Anda di halaman 1dari 19

ERITEMA MULTIFORME MAYOR PADA ANAK DIDUGA

DISEBABKAN OLEH PARASETAMOLDAN HERBAL

Ermon Naftali Limbara, IGAA Dwi Karmila

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar

PENDAHULUAN
Eritema multiforme (EM) adalah suatu kondisi mukokutaneus akut yang jarang,
ditandai dengan adanya lesi target pada kulit dan membran mukosa. Manifestasi
klinis penyakit ini dapat bervariasi mulai dari EM minor yang bersifat ringan tanpa
keterlibatan membran mukosa atau hanya keterlibatan minimal, hingga EM mayor
yang bersifat lebih berat dan disertai keterlibatan dua mukosa atau lebih.1,2 EM
diperkirakan terjadi akibat reaksi hipersensitivitas terhadap infeksi dan obat-obatan
tertentu, di mana sekitar90% kasus EM berhubungan dengan infeksi. 2,3,4 Etiologi
terbanyak adalah herpes simplex virus (HSV) yang meliputi sekitar 50-70% kasus
dan sering terjadi bersamaan dengan kasus EM rekuren, HSV-1 merupakan penyebab
utama walaupun HSV-2 juga dapat menginduksi EM.1,5,6
Obat merupakan penyebab yang jarang pada EM, sebagian literatur melaporkan
yang berhubungan dengan obat harus dipertimbangkan kemiripannya dengan
penyakit lain seperti erupsi urtikaria anular atau makulopapuler dengan beberapa lesi
menyerupai lesi target. Obat-obatan yang paling sering dihubungkan dengan kejadian
EM adalah antibiotik terutama golongan sulfa dan beta laktam, antikonvulsan fenitoin
dan karbamazepin, alopurinol, obat anti inflamasi nonsteroid serta obat anti diabetik
oral.1,7
Pada awalnya sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik
(NET) digolongkan ke dalam spektrum EM dimana EM mayor seringkali disamakan
dengan SSJ karena keduanya menunjukkan keterlibatan mukokutaneus yang

1
serupa.5,8 Pengelompokan ini selanjutnya ditinjau kembali pada penelitian berskala
besar oleh Severe Cutaneous Adverse Reaction (SCAR) tahun 2002 dan didapatkan
bahwa EM memiliki gambaran demografi, presentasi klinis, derajat keparahan serta
penyebab yang berbeda dengan SSJ dan TEN sehingga pada literatur-literatur
selanjutnya EM dibedakan dengan SSJ maupun TEN.1,8
EM dapat mengenai semua usia, sebagian besar terjadi pada usia 20-40
tahun.Kejadian EM minor lebih banyak daripada EM mayor walau insiden yang
sesungguhnya tidak diketahui karena laporan yang didapatkan sebagian besar hanya
mencakup kasus berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit.Kasus yang
ditemukan berkisar antara 1-6 per 1.000.000 orang per tahun.1,5,9Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar mencatat 4 kasus EM (0,077 %), yang terdiri dari 2 EM
minor dan 2 EM mayor di antara pasien yang berobat ke poliklinik kulit dan kelamin
dari bulan Januari 2012 sampai Juni 2015.10
Penatalaksanaan EM terutama adalah mengeliminasi faktor penyebab.Tujuan
terapi EM adalah untuk menurunkan durasi demam, erupsi dan rawat inap
berdasarkan studi retrospektif atau percobaan terkontrol skala kecil penggunaan
kortikosteroid sistemik dikatakan dapat memperpendek durasi demam dan
erupsi.1,4Kortikosteroid sistemik telah banyak diteliti sebagai terapi adjuvan karena
efek imunosupresan yang dimilikinya bermanfaat pada reaksi hipersensitivitas yang
terjadi pada EM walau penggunaannya pada EM masih kontroversial akibat
komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Rekomendasi penggunaan kortikosteroid
sistemik adalah pemberian sedini mungkin dengan dosis awal yang tinggi yang dalam
jangka waktu pendeksegera diturunkan dengan tappering yang sesuai untuk
mengurangi risiko terjadinya komplikasi. 3,4,9
Berikut akan dilaporkan kasus EM mayor pada seorang anak yang diduga
disebabkan oleh obat parasetamol dan herbal pada seorang anak.Kasus ini dilaporkan
karena kejadiannya yang jarang serta menambah pengetahuan mengenai penegakan
diagnosis EM mayor, penelusuran penyebab EM dan penatalaksanaannya.

