Anda di halaman 1dari 149

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN

DIAGNOSA MEDIS COB POTS OP CRANIOTOMY PADA Tn. K


DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT
ICU RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

OLEH :
Hendra
2017.C.09a.0843

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA SEKOLAH TINGGI ILMU


KESEHATAN PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN 2020/2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini di susun oleh :


Nama : Hendra
NIM : 2017.C.09a.0843
Program Studi : S-1 Keperawatan
Judul : Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Tn.K
Dengan Medis diagnosa Cob Pots Op Craniotomy di ruang intensive care unit ICU
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Telah melakukan Asuhan Keperawatan sebagai persyaratan untuk


menyelesaikan Praktik Pra Klinik Keperawatan IV Program Studi S-1 Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

Laporan keperawatan ini telah disetujui oleh :

Pembimbing Akademik

Nia Pristina, S.Kep, Ners

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan Rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan Asuhan Keperawatan
Kebutuhan Dasar Manusia di Ruang ICU RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penyusunan Asuhan Keperawatan ini bertujuan untuk memenuhi tugas Praktik
Praklinik Keperawatan IV (PPK IV) pada Program Studi S-1 Keperawatan. Selain
itu, Asuhan Keperawatan ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi pembaca
maupun kami sebagai penulis. Sehingga pada waktu yang akan datang materi ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis menyadari bahwa pelaksanaan dan penyusunan Asuhan Keperawatan
ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes, selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners, M.Kep, Selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Nia Pristina, S.Kep,Ners Selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak
memberi arahan, masukan dan bimbingan dalam penyelesaian Asuhan
Keperawatan ini.
4. Semua pihak yang turut ambil bagian dalam membantu penulis menyelesaikan
LaporanAsuhan Keperawatan ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Asuhan Keperawatan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya ilmu keperawatan. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, untuk perbaikan dimasa
yang akan mendatang. Akhir kata penulis mengucapkan sekian dan terima kasih.

Palangka Raya, 9 November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Konsep penyakit.................................................................................... 1
...............................................................................................................
1.1.1 Definisi.................................................................................................. 1
1.1.2 Anatomy fisiologi otak......................................................................... 2
1.1.3 Etiologi................................................................................................. 6
...............................................................................................................
1.1.4 Klasifikasi............................................................................................. 6
1.1.5 Paofisiologi (Patway)............................................................................ 7
1.1.6 Manifestasi Klinis (tanda dan gejala)................................................... 16
1.1.7 Komplikasi............................................................................................ 16
1.1.8 Pemeriksaan Penunjang........................................................................ 16
1.1.9 Penatalaksanaan.................................................................................... 17
1.1.10 Konsep dasar teori craniotomy............................................................. 17
1.2 Manajemen Asuhan Keperawatan........................................................ 28
1.2.1 Pengkajian Keperawatan...................................................................... 28
1.2.6 Diagnosa Keperawatan......................................................................... 39
1.2.7 Intervensi Keperawatan........................................................................ 40
1.2.8 Implementasi Keperawatan................................................................... 54
1.2.9 Evaluasi Keperawatan........................................................................... 54

BAB 2 ASUHAN KEPERAWATAN


2.1 Pengkajian............................................................................................. 55
...............................................................................................................
...............................................................................................................
2.2 Diagnosa............................................................................................... 66
...............................................................................................................
2.3 Intervensi............................................................................................... 70
2.4 Implementasi......................................................................................... 71
2.5 Evaluasi................................................................................................. 76

BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 97
...............................................................................................................
3.2 Saran........................................................................................................... 97
Lampiran

iii
Kasus
Leaflet
Jurnal Terkait

iv
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Konsep Penyakit


1.1.1 Defenisi Cedera Otak Berat
Cidera Otak berat merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat
mengakibatkan perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial. Trauma tenaga dari
luar yang mengakibatkan berkurang atau terganggunya status kesadaran dan
perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik dan emosional (Judha & Rahil, 2011).
Cedera Otak Berat (COB) Adalah sebuah trauma yamg terjadi pada daerah otak
disertai atau tanpa perdarahan instertitial otak, namun kontinuitas benak tidak
terputus. cedera kepala ialah suatu suasana diama terjadinya benturan dibagian kepala
yang mengakibatkan kehilangan kesadaran. ( Putri 2016 )
Cedera Otak Berat merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas (Mansjoer, A. 2011).
Cedera otak berat merupakan cedera kepala yang mengakibatkan penurunan
kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24 jam (Haddad,
2012).
Jadi, cedera Otak adalah trauma pada tengkorak, dan otak yang terjadi baik
secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematiaan. Cedera otak
berat adalah keadaan dimana penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana
oleh karena kesadaran menurun (GCS < 8).
Craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala)
dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Pasien post op
craniotomy biasanya karena adanya terdapat gangguan atau kelainan pada otak
sehingga harus dilakukan operasi
Craniotomy paling sering dilakukan untuk mengambil tumor otak.
Prosedur ini dapata pula ditujukan untuk menghilangkan hematoma, mengontrolkan

1
2

perdarahan dari pembuluh darah yang ruptur (aneurysma cerebri) memperbaiki


malformasi arteriovena (hubungan abnormal pembuluh darah), mengeluarkan abses
cerebri untuk menurunkan tekanan intrakranial, untuk melakukan biopsi ataupun
untuk menginspeksi otak. Pembedahan dilakukan untuk menghilangkan gejala atau
manifestasi tersebut yang tidak mugkin diatasi dengan obat-obatan biasa.
1.1.2. Anatomi Fisiologi Otak
1.1.2.1 Sistem saraf pusat

Gambar 1. Bagian-bagian otak


Otak terdiri dari neuron, glia, dan berbagai sel pendukung. Otak manusia
mempunyai berat 2% dari berat badan orang dewasa (3 pon), menerima 20% curah
jantung, memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh, dan sekitar 400 kilokalori
energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi
dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi
glukosa.
Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu cerebrum, cerebellum, brainstem
(batang otak), dan limbic system (sistem limbik) (Muttaqin, 2011).

1.1.2.2 Cerebrum
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan
nama cerebral cortex, forebrain, atau otak depan. Cerebrum membuat manusia
memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan,
3

memori dan kemampuan visual. Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian
yang disebut lobus yaitu lobus frontal, lobus parietal, lobus occipital dan lobus
temporal.Lobus frontal merupakan bagian lobus yang terletak pada bagian depan
cerebrum. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan
gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas,
kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
Lobus parietal berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan
dan rasa sakit. Lobus temporal berhubungan dengan kemampuan pendengaran,
pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara. Lobus occipital ada di bagian
paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan
manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina
mata.
1.1.3.1 Cerebellum
Cerebellum atau otak kecil adalah bagian dari sistem saraf pusat yang terletak di
bagian belakang tengkorak (fossa posterior cranial). Semua aktivitas pada bagian ini
di bawah kesadaran (involuntary). Fungsi utama cerebelum yaitu mengkoordinasi dan
memperhalus gerakan otot serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk
mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh. Apabila terjadi cedera pada
cerebelum, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot
sehingga gerakan menjadi tidak terkoordinasi.
1.1.4.1 Brainstem
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan,
denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan
sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya
bahaya. Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a) Mesencephalon atau otak tengah (mid brain) adalah bagian teratas dari batang
otak yang menghubungkan cerebrum dan cerebelum. Mesencephalon berfungsi
4

untuk mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata,


mengatur gerakan tubuh, dan fungsi pendengaran.
b) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri
badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla oblongata
mengontrol fungsi involunter otak (fungsi otak secara tidak sadar) seperti detak
jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
c) Pons disebut juga sebagai jembatan atau bridge merupakan serabut yang
menghubungkan kedua hemisfer serebelum serta menghubungkan midbrain
disebelah atas dengan medula oblongata. Bagian bawah pons berperan dalam
pengaturan pernapasan. Nukleus saraf kranial V (trigeminus), VI (abdusen), dan
VII (fasialis) terdapat pada bagian ini.
1.1.5.1 Limbic system (sistem limbik)
Sistem limbik merupakan suatu pengelompokan fungsional yang mencakup
komponen serebrum, diensefalon, dan mesensefalon. Secara fungsional
1.1.6.1 Lapisan Pelindung otak / Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, Asachnoid dan diameter.
a. Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak elastis
menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter robek, tidak dapat
diperbaiki dengan sempurna. Fungsi durameter :
 Melindungi otak
 Menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari durameter dan lapisan endotekal
saja tanpa jaringan vaskuler )
 Membentuk periosteum tabula interna.
b. Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak menempel pada
dura. Diantara durameter dan arachnoid terdapat ruang subdural yang
merupakan ruangan potensial. Pendarahan subdural dapat menyebar dengan
bebas. Dan hanya terbatas untuk seluas valks serebri dan tentorium. Vena-
vena otak yang melewati subdural mempunya sedikit jaringan penyokong
sehingga mudah cedera dan robek pada trauma kepala.
c. Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh darah
5

halus, masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua
lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus
di sisi medial homisfer otak. Prametar membentuk sawan antar ventrikel dan
sulkus atau vernia. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus
foroideus pada setiap ventrikel. Diantara arachnoid dan parameter terdapat
ruang subarachnoid, ruang ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu.
Dan memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada kedalam system
vena.
1. Otak.
Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak yang dijumpai
pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran :
a. Efek langsung trauma pada fungsi otak,
b. Efek-efek lanjutan dari sel- sel otak yang bereaksi terhadap trauma.
Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar (fraktur
cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak keluar dari hidung /
telinga), merupakan keadaan yang berbahaya karena dapat menimbulkan
peradangan otak.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dan karena
tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan
menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggian
tekanan tekanan intra cranial).
2. Tekanan Intra Kranial (TIK).
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak,
volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak pada 1
satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan
berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau berisi jaringan otak (1400 gr),
Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2 tekanan pada 3
komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan Hipotesa
Monro – Kellie menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di
dalam tengkorak, adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini
6

menyebabkan perubahan pada volume darah cerebral tanpa adanya perubahan,


TIK akan naik. Peningkatan TIK yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya
batang 0tak (Herniasi batang otak) yang berakibat kematian.

1.1.3 Etiologi
Penyebab cedera kepala berat adalah:
1.1.3.1 Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi kontusio serebral, hematom
serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran
otak atau hernia.
1.1.3.2 Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi).
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera
akson,kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral,
batang otak atau kedua-duanya.

1.1.4 Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal
3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat - ringan, dan
morfologi.
1.1.4.1 Mekanisme cedera kepala
Cedera kepala secara luas dapat dibagi atas cedera kepala tertutup dan cedera
kepala terbuka. Cedera kepala tertutup biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil
atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedangkan cedera tembus
disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
1.1.4.2 Berat cedera kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan suatu komponen untuk mengukur
secara klinisberatnya cedera otak. Glasgow Coma Scale meliputi 3 kategori yaitu
respon membuka mata, respon verbal, dan respon motorik. Skor ditentukan oleh
7

jumlah skor dimasing -masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor
minimum 3 ialah sebagai berikut:
1) Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala berat.Kehilangan
kesadaran atau terjadi amnesia > 24 jam, juga meliputi kontusio serebral, laserasi,
atau hematoma intrakranial.
2) Nilai GCS 9 – 12 didefinisikan sebagai cedera kepala sedang. Kehilangan
kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi kurang dari 24 jam dan dapat
mengalami fraktur tengkorak.
3) Nilai GCS 13 – 15 didefinisika n sebagai cedera kepala ringan (D. Jong, 2010)

1.1.5 Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap
jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada
cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan mobil,
sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak
ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik bentur
kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal.
Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi
sebaliknya (contra coup).
Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan
otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan
otak dan pembuluh darah. Respon awal otak yang mengalami cedra adalah
”swelling”. Memar pada otak  menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran
darah ke daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan
penekanan terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih
dalam tengkorak kepala maka ‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan
meningkatkan tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak.
Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak segera terjadi tetapi mulai
berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini untuk mempertahankan
8

perfusi otak merupakan tindakan  penyelamatan hidup.


Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal
CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan
vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi)
menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan
bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera kepala
akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-akhir ini
dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil terhadap bengkak
otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah otak karena
vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang mengalami cedera
tidak mampu mentoleransi hipoksia.
Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan angka kematian dengan
mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali permenit
dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat penting. Hiperventilasi
profilaksis pada cedera kepala sudah tidak direkomendasikan.
1. Tekanan intracranial
Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat jaringan
otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu komponen akan
diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap masing-masing volume
komponen yang lain karena tengkorak kepala orang dewasa (suatu kotak yang kaku)
tidak dapat mengembang (membesar). Walaupun CSF memberikan toleransi, namun
ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi bengkak otak yang terjadi dengan
cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu karena otak membutuhkan suplai darah
yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk bertahan hidup. Tidak satu pun dari
komponen yang mendukung otak dapat mentoloransi hal ini, oleh sebab itu, bengkak
otak yang terjadi akan cepat menyebabkan kematian. Tekanan yang ditimbulkan oleh
isi tengkorak disebut tekanan intracranial (ICP). Tekanan ini biasanya sangat rendah.
Tekanan intra kranial dinilai berbahaya jika meningkat hingga 15mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan di atas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir
dalam otak disebut sebagai tekanan perfusi serebral (CPP). Nilai CPP diperoleh
9

dengan mengurangkan MABP terhadap ICP. Tekanan perfusi harus dipertahankan 70


mmHg atau lebih. Jika otak membengkak atau terjadi pendarahan dalam tengkorak,
tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan perfusi akan menurun. Tubuh
memiliki refleks perlindungan (respons/refleks cushing) yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intraserebral
meningkat, tekanan darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan
aliran darah otak. Saat keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun (bradikardia)
dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan dalam tengkorak terus meningkat
hingga titik kritis tertentu dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital
terganggu, dan berakhir dengan kematian penderita. Jika terdapat peningkatan
intrakranial, hipotensi akan memperburuk keadaan. Harus dipertahankan tekanan
perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistolik 100-110
mmHg  pada penderita cedera kepala.
2. Sindroma herniasi
Saat otak membengkak, khususnya setelah benturan pada kepala, peningkatan
tekanan intrakranial yang tiba-tiba dapat terjadi. Hal ini dapat mendorong bagian
otak ke arah bawah, menyumbat aliran CSF dan menimbulkan tekanan besar
terhadap batang otak. Hal ini merupakan keadaan yang mengancam hidup di tandai
dengan penurunan tingkat kesadaran yang secara progresif menjadi koma, dilatasi
pupil dan deviasi mata ke arah bawah dan lateral pada mata sisi kepala yang
mengalami cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi tubuh berlawanan
terhadap sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi (dijelaskan berikut ini)
penderita selanjutnya akan kehilangan semua gerakan, berhenti nafas dan meninggal.
Sindroma ini sering terjadi setelah perdarahan subdural akut. Sindroma herniasi
merupakan satu-satunya keadaan di mana hiperventilasi masih merupakan indikasi.
3. Cedera otak anoksia
Cedera pada otak akibat kurangnya oksigen ( misal henti jantung, obstruksi
jalan nafas) mempengarui otak secara serius. Jika otak tidak mendapatkan oksigen
selama 4 hingga 6 menit, kerusakan irreversible hampir selalu terjadi. Setelah
episode anoksia, perfusi korteks akan terganggu akibat spasme yang terjadi pada
10

arteri kecil pada serebral. Setelah anoksia 4 hingga 6 menit, perbaikan oksigenasi dan
tekanan darah tidak akan memperbaiki perfusi korteks (tidak ada fenomena reflow)
dan cedera anoksia akan terus berlangsung dalam sel otak. Sepertinya hipotermia
mampu melindungi otak terhadap efek tersebut dan terdapat laporan kasus pasien
hipotermia yang diresusitasi setelah mengalami hipoksia selama 1 jam
15
Trauma tajam/Tekenan Trauma tumpul
pleura,benda tajam kecelakaan,terjatuh,trauma
Persalinan,Penyalah gunaan
Obat-obatan
WOC COB POST OP CRANIOTOMY Trauma
kepala

Ekstra Kranial/ kulit kepala Tulang Kranial Pendarahan otak Intra karnial/jaringan otak

Proses opersa Invasif Trauma jaringan Pembedahan kepala Proses anastesi

Proses pembedahan Crainiotomy

Post op craniotomy

B2 B3 Trauna B4 B5 B6 Fraktur tulang


B1 Penurunan tengkorak
jaringan
kesadaran
Perdarahan Gangguan Perdarahan Penurunan Fraktur tulang
Perdarahan Suplai Penuruanan kesadaran tengkorak Gg, saraf
hematoma,kerus Bed rest lama darah motorik
kelembaban
akan jaringan Kompensasi Penuruna
luka Penurunan itake
tubuh yaitu: Siklus darah Gg, saraf
Penurunan vasodilatasi ke ginjal dan output motorik
Penekanan Iskemia Infeksi Gangguan
kemampuan
sistem saraf bakteri koordinasi gerak
batuk
pernafasan Aliran Hipoksia Produksi Mual, muntah Gangguan
Urine koordinasi
Akumulasi darah ke Ekstermitas
Resiko gerak
Perubahan pola Mukus dan otak Gangguan hemiprase
secret fungsi otak infeksi hemiplegi
nafas Tidak mampu
Hipoksia Ekstermitas
oliguria mencerna makan
jaringan hemiprase
RR/hiperpneu, Batuk tidak Mk : Penurunan Tidak mampu
hiperventilasi efektif Ronci kapasitas adaptif melakukan
MK: Resiko Resiko defisit Mk: Gangguan ADL
RR Intra kranial
perfusi jaringan Nutrisi mobilitas fisik
MK: Gangguan
MK: Bersihan selebral tidak eliminasi urine
Mk: Pola jalan nafas tidak efektif Membutuhkan
nafas tidak Defisit bantuan orang lain
efektif
efektif perawatan diri
16

1.1.6 Manifestasi Klinis


1.1.6.1 Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
1.1.6.2 Penurunan Kesadaran
1.1.6.3 Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
1.1.6.4 Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
1.1.6.5 Perubahan Tanda Tanda vital
1.1.6.6 Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
1.1.7 Komplikasi
1.1.7.1 Perdarahan intra cranial
1.1.7.2 Kejang
1.1.7.3 Parese saraf cranial
1.1.7.4 Meningitis atau abses otak
1.1.7.5 Infeksi pada luka atau sepsis
1.1.7.6 Edema cerebri
1.1.7.7 Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
1.1.7.8 Kebocoran cairan serobospinal
1.1.7.9 Nyeri kepala setelah penderita sadar

1.1.8 Penunjang
1.1.8.1 Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas
darah.
1.1.8.2 CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
1.1.8.3 MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
1.1.8.4 Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
17

1.1.8.5 X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur


garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun
thorak.
1.1.8.6 CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
1.1.8.7 ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
1.1.8.8 Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi  keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial. (Rasad, 2011).
1.1.9 Penatalaksanaan
1.1.9.1 Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
1.1.9.2 Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
1.1.9.3 Pemberian analgetik.
1.1.9.4 Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
1.1.9.5 Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
1.1.9.6 Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
1.1.9.7 Pembedahan.

1.1.10 Konsep Dasar Teori Craniotomy


1.1.10.1 Definisi
Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Kraniotomi adalah
operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK,
mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan (Hinchliff Sue, 2011).
18

Kraniotomi mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk


meningkatkan akses pada struktur intrakranial (Brunner & Suddarth, 2002).
Kraniotomi adalah insisi pada tulang tengkorak dan membersihkan tulang
dengan memperluas satu atau lebih lubang. Pembedahan craniektomy dilakukan
untuk mengangkat tumor, hematom, luka, atau mencegah infeksi pada daerah tulang
tengkorak. Jadi post kraniotomi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan
tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan
darah atau menghentikan perdarahan.

Gambar 1.1 Penampang Lapisan Kranium

1.1.10.2 Indikasi Operasi


Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai
berikut :
1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
2. Adanya tanda herniasi/lateralisasi
3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT
Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
19

4. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.


5. Mengurangi tekanan intrakranial.
6. Mengevakuasi bekuan darah.
7. Mengontrol bekuan darah,
8. Pembenahan organ-organ intrakranial,
9. Tumor otak,
10. Perdarahan (hemorrage),
11. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
12. Peradangan dalam otak
13. Trauma pada tengkorak.

Gambar 1.2 Kraniotomi

1.1.8.3 Manifestasi Klinis


2. Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifikdari
otak) :
1) Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nistagmus, diplopia,
kebutaan, tanda-tanda papil edema.
20

2) Perubahan bicara, misalnya: aphasia


3) Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi
sensorik.
4) Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis.
5) Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan
konstipasi.
6) Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus
7) Perubahan dalam seksual
3. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF):
1) Sakit kepala
2) Nausea atau muntah proyektil
3) Pusing
4) Perubahan mental
5) Kejang

1.1.10.3 Pemeriksaan Penunjang


Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi :
1. Tomografi komputer (pemindaian CT)
Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya,
ukuran ventrikel, dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak,
hemoragik. Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada
iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
2. Pencitraan resonans magnetik (MRI)
Sama dengan scan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi
dipotongan lain.
3. Electroencephalogram (EEG)
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
4. Angiografy Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan trauma
21

5. Sinar-X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari garis tengah (karena perdarahan,edema), adanya fragmen tulang
6. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak
7. Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak
8. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subarachnoid
9. Gas Darah Arteri (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK
10. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK/perubahan mental
11. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
1.1.10.4 Penatalaksanaan
1. Preoperasi
Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien diterapi dengan
medikasi antikonvulsan (fenitoin) untuk mengurangi resiko kejang pasca
operasi. Sebelum pembedahan, steroid (deksametason) dapat diberikan untuk
mengurangai edema serebral. Cairan dapat dibatasi. Agens hiperosmotik
(manitol) dan diuretik (furosemid) dapat diberikan secara intravena segera
sebelum dan kadang selama pembedahan bila pasien cenderung menahan air
yang terjadi pada individu yang mengalami disfungsi intrakranial. Kateter
urinarius menetap di pasang sebelum pasien dibawa ke ruang operasi untuk
mengalirkan kandung kemih selama pemberian diuretik dan untuk
memungkinkan haluaran urinarius dipantau. Pasien dapat diberikan antibiotik
bila serebral sempat terkontaminasi atau diazepam pada praoperasi untuk
22

menghilangkan ansietas. Kulit kepala di cukur segera sebelum pembedahan


(biasanya di ruang operasi) sehingga adanya abrasi superfisial tidak semua
mengalami infeksi.
2. Pasca Operasi
1) Mengurangi Edema Serebral
Terapi medikasi untuk mengurangi edema serebral meliputi pemberian
manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari
area otak (dengan sawar darah-otak utuh). Cairan ini kemudian dieksresikan
melalui diuresis osmotik. Deksametason dapat diberikan melalui intravena
setiap 6 jam selama 24 sampai 72 jam; selanjutnya dosisnya dikurangi secara
bertahap.
2) Meredakan Nyeri dan Mencegah Kejang
Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu di atas 37,5 C dan untuk nyeri.
Sering kali pasien akan mengalami sakit kepala setelah kraniotomi, biasanya
sebagai akibat syaraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama
pembedahan. Codein, diberikan lewat parenteral, biasanya cukup untuk
menghilangkan sakit kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin, diazepam)
diresepkan untuk pasien yang telah menjalani kraniotomi supratentorial,
karena resiko tinggi epilepsi setelah prosedur bedah neuro supratentorial.
Kadar serum dipantau untuk mempertahankan medikasi dalam rentang
terapeutik.
3) Memantau Tekanan Intrakranial
Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase, sering dipasang pada
pasienyang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Kateter
disambungkan ke sistem drainase eksternal. Kepatenan kateter diperhatikan
melalui pulsasi cairan dalam selang. TIK dapat dikaji dengan menyusun
sistem dengan sambungan stopkok ke selang bertekanan dan tranduser. TIK
dalam dipantau dengan memutar stopkok. Perawatan diperlukan untuk
menjamin bahwa system tersebut kencang pada semua sambungan dan bahwa
stopkok ada pada posisiyang tepat untuk menghindari drainase cairan
23

serebrospinal, yang dapat mengakibatkan kolaps ventrikel bila cairan terlalu


banyak dikeluarkan. Kateter diangkat ketika tekanan ventrikel normal dan
stabil. Ahli bedah neuro diberi tahu kapanpun kateter tanpak tersumbat. Pirau
ventrikel kadang dilakuakan sebelum prosedur bedah tertentu untuk
mengontrol hipertensi intrakranial, terutama pada pasien tumor fossa posterior
1.1.10.5 Teknik Operasi
1. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang
lebih15 derajat(pasang donat kecil dibawah kepala).Letakkan kepala miring
kontralateral lokasilesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja pada sisi lesi)
misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiridan
sebaliknya.

2. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek
sterildi bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi.
3. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar
dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk
kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk mengetahui
lokasi, zygoma – sebagai batas basis crani, jalannya N VII (kurang lebih 1/3
depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita).
24

4. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin1:200.000
yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengandoek steril.
5. Prosedur Operasi
1) Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
3) Buka flap secara tajam pada looseconnective tissue. Kompres dengan kasa
basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah
tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulitkepala). Klem pada pangkal flap
dan fiksasi pada doek.

4) Buka perikranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan


rasparatorium pada daerah yang akan diburrhole dan gergaji kemudian dan
rawat perdarahan.
25

5) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom


sesuaigambar CT scan.
6) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace)
kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah
menembus tabula interna.
7) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
8) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang
boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
9) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole.
Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus
lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji dan
asisten memfixir kepala penderita.
10) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara
tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan
elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan
tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan
spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat
dihentikan dengan bone wax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle.
Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada
perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitchstitch
pada daerah tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang.
Bila perdarahan profus dari bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh
di-knabel untuk mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari
sinus.
26

14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara
simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi
perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah
selanjutnya adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U)
berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura,
kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat
lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan otak, berarti
arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas berbuntut melalui lubang
sayatan ke bawah duramater di dalam ruang subdural, dan selanjutnya
dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap kemungkinan trauma pada
lapisan tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.
Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk
pembuluh darah kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otakdengan
pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan
diruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak
dibawahnya tak ada darah lagi
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak
yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas dari
perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan
kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang
jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya
tulang dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak
dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara
sebagai berikut:
27

(1) Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus
keluar kulit.
(2) Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
(3) Pasang drain subgaleal.
(4) Jahit galea dengan vicryl 2.0.
(5) Jahit kulit dengan silk 3.0.
(6) Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
(7) Operasi selesai.
22) Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada
tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang
akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada
tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi
(3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura).
Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis
demi lapis seperti diatas.
1.1.10.6 Komplikasi Pasca Operasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pascabedah intrakranial
atau kraniotomi adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan tekanan intrakranial
2. Perdarahan dan syok hipovolemik
3. Ketidakseimbangan cairan dan elekrolit
4. Infeksi
5. Kejang
6. Edema cerebral.
7. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
8. Hipovolemik syok.
9. Hidrocephalus.
10. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus).
11. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
12. Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi.
28

13. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
14. Pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli keparu-paru, hati
dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi,
ambulatif. (Brunner & Suddarth, 2002).
1.1.10.7 Perawatan Pasca bedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. sebagai berikut :
1. Monitot kesadran Tanda-tanda vital
2. Monitor Intake dan out put
3. Observasi dan catat sifat drainage ( warna dan jumlah)
4. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati jangan
sampai drainage tercabut
5. Perawatan luka operasi secara steril.
1.1.10.8 Follow-Up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan
untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

1.2 Menajemen Asuhan Keperawatan


1.2.1 Pengkajian
1.2.2 Anamnese
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. Pengkajian riwayat pasien secara opti mal harus
diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan
cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran
mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
29

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga:
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
1. Primery Survey
a. Air way
1) Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair)setelah
dilakukan pembedahan akibat pemberian anestesi.
2) Potency jalan nafas, → meletakan tangan di atas mulut atau
hidung.
3) Auscultasi paru → keadekwatan expansi paru, kesimetrisan.
b. Breathing
1) Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguanirama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensimaupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau
Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
( kemungkinana karena aspirasi), cenderungterjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
2) Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X
/ menit → depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal → gangguan
cardiovasculair atau rata-rata metabolisme yang meningkat.
30

3) Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot


bantu pernafasan diafragma, retraksi sterna → efek anathesi yang
berlebihan, obstruksi.
c. Circulating
1) Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanandarah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia,disritmia).
2) Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit,
balutan.
d. Disability  : berfokus pada status neurologi
1) Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata,respon
motorik dan tanda-tanda vital.
2) Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara,kesulitan
menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual
dangelisah.
e. Exposure
Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya perdarahan
2. Secondary Survey
1. B1 (BREATHING)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan perubahan
karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending akibat trauma pada
tulangbelakang sehingga mengalami terputus jaringan saraf di medula spinalis,
pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi
umum didapatkan klien batuk peningkatan produksi sputum, sesak napas.
2. B2 (BLOOD)
31

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan syok hipovolemik


yang sering terjadi pada klien cedera kepala berat. Dari hasil pemeriksaan
didapatkan tekanan darah menurun nadi bradikardi dan jantung berdebar-debar.
Pada keadaan lainnya dapat meningkatkan hormon antidiuretik yang
berdampak pada kompensasi tubuh.

3. B3 (BRAIN)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral dan
pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan
klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian fungsi serebral : status mental
observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik
klien Pengkajian sistem motorik inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada
ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, dan paraplegia. Pengkajian sistem
sensori ganguan sensibilitas pada klien cedera kepala berat sesuai dengan
segmen yang mengalami gangguan.
4. B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
5. B5 (BOWEL)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan
defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang
akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
6. B6 (BONE)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi
saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi
segmental dari saraf yang terkena.disfungsi motorik paling umum adalah
kelemahan dan kelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit,
32

suhu, kelembapan, dan turgor kulit.


1) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
2) Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.

KHUSUS
1. Konservatif    :  Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian
steroid
2. Operatif    :    Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
3. Monitoring tekanan intrakranial    :    yang ditandai dengan sakit kepala
hebat, muntah proyektil dan papil edema
4. Pemberian diet/nutrisi
5. Rehabilitasi, fisioterapi

3. Pemeriksaan Fisik (Head to toe)


1) Pemeriksaan kepala dan leher:
a. Kepala dan rambut
a) Tulang tengkorak
- Inspeksi : ukuran cranium, deformitas, benjolan.
Pembesaran kepala pada hidrosefalus.
- Palpasi : keseluruhan kepala, adakah nyeri tekan.
b) Wajah
- Perhatikan ekspresi wajah dan konturnya.
- Perhatikan keadaan asimetris, edema, dan massa
c) Rambut
- Inspeksi: kuantitas, distribusi, tekstur, ketombe atau
kutu.
- Rambut yg halus hipertiroidisme
33

- Rambut kasar hipotiroidisme


d) Kulit kepala
- Apakah ada skuama, benjolan, nevus, atau lesi
- Kemerahan & skuama ditemukan pd dermatitis
seboroika
b. Mata (penglihatan) :
a) Inspeksi
- Penglihatan kabur
- Amati letak kesimetrisan mata, gerakan mata, lapang
pandang, & visus
- Amati kelopak mata (palpebra) Lebar fisura palpebra,
edema, warna, lesi, keadaan & arah bulu mata,
kemampuan mengatup.
- Amati konjungtiva warna (anemis,ikterik,merah), infeksi,
atau pus
- Amati skelera warna (ikterik, merah)
- Amati warna iris, ukuran & bentuk pupil.
- Amati reaksi pupil thdp cahaya. N= isokor. Bila mengecil
disebut miosis, melebar disebut midriasis, sangat kecil
disebut pin point.
- Amati kornea dan lensa. Perhatikan kekeruhan.
- Inspeksi gerakan mata : amati adakah nistagmus,
strabismus ; cek fungsi 6 otot mata.
b) Palpasi
- Tekanan bola mata : (intraokuler) Tonometer.
- Pemeriksaan dengan oftalmoskop.
c. Hidung (penciuman)
a) Inspeksi :
- Pernafasan cepat
- Tidak terdapat kelainan congenital pada hidung.
34

- Tidak terdapat jaringan parut dalam hidung.


- Tidak terdapat deviasi septum.
- Tampak pembengkakan dan hiperemis pada konka
hidung.
- Tidak tampak udem mukosa.
- Mukosa hidung hiperemis.
- Terdapat secret.
b) Palpasi :
- Tidak terdapat nyeri tekan.
- Tidak ada krepitasi
d. Telinga (pendengaran)
a) Inspeksi
- Pinna : ukuran, bentuk, warna, lesi, ada massa.
- Canalis : bersih, serumen ,nanah.
- Reflek cahaya politzer : tarik daun telinga ke atas &
belakang (dewasa); ke bawah (anak-anak)èmembran
timpani utuh atau tidak.
b) Palpasi
- jaringan lunak, jaringan keras, tulang mastoid. Bila ada
peradangan akan terasa nyeri.
- Tes pendengaran Garpu Tala: Rinne, Webber.
e. Mulut dan gigi
a) Inspeksi
- Mukosa bibir kering
- Gigi : sisa makanan, karang, caries, gigi palsu/tdk
- Lidah : lurus, warna, ulkus, kebersihan
- Selaput Lendir : warna, bengkak, tumor, sekresi, ulkus,
berdarah
- Faring : radang
- Tonsil : ukuran
35

- Uvula: simetris
f. Tenggorokan :
a) Inspeksi :
- Mukosa lidah dalam batas normal, tidak terdapat
gambaran peta.
- Mukosa faring : hiperemis (+), granuler (+), oedem (+).
- Ovula : tidak ada kelainan.
- Tonsil : tidak membesar, tidak hiperemis.
- Detritus (-)
b) Palpasi :
- Pembesaran submandibula (-), nyeri tekan (-)
g. Leher
a) Inspeksi
- Bentuk, warna, bengkak, massa, jaringan parut
b) Palpasi
- Nodul kelenjar limfe, vena jugularis, kelenjar tiroid.
- Pemeriksaan kaku kuduk atau tengkuk, ciri adanya
rangsang atau iritasi meningeal akibat perdarahan atau
peradangan sub arachnoid.
2) Pemeriksaan Thoraks/ dada :
a. Pemeriksaan paru:
a) Inspeksi :Bentuk dinding dada simetris, adanya nafas
kusmaul
b) Palpasi :Bentuk normalnya tidak ada kreptasi, tidak
ada nyeri tekan, vocal fremitus kanan dan kiri
sama.
c) Perkusi : Tidak ada pembesaran dinding dada sonor
pada kedua lapang paru
d) Auskultasi : Suara nafas vesikuler atau tidak, suara
nafas tambahan tidak ada, ronci (-), wheezing
36

(-)
b. Pemeriksaan jantung
a) Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
b) Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
c) Perkusi :
- Batas jantung kanan atas: SIC II LPS dextra
- Batas jantung kanan bawah : SIC V LPS dextra
- Batas jantung kiri atas: SIC II LMC sinistra
- Batas jantung kiri bawah: SIC VI LAA sinistra
d) Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 tunggal, tidak ada bunyi jantung
tambahan, dan tidak ada murmur.
3) Pemeriksaan abdomen
a. Inspeksi : Bentuk flat dan simetris, adanya distensi
abdominal
b. Auskultasi : Peningkatan bising usus (>20x/mnt)
c. Palpasi : Terkadang dapat nyeri abdomen
d. Perkusi : Terdapat bunyi pekak.

1.2.3 Identitas pasien


1.2.4 Riwayat penyakit
1. Keluhan Utama
Cedera Otak berat mempunyai keluhan atau gejala utama yang berbeda-beda
tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul seperti nyeri,
rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggung dan kelemahan pada
ekstremitas atas maupun bawah.
2. Riwayat Penyakit Saat Ini
Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan dan adanya
kehilangan fungsi neurologik. Medulla spinalis dapat mengalami cedera melalui
37

beberapa mekanisme, cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut dan
gaya : kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien dengan cedera medulla spinalis bias disebabkanoleh Beberapa penyakit
seperti Reumatoid Artritis, pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis,
Osteoporosis maupun tumor ganas.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera
medulla spinalis.

1.2.5 Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan pengkajian
fokus ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera kepala berat.
Keadaan umum pada keadaan cedera kepala berat umumnya mengalami
penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi
bradikardi dan hipotensi.
7. B1 (BREATHING)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf
parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan perubahan
karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending akibat trauma pada
tulangbelakang sehingga mengalami terputus jaringan saraf di medula spinalis,
pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi
umum didapatkan klien batuk peningkatan produksi sputum, sesak napas.
8. B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan syok hipovolemik
yang sering terjadi pada klien cedera kepala berat. Dari hasil pemeriksaan
didapatkan tekanan darah menurun nadi bradikardi dan jantung berdebar-debar.
Pada keadaan lainnya dapat meningkatkan hormon antidiuretik yang
berdampak pada kompensasi tubuh.
38

9. B3 (BRAIN)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral dan
pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan
klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian fungsi serebral : status mental
observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik
klien Pengkajian sistem motorik inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada
ekstermitas bawah, baik bersifat paralis, dan paraplegia. Pengkajian sistem
sensori ganguan sensibilitas pada klien cedera kepala berat sesuai dengan
segmen yang mengalami gangguan.
10. B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
11. B5 (BOWEL)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan
defekasi, tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang
akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
12. B6 (BONE)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi
saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi
segmental dari saraf yang terkena.disfungsi motorik paling umum adalah
kelemahan dan kelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit,
suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
i. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
ii. Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.
39

1.2.6 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang muncul pada Cedara Otak berat post op
craniotomy adalah sebagai berikut:
1.2.6.1 Bersihan jalan napas tidakefektif yang berhubungan dengan penumpukan
sputum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan kemampuan batuk
(ketidakmampuan batuk/batuk efektif). (D.0001 Hal. 18)
1.2.6.2 Pola napas tidakefektif yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot
pernapasan atau kelumpuhan otot diafragma. (D.0005 Hal.26)
1.2.6.3 Risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif yang berhubungan dengan
Adanya cedera kepala . (D.0017 Hal.51)
1.2.6.4 Penurunan kapasitas adaptif intrakarnial berhubungan dengan edema
selebral (D.0066.Hal 149)
1.2.6.5 Nyeri Akut berhubungan dengan adanya prosedur tindakan bedah. (D.0077
Hal.172)
1.2.6.6 Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi. ( D.0142 Hal 304 )
1.2.6.7 Gangguan eliminasi urine yang berhubungan dengan kelumpuhansaraf
perkemihan.(D,0040 Hal 96)
1.2.6.8 Defisit nutrisi yang berhubungan dengan kemampuan mencerna makanan
dan peningkatan kebutuhan metabolisme. (D.0019 Hal.56)
1.2.6.9 Konstipasi yang berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan
rektum. (D.0049 Hal 113)
1.2.6.10 Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular. (D.0054 Hal.124)
1.2.6.11 Defisit perawatan diri berhubungn dengan gangguan neuromuskuler
(D.0109, halm 240)
40

1.2.7 Intervensi
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil)
Dx1.Bersihan jalan napas Bersihan jalan nafas (SLKI,L.01001, Manajemen Jalan Nafas Buatan
tidakefektif yang berhubungan Hal18) (I.01012 Hal. 187)
dengan penumpukan sputum, Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi
peningkatan sekresi sekret, dan selama 1x7 jam diharapkan penurunan 1. Monitor posisi selang endotrakeal
penurunan kemampuan batuk produksi sekret, obstruksi jalan nafas (ETT), terutama setelah mengubah
(ketidakmampuan batuk/batuk untuk mempertahankan kepatenan posisi
efektif). (D.0001 Hal. 18) jalan nafas. Dengan kriteria hasil : 2. Monitor tekanan balon ETT setiap
1. Produksi sputum menurun 4-8 jam
2. Dispnea menurun 3. Monitor area stoma trakeostomi
3. Sulit berbicara sedang (mis. Kemerahan, drainase,
4. Sianosis menurun perdarahan)
5. Frekuensi nafas membaik Terapeutik
6. Pola nafas membaik 1. Kurangi tekana balon secara
periodik setiap shif
2. Pasang oropharingeal airway
(OPA) untuk mencegah ETT
tergigit
3. Cegah ETT terlipat (kinking)
4. Berikan pre0oksigenasi 100%
selama 30 detik (3-6 kali ventilasi)
sebelum dan setelah pengisapan
5. Berikan volume pre-oksigenasi
(bagging atau ventilasi mekanik)
1,5 kali volume tidal
6. Lakukan pengisapan lendir kurang
dari 15 detik jika diperlukan
(bukan secara berkala/rutin)
41

7. Gantik fikasi ETT setiap 24 jam


8. Ubah posisi ETT secara bergantian
(kiri dan kanan) setiap 24 Jam
9. Lakukan perawatan mulut(mis,
dengan sikat gigi,kasa,pelembab
bibir)
10. Lakukan perawatan trakeostomi
Edukasi
Jelaskan pasien dan/atau keluarga
tujuan dan prosedur pemasangan jalan
nafas buatan
Kolaborasi
Kolaborasi intubasi ulang jika
terbentuk mocus plug yang tidak dapat
di lakukan pengisapan
Dx.2.Pola napas tidakefektif yang Pola nafas SLKI (L.08066 hal 145 ) Menajemen jalan nafas (I.01011 hal:
Setelah di lakukan tindakan selama 186)
berhubungan dengan kelemahan
1x7 jam di harapkan Observasi
otot-otot pernapasan atau inspirasi/ekspirasi tidak memberikan 1. Monitor pola nafas (frekuensi,
ventilasi adekuat dengan kriteria hasil kedalaman, usaha nafas)
kelumpuhan otot diafragma.
: 2. Monitor bunyi nafas (mis.
(D.0005 Hal.26) 1. Dispnea menurun skor 5 Gurgling, mengi, wheezing, ronki
2. Penggunaan alat bantu otot nafas kering)
menurun skor 5 3. Monitor sputum (jumlah, warna,
3. Ortopnea menurun skor 5 aroma)
4. Pernafasan pursed lip menurun Terapeutik
skor 5 1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
5. Pernafasan cuping hidung menurun dengan head lift dan chin lift (jaw-
skor 5 thrust jika dicurigai trauma
42

6. Frekuensi nafas membaik skor 5 sevikal)


7. Kedalaman nafas membaik skor 5 2. Posisikan semi-fowler atau fowler
3. Berikan minuman hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
5. Lakukan pengisapan lendir kurang
dari 15 detik
6. Lakukan hiper oksigenasi sebelum
pengisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep Mcgil
8. Berikan oksigenasi, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan
200ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
bronkodilator,ekspektoran, mukolitik,
jika perlu

Dx 3 Penurunan kapasitas adaktif


intra karnial berhubungn dengan
43

edema selebral (D.0066 hal 149) Setelah diberi Asuhan Keperawatan Pemantuan tekanan intrakranial
selama 1x7 jam, diharapkan fungsi (I.06198, halm 249)
kerja otak dapat membaik, dengan Observasi
kriteria hasil : 1. Identifikasi penyebab penyakit
1. Funsi kognitif meningkat skor 5 TIK
2. Sakit kepala membaik skor 5 2. Monitor peningkatan TD
3. Tekanan darah membaik skor 5
3. Monitor pelebaran tekanan nadi
4. Tekanan nadi membaik skor 5
5. Pola nafas membaik skor 5 4. Monitor penurunan frekuensi
6. Respon pupil membaik skor 5 jantung
7. Refleks neurologis membaik 5. Monitor tingkat kesadaran
skor 5 6. Monitor perlambatan atau
8. Tekanan intra karnial membaik ketidaksimetrisan respon pupil
skor 5 7. Monitor kadar CO2 dan
pertahankan dalam rentang
yang diindikasikan
8. Monitor tekanan perfusi
serebral
9. Monitor jumlah, kecepatan dan
karakteristik drainase cairan
serebrospinal
10. Monitor efek stimulasi
lingkungan terhadap TIK
Terapeutik
1. Ambil sampel drainase cairan
serebrospinal
2. Kalibrasi transduser
44

3. Pertahankan posisi kepala dan


leher netral
4. Bilas sistem pemantuan,jika
perlu
5. Atur intervensi pemantuan
sesuai kondisi pasien.
6. Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantuan
Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu

Dx.4. Nyeri akut berhubungan


dengan adanya prosedur bedah Atau
adanya luka di kepala (D 0077, hal:
172). Tingkat Nyeri (L. 08066, hal 145)
45

Setelah diberikan askep selama 3x24 Manajemen Nyeri (I.08238 hal: 201)
jam diharapkan tingkat nyeri menurun. Observasi:
Kriteria hasil : - Identifikasi lokasi, karakteristik,
- Keluhan nyeri menurun (skor 5) durasi, frekuensi, kualitas,
- Gelisah menurun (skor 5) intensitas nyeri
- Frekuensi nadi membaik (skor 5) - Identifikasi skala nyeri
- Pola nafas membaik (skor 5) - Identifikasi respons nyeri non
- Pola tidur membaik (skor 5) verbal
- Identifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan
nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya
terhadaprespon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan - Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik:
- Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
46

aromaterapi, teknik imajinasi


terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi:
- Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu

Dx.5.Gangguan mobilitas fisik yang Mobilitas fisik (SLKI, L.05042 hal 66) Pemantauan neurologis (SDKI,
Setelah dilakukan tindakan
berhubungan dengan kerusakan I.061197, hal 22)
47

neuromuskular. (D.0054 Hal.124) keperawatan selama 2x7 jam Observasi


diharapkan pasien mampu dalam 1. Monitor ukuran, bentuk,
gerakan fisik dalam satu atau lebih kesmetrisan dan reaksi pupil
ekstermitas dengan kriteria hasil: 2. Monitor tingkat kesadaran (mis.
1. Pergerakan ekstermitas Menggunakan skala koma
meningkat Glasgow)
2. Kekuatan otot meningkat 3. Monitor tingkat orientasi
3. Rentang gerak (ROM) 4. Monitor ingatan terakhir, rentang
meningkat perhatian, memori masa lalu,
4. Kaku sendi menurun mood, dan perilaku
5. Gerakan tidal terkoordinir 5. Monitor tanda-tanda vital
menurun 6. Monitor status pernafasan:Analisa
6. Gerakan terbatas menurun gas darah, oksmetri nadi,
7. Kelemahan fisik menurun kedalaman nafas, pola nafas, dan
usaha nafas
7. Monitor para meter dinamika
hemodinamika, jika perlu
8. Monitor ICP (Intacarnial pressure)
dan CPP( cerebral perfudion
pressure)
9. Monitor reflex kornea
10. Monitor batul dan reflex muntah
11. Monitor irama otot, gerakan
motor, gaya berjalan dan
propriosepsi
12. Monitor kekuatan pegangan
13. Monitor adanya tremor
14. Monitor kesimetrisan wajah
15. Monitor gangguan visual:
48

diplopia, nistagmus, pemotongan


bidang visual, penglihatan kabur,
dan ketajaman penglihatan
16. Monitor keluhan sakit kepala
17. Monitor karakteristik bicara:
kelancaran, kehadiran afasia, atau
kesulitan mencari kata
18. Monitorperestasi (mat rasa atau
kesemutan)
19. Monitor pola keringat
20. Monitor respon Babinski
21. Monitor cushing
22. Monitor balutan karniotomi atau
laminektomi terhadap drainase
23. Monitor respon terhadap
pengobatan
Terapeutik
Tingkatkan frekuensi pemantauan
neurologis,

