :
- Mukosa lidah dalam batas normal, tidak terdapat
gambaran peta.
- Mukosa faring : hiperemis (+), granuler (+), oedem (+).
- Ovula : tidak ada kelainan.
- Tonsil : tidak membesar, tidak hiperemis.
- Detritus (-)
b) Palpasi :
- Pembesaran submandibula (-), nyeri tekan (-)
g. Leher
a) Inspeksi
- Bentuk, warna, bengkak, massa, jaringan parut
b) Palpasi
- Nodul kelenjar limfe, vena jugularis, kelenjar tiroid.
- Pemeriksaan kaku kuduk atau tengkuk, ciri adanya
rangsang atau iritasi meningeal akibat perdarahan atau
peradangan sub arachnoid.
2) Pemeriksaan Thoraks/ dada :
a. Pemeriksaan paru:
a) Inspeksi :Bentuk dinding dada simetris, adanya nafas
kusmaul
b) Palpasi :Bentuk normalnya tidak ada kreptasi, tidak
ada nyeri tekan, vocal fremitus kanan dan kiri
sama.
c) Perkusi : Tidak ada pembesaran dinding dada sonor
pada kedua lapang paru
d) Auskultasi : Suara nafas vesikuler atau tidak, suara
nafas tambahan tidak ada, ronci (-), wheezing
36
(-)
b. Pemeriksaan jantung
a) Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
b) Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
c) Perkusi :
- Batas jantung kanan atas: SIC II LPS dextra
- Batas jantung kanan bawah : SIC V LPS dextra
- Batas jantung kiri atas: SIC II LMC sinistra
- Batas jantung kiri bawah: SIC VI LAA sinistra
d) Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 tunggal, tidak ada bunyi jantung
tambahan, dan tidak ada murmur.
3) Pemeriksaan abdomen
a. Inspeksi : Bentuk flat dan simetris, adanya distensi
abdominal
b. Auskultasi : Peningkatan bising usus (>20x/mnt)
c. Palpasi : Terkadang dapat nyeri abdomen
d. Perkusi : Terdapat bunyi pekak.
beberapa mekanisme, cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut dan
gaya : kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien dengan cedera medulla spinalis bias disebabkanoleh Beberapa penyakit
seperti Reumatoid Artritis, pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis,
Osteoporosis maupun tumor ganas.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera
medulla spinalis.
9. B3 (BRAIN)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral dan
pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan
klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian fungsi serebral : status mental
observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik
klien Pengkajian sistem motorik inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada
ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, dan paraplegia. Pengkajian sistem
sensori ganguan sensibilitas pada klien cedera kepala berat sesuai dengan
segmen yang mengalami gangguan.
10. B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
11. B5 (BOWEL)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan
defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang
akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
12. B6 (BONE)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi
saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi
segmental dari saraf yang terkena.disfungsi motorik paling umum adalah
kelemahan dan kelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit,
suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
i. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
ii. Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.
39
1.2.7 Intervensi
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil)
Dx1.Bersihan jalan napas Bersihan jalan nafas (SLKI,L.01001, Manajemen Jalan Nafas Buatan
tidakefektif yang berhubungan Hal18) (I.01012 Hal. 187)
dengan penumpukan sputum, Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
peningkatan sekresi sekret, dan selama 1x7 jam diharapkan penurunan 1. Monitor posisi selang endotrakeal
penurunan kemampuan batuk produksi sekret, obstruksi jalan nafas (ETT), terutama setelah mengubah
(ketidakmampuan batuk/batuk untuk mempertahankan kepatenan posisi
efektif). (D.0001 Hal. 18) jalan nafas. Dengan kriteria hasil : 2. Monitor tekanan balon ETT setiap
1. Produksi sputum menurun 4-8 jam
2. Dispnea menurun 3. Monitor area stoma trakeostomi
3. Sulit berbicara sedang (mis. Kemerahan, drainase,
4. Sianosis menurun perdarahan)
5. Frekuensi nafas membaik Terapeutik
6. Pola nafas membaik 1. Kurangi tekana balon secara
periodik setiap shif
2. Pasang oropharingeal airway
(OPA) untuk mencegah ETT
tergigit
3. Cegah ETT terlipat (kinking)
4. Berikan pre0oksigenasi 100%
selama 30 detik (3-6 kali ventilasi)
sebelum dan setelah pengisapan
5. Berikan volume pre-oksigenasi
(bagging atau ventilasi mekanik)
1,5 kali volume tidal
6. Lakukan pengisapan lendir kurang
dari 15 detik jika diperlukan
(bukan secara berkala/rutin)
41
edema selebral (D.0066 hal 149) Setelah diberi Asuhan Keperawatan Pemantuan tekanan intrakranial
selama 1x7 jam, diharapkan fungsi (I.06198, halm 249)
kerja otak dapat membaik, dengan Observasi
kriteria hasil : 1. Identifikasi penyebab penyakit
1. Funsi kognitif meningkat skor 5 TIK
2. Sakit kepala membaik skor 5 2. Monitor peningkatan TD
3. Tekanan darah membaik skor 5
3. Monitor pelebaran tekanan nadi
4. Tekanan nadi membaik skor 5
5. Pola nafas membaik skor 5 4. Monitor penurunan frekuensi
6. Respon pupil membaik skor 5 jantung
7. Refleks neurologis membaik 5. Monitor tingkat kesadaran
skor 5 6. Monitor perlambatan atau
8. Tekanan intra karnial membaik ketidaksimetrisan respon pupil
skor 5 7. Monitor kadar CO2 dan
pertahankan dalam rentang
yang diindikasikan
8. Monitor tekanan perfusi
serebral
9. Monitor jumlah, kecepatan dan
karakteristik drainase cairan
serebrospinal
10. Monitor efek stimulasi
lingkungan terhadap TIK
Terapeutik
1. Ambil sampel drainase cairan
serebrospinal
2. Kalibrasi transduser
44
Setelah diberikan askep selama 3x24 Manajemen Nyeri (I.08238 hal: 201)
jam diharapkan tingkat nyeri menurun. Observasi:
Kriteria hasil : - Identifikasi lokasi, karakteristik,
- Keluhan nyeri menurun (skor 5) durasi, frekuensi, kualitas,
- Gelisah menurun (skor 5) intensitas nyeri
- Frekuensi nadi membaik (skor 5) - Identifikasi skala nyeri
- Pola nafas membaik (skor 5) - Identifikasi respons nyeri non
- Pola tidur membaik (skor 5) verbal
- Identifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan
nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya
terhadaprespon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan - Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik:
- Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
46
Dx.5.Gangguan mobilitas fisik yang Mobilitas fisik (SLKI, L.05042 hal 66) Pemantauan neurologis (SDKI,
Setelah dilakukan tindakan
berhubungan dengan kerusakan I.061197, hal 22)
47
panggul/berkemihan
6. Anjurkan minum yang cukup,
jika tidak ada kontraindikasi
7. Anjurkan mengurangi minum
menjelang tidur
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat supositoria
uretra, jika perlu
Risiko perfusi jaringan serebral Perfusi selebral (SLKI, L.02014 hal Menajemen Peningkatan Tekanan
tidak efektif yang berhubungan 86) Intrakarnial (I.06194 Hal 205)
dengan cedera kepala akut. (D.0017 Setelah diberi Asuhan Keperawatan Obsrevasi
51
1.2.8 Implementasi
Pada tahap ini ada pengolahan dan perwujudan dari rencana perawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan keperawatan yang telah ditentukan dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan secara optimal
1.2.9 Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sitematik dan terencana tentang kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah dilakukan dengan berkesinambungan dengan
melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lain
BAB 2
TINJAUAN KASUS
2.1 Pengkajian
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada hari senin tanggal 06 November 2020
jam 15.00 WIB.
2.1.2 Identitas Klien
Nama : Tn.K
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Jl. Menteng 13
Tgl MRS : 6 November 2020
Diagnosa Medis : Cob Post Op Craniotomy
1) Keluhan Utama :
55
56
Keluarga pasien mengatakan di keluarga mereka tidak ada riwayat penyakit seperti
yang di alami pasien sekarang.
Genogram keluarga
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Meninggal
: Meninggal
: Klien
... : Tinggal Serumah
57
1) Keadaan Umum
Pasien tampak sakit berat, Pasien tampak berbaring lemah di tempat tidur, bedres
total, kesadaran somnolent, terpasang Manset monitor, terpasang SPO2 infus Futrolit
20 tpm ditangan kanan, terpasang oksigen 8 liter/menit simple mask, terpasang
Endotracheal Tube, Nasogastric tube dan Kateter dan juga tampak ada bekas luka
dikepala pasca operasi yang masih belum kering dan bau amis tampak luka masih
bewarna merah lebar luka 5cm dan panjang luka 1,5cm dan masi tersa hangat.
2) Status Mental
Tingkat kesadaran somnolen, ekspresi wajah datar (tidak ada ekspresi), bentuk badan
sedang, cara berbaring terbatas, tidak dapat berbicara jelas, suasana hati tampak
gelisah , fungsi kognitif orientasi waktu pasien tidak dapat membedakan antara pagi,
siang, malam, orientasi orang pasien tidak dapat mengenali keluarga maupun petugas
kesehatan, orientasi tempat pasien tidak mengetahui bahwa sedang berada di rumah
sakit. Insight baik, mekanisme pertahanan diri maladaptif.
3) Tanda-tanda Vital
Pada saat pengkajian tanda–tanda vital, tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 64
x/menit, pernapasan 28 x/menit dan suhu 36,7 0C.
4) Pernapasan (Breathing)
Bentuk dada simetris, ada kebiasaan merokok sehari 5 batang, ada batuk sejak 2 hari,
sputum berwarna kuning, tidak terdapat sianosis, adanya sesak nafas saat aktivitas
maupun istirahat, type pernafasan dada dan perut, irama pernafasan tidak teratur,
suara nafas trskeal, bunyi nafas tambahan ronchi basah (rales).
Masalah keperawatan:
58
5) Cardiovasculer (Bleeding)
Tidak Ada nyeri, cappilary refill >2 detik, tampak pucat, tidak ada edema ekstermitas
bawah dan atas, Ictus Cordis tidak terlihat, adanya peningkatan Vena Jugularis, Bunyi
Jantung S3 S4 lup dup.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah
6) Persyarafan (Brain)
Nilai GCS E : 1 (Pasien sama sekali tidak dpat membuka mata), V : 2 (Berkata tidak
sesuai) M : 5 (Pasien dapat bergerak, apabila mempreoleh rangsangan) dan total Nilai
GCS : 8, kesadaran somnolent, pupil anisokor, reflek cahaya kiri kanan positif, pasien
tampak gelisah.