KASUS

2
Seorang anak perempuan, 10 tahun, suku Bali, warga negara Indonesia, dengan
nomor rekam medis 16.01.79.93, dikonsulkan dari triase pediatri ke bagian Kulit dan
Kelamin Rumah Sakit Sanglah Denpasar pada tanggal 2 Mei 2016 dengan suspek
Sindrom Stevens Johnson.
Pasien dikonsulkan dengan keluhan timbulnya bercak kemerahan pada wajah
dan seluruh tubuh semenjak 3 hari yang lalu.Awalnya bercak muncul pada dada
penderita, kemudian bertambah banyak dan meluas ke wajah dan badan.Bercak yang
muncul tidak disertai rasa gatal maupun nyeri. Selain itu juga muncul luka pada bibir
sejak 2 hari yang lalu, luka pada bibir dirasakan nyeri sehingga pasien agak sulit
untuk makan dan minum.Keluhan matamerah dan keluar kotoran pada kedua mata
juga dirasakan penderita sejak 1 hari yang lalu.Selain penderita mengeluh luka pada
kelamin dan nyeri saat buang air kecil.Penderita juga merasakan demam ringan sejak
5hari yang lalu. Sebelum muncul keluhan pada kulit, mata serta kelaminnya penderita
sempat mengkonsumsi parasetamol dan obat herbal kapsida (Coriandri fructus,
Cantella herba, Imperatae rhizoma, Amomi fructus, Languatis rhizoma, Curcumae,
Zingibeis, Burmani cortex, Andrographidis herba) semenjak 5 hari yang lalu.
Riwayat mengoleskan minyak atau ramuan tradisional sebelum maupun setelah
keluhan muncul disangkal.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat
mengalami bintil berair pada daerah bibir maupun pada kelamin sebelum keluhan
muncul tidak ada. Riwayat batuk, pilek dan sesak tidak ada. Riwayat keluhan serupa
di keluarga tidak ada. Riwayat alergi obat, asma, sering bersin pagi hari, penyakit lain
dan keganasan disangkal baik pada penderita maupun keluarga disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang,kesadaran kompos
mentis.Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 84x/menit, respirasi 20x/menit, suhu
aksiler 38,3oC, Visual Analog Score 1, berat badan 40 kg, tinggi badan 150 cm, status
gizi baik. Status generalis pasien didapatkan kepala normosefali.Matadidapatkan
hiperemia konjungtiva serta sekret pada kedua mata tanda anemia dan icterus tidak
ditemukan.Pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorokan tidak ditemukan adanya
kelainan.Pemeriksaan jantung didapatkan suara jantung S1 dan S2 tunggal, regular,

3
tidak didapatkan murmur.Pemeriksaan paru didapatkan suara nafas vesikuler, tidak
didapatkan ronkhi ataupun wheezing.Pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus
dalam batas normal, tidak terdapat distensi, hepar dan lien tidak teraba.Pemeriksaan
ekstremitas didapatkan teraba hangat dan tidak didapatkan edema.Pembesaran
kelenjar limfe tidak ditemukan.Pemeriksaan rambut, kuku dan kelenjar keringat tidak
ditemukan kelainan.Pemeriksaan saraf tidak ditemukan penebalan saraf perifer,
parestesi maupun makula anestesi.
Status dermatologi pada regio fasialis (Gambar 1) tampak makula eritema
multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x0,8-0,8x1 cm. Plak eritema
multipel, bentuk bulat, ukuran diameter 0,3-0,5 cm. Pada regio labialis tampak erosi
multipel, bentuk geografika, ukuran 0,3x0,4-0,8x1 cm beberapa lokasi ditutupi krusta
coklat kehitaman. Pada regio thoraks anterior dan posterior, abdomen serta
ekstremitas superior dan inferior (Gambar 2-5) tampak makula eritema multipel,
batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,4x0,7-1x2 cm beberapa konfluen
membentuk geografika dengan ukuran 2x3-3x5 cm. Didapatkan juga lesi target
(Gambar 8) berupa purpura multiple dengan lingkaran kosentrismenyerupai cincin
dimana pada bagian tengah berwarna keunguan atau lebih gelap sementara bagian
tepi cenderung eritema dengan ukuran diameter 0,3-1,2 cm. Pada tes diaskopi
(Gambar 7) tidak memucat pada penekanan. Pada regio genitalia (Gambar 6) tampak
erosi multipel, bentuk geografika dengan ukuran 0,3x0,4-0,6x0,8 cm.

1 2 3
Gambar 1. Lesi makula dan plak eritema multipel pada regio fasialis, erosi multipel pada
regio labialis dan hiperemia serta sekret pada kedua mata. Gambar 2 dan 3. Lesi purpura
dan makula multipel pada regio thoraks anterior dan posterior serta abdomen.

4
4 5 6
Gambar 4 dan 5. Lesi purpura dan makula multipel pada ekstremitas superior dan inferior
Gambar 6. Lesi erosi multipel pada regio genitalia

7 8
Gambar 7. Tes diaskopi tidak memucat pada penekanan
Gambar8.Tampak lesi target berupa purpura multipel dengan lingkaran kosentris
menyerupai cincin dimana pada bagian tengah berwarna keunguan atau lebih gelap sementara
bagian tepi cenderung eritema.

Diagnosis pasien adalah suspek eritema multiforme mayoret cause suspek


parasetamol dan kapsida (Coriandri fructus, Cantella herba, Imperatae rhizoma,
Amomi fructus, Languatis rhizoma, Curcumae, Zingibeis, Burmani cortex,
Andrographidis herba) dengan diagnosis banding Sindrom Stevens-Johnson.
Pemeriksaangram padalesi dibibirdidapatkan leukosit 1-3/lpb,tidak ditemukan
coccus gram positif dan basil gram negatif.Pemeriksaan darah lengkap pada tanggal
02 Mei 2016 didapatkan leukosit 9,23x103/μL (6-11), neutrofil 6,27x103/μL (2,5-7,5),
limfosit 1,97x103/μL (1-4), monosit 0,79x103/μL (0,1-1,2), eosinofil 0,17x103/μL (0-
0,5), basofil 0,02x103/μL (0-0,1), eritrosit 4,86x106/μL (4-5,2), hemoglobin 14,3 g/dL
(12-16), hematokrit 41,86 (36-49), trombosit 316x103/μL (140-440). Pemeriksaan
fungsi hati didapatkan SGOT 19,1 U/L (11-27), SGPT 18 U/L (11-34). Pemeriksaan