Dx 6 Gangguan eliminasi urine yang


Manajemen eliminasi urine (I.04152.
berhubungan dengan kadar gula darah Eliminasi urin (SLKI. L.04034. halm
Halm. 175)
meningkat (D,0040 Hal 96) 24)
Observasi
49

Setelah diberi Asuhan Keperawatan 1. Identifikasi tanda dan gejala


selama 1x7 jam, diharapkan retensi atau inkontinensia urine
pongosangan kandung kemih yang 2. Identifikasi faktor yang
lengkap. dengan kriteria hasil :
menyebabkan retensi atau
1. Sensasi berkemih meningkat 5
inkontinensia urine
2. Desakan berkemih (urgensi)
3. Monitor eliminasi urine (mis.
menurun 5
frekuensi, konsistensi, aroma,
3. Distensi kandung kemih
volume, dan warna)
menurun 5
Terapeutik
4. Berkemih tidak tuntus menurun
1. Catat waktu-waktu dan haluaran
5
berkemih
5. Volume residu urine menurun 5
2. Batasi asupan cairan, jika perlu
6. Nokturia menurun 5
3. Ambil sampel urine tengah
7. Mengompol menurun 5
(midstream) atau kultur
8. Frekuensi buang air kecil
Edukasi
membaik 5 1. Ajarkan tanda dan gejala infeksi
Karakteristik urine membaik 5 saluran kemih
2. Ajarkan mengukur asupan
cairan dan haluaran urine
3. Ajarkan mengambil spesimen
urine midstream
4. Ajarkan mengenali tanda
berkemih dan waktu yang tepat
untuk berkemih
5. Ajarkan terapi modalitas
penguatan otot-otot
50

panggul/berkemihan
6. Anjurkan minum yang cukup,
jika tidak ada kontraindikasi
7. Anjurkan mengurangi minum
menjelang tidur
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat supositoria
uretra, jika perlu

Risiko perfusi jaringan serebral Perfusi selebral (SLKI, L.02014 hal Menajemen Peningkatan Tekanan
tidak efektif yang berhubungan 86) Intrakarnial (I.06194 Hal 205)
dengan cedera kepala akut. (D.0017 Setelah diberi Asuhan Keperawatan Obsrevasi
51

Hal.51) selama 1x7 jam, diharapkan fungsi 1. Identifikasi penyebab peningkatan


kerja otak dapat membaik, dengan TIK,( mis.lesi, gangguan
kriteria hasil : metabolisme,edema selebral )
1. Tingkat kesadaran meingkat 2. Monitor tanda/gejala peningkatan
2. Tekanan intra karnial menurun TIK,(mis. Tekanan darah
3. Sakit kepala menurun meningkat, tekanan nadi melebar,
4. Tekanan darah sistolik membaik bradikardia, pola nafas ireguler,
5. Tekanan dara diastolik membaik kesadaran menurun)
6. Reflek saraf membaik 3. Monitor MAP (Mean Arteri
7. Mobilitas fisik membaik Pressure)
8. Status neurologis membaik 4. Monitor CVP (Central Venous
Pressure), Jika perlu
5. Monitor PAWP, Jika perlu
6. Monitor PAP, Jika perlu
7. Monitor ICP, (Inta Carnial
Pessure), Jika tersedia
8. Monitor CPP,(Celebral Perfusion
Pressure)
9. Monitor gelombang ICP
10. Monitor status pernafasan
11. Monitor intake dan output cairan
12. Monitor cairan serebro-spinalis
(mis. Warna,konsistensi)
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
2. Berika posisi semi fowler
3. Hindari manuver Valsava
52

4. Cegah terjadinya kejang


5. Hindari pemberian cairan IV
hiotonik
6. Atur ventilator agar PaCO2
optimal
7. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
1. Kolaboraasi pemberian sedasi dan
anti konvulsan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian Diuretik
osmosis, jika perlu
Kolaborasi pemberian pelunak tinja,
jika perlu

Perawatan diri (SLKI. L.1103, halm


81)
Defisit perawatan diri berhubungn Setelah diberi Asuhan Keperawatan Dukungan perawatan diri ( I.11348,
dengan gangguan neuromuskuler selama 1x7 jam, diharapkan halm 36)
(D.0109, halm 240) kemampuan melakukan atau Observasi
menyelesaikan aktivitas perawatan diri. 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas
53

dengan kriteria hasil : perawatan diri sesuai usia


1. Kemampuan mandi meningkat 2. Monitor tingkat kemandirian
5 3. Identifikasi kebutuhan alat
2. Kemampuan mengenakan bantu kebersihan diri,
pakaian meningkat 5 berpakaian, berhias, dan makan
3. Kemampuan ketoilet meningkat Terapeutik
5 1. Sediakan lingkungan yang
4. Minat melakukan perawan diri terapeutik
meningkat 5 2. Siapkan keperluan pribadi
5. Mempertahankan kebersihan 3. Dampingi dalam melalukan
diri meningkat perawatan diri
6. Mempertahankan kebersihan 4. Fasilitasi untuk menerima
mulut meningkat 5 keadaan ketergantungan
5. Fasilitasi kemandirian, bantu
jika tidak mampu melakukan
perawatan dir
6. Jadwalkan rutinitas perawatan
diri
Edukasi
Anjurkan melakukan perawatan diri
secara konsisten sesuai kemampuan
54

1.2.8 Implementasi
Pada tahap ini ada pengolahan dan perwujudan dari rencana perawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan keperawatan yang telah ditentukan dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan secara optimal
1.2.9 Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sitematik dan terencana tentang kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah dilakukan dengan berkesinambungan dengan
melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lain
BAB 2
TINJAUAN KASUS

Nama Mahasiswa : Hendra


NIM : 2017.C.09a.0843
Ruang Praktek : Ruang ICU
Tanggal Praktek : 10 November 2020
Tanggal & Jam Pengkajian : 10 November 2020

2.1 Pengkajian

Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada hari senin tanggal 06 November 2020
jam 15.00 WIB.
2.1.2 Identitas Klien

Nama : Tn.K
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Jl. Menteng 13
Tgl MRS : 6 November 2020
Diagnosa Medis : Cob Post Op Craniotomy

2.1.3 Riwayat Kesehatan/Perawatan

1) Keluhan Utama :

Keluarga pasien mengatakan: ”Tn.K mengalami penuruan kesadaran”

55
56

2) Riwayat Penyakit Sekarang

Keluarga pasien mengatakan pasien mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal di


Jl.Bakti dan tidak menggunakan helm jam 10;00 WIB Pada tanggal 6 November
2020, dan tidak sadarkan diri. Setelah itu keluarga membawa pasien ke rumah
sakit RSUD Dr Doris Sylvanus Palangka Raya di UGD pasien mendapatkan terapi
O2 4 liter/menit simple mask, infus NaCL 0,9% 20 tpm, setelah di lakukan
pemeriksaan kesadaran pasien somnolent GCS 8, adanya luka di bagian kepala.
Kemudian di alihkan ke ruang ICU untuk mendapat penanganan lebih lanjut.
3) Riwayat Penyakit Sebelumnya

Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mempunyai riwayat penyakit


sebelumnya yaitu Diabetes Melitus dan tidak pernah operasi.
4) Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien mengatakan di keluarga mereka tidak ada riwayat penyakit seperti
yang di alami pasien sekarang.

Genogram keluarga

Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Meninggal
: Meninggal
: Klien
... : Tinggal Serumah
57

2.1.4 Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum

Pasien tampak sakit berat, Pasien tampak berbaring lemah di tempat tidur, bedres
total, kesadaran somnolent, terpasang Manset monitor, terpasang SPO2 infus Futrolit
20 tpm ditangan kanan, terpasang oksigen 8 liter/menit simple mask, terpasang
Endotracheal Tube, Nasogastric tube dan Kateter dan juga tampak ada bekas luka
dikepala pasca operasi yang masih belum kering dan bau amis tampak luka masih
bewarna merah lebar luka 5cm dan panjang luka 1,5cm dan masi tersa hangat.

2) Status Mental

Tingkat kesadaran somnolen, ekspresi wajah datar (tidak ada ekspresi), bentuk badan
sedang, cara berbaring terbatas, tidak dapat berbicara jelas, suasana hati tampak
gelisah , fungsi kognitif orientasi waktu pasien tidak dapat membedakan antara pagi,
siang, malam, orientasi orang pasien tidak dapat mengenali keluarga maupun petugas
kesehatan, orientasi tempat pasien tidak mengetahui bahwa sedang berada di rumah
sakit. Insight baik, mekanisme pertahanan diri maladaptif.

3) Tanda-tanda Vital

Pada saat pengkajian tanda–tanda vital, tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 64
x/menit, pernapasan 28 x/menit dan suhu 36,7 0C.

4) Pernapasan (Breathing)

Bentuk dada simetris, ada kebiasaan merokok sehari 5 batang, ada batuk sejak 2 hari,
sputum berwarna kuning, tidak terdapat sianosis, adanya sesak nafas saat aktivitas
maupun istirahat, type pernafasan dada dan perut, irama pernafasan tidak teratur,
suara nafas trskeal, bunyi nafas tambahan ronchi basah (rales).
Masalah keperawatan:
58

- Bersihan jalan nafas

5) Cardiovasculer (Bleeding)

Tidak Ada nyeri, cappilary refill >2 detik, tampak pucat, tidak ada edema ekstermitas
bawah dan atas, Ictus Cordis tidak terlihat, adanya peningkatan Vena Jugularis, Bunyi
Jantung S3 S4 lup dup.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah

6) Persyarafan (Brain)

Nilai GCS E : 1 (Pasien sama sekali tidak dpat membuka mata), V : 2 (Berkata tidak
sesuai) M : 5 (Pasien dapat bergerak, apabila mempreoleh rangsangan) dan total Nilai
GCS : 8, kesadaran somnolent, pupil anisokor, reflek cahaya kiri kanan positif, pasien
tampak gelisah.
Hasil uji syaraf kranial nervus I (olfaktorius) penurunan daya penciuman, nervus
kranial II (optikus) terjadinya penurunan penglihatan, nervus kranial III
(okulomotorius) pupil dapat berkontraksi saat melihat cahaya, nervus kranial IV
(troklearis) bola mata tidak dapat mengikuti perintah, nervus kranial V (trigeminus)
gangguan mengunyah, nervus kranial vi (abdusen) tidak dapat melihat kesamping,
nervus kranial VII (fasialis) tidak dapat tersenyum, nervus kranial VIII
(vestibulokoklearis) tidak dapat mendengarkan perkataan, nervus kranial IX
(gasofaringeal) tidak dapat membedakan rasa, nervus kranial X (vagus) tidak dapat
berbicara dengan jelas nervus kranial XI (aksesorius) tidak dapat menggerakan
kepala, nervus kranial XII (hipogosus) tidak dapat mengendalikan pergerakan lidah.
Hasil uji koordinasi ekstrimitas atas jari ke jari negatif, jari ke hidung negatif
ekstrimitas bawah tumit ke jempul kaki negatif uji kestabilan tubuh negatif uji sensasi
tidak ada respon
Masalah Keperawatan : Penurunan Kapasitas adaptif intrakarnial
59

7) Eliminasi Uri (Bladder)

Produksi urine 1000 ml/5 jam warna urine kuning, bau urine amoniak. Pasien poliuri
dan terpasang kateter.
Masalah keperwatan: tidak ada masalah

8) Eliminasi Alvi (Bowel)

Bibir terlihat lembab,tidak ada lesi. Gigi tidak ada yang tanggal tidak caries,gusi
terlihat tidak ada peradangan dan pendarahan, lidah berwarna merah muda dan tidak
ada peradangan, tidak ada pendarahan pada mukosa, tidak ada peradangan pada
tonsil, tidak ada keluhan nyeri pada tenggorokan saat menelan, palpasi abdomen tidak
teraba massa dan tidak ada nyeri tekan abdomen. Tidak ada hemotoroid pada
rectum.Pasien BAB 1x sehari warna kuning dan lunak konsistensinya. Tidak terdapat
keluhan lainnya dan masalah keperawatan

9) Tulang-Otot-Integumen (Bone)

Kemampuan pergerakan sendi terbatas, tidak parese, tidak ada paralise, tidak ada
hemiparese, tidak ada krepitasi, tidak ada kekakuan, tida ada bengkak, ukuran otot
simetris, ekstremitas atas 2/5 dan ekstremitas bawah 2/5 normal pergerakanya, tidak
ada deformitas pada tulang, tidak ada perlukaan, tidak ada peradangan, maupun patah
tulang.
Tidak ada masalah Keperawatan.

10) Kulit-Kulit Rambut

Riwayat alergi pasien tidak pernah mengalami alergi obat, alergi makanan, Suhu kulit
Tn. K hangat, warna kulit putih/pucat, tidak ada kelainan, turgor halus tidak kasar
,kemerahan bekas luka pasca operasi ada peradangan pada bagian kulit kapala bekas
operasi tamapk warna luka masih merah, tampak luka masih belum kering dan masih
bau amis, lebar luka 5cm, panjang luka 1,5cm terasa hangat di bagian luka jaringan
60

perut tidak ada, tekstur rambur kasar, distribusi rambut merata, bentuk kuku simetris
tidak ada kelainan tidak ada masalah keperawatan.
Masalah Keperawatan : Resiko infeksi

11) Sistem Penginderaan

Fungsi penglihatan normal, bola mata bergerak normal, visus mata kanan dan mata
kiri normal 5/5, sklera normal/putih, kornea bening dan konjungtiva anemis. Pasien
tidak memakai kecamata dan tidak keluhan nyeri pada mata. Fungsi pendengaran
baik, penciuman normal, hidung simetris, dan tidak ada polip.
Tidak ada masalah keperawatan.

12) Leher Dan Kelenjar Limfe

Massa tidak ada, jaringan parut tidak ada, kelenjar limfe tidak teraba, kelenjar tyroid
tidak teraba, mobilitas leher bergerak bebas tidak terbatas.
13) Sistem Reproduksi

Reproduksi Perempuan, tidak ada kemerahan, tidak ada gatal, tidak ada perdarahan,
kebersihan baik, payudara simetris, puting menonjol, tidak ada keluhan lain.
Masalah Keperawatan : tidak ada
2.1.5 Pola Fungsi Kesehatan

1) Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit

Keluarga pasien mengatakan “semoga ibu saya segera sembuh”


2) Nutrisi dan Metabolisme

Tinggi badan 157 cm, berat badan sebelum sakit 54 kg, berat badan saat sakit 52
kg. Diet cair, gangguan menelan, tidak ada mual dan muntah
.
IMT = = = =
21,13

Pola Makan Sehari- Sesudah Sakit Sebelum Sakit


61

hari
Frekuensi/hari 3 x/hari 3x/hari
Porsi 1 porsi 1 porsi
Nafsu makan Kurang Baik Baik
Jenis Makanan Susu Nasi,sayur, dan ikan
Jenis Minuman Air Putih Air Putih
Jumlah minuman/cc/24 3 x 100 ml 1000 ml
jam
Kebiasaan makan Pagi, siang, sore Pagi, siang, sore
Keluhan/masalah Terpasang NGT Tidak ada
Masalah keperawatan : Resiko defist nutrisi
Balance cairan
Jumlah Intake Output
 Infus Futrolit 200 ml urine 1000 ml Urine 1000 ml/7
 infus manitol 250 ml IWL = (15x64)/24=40
Dalam 7 jam
 obat injeksi 9 ml = 40 x 7
 air minum 40 ml =280

 Susu Cair 500ml

Jumlah = 900 ml 1.280 ml


Balance cairan = 201 ml
Tidak ada masalah keperawatan
3) Pola istirahat dan tidur

Frekuensi pola istirahat dan tidur pasien tidak dapat dikaji karena pasien penurunan
kesadaran.
Masalah Keperawatan: tidak ada masalah
4) Kognitif

Keluarga dan pasien mengetahui tentang penyakit yang dideritanya.


Masalah Keperawatan: tidak ada masalah
5) Konsep diri (Gambaran diri, identitas diri, harga diri, peran )
62

Keluarga pasien menerima keadaannya Tn.K saat ini dan berusaha agar Tn. K cepat
sembuh.
Masalah Keperawatan: tidak ada masalah
6) Aktivitas Sehari-hari

Sebelum dibawa ke RS keluarga pasien mengatakan aktivitas sehari-hari yang


dilakukan adalah bekerja sebagai ibu rumah tangga. Setelah sakit keluarga
mengatakan Tn.K belum bisa bergerak bebas, pasien tampak lemah, hanya bisa
berbaring ditempat tidur, ADL pasien dibantu oleh keluarga dan perawat, skala
aktivitas 4 (sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam
perawatan sandiri)
Masalah Keperawatan : Defisit Perawatan Diri
7) Koping –Toleransi terhadap Stress

Sebelum sakit pasien jika ada masalah pasien selalu membicarakannya dengan
keluarga untuk mendapat jalan keluar yang baik. Sesudah sakit keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu berbicara dengan keluarganya.
Masalah Keperawatan : Tidak ada
8) Nilai-Pola Keyakinan

Pasien beragama islam, keluarga pasien mengatakan pasien selalu beribadah


Masalah Keperawatan : tidak ada

2.1.6 Sosial-Spritual

1) Kemampuan berkomunikasi

Pasien tidak dapat berkomunikasi, karena pasien penurunan kesadaran


2) Bahasa sehari-hari

Bahasa yang digunakan bahasa indonesia.


3) Hubungan dengan keluarga

Keluarga pasien mengatakan hubungan pasien dan keluarga baik, tidak ada
63

masalah.
4) Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain

Pasien tidak dapat berinteraksi dengan orang lain, lingkungannya sekitar,


perawat maupun dokter.
5) Orang berarti/terdekat

Orang terdekat pasien adalah keluarganya yang meliputi istri dan anak.
6) Kebiasaan menggunakan waktu luang

Pasien mengahabis waktu bersama istri dan anaknya keluar makan atau
menonton tv
7) Kegiatan beribadah :

Saat dirumah keluarga pasien mengatakan Tn. K mampu melakukan ibadah 5


waktu, namun saat dirawat pasien tidak mampu melakukan ibadah seperti
biasa.

2.1.7 Data Penunjang (Radiologis, Laboratorium, Penunjang lainnya)


1. Hasil pemeriksaan ct scan pada tanggal 7 november 2020

Kesan : Gambaran contional heamorge di lobus frontalis dan SAH di region


parientalis sinistra dan perifalk posterior dengan gambaran edema brain ringan,
tampak herniasi subfalcin, tampak fraktur pada system tulang yang terinvisuali
tampak gambaran hematosinus

2. Hasil laboratorium Tanggal 08 November 2020


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

4-10x103/uL
WBC 9,61 x 103/uL
3.5-5.5x106/uL
RBC 4.3 x 106/uL
64

11-16 mg/dl
HGB 10.3 gr/dl
150-400x103/uL
PLT 371 x 103/Ul
< 200 mg/dl
Glukosa S 97 mg/dl

Creatinin 0,39 mg/dl 0,17-1,5 mg/dl

Ureum 92 mg/dl 21-53 mg/dl

HTC 30,2 mg/dl 37-48% mg/dl

3. Pemeriksaan pada tanggal 8 November 2020

Parameter Hasil Nilai Normal


Natrium 134 135-148 Mmol/L
Kalium 4.0 3,5 – 5,3 Mmol/L
Calcium 1.21 0,98-1,2 Mmol/L

2.1.8 Penatalaksanaan Medis


No Terapi Dosis Indikasi Kontraindikasi
1. Cairan infus 500ml/24 Memenuhi kebutuhan
Gagal ginjal,pasien
jam 20 tpm karbohidrat, cairan, dan
Futrolit intolerasi fluktosa dan
elektrolit pada sebelum,
sribitol,keracunan metil
selama dan sesudah
atau alkohol
operasi
2. Clonazepam 1x1mg/IV Mencegah dan
depresi pernapasan,
mengendalikan kejang
insufisiensi pulmoner akut,
dan Mengatasi
porfiria.
gangguan panik
3. Ketorolac 3x1ml Hipersensitivitas.penyakit
Meredakan peradangan
tukat lambung,gagal
dan nyeri
ginjal,gagal jantung
4. Plasmirex 3x5ml/IV Digunakan untuk Hipersensitif terhadap
menghentikan asam traneksamat.
65

pendarahan seperti
pendarahan pasca
operasi,mimisan
5. Vitamin K 3x1ml/IV
Untuk mengatasi
Hipersensitivitas.
gangguan perdarahan

6. Manitol 4x250ml/ Terapi dan profilaksis


IV oliguria pada gagal
ginjal akut, edema otak, Hipersensitivitas.
peningkatan intra
karnial
7. Ceftriaxone 2x10mg/ Untuk mengatasi Hipersensitif terhadap
IV infeksi bakteri gram antibiotik cephalosporin
negatif maupun gram dan Neonatus.
positif.
Ranitidine 2 x 2ml/IV mengurangi produksi
asam lambung sehingga Hipersensitivitas,profilia
dapat mengurangi akut, gangguan fungsi
masalah asam lambung ginjal dan liver.
tinggi
Palangka Raya, 10 November 2020
Mahasiswa,

Hendra
2017.C.09a.0843

ANALISIS DATA
DATA SUBYEKTIF DAN KEMUNGKINAN MASALAH
DATA OBYEKTIF PENYEBAB
DS: Keluarga pasien Kebutuhan O2 meningkat Bersihan jalan
mengatakan pasien tampak nafas tidak efektif
sesak nafas RR meningkat
DO:
1. Pasien tampak lemah Pemasangan ETT dan
2. Pasien tampak gelisah ventilator
66

3. Capilary refill > 2 detik Merangsang produksi


4. Pasien tidak mampu batuk sputum
efektif
Mekanisme pengeluaran
5. Pasien terpasang
sputum terganggu
Endotracheal Tube.
6. Bunyi nafas tambahan Bersihan jalan nafas tidak
ronchi basah (rales) efektif
7. Pola nafas takipnea
8. Terdapat sputum berwarna
kuning pada jalan nafas
9. Irama nafas tidak teratur
10. otot bantu inspirasi paksa
(force inspiration).
11. TTV:
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 64 x/menit
RR : 28 x/menit
Suhu : 36,7°c

DO: Keluarga mengatakan Cedera jaringan otak Penurunan


pasien mengalami penurunan kapasitas adaptif
kesadaran Kompensasi tubuh yaitu: intrakarnial
DS : vasodilatasi
-Penurunan kesadaran
(somnolent) Aliran darah ke otak
-Pupil isokor menurun
- Perubahan fungsi neurologi
- Nilai GCS 8 Terjadi akumulasi darah
- fungsi kognitif orientasi ke daerah edema
waktu pasien tidak dapat
membedakan antara pagi, TIK meningkat
siang, malam, orientasi orang
pasien tidak dapat mengenali Suplai O2 menurun
keluarga maupun petugas
kesehatan, orientasi tempat Hipoksia selebral
pasien tidak mengetahui
bahwa sedang berada di rumah Iskemia
sakit.
- Hasil ct scan Gambaran Penurunan kapasitas adaptif
contional heamorge di lobus intrakarnial
frontalis dan SAH di region
parientalis sinistra dan perifalk
67

posterior dengan gambaran


edema brain ringan, tampak
herniasi subfalcin, tampak
fraktur pada system tulang
yang terinvisuali tampak
gambaran hematosinus
- TTV: TD= 130/80 MmHg
N=64 x/m
S=36,7
RR=28x/m