Hasil uji syaraf kranial nervus I (olfaktorius) penurunan daya penciuman, nervus
kranial II (optikus) terjadinya penurunan penglihatan, nervus kranial III
(okulomotorius) pupil dapat berkontraksi saat melihat cahaya, nervus kranial IV
(troklearis) bola mata tidak dapat mengikuti perintah, nervus kranial V (trigeminus)
gangguan mengunyah, nervus kranial vi (abdusen) tidak dapat melihat kesamping,
nervus kranial VII (fasialis) tidak dapat tersenyum, nervus kranial VIII
(vestibulokoklearis) tidak dapat mendengarkan perkataan, nervus kranial IX
(gasofaringeal) tidak dapat membedakan rasa, nervus kranial X (vagus) tidak dapat
berbicara dengan jelas nervus kranial XI (aksesorius) tidak dapat menggerakan
kepala, nervus kranial XII (hipogosus) tidak dapat mengendalikan pergerakan lidah.
Hasil uji koordinasi ekstrimitas atas jari ke jari negatif, jari ke hidung negatif
ekstrimitas bawah tumit ke jempul kaki negatif uji kestabilan tubuh negatif uji sensasi
tidak ada respon
Masalah Keperawatan : Penurunan Kapasitas adaptif intrakarnial
59
Produksi urine 1000 ml/5 jam warna urine kuning, bau urine amoniak. Pasien poliuri
dan terpasang kateter.
Masalah keperwatan: tidak ada masalah
Bibir terlihat lembab,tidak ada lesi. Gigi tidak ada yang tanggal tidak caries,gusi
terlihat tidak ada peradangan dan pendarahan, lidah berwarna merah muda dan tidak
ada peradangan, tidak ada pendarahan pada mukosa, tidak ada peradangan pada
tonsil, tidak ada keluhan nyeri pada tenggorokan saat menelan, palpasi abdomen tidak
teraba massa dan tidak ada nyeri tekan abdomen. Tidak ada hemotoroid pada
rectum.Pasien BAB 1x sehari warna kuning dan lunak konsistensinya. Tidak terdapat
keluhan lainnya dan masalah keperawatan
9) Tulang-Otot-Integumen (Bone)
Kemampuan pergerakan sendi terbatas, tidak parese, tidak ada paralise, tidak ada
hemiparese, tidak ada krepitasi, tidak ada kekakuan, tida ada bengkak, ukuran otot
simetris, ekstremitas atas 2/5 dan ekstremitas bawah 2/5 normal pergerakanya, tidak
ada deformitas pada tulang, tidak ada perlukaan, tidak ada peradangan, maupun patah
tulang.
Tidak ada masalah Keperawatan.
Riwayat alergi pasien tidak pernah mengalami alergi obat, alergi makanan, Suhu kulit
Tn. K hangat, warna kulit putih/pucat, tidak ada kelainan, turgor halus tidak kasar
,kemerahan bekas luka pasca operasi ada peradangan pada bagian kulit kapala bekas
operasi tamapk warna luka masih merah, tampak luka masih belum kering dan masih
bau amis, lebar luka 5cm, panjang luka 1,5cm terasa hangat di bagian luka jaringan
60
perut tidak ada, tekstur rambur kasar, distribusi rambut merata, bentuk kuku simetris
tidak ada kelainan tidak ada masalah keperawatan.
Masalah Keperawatan : Resiko infeksi
Fungsi penglihatan normal, bola mata bergerak normal, visus mata kanan dan mata
kiri normal 5/5, sklera normal/putih, kornea bening dan konjungtiva anemis. Pasien
tidak memakai kecamata dan tidak keluhan nyeri pada mata. Fungsi pendengaran
baik, penciuman normal, hidung simetris, dan tidak ada polip.
Tidak ada masalah keperawatan.
Massa tidak ada, jaringan parut tidak ada, kelenjar limfe tidak teraba, kelenjar tyroid
tidak teraba, mobilitas leher bergerak bebas tidak terbatas.
13) Sistem Reproduksi
Reproduksi Perempuan, tidak ada kemerahan, tidak ada gatal, tidak ada perdarahan,
kebersihan baik, payudara simetris, puting menonjol, tidak ada keluhan lain.
Masalah Keperawatan : tidak ada
2.1.5 Pola Fungsi Kesehatan
Tinggi badan 157 cm, berat badan sebelum sakit 54 kg, berat badan saat sakit 52
kg. Diet cair, gangguan menelan, tidak ada mual dan muntah
.
IMT = = = =
21,13
hari
Frekuensi/hari 3 x/hari 3x/hari
Porsi 1 porsi 1 porsi
Nafsu makan Kurang Baik Baik
Jenis Makanan Susu Nasi,sayur, dan ikan
Jenis Minuman Air Putih Air Putih
Jumlah minuman/cc/24 3 x 100 ml 1000 ml
jam
Kebiasaan makan Pagi, siang, sore Pagi, siang, sore
Keluhan/masalah Terpasang NGT Tidak ada
Masalah keperawatan : Resiko defist nutrisi
Balance cairan
Jumlah Intake Output
Infus Futrolit 200 ml urine 1000 ml Urine 1000 ml/7
infus manitol 250 ml IWL = (15x64)/24=40
Dalam 7 jam
obat injeksi 9 ml = 40 x 7
air minum 40 ml =280
Frekuensi pola istirahat dan tidur pasien tidak dapat dikaji karena pasien penurunan
kesadaran.
Masalah Keperawatan: tidak ada masalah
4) Kognitif
Keluarga pasien menerima keadaannya Tn.K saat ini dan berusaha agar Tn. K cepat
sembuh.
Masalah Keperawatan: tidak ada masalah
6) Aktivitas Sehari-hari
Sebelum sakit pasien jika ada masalah pasien selalu membicarakannya dengan
keluarga untuk mendapat jalan keluar yang baik. Sesudah sakit keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu berbicara dengan keluarganya.
Masalah Keperawatan : Tidak ada
8) Nilai-Pola Keyakinan
2.1.6 Sosial-Spritual
1) Kemampuan berkomunikasi
Keluarga pasien mengatakan hubungan pasien dan keluarga baik, tidak ada
63
masalah.
4) Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain
Orang terdekat pasien adalah keluarganya yang meliputi istri dan anak.
6) Kebiasaan menggunakan waktu luang
Pasien mengahabis waktu bersama istri dan anaknya keluar makan atau
menonton tv
7) Kegiatan beribadah :
4-10x103/uL
WBC 9,61 x 103/uL
3.5-5.5x106/uL
RBC 4.3 x 106/uL
64
11-16 mg/dl
HGB 10.3 gr/dl
150-400x103/uL
PLT 371 x 103/Ul
< 200 mg/dl
Glukosa S 97 mg/dl
pendarahan seperti
pendarahan pasca
operasi,mimisan
5. Vitamin K 3x1ml/IV
Untuk mengatasi
Hipersensitivitas.
gangguan perdarahan
Hendra
2017.C.09a.0843
ANALISIS DATA
DATA SUBYEKTIF DAN KEMUNGKINAN MASALAH
DATA OBYEKTIF PENYEBAB
DS: Keluarga pasien Kebutuhan O2 meningkat Bersihan jalan
mengatakan pasien tampak nafas tidak efektif
sesak nafas RR meningkat
DO:
1. Pasien tampak lemah Pemasangan ETT dan
2. Pasien tampak gelisah ventilator
66
mengatakan Tn.K 2
Penuruanaan kelembaban
hariyang lalu baru saja
luka
menjalani operasi
post operasi
Do :
1. Pasien tampak lemah infaksi bakateri
2. tampak ada bekas luka
Resiko infeksi
kepala operasi Craniotomy
3. sekitar luka terasa hangat
4. tampak luka di kepala
pasien belum kering
5. Tampak luka masih
berwarna merah dan masih
bau
6. lebar luka 5cm pajang luka
1,5cm
7. Pasien menggunakan
kateter
Ds: - Fraktur tulang tengkorak Defisit Perawatan
Do: Diri
1. Pasien tampak lemah Gangguan saraf motorik
2. Pasien mengalami
penurunan kesadaran. Gangguan kordinasi gerak
3. Pasien tampak bedres total
Ekstremitas hemiprase
4. skala aktivitas 4 (sangat
tergantung dan tidak dapat Tidak mampu melakukan
melakukan atau ADL
berpartisipasi dalam
perawatan sandiri) Membutuhkan bantuan orang
5. ADL pasien semua lain
dibantu oleh perawat dan
Defisit Perawatan Diri
keluarga (mandi,
berpakaian, toileting,
makan dan minum)
69
Prioritas Masalah
1. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan penumpukan
sputum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan kemampuan batuk
ditandai dengan pasien tampak lemah, tampak gelisah, capilary refill > 2
detik, pola nafas takipnea, pasien tidak mampu batuk efektif, terdengar
bunyi nafas tambahan ronchi basah, pola nafas takipnea, terdapat sputum
pada jalan nafas, pasien terpasang Endotracheal Tube (ETT), TTV:
TD:130/80 mmHg, N : 64 x/menit, S : 36,7 °C, RR: 28 x/menit.