5
fungsi ginjal didapatkan BUN 8 mg/dL (8-23), kreatinin 0,71mg/dL (0,7-1,2), gula
darah sewaktu 86 mg/dL (70-140). Pemeriksaan kimia klinik didapatkan albumin
4,25 g/dL (3,4-4,8), natrium 139 mmol/L (136-145), kalium 3,8 mmol/L (3,5-5,1), C-
reactive protein kuantitatif 2,26 mg/L (0,0-5,0). Dari pemeriksaan urinalisis
didapatkan warna kuning, pH 7,37 (7,35-7,45), leukosit negatif (negatif), nitrite
negatif (negatif), protein negatif (negatif), glukosa normal keton negatif (negatif),
bilirubin negatif (negatif), urobilin normal (normal), sedimen urine leukosit 1-2/lp
(<6), eritrosit 4-6 (<3), bakteri +/lp.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
diagnosis kerja pada pasien adalaheritema multiforme mayor et cause
suspekparasetamol dan kapsida (Coriandri fructus, Cantella herba, Imperatae
rhizoma, Amomi fructus, Languatis rhizoma, Curcumae, Zingibeis, Burmani cortex,
Andrographidis herba) dengan diagnosis banding oleh karena herpes simplex
virus(HSV). Penatalaksanaan yang diberikan adalah rawat bersama bagian pediatri,
eliminasi obat yang dicurigai sebagai penyebab (parasetamol dan kapsida),
metilprednisolon injeksi intravena dengan dosis yang disarankan 14 mg setiap 8 jam
(atau sesuai dengan bagian pediatri), triamsinolon asetonid topikal tiap 12 jam pada
lesi erosi di bibir, kompres terbuka dengan NaCl 0,9% setiap 8 jam selama 15 menit
pada bibir dan genital. Disarankan untuk mengkonsulkan pasien ke bagian penyakit
mata dan dilakukan pemeriksaan radiologi foto thoraks serta rencana dilakukan cek
serologi HSV I.
Keluarga pasien diberi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) mengenai
eritema multiforme mayor, kemungkinan penyebabnya, perlunya rawat inap,
perawatan yang diberikan serta pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk
menunjang diagnosis.
Diagnosis bagian pediatri adalah urtikaria akut et cause suspek parasetamol dan
kapsida didiagnosis banding Sindrom Stevens Johnson dengan gizi baik.
Penatalaksanaan yang diberikan adalah rawat inap, IVFD NS 18 tetes makro/menit,
metilprednisolon injeksi intravena 20 mg setiap 6 jam (2 mg/kg/BB/hari), ranitidin ½
tablet 150 mg setiap 8 jam intraoral serta kompres hangat bila demam.

6
Diagnosis dari bagian penyakit mata konjungtivitis okuli dekstra et sinistra et
cause virus didiagnosis banding dengan alergi. Penatalaksanaan yang diberikan
polimiksin eye drop1 tetes setiap 4 jam okuli dekstra et sinistra, eye fresh eye drop 1
tetes setiap 4 jam okuli dekstra et sinistra dan rawat poliklinis.

Pengamatan lanjutan I (Hari ke-9)


Pengamatan hari ke-9 pada tanggal 11 Mei 2016, dari anamnesis didapatkan bercak
kemerahan mulai berkurang dan mengering,Bercak kulit baru tidak ada.Luka pada
bibir masih ada dan mulai mongering.Keluhan mata merah sudah berkurang.Luka
pada kelamin masih ada. Nyeri pada saat buang air kecil masih dirasakan oleh pasien.
Makan dan minumpasien baik.Demam tidak ada.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos
mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 76x/menit, respirasi 24x/menit, suhu
aksiler 37oC, Visual Analog Score1. Status generalis pasien didapatkan dalam batas
normal.
Status dermatologi pada regio fasialis (Gambar 9) tampak makula
hiperpigmentasi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,4x0,7-0,8x0,9 cm.
Pada regio labialis tampak erosi multipel, bentuk geografika, ukuran 0,5x0,8-0,8x1,2
cm beberapa lokasi ditutupi krusta coklat kehitaman. Pada regio thoraks anterior dan
posterior, abdomen serta ekstremitas superior dan inferior (Gambar 10-13) tampak
makula eritema multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,6x0,9-1,5x2 cm
beberapa konfluen membentuk geografika dengan ukuran 2x3-3x5 cm. Didapatkan
juga lesi target, berbatas tegas dengan ukuran diameter 0,3-1,2 cm. Pada regio
genitalia (Gambar 14) tampak erosi multipel, bentuk geografika dengan ukuran
0,3x0,4-0,6x0,7 cm.

7
9 10 11

12 13 14
Gambar 1. Tampaklesi makula hiperpigmentasi multipel pada regio fasialis, erosi multipel
pada regio labialis dan hiperemia serta sekret pada kedua mata.
Gambar10-13. Tampak lesi makula eritema multipel yang beberapa berkonfluen dan lesi
target pada regio thoraks anterior dan posterior, abdomen, ekstremitas superior dan inferior.
Gambar 14. Tampaklesi erosi multipel pada regio genitalia

Pemeriksaan radiologis foto thoraks anteroposterior tidak didapatkan


gambaran atau tanda infeksi pneumonia. Hasil pemeriksaan anti-HSV I IgM negatif
(nilai normal negatif). Pasien didiagnosis kerjafollow uperitema multiforme mayoret
cause suspek parasetamol dan kapsida (Coriandri fructus, Cantella herba, Imperatae
rhizoma, Amomi fructus, Languatis rhizoma, Curcumae, Zingibeis, Burmani cortex,
Andrographidis herba) hari rawat ke-9 membaik. Penatalaksanaan yang diberikan
adalah metilprednisolon injeksi intravena 20 mg setiap 8 jam hari ke-I (sesuai dengan
bagian pediatri), triamsinolon asetonid topikal tiap 12 jam pada lesi erosi di bibir,
kompres terbuka dengan NaCl 0,9% setiap 8 jam selama 15 menit pada bibir dan
genital. Keluarga pasien diberi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) mengenai

8
perkembangan kondisi pasien, perawatan yang diberikan di rumah sakit serta hasil
pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.
Diagnosis bagian pediatri adalah Sindrom Stevens Johnson et cause suspek
parasetamol dan kapsida membaik didiagnosis banding dengan eritema multiforme
mayor. Penatalaksanaan yang diberikan adalah IVFD NS 18 tetes makro/menit,
metilprednisolon injeksi intravena ditappering menjadi 20 mg setiap 8 jam,
perawatan lesi dengan kompres NaCl 0,9% dan obat topikal sesuai dengan bagian
kulit dan kelamin, perawatan mata dilanjutkan.

