Kusta Pkm. Word
Kusta Pkm. Word
TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT KUSTA
5.1 Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut
juga Morbus Harsen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman. Kusta
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Leprae. Kusta
menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini
adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran
pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.
Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan
pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata (Kemenkes RI 2015).
5.2 Epidemiologi
1. Distribusi penyakit kusta menurut geografi
Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di dunia yang terlapor di
WHO pada awal tahun 2012 adalah jumlah kasus baru kusta di dunia
pada tahun 2011 sekitar 219.075. dari jumlah tersebut paling banyak
terdapat di regional Asia tenggara (160.132) diikuti regional Amerika
(36.832), regional Afrika (12.673) dan sisanya berada di regional lain
di dunia (Kemenkes, 2012).
2. Distribusi menurut waktu
Dari grafik berikut ini dapat dilihat bahwa jumlah penderita kusta
terbanyak terdapat di provinsi Jawa Timur baik tahun 2011-2013
dengan pnurunan 1.152 kasus, sedangkan provinsi yang
mengalami kenaikan jumlah penderita dalam kurun waktu 2011-
2013 terdapat di provinsi Banten sebanyak 202 kasus.
Grafik 4 Proporsi dan Tren Penderita Kusta Baru di Dua belas (12)
Provinsi Tahun 2011-2013 (Kemenkes RI 2015)
Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Provinsis dengan proporsi kusta terbanyak berjenis kelamin laki-
laki yaitu Jawa Timur (23,25%), Jawa Barat (13,50%) dan Jawa
Tengah (10,82%).
Tabel 3 Kasus Baru Kusta Menurut Jenis Kelamin per Provinsi Tahun
2013 (Kemenkes RI 2015)
5.3 Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh G.A. Hansen pada tahun 1873 di Norwegia. M. leprae hidup intraseluler
dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (schwan cell) dan sel dari
sistem retikulo endothelial. Waktu pembelahan sangat lama 2-3 minggu. Di
luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal
dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta
pada tikus suhu 27-300C (Kemenkes, 2012)
Mycobacterium, berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai, namun
jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol
sehingga dinamakan sebagai basil “tahan asam”(Kemenkes RI 2015).
Sumber penularan sampai saat ini hanya manusia (Kemenkes, 2012).
Cara penularan melalui kontak kulit dan inhalasi. Kuman kusta mempunyai
masa inkubasi rata-rata 2,5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun.
Penularan terjadi M.leprae yang hidup keluar dari tubuh pasien dan masuk ke
dalam tubuh orang lain. Penjamu sedikit orang yang akan terjangkit kusta
setelah kontak dengan pasien kusta, hal ini disebabkan adanya kekebalan
tubuh (Kemenkes, 2012).
5.4 Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit kusta yang terdiri dari berbagai tipe bentuk yaitu (Kosasih, 2007):
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline Tuberculoid
BB : Mid Borderline
BL : Borderline Lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
PB MB
Distribusi Unilateral atas bilateral Bilateral simetris
asimetris
5.5 Patogenesis
Cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui secara
pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering adalah
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui
mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor
imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang
rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang virulen dan
nontoksis (Kemenkes RI 2012).
M.leprae merupakan bakteri obligat intraselular yang terutama terdapat
pada makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel
Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh,
maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag berasal sel monosit
darah, sel mononuclear, histiosit untuk memfagositnya (Kemenkes RI 2012).
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas seluler tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah
semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid
yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia
Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi yang
berlebihan dan massa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan
jaringan sekitarnya(Kemenkes RI 2012).
Reaksi imunitas pasien terhadap kuman M. leprae adalah elemen
penting dalam menentukan hasil akhir dari infeksi. Pasien tuberkuloid mampu
membentuk granuloma dengan baik yang berisi sel T helper, sedangkan
pasien lepromatosa sangat buruk dalam membentuk granuloma dan
didominasi sel T suppressor. Profil sitokin pada lesi tuberkoloid sama dengan
cell-mediated immunity(CMI) yang masih baik dengan adanya IFN-Ɣ dan IL-
2. Pada pasien lepromatosa, sitokin tersebut berkurang dan didominasi oleh
IL-4, IL-5, dan IL-10 (sitokin yang mengatur penurunan CMI dan
meningkatkan fungsi supresor dan produksi antibody). Walaupun pada
pasien lepromatosa, respon CMI terhadap M. leprae menurun, tetapi pasien
ini imunnya tidak tersupresi untuk agen infeksius yang lain (Kemenkes RI
2012).
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di
samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas
regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif
(Kemenkes RI 2012).
5.6 Manifestasi Klinis
Kelainan saraf tepi
Ada lima tipe kelainan saraf tepi yang umumnya terdapat pada pasien
lepra (Kosasih, 2007) :
a. Pembesaran nervus (biasanya asimetri), terutama yang dekat
dengan permukaan kulit antara lain : n.ulnaris, n.auricularis,
n.radialis, n.peroneus, n.tibialis posterior.
b. Gagguan sensorik pada lesi di kulit
c. Neuropati, sering dengan gangguan sensorik dan motorik.
d. Stocking-glove pattern Sensory Impairment (SGPSI), kerusakan
pada C-fibers termasuk saraf yang membedakan panas dan dingin
ataupun raba yang dimulai dari akral yang meluas sampai ke
telapak.
e. Anhidrosis pada telapak atau punggung tangan oleh karena
gangguan saraf simpatis.