Ds : Keluarga pasien Penurunan kesadaran Resik defisit


nutrisi
mengatakan pasien masih
Penurunan intake aoutput
belum sadar pasca kecelaan
Mual,muntah
dan operasi
Do : Tidak mampu mencerna
makanan
 Pasien tampak sakit keras
 Pasien tampak lemah Resiko defisit nutris

 pasien tampak tidak sadar


 tampak ada luka bekas
operasi di bagian kepala
 tampak luka masih belum
kering
 tampak luka masih
bewarna merah
 luka masih bau amis
 lebar luka 5cm dan
panjang 1,5cm
 Tampak menggunakan
NGT
 Tampak ADL dibantu

Ds : Keluarga pasien Trauma jaringan Resiko infeksi


68

mengatakan Tn.K 2
Penuruanaan kelembaban
hariyang lalu baru saja
luka
menjalani operasi
post operasi
Do :
1. Pasien tampak lemah infaksi bakateri
2. tampak ada bekas luka
Resiko infeksi
kepala operasi Craniotomy
3. sekitar luka terasa hangat
4. tampak luka di kepala
pasien belum kering
5. Tampak luka masih
berwarna merah dan masih
bau
6. lebar luka 5cm pajang luka
1,5cm
7. Pasien menggunakan
kateter
Ds: - Fraktur tulang tengkorak Defisit Perawatan
Do: Diri
1. Pasien tampak lemah Gangguan saraf motorik
2. Pasien mengalami
penurunan kesadaran. Gangguan kordinasi gerak
3. Pasien tampak bedres total
Ekstremitas hemiprase
4. skala aktivitas 4 (sangat
tergantung dan tidak dapat Tidak mampu melakukan
melakukan atau ADL
berpartisipasi dalam
perawatan sandiri) Membutuhkan bantuan orang
5. ADL pasien semua lain
dibantu oleh perawat dan
Defisit Perawatan Diri
keluarga (mandi,
berpakaian, toileting,
makan dan minum)
69

Prioritas Masalah
1. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan penumpukan
sputum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan kemampuan batuk
ditandai dengan pasien tampak lemah, tampak gelisah, capilary refill > 2
detik, pola nafas takipnea, pasien tidak mampu batuk efektif, terdengar
bunyi nafas tambahan ronchi basah, pola nafas takipnea, terdapat sputum
pada jalan nafas, pasien terpasang Endotracheal Tube (ETT), TTV:
TD:130/80 mmHg, N : 64 x/menit, S : 36,7 °C, RR: 28 x/menit.
2. Penurunan kapasitas adaptif intrakarnial berhubungan dengan gangguan
metabolisme ditandai dengan pasien tampak gelisah, pasien tampak lemah,
pola nafas takipnea, mengalami penurunan kesadaran, GCS: 8 E1V2M5
somnolen, pupil Anisokor, gangguan fungsi kognitif : Disorientasi waktu,
orang dan tempat, TTV: TD:130/80 mmHg, N : 64 x/menit, S : 36,7°C,
70

RR: 28x/menit
3. Resiko infeksi berhubungan dengan integritas kulit dan jaringan ditandai
dengan adanya luka yang belum mengengering pasca tindak operasi
craniotomy,tampa warna kemerahan,masih bau amis, lebar 5cm panjang
1,5cm
4. Resiko defisit nutrisi berhungan dengan kurangnya asupan makanan di
tandai dengan pasien tampak lemah, tampak kurus, Kurang kemampuan
menelan makan akibat Proses penyakit yang di derita kurangnya
kemampuan tubuh mencernan makan dan dibuktikan dengan berat badan
bekurang 55kg menjadi 52
5. Defisit perawatan diri berhubungn dengan gangguan neuromuskuler
ditandai dengan, Pasien tampak lemah Pasien mengalami penurunan
kesadaran, Pasien tampak bedres total, ADL pasien semua dibantu oleh
perawat dan keluarga (mandi, berpakaian, toileting, makan dan minum),
skala aktivitas 4 (sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau
berpartisipasi dalam perawatan sandiri)
71

RENCANA KEPERAWATAN
Nama Pasien : Tn.K
Ruang Rawat : Keperawatan Kritis
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional
1. Bersihan jalan napas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor pola nafas 1. Mengetahui pola nafas (frekuensi,
yang berhubungan dengan keperawatan selama 1x7 jam (frekuensi, kedalaman, kedalaman, usaha nafas)
penumpukan sputum, diharapkan penurunan produksi usaha nafas) 2. Bunyi nafas (mis. Gurgling, mengi,
sekret, obstruksi jalan nafas untuk
peningkatan sekresi sekret, dan 2. Monitor bunyi nafas (mis. wheezing, ronki kering) menandakan kondisi
mempertahankan kepatenan jalan
penurunan kemampuan batuk nafas. Dengan kriteria hasil : Gurgling, mengi, wheezing, jalan nafas
ditandai dengan pasien tampak 1. Batuk efektif meningkat 5 ronki kering) 3. Mengetahui banyaknya sumbatan di jalan
lemah, tampak gelisah, capilary 2. Produksi sputum menurun 3. Monitor sputum (jumlah, nafas
refill > 2 detik, pola nafas skor 5 warna, aroma) 4. Semi fowler dan fowler ekspansi dada lebih
takipnea, pasien tidak mampu 3. Dispnea menurun skor 5 4. Posisikan semi-fowler atau maksimal
batuk efektif, terdengar bunyi 4. Gelisah menurun fowler 5. Mencegah terjadinya sesak nafas pada
nafas tambahan ronchi basah, 5. Frekuensi nafas membaik 5. Lakukan pengisapan lendir pasien
pola nafas takipnea, terdapat skor 5 kurang dari 15 detik 6. Pemberian oksigen 100% membantu pasien
sputum pada jalan nafas, pasien 6. Pola nafas membaik skor 5 6. Lakukan hiper oksigenasi sebelum dan setelah pengisapan lendir
terpasang Endotracheal Tube sebelum pengisapan 7. Pemberian volume oksigenasi mencegah
(ETT), TTV: TD:130/80 mmHg, endotrakeal hipoksia
N : 64 x/menit, S : 36,7 °C, RR: 7. Berikan oksigenasi 8. Pengisapa lendir untuk mengurangi sekret
28 x/menit 8. Kolaborasi pemberian yang mengganggu pernafasan
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik
Setelah diberi Asuhan
72

2. Penurunan kapasitas adaptif Keperawatan selama 1x7 jam, 1. Identifikasi penyebab 1. Mengetahui tanda dan gejala peningkatan
intrakarnial berhubungan dengan diharapkan fungsi kerja otak dapat peningkatan TIK TIK
gangguan metabolisme ditandai 2. Monitor peningkatan TD 2. Mengontrol tekanan darah
membaik, dengan kriteria hasil :
dengan pasien tampak gelisah, 3. Monitor ireguleritas irama 3. Untuk mengetahui status perkembangan
pasien tampak lemah, pola nafas 1. Tingkat kesadaran meingkat 5 nafas pasien
takipnea, mengalami penurunan 2. Fungsi kongnitif meningkat 4. Penurunan kesadaran berpengaruh buruk
kesadaran, GCS: 8 E1V2M5 4. Monitor penurunan tingkat terhadap pasien
3. Gelisah menurun 5
somnolen, pupil isokor, gangguan kesadaran 5. Untuk mengetahui reflek pupil dan gerakan
fungsi kognitif : Disorientasi 4. Tekanan darah menurun 5 5. Monitor perlambatan atau kembali bola mata
waktu, orang dan tempat, TTV: 5. Pola nafas membaik 5 ketidakstimetrisan respon 6. Mengetahui perkembangan keadaan pasien
TD:130/80 mmHg, N : 64 pupil. 7. Keluarga dapat memahami tujuan
6. Respon pupil membaik 5
x/menit, S : 36,7°C, RR: 6. Dokumentasi hasil pemantauan
28x/menit pemantuan 8. Keluarga dapat mengetahui perkembangan
pada pasien
7. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantuan
8. Infromasikan hasil
pemantuan

Setelah diberi Asuhan


1. Monitor karakteristik
73

3. Resiko infeksi berhubungan Keperawatan selama 1x7 jam, luka (mis,warna,ukuran 1. untuk mengetahui seberapa parah luka
dengan integritas kulit dan diharapkan Intergritas kulit dan bau) tersebut
2. Monitor tanda-tanda 2. supaya dapat mengatahui tanda dan gejala
jaringan ditandai dengan jaringan membaik dapat infeksi infeksi, mis warna ukuran bau
adanya luka yang belum membaik, dengan kriteria hasil : 3. lepaskan balutan plaster 3. agar pasien merasa nyaman saat melakukan
secara perlahan perawatan luka
mengengering pasca tindak 1. Suhu kulit 4
4. cukur rambut di sekitar 4. supaya mempermudah saat kita melalukan
operasi craniotomy,tampa 2. Kemerahan 4 daerah luka jika perlu
perawatan luka
warna kemerahan,masih bau 3. Teskstur 4 5. bersihkan dengan cairan
5. mempertahan kebersihan lukan pasien agar
4. Bengkak 4 Nacl atau pembersih
amis,lebar luka 5cm pajang selalu bersih
nontoksit sesuai
5. Pertumbuhan rambut 4 6. supaya membantu proses penyembuhan luka
1,5cm kebutuhan
6. berikan salep yang sesuai dengn cepat
ke kulit/lesi jika perlu 7. supaya terhindar dari bakteri dan infeksi
7. pertahan kan teknik steril 8. agar keluarga dan pasien tau tanda dan
saat melakukan peratwan gejala infeksi
lukan 9. agar dapat pemberian antibiotik dan sesui
8. jelaskan tanda dan gejal kebutuhan pasien.
infeksi
9. kolaborasi dengan dokter
pemberian antibiotik

Nama Pasien : Tn.K


74

Ruang Rawat : Keperawatan Kritis


Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional
4. Resiko Defisit nutrisi yang Setelah diberi Asuhan Keperawatan 1. Monitor asupan dan keluarnya makanan 1. Untuk mengetahui statusi nutrisi
berhubungan dengan selama 1x7 jam, diharapkan dan cairan serta kebutuhan kalori 2. Supaya mengatahui perkembangan
ketidakmampuan mencerna keadekuatan asupan nutrisi untuk 2. Timbang berat badan secara rutin berat badan pasien
memenuhi kebutuhan metabolisme. 3. Diskusikan perilaku makanan dan 3. Supaya dapat mengetahui makanan
makanan dan peningkatan
dengan kriteria hasil : jumlah aktivitas fisik apa yang disukai klien
kebutuhan metabolisme 1. Porsi makan yang 4. Lakukan kontak waktu 4. Agar asupan nutrisi selalu terpenuhi
dihabiskan meningkat 5 5. Dampingi kekamar mandi untuk 5. Supaya dapat mengetahui asupan
2. Pengetahuan tentang pilihan pengamatan perilaku memuntahkan nutrisi yang sudah masuk dan
makanan yang sehat kembali makanan menjamin pasien mekamakannya
meningkat 5 6. Berikan penguatan positif terhadap 6. Agar dapat memantau berat badan
3. Pengetahuan tentang pilihan keberhasilan target dan perubahan adan asupan nutri yang cukup
minuman yang sehat perilaku 7. Supaya mengatahui perkembangan
meningkat 5 7. Berikan konsekuensi jika tidak pasien dan status nutrisi
4. Pengetahuan tentang standar mencapai target sesuai kontrak 8. Meningkatkan keinganan klien
asupan nutrisi yang tepat 8. Anjurkan membuat catatan harian untuk makan
meningkat 5 tentang perasaan dan situasi pemicu 9. Supaya menambah asupan nutrisi
5. Perasaan cepat kenyang pengeluaran makanan selalu terpenuhi
menurun 5 9. Ajarkan pengaturan diet yang tepat 10. Untuk menentukan jumlah jenis
6. IMT membaik 5 10. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang makan yang sesuai dengan
7. Frekuensi makan membaik 5 target berat badan, kebutuhan kalori kebutuhan klien
8. Nafsu makan membaik 5 dan pilihan makanan.

5. perawatan diri berhubungn Setelah diberi Asuhan 1. Monitor tingkat kemandirian 1. Mengetahui kemampuan pasien
dengan gangguan Keperawatan selama 1x7 jam, 2. Sediakan lingkuhan yang 2. Penyediaan lingkungan yang aman dan
diharapkan kemampuan
75

neuromuskuler ditandai melakukan atau menyelesaikan terapeutik (mis. Suasana hangat, privasi membuat pasien merasa nyaman
dengan, Pasien tampak aktivitas perawatan diri. dengan rileks, privasi) 3. Membantu mempersiapkan kebutuhan pasien
lemah Pasien mengalami kriteria hasil : 3. Siapkan keperluan pribasi (mis. agar perawatan diri terpenuhi
1. Kemampuan mandi meningkat
penurunan kesadaran, Parfum, sikat gigi, dan sabun 4. Mencegah defisit peraawatan diri
5
Pasien tampak bedres total 2. Kemampuan mengenakan mandi)
skala ADL pasien semua pakaian meningkat 5 4. Fasilitasi kemandirian, bantu 5. Penjadwalan secaraa rutin membantu
dibantu oleh perawat dan 3. Kemampuan ketoilet klien melakukan perawatan diri mengigatkan dalan melakukan perawatan diri
keluarga (mandi, meningkat 5 5. Jadwalkan rutinitas perawatan 6. Perawatan diri secara konsisten dapat
berpakaian, toileting, 4. Minat melakukan perawan diri diri membantu kebersihan
makan dan minum), skala meningkat 5 6. Anjurkan melakukan perawatan
5. Mempertahankan kebersihan 7. Keluarga dapat melakukan perawatan diri
aktivitas 4 (sangat diri secara konsisten sesuai
diri meningkat secara maksimal
tergantung dan tidak dapat 6. Mempertahankan kebersihan dengan kemampuan
melakukan atau 7. Ajarkan keluarga dalam 8. Berkolaborasi dengan keluarga agar
mulut meningkat 5
berpartisipasi dalam 7. Menggunakan karta kerja dan melakukan perawatan diri keburtuhan kebersihan diri pasien dapat
perawatan sandiri) mmg dipakai 8. Kolaborasi dengan keluarga terpemuhi
dalam memberi dukungan dan
bantuan kepada pasien
76

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

Nama Pasien : Tn.K


Ruang Rawat : Keperawatan kritis
Tanda tangan
Hari / Tanggal Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) dan
Nama Perawat
Selasa, 10 November Diagnosa 1: S: Keluarga pasien mengatakan pasien masih tampak
2020 1. Memonitor pola nafas (frekuensi, sesak
15.00 WIB kedalaman, usaha nafas) O:
2. Memonitor bunyi nafas (mis. Gurgling, - Pola nafas takipnea, frekuensi 28x/m
mengi, wheezing, ronki kering) - Terdapat bunyi nafas tambahan ronchi basah
3. Memonitor sputum (jumlah, warna, - Terdapat sputum berwarna kuning
aroma) - Posisi pasien semi-fowler
4. Memposisikan semi-fowler atau fowler - Dilakukan tindakan suction
5. Melakukan pengisapan lendir kurang dari - Pasien terpasang oksiganl simple mask 8 l/m
15 detik - Sudah dilakukan hiper oksigenasi sebelum
6. Memberikan oksigenasi pengisapan endorakeal
7. Mengkolaborasi pemberian bronkodilator, - Pasien diberikan terapi Bromhexine
ekspektoran, mukolitik A: Masalah belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi
1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha Hendra
nafas)
77

2. Monitor bunyi nafas (mis. Gurgling, mengi,


wheezing, ronki kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
4. Posisikan semi-fowler atau fowler
5. Lakukan pengisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Berikan oksigenasi
7. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik
78

Diagnosa 2: S: Keluarga pasien mengatakan: ”Tn. K sesak nafas dan


Selasa, 10 November 1. Menidentifikasi penyebab peningkatan tidak sadarkan diri”
2020 15.00 WIB TIK O:
2. Memonitor peningkatan TD - Peningkatan vena jugularis
3. Memonitor ireguleritas irama nafas - Tekanan darah 130/80 mmHg
4. Memonitor penurunan tingkat kesadaran - Pola nafas 28 x/m, ireguler
5. Memonitor perlambatan atau - Mengalami penurunan kesadaran GCS: 8 E1V2M5
ketidakstimetrisan respon pupil. somnolen
6. Berkolaboraasi pemberian sedasi dan anti - Pupil anisokor
konvulsan - Pasien diberikan terapi Clonazepam
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
2. Monitor peningkatan TD
3. Monitor ireguleritas irama nafas
4. Monitor penurunan tingkat kesadaran
5. Monitor perlambatan atau ketidakstimetrisan
respon pupil. Hendra
6. Berkolaboraasi pemberian sedasi dan anti
konvulsan
79

Hari,tanggal dan jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Tanda tangan dan


Nama Perawat

Selasa, 10 November 1. Memonitor karakteristik luka S:-


2020 (mis,warna,ukuran bau) O:-
Pukul 15.00 Wib 2. Memonitor tanda-tanda infeksi - Tampak ada luka di bagian kepala kanan, bekas
3. Melepaskan balutan plaster secara operasi post Craniotomy dengan luka horizontal
Dx 3 perlahan dengan lebar 5cm dan panjang luka 1,5 cm.
4. Mencukur rambut di sekitar daerah luka - Tampak luka masih basah
- Tampak sekitar luka masih berwarna merah
jika perlu
- Tampak masih ada benjolan di luka
5. Membersihkan dengan cairan Nacl atau
- Sekitar luka masih terasa panas Hendra
pembersih nontoksit sesuai kebutuhan - Keluarga sudah mengetahui cara mencuci
6. Memberikan salep yang sesuai ke tangan untuk infeksi
kulit/lesi jika perlu - Inj Cefriaxone 2x1 gr
7. Mempertahan kan teknik steril saat A : Masalah belum teratasi
melakukan peratwan lukan
8. Menjelaskan tanda dan gejal infeksi P : Lnjutkan Intervensi 1,2,5, dan 9
9. Mengkolaborasi dengan dokter - Memonitor karakteristik
pemberian antibiotik luka (mis,warna,ukuran bau)
- Memonitor tanda-tanda infeksi
- Membersihkan dengan cairan Nacl atau
pembersih nontoksit sesuai kebutuhan
- Mengkolaborasi dengan dokter pemberian
antibiotik
80

Hari,tanggal dan jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Tanda tangan dan


Nama Perawat

Selasa, 10 November 1. Memonitor asupan dan keluarnya S: keluarga pasien mengatakan Tn. K masih belum
2020 makanan dan cairan serta kebutuhan sadar dan belum bisa mencerna makan secara langsung
Pukul 15.00 Wib kalori O:
2. Menimbang berat badan secara rutin - Pasien tampak kurus
Dx 4 3. Mendiskusikan perilaku makanan dan - Pasien tampak masih mengunakan NGT
jumlah aktivitas fisik - Pasien masih menggunakan NGT makan,minum
4. Memlakukan kontak waktu
- Pasien tindak bisa mencerna makan secara
5. Mendampingi kekamar mandi untuk
pengamatan perilaku memuntahkan langsung Hendra
kembali makanan - Pasien tampak tidak sadar
6. Memberikan penguatan positif terhadap A: masalah belum teratasi
keberhasilan target dan perubahan P: lanjutkan intervensi
perilaku - Monitor asupan dan keluarnya makanan dan
7. Berikan konsekuensi jika tidak cairan serta kebutuhan kalori
mencapai target sesuai kontrak - Timbang berat badan secara rutin
8. Menganjurkan membuat catatan harian - Diskusikan perilaku makanan dan jumlah
tentang perasaan dan situasi pemicu aktivitas fisik
pengeluaran makanan - Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat
9. Mengajarkan pengaturan diet yang badan, kebutuhan kalori dan pilihan makanan
tepat
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi
tentang target berat badan, kebutuhan
kalori dan pilihan makanan.
81

Hari,tanggal dan jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Tanda tangan dan


Nama Perawat

Selasa, 10 November 1. Memonitor tingkat kemandirian S: keluarga mengatakan dapat memahami dan
2020 mengerti tentang pentingnya perawatan diri
2. Menyiapkan keperluan pribadi (mis. Parfum,
Pukul 15.00 Wib O:
sikat gigi, dan sabun mandi) - Pasien masih belum bisa ( mandi, berpakaian,
Dx 5 toileting, makan dan minum) sendiri
3. Memfasilitasi kemandirian, bantu kila
- Kebutuhan perawatan diri pasien lengkap (sabun
melakukan perawatan diri mandi, sikat gigi)
- Skala skala aktivitas 4 (sangat tergantung dan
4. Menjadwalkan rutinitas perawatan diri
tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam
5. Mengajarkan keluarga tentang perawatan diri perawatan sandiri) Hendra
- Keluarga setuju jika besoknya dilalukan
6. Mengkolaborasi dengan keluarga dalam
perawatan diri lagi
memberi dukungan dan bantuan kepada - Keluarga tampak mengerti tentang pentingnya
kebersihan diri
pasien
- Keluarga tampak mau membantu memberi
dukungan dan bantuan kepada pasien dalam
perawatan diri
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi
1. monitor tingkat kemandirian
2. Siapkan keperluan pribasi (mis. Parfum, sikat
gigi, dan sabun mandi)
82

3. Memasilitasi kemandirian, bantu kila


melakukan perawatan diri
4. jadwalkan rutinitas perawatan diri
5. anjurkan melakukan perawatan diri secara
konsisten sesuai dengan kemampuan
6. kolaborasi dengan keluarga dalam memberi
dukungan dan bantuan kepada pasien
83

CATANTAN PERKEMBANGAN

Nama Pasien : Tn.K


Ruang Rawat : Keperawatan kritis
Tanda tangan
Hari / Tanggal Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) dan
Nama Perawat
Rabu, 11 November Diagnosa 1: S: Keluarga pasien mengatakan pasien masih tampak
2020 1. Memonitor pola nafas (frekuensi, sesak nafas
12.00 WIB kedalaman, usaha nafas) O:
2. Memonitor bunyi nafas (mis. - Pola nafas takipnea, frekuensi 26 x/m
Gurgling, mengi, wheezing, ronki - Terdapat bunyi nafas tambahan ronchi basah
kering) - Terdapat sputum berwarna kuning
3. Memonitor sputum (jumlah, warna, - Posisi pasien semi-fowler
Hendra
aroma) - Dilakukan tindakan suction
4. Memposisikan semi-fowler atau - Pasien terpasang oksiganl simple mask 8 l/m
fowler - Sudah dilakukan hiper oksigenasi sebelum
5. Melakukan pengisapan lendir kurang pengisapan endorakeal
dari 15 detik - Pasien diberikan terapi Bromhexine
6. Memberikan oksigenasi A: Masalah belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi
7. Mengkolaborasi pemberian
1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha
bronkodilator, ekspektoran, mukolitik
nafas)
2. Monitor bunyi nafas (mis. Gurgling, mengi,
84

wheezing, ronki kering)


3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
4. Posisikan semi-fowler atau fowler
5. Lakukan pengisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Berikan oksigenasi
7. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik
85