PEMBAHASAN
Eritema multiforme (EM) pertama kali dideskripsikan dengan istilah eritema
eksudativum multiforme oleh Ferdinand von Hebra pada tahun 1866 sebagai kondisi
mukokutaneus akut yang dapat sembuh sendiri dan seringkali berulang, ditandai oleh
lesi kulit terutama pada ekstremitas, dengan lesi target konsentris yang khas pada
kulit dan membran mukosa.4,11 Penyakit ini dapat mengenai semua usia terutama
pada usia remaja dan dewasa muda, telah dilaporkan predisposisi gen tertentu pada
pasien EM dimana 66% memiliki alel HLA-DQB1. Kejadian EM didapatkan lebih
banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 3 banding 2. 1,9 Kasus
yang ditemukan berkisar antara 1-6 per 1.000.000 orang per tahun, namun insiden
yang sesungguhnya tidak diketahui karena laporan yang didapatkan sebagian besar
hanya mencakup kasus berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dikatakan
kejadian EM minor lebih sering dibandingkan EM mayor namun banyak erupsi kulit
yang lain seringkali disalahartikan sebagai EM.1
EM diperkirakan terjadi akibat reaksi hipersensitivitas terhadap infeksi dan
obat-obatan tertentu, di mana sekitar 90% kasus EM berhubungan dengan infeksi. 2,3,4
Penyebab terbanyak adalah infeksi herpes simplex virus (HSV) yang meliputi sekitar
50-70% kasus sehingga diklasifikasikan sebagai subtipe tersendiri yaitu herpes-
associated erythema multiforme (HAEM). Infeksi HSV merupakan penyebab utama
EM yang bersifat rekuren dan keduanya sering terjadi bersamaan. 5,6,12 Riwayat
keluhan yang sama sebelumnya ditemukan pada sepertiga kasus dan dapat membantu

9
penegakan diagnosis, selain itu keluhan yang muncul dalam 3 minggu sebelumnya
harus ditelusuri untuk membuktikan keterlibatan agen pencetus tertentu. 1
Penyebab lain EM terkait infeksi adalah Mycoplasma pneumoniae, virus orf,
virus Epstein-Barr, virus varisela zoster, virus hepatitis B dan C, parvovirus B19,
sitomegalovirus, serta infeksi jamur dan parasit. 1,6 EM jugadapat terjadi akibat
imunisasi, obat-obatan, penyakit autoimun, radiasi dan menstruasi, serta idiopatik
pada kasus yang tidak dapat dideteksi keterkaitannya dengan infeksi HSV maupun
penyebab lain.1,4,5Obat merupakan penyebab yang jarang pada EM, sebagian literatur
melaporkan yang berhubungan dengan obat harus dipertimbangkan kemiripannya
dengan penyakit lain seperti erupsi urtikaria anular atau makulopapuler dengan
beberapa lesi menyerupai lesi target. Obat yang paling sering mengakibatkan EM
adalah antibiotik terutama golongan sulfa dan beta laktam, antikonvulsan fenitoin dan
karbamazepin, alopurinol, obat anti inflamasi nonsteroid serta obat anti diabetik
oral.Belum ada data mengenai jangka waktu mulai dari dikonsumsinya obat hingga
terjadinya EM, namun beberapa penelitian dan laporan kasus melaporkan bahwa
gejala EM mulai timbul antara 2 hingga 20 hari setelah obat dikonsumsi. 7,13,14
Pada Kasus EM mayor ini didapatkan pada seorang anak perempuan berusia
10 tahun yang belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Anamnesis
penelusuran penyebab pada pasien ditemukan adanya demam dan riwayat
mengkonsumsi parasetamol dan obat herbal kapsida (Coriandri fructus, Cantella
herba, Imperatae rhizoma, Amomi fructus, Languatis rhizoma, Curcumae, Zingibeis,
Burmani cortex, Andrographidis herba).Tidak didapatkan keluhan batuk, pilek
ataupun sesak sebelumnya.Tidak ada riwayat pengolesan minyak atau ramuan
tradisional sebelumnya.Pasien maupun keluarganya tidak memiliki riwayat
mengalami bintil berair pada daerah bibir maupun pada kelamin sebelumnya. Dari
hasil anamnesis terhadap pasien belum didapatkan kecurigaan EM akibat infeksi
HSV maupun M. peneumoniaenamun hal tersebut sebaiknya dikonfirmasi dari
keadaan klinis pasien serta pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan serologi serta
radiologi foto thoraks.

