Anda di halaman 1dari 30

BAB 5

TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT KUSTA

5.1 Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut
juga Morbus Harsen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman. Kusta
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Leprae. Kusta
menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini
adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran
pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.
Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan
pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata (Kemenkes RI 2015).

5.2 Epidemiologi
1. Distribusi penyakit kusta menurut geografi
Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di dunia yang terlapor di
WHO pada awal tahun 2012 adalah jumlah kasus baru kusta di dunia
pada tahun 2011 sekitar 219.075. dari jumlah tersebut paling banyak
terdapat di regional Asia tenggara (160.132) diikuti regional Amerika
(36.832), regional Afrika (12.673) dan sisanya berada di regional lain
di dunia (Kemenkes, 2012).
2. Distribusi menurut waktu

Selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru kusta pada


tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000
penduduk. Sedangkan angka prevalensi kusta berkisar antara 0,79
hingga 0,96 per 10.000 (7,9 hingga 9,6 per 100.000 penduduk) dan
telah mencapai target < 1 per 10.000 penduduk atau < 10 per 100.000
penduduk dan mengalami penurunan dari tahun 2011 sebanyak 3.167
jiwa, terlihat pada grafik berikut(Kemenkes RI 2015).
Grafik 1 Jumlah dan Tren Kasus Baru Kusta Tahun 2011-2013

Sumber : (Kemenkes RI 2015)


Sedangkan pada anak, selama periode 2008-2013, angka
penemuan kasus baru pada tahun 2012 merupakan yang tertinggi
yaitu sebesar 11,40 per 100.000 penduduk. Terlihat pada grafik
berikut.
Grafik 2 Tren Proporsi dan Kasus Baru Kusta pada Anak 0-14 Tahun
2011-2013

Sumber : (Kemenkes RI 2015)

Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu


beban kusta tinggi (high burden) dan beban kusta rendah (low
burden). Provinsi disebut high burden jika NCDR (New Case
Detection Rate: angka penemuan kasus baru)> 10 per 100.000
penduduk dan atau jumlah kasus baru lebih dari 1.000, sedangkan
low burden jika NCDR < 10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah
kasus baru kurang dari 1.000 kasus(Kemenkes, 2015).
Berdasarkan tabel 1 diantara tahun 2011-2013 terlihat bahwa
sebanyak 14 provinsi (42,4%) termasuk dalam beban kusta tinggi.
Sedangkan 19 provinsi lainnya (57,6%) termasuk dalam beban
kusta rendah. Hampir seluruh provinsi di bagian timur Indonesia
merupakan daerah dengan beban kusta tinggi (Kemenkes, 2015).
Tabel 1 Jumlah Kasus Baru Kusta dan NCDR per 100.000 Penduduk per
Provinsi Tahun 2011-2013 (Kemenkes RI 2015)

Sedangkan pada anak beban kusta tinggi terdapat di 11 provinsi


pada tahun 2011, 14 provinsi pada tahun 2012, dan 13 provinsi
pada tahun 2013, hampir seluruhnya di provinsi bagian barat
Indonesia.
Tabel 2 Proporsi dan Kasus Baru Kusta pada Anak per Provinsi
Tahun 2011-2013 (Kemenkes RI 2015)
Dari grafik 3 terlihat bahwa kasus baru kusta terbanyak di provinsi
Jawa Timur (4.132 jiwa), Jawa Barat (2.180 jiwa), Jawa Tengah
(1.765 jiwa), Papua (1.180 jiwa) dan Sulawesi Selatan (1.172 jiwa).
Grafik 3 Kasus Baru Kusta Tahun 2013 Menurut Provinsi (Kemenkes RI
2015)

Dari grafik berikut ini dapat dilihat bahwa jumlah penderita kusta
terbanyak terdapat di provinsi Jawa Timur baik tahun 2011-2013
dengan pnurunan 1.152 kasus, sedangkan provinsi yang
mengalami kenaikan jumlah penderita dalam kurun waktu 2011-
2013 terdapat di provinsi Banten sebanyak 202 kasus.
Grafik 4 Proporsi dan Tren Penderita Kusta Baru di Dua belas (12)
Provinsi Tahun 2011-2013 (Kemenkes RI 2015)
Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Provinsis dengan proporsi kusta terbanyak berjenis kelamin laki-
laki yaitu Jawa Timur (23,25%), Jawa Barat (13,50%) dan Jawa
Tengah (10,82%).
Tabel 3 Kasus Baru Kusta Menurut Jenis Kelamin per Provinsi Tahun
2013 (Kemenkes RI 2015)