2. Penurunan kapasitas adaptif intrakarnial berhubungan dengan gangguan
metabolisme ditandai dengan pasien tampak gelisah, pasien tampak lemah,
pola nafas takipnea, mengalami penurunan kesadaran, GCS: 8 E1V2M5
somnolen, pupil Anisokor, gangguan fungsi kognitif : Disorientasi waktu,
orang dan tempat, TTV: TD:130/80 mmHg, N : 64 x/menit, S : 36,7°C,
70
RR: 28x/menit
3. Resiko infeksi berhubungan dengan integritas kulit dan jaringan ditandai
dengan adanya luka yang belum mengengering pasca tindak operasi
craniotomy,tampa warna kemerahan,masih bau amis, lebar 5cm panjang
1,5cm
4. Resiko defisit nutrisi berhungan dengan kurangnya asupan makanan di
tandai dengan pasien tampak lemah, tampak kurus, Kurang kemampuan
menelan makan akibat Proses penyakit yang di derita kurangnya
kemampuan tubuh mencernan makan dan dibuktikan dengan berat badan
bekurang 55kg menjadi 52
5. Defisit perawatan diri berhubungn dengan gangguan neuromuskuler
ditandai dengan, Pasien tampak lemah Pasien mengalami penurunan
kesadaran, Pasien tampak bedres total, ADL pasien semua dibantu oleh
perawat dan keluarga (mandi, berpakaian, toileting, makan dan minum),
skala aktivitas 4 (sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau
berpartisipasi dalam perawatan sandiri)
71
RENCANA KEPERAWATAN
Nama Pasien : Tn.K
Ruang Rawat : Keperawatan Kritis
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional
1. Bersihan jalan napas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor pola nafas 1. Mengetahui pola nafas (frekuensi,
yang berhubungan dengan keperawatan selama 1x7 jam (frekuensi, kedalaman, kedalaman, usaha nafas)
penumpukan sputum, diharapkan penurunan produksi usaha nafas) 2. Bunyi nafas (mis. Gurgling, mengi,
sekret, obstruksi jalan nafas untuk
peningkatan sekresi sekret, dan 2. Monitor bunyi nafas (mis. wheezing, ronki kering) menandakan kondisi
mempertahankan kepatenan jalan
penurunan kemampuan batuk nafas. Dengan kriteria hasil : Gurgling, mengi, wheezing, jalan nafas
ditandai dengan pasien tampak 1. Batuk efektif meningkat 5 ronki kering) 3. Mengetahui banyaknya sumbatan di jalan
lemah, tampak gelisah, capilary 2. Produksi sputum menurun 3. Monitor sputum (jumlah, nafas
refill > 2 detik, pola nafas skor 5 warna, aroma) 4. Semi fowler dan fowler ekspansi dada lebih
takipnea, pasien tidak mampu 3. Dispnea menurun skor 5 4. Posisikan semi-fowler atau maksimal
batuk efektif, terdengar bunyi 4. Gelisah menurun fowler 5. Mencegah terjadinya sesak nafas pada
nafas tambahan ronchi basah, 5. Frekuensi nafas membaik 5. Lakukan pengisapan lendir pasien
pola nafas takipnea, terdapat skor 5 kurang dari 15 detik 6. Pemberian oksigen 100% membantu pasien
sputum pada jalan nafas, pasien 6. Pola nafas membaik skor 5 6. Lakukan hiper oksigenasi sebelum dan setelah pengisapan lendir
terpasang Endotracheal Tube sebelum pengisapan 7. Pemberian volume oksigenasi mencegah
(ETT), TTV: TD:130/80 mmHg, endotrakeal hipoksia
N : 64 x/menit, S : 36,7 °C, RR: 7. Berikan oksigenasi 8. Pengisapa lendir untuk mengurangi sekret
28 x/menit 8. Kolaborasi pemberian yang mengganggu pernafasan
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik
Setelah diberi Asuhan
72
2. Penurunan kapasitas adaptif Keperawatan selama 1x7 jam, 1. Identifikasi penyebab 1. Mengetahui tanda dan gejala peningkatan
intrakarnial berhubungan dengan diharapkan fungsi kerja otak dapat peningkatan TIK TIK
gangguan metabolisme ditandai 2. Monitor peningkatan TD 2. Mengontrol tekanan darah
membaik, dengan kriteria hasil :
dengan pasien tampak gelisah, 3. Monitor ireguleritas irama 3. Untuk mengetahui status perkembangan
pasien tampak lemah, pola nafas 1. Tingkat kesadaran meingkat 5 nafas pasien
takipnea, mengalami penurunan 2. Fungsi kongnitif meningkat 4. Penurunan kesadaran berpengaruh buruk
kesadaran, GCS: 8 E1V2M5 4. Monitor penurunan tingkat terhadap pasien
3. Gelisah menurun 5
somnolen, pupil isokor, gangguan kesadaran 5. Untuk mengetahui reflek pupil dan gerakan
fungsi kognitif : Disorientasi 4. Tekanan darah menurun 5 5. Monitor perlambatan atau kembali bola mata
waktu, orang dan tempat, TTV: 5. Pola nafas membaik 5 ketidakstimetrisan respon 6. Mengetahui perkembangan keadaan pasien
TD:130/80 mmHg, N : 64 pupil. 7. Keluarga dapat memahami tujuan
6. Respon pupil membaik 5
x/menit, S : 36,7°C, RR: 6. Dokumentasi hasil pemantauan
28x/menit pemantuan 8. Keluarga dapat mengetahui perkembangan
pada pasien
7. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantuan
8. Infromasikan hasil
pemantuan
3. Resiko infeksi berhubungan Keperawatan selama 1x7 jam, luka (mis,warna,ukuran 1. untuk mengetahui seberapa parah luka
dengan integritas kulit dan diharapkan Intergritas kulit dan bau) tersebut
2. Monitor tanda-tanda 2. supaya dapat mengatahui tanda dan gejala
jaringan ditandai dengan jaringan membaik dapat infeksi infeksi, mis warna ukuran bau
adanya luka yang belum membaik, dengan kriteria hasil : 3. lepaskan balutan plaster 3. agar pasien merasa nyaman saat melakukan
secara perlahan perawatan luka
mengengering pasca tindak 1. Suhu kulit 4
4. cukur rambut di sekitar 4. supaya mempermudah saat kita melalukan
operasi craniotomy,tampa 2. Kemerahan 4 daerah luka jika perlu
perawatan luka
warna kemerahan,masih bau 3. Teskstur 4 5. bersihkan dengan cairan
5. mempertahan kebersihan lukan pasien agar
4. Bengkak 4 Nacl atau pembersih
amis,lebar luka 5cm pajang selalu bersih
nontoksit sesuai
5. Pertumbuhan rambut 4 6. supaya membantu proses penyembuhan luka
1,5cm kebutuhan
6. berikan salep yang sesuai dengn cepat
ke kulit/lesi jika perlu 7. supaya terhindar dari bakteri dan infeksi
7. pertahan kan teknik steril 8. agar keluarga dan pasien tau tanda dan
saat melakukan peratwan gejala infeksi
lukan 9. agar dapat pemberian antibiotik dan sesui
8. jelaskan tanda dan gejal kebutuhan pasien.
infeksi
9. kolaborasi dengan dokter
pemberian antibiotik
5. perawatan diri berhubungn Setelah diberi Asuhan 1. Monitor tingkat kemandirian 1. Mengetahui kemampuan pasien
dengan gangguan Keperawatan selama 1x7 jam, 2. Sediakan lingkuhan yang 2. Penyediaan lingkungan yang aman dan
diharapkan kemampuan
75
neuromuskuler ditandai melakukan atau menyelesaikan terapeutik (mis. Suasana hangat, privasi membuat pasien merasa nyaman
dengan, Pasien tampak aktivitas perawatan diri. dengan rileks, privasi) 3. Membantu mempersiapkan kebutuhan pasien
lemah Pasien mengalami kriteria hasil : 3. Siapkan keperluan pribasi (mis. agar perawatan diri terpenuhi
1. Kemampuan mandi meningkat
penurunan kesadaran, Parfum, sikat gigi, dan sabun 4. Mencegah defisit peraawatan diri
5
Pasien tampak bedres total 2. Kemampuan mengenakan mandi)
skala ADL pasien semua pakaian meningkat 5 4. Fasilitasi kemandirian, bantu 5. Penjadwalan secaraa rutin membantu
dibantu oleh perawat dan 3. Kemampuan ketoilet klien melakukan perawatan diri mengigatkan dalan melakukan perawatan diri
keluarga (mandi, meningkat 5 5. Jadwalkan rutinitas perawatan 6. Perawatan diri secara konsisten dapat
berpakaian, toileting, 4. Minat melakukan perawan diri diri membantu kebersihan
makan dan minum), skala meningkat 5 6. Anjurkan melakukan perawatan
5. Mempertahankan kebersihan 7. Keluarga dapat melakukan perawatan diri
aktivitas 4 (sangat diri secara konsisten sesuai
diri meningkat secara maksimal
tergantung dan tidak dapat 6. Mempertahankan kebersihan dengan kemampuan
melakukan atau 7. Ajarkan keluarga dalam 8. Berkolaborasi dengan keluarga agar
mulut meningkat 5
berpartisipasi dalam 7. Menggunakan karta kerja dan melakukan perawatan diri keburtuhan kebersihan diri pasien dapat
perawatan sandiri) mmg dipakai 8. Kolaborasi dengan keluarga terpemuhi
dalam memberi dukungan dan
bantuan kepada pasien
76
Selasa, 10 November 1. Memonitor asupan dan keluarnya S: keluarga pasien mengatakan Tn. K masih belum
2020 makanan dan cairan serta kebutuhan sadar dan belum bisa mencerna makan secara langsung
Pukul 15.00 Wib kalori O:
2. Menimbang berat badan secara rutin - Pasien tampak kurus
Dx 4 3. Mendiskusikan perilaku makanan dan - Pasien tampak masih mengunakan NGT
jumlah aktivitas fisik - Pasien masih menggunakan NGT makan,minum
4. Memlakukan kontak waktu
- Pasien tindak bisa mencerna makan secara
5. Mendampingi kekamar mandi untuk
pengamatan perilaku memuntahkan langsung Hendra
kembali makanan - Pasien tampak tidak sadar
6. Memberikan penguatan positif terhadap A: masalah belum teratasi
keberhasilan target dan perubahan P: lanjutkan intervensi
perilaku - Monitor asupan dan keluarnya makanan dan
7. Berikan konsekuensi jika tidak cairan serta kebutuhan kalori
mencapai target sesuai kontrak - Timbang berat badan secara rutin
8. Menganjurkan membuat catatan harian - Diskusikan perilaku makanan dan jumlah
tentang perasaan dan situasi pemicu aktivitas fisik
pengeluaran makanan - Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat
9. Mengajarkan pengaturan diet yang badan, kebutuhan kalori dan pilihan makanan
tepat
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi
tentang target berat badan, kebutuhan
kalori dan pilihan makanan.
81
Selasa, 10 November 1. Memonitor tingkat kemandirian S: keluarga mengatakan dapat memahami dan
2020 mengerti tentang pentingnya perawatan diri
2. Menyiapkan keperluan pribadi (mis. Parfum,
Pukul 15.00 Wib O:
sikat gigi, dan sabun mandi) - Pasien masih belum bisa ( mandi, berpakaian,
Dx 5 toileting, makan dan minum) sendiri
3. Memfasilitasi kemandirian, bantu kila
- Kebutuhan perawatan diri pasien lengkap (sabun
melakukan perawatan diri mandi, sikat gigi)
- Skala skala aktivitas 4 (sangat tergantung dan
4. Menjadwalkan rutinitas perawatan diri
tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam
5. Mengajarkan keluarga tentang perawatan diri perawatan sandiri) Hendra
- Keluarga setuju jika besoknya dilalukan
6. Mengkolaborasi dengan keluarga dalam
perawatan diri lagi
memberi dukungan dan bantuan kepada - Keluarga tampak mengerti tentang pentingnya
kebersihan diri
pasien
- Keluarga tampak mau membantu memberi
dukungan dan bantuan kepada pasien dalam
perawatan diri
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi
1. monitor tingkat kemandirian
2. Siapkan keperluan pribasi (mis. Parfum, sikat
gigi, dan sabun mandi)
82
CATANTAN PERKEMBANGAN
Rabu, 11 November Diagnosa 2: S: Keluarga pasien mengatakan: ”Tn. K sesak nafas dan
2020 12.00 WIB 1. Menidentifikasi penyebab peningkatan tidak sadarkan diri”
TIK O:
2. Memonitor peningkatan TD - Peningkatan vena jugularis
3. Memonitor ireguleritas irama nafas - Tekanan darah 130/80 mmHg
4. Memonitor penurunan tingkat - Pola nafas 28 x/m, ireguler
kesadaran - Mengalami penurunan kesadaran GCS: 8 E1V2M5
5. Memonitor perlambatan atau somnolen
ketidakstimetrisan respon pupil. - Pupil anisokor
6. Berkolaboraasi pemberian sedasi dan - Pasien diberikan terapi Clonazepam Hendra
anti konvulsan A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
2. Monitor peningkatan TD
3. Monitor ireguleritas irama nafas
4. Monitor penurunan tingkat kesadaran
5. Monitor perlambatan atau ketidakstimetrisan
respon pupil.