Rabu, 11 November Diagnosa 2: S: Keluarga pasien mengatakan: ”Tn. K sesak nafas dan
2020 12.00 WIB 1. Menidentifikasi penyebab peningkatan tidak sadarkan diri”
TIK O:
2. Memonitor peningkatan TD - Peningkatan vena jugularis
3. Memonitor ireguleritas irama nafas - Tekanan darah 130/80 mmHg
4. Memonitor penurunan tingkat - Pola nafas 28 x/m, ireguler
kesadaran - Mengalami penurunan kesadaran GCS: 8 E1V2M5
5. Memonitor perlambatan atau somnolen
ketidakstimetrisan respon pupil. - Pupil anisokor
6. Berkolaboraasi pemberian sedasi dan - Pasien diberikan terapi Clonazepam Hendra
anti konvulsan A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
2. Monitor peningkatan TD
3. Monitor ireguleritas irama nafas
4. Monitor penurunan tingkat kesadaran
5. Monitor perlambatan atau ketidakstimetrisan
respon pupil.
6. Berkolaboraasi pemberian sedasi dan anti
konvulsan
86

Hari,tanggal dan jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Tanda tangan dan


Nama Perawat

Rabu, 11 November 1. Memonitor karakteristik luka S:-


2020 (mis,warna,ukuran bau) O:-
Pukul 12.00 Wib 2. Memonitor tanda-tanda infeksi - Tampak ada luka di bagian kepala kanan, bekas
3. Melepaskan balutan plaster secara operasi post Craniotomy dengan luka horizontal
Dx 3 perlahan dengan lebar luka 5cm dan panjang 1,5 cm.
4. Mencukur rambut di sekitar daerah - Tampak luka masih basah
- Tampak sekitar luka masih berwarna merah
luka jika perlu
- Tampak masih ada benjolan di luka
5. Membersihkan dengan cairan Nacl
- Sekitar luka masih terasa panas Hendra
atau pembersih nontoksit sesuai - Keluarga sudah mengetahui cara mencuci tangan
kebutuhan untuk infeksi
6. Memberikan salep yang sesuai ke - Inj Cefriaxone 2x1 gr
kulit/lesi jika perlu A : Masalah belum teratasi
7. Mempertahan kan teknik steril saat
melakukan peratwan lukan P : Lnjutkan Intervensi 1,2,5, dan 9
8. Menjelaskan tanda dan gejal infeksi - Memonitor karakteristik
9. Mengkolaborasi dengan dokter - luka (mis,warna,ukuran bau)
pemberian antibiotik - Memonitor tanda-tanda infeksi
- Membersihkan dengan cairan Nacl atau
pembersih nontoksit sesuai kebutuhan
- Mengkolaborasi dengan dokter pemberian
antibiotik
87

Hari,tanggal dan jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Tanda tangan dan


Nama Perawat

Rabu, 11 November 1. Memonitor asupan dan keluarnya S: keluarga pasien mengatakan Tn. K masih belum sadar
2020 makanan dan cairan serta kebutuhan dan belum bisa mencerna makan secara langsung
Pukul 12.00 Wib kalori O:
2. Menimbang berat badan secara rutin - Pasien tampak kurus
Dx 4 3. Mendiskusikan perilaku makanan dan - Pasien tampak masih mengunakan NGT
jumlah aktivitas fisik - Pasien masih menggunakan NGT makan,minum
4. Memlakukan kontak waktu
- Pasien tindak bisa mencerna makan secara
5. Mendampingi kekamar mandi untuk
pengamatan perilaku memuntahkan langsung Hendra
kembali makanan - Pasien tampak tidak sadar
6. Memberikan penguatan positif A: masalah belum teratasi
terhadap keberhasilan target dan P: lanjutkan intervensi
perubahan perilaku - Monitor asupan dan keluarnya makanan dan
7. Berikan konsekuensi jika tidak cairan serta kebutuhan kalori
mencapai target sesuai kontrak - Timbang berat badan secara rutin
8. Menganjurkan membuat catatan - Diskusikan perilaku makanan dan jumlah
harian tentang perasaan dan situasi aktivitas fisik
pemicu pengeluaran makanan - Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat
9. Mengajarkan pengaturan diet yang badan, kebutuhan kalori dan pilihan makanan
tepat
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi
tentang target berat badan, kebutuhan
kalori dan pilihan makanan.
88

Hari,tanggal dan jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Tanda tangan dan


Nama Perawat

Rabu, 11 November 1. Memonitor tingkat kemandirian S: keluarga mengatakan dapat memahami dan
2020 mengerti tentang pentingnya perawatan diri
2. Menyiapkan keperluan pribadi (mis.
Pukul 12.00 Wib O:
Parfum, sikat gigi, dan sabun mandi) - Pasien masih belum bisa ( mandi, berpakaian,
Dx 5 toileting, makan dan minum) sendiri
3. Memfasilitasi kemandirian, bantu kila
- Kebutuhan perawatan diri pasien lengkap (sabun
melakukan perawatan diri mandi, sikat gigi)
- Skala skala aktivitas 4 (sangat tergantung dan
4. Menjadwalkan rutinitas perawatan diri
tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam
5. Mengajarkan keluarga tentang perawatan perawatan sandiri) Hendra
- Keluarga setuju jika besoknya dilalukan
diri
perawatan diri lagi
6. Mengkolaborasi dengan keluarga dalam - Keluarga tampak mengerti tentang pentingnya
kebersihan diri
memberi dukungan dan bantuan kepada
- Keluarga tampak mau membantu memberi
pasien dukungan dan bantuan kepada pasien dalam
perawatan diri
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi
1. monitor tingkat kemandirian
2. Siapkan keperluan pribasi (mis. Parfum,
sikat gigi, dan sabun mandi)
3. Memasilitasi kemandirian, bantu kila
melakukan perawatan diri
89

4. jadwalkan rutinitas perawatan diri


5. anjurkan melakukan perawatan diri secara
konsisten sesuai dengan kemampuan
6. kolaborasi dengan keluarga dalam memberi
dukungan dan bantuan kepada pasien
90

CATANTAN PERKEMBANGAN

Nama Pasien : Tn.K


Ruang Rawat : Keperawatan kritis
Tanda tangan
Hari / Tanggal Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) dan
Nama Perawat
Kamis, 12 November Diagnosa 1: S: Keluarga pasien mengatakan pasien sesak nafas
2020 1. Memonitor pola nafas (frekuensi, sudah berkurang
14.30 WIB kedalaman, usaha nafas) O:
2. Memonitor bunyi nafas (mis. - Pola nafas takipnea, frekuensi 23 x/m
Gurgling, mengi, wheezing, ronki - Terdapat masih ada bunyi nafas tambahan ronchi
kering) basah
3. Memonitor sputum (jumlah, warna, - Terdapat sputum berwarna kuning
Hendra
aroma) - Posisi pasien semi-fowler
4. Memposisikan semi-fowler atau - Dilakukan tindakan suction
fowler - Pasien terpasang oksiganl simple mask 6 l/m
5. Melakukan pengisapan lendir kurang - Sudah dilakukan hiper oksigenasi sebelum
dari 15 detik pengisapan endorakeal
6. Memberikan oksigenasi - Pasien diberikan terapi Bromhexine
7. Mengkolaborasi pemberian A: Masalah teratasi seabagian
P: Lanjutkan intervensi
bronkodilator, ekspektoran, mukolitik
1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha
nafas)
91

2. Monitor bunyi nafas (mis. Gurgling, mengi,


wheezing, ronki kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
4. Posisikan semi-fowler atau fowler
5. Lakukan pengisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Berikan oksigenasi
7. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik
92

Kamis, 12 November Diagnosa 2: S: Keluarga pasien mengatakan: ”Tn. K sesak nafas


2020 14.30 WIB 7. Menidentifikasi penyebab peningkatan berkurang dan masih tidak sadarkan diri”
TIK O:
8. Memonitor peningkatan TD - Peningkatan vena jugularis
9. Memonitor ireguleritas irama nafas - Tekanan darah 130/80 mmHg
10. Memonitor penurunan tingkat - Pola nafas 23 x/m, teratur
kesadaran - Mengalami penurunan kesadaran GCS: 8 E1V2M5
11. Memonitor perlambatan atau somnolen
ketidakstimetrisan respon pupil. - Pupil anisokor
12. Berkolaboraasi pemberian sedasi dan - Pasien diberikan terapi Clonazepam Hendra
anti konvulsan A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
2. Monitor peningkatan TD
3. Monitor ireguleritas irama nafas
4. Monitor penurunan tingkat kesadaran
5. Monitor perlambatan atau ketidakstimetrisan
respon pupil.
6. Berkolaboraasi pemberian sedasi dan anti
konvulsan
93

Hari,tanggal dan jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Tanda tangan dan


Nama Perawat

Kamis, 12 November 1. Memonitor karakteristik luka S:-


2020 (mis,warna,ukuran bau) O:-
Pukul 14.30 Wib 2. Memonitor tanda-tanda infeksi - Tampak ada luka di bagian kepala kanan, bekas
3. Melepaskan balutan plaster secara operasi post Craniotomy dengan luka horizontal
Dx 3 perlahan dengan lebar luka 5cm dan panjang 1,5 cm.
4. Mencukur rambut di sekitar daerah - Tampak luka masih basah
- Tampak sekitar luka masih berwarna merah
luka jika perlu
- Tampak masih ada benjolan di luka
5. Membersihkan dengan cairan Nacl
- Sekitar luka masih terasa panas Hendra
atau pembersih nontoksit sesuai - Keluarga sudah mengetahui cara mencuci tangan
kebutuhan untuk infeksi
6. Memberikan salep yang sesuai ke - Inj Cefriaxone 2x1 gr
kulit/lesi jika perlu A : Masalah belum teratasi
7. Mempertahan kan teknik steril saat
melakukan peratwan lukan P : Lnjutkan Intervensi 1,2,5, dan 9
8. Menjelaskan tanda dan gejal infeksi - Memonitor karakteristik
9. Mengkolaborasi dengan dokter - luka (mis,warna,ukuran bau)
pemberian antibiotik - Memonitor tanda-tanda infeksi
- Membersihkan dengan cairan Nacl atau
pembersih nontoksit sesuai kebutuhan
- Mengkolaborasi dengan dokter pemberian
antibiotik
94

Hari,tanggal dan jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Tanda tangan dan


Nama Perawat

Rabu, 11 November 1. Memonitor asupan dan keluarnya S: keluarga pasien mengatakan Tn. K masih belum sadar
2020 makanan dan cairan serta kebutuhan dan belum bisa mencerna makan secara langsung
Pukul 14.30 Wib kalori O:
2. Menimbang berat badan secara rutin - Pasien tampak kurus
Dx 4 3. Mendiskusikan perilaku makanan dan - Pasien tampak masih mengunakan NGT
jumlah aktivitas fisik - Pasien masih menggunakan NGT makan,minum
4. Memlakukan kontak waktu
- Pasien tindak bisa mencerna makan secara
5. Mendampingi kekamar mandi untuk
pengamatan perilaku memuntahkan langsung Hendra
kembali makanan - Pasien tampak tidak sadar
6. Memberikan penguatan positif A: masalah belum teratasi
terhadap keberhasilan target dan P: lanjutkan intervensi
perubahan perilaku - Monitor asupan dan keluarnya makanan dan
7. Berikan konsekuensi jika tidak cairan serta kebutuhan kalori
mencapai target sesuai kontrak - Timbang berat badan secara rutin
8. Menganjurkan membuat catatan - Diskusikan perilaku makanan dan jumlah
harian tentang perasaan dan situasi aktivitas fisik
pemicu pengeluaran makanan - Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat
9. Mengajarkan pengaturan diet yang badan, kebutuhan kalori dan pilihan makanan
tepat
10. Mengkolaborasi dengan ahli gizi
tentang target berat badan, kebutuhan
kalori dan pilihan makanan.
95

Hari,tanggal dan jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Tanda tangan dan


Nama Perawat

kamis, 12 November 1. Memonitor tingkat kemandirian S: keluarga mengatakan dapat memahami dan
2020 mengerti tentang pentingnya perawatan diri
2. Menyiapkan keperluan pribadi (mis.
Pukul 14.30 Wib O:
Parfum, sikat gigi, dan sabun mandi) - Pasien masih belum bisa ( mandi, berpakaian,
Dx 5 toileting, makan dan minum) sendiri
3. Memfasilitasi kemandirian, bantu kila
- Kebutuhan perawatan diri pasien lengkap (sabun
melakukan perawatan diri mandi, sikat gigi)
- Skala skala aktivitas 4 (sangat tergantung dan
4. Menjadwalkan rutinitas perawatan diri
tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam
5. Mengajarkan keluarga tentang perawatan perawatan sandiri) Hendra
- Keluarga setuju jika besoknya dilalukan
diri
perawatan diri lagi
6. Mengkolaborasi dengan keluarga dalam - Keluarga tampak mengerti tentang pentingnya
kebersihan diri
memberi dukungan dan bantuan kepada
- Keluarga tampak mau membantu memberi
pasien dukungan dan bantuan kepada pasien dalam
perawatan diri
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi
1. monitor tingkat kemandirian
2. Siapkan keperluan pribasi (mis. Parfum,
sikat gigi, dan sabun mandi)
3. Memasilitasi kemandirian, bantu kila
melakukan perawatan diri
96

4. jadwalkan rutinitas perawatan diri


5. anjurkan melakukan perawatan diri secara
konsisten sesuai dengan kemampuan
6. kolaborasi dengan keluarga dalam memberi
dukungan dan bantuan kepada pasien
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cedera otak berat merupakan cedera kepala yang mengakibatkan penurunan
kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24 jam (Haddad,
2012). Jadi, cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak
yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan
kematiaan. Cedera kepala berat adalah keadaan dimana penderita tidak mampu
melakukan perintah sederhana oleh karena kesadaran menurun (GCS < 8)
Pada kasus Tn K dengan keluhan utama keluarga mengatakan pasien
mengalami penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas, dengan
kesadaran somnolent nilai GCS8 Pasien tampak sakit berat, Pasien tampak
berbaring lemah di tempat tidur, bedres total, ADL pasien semua dibantu oleh
perawat dan keluarga ( mandi, berpakaian, toileting, makan dan minum) dengan
luka dibagian kepala anterior, kesadaran somnolent. Tampak terpasang infus
Futrolit 20 tpm, terpasang oksigenasi 8lpm simple mask, NGT, Endotrakeal
Tube dan kateter. Dengan fungsi neurologus terganggu, fungsi kognitif
terganggu adanya sekret di jalan nafas, ada bunyi nafas tambahan.
Kemudian dari masalah yang di temui di angkat diagnoosa keperawata
penurunan kapasitas adaktif intra karnial, bersihan jalan nafas, dan gangguan
mobilitas fiik. Telah di lakukan asuhan keperawatan namun hany sebagian
masalah yang dapat teratasi, kemudian dilanjutkan dengan catatan
perkembangan.
3.2 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,


kedepannyapenulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan isi dari
laporan di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang dapat di
pertanggung jawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap
penulisan juga bisa untuk menanggpi terhadap kesimpulan dari bahasan
laporan

97
Daftar Pustaka
Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing
Haddad, S. H. & Arabi, Y. M. (2012). Critical care Management of Severe
Traumatic Brain Injury in Adults. Scandinavian Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine. 20 (12): 1-15. doi: 10.1186/1757-
7241-20-12.
Krisnandi. (2013) Asuhan keperwaatan Cidera Otak Berat.Jakarta.
Mansjoer, A,dkk. 2011 capita selekta kedokteran edisi tiga jilid 1. Jakarta : Media
Aesculapius
Rasad, 2011 Radiologi Diagnostik, Jakarta : Badan Penerbit FK UI
PPNI (2016) Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan indikator
diagnostik keperawatan, Edisi 1 Jakarta:DPP PPNI
PPNI (2018). Standar intervensi keperawatan indonesia: Definisi dan Tindakan
keperawatan, Edisi 1 Jakarta:DPP PPNI
Nama : Hendra
Nim : 2017.C.09a.0843
Tingkat : IVa Sarjana Keperawatan
Kasus : Cidera Otak Berat Post Op Craniotomy

Tn K, dirawat diruang ICU dengan diagnosa medis Cidera Otak Berat


Post Op Craniotomy. Klien berjenis kelamin laki-laki, klien lahir pada 07
November 1992, alamat klien jl. Menteng 13. Agama Islam, klien berasal dari
suku Jawa.
Keluarga mengatakan klien mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal,
dan pada saat kecelakaan itu klien tidak menggunakan helm, beberapa hari
yang lalu pada tanggal 8 November 2020 pasien baru mejalani tindak
pembedahan yaitu tindakan craniotomy Hasil dari pemeriksaan fisik didapatkan
hasil tanda-tanda vital, TD : 130/80 mmHg, N : 64 x / menit, RR : 28 x / menit,
S : 36,7º C. Keadaan umum pasien terpasang maset Monitor terpasang Spo2,
infus futrolit 500Ml Pump 20 tpm dan Terpasang NGT, Endrotrakeal Tube,
Kateter dan juga terpasang Oksigen 8 lpm Mendapat injeksi Plasmirex
3x5ml,ijeksi,Ranitidine 2x2ml,Injeksi Cetrolac 3x1ml Injeksi Vitamin K Pasien
tampak kurus,tampak lemah, dan juga ada bunyi nafas tambah kesadaran
somnolen, nilai GCS : E1V2M5, CRT < 3 detik, Inspeksi kulit ada lecet di
tangan bagian kanan, dan kaki bagian kanan dan juga ada bekas luka pasca
operasai masih basah dan masih bewarna merah di bagian kepela lebar luka
5cm panjang luka 1,5cm, inspeksi pupil Anisokor. skala kekuatan tonus otot 4,
ADL pasien semua dibantu oleh perawat dan keluarga ( mandi, berpakaian,
toileting, makan dan minum).
LAMPIRAN
SATUAN ACARA PENYULUHAN CIDERA KEPALA

Disusun Oleh:
Hendra
2017.C.09a.0842

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Bidang Study : Keperawatan Kritis


BedaTopik : Cedera kepala
Sasaran : Keluarga pasien dan pasien Tn.K ruang keperawatan kritis
Tempat : Ruang ICU
Hari/Tanggal : Rabu,11 November 2020
Waktu : 1 x 10 menit

I. LATAR BELAKANG
Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma
pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma
yang terjadi (sylvia anderson Price, 1985). Menurut Brain Injury Assosiation of
America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala bisa dikelompokkan sebagai
cedera kepala tertutup atau terbuka (penetrasi, luka tembus). Pada cedera kepala
tertutup, kepala menerima suatu dorongan tumpul karena membentur suatu benda.
Pada cedera kepala terbuka, suatu benda berkecepatan tinggi menembus tulang
tengkorak dan masuk ke dalam otak.
Trauma kepala atau cedera kepala merupakan kasus yang sangat sering terjadi
dalam kehidupan kita sehari-hari. Cedera kepala yang sering terjadi pada orang
dewasa karena kecelakaan lalu lintas. Terjatuh dari sepeda motor, tabrakan, kepala
terbentur bagian dari mobil karena mobil yang dinaiki menabarak atau terjungkal dan
lain sebagainya. Karena seringnya terjadi trauma kepala pada orang yang
mengendarai sepeda motor ketika kecelakaan, maka akhirnya diwajibkan siapa saja
yang mengendarai sepeda untuk menggunakan helm sebagai pelindung kepala.
Namun masih banyak yang menggunakan helm hanya sekedar sebagai syarat
untuk mentaati peraturan lalu lintas yaitu dengan memakai helm yang kurang
memenuhi syarat maupun tali helm yang tidak terikat ketika dipakai sehingga
ketika terjadi kecelakaan lalu lintas masih terjadi cedera kepala yang berat.
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit.
Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan
(CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah
cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok
usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9%
lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi

II. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Pada akhir proses penyuluhan, klien dan keluarga dapat mengetahui tentang
cidera kepala, penyebab, tanda gejala serta penangananya.

III. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah diberikan penyuluhan keluarga dan klien dapat :
1. Menyebutkan pengertian dari cedera kepala
2. Menyebutkan penyebab cedera kepala
3. Menyebutkan macam-macam cidera kepala
4. Menyebutkan tanda serta gejala cidera kepala
5. Mengerti penanganan dan kebutuhan nutrisi pada cedera kepala.

IV. SASARAN
Pasien dan keluarga di Ruang Keperawatan Kritis
V. MATERI
1. Pengertian dari cedera kepala
2. Penyebab cedera kepala
3. Macam-macam cidera kepala
4. tanda dan gejala cidera kepala
5. Penanganan dan kebutuhan nutrisi pada cedera kepala.

I. METODE
1. Ceramah
2. Tanya Jawab

II. MEDIA
Leaflet

III. KRITERIA EVALUASI


1. Evaluasi Struktur
 Peserta hadir ditempat penyuluhan
 Penyelenggaraan penyuluhan dilaksanakan di ruang Keperawatan kritis
 Pengorganisasian penyelenggaraan penyuluhan dilakukan sebelumnya
2. Evaluasi Proses
 Peserta antusias terhadap materi penyuluhan
 Peserta mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan secara benar
3. Evaluasi Hasil
 Klien dan keluarga mengetahui tentang cidera kepala, jenis cidera kepala,
penyebab, tanda dan gejala, serta penanganan pada cidera kepala.
IV. KEGIATAN PENYULUHAN

No. WAKTU KEGIATAN PENYULUH KEGIATAN


PESERTA
1. 1 Pembukaan :
menit  Membuka kegiatan dengan  Menjawab salam
mengucapkan salam.
 Memperkenalkan diri  Mendengarkan
 Menjelaskan tujuan dari  Memperhatikan
penyuluhan
 Menyebutkan materi yang akan  Memperhatikan
Diberikan
2. 5 Pelaksanaan :
menit  Menjelaskan tentang pengertian  Memperhatikan
cidera kepala
 Menjelaskan pengertian dari  Memperhatikan
cedera kepala
 Menjelaskan penyebab cedera  Bertanya dan
kepala menjawab
 Menjelaskan jenis-jenis cidera pertanyaan yang
kepala diajukan
 Menjelaskan tanda dan gejala  Bertanya dan
cidera kepala menjawab
 Menjelaskan Penanganan dan pertanyaan yang
kebutuhan nutrisi pada cedera diajukan
kepala.
 Memberi kesempatan kepada
peserta untuk bertanya.
3. 2 Evaluasi :
menit  Menanyakan kepada peserta  Menjawab
tentang materi yang telah pertanyaan
diberikan.
4. 2 Terminasi :
menit  Mengucapkan terimakasih  Mendengarkan
 Mengucapkan salam penutup  Menjawab salam

V. DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi ed.3. Jakarta : EGC.
American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam:
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,
penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI, 2004; 168-193.
Mansjoer dkk. 2000. Kapita Selelkta Kedokteran; jilid2. Media Aesculapius:
FK UI. Jakarta
MATERI PENYULUHAN
1. PENGERTIAN
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstisil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta
rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.

2. ETIOLOGI
1) Kecelakaan
2) Jatuh
3) Trauma akibat persalinan

3. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


Cedera kepela dapat diklasifikan berdasarkan mekanisme, keparahan dan
morfologi cedera.
1) Mekanisme: berdasarkan adanya penetrasi durameter
 Trauma tumpul: kecepatan tinggi (tabrakan)
Biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan
benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang
cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan
melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak.
 Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2) Keparahan cidera
a. Ringan: GCS 14-15
b. Sedang: GCS 9-13
c. Berat: GCS 3-8
3) Morfologi
 Fraktur tengkorak: kranium: linar/stelatum; depresinon depresi;
terbuka/tertutup
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur dapat

berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan

membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat

berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan

spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki

tulang tengkorak.