3. Distribusi menurut faktor manusia


a. Etnik atau suku
Dalam suatu negara atau wilayah yang sama kondisi
lingkungannya, didapatkan bahwa faktor etnik mempengaruhi
distribusi tipe kusta (Kemenkes, 2012).
b. Faktor sosial ekonomi
Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi maka kejadian kusta
sangat cepat menurun bahkan hilang (Kemenkes, 2012).
c. Distribusi meurut umur
Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antar bayi
sampai usia lanjut (3minggu samapai lebih dari 70 tahun). Namun
terbanyak adalah pada usia muda dan produktif (Kemenkes, 2012)
d. Distribusi menurut jenis kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan
laporan, sebagian besar negara didunia kecuali Afrika menujukan
laki-laki lebih banyak terserang dari pada permepuan (Kemenkes,
2012).
4. Distribusi menurut jenis kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan,


sebagian besar negara didunia kecuali Afrika menujukan laki-laki lebih
banyak terserang dari pada permepuan (Kemenkes, 2012). Pria
memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Provinsis dengan proporsi kusta terbanyak berjenis kelamin laki-laki
yaitu Jawa Timur (23,25%), Jawa Barat (13,50%) dan Jawa Tengah
(10,82%) (Kemenkes RI, 2015)

5.3 Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh G.A. Hansen pada tahun 1873 di Norwegia. M. leprae hidup intraseluler
dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (schwan cell) dan sel dari
sistem retikulo endothelial. Waktu pembelahan sangat lama 2-3 minggu. Di
luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal
dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta
pada tikus suhu 27-300C (Kemenkes, 2012)
Mycobacterium, berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai, namun
jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol
sehingga dinamakan sebagai basil “tahan asam”(Kemenkes RI 2015).
Sumber penularan sampai saat ini hanya manusia (Kemenkes, 2012).
Cara penularan melalui kontak kulit dan inhalasi. Kuman kusta mempunyai
masa inkubasi rata-rata 2,5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun.
Penularan terjadi M.leprae yang hidup keluar dari tubuh pasien dan masuk ke
dalam tubuh orang lain. Penjamu sedikit orang yang akan terjangkit kusta
setelah kontak dengan pasien kusta, hal ini disebabkan adanya kekebalan
tubuh (Kemenkes, 2012).

5.4 Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit kusta yang terdiri dari berbagai tipe bentuk yaitu (Kosasih, 2007):
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline Tuberculoid
BB : Mid Borderline
BL : Borderline Lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan


tipe yang stabil, berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga dengan LL
yang merupakan tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%, juga
merupakan tipe yang stabil jadi tidak mungkin berubah. Sedangkan tipe Ti
dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50%
tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran yang
ini adalah tipe yang labil, yang artinya dapat dengan bebas berubah tipe, baik
kearah TT maupun LL (Kosasih, 2007).
Pada tahun 1982, ahli WHO mengembangkan klasifikasi untuk
memudahkan pengobatan dilapangan. Dalam klasifikasi ini, kusta hanya
dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasilar (PB) dan tipe Multibasilar (MB).
Multibasilar adalah tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling
dengan Indeks Bakteri lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe TT
dan BT dengan IB kurang dari 2+. Dasar klasifikasi ini adalah gambaran klinis
dan hasil pemeriksaan BTA melalui pemeriksaan kerokan jaringan kulit
(Kosasih, 2007).
Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi penyakit kusta menurut WHO
adalah sebagai berikut :
Tabel 4 Tanda Utama Kusta pada tipe PB dan MB (Kemenkes RI 2012)
Tanda utama PB MB
Bercak kusta Jumlah 1-5 Jumlah >5
Penebalan saraf tepi disertai Hanya 1 saraf Lebih dari 1
gangguan fungsi (mati rasa dan saraf
atau kelemahan otot, di daerah
yang dipersarafi saraf yang
bersangkutan)

Kerokan jaringan kulit BTA negatif BTA positif


Bila salah satu dari tanda utama MB ditemukan, maka pasien
diklasifikasikan sebagai kusta MB.
Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi
penyakit kusta adalah sebagai berikut :
Tabel 4 Tanda Lain Untuk Klasifikasi Kusta (Kemenkes RI 2012)

PB MB
Distribusi Unilateral atas bilateral Bilateral simetris
asimetris

Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap


Batas bercak Tegas Kurang tegas
Mati rasa pada bercak Jelas Biasanya kurang jelas
Deformitas Proses terjadi lebih Terjadi pada tahap lanjut
cepat