6. Berkolaboraasi pemberian sedasi dan anti
konvulsan
86
Rabu, 11 November 1. Memonitor asupan dan keluarnya S: keluarga pasien mengatakan Tn. K masih belum sadar
2020 makanan dan cairan serta kebutuhan dan belum bisa mencerna makan secara langsung
Pukul 12.00 Wib kalori O:
2. Menimbang berat badan secara rutin - Pasien tampak kurus
Dx 4 3. Mendiskusikan perilaku makanan dan - Pasien tampak masih mengunakan NGT
jumlah aktivitas fisik - Pasien masih menggunakan NGT makan,minum
4. Memlakukan kontak waktu
- Pasien tindak bisa mencerna makan secara
5. Mendampingi kekamar mandi untuk
pengamatan perilaku memuntahkan langsung Hendra
kembali makanan - Pasien tampak tidak sadar
6. Memberikan penguatan positif A: masalah belum teratasi
terhadap keberhasilan target dan P: lanjutkan intervensi
perubahan perilaku - Monitor asupan dan keluarnya makanan dan
7. Berikan konsekuensi jika tidak cairan serta kebutuhan kalori
mencapai target sesuai kontrak - Timbang berat badan secara rutin
8. Menganjurkan membuat catatan - Diskusikan perilaku makanan dan jumlah
harian tentang perasaan dan situasi aktivitas fisik
pemicu pengeluaran makanan - Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat
9. Mengajarkan pengaturan diet yang badan, kebutuhan kalori dan pilihan makanan
tepat
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi
tentang target berat badan, kebutuhan
kalori dan pilihan makanan.
88
Rabu, 11 November 1. Memonitor tingkat kemandirian S: keluarga mengatakan dapat memahami dan
2020 mengerti tentang pentingnya perawatan diri
2. Menyiapkan keperluan pribadi (mis.
Pukul 12.00 Wib O:
Parfum, sikat gigi, dan sabun mandi) - Pasien masih belum bisa ( mandi, berpakaian,
Dx 5 toileting, makan dan minum) sendiri
3. Memfasilitasi kemandirian, bantu kila
- Kebutuhan perawatan diri pasien lengkap (sabun
melakukan perawatan diri mandi, sikat gigi)
- Skala skala aktivitas 4 (sangat tergantung dan
4. Menjadwalkan rutinitas perawatan diri
tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam
5. Mengajarkan keluarga tentang perawatan perawatan sandiri) Hendra
- Keluarga setuju jika besoknya dilalukan
diri
perawatan diri lagi
6. Mengkolaborasi dengan keluarga dalam - Keluarga tampak mengerti tentang pentingnya
kebersihan diri
memberi dukungan dan bantuan kepada
- Keluarga tampak mau membantu memberi
pasien dukungan dan bantuan kepada pasien dalam
perawatan diri
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi
1. monitor tingkat kemandirian
2. Siapkan keperluan pribasi (mis. Parfum,
sikat gigi, dan sabun mandi)
3. Memasilitasi kemandirian, bantu kila
melakukan perawatan diri
89
CATANTAN PERKEMBANGAN
Rabu, 11 November 1. Memonitor asupan dan keluarnya S: keluarga pasien mengatakan Tn. K masih belum sadar
2020 makanan dan cairan serta kebutuhan dan belum bisa mencerna makan secara langsung
Pukul 14.30 Wib kalori O:
2. Menimbang berat badan secara rutin - Pasien tampak kurus
Dx 4 3. Mendiskusikan perilaku makanan dan - Pasien tampak masih mengunakan NGT
jumlah aktivitas fisik - Pasien masih menggunakan NGT makan,minum
4. Memlakukan kontak waktu
- Pasien tindak bisa mencerna makan secara
5. Mendampingi kekamar mandi untuk
pengamatan perilaku memuntahkan langsung Hendra
kembali makanan - Pasien tampak tidak sadar
6. Memberikan penguatan positif A: masalah belum teratasi
terhadap keberhasilan target dan P: lanjutkan intervensi
perubahan perilaku - Monitor asupan dan keluarnya makanan dan
7. Berikan konsekuensi jika tidak cairan serta kebutuhan kalori
mencapai target sesuai kontrak - Timbang berat badan secara rutin
8. Menganjurkan membuat catatan - Diskusikan perilaku makanan dan jumlah
harian tentang perasaan dan situasi aktivitas fisik
pemicu pengeluaran makanan - Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat
9. Mengajarkan pengaturan diet yang badan, kebutuhan kalori dan pilihan makanan
tepat
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi
tentang target berat badan, kebutuhan
kalori dan pilihan makanan.
95
kamis, 12 November 1. Memonitor tingkat kemandirian S: keluarga mengatakan dapat memahami dan
2020 mengerti tentang pentingnya perawatan diri
2. Menyiapkan keperluan pribadi (mis.
Pukul 14.30 Wib O:
Parfum, sikat gigi, dan sabun mandi) - Pasien masih belum bisa ( mandi, berpakaian,
Dx 5 toileting, makan dan minum) sendiri
3. Memfasilitasi kemandirian, bantu kila
- Kebutuhan perawatan diri pasien lengkap (sabun
melakukan perawatan diri mandi, sikat gigi)
- Skala skala aktivitas 4 (sangat tergantung dan
4. Menjadwalkan rutinitas perawatan diri
tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam
5. Mengajarkan keluarga tentang perawatan perawatan sandiri) Hendra
- Keluarga setuju jika besoknya dilalukan
diri
perawatan diri lagi
6. Mengkolaborasi dengan keluarga dalam - Keluarga tampak mengerti tentang pentingnya
kebersihan diri
memberi dukungan dan bantuan kepada
- Keluarga tampak mau membantu memberi
pasien dukungan dan bantuan kepada pasien dalam
perawatan diri
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi
1. monitor tingkat kemandirian
2. Siapkan keperluan pribasi (mis. Parfum,
sikat gigi, dan sabun mandi)
3. Memasilitasi kemandirian, bantu kila
melakukan perawatan diri
96
3.1 Kesimpulan
Cedera otak berat merupakan cedera kepala yang mengakibatkan penurunan
kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24 jam (Haddad,
2012). Jadi, cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak
yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan
kematiaan. Cedera kepala berat adalah keadaan dimana penderita tidak mampu
melakukan perintah sederhana oleh karena kesadaran menurun (GCS < 8)
Pada kasus Tn K dengan keluhan utama keluarga mengatakan pasien
mengalami penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas, dengan
kesadaran somnolent nilai GCS8 Pasien tampak sakit berat, Pasien tampak
berbaring lemah di tempat tidur, bedres total, ADL pasien semua dibantu oleh
perawat dan keluarga ( mandi, berpakaian, toileting, makan dan minum) dengan
luka dibagian kepala anterior, kesadaran somnolent. Tampak terpasang infus
Futrolit 20 tpm, terpasang oksigenasi 8lpm simple mask, NGT, Endotrakeal
Tube dan kateter. Dengan fungsi neurologus terganggu, fungsi kognitif
terganggu adanya sekret di jalan nafas, ada bunyi nafas tambahan.
Kemudian dari masalah yang di temui di angkat diagnoosa keperawata
penurunan kapasitas adaktif intra karnial, bersihan jalan nafas, dan gangguan
mobilitas fiik. Telah di lakukan asuhan keperawatan namun hany sebagian
masalah yang dapat teratasi, kemudian dilanjutkan dengan catatan
perkembangan.
3.2 Saran
97
Daftar Pustaka
Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing
Haddad, S. H. & Arabi, Y. M. (2012). Critical care Management of Severe
Traumatic Brain Injury in Adults. Scandinavian Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine. 20 (12): 1-15. doi: 10.1186/1757-
7241-20-12.
Krisnandi. (2013) Asuhan keperwaatan Cidera Otak Berat.Jakarta.
Mansjoer, A,dkk. 2011 capita selekta kedokteran edisi tiga jilid 1. Jakarta : Media
Aesculapius
Rasad, 2011 Radiologi Diagnostik, Jakarta : Badan Penerbit FK UI
PPNI (2016) Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan indikator
diagnostik keperawatan, Edisi 1 Jakarta:DPP PPNI
PPNI (2018). Standar intervensi keperawatan indonesia: Definisi dan Tindakan
keperawatan, Edisi 1 Jakarta:DPP PPNI
Nama : Hendra
Nim : 2017.C.09a.0843
Tingkat : IVa Sarjana Keperawatan
Kasus : Cidera Otak Berat Post Op Craniotomy
Disusun Oleh:
Hendra
2017.C.09a.0842
I. LATAR BELAKANG
Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma
pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma
yang terjadi (sylvia anderson Price, 1985). Menurut Brain Injury Assosiation of
America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala bisa dikelompokkan sebagai
cedera kepala tertutup atau terbuka (penetrasi, luka tembus). Pada cedera kepala
tertutup, kepala menerima suatu dorongan tumpul karena membentur suatu benda.
Pada cedera kepala terbuka, suatu benda berkecepatan tinggi menembus tulang
tengkorak dan masuk ke dalam otak.
Trauma kepala atau cedera kepala merupakan kasus yang sangat sering terjadi
dalam kehidupan kita sehari-hari. Cedera kepala yang sering terjadi pada orang
dewasa karena kecelakaan lalu lintas. Terjatuh dari sepeda motor, tabrakan, kepala
terbentur bagian dari mobil karena mobil yang dinaiki menabarak atau terjungkal dan
lain sebagainya. Karena seringnya terjadi trauma kepala pada orang yang
mengendarai sepeda motor ketika kecelakaan, maka akhirnya diwajibkan siapa saja
yang mengendarai sepeda untuk menggunakan helm sebagai pelindung kepala.
Namun masih banyak yang menggunakan helm hanya sekedar sebagai syarat
untuk mentaati peraturan lalu lintas yaitu dengan memakai helm yang kurang
memenuhi syarat maupun tali helm yang tidak terikat ketika dipakai sehingga
ketika terjadi kecelakaan lalu lintas masih terjadi cedera kepala yang berat.
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit.
Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan
(CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah
cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok
usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9%
lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi
IV. SASARAN
Pasien dan keluarga di Ruang Keperawatan Kritis
V. MATERI
1. Pengertian dari cedera kepala
2. Penyebab cedera kepala
3. Macam-macam cidera kepala
4. tanda dan gejala cidera kepala
5. Penanganan dan kebutuhan nutrisi pada cedera kepala.
I. METODE
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
II. MEDIA
Leaflet
V. DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi ed.3. Jakarta : EGC.
American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam:
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,
penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI, 2004; 168-193.