 Lesi intrakranial:
- fokal: epidural, subdural, epidural
- Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus

3. TANDA GEJALA CIDERA KEPALA


a. Cidera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
- Sadar penuh, orientasi baik (GCS: 14-15)
- Tidak ada kehilangan kesadaran
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Paseien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
- Tidak ada kriteria sedang berat
b. Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
- GCS 9-13 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Konkusi
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle sign, mata
rabun, otore, rinorea cairan serebrospinal, hemotimpanum)
- Kejang
c. Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
- Cidera GCS 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesehatan secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi, atau teraba fraktur depresi kranium

4. PENATALAKSANAAN
Pada penderita dengan cedera kepala ringan, dapat diatasi dengan cara
memberikan es atau handuk dingin pada daerah yang mengalami trauma untuk
membantu mengurangi bengkak. Jika terdapat luka, tutup dengan perban bersih dan
tekan selama 5 menit. Luka robek di kepala sering berdarah banyak. Jika terjadi
cedera kepala berat, maka segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan
pengobatan dan perawatan untuk mencegah timbulnya komplikasi klinis lainnya.
Berikut adalah hal-hal yang bisa dilakukan untuk penatalaksanaan penderita
cedera kepala sedang dan berat saat di luar rumah sakit :
1) Amankan jalan nafas dan berikan oksigen. Jika muntah harus dimiringkan
ke kiri dengan posisi log roll ( membatasi gerakan tulang belakang
penderita).
2) Stabilisasi penderita pada papan untuk tulang belakang/ backboard. Batasi
gerakan leher dengan collar kaku dan alat untuk imobilisasi kepala.
3) Segera bawa ke rumah sakit terdekat atau telpon ambulan 118.

5. NUTRISI PADA CEDERA KEPALA

Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal
dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh
karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan
bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian
cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000
kalori/hari.
6. PENCEGAHAN
Untuk mencegah terjadinya cedera kepala, sangat dibutuhkan kesadaran dari
diri sendiri untuk menjaga kesehatan terutama keselamatan kita dalam melakukan
suatu aktivitas. Selain itu perlu diperhatikan keselamatan kita saat di jalan raya,
karena dari epidemiologi di atas, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-
53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9%
lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara :
1) Menurunkan kecepatan saat berkendaraan.
2) Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu saat mengemudi
mobil.
3) Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
4) Program pendidikan langsung untuk mencegah berkendaraan sambil mabuk.
5) Mencegah jatuh
6) Menggunakan alat-alat pelindung dan tehnik latihan.
Penyebab cidera
Pengertian
CEDERA OTAK BERAT
Otak Berat

1. Kecelakaan lalu lintas.


Cidera kepala adalah trauma 2. Jatuh dari ketinggian
pada kulit kepala, tengkorak
3. Tertusuk di kepala
bahkan otak. Yang terjadi
secara langsung maupun tidak 4. Tertembak di baguan
langsusng yang dapat
kepala
menyebabkan Penurunan
OLEH
Hendra
kesadaran bahkan kematian.
2017.c09a.0843

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN 2020/2021
Pencegahan
JENIS-JENIS
Komplikasi 1) Menurunkan kecepatan saat
CIDERA OTAK BERAT 1. Cidera kepala Ringan berkendaraan.
Tidak terjadi penurunan 2) Menggunakan sabuk
kesadaran
1. Infeksi pada luka 2. Cidera kepala Sedang keselamatan dan
2. Pendarahan di dalam rongga Penurunanan kedaran/hilang pelindung bahu saat
kepala ingatan (amnesia) lebih dari
3. Abses otak 30 menit tetapi kurang dari mengemudi mobil.
4. Kejang 24 jam 3) Menggunakan helm untuk
5. Nyeri kepala setelah sadar 3. Cidera kepala Berat pengendara motor dan
6. Kematian, jika tidak segera Penurunanan kedaran/hilang sepeda.
di tangani ingatan (amnesia) lebih dari
24 Jam. 4) Program pendidikan

langsung untuk mencegah

berkendaraan sambil

mabuk.

5) Mencegah jatuh
6) Menggunakan alat-alat
pelindung dan tehnik
latihan.
Profil Pasien Pasca Kraniotomi di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Juli 2016 - Juni 2017

CelineTanrio
Diana C. Lalenoh Mordekhai L.
Laihad

1
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi Manado 2Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
Unsrat/RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Email:
tanriono.celine@gmail.com

Abstract: Craniotomy is a surgical action by opening the skull bone to


provide direct access to the brain. Craniotomy can be performed in
patients suffering from brain tumors, cerebral hemorrhage, cerebral
aneurysms, cerebral infection, and brain trauma. This study was aimed to
obtain the profile of post craniotomy patients at ICU Prof. Dr. R. D.
Kandou Hospital Manado from July 2016 to June 2017. This was a
descriptive retrospective study using medical record data of post
craniotomy patients at Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. There were 30
post craniotomy patients at the ICU. The majority of them had traumatic
brain injury as the underlying disease (77%), males (90%), and aged 15-
24 years old (37%). Many post craniotomy patients used mechanical
ventilators (80%) with prolonged use >72 hours (46%). The average
lengh of post craniotomy care in ICU was 2 days (27%). Eleven patients
(36%) died at >72 hours treated in ICU and caused by sepsis (55%). The
average Glasgow coma scale preoperative was 8-12 (57%) and the
physical status according to the American society of Anesthesiologist
(ASA) was III E (67%). Conclusion: Most post craniotomy patients
were 15-24 years old, male, traumatic brain injury as the underlying
disease of craniotomy, duration in ICU 2 days. A part of the patients
died due to sepsis. Many post craniotomy patients used mechanical
ventilators > 72 hours. The majority had preoperative Glasgow coma
scale of 8-12 and the highest ASA physical status were III E.
Keywords: craniotomy, ventilator, traumatic brain injury, mortality

Abstrak: Kraniotomi adalah tindakan pembedahan dengan membuka


tulang tengkorak untuk memberikan akses secara langsung ke otak.
Kraniotomi dapat dilakukan pada pasien yang menderita tumor otak,
perdarahan otak, aneurisma serebri, infeksi otak, serta trauma otak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pasien pasca kraniotomi
di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2016 – Juni
2017. Jenis penelitian ialah deskriptif retrospektif, menggunakan data
rekam medik pasien pasca kraniotomi di RSUP Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado. Hasil mendapatkan 30 orang pasca kraniotomi di
ICU dengan penyakit yang mendasari terbanyak ialah cedera kepala
(77%), jenis kelamin laki-laki (90%), dan usia 15-24 tahun (37%).
Pasien pasca kraniotomi banyak yang menggunakan ventilator mekanik
(80%) dengan lama penggunaan >72 jam (46%). Lama perawatan pasca
kraniotomi di ICU rata-rata 2 hari (27%), 11 orang meninggal dunia
(36%) pada >72 jam di rawat di ICU yang disebabkan oleh sepsis (55%).
Rerata Glasgow Coma Scale preoperatif 8-12 (57 %) dan status fisik
menurut American Society of Anesthesiologist (ASA) terbanyak III E
(67%). Simpulan: Pasien pasca kraniotomi terbanyak pada usia 15-24
tahun, jenis kelamin laki-laki, penyakit mendasari kraniotomi ialah
cedera kepala, dan lama rawat ICU 2 hari. Sebagian meninggal dengan
penyebab utama sepsis. Pasien pasca kraniotomi banyak yang
menggunakan ventilator mekanik dengan lama penggunaan > 72 jam.
Glasgow Coma Scale preoperatif terbanyak pada 8-12 dan status fisik
ASA terbanyak yaitu III E.
Kata kunci: kraniotomi, ventilator, cedera kepala, mortalitas
Tanriono, Lalenoh, Laihad: Profil pasienpasca kraniotomi
di ...

Kraniotomi adalah tindakan pembedahan kraniotomi terbanyak pada usia 15-24 tahun
dengan membuka tulang tengkorak untuk
memberikan akses secara langsung ke otak. 1
Jumlah pasien pasca kraniotomi yang
dirawat di Intensif Care Unit (ICU) masih
cukup banyak. Hanak et al.2 melaporkan
bahwa 400 orang (92%) dirawat di ICU dari
432 pasien yang dilakukan tindakan kranio-
tomi.2
Kraniotomi dapat dilakukan pada tumor
otak, perdarahan otak seperti subdural
hematoma, epidural hematoma, aneurisma
serebri, malformasi arteriovenous, infeksi
otak seperti abses serebri serta trauma otak.3
Buang dan Haspani mendapatkan bahwa
kasus kraniotomi terbanyak dilakukan pada
pasien trauma sebanyak 40% di rumah sakit
di Kuala Lumpur.4
Jasa et al.5 melaporkan bahwa angka
kematian pasien pasca kraniotomi sebanyak
57% setelah 5 hari dirawat di ICU yang
disebabkan oleh sepsis. Angka kematian
pasca kraniotomi dipengaruhi oleh beberapa
hal seperti diagnosis penyakit yang menjadi
indikasi dilakukannya kraniotomi, kompli-
kasi pasca operatif dan faktor medis
lainnya.6
Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan profil pasien pasca kraniotomi
di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode Juli 2016 sampai Juni
2017.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini ialah deskriptif
retrospektif dengan metode pengambilan
sampel non probability sampling yaitu
purposive sampling. Tempat penelitian di
Intalasi Rekam Medik RSUP Prof. R. D.
Kandou dengan jangka waktu 3 bulan yaitu
September - Desember. Subjek penelitian
ialah semua pasien pasca kraniotomi yang
di rawat di ICU RSUP. Prof. R. D. Kandou
periode Juli 2016 – Juni 2017.

HASIL DAN BAHASAN


Jumlah pasien pasca kraniotomi di ICU
RSUP Prof. R. D. Kandou Manado periode
Juli 2016 – Juni 2017 sebanyak 30 kasus.
Pada Tabel 1 didapatkan pasien pasca
yaitu 11 orang (37%) dengan jenis
kelamin laki-laki 27 kasus (90%).

Tabel 1. Distribusi jumlah dan persentase


pasien pasca kraniotomi berdasarkan data
dermografis

Variabel N %
Usia
0-14 tahun 2 7
15-24 tahun 11 37
25-34 tahun 3 10
35-44 tahun 3 10
45-64 tahun 8 26
≥ 65 tahun 3 10
Jumlah 30 100
Jenis kelamin
Laki-laki 27 90
Perempuan 3 10
Jumlah 30 100

Berdasarkan Tabel 2, diagnosis


penya- kit terbanyak pada cedera kepala
sebanyak
23 kasus (77%), dimana terbanyak ialah
EDH (40%). Buang dan Haspani4
menyatakan bahwa kasus kraniotomi
terbanyak dilakukan pada trauma yaitu
36,9% dan lebih banyak terjadi pada laki-
laki sebanyak 69,5%.4 Hal ini berkaitan
dengan tingginya angka kecelakaan kenda-
raan bermotor yang paling banyak
melibat- kan laki-laki dan sering pada usia
remaja. Menurut Riset Kesehatan Dasar
2013, kecelakaan kendaraan bermotor
paling sering terjadi pada laki-laki (44,6%)
dengan kelompok usia paling sering
terjadinya kecelakaan ialah 15-24 tahun
(64,7%).7

Tabel 2. Distribusi jumlah dan persentase


pasien pasca kraniotomi

Variabel N %
Diagnosis penyakit
Cedera kepala 23 77
Epidural hematoma 12 40
Subdural hematoma 10 33
Intraserebral 8 27
hematoma
Stroke Hemoragik 7 23
Jumla 30 100
h
Kematian pasien
24-48 jam 2 18
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 5, Nomor 2, Juli-Desember 2017

bahwa angka
48-72kematian
jam pasca kraniotomi
3 pada cedera kepala sebanyak 57% setelah
27
>72 jam >72 di rawat
jam di ICU dimana
6 penyebab
55 paling sering adalah sepsis. Kematian ini
diakibatkan karena adanya penyakit
Jumlah 11 penyerta
100 lainnya seperti syok sepsis, pneumonia, herniasi
serebri gagal napas. Pada penelitian ini penyebab terba- nyak ialah sepsis (55%). Pribadi 8
sertakematian
Penyebab
mendapat- Sepsis
kan penyebab kematian
6 pasien
55 pasca kraniotomi di RS Kariadi Semarang yang
terbanyakPneumonia
ialah syok sepsis sebesar
1 33,3%. 9
Herniasi serebri 3 27 Pasien pasca kraniotomi banyak yang
Gagal napas 1 9 menggunakan ventilator mekanik yaitu
Jumlah 11 100 sebanyak 24 orang (80%) dengan lama
Penggunaan ventilator mekanik penggunaan >72 jam yaitu 9 sebanyak 11
Ya 24 80 orang (46%). Sodiq et al. menyatakan
Tidak 6 20 pasien pasca kraniotomi lebih sering meng-
Jumlah 30 100 gunakan ventilator mekanik yaitu sebesar
Lama penggunaan ventilator mekanik 66% dengan lama penggunaan ventilator
< 24 jam 2 8
paling banyak pada 1 hari (79%). Hal ini
dikarenakan pasien pasca kraniotomi
24-48 jam 5 21
memiliki penurunan potency airway sehing-
48-72 jam 6 25
ga membutuhkan penggunaan venti-lator.
> 72 jam 11 46
Selain itu juga, penggunaan ventilator
Jumlah 24 100
digunakan untuk menginduksi hipokapnea
Lama rawat ICU
sehingga PaCO2 berada dalam kisaran
1 hari 0 0
normal.10,11
2 hari 8 27 Lama rawat di ICU pasien pasca
3 hari 4 13 kraniotomi paling banyak pada 2 hari yaitu
4 hari 2 7 sebanyak 8 orang (26,7%). Sodiq et al. 9
5 hari 4
Tabel 3. Distribusi jumlah dan persentase 13 menyatakan bahwa lama rawat di ICU
6 hari 1
pasien pasca kraniotomi (lanjutan) 3 paling banyak pada 2 hari yaitu 40%.
7 - 14 hari 6 20 Glasgow Coma Scale (GCS) preope-
> 14 hari
Variabel N5 %17 ratif terbanyak yaitu GCS 8-12 sebanyak 17
GlasgowJumlah 30
Coma Scale preoperatif 100 orang (56,7%). Zwingly et al.12 mendapat-
GCS < 8 10 33 kan GCS preoperatif pasien cede-ra kepala
GCS 8-12 17 57 terbanyak pada 9-13 yaitu 74,2 %. Hal ini
GCS 13- 3 10
15 dikarenakan kebanyakan pasien yang akan
Jumlah 30 100 dilakukan kraniotomi datang dengan
Status fisik American society of mengalami penurunan kesadaran. Dari
Anesthesiologist (ASA) penelitian ini, terdapat 3 orang pasca
IE 0 0 kraniotomi yang dirawat di ICU dengan
II E 2 6 GCS preoperatif 13-15. Hal ini dikarenakan
III E 20 67 adanya penyulit perioperatif yang dialami
IV E 8 27 alami pasien seperti kejang, chronic kidney
VE 0 0 disease (CKD), hipertensi, elektrolit
Jumlah 30 100 imbalance, peningkatan tekanan intra-
kranial, serta adanya gambaran EKG yang
Dari 30 orang yang dilakukan tindakan abnormal (Tabel 3). Selain itu, pasien
kraniotomi, 11 orang diantaranya mening- tersebut membutuhkan penggunaan venti-
gal dunia pada rata-rata >72 jam setelah
dirawat di ICU. Jasa et al.5 mendapatkan
Tanriono, Lalenoh, Laihad: Profil pasienpasca kraniotomi
di ...

lator sehingga perlu untuk dilakukan dengan skor ASA terbanyak yaitu III
perawatan intensif. Operasi yang lama juga sebanyak 20 orang (66,7%). Buang dan
dapat menyebabkan komplikasi pasca Haspani4 mendapatkan bahwa operasi
operatif seperti edema serebri.9 Pada neurosurgical terbanyak pada tipe operasi
penelitian ini, lama operasi pasien emergency yaitu sebesar 63,1%. Adigun et
kraniotomi dengan GCS preoperatif 13-15 al.13 menyatakan bahwa skor ASA pasien
rata-rata >3 jam. yang dilakukan kraniotomi terbanyak pada
Semua pasien pasca kraniotomi yang di ASA III yaitu sebanyak 56%.
rawat di ICU melakukan operasi emergency

Tabel 3. Distribusi diagnosis penyakit, lama operasi dan penyulit pasien pasca
kraniotomi berdasarkan Glasgow Coma Scale preoperative

Glasgow Coma
scale Jumlah
Variabel Preoperatif
<8 8 - 12 13 - 15
N % N % N % N %
Diagnosis penyakit
EDH 6 50 5 42 1 8 12 32
Cedera kepala SDH 3 30 6 60 1 10 10 27
ICH 2 25 6 75 - - 8 22
Stroke
Hemoragi 2 29 4 57 1 14 7 19
k
Jumlah 100
Lama operasi
< 1 jam - - 2 100 - - 2 7
1 - 2 jam 4 50 4 50 - - 8 27
2 - 3 jam 5 38.5 8 61.5 - - 13 43
> 3 jam 1 14 3 43 3 43 7 23
Jumlah 30 100
Penyulit
Peningkatan TIK 3 17 13 72 2 11 18 60
Sepsis 3 43 4 57 - - 7 23
Pneumonia 1 20 4 80 - - 5 17
EKG abnormal 5 33 9 60 1 7 15 50
Elektrolit imbalance 3 33 5 56 1 11 9 30
Hipertensi 1 14 5 72 1 14 7 23
Diabetes Melitus 2 40 3 60 - - 5 17
Acute Kidney Injury 1 25 3 75 - - 4 13
Chronic kidney - - - - 1 100 1 3
Disease
Kejang - - - - 1 100 1 3
Tidak ada data 2 67 1 33 - - 3 10
EDH = Epidural
Hematoma SDH =
Subdural Hematoma ICH
= Intraserebral
Hematoma
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 5, Nomor 2, Juli-Desember 2017
The 10th University Research Colloqium 2019
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong

SIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pasien pasca kraniotomi
yang dirawat di ICU RSUP Prof. R. D. Kandou Manado periode Juli 2016 – Juni
2017 yang terbanyak ialah jenis kelamin laki-laki, usia 15-24 tahun, penyakit yang
mendasari kraniotomi ialah cedera kepala, menggunakan ventilator mekanik
dengan lama penggunaan >72 jam, lama perawatan pasca kraniotomi di ICU rata-
rata 2 hari. Sebagian pasien meninggal dan disebabkan oleh sepsis. Glasgow Coma
Scale preopera- tif pasien kraniotomi rata-rata 8-12 dan status fisik ASA terbanyak
III E.

SARAN
Disarankan untuk melakukan penelitian lanjut yang mencari hubungan antar
variabel yang diteliti dengan pasien pasca kraniotomi serta komplikasi yang terjadi
pasca operatif.
Perlu ada perbaikan dan peningkatan dalam pengelolaan data pasien dalam hal
kelengkapan data dan kerapian penyim- panan data rekam medik di Instalasi
Rekam Medik RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado untuk menunjang penelitian
yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Garrett MP, Spetzler RF. Craniotomy. In: Encyclopedia of Neurological Science (2nd
ed). USA: Elsevier, 2014: p. 896-7.
2. Hanak BW, Walcott BP, Nahed BV, Muzikansky A, Mian MK, Kimberly WT, et
al. Post operative intensive care unit requirements following elective craniotomy.
World Neurosurg. 2014; 81(1):65-72.
3. Luc J, Ray T. Craniotomy. University of Rochester Medical Center. New York. 2017.
[cited 2017 Jun 23]. Available from: https://www.urmc. rochester.
edu/encyclopedia/content.aspx? contenttypeid=92&contentid=P08767.
4. Buang SS, Haspani MS. Risk factors for neurosurgical site infections after a
neurosurgical procedur: a prospective

123
The 10th University Research Colloqium 2019
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong

observational study at Hospital Kuala Lumpur. Med J Malaysia. 2012;67(4):


393-8.
5. Jasa ZK, Jamal F, Hidayat I. Luaran pasien cedera kepala berat yang dilakukan
operasi kraniotomi evakuasi hematoma atau kraniektomi dekompresi di RSU
Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. JNI. 2014;3(1):8-14.
6. Johans SJ, Garst JR, Burkett DJ, Grahnke K, Martin B, Ibrahim TF, et al.
Identification of preoperative and intraoperative risk factor for complications in
the elderly undergoing elective craniotomy. World Neurosurg. 2017;107:216-
25..
7. RISKESDAS. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kementrian Kesehatan Tahun 2013. Jakarta, 2013.
8. Pribadi HT. Angka kematian pasien Kraniotomi di ICU dan HCU RSUP. Dr. Kariadi
Periode Februari 2010 sampai Februari 2012 [Skripsi]. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro; 2012.
9. Sodiq MN, Untung A, Purwoko. Profil penggunaan ventilator pada pasien post
operasi Kraniotomi E.C. Tumor Cerebri di Rumah Sakit Dr. Moewardi (RSDM)
Surakarta Tahun 2008-2010. Jurnal Medika Moewardi. 2013;2(2):6-12.
10. Souter MJ, Manno EM. Ventilatory management and extubation criteria of the
neurological/neurosurgical patient. Neurohospitalist. 2013;3(1):39-45.
11. Lalenoh DC, Lalenoh HJ, Rehata NM. Anestesia untuk Kraniotomi Tumor
Supratentorial. JNI. 2012;1(1):16-24.
12. Zwingly P, Oley MC, Limpeleh HP. Gambaran kualitas hidup pasien cedera kepala
pasca operasi periode januari 2012 – desember 2013 di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado. eCl. 2015;3(1):153-7.
13. Adigun TA, Adeolu AA, Adeleye AO, Shokunbi MT, Malomo AO, Boadu SD.
Anesthetic and surgical predictors of treatment outcome in Re-Do Craniotomy.
J Neurosci Rural Pract. 2011;2(2):137-40.