Ciri-ciri khas - Madarosis, hidung


pelana, wajah singa
(facies Leonina),
ginekomastia pada laki-
laki

Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th

5.5 Patogenesis
Cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui secara
pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering adalah
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui
mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor
imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang
rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang virulen dan
nontoksis (Kemenkes RI 2012).
M.leprae merupakan bakteri obligat intraselular yang terutama terdapat
pada makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel
Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh,
maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag berasal sel monosit
darah, sel mononuclear, histiosit untuk memfagositnya (Kemenkes RI 2012).
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas seluler tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah
semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid
yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia
Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi yang
berlebihan dan massa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan
jaringan sekitarnya(Kemenkes RI 2012).
Reaksi imunitas pasien terhadap kuman M. leprae adalah elemen
penting dalam menentukan hasil akhir dari infeksi. Pasien tuberkuloid mampu
membentuk granuloma dengan baik yang berisi sel T helper, sedangkan
pasien lepromatosa sangat buruk dalam membentuk granuloma dan
didominasi sel T suppressor. Profil sitokin pada lesi tuberkoloid sama dengan
cell-mediated immunity(CMI) yang masih baik dengan adanya IFN-Ɣ dan IL-
2. Pada pasien lepromatosa, sitokin tersebut berkurang dan didominasi oleh
IL-4, IL-5, dan IL-10 (sitokin yang mengatur penurunan CMI dan
meningkatkan fungsi supresor dan produksi antibody). Walaupun pada
pasien lepromatosa, respon CMI terhadap M. leprae menurun, tetapi pasien
ini imunnya tidak tersupresi untuk agen infeksius yang lain (Kemenkes RI
2012).
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di
samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas
regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif
(Kemenkes RI 2012).
5.6 Manifestasi Klinis
Kelainan saraf tepi
Ada lima tipe kelainan saraf tepi yang umumnya terdapat pada pasien
lepra (Kosasih, 2007) :
a. Pembesaran nervus (biasanya asimetri), terutama yang dekat
dengan permukaan kulit antara lain : n.ulnaris, n.auricularis,
n.radialis, n.peroneus, n.tibialis posterior.
b. Gagguan sensorik pada lesi di kulit
c. Neuropati, sering dengan gangguan sensorik dan motorik.
d. Stocking-glove pattern Sensory Impairment (SGPSI), kerusakan
pada C-fibers termasuk saraf yang membedakan panas dan dingin
ataupun raba yang dimulai dari akral yang meluas sampai ke
telapak.
e. Anhidrosis pada telapak atau punggung tangan oleh karena
gangguan saraf simpatis.

Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit


mengalami bercak putih seperti panu pada awalnya hanya sedikit, tetapi
lama kelamaa semakin lebar dan banyak, adanya bintil-bintil kemerahan
yang tersebar pada kulit, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa
kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, muka berbenjol-
benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa), dan mati rasa
karena kerusakan saraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru
sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak
kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan jari
tak terasa sakit(Kemenkes RI 2015).
Kusta terkenal sebagai penyakit yang paing ditakuti karena deformitas
atau cacat tubuh. Namun pada tahap awal kusta, gejala yang timbul dapat
hanya berupa kelainan warna kulit. Kelainan kulit yang dijumpai dapat berupa
perubahan warna seperti hipopigmentasi (warna kulit menjadi lebih terang),
hiperpigmentasi (warna kulit menjadi lebih gelap) dan eritematosa
(kemerahan pada kulit). Gejala-gejala umum pada kusta, reaksi panas dari
derajat yang rendah sampai dengan menggigil, anoreksia, nausea, kadang
disertai vomitus, cephalgia, kadang disertai iritasi, orchitis dan pleuritis,
kadang disertai nephrosia, nepritis dan hepatospleenomegali, neuritis.
Kelompok yang beresiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal
didaerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang
tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan
adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan
sistem imun (Kemenkes RI 2015).
5.7 Diagnosis
Diagnosa kusta dapat ditegakkan bila ada 1 atau lebih tanda kardinal,
yaitu(Kemenkes RI 2012).:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau
meninggi (plak). Mati rasa total atau sebagian pada bercak. Terhadap
raba, suhu, dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi dengan gangguan saraf
Gejala penebalan saraf tepi dengan gangguan saraf dapat disertai
rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena. Pada kelainan saraf bisa dilakukan palpasi dengan
tujuan:
a. Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan membesar atau tidak.
b. Pembesaran regular (smooth) atau irregular, bergumpal
c. Perabaan keras atau kenyal
d. Nyeri atau tidak
Tes fungsi saraf juga diperlukan, yaitu
a. Sensoris (raba, nyeri, dan suhu)
b. Tes otonom dengan tes Gunawan dan tes pilocarpin
c. Tes motoris dengan Voluntary Muscle Test (VMT) dengan tujuan
melihat gerakan pasien baik atau dengan bantuan dan juga lihat
ketahanannya
3. Ditemukan kuman M.leprae (BTA) pada hapusan kulit cuping telinga
dan lesi kulit pada bagian yang aktif
Bila tidak atau belum ditemukan tanda kardinal maka hanya bisa
mengatakan tersangka kusta dan perlu diamati 3-6 bulan(Kemenkes RI
2012).
5.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dibutuhkan untuk menunjang diagnosa
antara lain :
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat
dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara
lain dengan Ziehl Neelsen. Cara pengambilan bahan yaitu dengan
menggunakan skalpel steril. Pertama-tama desinfeksi lesi yang akan
diperiksa kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi
iskemik. Lalu diiris sampai dermis melampaui subepidermal clear zone
agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel
Virchow (sel lepra). Kerokan jaringan tersebut kemudian dioleskan di
object glass, difiksasi di atas api lalu diwarnai dengan pewarnaan Ziehl
Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti
orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae (Kemenkes, 2012)
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak
merah pada sediaan. Dibedakan menjadi batang utuh (solid), batang
terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah basil
hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan basil mati.
Secara teori penting untuk membedakan antara bentuk solid dan non
solid, berarti membedakan yang hidup dengan yang mati, sebab
bentuk yang hidup itulah yang lebih berbahaya, karena dapat
berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain (Kemenkes,
2012).
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut RIDLEY (Kemenkes, 2012)
0 : tidak ada BTA dalam 100 Lapangan Pandang (LP)
1+ : 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ : 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ : 1 – 10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ : 11 – 100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ : 101 – 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ : > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid
dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. Rumusnya
(Kemenkes, 2012):