2. Pemeriksaan histopatologi
Salah satu tugas makrofag adalah memfagositosis. Kalau ada
kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada Sistem Imunitas
Seluler (SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu
memfagosit M. leprae. Adanya massa epiteloid yang berlebihan yang
dikelilingi limfosit disebut tuberkel. Pada penderita dengan SIS rendah,
histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada di
dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel
Virchow atau sel lepra atau sel busa (Kemenkes, 2012).
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit
dan non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat subepidrmal clear zone,
yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya
tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe
borderline terdapat campuran unsur-unsur tersebut (Kemenkes, 2012).
3. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi kusta didasarkan atas terbentuknya
antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi M. leprae. Antibodi
yang terbentuk bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 Kd dan 35
kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.
tuberculosis (Kemenkes, 2012).
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah untuk membantu
diagnosa kusta yang meragukan, membantu menentukkan kusta
subklinis karena tidak didapatkan lesi kulit.Macam-macam
pemeriksaan serologic kusta (Kemenkes, 2012):
Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
Uji ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay)
ML dipstick test (Mycobacterium Leprae dipstick)
ML flow test (Mycobacterium Leprae flow test)
5.9 Diagnosis Banding
Pada awal munculnya penyakit kusta memberikan gambaran yang
memiliki kemiripan dengan penyakit kulit lainnya. Diperlukannya diagnosa
banding sangat dibutuhkan pada awal munculnya bercak di kulit.
Diagnosa banding dari kusta adalah sebagai berikut:
1. Bercak merah
– Psoriasis
Bercak merah berbatas tegas dengan sisik berlapis-lapis.
– Dermatitis seboroik
Lesi di daerah seboroik (berminyak) dengan sisik kuning
berminyak, gatal, kronis, residif.
2. Bercak putih
– Vitiligo
Pigmen kulit hilang total, lesi hipopigmentasi
– Pitiriasis versikolor
Lesi berupa makula hipopigmentasi berbatas tegas dengan
skuama halus, terasa gatal
– Pitiriasis alba
Makula berbentuk bundar atau oval dengan sisik, rasa raba
normal.
3. Nodul
– Neurofibromatosis
Bercak coklat muda berbatas tegas yang sering timbul sejak lahir.
Nodus dan tumor bertangkai pada usia yang lebih lanjut, tersebar
luas. Pemeriksaan BTA negatif.
– Sarkoma Kaposi
Nodus lunak berwarna biru keunguan, lokalisata (terutama pada
kaki). Pemeriksaan BTA negatif
– Veruka vulgaris
Papul dengan permukaan yang kasar (Kemenkes RI 2012).
5.10 Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah
memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, dan mencegah
timbulnya cacat (Kemenkes, 2012)
Diberikan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy):
1. Pausibasilar
Dewasa
Pengobatan bulanan (hari pertama), diminum di depan petugas
(dosis supervisi)
Rifampicin 600 mg (2 kapsul @300 mg)
DDS 100 mg (1 tablet)
Pengobatan harian (hari 2-28 hari)
DDS 100mg (1 tablet)
Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulan (1 blister 1
bulan) dan diselesaikan dalam waktu maksimal 9 bulan.Setelah
selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment).
Setelah RFT, tetap dilakukan pemeriksaan klinis dan bakteriologis
minimal setiap tahun selama 2 tahun. Kalau tidak ada keaktifan baru
secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC
(Release From Control)(Kemenkes RI 2012).
2. Multibasilar
Dewasa
Pengobatan bulanan hari pertama, diminum di depan petugas (dosis
supervisi)
Rifampicin 600 mg (2 kapsul @300 mg)
Lamprene 300 mg (3 tablet @100 mg)
DDS 100 mg (1 tablet)
Pengobatan harian (hari ke 2-28)
Lamprene 50 mg (1 tablet)
DDS 100 mg (1 tablet)
Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 bulan (1 blister 1
bulan) dan diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan (Kemenkes,
2012). Setelah RFT, tetap dilakukan pemeriksaan klinis dan
bakteriologis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau tidak ada
keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka
dinyatakan RFC (Release From Control) (Kemenkes RI 2012).
5.11 Preventif
Pengobatan pada penderita kusta adalah salah satu cara pemutusan
mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48
jam dan ada yang berpendapat hingga 7-9 hari, tergantung dari suhu dan
cuaca di luar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepat
kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke
dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada
beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak
dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui
ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke puskesmas untuk diobati.
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian
dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar
kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh.