10
Dasar mekanisme terjadinya EM telah diteliti secara luas dan telah dapat
membuktikan bahwa patogenesis melalui reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang
diperantarai oleh sel T.1,2,5Terjadinya EM diawali dengan transpor antigen oleh
prekursor sel Langerhans kemudian diekspresikan di keratinosit yang selanjutnya
mendatangkan sel Th1 yang mengakibatkan dihasilkan TNF-α(tumor necrosis factor
α) yang memulai kaskade inflamasi sehingga menyebabkan kerusakan
epidermis.1,2,12,15
Manifestasi klinis EM dapat bervariasi mulai dari EM minor yang bersifat
ringan tanpa keterlibatan membran mukosa atau keterlibatan minimal seperti pada
bibir dan EM mayor yang bersifat lebih berat, luas, progresif, disertai keterlibatan
mukosa pada dua lokasi atau lebih.1,2 Klasifikasi lainnya adalah HAEM yang telah
dijelaskan sebelumnya dan EM mukosa yang disebut juga sebagai sindrom Fuchs
atau ektodermosis pluriorifisialis yang ditandai dengan adanya lesi membran mukosa
tanpa keterlibatan kutaneus.1,6,12
Lesi tipikal awal berupa papul atau plak yang berbentuk bulat dan sangat
teratur, berukuran mulai dari beberapa milimeter hingga 3 cm. Seiring dengan
berjalannya waktu, aktivitas inflamasi berkurang pada bagian tengah sehingga
berubah warna menjadi keunguan dan nekrotik atau berubah menjadi vesikel dan
bula.1,2,5 Hasilnya adalah lesi target atau iris klasik dengan gambaran tiga komponen
konsentris, yaitu (1) piringan atau vesikel berwarna gelap pada bagian tengah; (2)
cincin pucat pada bagian yang lebih tepi; serta (3) halo eritema. 1,2,4 Karakteristik EM
selain lesi target tipikal adalah lesi atipikal meninggi yang hanya terdiri dari dua
cincin dengan bagian tengah berwarna lebih gelap dan dikelilingi oleh batas yang
eritema.1,3,15 Adanya bermacam-macam gambaran klinis sebuah lesi EM memberikan
nama multiforme pada penyakit ini.1,2
Gejala prodromal jarang dijumpai pada EM, biasanya bersifat ringan berupa
batuk, rinitis, demam derajat ringan, lemas, nyeri kepala atau nyeri sendi. 1,6,15 Erupsi
kulit pada EM dapat muncul secara tiba-tiba dan sebagian besar muncul secara
simetris, dengan distribusi akral pada permukaan ekstensor ekstremitas (tangan, kaki,
siku, dan lutut), wajah dan leher, dan lebih jarang pada paha, bokong, dan badan.

11
Telapak tangan dan telapak kaki dapat juga terkena. 1,2,15Jumlah lesi EM dapat
bervariasi mulai dari sangat sedikit hingga ratusan.Lesi biasanya asimtomatis
walaupun dapat pula dikeluhkan terasa panas maupun gatal. 1,4,13,16
Lesi mukosapada pasien EM sekitar 70% pasien berupa erosi, vesikel, bula
maupun lesi target.Sebagian besar terbatas pada rongga mulut dengan lokasi
predileksi pada bibir, bagian gusi yang tidak melekat dengan gigi dan bagian ventral
lidah.1,2,16Erosi pada mulut dapat sangat nyeri diikuti dengan terbentuknya krusta
coklat kehitaman dan menyebabkan gangguan makan.Mukosa mata juga sering
terlibat dalam EM, dimulai dengan nyeri dan konjungtivitis bilateral yang dapat
disertai vesikel dan erosi sementara mukosa lain yang dapat terlibat meliputi hidung,
uretra, dan anus.1,6,16
Gejala klinis EM mayor yang didapatkan pada pasien berupabercak
kemerahan pada wajah dan seluruh tubuh semenjak 3 hari yang lalu.Bercak yang
muncul tidak disertai rasa gatal maupun nyeri. Selain itu juga terdapat keterlibatan 3
mukosa yaitu erosi multipel pada bibir yang terasa nyeri sehingga pasien sulit untuk
makan dan minum, konjungtiva hiperemia disertai adanya sekret dan erosi multipel
pada genitalia pasien yang mengakibatkan pasien merasa nyeri saat buang air kecil.
Selain itu Pasien juga mengalami demamsejak 5 hari yang lalu.Keluhan pada kulit
dan mukosa didahului oleh gejala prodormal berupa demam dan lemas.Pemeriksaan
fisik didapatkan keadaan umum pasien sedang, kesadaran kompos mentis, temperatur
aksila 38,3oC, Visual Analog Scale 1 dan tanda vital lain dalam batas normal.
Pemeriksaan fisik lain ditemukan dalam batas normal. Pada status dermatologis pada
daerah thorakalis dan ekstremitas superior inferior pasien didapatkan lesi targetberupa
purpura multiple yang atipikal yang meninggi pada bagian tengahnya dengan
lingkaran kosentrismenyerupai gambaran dua cincin dimana pada bagian tengah
berwarna keunguan atau lebih gelap sementara bagian tepi cenderung eritema dengan
ukuran diameter 0,3-1,2 cm.
Diagnosa EM mayor dapat ditegakkan secara klinisberdasarkan anamnesis
dan gambaran lesi yang khas disertai minimal keterlibatan 2 mukosa.1,6,16 Diagnosis
banding yang perlu dipertimbangkan pada kecurigaan EM mayor adalah sindrom