Mansjoer dkk. 2000. Kapita Selelkta Kedokteran; jilid2. Media Aesculapius:
FK UI. Jakarta
MATERI PENYULUHAN
1. PENGERTIAN
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstisil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta
rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.
2. ETIOLOGI
1) Kecelakaan
2) Jatuh
3) Trauma akibat persalinan
berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan
tulang tengkorak.
Lesi intrakranial:
- fokal: epidural, subdural, epidural
- Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus
4. PENATALAKSANAAN
Pada penderita dengan cedera kepala ringan, dapat diatasi dengan cara
memberikan es atau handuk dingin pada daerah yang mengalami trauma untuk
membantu mengurangi bengkak. Jika terdapat luka, tutup dengan perban bersih dan
tekan selama 5 menit. Luka robek di kepala sering berdarah banyak. Jika terjadi
cedera kepala berat, maka segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan
pengobatan dan perawatan untuk mencegah timbulnya komplikasi klinis lainnya.
Berikut adalah hal-hal yang bisa dilakukan untuk penatalaksanaan penderita
cedera kepala sedang dan berat saat di luar rumah sakit :
1) Amankan jalan nafas dan berikan oksigen. Jika muntah harus dimiringkan
ke kiri dengan posisi log roll ( membatasi gerakan tulang belakang
penderita).
2) Stabilisasi penderita pada papan untuk tulang belakang/ backboard. Batasi
gerakan leher dengan collar kaku dan alat untuk imobilisasi kepala.
3) Segera bawa ke rumah sakit terdekat atau telpon ambulan 118.
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal
dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh
karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan
bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian
cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000
kalori/hari.
6. PENCEGAHAN
Untuk mencegah terjadinya cedera kepala, sangat dibutuhkan kesadaran dari
diri sendiri untuk menjaga kesehatan terutama keselamatan kita dalam melakukan
suatu aktivitas. Selain itu perlu diperhatikan keselamatan kita saat di jalan raya,
karena dari epidemiologi di atas, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-
53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9%
lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara :
1) Menurunkan kecepatan saat berkendaraan.
2) Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu saat mengemudi
mobil.
3) Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
4) Program pendidikan langsung untuk mencegah berkendaraan sambil mabuk.
5) Mencegah jatuh
6) Menggunakan alat-alat pelindung dan tehnik latihan.
Penyebab cidera
Pengertian
CEDERA OTAK BERAT
Otak Berat
berkendaraan sambil
mabuk.
5) Mencegah jatuh
6) Menggunakan alat-alat
pelindung dan tehnik
latihan.
Profil Pasien Pasca Kraniotomi di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Juli 2016 - Juni 2017
CelineTanrio
Diana C. Lalenoh Mordekhai L.
Laihad
1
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi Manado 2Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
Unsrat/RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Email:
tanriono.celine@gmail.com
Kraniotomi adalah tindakan pembedahan kraniotomi terbanyak pada usia 15-24 tahun
dengan membuka tulang tengkorak untuk
memberikan akses secara langsung ke otak. 1
Jumlah pasien pasca kraniotomi yang
dirawat di Intensif Care Unit (ICU) masih
cukup banyak. Hanak et al.2 melaporkan
bahwa 400 orang (92%) dirawat di ICU dari
432 pasien yang dilakukan tindakan kranio-
tomi.2
Kraniotomi dapat dilakukan pada tumor
otak, perdarahan otak seperti subdural
hematoma, epidural hematoma, aneurisma
serebri, malformasi arteriovenous, infeksi
otak seperti abses serebri serta trauma otak.3
Buang dan Haspani mendapatkan bahwa
kasus kraniotomi terbanyak dilakukan pada
pasien trauma sebanyak 40% di rumah sakit
di Kuala Lumpur.4
Jasa et al.5 melaporkan bahwa angka
kematian pasien pasca kraniotomi sebanyak
57% setelah 5 hari dirawat di ICU yang
disebabkan oleh sepsis. Angka kematian
pasca kraniotomi dipengaruhi oleh beberapa
hal seperti diagnosis penyakit yang menjadi
indikasi dilakukannya kraniotomi, kompli-
kasi pasca operatif dan faktor medis
lainnya.6
Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan profil pasien pasca kraniotomi
di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode Juli 2016 sampai Juni
2017.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini ialah deskriptif
retrospektif dengan metode pengambilan
sampel non probability sampling yaitu
purposive sampling. Tempat penelitian di
Intalasi Rekam Medik RSUP Prof. R. D.
Kandou dengan jangka waktu 3 bulan yaitu
September - Desember. Subjek penelitian
ialah semua pasien pasca kraniotomi yang
di rawat di ICU RSUP. Prof. R. D. Kandou
periode Juli 2016 – Juni 2017.
Variabel N %
Usia
0-14 tahun 2 7
15-24 tahun 11 37
25-34 tahun 3 10
35-44 tahun 3 10
45-64 tahun 8 26
≥ 65 tahun 3 10
Jumlah 30 100
Jenis kelamin
Laki-laki 27 90
Perempuan 3 10
Jumlah 30 100
Variabel N %
Diagnosis penyakit
Cedera kepala 23 77
Epidural hematoma 12 40
Subdural hematoma 10 33
Intraserebral 8 27
hematoma
Stroke Hemoragik 7 23
Jumla 30 100
h
Kematian pasien
24-48 jam 2 18
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 5, Nomor 2, Juli-Desember 2017
bahwa angka
48-72kematian
jam pasca kraniotomi
3 pada cedera kepala sebanyak 57% setelah
27
>72 jam >72 di rawat
jam di ICU dimana
6 penyebab
55 paling sering adalah sepsis. Kematian ini
diakibatkan karena adanya penyakit
Jumlah 11 penyerta
100 lainnya seperti syok sepsis, pneumonia, herniasi
serebri gagal napas. Pada penelitian ini penyebab terba- nyak ialah sepsis (55%). Pribadi 8
sertakematian
Penyebab
mendapat- Sepsis
kan penyebab kematian
6 pasien
55 pasca kraniotomi di RS Kariadi Semarang yang
terbanyakPneumonia
ialah syok sepsis sebesar
1 33,3%. 9
Herniasi serebri 3 27 Pasien pasca kraniotomi banyak yang
Gagal napas 1 9 menggunakan ventilator mekanik yaitu
Jumlah 11 100 sebanyak 24 orang (80%) dengan lama
Penggunaan ventilator mekanik penggunaan >72 jam yaitu 9 sebanyak 11
Ya 24 80 orang (46%). Sodiq et al. menyatakan
Tidak 6 20 pasien pasca kraniotomi lebih sering meng-
Jumlah 30 100 gunakan ventilator mekanik yaitu sebesar
Lama penggunaan ventilator mekanik 66% dengan lama penggunaan ventilator
< 24 jam 2 8
paling banyak pada 1 hari (79%). Hal ini
dikarenakan pasien pasca kraniotomi
24-48 jam 5 21
memiliki penurunan potency airway sehing-
48-72 jam 6 25
ga membutuhkan penggunaan venti-lator.
> 72 jam 11 46
Selain itu juga, penggunaan ventilator
Jumlah 24 100
digunakan untuk menginduksi hipokapnea
Lama rawat ICU
sehingga PaCO2 berada dalam kisaran
1 hari 0 0
normal.10,11
2 hari 8 27 Lama rawat di ICU pasien pasca
3 hari 4 13 kraniotomi paling banyak pada 2 hari yaitu
4 hari 2 7 sebanyak 8 orang (26,7%). Sodiq et al. 9
5 hari 4
Tabel 3. Distribusi jumlah dan persentase 13 menyatakan bahwa lama rawat di ICU
6 hari 1
pasien pasca kraniotomi (lanjutan) 3 paling banyak pada 2 hari yaitu 40%.
7 - 14 hari 6 20 Glasgow Coma Scale (GCS) preope-
> 14 hari
Variabel N5 %17 ratif terbanyak yaitu GCS 8-12 sebanyak 17
GlasgowJumlah 30
Coma Scale preoperatif 100 orang (56,7%). Zwingly et al.12 mendapat-
GCS < 8 10 33 kan GCS preoperatif pasien cede-ra kepala
GCS 8-12 17 57 terbanyak pada 9-13 yaitu 74,2 %. Hal ini
GCS 13- 3 10
15 dikarenakan kebanyakan pasien yang akan
Jumlah 30 100 dilakukan kraniotomi datang dengan
Status fisik American society of mengalami penurunan kesadaran. Dari
Anesthesiologist (ASA) penelitian ini, terdapat 3 orang pasca
IE 0 0 kraniotomi yang dirawat di ICU dengan
II E 2 6 GCS preoperatif 13-15. Hal ini dikarenakan
III E 20 67 adanya penyulit perioperatif yang dialami
IV E 8 27 alami pasien seperti kejang, chronic kidney
VE 0 0 disease (CKD), hipertensi, elektrolit
Jumlah 30 100 imbalance, peningkatan tekanan intra-
kranial, serta adanya gambaran EKG yang
Dari 30 orang yang dilakukan tindakan abnormal (Tabel 3). Selain itu, pasien
kraniotomi, 11 orang diantaranya mening- tersebut membutuhkan penggunaan venti-
gal dunia pada rata-rata >72 jam setelah
dirawat di ICU. Jasa et al.5 mendapatkan
Tanriono, Lalenoh, Laihad: Profil pasienpasca kraniotomi
di ...
lator sehingga perlu untuk dilakukan dengan skor ASA terbanyak yaitu III
perawatan intensif. Operasi yang lama juga sebanyak 20 orang (66,7%). Buang dan
dapat menyebabkan komplikasi pasca Haspani4 mendapatkan bahwa operasi
operatif seperti edema serebri.9 Pada neurosurgical terbanyak pada tipe operasi
penelitian ini, lama operasi pasien emergency yaitu sebesar 63,1%. Adigun et
kraniotomi dengan GCS preoperatif 13-15 al.13 menyatakan bahwa skor ASA pasien
rata-rata >3 jam. yang dilakukan kraniotomi terbanyak pada
Semua pasien pasca kraniotomi yang di ASA III yaitu sebanyak 56%.