124
The 10th University Research Colloqium 2019
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong

Analisis Asuhan Keperawatan pada Pasien Post


Operasi Craniotomi dengan Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Nafas di Ruang Intensif Care
Unit (ICU)
Sulasmi1,Isma Yuniar2*
1,2
Prodi S1 Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Gombong
*Email: Sulas3751@gmail.com

Abstrak
Keywords: Latar belakang Pada 3 pasien yang mengalami tindakan operasi
Post Craniotomi, craniotomy setelah dilakukan suction dengan tekanan 100
Peningkatan
Saturasi OKsigen, mmHg mengalami perubahan saturasi oksigen. Tindakan post
Ketidakefektifan Craniotomy adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan
Bersihan Jalan tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK,
Nafas, Suction mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan,
yang mengakibatkan penurunan kesadaran dan ketidakmampuan
mengeluarkan secret di jalan nafas secara mandiri. Bersihan jalan
nafas adalah ketidakmampuan membersihkan sekresi dan obstruksi
dari saluran nafas, sehingga diperlukan tindakan suction dengan
tekanan terendah 100 mmHg dalam 10 detik dengan
memperhatikan adanya perubahan SPO2. Nilai saturasi oksigen
100 mmHg mengalami penurunan saturasi oksigen 2%. Tujuan:
Menganalisis asuhan keperawatan Ketidakefektifan Bersihan Jalan
Nafas yang diberikan pada klien pada pasien post operasi Craniotomy
di ruang Intensive Care Unit Prof.Dr.Margono Soekardjo
Purwokerto.
Metode: Asuhan keperawatan pada 3 responden, suction tekanan 100
mmHg dalam 10 detik, pulse oximeter (SPO2)
Hasil: Berdasarkan hasil observasi pada 3 pasien setelah dilakukan
suction saturasi oksigen mengalami peningkatan, Tn.A SPO2 sebelum
dilakukan suction 92% setelah suction menjadi 93%. Tn.R sebelum
dilakukan suction 92% setelah dilakukan suction 93%. Tn.T sebelum
dilakukan suction 89% setelah dilakukan suction 90%.
Kesimpulan: Terdapat perubahan saturasi oksigen mengalami
peningkatan sebelum dilakukan tindakan keperawatan dan setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
Rekomendasi: Melakukan tindakan suction sesuai SOP dengan
tekanan 100 mmHg dalam 10 detik.

tindakan operasi post


craniotomy adalah pasien yang
1. PENDAHULUAN dilakukan tindakan dengan
Pasien yang dilakukan membuka tulang tengkorak
125
The 10th University Research Colloqium 2019
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong

untuk mengurangi adanya di bandingkan dengan setelah


tekanan intrakranial, dilakukan suction, dengan
mengurangi bekuan darah P<0,05. Di perkuat dengan
dan menghentikan adanya penelitian Marta, 2017 yang
perdarahan (Wahyu, 2015). dilakukan dengan dilakukan
Pada pasien yang dilakukan suction 10 detik dengan
tindakan operasi post hasil penelitian
Craniotomy mengalami pada shallowsuction
penurunan kesadaran dan terdapat perubahan
dipasang Endotracheal Tube tekanan darah sistolik dan
dan mengalami masalah MAP p<0,05. Berdasarkan
utama ketidakfektifan studi pendahuluan yang
bersihan jalan nafas. dilakukan oleh penulis
Ketidakefektifan bersihan pada bulan Oktober
jalan nafas adalah 2018 di rumah sakit RSUD
ketidakmampuan Prof. dr. Margono Soekardjo
membersihkan sekresi dan Purwokwerto
obstruksi dari saluran nafas
untuk mempertahankan
bersihan jalan nafas
(Herdman, 2018).
Pada pasien yang
mengalami masalah
ketidakfektifan bersihan
jalan nafas dengan terpasang
endotracheal tube tidak
mampu mengeluarkan secret
secara mandiri dan perlu
dilakukan tindakan suction
untuk mengurangi seret dan
membebaskan jalan nafas.
Suction atau penghisapan
lendir merupakan
tindakan untuk
mempertahankan jalan nafas
sehingga memungkinkan
terjadinya proses pertukaran
gas yang adekuat dengan
cara mengeluarkan secret
pada klien yang tidak
mampu mengeluarkannya
sendiri (Timby, 2009).
Berdasarkan jurnal
penelitian yang dilakukan
oleh Afif Muhamad, 2017
didapatkan hasil
dilakukan suction
Selama 10-15 detik hasil
saturasi oksigen sebelum
dilakukan suction lebih kecil
126
The 10th University Research Colloqium 2019
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong

terdapat 27 orang yang penelitian adalah subjek


mengalami operasi Post yang dipilih untuk dituju
Craniotomy dengan untuk diteliti oleh peneliti
diagnosa ketidakefektifan atau subjek yang menjadi
bersihan jalan nafas dan pusat perhatian atau sasaran
dilakukan tindakan suction penelitian (Arikunto, 2012).
atau penghiapan lendir di Subjek dalam peneliti adalah
ruang ICU dengan tekanan pasien post operasi
suction 100 mmhg dalam kraniotomi dengan masalah
10 detik sehingga penulis keperawatan bersihan jalan
tertarik untuk melakukan nafas di Intensive Care Unit
penelitian dengan Prof.Dr.Margono Soekardjo
mengalisis asuhan Purwokerto. Variabel:
keperawatn pada passion Tindakan suction.
post operasi craniotomy Definisi operasional:
dengan tindakan suction adalah
ketidakefektifan bersihan tindakan mengeluarkan
jalan nafas di ruang ICU secret lewat selang ETT atau
Prof. dr.Margono mayo untuk mencegah
Soekardjo Purwokerto. penumpukan secret dan
mencegah pasien tidak sesak
2. METODE nafas.
Desain pada karya Parameter: lembar
ilmiah ini adalah penelitan observasi. Alat ukur:
studi kasus. Studi kasus manometer pada tekanan
adaalah suatu metode suction dan pulse oximeter.
penelitian yang dilakukan Hasil ukur: RR :16-
dengan cara meneliti suatu 22x/menit dan SPO2: 90-
permasalahan melalui suatu 100%.
kasus yang terdiri dari unit
tunggal. Unit tunggal disini
dapat berarti satu orang,
meskipun di dalam studi
kasus ini yang diteliti
hanya berbentuk unit
tunggal, namun dianalisis
secara
mendalam
(Notoatmodjo, 2010).
Rancangan studi ini
bertujuan untuk
mendapatkan suatu
gambaran yang jelas
tentang suatu peristiwa atau
kedaan bagaimana
pemberian tindakan suction
dengan tekanan suction 100
mmHg dan lama waktu
suction 10 detik pada post
kraniotomi. Subjek
127
Variabel: Bersihan Jalan Nafas. tekanan penghisapan 100mmHg dalam
Definisi Operasional: 10 detik pada 3 responden dengan hasil
hasil observasi sebagai berikut:
ketidakmampuan membersihkan Berdasarkan hasil pengkajian yang
sekresi dan obstruksi dari saluran nafas dilakukan oleh peneliti di dapatkan hasil
untuk mempertahankan bersihan jalan bahwa setelah dilakukan tindakan
nafas. Parameter: lembar observasi dan suction saturasi oksigen mengalami
asuhan keperawatan. Alat ukur: pulse
oxymetri. Hasi ukur: RR: 16-
22x/menit. Variabe: Cranotomy.
Definisi Operational: Craniotomy
adalah prosedur untuk menghapus luka
di otak melalui lubang di tengkorak
(kranium).
Parameter: Perubahan tekanan
intracranial. Alat ukur: GCS, Mual
muntah, pusing Hasil ukur: GCS 15
mual muntah hilang dan pusing
berkurang, kesadaran pasien compos
mentis. Instrument penelitian adalah
alat-alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data (Notoatmodjo,
2010).
Asuhan keperawatan, Peneliti
dalam melakukan penelitian ini
menggunakan alat bedside monitor
dimana alat ini untuk mengetahui
perkembangan kondisi pasien yang
terdiri dari tekanan darah, MAP, nadi,
SpO2, Suhu Bedside Monitor, Suction
Adalah alat yang diguakan untuk
mengeluarkan secret yang telah
disabungkan dengan konektor untuk
dimasukkan ke ETT untuk
mengeluarkan secret. Selang ET nomer
7 dan selang penghisap suction dengan
nomer 16 F, dengan tekanan
penghisapan
100 mmHg dalam 10 detik. Dengan
menganalisis asuhan keperawaatan
pada
3 responden yang Melakukan tindakan
suction selama 10 detik dengan tekanan
suction 100 mmHg dan menganalisis
perubahan saturasi oksigen.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan tindakan keperawatan
yang dialkukan dengan menggunakan
tindakan penghisapan suction dengan
peningkatan. Penerapan tekanan menurun 2%, setelah dilakukan
suction 100 mmHg dapat pengamatan selama
dilakukan pada setiap suction 10 detik suction dilakukan
terutama pada pasien cedera saturasinya naik.
kepala berat yang nilai 4. KESIMPULAN
saturasinya 97-100%, karena Hasil pengkajian pada pasien Post
tekanan suction 100mmHg Operasi Craniotomi adalah pasien
hanya dapat menurunkan dengan masalah keperawatan utama
saturasi oksigen sebanyak 2 % ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
pada pasien Post Operasi
(Hendy Lesmana, 2015). Craniotomy adalah penurunan
Presentase yang di dapat kesadaran yang terpasang ET dan
dengan ketiga asuhan dilakukan tindakan suction. Diagnosa
keperawatan yang dilakukan yang muncul pada pasien Post Operasi
penelitian yaitu dari 3 nya Craniotomy yaitu Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Nafas. Rencana asuhan
perubahan saturasi setelah keperawatan yaitu dilakukan tindakan
dilakukan tindakan suction suction dalam 10 detik dengan tekanan
meningalami perubahan penghisapan 100mmHg dan sesuai
dengan keberhasilan 90% dari dengan Standar Operasional Prosedur
untuk mengeluarkan secret yang
ketiga responden setelah
menyumbat jalan nafas.
dilakukan tindakan suction Implementasi yang dialkukan pada
dengan tekanan 100 mmHg pasien dengan masalah keperawatan
perubahan ssaturasi yang turun utama ketidakefektifan Bersihan Jalan
saat tindakan suction rendah nafas adalah melakukan tindakan
suction dalam 10 detik dengan tekanan
penghisapan 100 mmHg untuk
mengeluarkan secret yang menghambat mmHg dapat meningkatkan kadar
jalan nafas. Evaluasi tindakan saturasi oksigen, dan pernafasan dalam
keperawatan yang dilakukan untuk batas normal. Pada 3 pasien yang
mengatasi masalah keperawatan utama dilakukan tindakan keperawatan
ketidakefektifan bersihan jalan nafas suction dengan tekanan 100 mmHg
adalah setelah dilakukan tindakan dalam 10 detik evaluasi tindakan
suction selama 10 detik dengan tekanan sebagai berikut Tn.A SPO2 sebelum
penghisapan 100mmHg saturasi dilakukan suction 92% setelah suction
oksigen mengalami peningkatan, dan menjadi 93%. Tn.R sebelum dilakukan
pernafasan mengalami peningkatan. suction 92% setelah dilakukan suction
Hasil analisis masalah keperawatan 93%. Tn.T sebelum dilakukan suction
ketidakefektifan bersihan jalan nafas 89% setelah dilakukan suction 90%.
dan dilakukan tindakan keperawatan
suction dalam 10 detik dengan tekanan
penghisapan 100

Pasien Penerapan 1 Penerapan 2 Penerapan 3


SPO2 sebelum SPO2 sesudah SPO2 sebelum SPO2 sesudah SPO 2 sebelum SPO2 sesudah
Tn.A 90% 92% 91% 92% 90% 92%
Tn. R 92% 93% 90% 91% 92% 94%
Tn.T 89% 90% 91% 93% 90% 91%

DAFTAR PUSTAKA
Afif, Ahmad. 2015.Pengaruh Suction
Terhadap Kadar Saturasi Oksigen Depkes. (2012). Panduan Nasional
Pada Pasien Koma Di Ruang ICU Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
RSUD DR. Moewardi Surakarta. Jakarta: EGC.
Universita Muhammadiyah Friedman,M.,& Bowman, O.&.(2010).
Surakarta. Riset, teori, & praktik: editor edisi
Arikunto, & Suharsini. (2014). Prosedur bahasa Indonesia, Estu Tiar,Ed
Penelitian Suatu Pendekatan 5.Jakarta : EGC
Praktik. Jakarta: Rhineka Cipta Friedman,M.,& Bowman, O.&.(2010).
Asmadi. (2008). Konsep Dasar Riset, teori, & praktik: editor edisi
Keperawatan. Jakarta: EGC bahasa Indonesia, Estu Tiar,Ed
Balitbang, Kemenkes, RI (2017). Riset 5.Jakarta : EGC
Kesehatan Dasar, RISKESDAS Hendy Lesmana, (2015). Analisis Dampak
Jakarta: Kementrian Kesehatan. Penggunaan Varian Tekanan
Basuki, A & Dian, S. (2009), Suction Vol 1. Terjemahan
Kedaruratan Neurologi.Bandung. allenidekania. Jakarta: PT.EGC.
Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD. Herdman,T., & Kamitsuru S. (2015).
Diakses pada tanggal 01 Mei 2019 Diagnosis Keperawatan Definisi &
Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10.
jam 09.30 WIB. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. (2010). Buku Saku Hidayat, A.Aziz Alimul, 2008, Pengantar
Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Kebutuhan Dasar Manusia:
Jakarta: EGC. Aplikasi
Hudak, C.M. & Gallo, B.M.
(2010).
Keperawatan Kritis
Pendekatan
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,

Holistik, 138 Volume 3 Nomor 3


Mei 2019.
Ignativicus, (2012) Jurnal Sehat Bebaya Volume 1 No 2: pengaruh Tindakan
Suction Terhadap Perubahan Saturasi Oksiger Perifer Pada Pasien Yang
di Rawat di RSUD Abdul Ruang ICU: 2012. Diakses pada tanggal 03 Mei
2019 jam
10.00 WIB
Kozier, B., et al. 2008, Fudamental of Nursing:
Consepts, Process and Practice.New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Lynn, (2011). Hubungan Metode Suction Pada Pasien Yang Terpasang
Ventilator Terkait Kejadian Infeksi Nosokomial. Diakses pada tanggal 6
januari 2019 Jtptuniumus-gdl-rosy
Menkes. (2010). Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta: Menkes

Mutaqqin, A. (2012). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan


Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: EGC.
Mutataqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Persyarafan, Jakarta: PT. Salemba Medika
NANDA. (2018). Diagnosis Keperawatan Definisi& Klasifikasi 2018-2020
Edisi 11Editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru, Jakarta: EGC
Notoatmodjo & Soekidjo. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Rhineka Cipta
Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Keperawatan
Jakarta: Salemba Medika.
Potter, P, A & Perry,A.G.(2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Buku
3. Edisi 7, Terjemahan Renata Komalasari. Jakarta EGC

132

Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,

Purwoko, I, & Saryono (2009). Mengelola Pasien Dengan Ventilator


Mekanik, Bogor: Rekamata: Jakarta EGC.
Sjamsuhidajat, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC
Syifa, Zakiyyah. 2014. Pengaruh mobilisasi Progresif
Level 1 Terhadap Resiko Dekubitus dan Pengaruh
Saturasi Oksigen
Timby, B. K. (2009). Fundamental Nursing Skill and Concepts.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.
Mattahay, M.A. 2003. Acute Respiratory Distress Syndrome. New York:
Marcel Dekke
Wilkinson, J.M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 7 (Eny
Meiliya & Monica Ester, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Wijaya, R, R. (2015). Perubahan Saturasi Oksigen Pada Pasien Kritis Yang
Dilakukan Suction Endotracheal Tube di ICU RSUD DR. MOEWARDI
Suarakarta. Digilib.Stikeskusumah.
Wiyoto. 2010, April. Hubungan Tingkat Pengetahuan
Perawat Tentang Prosedur Suction Dengan Perilaku
Perawat Dalam Melakukan Tindakan Suction di ICU Rumah
Sakit dr. Kariadi Semarang (Online),
(http://digilib.unimus.ac.id/ gdl.php?mod=browse&op=read=jtpt u
nimus-gdl-wiyotog2a2-5560, diakses pada senen 14 januari
2019
pukul 13.32 WIB.
Zakiyah. 2014. Pengaruh Mobilisasi Progresif Level 1
Terhadap Resiko Dekubitus Dan Pengaruh Saturasi
Oksigen.

133

Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,

ANALISIS MASALAH KEPERAWATAN PADA PASIEN


POST KRANIOTOMI DI RSD DR. SOEBANDI JEMBER
(STUDI RETROSPEKTIF JANUARI 2016 –
DESEMBER 2017)
Muhamad Zulfatul A’la*), Dwi Puspita Dewi & Siswoyo
Fakultas Keperawatan, Universitas Jember

Abstrak
Bedah kraniotomi merupakan pembedahan pembukaan kranium untuk
meningkatan akses pada struktur intrakranial yang berisiko terhadap
kerusakan jaringan dan komplikasi lainnya. Manajemen post operasi dalam
perawatan dapat dilakukan dengan melakukan proses keperawatan.
Masalah keperawatan merupakan dasar untuk diagnosis keperawatan pada
rencana perawatan perawat. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis gambaran masalah keperawatan pasien post kraniotomi di
RSD dr. Soebandi Kabupaten Jember. Jenis penelitian ini adalah deskriptif
kuantitatif pada variabel masalah keperawatan menggunakan pendekatan
studi retrospektif dengan metode simple random sampling. Sampel
penelitian ini adalah 94 rekam medis pasien post kraniotomi yang dihitung
menggunakan rumus slovin dari jumlah populasi pada Januari 2016-
Desember 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah keperawatan
utama pada pasien post kraniotomi adalah nyeri akut (58,51%),
ketidakefektifan bersihan jalan napas (25,53%), dan ketidakefektifan pola
napas (15,96%). Diagnosis keperawatan yang berdasarkan indikator
dengan mencerminkan PES/PE sebanyak 39 (41,49%) dan yang tidak
mencerminkan PES/PE sebanyak 55 (58,51%). Perawat memiliki peranan
penting dalam manajemen post operasi khususnya pada asuhan
keperawatan. Masalah keperawatan perlu dirumuskan dengan
memperhatikan data-data yang mendukung munculnya masalah
keperawatan pada pasien guna meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.

Kata Kunci: Asuhan Keperawatan; Masalah Keperawatan; Post Kraniotomi

Abstract

[Analysis of Nursing Problem among Post Craniotomy Patients in RSD dr.


Soebandi Jember (Retrospective study in Januari 2016-December 2017].
Craniotomy is opening of cranium to increase access the intracranial
structure at risk of tissue damage and other complications. Postoperative
management can be done with the nursing process. Nursing problem are the
basis for nursing diagnosis in nursing care plans. The purpose of this
research is to analyze the nursing problem of post-craniotomy patients in dr.
Soebandi Hospital Jember. The variable analyzed are nursing problems.
This research is descriptive quantitative using retrospective study with a
simple random sampling method. The sample of this research are 94 medical
records of post craniotomy patients obtained by calculation using the slovin
formula from the population in January 2016 to December 2017. The results
showed the main nursing problem in post-craniotomy patients are acute pain
(58,51%), ineffective cleaning of the airway (25,53 %), and ineffective
breathing pattern (15,96%). Nursing diagnoses based on indicators
reflecting PES / PE are 39 (41,49%) and those that do not reflect PES / PE
are 55 (58,51%). Nurses have an important role in postoperative
management, especially in nursing care. Nursing problems need to be

134

Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,

formulated by considering data that supports nursing problems in patients to


improve the quality of nursing care.

Keywords: Nursing Care, Nursing Problem, Post Craniotomy

Article info: Sending on May 25, 2019; Revision August 14, 2019; Accepted on
September 11, 2019

--------------------------------------------
*)
Cor
res
pon
din
g
aut
hor
:
Em
ail:
m.z
ulfa
tul
@u
nej.
ac.i
d
1. Pendahuluan individual, dan mempunyai respon yang
Bedah kraniotomi merupakan berbeda-beda. Diperlakukan sebagai
pembedahan dengan pembuatan lubang individu merupakan hal yang penting
di kranium untuk meningkatkan akses bagi seseorang ketika mereka dirawat di
pada struktur intrakranial. Kraniotomi rumah sakit (National Clinical Guideline
berpengaruh pada anatomi tubuh Centre, 2012). Respon pasien yang
bagian kulit, periosteum, tulang, dura individual menyajikan situasi dimana
mater, arachnoid mater, pia mater, perawat harus membuat kesimpulan
subdural, dan cairan serebrospinal mengenai masalah keperawatan yang
(George dan Charlemen, 2017). dialami oleh pasien karena tidak menutup
Tindakan kraniotomi bermanfaat dalam kemungkinan akan berbeda dengan
peningkatan kelangsungan hidup, konsep.
namun semakin banyak laporan bahwa Terdapat berbagai masalah yang
efek setelah tindakan kraniotomi telah timbul pada pasien post kraniotomi.
terabaikan (Joswig et al., 2016). Selama periode dua tahun, terdapat 103
Banyak rumah sakit dengan tingkat pasien yang tercatat menjalani operasi
kematian perioperatif yang lebih kraniotomi dan kemudian dirawat di ICU
rendah mengalami tingkat komplikasi atau HCU. Hasil penelitian menunjukkan
bedah yang lebih tinggi. Fakta ini bahwa terdapat 51 pasien yang
menyoroti pentingnya manajemen post meninggal dunia dan 52 pasien yang
operasi dari pasien yang kompleks hidup. Terdapat dua penyebab kematian
dalam perawatan (Goel et al., 2018). utama pada pasien-pasien kraniotomi ini;
Setiap pasien mengalami syok sepsis (33%) dan gagal nafas
perawatan kesehatan dengan cara yang (23,5%) (Pribadi dan Pujo, 2012).
unik karena setiap pasien adalah unik, Menurut Tanriono et al. (2017),
135

Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,

penelitian yang dilakukan di ICU RSU bedah yang lama dan penggunaan
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado kortikosteroid (Lovely et al., 2016).
periode Juli 2016-Juni 2017, hasil Sebagian besar pasien neurologis
mendapatkan 30 orang post kraniotomi post operasi harus menghadapi risiko
di ICU dengan penyakit yang dan komplikasi yang mungkin terjadi.
mendasari dilakukannya kraniotomi Untuk menghindari hal tersebut, klien
terbanyak ialah cedera kepala (77%), memerlukan pemantauan untuk
jenis kelamin laki-laki (90%), dan usia memperbaiki kondisi klinis. Pasien
15-24 tahun (37%). Menurut penelitian post operasi bedah saraf membutuhkan
yang dilakukan oleh Lonjaret et al. pemahaman tentang kebutuhan yang
(2017) di rumah sakit Prancis, harus dipenuhi oleh anestesiologi dan
komplikasi yang muncul pada pasien staf perawat. Perawatan post operasi
post kraniotomi adalah mual muntah yang utama termasuk penilaian
(25%) dan komplikasi neurologis berkelanjutan pada area tingkat
(16%). kesadaran, hemodinamik, suhu, nyeri,
Pada penelitian yang dilakukan kejang, mual, dan terapi cairan
oleh Chen et al. (2018), masalah yang (Brooks, 2015). Setelah prosedur
menjadi perhatian utama adalah risiko bedah, staf perawat harus memantau
ketidakefektifan perfusi jaringan tanda-tanda vital dan penilaian fisik.
cerebral, nyeri akut, dan ansietas. Diagnosis keperawatan yang akurat
Masalah keperawatan salah satunya didukung oleh data langsung yang
nyeri akut post kraniotomi telah dikumpulkan. Diagnosis
menjadi topik yang relatif terabaikan. mendokumentasikan situasi klien pada
Masalah lain yang mungkin terjadi saat ini dan mencerminkan masalah
pada pasien setelah pembedahan post keperawatan yang terjadi dalam
kraniotomi adalah infeksi. Faktor risiko kondisi klien. Identifikasi kebutuhan
predisposisi dapat terjadi karena yang akurat dan pelabelan diagnostik
adanya waktu memberikan dasar untuk memilih
intervensi keperawatan (Doenges,
2014).
Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi
Kabupaten Jember merupakan rumah
sakit yang berada di wilayah Jawa
Timur bagian timur. RSD dr. Soebandi
memiliki visi dan misi, salah satu
misinya yaitu menjadi rumah sakit
pusat rujukan wilayah Jawa Timur
bagian timur. Hasil studi pendahuluan
di RSD dr. Soebandi didapatkan data
jumlah pasien kraniotomi masih cukup
banyak dengan jumlah 171 pasien
pada tahun 2016 dan 269 pasien pada
tahun 2017.
Hingga saat ini masih sedikit
informasi mengenai masalah
keperawatan pasien post kraniotomi.
Gambaran masalah keperawatan
pasien post kraniotomi di RSD dr.
Soebandi Kabupaten Jember masih
belum diteliti. Berdasarkan latar
136

Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,

belakang yang sudah dipaparkan, dengan pendekatan studi retrospektif.