12
Stevens-Johnson (SSJ).5,8Tahun 1993 Bastuji-Garin et al mendefinisikan suatu
konsensus yang membedakan EM dari SSJ, serta menegaskan pembagian spektrum
keduanya, yaitu (1) EM yang terdiri dari EM minor dan mayor serta (2) SSJ, overlap
SSJ/nekrolisis epidermal toksik (NET) dan NET.1,2,17Konsensus yang dipakai hingga
sekarang tersebut mendefinisikan EM sebagai detachment kurang dari 10% luas
permukaan tubuh disertai lesi target tipikal atau lesi atipikal meninggi yang
terlokalisasi, sedangkan SSJ didefinisikan sebagai detachment kurang dari 10% luas
permukaan tubuh disertai penyebaran secara luas makula keunguan atau eritematosa,
atau lesi target atipikal yang datar.2,17Tidak didapatkan konsensus yang menyebutkan
bahwa EM minor dapat berkembang menjadi EM mayor, maupun EM mayor menjadi
SSJ atau NET.17 Pertimbangan utama EM perlu dibedakan dengan SSJ adalah karena
SSJ berisiko berkembang menjadi NET yang dapat mengancam nyawa serta perlu
penghentian segera obat yang dicurigai sebagai penyebab.1
Biopsi kulit dan pemeriksaan laboratorium berguna apabila diagnosis tidak
dapat ditegakkan secara klinis, untuk menyingkirkan diagnosis banding serta untuk
menentukan penyebab EM.Biopsi tidak diperlukan apabila gambaran klinis telah jelas
karena gambaran histopatologi EM tidak spesifik dan biopsi tidak dapat membedakan
EM dengan SSJ.1,5,16Hasil biopsi kulit sangat tergantung pada morfologi klinis dan
durasi keberadaan lesi pada area dimana spesimen diambil (pada area tengah atau tepi
lesi), biopsi dari area edematosa pada lesi target menunjukkan edema dermis, bagian
tengah lesi target menunjukkan nekrosis keratinosit dan perubahan epidermis. 15 Tidak
ada pemeriksaan laboratorium spesifik untuk EM. Kasus EM yang lebih berat dapat
dijumpai leukositosis sedang, peningkatan laju endap darah, kadar protein fase akut
serta aminotransferase hati.1
Pada kasus inididapatkan lesi target berupa purpura multiple yang atipikal
yang meninggi pada bagian tengahnya dengan detachmentkurang dari 10% disertai
keterlibatan 3 mukosa. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis kerja
pasien adalah EM mayor.Biopsi kulit tidak perlu dilakukan karena dapat didiagnosis
berdasarkan gejala klinis.Pemeriksaan laboratorium pada pasien didapatkan dalam
batas normal.

13
Penelusuran penyebab EM diutamakan pada beberapa etiologi yang sering,
yaitu dengan mengidentifikasi riwayat herpes berulang dan pemeriksaan penunjang
untuk mendeteksi infeksi HSV, riwayat konsumsi obat, serta pemeriksaan untuk
mendeteksi infeksi M. pneumoniae.1 Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi
IgM dan IgG spesifik HSV-1 dan HSV-2 maupun pemeriksaan polymerase chain
reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA HSV pada lesi HAEM dapat mengkonfirmasi
kecurigaan adanya infeksi HSV, walaupun tidak wajib dilakukan dalam penegakan
diagnosis. Hasil negatif dari tes serologi HSV dapat membantu menyingkirkan
kemungkinan HAEM.1,9,18
Infeksi M. Pneumonia sebagai penyebab EM didapatkan gejala batuk,
takipneu dan hipoksia serta perludilakukan pemeriksaan penunjang berupa radiografi
dada, uji PCR dari hapusan tenggorokan dan tes serologi bisa dikerjakan walaupun
keterkaitan dengan M. pneumoniae seringkali sulit dibuktikan.1 Penelusuran riwayat
penyebab sangat penting pada kasus EM rekuren sebagai pertimbangan pencegahan
dengan terapi supresi antivirus jangka panjang terutama apabila tidak terdapat bukti
klinis yang berkaitan dengan herpes. Apabila obat yang dicurigai penyebab EM perlu
ditelusuri riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu, terutama obat-obatan yang
berisiko menimbulkan EM seperti antibiotik terutama golongan sulfa dan beta
laktam, antikonvulsan fenitoin dan karbamazepin, alopurinol, obat anti inflamasi
nonsteroid serta obat anti diabetik oral. Tes tempel dapat dikerjakan untuk
mengkonfirmasi obat sebagai penyebab EM. 1,7
Pada kasus dilakukan pemeriksaan penunjang berupa tes serologi pada pasien
yang menunjukkan hasil negatif pada antibodi IgM HSV-1 sehingga diduga bahwa
kasus ini tidak berkaitan dengan infeksi HSV-1.Pemeriksaan radiologi foto toraks
pada pasien tidak menunjukkan adanya gambaran atau tanda infeksi pneumonia, hal
tersebut juga ditunjang oleh klinis sehingga diagnosis pneumonia maupun penyebab
oleh M. pneumoniae dapat disingkirkan walaupun deteksi pastinya memerlukan
konfirmasi dengan pemeriksaan PCR dari hapusan tenggorokan. Pada kasus EM
mayor yang terjadididuga diakibatkan obat karena didapatkan riwayat minum obat
parasetamol dan kapsida yang dapat menyebabkan terjadi EM, meskipun memerlukan