rawat di ICU melakukan operasi emergency
Tabel 3. Distribusi diagnosis penyakit, lama operasi dan penyulit pasien pasca
kraniotomi berdasarkan Glasgow Coma Scale preoperative
Glasgow Coma
scale Jumlah
Variabel Preoperatif
<8 8 - 12 13 - 15
N % N % N % N %
Diagnosis penyakit
EDH 6 50 5 42 1 8 12 32
Cedera kepala SDH 3 30 6 60 1 10 10 27
ICH 2 25 6 75 - - 8 22
Stroke
Hemoragi 2 29 4 57 1 14 7 19
k
Jumlah 100
Lama operasi
< 1 jam - - 2 100 - - 2 7
1 - 2 jam 4 50 4 50 - - 8 27
2 - 3 jam 5 38.5 8 61.5 - - 13 43
> 3 jam 1 14 3 43 3 43 7 23
Jumlah 30 100
Penyulit
Peningkatan TIK 3 17 13 72 2 11 18 60
Sepsis 3 43 4 57 - - 7 23
Pneumonia 1 20 4 80 - - 5 17
EKG abnormal 5 33 9 60 1 7 15 50
Elektrolit imbalance 3 33 5 56 1 11 9 30
Hipertensi 1 14 5 72 1 14 7 23
Diabetes Melitus 2 40 3 60 - - 5 17
Acute Kidney Injury 1 25 3 75 - - 4 13
Chronic kidney - - - - 1 100 1 3
Disease
Kejang - - - - 1 100 1 3
Tidak ada data 2 67 1 33 - - 3 10
EDH = Epidural
Hematoma SDH =
Subdural Hematoma ICH
= Intraserebral
Hematoma
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 5, Nomor 2, Juli-Desember 2017
The 10th University Research Colloqium 2019
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
SIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pasien pasca kraniotomi
yang dirawat di ICU RSUP Prof. R. D. Kandou Manado periode Juli 2016 – Juni
2017 yang terbanyak ialah jenis kelamin laki-laki, usia 15-24 tahun, penyakit yang
mendasari kraniotomi ialah cedera kepala, menggunakan ventilator mekanik
dengan lama penggunaan >72 jam, lama perawatan pasca kraniotomi di ICU rata-
rata 2 hari. Sebagian pasien meninggal dan disebabkan oleh sepsis. Glasgow Coma
Scale preopera- tif pasien kraniotomi rata-rata 8-12 dan status fisik ASA terbanyak
III E.
SARAN
Disarankan untuk melakukan penelitian lanjut yang mencari hubungan antar
variabel yang diteliti dengan pasien pasca kraniotomi serta komplikasi yang terjadi
pasca operatif.
Perlu ada perbaikan dan peningkatan dalam pengelolaan data pasien dalam hal
kelengkapan data dan kerapian penyim- panan data rekam medik di Instalasi
Rekam Medik RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado untuk menunjang penelitian
yang lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Garrett MP, Spetzler RF. Craniotomy. In: Encyclopedia of Neurological Science (2nd
ed). USA: Elsevier, 2014: p. 896-7.
2. Hanak BW, Walcott BP, Nahed BV, Muzikansky A, Mian MK, Kimberly WT, et
al. Post operative intensive care unit requirements following elective craniotomy.
World Neurosurg. 2014; 81(1):65-72.
3. Luc J, Ray T. Craniotomy. University of Rochester Medical Center. New York. 2017.
[cited 2017 Jun 23]. Available from: https://www.urmc. rochester.
edu/encyclopedia/content.aspx? contenttypeid=92&contentid=P08767.
4. Buang SS, Haspani MS. Risk factors for neurosurgical site infections after a
neurosurgical procedur: a prospective
123
The 10th University Research Colloqium 2019
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
124
The 10th University Research Colloqium 2019
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
Abstrak
Keywords: Latar belakang Pada 3 pasien yang mengalami tindakan operasi
Post Craniotomi, craniotomy setelah dilakukan suction dengan tekanan 100
Peningkatan
Saturasi OKsigen, mmHg mengalami perubahan saturasi oksigen. Tindakan post
Ketidakefektifan Craniotomy adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan
Bersihan Jalan tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK,
Nafas, Suction mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan,
yang mengakibatkan penurunan kesadaran dan ketidakmampuan
mengeluarkan secret di jalan nafas secara mandiri. Bersihan jalan
nafas adalah ketidakmampuan membersihkan sekresi dan obstruksi
dari saluran nafas, sehingga diperlukan tindakan suction dengan
tekanan terendah 100 mmHg dalam 10 detik dengan
memperhatikan adanya perubahan SPO2. Nilai saturasi oksigen
100 mmHg mengalami penurunan saturasi oksigen 2%. Tujuan:
Menganalisis asuhan keperawatan Ketidakefektifan Bersihan Jalan
Nafas yang diberikan pada klien pada pasien post operasi Craniotomy
di ruang Intensive Care Unit Prof.Dr.Margono Soekardjo
Purwokerto.
Metode: Asuhan keperawatan pada 3 responden, suction tekanan 100
mmHg dalam 10 detik, pulse oximeter (SPO2)
Hasil: Berdasarkan hasil observasi pada 3 pasien setelah dilakukan
suction saturasi oksigen mengalami peningkatan, Tn.A SPO2 sebelum
dilakukan suction 92% setelah suction menjadi 93%. Tn.R sebelum
dilakukan suction 92% setelah dilakukan suction 93%. Tn.T sebelum
dilakukan suction 89% setelah dilakukan suction 90%.
Kesimpulan: Terdapat perubahan saturasi oksigen mengalami
peningkatan sebelum dilakukan tindakan keperawatan dan setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
Rekomendasi: Melakukan tindakan suction sesuai SOP dengan
tekanan 100 mmHg dalam 10 detik.
DAFTAR PUSTAKA
Afif, Ahmad. 2015.Pengaruh Suction
Terhadap Kadar Saturasi Oksigen Depkes. (2012). Panduan Nasional
Pada Pasien Koma Di Ruang ICU Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
RSUD DR. Moewardi Surakarta. Jakarta: EGC.
Universita Muhammadiyah Friedman,M.,& Bowman, O.&.(2010).
Surakarta. Riset, teori, & praktik: editor edisi
Arikunto, & Suharsini. (2014). Prosedur bahasa Indonesia, Estu Tiar,Ed
Penelitian Suatu Pendekatan 5.Jakarta : EGC
Praktik. Jakarta: Rhineka Cipta Friedman,M.,& Bowman, O.&.(2010).
Asmadi. (2008). Konsep Dasar Riset, teori, & praktik: editor edisi
Keperawatan. Jakarta: EGC bahasa Indonesia, Estu Tiar,Ed
Balitbang, Kemenkes, RI (2017). Riset 5.Jakarta : EGC
Kesehatan Dasar, RISKESDAS Hendy Lesmana, (2015). Analisis Dampak
Jakarta: Kementrian Kesehatan. Penggunaan Varian Tekanan
Basuki, A & Dian, S. (2009), Suction Vol 1. Terjemahan
Kedaruratan Neurologi.Bandung. allenidekania. Jakarta: PT.EGC.
Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD. Herdman,T., & Kamitsuru S. (2015).
Diakses pada tanggal 01 Mei 2019 Diagnosis Keperawatan Definisi &
Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10.
jam 09.30 WIB. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. (2010). Buku Saku Hidayat, A.Aziz Alimul, 2008, Pengantar
Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Kebutuhan Dasar Manusia:
Jakarta: EGC. Aplikasi
Hudak, C.M. & Gallo, B.M.
(2010).
Keperawatan Kritis
Pendekatan
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,
132
Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,
133
Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,
Abstrak
Bedah kraniotomi merupakan pembedahan pembukaan kranium untuk
meningkatan akses pada struktur intrakranial yang berisiko terhadap
kerusakan jaringan dan komplikasi lainnya. Manajemen post operasi dalam
perawatan dapat dilakukan dengan melakukan proses keperawatan.
Masalah keperawatan merupakan dasar untuk diagnosis keperawatan pada
rencana perawatan perawat. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis gambaran masalah keperawatan pasien post kraniotomi di
RSD dr. Soebandi Kabupaten Jember. Jenis penelitian ini adalah deskriptif
kuantitatif pada variabel masalah keperawatan menggunakan pendekatan
studi retrospektif dengan metode simple random sampling. Sampel
penelitian ini adalah 94 rekam medis pasien post kraniotomi yang dihitung
menggunakan rumus slovin dari jumlah populasi pada Januari 2016-
Desember 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah keperawatan
utama pada pasien post kraniotomi adalah nyeri akut (58,51%),
ketidakefektifan bersihan jalan napas (25,53%), dan ketidakefektifan pola
napas (15,96%). Diagnosis keperawatan yang berdasarkan indikator
dengan mencerminkan PES/PE sebanyak 39 (41,49%) dan yang tidak
mencerminkan PES/PE sebanyak 55 (58,51%). Perawat memiliki peranan
penting dalam manajemen post operasi khususnya pada asuhan
keperawatan. Masalah keperawatan perlu dirumuskan dengan
memperhatikan data-data yang mendukung munculnya masalah
keperawatan pada pasien guna meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.
Abstract
134
Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,
Article info: Sending on May 25, 2019; Revision August 14, 2019; Accepted on
September 11, 2019
--------------------------------------------
*)
Cor
res
pon
din
g
aut
hor
:
Em
ail:
m.z
ulfa
tul
@u
nej.
ac.i
d
1. Pendahuluan individual, dan mempunyai respon yang
Bedah kraniotomi merupakan berbeda-beda. Diperlakukan sebagai
pembedahan dengan pembuatan lubang individu merupakan hal yang penting
di kranium untuk meningkatkan akses bagi seseorang ketika mereka dirawat di
pada struktur intrakranial. Kraniotomi rumah sakit (National Clinical Guideline
berpengaruh pada anatomi tubuh Centre, 2012). Respon pasien yang
bagian kulit, periosteum, tulang, dura individual menyajikan situasi dimana
mater, arachnoid mater, pia mater, perawat harus membuat kesimpulan
subdural, dan cairan serebrospinal mengenai masalah keperawatan yang
(George dan Charlemen, 2017). dialami oleh pasien karena tidak menutup
Tindakan kraniotomi bermanfaat dalam kemungkinan akan berbeda dengan
peningkatan kelangsungan hidup, konsep.
namun semakin banyak laporan bahwa Terdapat berbagai masalah yang
efek setelah tindakan kraniotomi telah timbul pada pasien post kraniotomi.
terabaikan (Joswig et al., 2016). Selama periode dua tahun, terdapat 103
Banyak rumah sakit dengan tingkat pasien yang tercatat menjalani operasi
kematian perioperatif yang lebih kraniotomi dan kemudian dirawat di ICU
rendah mengalami tingkat komplikasi atau HCU. Hasil penelitian menunjukkan
bedah yang lebih tinggi. Fakta ini bahwa terdapat 51 pasien yang
menyoroti pentingnya manajemen post meninggal dunia dan 52 pasien yang
operasi dari pasien yang kompleks hidup. Terdapat dua penyebab kematian
dalam perawatan (Goel et al., 2018). utama pada pasien-pasien kraniotomi ini;
Setiap pasien mengalami syok sepsis (33%) dan gagal nafas
perawatan kesehatan dengan cara yang (23,5%) (Pribadi dan Pujo, 2012).
unik karena setiap pasien adalah unik, Menurut Tanriono et al. (2017),
135
Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,
penelitian yang dilakukan di ICU RSU bedah yang lama dan penggunaan
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado kortikosteroid (Lovely et al., 2016).