Jadi faktor pengobatan amat penting dimana kusta dapat dihancurkan,
sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan
penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada
penderita untuk berobat secara teratur. Dengan demikian penting sekali agar
petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi
penyuluhan kusta berisikan pengajaran bahwa :
a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b. Sekurang-kurangya 80% dari semua orang tidak mungkin terkena
kusta
c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6
bulan secara teratur
e. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat
fisik
Salah satu masalah yang menghambat upaya penanggulangan kusta
adalah adanya stigma yang melekat pada penyakit kusta dan orang yang
mengalami kusta bahkan keluarganya. Stigma adalah pandangan negatif dan
perlakuan diskriminatif terhadap orang yang mengalami kusta, sehingga
menghambat upaya orang yang pernah terkena kusta dan keluarganya untuk
menikmati kehidupan sosial yang wajar seperti individu lainnya. Dalam
kehidupan sehari-hari, perlakuan diskriminatif dapat terjadi dalam hal
kesempatan mencari lapangan pekerjaan, beribadah dirumah-rumah ibadah,
menggunakan kendaraan umum, mendapatkan pasangan hidup, dan lain-
lain. Keadaan ini berdampak negatif secara psikologis bagi mereka, yang
mengakibatkan self stigma, frustasi, bahkan upaya bunuh diri. Dari sisi
penanggulangan penyakit, stigma kusta dapat menyebabkan seseorang yang
sudah terkena kusta enggan berobat karena takut keadaannya diketahui oleh
masyarakat sekitarnya. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan berlanjutnya
mata rantai penularan kusta, timbulnya kecacatan pada yang bersangkutan,
sehingga terjadilah lingkaran setan yang tak terselesaikan.
5.12 Prognosis
Kusta bisa menyebabkan kecacatan, namun bisa dicegah jika dikenali
dan diobati dini. Kecacatan merupakan istilah luas yang maknanya
mencakup setiap kerusakan, pembatasan aktivitas yang mengenai
seseorang. Tiap pasien baru yang ditemukan harus dicatat tingkat cacatnya.
Penyakit kusta dapat menyebabkan kecacatan namun proses
terajdinya tidak sepenuhnya diketahui. ada 2 jenis cacat kusta yaitu :
1. Cacat primer disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit terutama
kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae seperti
anestesi, claw hand dan kulit kering
2. Cacat sekunder terjadi akibat cacat primer terutama akibat adanya
kerusakan saraf seperti ulkus dan kontraktur
Proses terjadi cacat kusta
Terjadi cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak.
Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses :
- Infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan organ
(misalnya : mata)
- Melalui reaksi kusta
5.13 Komplikasi
Exposure keratitis (karena lagoftalmos)
Kontraktur (karena kerusakan saraf perifer)
Dermatitis statis dan ulkus tungkai (karena insufisiensi vena)
(Kemenkes RI 2012)
5.14 Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
yang sangat kronis. Reaksi kusta merupakan reaksi hipersensitivitas, yaitu
hipersensitivitas seluler (reaksi tipe 1/reaksi reversal), saat terjadinya
peningkatan cellular-mediated immunity (CMI) atau hipersensitivitas humoral
(reaksi tipe 2/eritema nodusumleprosum). Bila reaksi tidak didiagnosis dan
diobati secara cepat dan tepat maka maka dapat berakibat merugikan
pasien. Jika reaksi mengenai saraf tepi akan menyebabkan gangguan fungsi
saraf yang akhirnya dapat menyebabkan cacat(Kemenkes RI 2012).
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi
selama atau setelah pengobatan. Penyebab pasti terjadinya reaksi masih
belum jelas. Diperkirakan sejumlah faktor pencetus memegang peranan
penting.
Tabel 6 Faktor Pencetus Reaksi tipe 1 dan tipe 2 (Kemenkes RI 2012)
Membesar, Membesar,
Membesar, Membesar,
tidak nyeri, tidak nyeri,
nyeri, fungsi nyeri, fungsi
Saraf Tepi fungsi saraf fungsi saraf
saraf saraf
tidak tidak
mengganggu terganggu
terganggu terganggu
Gejala konstitusi Demam: - Demam: ± Demam: ± Demam: +
Iridocyclitis,
Gangguan organ orchitis,
- - -
lain nephritis,
limfadenitis
5.15 Manajemen Reaksi Kusta
Manajemen pada reaksi kusta ini termasuk manajemen dengan
medikamentosa maupun non medikamentosa. Sebelum penanganan terlebih
dulu dilakukan identifikasi tipe reaksi dan derajat reaksinya. Hal ini dinilai dari
kesimpulan pemeriksaan formulir pencatatan pencegahan cacat (POD),
seperti :
Adanya lagoftalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir
Adanya nyeri raba saraf tepi
Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir
Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir
Adanya bercak pecah atau nodul pecah
Adanya bercak aktif (meradang) dia atas lokasi saraf tepi(Kemenkes
RI 2012)
3 Pemberian Prednison:
1. 2 minggu pertama: 40mg/hari (1x8tab) pagi sesudah makan.
2. 2 minggu kedua: 30mg/hari (1x6tab) pagi sesudah makan
3. 2 minggu ketiga: 20mg/hari (1x4tab) pagi sesudah makan
4. 2 minggu keempat: 15mg/hari (1x3tab) pagi sesudah makan
5. 2 minggu kelima: 10mg/hari (1x2tab) pagi sesudah makan
6. 2 minggu keenam: 5mg/hari (1x1tab) pagi sesudah makan