14
pemeriksaan yang lebih lanjut seperti tes tempel untuk memastikan penyebabnya
adalah obat.
Parasetamol merupakan obat non streroid anti inflamasi digunakan sebagai
penurun demam dan sering digunakan karena mudah didapatkan juga karena
harganya yang murah.19 Obat ini dapat menginduksi terjadinya reaksi alergi obat
seperti EM maupun SSJ, penting ditelusuri riwayat mengkonsumsi obat dimana pada
EM dari beberapa penelitian dan laporan kasus melaporkan bahwa gejala EM mulai
timbul 2 hingga 20 hari semenjak obat dikonsumsi. 7,13,14,19 Obat herbal didefinisikan
sebagai bahan baku atau sediaan yang berasal dari tumbuhan yang memiliki efek
terapi bagi kesehatan manusia. Komposisi bahan herbal berupa bahan mentah atau
bahan yang telah melewati proses lanjut yang dapat diproduksi melalui proses
ekstraksi, fraksinasi, purifikasi atau proses fisika maupun biologi lainnya. Badan
pengawasan obat dan makanan (BPOM) sendiri telah mengklasifikasikan 3 macam
sediaan obat herbal yaitu sediaan jamu yang telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman, obat herbal terstandar (OHT) yang telah dilakukan uji
praklinik dan bahan baku telah distandarisasi serta fitofarmaka yang telah melewati
uji klinis pada manusia dan telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang
digunakan.20,21,22 Kapsida sendiri termasuk obat herbal sediaan jamu yang kegunaan
dan manfaatnya berdasarkan pengalaman turun temurun.Erupsi kulit akibat obat pada
pasien dapat dicurigai apabila muncul erupsi kulit selama proses menkonsumsi obat-
obatan tertentu maupun pernah memiliki riwayat konsumsi obat dalam jangka waktu
tertentu, obat herbal sendiri dapat dicurigai dan ditelusuri dari riwayat obat-obatan
yang telah dikonsumsi pasien pada saat reaksi erupsi kulit tersebut tampak.21,22,23
Pada kasus pasien memiliki riwayat mengkonsumsi parasetamol dan kapsida
(Coriandri fructus, Cantella herba, Imperatae rhizoma, Amomi fructus, Languatis
rhizoma, Curcumae, Zingibeis, Burmani cortex, Andrographidis herba) beberapa hari
sebelum muncul lesi di kulit dan mukosa. Lesi pada kulit serta mukosa membaik
setelah eliminasi obat yang dicurigai sebagai pencetus.
Penatalaksanaan EM yang terutama adalah mengeliminasi faktor penyebab,
baik infeksi maupun obat.Langkah pertama adalah mengobati penyakit infeksi yang

15
dicurigai atau menghentikan obat penyebab. 3,15,16 Pemberian antivirus pada kasus
HAEM dapat digunakan sebagai terapi supresi untuk mencegah EM yang rekuren,
namun terbukti tidak bermanfaat apabila diberikan pada episode HAEM
pascaherpes.1,11Infeksi M. pneumoniae yang bersifat simtomatis harus diterapi dengan
antibiotik, yaitu golongan makrolid pada anak dan dewasa atau golongan kuinolon
pada dewasa.7,13Pada kasus EM mayor ini dicurigai disebabkan obatmaka konsumsi
obat harus dihentikan.
Penatalaksanaan EM tergantung dari tingkat keparahan lesi. 18 Kasus yang
diindikasikan untuk rawat inap antara lain EM minor dengan keterlibatan lesi oral
yang cukup berat sehingga menyebabkan gangguan makan, EM mayor, kecurigaan ke
arah SSJ atau EM dengan gejala konstitusional berat.1 Terapi yang diberikan adalah
perawatan luka, analgesik topikal, cairan intravena atau diet cair, antihistamin oral
dan steroid topikal.18 Kortikosteroid sistemik telah banyak diteliti sebagai terapi
adjuvan karena efek imunosupresan yang dimilikinya bermanfaat pada reaksi
hipersensitivitas yang terjadi pada EM walaupun penggunaannya pada EM masih
kontroversial akibat komplikasi yang dapat ditimbulkannya. 3,4
Penggunaan kortikosteroid sistemik digunakan pada lesi yang luas, sedangkan lesi
sedikit diterapi dengan steroid topikal. 3,15Pemberian kortikosteroid sistemik
direkomendasikan sedini mungkin dengan dosis awal yang tinggi, dalam jangka
waktu yang pendek serta segera diturunkan dengan tappering yang sesuai untuk
mengurangi risiko terjadinya komplikasi.Efek negatif yang terjadi dari pemberian
kortikosteroid sistemik diperkirakan karena pemberiannya yang terlambat, dosis yang
terlalu rendah dan dalam periode yang terlalu lama. 3,4 Regimen yang dianjurkan
berbeda pada beberapa literatur, yaitu 0,5-1 mg/kg/hari prednison atau
metilprednisolon 1 mg/kg/hari selama 3 hari dan tapering dalam 7-10 hari hingga 4
minggu.4,16
Lesi EM klasik dapat sembuh sendiri kurang dari 4 minggu sejak onset
penyakit, pada sebagian besar kasus EM mengalami penyembuhan sempurna dan
tidak meninggalkan jaringan parut maupun sekuele, walaupun perubahan warna kulit
pasca inflamasi dapat menetap selama beberapa bulan setelah penyakit sembuh. 1,13

16
Pada kasus penatalaksanaan yang diberikanrawat bersama bagian pediatri,
eliminasi obat yang dicurigai sebagai penyebab (parasetamol dan kapsida), IVFD NS
18 tetes makro/menit, metilprednisolon injeksi intravena 20 mg setiap 6 jam oleh
bagian pediatri (2 mg/kg/BB/hari), ranitidin ½ tablet 150 mg setiap 8 jam intraoral
serta kompres hangat bila demam, triamsinolon asetonid topikal tiap 12 jam pada lesi
erosi di bibir, kompres terbuka dengan NaCl 0,9% setiap 8 jam selama 15 menit pada
bibir dan genital. Selain itu disarankan untuk mengkonsulkan pasien ke bagian
penyakit mata dan dilakukan pemeriksaan radiologi foto thoraks serta rencana
dilakukan cek serologi HSV I.
Hasil pengamatan selama 14 hari didapatkan perbaikan klinis pada lesi kulit
berupalesiyang mengering dan beberapa menjadi lesi hiperpigmentasi serta tidak
ditemukan lesi baru.Lesi mukosa pada bibir, mata dan genital juga sudah membaik,
serta tidak didapatkan komplikasi sehingga pasien dapat dirawat poliklinis.
PadaPasien baru pertama kali mengalami EM mayor dimana memiliki risiko
rekurensi yang kecil karena EM yang diderita pasien terkait dengan penggunaan obat,
namun pasien dan keluarga pasien tetap diberi komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE) pentingnya menghindari faktor pencetus EM yaitu obat yang dapat
mengakibatkan terjadinya rekurensi pada pasien.