periode Juli 2016-Juni 2017, hasil Sebagian besar pasien neurologis
mendapatkan 30 orang post kraniotomi post operasi harus menghadapi risiko
di ICU dengan penyakit yang dan komplikasi yang mungkin terjadi.
mendasari dilakukannya kraniotomi Untuk menghindari hal tersebut, klien
terbanyak ialah cedera kepala (77%), memerlukan pemantauan untuk
jenis kelamin laki-laki (90%), dan usia memperbaiki kondisi klinis. Pasien
15-24 tahun (37%). Menurut penelitian post operasi bedah saraf membutuhkan
yang dilakukan oleh Lonjaret et al. pemahaman tentang kebutuhan yang
(2017) di rumah sakit Prancis, harus dipenuhi oleh anestesiologi dan
komplikasi yang muncul pada pasien staf perawat. Perawatan post operasi
post kraniotomi adalah mual muntah yang utama termasuk penilaian
(25%) dan komplikasi neurologis berkelanjutan pada area tingkat
(16%). kesadaran, hemodinamik, suhu, nyeri,
Pada penelitian yang dilakukan kejang, mual, dan terapi cairan
oleh Chen et al. (2018), masalah yang (Brooks, 2015). Setelah prosedur
menjadi perhatian utama adalah risiko bedah, staf perawat harus memantau
ketidakefektifan perfusi jaringan tanda-tanda vital dan penilaian fisik.
cerebral, nyeri akut, dan ansietas. Diagnosis keperawatan yang akurat
Masalah keperawatan salah satunya didukung oleh data langsung yang
nyeri akut post kraniotomi telah dikumpulkan. Diagnosis
menjadi topik yang relatif terabaikan. mendokumentasikan situasi klien pada
Masalah lain yang mungkin terjadi saat ini dan mencerminkan masalah
pada pasien setelah pembedahan post keperawatan yang terjadi dalam
kraniotomi adalah infeksi. Faktor risiko kondisi klien. Identifikasi kebutuhan
predisposisi dapat terjadi karena yang akurat dan pelabelan diagnostik
adanya waktu memberikan dasar untuk memilih
intervensi keperawatan (Doenges,
2014).
Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi
Kabupaten Jember merupakan rumah
sakit yang berada di wilayah Jawa
Timur bagian timur. RSD dr. Soebandi
memiliki visi dan misi, salah satu
misinya yaitu menjadi rumah sakit
pusat rujukan wilayah Jawa Timur
bagian timur. Hasil studi pendahuluan
di RSD dr. Soebandi didapatkan data
jumlah pasien kraniotomi masih cukup
banyak dengan jumlah 171 pasien
pada tahun 2016 dan 269 pasien pada
tahun 2017.
Hingga saat ini masih sedikit
informasi mengenai masalah
keperawatan pasien post kraniotomi.
Gambaran masalah keperawatan
pasien post kraniotomi di RSD dr.
Soebandi Kabupaten Jember masih
belum diteliti. Berdasarkan latar
136
Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,
Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,
Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,
139
Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tabel 3. Persentase ketepatan penggunaan indikator
diagnostik taksonomi nanda (n=94)
Sesuai indikator Tidak sesuai indikator
Jumlah diagnostik (PES/PE)
Diagnosis diagnostik
diagnosis
Keperawatan Persentase Persentase
yang dibuat Jumlah Jumlah
(%) (%)
Ketidakefektifan pola
15 6 40,00 9 60,00
napas
Nyeri akut 55 23 41,82 32 58,18
Ketidakefektian
24 10 41,67 14 58,33
bersihan jalan napas
Jumlah 94 39 41,49 55 58,51
Masalah keperawatan utama yang muncul berbanding terbalik dengan saat ini yaitu data
pada pasien post kraniotomi dalam penelitian ini terbaru menunjukkan sebaliknya (Chowdhury et al.,
adalah nyeri akut, ketidakefektifan bersihan jalan 2017). Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya
napas, dan ketidakefektifan pola napas. Pada pemahaman yang menyeluruh tentang berbagai
penelitian yang dilakukan oleh Chen et al. (2018), faktor perioperatif dan pasien dapat mempengaruhi
masalah yang menjadi perhatian utama adalah insidensi keparahan intensitas nyeri dan untuk
risiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral, mengatasi hal tersebut dibutuhkan pendekatan
nyeri akut, dan ansietas. Kesamaan masalah terhadap nyeri akut post kraniotomi (Flexman dan
keperawatan utama yang muncul yaitu nyeri akut. Gelb, 2010).Intensitas nyeri yang dialami oleh
Nyeri post kraniotomi paling banyak berpengaruh pasien post kraniotomi berpuncak pada hari operasi
di dunia dan nyeri post kraniotomi diidentifikasi dan hari ke-4 pasca operasi (Kim et al., 2013).
sebagai prioritas kesehatan masyarakat (Guilkey
et al., 2016). Masalah pernapasan menjadi
perhatian utama karena komplikasi paru yang
berpengaruh pada pernapasan terutama
komplikasi paru pasca operasi, merupakan
penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada
pasien bedah saraf (Misra, 2016). Masalah
keperawatan risiko ketidakefektifan perfusi
jaringan cerebral dan ansietas muncul pada
masalah keperawatan pasien post kraniotomi
namun tidak muncul sebagai masalah
keperawatan utama karena terdapat masalah
keperawatan yang lebih prioritas.
Masalah keperawatan utama yang sering
muncul pada pasien post kraniotomi adalah nyeri
akut dengan jumlah 55 (58,51%). Hal tersebut
sejalan dengan hasil penelitian Chen et al. (2018)
bahwa masalah keperawatan yang
menjadiperhatian utama pada pasien post
kraniotomi adalah nyeri akut.
Nyeri pasca operasi adalah bentuk nyeri
akut, yang dimulai dengan trauma bedah dan
berakhir dengan penyembuhan jaringan. Nyeri
memburuk dalam beberapa hari pertama pasca
operasi (Saha et al., 2013). Kepercayaan yang
terdahulu menyebutkan bahwa nyeri post
kraniotomi merupakan hal yang minim terjadi,
Pasien post kraniotomi dengan diagnosa bersihan jalan napas paling banyak terjadi pada
medis cedera kepala, masalah keperawatan pasien dengan diagnosa medis cedera
utama yang paling banyak dialami oleh pasien kepala+ICH (37,50%) dan tumor (29,17%).
yaitu nyeri akut (38,12%). Nyeri merupakan Temuan radiologis (CT scan) pada pasien yang
akibat umum dari cedera kepala pada pasien dilakukan re-intubasi karena gangguan
post kranotomi. Pasien yang melakukan pernapasan yang paling umum adalah adanya
operasi untuk cedera kepala lebih memiliki tumor dan edema (68,9%) (Dube et al., 2013).
kecenderungan mengalami nyeri hingga Pada penelitian yang dilakukan oleh Guo (2017)
mengembangkan kondisi kronis (Haldar, pada pasien kraniotomi untuk reseksi tumor
2015).kejadian masalah keperawatan nyeri meningioma, pasien dipasang intubasi
akut post kraniotomi saat ini disebabkan endotrakeal. Sepertiga dari pasien cedera kepala
karena faktor preoperatif, intra-operatif, dan mengalami sindrom gangguan pernapasan, yang
post-operatif. Selain faktor perioperatif, merupakan komplikasi buruk post kraniotomi.
terdapat faktor pasien yaitu setiap individu Pada penelitian yang dilakukan oleh Sriganesh et
mempunyai tingkat intensitas nyeri yang al. (2014) pasien dengan perdarahan intraserebral
berbeda. yang mengalami penurunan kesadaaran memiliki
Ketidakefektifan bersihan jalan napas risiko tinggi gangguan jalan napas karena
sebanyak 24 (25,53%) kejadian pada pasien gangguan mobilitas orofaringeal dan hilangnya
post kraniotomi. Penelitian yang dilakukan refleks pelindung. Peningkatan resistensi sistem
oleh Dube et al. (2013) pada 920 pasien pernapasan terdeteksi pada pasien-pasien yang
menjalani kraniotomi, sebanyak 45 (4,9%) mengalami kerusakan otak. Pada pasien normal
pasien membutuhkan re- intubasi. Salah satu yang teranestesi dan lumpuh (tanpa kelainan
penyebab re-intubasi adalah gangguan paru-paru), penurunan tekanan parsial karbon
pernapasan (22,2%) dan sekresi pernapasan dioksida arteri (PaCO2) dikaitkan dengan
yang tidak dapat dikelola (13,3%). peningkatan yang signifikan pada
Masalah keperawatan ketidakefektifan
peningkatan resistensi sistem pernapasan.Faktor- Ketidakefektifan pola napas paling banyak
faktor tambahan yang menyebabkan edema terjadi pada pasien dengan diagnosa medis tumor
mukosa jalan nafas, seperti neuropeptida, tidak (33.33%). Pada penelitian yang dilakukan oleh Al-
dapat dikesampingkan sebagai mekanisme Dorzi et al. (2017) pada pasien post kraniotomi
potensial, karena zat tersebut tampaknya untuk reseksi tumor, terdapat 14% pasien mengalami
dilepaskan dan beredar pada pasien yang kejang post kraniotomi. Kejadian kejang tersebut
mengalami kerusakan otak (Koutsoukou et al., dianggap sebagai beban tambahan karena dapat
2016).Peneliti berasumsi bahwa masalah dipersulit oleh kegagalan pernapasan, cedera,
ketidakefektifan bersihan jalan napas disebabkan aspirasi, dan bahkan kematian. Menurut penelitian
karena pasien yang mengalami kerusakan otak yang dilakukan oleh Grabenstatter (2016) kejadian
mengedarkan zat neuropeptida yang kejang dapat mengakibatkan irama pernafasan
menyebabkan edema mukosa jalan napas menjadi meningkat. Manajemen rawat jalan post
sehingga menyebabkan ketidakefektifan bersihan kraniotomi untuk reseksi tumor pada pasien
jalan napas dan akan diperparah apabila pasien dilakukan dengan anestesi umum untuk
mengalami penurunan kesadaran karena dapat meningkatkan keamanan pasien pasca operasi
meningkatkan resistensi sistem pernapasan. kranial (Au et al., 2016). Opioid umumnya
Ketidakefektifan pola napas sebanyak 15 digunakan untuk analgesik yang dipercaya dalam
(15,96%). Menurut penelitian yang dilakukan pengobatan nyeri hebat akut. Efek dari opioid yang
oleh Herrero et al. (2017) pada 23 pasien, digunakan telah diketahui menyebabkan depresan
terdapat 18 (25,7%) post kraniotomi yang pernapasan klasik dan menghasilkan depresi total
menderita komplikasi neurologis. Perubahan ventilasi yang berhubungan dengan dosis melalui
neurologis ini dilaporkan sebagai kejang dengan penurunan frekuensi pernapasan (Karcz dan
pola pernapasan yang berubah dan menjadi tidak Papadakos, 2013).Peneliti berasumsi bahwa masalah
efektif tercatat dalam rekam medis pasien. keperawatan ketidakefektifan pola napas yang terjadi
pada pasien post kraniotomi dapat terjadi karena (58,51%). Pendapat Carpenito dalam Nursalam
pasien mengalami perubahan neurologis dan efek (2015), dimana diagnosis keperawatan bersifat
pasca anastesi setelah dilakukan tindakan aktual jika mampu menjelaskan masalah nyata
kraniotomi. Anestesi umum difasilitasi oleh yang terjadi saat ini sesuai data klinik yang
banyak obat, terutama opioid dan agen ditemukan. Syarat penegakan diagnosis
penghambat neuromuskuler, yang dapat keperawatan aktual harus mengandung unsur
menghambat kontrol fisiologis pernapasan PES. Penggunaan PES bertujuan untuk
sehingga menyebabkan penurunan frekuensi memahami esensi dari kebutuhan kesehatan pada
pernapasan. asuhan keperawatan (Frigstad et al.,
Ketepatan penggunaan indikator diagnostik 2015).Peneliti berasumsi bahwa diagnosis
(PES/PE) sebanyak 39 (41,49%) dan yang tidak keperawatan yang tidak mencerminkan PES/PE
sesuai dengan indikator diagnostik sebanyak 55 pada dokumentasi keperawatan menyebabkan
pembaca mengalami kesalahpahaman karena
tidak adanya dasar dalam penegakan diagnosis
keperawatan dan tidak dapat memahami
kebutuhan kesehatan pasien secara menyeluruh.