tujuan penelitian ini adalah ingin Penelitian kuantitatif digunakan untuk
melihat analisis masalah menghasilkan sebuah gambaran yang
keperawatan pada pasien dengan berupa frekuensi dan persentase dari
post kraniotomi yang meliputi masalah keperawatan berdasarkan
jumlah masalah keperawatan yang fakta yang tercatat di rekam medis
paling banyak serta kesesuaian pasien post kraniotomi. Populasi
masalah keperawatan dengan peneitian ini adalah pasien post
Taksonomi NANDA (North kraniotomi di RSD dr. Soebandi dari
American Nursing Diagnosis Januari 2016- Desember 2017.
Association ). Besaran sampel pada penelitian ini
dihitung dengan menggunakan rumus
2. Metode Penelitian slovin. Berdasarkan perhitungan
Penelitian ini merupakan sampel menggunakan rumus slovin
penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan nilai signifikansi
0,1 didapatkan hasil 82 sampel rekam
medis, kemudian hasil ditambah 20% 3. Hasil dan Pembahasan
sehingga jumlah sampel 100 rekam Hasil penelitian ini menampilkan
medis yang dipilih dengan masalah keperawatan utama pada pasien
menggunakan simple random post kraniotomi, Crosstab diagnosa
sampling. Namun, dari ke-100 jumlah medis dengan masalah keperawatan, dan
rekam medis yang dibutuhkan tersebut, ketepatan penggunaan indikator
data rekam medis yang tersedia diagnostik mencerminkan Problem,
sebanyak 94 buku rekam medis dengan Etiology, Symptom(PES/PE).
tingkat response rate 94%. Enam buku
rekam medis tidak diketemukan Tabel 1. Persentase
sehingga di masukkan dalam drop out.
Kriteria inklusi penelitian ini adalah a) masalah keperawatan
Pasien post kraniotomi selama bulan utama pada pasien post
Januari 2016 – Desember 2017 yang
tercatat dalam rekam medis klien post kraniotomi tahun
operasi meliputi data diagnosis 2016- 2017 di RSD dr.
keparawatan, intervensi, evaluasi, dan
tanggal, b) Diagnosis keperawatan satu Soebandi Kabupaten
hari setelah operasi kraniotomi. Jember
Penelitian ini dilakukan di Instalasi (n=94)
Admisi dan Rekam Medis RSD dr. Masalah
Frekuensi
Persentase
Soebandi Kabupaten Jember. Keperawatan (%)
Instrumen yang digunakan untuk Ketidakefektifan 15
15,96
pola napas
mengumpulkan data masalah Nyeri akut 55 58,51
keperawatan yang muncul pada Ketidakefektifan 24
penelitian ini adalah dengan bersihan jalan 25,53
menggunakan lembar observasi dan napas
tabel data masalah keperawatan.
Penelitian ini telah mendapatkan Berdasarkan hasil penelitian
persetujuan dari Komisi Etik Penelitian pada tabel 1 didapatkan data masalah
Kesehatan Fakultas Kedokteran Gigi keperawatan utama pasien post
Universitas Jemberpada tanggal 3 kraniotomi dengan jumlah sampel 94
Januari 2019 dengan No. rekam medis yaitu nyeri akut (58,51%),
291/UN25.8/KEPK/DL/2019 ketidakefektifan bersihan jalan napas
137

Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,

(25,53%), ketidakefektifan pola napas


(15,96%). Tabel 2. Crosstab diagnosa
medis dengan masalah
keperawatan (n=94)
Masalah Keperawatan
Diagno Ketidakefek
sa Nyeri tifan Ketidakefektif
Medis akut bersihan an pola napas
jalan napas
Cedera
kepala 21 5 4
+ EDH
38,18% 20,83% 26,67%
Cedera
kepala 3 1 0
+ SDH
5,45% 4,17% 0,00%
Cedera
kepala 15 9 1
+ ICH
27,27% 37,50% 6,67%
Cedera
kepala 2 0 1
+ SAH
3,63% 0,00% 6,67%
Tumor 4 7 5
7,27% 29,17% 33,33%
ICH 5 2 1
9,09% 8,33% 6,67%
SDH 4 0 2
7,27% 0,00% 13,33%
SAH 1 0 1
1,82% 0,00% 6,67%
Total 55 24 15
EDH : Epidural Hematoma ICH
: Intracerebral Hematoma
SDH : Subdural Hematoma SAH
: Subarachnoid Hematoma

Berdasarkan tabel 2. pasien


yang mengalami nyeri akut sebanyak
55, ketidakefektifan bersihan jalan
napas sebanyak 24, dan
ketidakefektifan pola napas sebanyak
15. Pasien yang mengalami nyeri akut
terdiri dari pasien yang berdiagnosa
medis cedera kepala+EDH (38,12%),
cedera kepala+SDH (5,45%), cedera
kepala+ICH (27,27%), cedera
kepala+SAH (3,63%), tumor (7,27%),
ICH (9,09 %),
SDH (7,23%), SAH (1,82%).
Berdasarkan hasil penelitian
pada tabel 3. didapatkan jumlah total
138

Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tersedia online di:
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), September 2019,

diagnosis keperawatan yang sesuai


dengan indikator diagnostik
(PES/PE) sebanyak 39 (41,49%).
Sedangkan diagnosis keperawatan
yang tidak sesuai dengan indikator
diagnostik sebanyak 55 (58,51%).

139

Copyright ©2019, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Tabel 3. Persentase ketepatan penggunaan indikator
diagnostik taksonomi nanda (n=94)
Sesuai indikator Tidak sesuai indikator
Jumlah diagnostik (PES/PE)
Diagnosis diagnostik
diagnosis
Keperawatan Persentase Persentase
yang dibuat Jumlah Jumlah
(%) (%)
Ketidakefektifan pola
15 6 40,00 9 60,00
napas
Nyeri akut 55 23 41,82 32 58,18
Ketidakefektian
24 10 41,67 14 58,33
bersihan jalan napas
Jumlah 94 39 41,49 55 58,51

Masalah keperawatan utama yang muncul berbanding terbalik dengan saat ini yaitu data
pada pasien post kraniotomi dalam penelitian ini terbaru menunjukkan sebaliknya (Chowdhury et al.,
adalah nyeri akut, ketidakefektifan bersihan jalan 2017). Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya
napas, dan ketidakefektifan pola napas. Pada pemahaman yang menyeluruh tentang berbagai
penelitian yang dilakukan oleh Chen et al. (2018), faktor perioperatif dan pasien dapat mempengaruhi
masalah yang menjadi perhatian utama adalah insidensi keparahan intensitas nyeri dan untuk
risiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral, mengatasi hal tersebut dibutuhkan pendekatan
nyeri akut, dan ansietas. Kesamaan masalah terhadap nyeri akut post kraniotomi (Flexman dan
keperawatan utama yang muncul yaitu nyeri akut. Gelb, 2010).Intensitas nyeri yang dialami oleh
Nyeri post kraniotomi paling banyak berpengaruh pasien post kraniotomi berpuncak pada hari operasi
di dunia dan nyeri post kraniotomi diidentifikasi dan hari ke-4 pasca operasi (Kim et al., 2013).
sebagai prioritas kesehatan masyarakat (Guilkey
et al., 2016). Masalah pernapasan menjadi
perhatian utama karena komplikasi paru yang
berpengaruh pada pernapasan terutama
komplikasi paru pasca operasi, merupakan
penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada
pasien bedah saraf (Misra, 2016). Masalah
keperawatan risiko ketidakefektifan perfusi
jaringan cerebral dan ansietas muncul pada
masalah keperawatan pasien post kraniotomi
namun tidak muncul sebagai masalah
keperawatan utama karena terdapat masalah
keperawatan yang lebih prioritas.
Masalah keperawatan utama yang sering
muncul pada pasien post kraniotomi adalah nyeri
akut dengan jumlah 55 (58,51%). Hal tersebut
sejalan dengan hasil penelitian Chen et al. (2018)
bahwa masalah keperawatan yang
menjadiperhatian utama pada pasien post
kraniotomi adalah nyeri akut.
Nyeri pasca operasi adalah bentuk nyeri
akut, yang dimulai dengan trauma bedah dan
berakhir dengan penyembuhan jaringan. Nyeri
memburuk dalam beberapa hari pertama pasca
operasi (Saha et al., 2013). Kepercayaan yang
terdahulu menyebutkan bahwa nyeri post
kraniotomi merupakan hal yang minim terjadi,
Pasien post kraniotomi dengan diagnosa bersihan jalan napas paling banyak terjadi pada
medis cedera kepala, masalah keperawatan pasien dengan diagnosa medis cedera
utama yang paling banyak dialami oleh pasien kepala+ICH (37,50%) dan tumor (29,17%).
yaitu nyeri akut (38,12%). Nyeri merupakan Temuan radiologis (CT scan) pada pasien yang
akibat umum dari cedera kepala pada pasien dilakukan re-intubasi karena gangguan
post kranotomi. Pasien yang melakukan pernapasan yang paling umum adalah adanya
operasi untuk cedera kepala lebih memiliki tumor dan edema (68,9%) (Dube et al., 2013).
kecenderungan mengalami nyeri hingga Pada penelitian yang dilakukan oleh Guo (2017)
mengembangkan kondisi kronis (Haldar, pada pasien kraniotomi untuk reseksi tumor
2015).kejadian masalah keperawatan nyeri meningioma, pasien dipasang intubasi
akut post kraniotomi saat ini disebabkan endotrakeal. Sepertiga dari pasien cedera kepala
karena faktor preoperatif, intra-operatif, dan mengalami sindrom gangguan pernapasan, yang
post-operatif. Selain faktor perioperatif, merupakan komplikasi buruk post kraniotomi.
terdapat faktor pasien yaitu setiap individu Pada penelitian yang dilakukan oleh Sriganesh et
mempunyai tingkat intensitas nyeri yang al. (2014) pasien dengan perdarahan intraserebral
berbeda. yang mengalami penurunan kesadaaran memiliki
Ketidakefektifan bersihan jalan napas risiko tinggi gangguan jalan napas karena
sebanyak 24 (25,53%) kejadian pada pasien gangguan mobilitas orofaringeal dan hilangnya
post kraniotomi. Penelitian yang dilakukan refleks pelindung. Peningkatan resistensi sistem
oleh Dube et al. (2013) pada 920 pasien pernapasan terdeteksi pada pasien-pasien yang
menjalani kraniotomi, sebanyak 45 (4,9%) mengalami kerusakan otak. Pada pasien normal
pasien membutuhkan re- intubasi. Salah satu yang teranestesi dan lumpuh (tanpa kelainan
penyebab re-intubasi adalah gangguan paru-paru), penurunan tekanan parsial karbon
pernapasan (22,2%) dan sekresi pernapasan dioksida arteri (PaCO2) dikaitkan dengan
yang tidak dapat dikelola (13,3%). peningkatan yang signifikan pada
Masalah keperawatan ketidakefektifan
peningkatan resistensi sistem pernapasan.Faktor- Ketidakefektifan pola napas paling banyak
faktor tambahan yang menyebabkan edema terjadi pada pasien dengan diagnosa medis tumor
mukosa jalan nafas, seperti neuropeptida, tidak (33.33%). Pada penelitian yang dilakukan oleh Al-
dapat dikesampingkan sebagai mekanisme Dorzi et al. (2017) pada pasien post kraniotomi
potensial, karena zat tersebut tampaknya untuk reseksi tumor, terdapat 14% pasien mengalami
dilepaskan dan beredar pada pasien yang kejang post kraniotomi. Kejadian kejang tersebut
mengalami kerusakan otak (Koutsoukou et al., dianggap sebagai beban tambahan karena dapat
2016).Peneliti berasumsi bahwa masalah dipersulit oleh kegagalan pernapasan, cedera,
ketidakefektifan bersihan jalan napas disebabkan aspirasi, dan bahkan kematian. Menurut penelitian
karena pasien yang mengalami kerusakan otak yang dilakukan oleh Grabenstatter (2016) kejadian
mengedarkan zat neuropeptida yang kejang dapat mengakibatkan irama pernafasan
menyebabkan edema mukosa jalan napas menjadi meningkat. Manajemen rawat jalan post
sehingga menyebabkan ketidakefektifan bersihan kraniotomi untuk reseksi tumor pada pasien
jalan napas dan akan diperparah apabila pasien dilakukan dengan anestesi umum untuk
mengalami penurunan kesadaran karena dapat meningkatkan keamanan pasien pasca operasi
meningkatkan resistensi sistem pernapasan. kranial (Au et al., 2016). Opioid umumnya
Ketidakefektifan pola napas sebanyak 15 digunakan untuk analgesik yang dipercaya dalam
(15,96%). Menurut penelitian yang dilakukan pengobatan nyeri hebat akut. Efek dari opioid yang
oleh Herrero et al. (2017) pada 23 pasien, digunakan telah diketahui menyebabkan depresan
terdapat 18 (25,7%) post kraniotomi yang pernapasan klasik dan menghasilkan depresi total
menderita komplikasi neurologis. Perubahan ventilasi yang berhubungan dengan dosis melalui
neurologis ini dilaporkan sebagai kejang dengan penurunan frekuensi pernapasan (Karcz dan
pola pernapasan yang berubah dan menjadi tidak Papadakos, 2013).Peneliti berasumsi bahwa masalah
efektif tercatat dalam rekam medis pasien. keperawatan ketidakefektifan pola napas yang terjadi
pada pasien post kraniotomi dapat terjadi karena (58,51%). Pendapat Carpenito dalam Nursalam
pasien mengalami perubahan neurologis dan efek (2015), dimana diagnosis keperawatan bersifat
pasca anastesi setelah dilakukan tindakan aktual jika mampu menjelaskan masalah nyata
kraniotomi. Anestesi umum difasilitasi oleh yang terjadi saat ini sesuai data klinik yang
banyak obat, terutama opioid dan agen ditemukan. Syarat penegakan diagnosis
penghambat neuromuskuler, yang dapat keperawatan aktual harus mengandung unsur
menghambat kontrol fisiologis pernapasan PES. Penggunaan PES bertujuan untuk
sehingga menyebabkan penurunan frekuensi memahami esensi dari kebutuhan kesehatan pada
pernapasan. asuhan keperawatan (Frigstad et al.,
Ketepatan penggunaan indikator diagnostik 2015).Peneliti berasumsi bahwa diagnosis
(PES/PE) sebanyak 39 (41,49%) dan yang tidak keperawatan yang tidak mencerminkan PES/PE
sesuai dengan indikator diagnostik sebanyak 55 pada dokumentasi keperawatan menyebabkan
pembaca mengalami kesalahpahaman karena
tidak adanya dasar dalam penegakan diagnosis
keperawatan dan tidak dapat memahami
kebutuhan kesehatan pasien secara menyeluruh.

4. Kesimpulan
Masalah keperawatan utama yang sering
muncul pada pasien post kraniotomi yaitu nyeri
akut (58,51%), ketidakefektifan bersihan jalan
napas(25,53%), dan ketidakefektifan pola napas
(15,96%). Masalah keperawatan nyeri akut paling
banyak terjadi pada pasien cedera kepala post
kraniotomi (38,18%), ketidakefektifan bersihan
jalan napas paling banyak terjadi pada cedera
kepala+ICH (37,50%), dan ketidakefektifan pola
napas paling banyak terjadi pada tumor post
kraniotomi (33,33%). Ketepatan penggunaan
indikator diagnostik taksonomi NANDA yang
sesuai dengan indikator diagnostik sebanyak 39
(41,49%) dan diagnosis keperawatan yang tidak
sesuai dengan indikator diagnostik sebanyak 55
(58,51%).

5. Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah
perlu adanya penelitian khusus untuk nyeri akut
pada pasien post kraniotomi yang meliputi
intervensi dan evaluasi serta discharge planning.
Berkaitan dengan penegakan diagnosa, juga perlu
adanya penelitian menegani faktor yang
mempengaruhi kesesuaian penggunaan diagnosa
NANDA. Saran untuk rumah sakit, Perawat juga
harus memperhatikan tentang aspek nyeri pada
pasien post kraniotomi mulai dari diagnosa
sampai evaluasi.

6. Daftar Pustaka
Al-Dorzi, H. M., Alruwaita, A. A., Marae, B.
O., Alraddadi, B. S., Tamim, H. M.,
Ferayan, A., dan Arabi, Y. M. Au, K., Bharadwaj, S., Venkatraghavan, L.,
(2017). Incidence, risk factors and dan Bernstein, M. (2016). Outpatient
outcomes of seizures occurring after brain tumor craniotomy under general
craniotomy for primary brain tumor anesthesia. Journal of Neurosurgery,
resection. Neurosciences, 22 (2), 125(5), 1130–1135. doi:
107-113. doi: 10.3171/2015.11.JNS152151
10.17712/nsj.2017.2.20160570
Brooks, C. (2015) ‘Critical Care Nursing in Elsevier
Acute Post operative Neurosurgical Goel, N. J., Mallela, A. N., Agarwal, P.,
Patients’, Critical Care Nursing Clinics Abdullah, K. G., Choudhri, O. A., Kung,
of NA. Elsevier Inc, 27(1), pp. 33–45. D. K., dan Isaac,
doi: 10.1016/j.cnc.2014.10.002. H. C. (2018) ‘Complications Predicting
Chen, Y., Kuo, Y., dan Shen, R. (2018). An Perioperative Mortality in Patients
experience of post-craniotomy nursing Undergoing Elective Craniotomy: A
care for a meningioma patient in a Population-Based Study’, World
neurointensive care unit. Australian Neurosurgery. Elsevier Inc, pp. 1–11. doi:
Critical Care, 31(2), 133. 10.1016/j.wneu.2018.06.153.
doi:10.1016/j.aucc.2017.12.058 Grabenstatter, G. L. (2016). Irregular Respiratory
Chowdhury, T., Garg R., Sheshadri, V., Rhythm: A Physiological Biomarker of
Venkatraghavan, L., Bergese, S. D., SUDEP Risk in Patients With Nocturnal
Cappellani, R. B., dan Schaller, B. Seizures? American Epilepsy Society.
(2017). Perioperative Factors 16(5), 327–329. doi: 10.5698/1535-7511-
Contributing the Post- Craniotomy Pain: 16.5.327
A Synthesis of Concepts. A Synthesis of Guilkey, R. E., Von A. D., Carpenter, J. S.,
Concepts. Front. Med. 4:23. doi: Stone, C., dan Draucker, C. B. (2016).
10.3389/fmed.2017.00023 Integrative Review: Post-Craniotomy Pain
Doenges, M. E. (2014) Nursing Care Plants in the Brain Tumor Patient. Journal of
Guidelines For Individualizing Client Care advanced nursing. 72 (6), pp. 1221-1235.
Across The Life Span. 9th edn. Philadelphia: doi: 10.1111/jan.12890
F. A. Davis Company.
Dube, S. (2013). Causes of tracheal re-
intubation after craniotomy: A
prospective study. Saudi Journal of
Anaesthesia, 7(4), 410.
doi:10.4103/1658-354x.121056
Flexman, A. M., Ng, J. L., dan Gelb, A. W..
(2010). Acute and chronic pain
following craniotomy. Current Opinion
in Anaesthesiology, 23(5), 551–557.
doi:10.1097/aco.0b013e32833e15b9
Frigstad, S. A., Nost, T.H., dan Andre, B.
(2015). Implementation of Free Text
Format Nursing Diagnoses at a
University Hospital's Medical
Department. Exploring Nurses' and
Nursing Students' Experiences on Use
and Usefulness. A Qualitative Study.
Nursing Research and Practice, 15 (1).
doi: 10.1155/2015/179275
George, A. dan Charlemen, J. E. (2017). Surgical
Technology Exam Review. St. Louis Missouri:
Guo, X., Wei, J., Gao, L., Xing, B., dan Xu, World Journal of Critical Care
Z. (2017). Hyperammonemic coma Medicine. 5 (1), pp. 65-73. doi:
after craniotomy: Hepatic 10.5492/wjccm.v5.i1.65
encephalopathy from upper Lonjaret, L., Guyonnet, M., Berard, E.,
gastrointestinal hemorrhage or Vironneau, M., Peres, F., Sacrista, S.,
valproate side effect?. Medicine, Ferrier, A., Ramonda, V., Vuillaume,
96(15). doi: C., Roux, F. E., Fourcade, O., dan
10.1097/MD.0000000000006588 Geeraerts, T.. (2017). Postoperative
Haldar, R., Kaushal A., Gupta D., complications after craniotomy for brain
Srivastava, S., dan Singh, P. K. tumor surgery. Anaesthesia Critical
(2015). Pain following Craniotomy: Care & Pain Medicine, 36(4), pp. 213–
Reassessment of the Available 218. doi:10.1016/j.accpm.2016.06.012
Options. BioMed Research Lovely, M. P., Amidei, C. S., Arzbaecher, J.,
International, 2015, pp. 1-8. Bell, S., Maher, M. E., Maida, M.,
doi:10.1155/2015/509164 Mogensen, K, dan Nicolaseau, G.
Herrero, S., Carrero, E., Valero, R., Rios, J., (2016). AANN Clinical Practice
dan Fábregas, N. (2017). Guideline Series. Chicago: American
Postoperative surveillance in Association of Neuroscience Nurse.
neurosurgical patients – usefulness of Misra S. (2016). Postoperative pulmonary
neurological assessment scores and complication after neurosurgery: A case
bispectral index. Brazilian Journal of of unilateral lung collapse. Anesthesia,
Anesthesiology, 67(2), 153– essays
165. doi:10.1016/j.bjane.2015.09.003
Joswig, H., Brateli, D., Brunner, T.,
Jacomet A., Hildebrandt G., dan
Surbeck, W.. (2016). Awake
Craniotomy: First year experiences
and patient perception. World
Neurosurgery. Elsevier
Ltd.
doi:
10.1016/j.wneu.2016.02.051.
Karcz, M. dan Papadakos, P. J. (2013).
Respiratory complications in the
postanesthesia care unit: A review of
pathophysiological mechanisms.
Canadian Journal of Respiratory
Therapy, 49(4), pp 21-29
Kim, Y. D., Park J. H., Yang, S. H., Kim, I. S.,
Hong,
J. T., Sung, J. H., Son, B. C., dan Lee,
S. W. (2013). Pain Assessment in
Brain Tumor Patients after Elective
Craniotomy. Brain Tumor Research
and Treatment, 1(1), pp. 24- 27. doi:
10.14791/btrt.2013.1.1.24
Koutsoukou, A., Maria, K., Stylianos, E.
O., Anastasia, K., Maria, D.,
Magdalini, K., Koulouris, G. K., dan
Nikoletta, R.. (2016). Respiratory
mechanics in brain injury: A review.
and researches, 10(1), 154–156. doi:10.4103/0259-1162.173613
National Clinical Guideline Centre. (2012). Patient experience in adult NHS services:
improving the experience of care for people using adult NHS services. London: Royal
College of Physicians
Nursalam. (2015).Manajemen Keperawatan. Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan
Profesional. Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika.
Pribadi, H. T. dan J. L. Pujo. (2012) Angka Kematian Pasien Kraniotomi Di ICU Dan HCU
RSUP dr. Kariadi. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 1 (1)
Saha, P., Chattopadhyay, S., Rudra, A., dan Roy, S. (2013). Pain after
craniotomy: A time for reappraisal? Indian Journal of Pain, 27 (1). doi:
10.4103/0970-5333.114853
Sriganesh, K., Radhakrishnan, M., dan Rao, G. S. U. (2014). Systemic care in the acute
management of patients with stroke. Journal of Neuroanaesthesiology & Critical
Care, 1 (2), 101-107. doi: 10.4103/2348-0548.130383
Tanriono, C., Lalenoh, D. C., dan Laihad, M. L. (2017) ‘Profil Pasien Post
Kraniotomi di ICU RSUP Prof . Dr . R . D . Kandou’, Jurnal EClinic,
5(2).

Anda mungkin juga menyukai