SIMPULAN
Dilaporkan suatu kasus EM mayor pada seorang anak perempuan berusia 10 tahun
yang diduga disebabkan oleh obat parasetamol dan kapsida.Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta ditunjang dengan pemeriksaan
serologi dan foto toraks radiologi.Pada kasus dari anamnesis didapatkan riwayat
mengkonsumsi obat beberapa hari sebelum munculnya lesi, sementara dari
pemeriksaan fisik didapatkan lesi targetatipikalmeninggi yang disertai keterlibatan 3
mukosa (mata, bibir dan genitalia). Pasien dirawat inap dan diberi terapi cairan
intravena, kortikosteroid sistemik berupa metilprednisolon, triamsinolon
asetonidtopical pada lesi di bibir dan kompres NaCl 0,9% pada bibir dan
genitalia.Hasil pengamatan pada pasien menunjukkan perbaikan klinis pada lesi kulit

17
dan tidak didapatkan adanya komplikasi sehingga pasien dapat dirawat
poliklinis.Prognosis pada kasusadalah dubius ad bonam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Roujeau JC. Erythema Multiforme. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general
medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p.431-9.
2. Bajaj P, Sabharwal R, PK Mohammed R, Garg D, Kapoor C. Erythema
multiforme: classification and immunopathogenesis. J Adv Med Dent Scie 2013;
1(2):40-7.
3. Chan M, Goldman RD. Erythema multiforme in children: the steroid debate. Can
Fam Physician 2013; 59:635-6.
4. Michaels B, Del Rosso JQ. The role of systemic corticosteroid therapy in
erythema multiforme major and Stevens-Johnson syndrome: a review of past and
current opinions. JCAD 2009; 2(3): 51-5.
5. Lamoreux MR, Sternbach MR, Hsu WT. Erythema multiforme. Am Fam
Physician 2006; 74(11): 1883-8.
6. Osterne RLV, Brito RGM, Pacheco IA, Alves PNN, Sousa FB. Management of
erythema multiforme associated with recurrent herpes infection: a case report.
JCDA 2009; 75(8): 597-601.
7. Joseph TI, Vargheese G, George D, Sathyan P. Drug induced oral erythema
multiforme: A rare and less recognized variant of erythema multiforme. J Oral
Maxillofac Pathol 2012; 16(1): 145-8.
8. Auquier-Dunant A, Mockenhaupt M, Naldi L, Correia O, Schröder W, Roujeau
JC. Correlations between clinical patterns and causes of erythema multiforme
majus, Stevens-Johnson syndrome, and toxic epidermal necrolysis: results of an
international prospective study. Arch Dermatol 2002; 138(8):1019-24.
9. Kamala KA, Ashok L, Annigeri RG. Herpes associated erythema multiforme.
Contemp Clin Dent 2011; 2(4): 372–5.
10. Anonim. Register Rawat Inap dan Rawat Jalan Instalasi Rekam Medis Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar 2012-2014.
11. Labreze CL, Lamireau T, Chawki D, Maleville J, Taieb A. Diagnosis,
Classification and Management of Erythema Multiforme and Steven-Johnson
Syndrome. Arch Dis Child 2000; 83:347-52.
12. Fam AG, Dunne SM, Lazzetta J, Paton TW. Efficacy and Safety of
Desensitization to Allopurinol Following Cutaneous Reaction. Am College of
Rheum 2001; 44(1):231-8.
13. Isik SR, Karakaya G, Erkin G, Kalyoncu AF. Multidrug-induced erythema
multiforme. J Investig Allergol Clin Immunol 2007; 17(3):196-8.

18
14. Shah SN, Chauhan GR, Manjunatha BS, Dagrus K. Drug Induced Erythema
Multiforme: Two case series with review of literature. Journal of Clinical and
Diagnostic Research 2014; 8(9):1-4.
15. Kumar A, Edward N, White MI, Johnston PW, Catto GRD. Allopurinol,
Erythema Multiforme and Renal Insufficiency. BMJ 1996; 312:173-4.
16. Simbli MA. Erythema multiforme: challenging diagnosis for internist. J Clin
Case Rep 2013; 3: 285-7.
17. Sokumbi O, Wetter DA. Clinical Features, Diagnosis and Treatment of Erythema
Multiforme: a review for the practicing dermatologist. International Journal of
Dermatology 2012; 51:889-902.
18. Sharma A, Singh HP, Kaur P, Gupta I. Management of erythema multiforme
secondary to herpes simplex by systemic acyclovir and topical corticosteroid: a
case report. RRJDS 2013 1(3): 45-9.
19. Rajput R, Shagari S, Durgavanshi A. Paracetamol Induced Steven-Johnson
Syndrome: A Rare Case Report. Contemp Clin Dent. 2015 Sep; 6(Suppl 1):
S278–S281.
20. WHO, 2005. National Policy on Traditional Medicine and Regulation of Herbal
Medicine, Report of a WHO global survey, Geneva.
21. WHO, 2001. Legal Status of Traditional Medicine and Complementary
Alternative Medicine: A Worldwide Review Geneva.
22. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 2012 Tentang
Registrasi Obat Tradisional.
23. Lee A, Thomson J, Drug Induced Skin Reactions. Adverse Drug Reactions. 2nd
edition. Pharmaceutical Press 2006.

19

Anda mungkin juga menyukai