4. Kesimpulan
Masalah keperawatan utama yang sering
muncul pada pasien post kraniotomi yaitu nyeri
akut (58,51%), ketidakefektifan bersihan jalan
napas(25,53%), dan ketidakefektifan pola napas
(15,96%). Masalah keperawatan nyeri akut paling
banyak terjadi pada pasien cedera kepala post
kraniotomi (38,18%), ketidakefektifan bersihan
jalan napas paling banyak terjadi pada cedera
kepala+ICH (37,50%), dan ketidakefektifan pola
napas paling banyak terjadi pada tumor post
kraniotomi (33,33%). Ketepatan penggunaan
indikator diagnostik taksonomi NANDA yang
sesuai dengan indikator diagnostik sebanyak 39
(41,49%) dan diagnosis keperawatan yang tidak
sesuai dengan indikator diagnostik sebanyak 55
(58,51%).
5. Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah
perlu adanya penelitian khusus untuk nyeri akut
pada pasien post kraniotomi yang meliputi
intervensi dan evaluasi serta discharge planning.
Berkaitan dengan penegakan diagnosa, juga perlu
adanya penelitian menegani faktor yang
mempengaruhi kesesuaian penggunaan diagnosa
NANDA. Saran untuk rumah sakit, Perawat juga
harus memperhatikan tentang aspek nyeri pada
pasien post kraniotomi mulai dari diagnosa
sampai evaluasi.
6. Daftar Pustaka
Al-Dorzi, H. M., Alruwaita, A. A., Marae, B.
O., Alraddadi, B. S., Tamim, H. M.,
Ferayan, A., dan Arabi, Y. M. Au, K., Bharadwaj, S., Venkatraghavan, L.,
(2017). Incidence, risk factors and dan Bernstein, M. (2016). Outpatient
outcomes of seizures occurring after brain tumor craniotomy under general
craniotomy for primary brain tumor anesthesia. Journal of Neurosurgery,
resection. Neurosciences, 22 (2), 125(5), 1130–1135. doi:
107-113. doi: 10.3171/2015.11.JNS152151
10.17712/nsj.2017.2.20160570
Brooks, C. (2015) ‘Critical Care Nursing in Elsevier
Acute Post operative Neurosurgical Goel, N. J., Mallela, A. N., Agarwal, P.,
Patients’, Critical Care Nursing Clinics Abdullah, K. G., Choudhri, O. A., Kung,
of NA. Elsevier Inc, 27(1), pp. 33–45. D. K., dan Isaac,
doi: 10.1016/j.cnc.2014.10.002. H. C. (2018) ‘Complications Predicting
Chen, Y., Kuo, Y., dan Shen, R. (2018). An Perioperative Mortality in Patients
experience of post-craniotomy nursing Undergoing Elective Craniotomy: A
care for a meningioma patient in a Population-Based Study’, World
neurointensive care unit. Australian Neurosurgery. Elsevier Inc, pp. 1–11. doi:
Critical Care, 31(2), 133. 10.1016/j.wneu.2018.06.153.
doi:10.1016/j.aucc.2017.12.058 Grabenstatter, G. L. (2016). Irregular Respiratory
Chowdhury, T., Garg R., Sheshadri, V., Rhythm: A Physiological Biomarker of
Venkatraghavan, L., Bergese, S. D., SUDEP Risk in Patients With Nocturnal
Cappellani, R. B., dan Schaller, B. Seizures? American Epilepsy Society.
(2017). Perioperative Factors 16(5), 327–329. doi: 10.5698/1535-7511-
Contributing the Post- Craniotomy Pain: 16.5.327
A Synthesis of Concepts. A Synthesis of Guilkey, R. E., Von A. D., Carpenter, J. S.,
Concepts. Front. Med. 4:23. doi: Stone, C., dan Draucker, C. B. (2016).
10.3389/fmed.2017.00023 Integrative Review: Post-Craniotomy Pain
Doenges, M. E. (2014) Nursing Care Plants in the Brain Tumor Patient. Journal of
Guidelines For Individualizing Client Care advanced nursing. 72 (6), pp. 1221-1235.
Across The Life Span. 9th edn. Philadelphia: doi: 10.1111/jan.12890
F. A. Davis Company.
Dube, S. (2013). Causes of tracheal re-
intubation after craniotomy: A
prospective study. Saudi Journal of
Anaesthesia, 7(4), 410.
doi:10.4103/1658-354x.121056
Flexman, A. M., Ng, J. L., dan Gelb, A. W..
(2010). Acute and chronic pain
following craniotomy. Current Opinion
in Anaesthesiology, 23(5), 551–557.
doi:10.1097/aco.0b013e32833e15b9
Frigstad, S. A., Nost, T.H., dan Andre, B.
(2015). Implementation of Free Text
Format Nursing Diagnoses at a
University Hospital's Medical
Department. Exploring Nurses' and
Nursing Students' Experiences on Use
and Usefulness. A Qualitative Study.
Nursing Research and Practice, 15 (1).
doi: 10.1155/2015/179275
George, A. dan Charlemen, J. E. (2017). Surgical
Technology Exam Review. St. Louis Missouri:
Guo, X., Wei, J., Gao, L., Xing, B., dan Xu, World Journal of Critical Care
Z. (2017). Hyperammonemic coma Medicine. 5 (1), pp. 65-73. doi:
after craniotomy: Hepatic 10.5492/wjccm.v5.i1.65
encephalopathy from upper Lonjaret, L., Guyonnet, M., Berard, E.,
gastrointestinal hemorrhage or Vironneau, M., Peres, F., Sacrista, S.,
valproate side effect?. Medicine, Ferrier, A., Ramonda, V., Vuillaume,
96(15). doi: C., Roux, F. E., Fourcade, O., dan
10.1097/MD.0000000000006588 Geeraerts, T.. (2017). Postoperative
Haldar, R., Kaushal A., Gupta D., complications after craniotomy for brain
Srivastava, S., dan Singh, P. K. tumor surgery. Anaesthesia Critical
(2015). Pain following Craniotomy: Care & Pain Medicine, 36(4), pp. 213–
Reassessment of the Available 218. doi:10.1016/j.accpm.2016.06.012
Options. BioMed Research Lovely, M. P., Amidei, C. S., Arzbaecher, J.,
International, 2015, pp. 1-8. Bell, S., Maher, M. E., Maida, M.,
doi:10.1155/2015/509164 Mogensen, K, dan Nicolaseau, G.
Herrero, S., Carrero, E., Valero, R., Rios, J., (2016). AANN Clinical Practice
dan Fábregas, N. (2017). Guideline Series. Chicago: American
Postoperative surveillance in Association of Neuroscience Nurse.
neurosurgical patients – usefulness of Misra S. (2016). Postoperative pulmonary
neurological assessment scores and complication after neurosurgery: A case
bispectral index. Brazilian Journal of of unilateral lung collapse. Anesthesia,
Anesthesiology, 67(2), 153– essays
165. doi:10.1016/j.bjane.2015.09.003
Joswig, H., Brateli, D., Brunner, T.,
Jacomet A., Hildebrandt G., dan
Surbeck, W.. (2016). Awake
Craniotomy: First year experiences
and patient perception. World
Neurosurgery. Elsevier
Ltd.
doi:
10.1016/j.wneu.2016.02.051.
Karcz, M. dan Papadakos, P. J. (2013).
Respiratory complications in the
postanesthesia care unit: A review of
pathophysiological mechanisms.
Canadian Journal of Respiratory
Therapy, 49(4), pp 21-29
Kim, Y. D., Park J. H., Yang, S. H., Kim, I. S.,
Hong,
J. T., Sung, J. H., Son, B. C., dan Lee,
S. W. (2013). Pain Assessment in
Brain Tumor Patients after Elective
Craniotomy. Brain Tumor Research
and Treatment, 1(1), pp. 24- 27. doi:
10.14791/btrt.2013.1.1.24
Koutsoukou, A., Maria, K., Stylianos, E.
O., Anastasia, K., Maria, D.,
Magdalini, K., Koulouris, G. K., dan
Nikoletta, R.. (2016). Respiratory
mechanics in brain injury: A review.
and researches, 10(1), 154–156. doi:10.4103/0259-1162.173613
National Clinical Guideline Centre. (2012). Patient experience in adult NHS services:
improving the experience of care for people using adult NHS services. London: Royal
College of Physicians
Nursalam. (2015).Manajemen Keperawatan. Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan
Profesional. Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika.
Pribadi, H. T. dan J. L. Pujo. (2012) Angka Kematian Pasien Kraniotomi Di ICU Dan HCU
RSUP dr. Kariadi. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 1 (1)
Saha, P., Chattopadhyay, S., Rudra, A., dan Roy, S. (2013). Pain after
craniotomy: A time for reappraisal? Indian Journal of Pain, 27 (1). doi:
10.4103/0970-5333.114853
Sriganesh, K., Radhakrishnan, M., dan Rao, G. S. U. (2014). Systemic care in the acute
management of patients with stroke. Journal of Neuroanaesthesiology & Critical
Care, 1 (2), 101-107. doi: 10.4103/2348-0548.130383
Tanriono, C., Lalenoh, D. C., dan Laihad, M. L. (2017) ‘Profil Pasien Post
Kraniotomi di ICU RSUP Prof . Dr . R . D . Kandou’, Jurnal EClinic,
5(2).