Syarat perhitungan (Kemenkes, 2012)


– Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
– IB 1+ tidak perlu dibuat IM nya
– Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM nya

2. Pemeriksaan histopatologi
Salah satu tugas makrofag adalah memfagositosis. Kalau ada
kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada Sistem Imunitas
Seluler (SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu
memfagosit M. leprae. Adanya massa epiteloid yang berlebihan yang
dikelilingi limfosit disebut tuberkel. Pada penderita dengan SIS rendah,
histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada di
dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel
Virchow atau sel lepra atau sel busa (Kemenkes, 2012).
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit
dan non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat subepidrmal clear zone,
yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya
tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe
borderline terdapat campuran unsur-unsur tersebut (Kemenkes, 2012).
3. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi kusta didasarkan atas terbentuknya
antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi M. leprae. Antibodi
yang terbentuk bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 Kd dan 35
kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.
tuberculosis (Kemenkes, 2012).
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah untuk membantu
diagnosa kusta yang meragukan, membantu menentukkan kusta
subklinis karena tidak didapatkan lesi kulit.Macam-macam
pemeriksaan serologic kusta (Kemenkes, 2012):
 Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
 Uji ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay)
 ML dipstick test (Mycobacterium Leprae dipstick)
 ML flow test (Mycobacterium Leprae flow test)
5.9 Diagnosis Banding
Pada awal munculnya penyakit kusta memberikan gambaran yang
memiliki kemiripan dengan penyakit kulit lainnya. Diperlukannya diagnosa
banding sangat dibutuhkan pada awal munculnya bercak di kulit.
Diagnosa banding dari kusta adalah sebagai berikut:
1. Bercak merah
– Psoriasis
Bercak merah berbatas tegas dengan sisik berlapis-lapis.
– Dermatitis seboroik
Lesi di daerah seboroik (berminyak) dengan sisik kuning
berminyak, gatal, kronis, residif.
2. Bercak putih
– Vitiligo
Pigmen kulit hilang total, lesi hipopigmentasi
– Pitiriasis versikolor
Lesi berupa makula hipopigmentasi berbatas tegas dengan
skuama halus, terasa gatal
– Pitiriasis alba
Makula berbentuk bundar atau oval dengan sisik, rasa raba
normal.
3. Nodul
– Neurofibromatosis
Bercak coklat muda berbatas tegas yang sering timbul sejak lahir.
Nodus dan tumor bertangkai pada usia yang lebih lanjut, tersebar
luas. Pemeriksaan BTA negatif.
– Sarkoma Kaposi
Nodus lunak berwarna biru keunguan, lokalisata (terutama pada
kaki). Pemeriksaan BTA negatif
– Veruka vulgaris
Papul dengan permukaan yang kasar (Kemenkes RI 2012).
5.10 Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah
memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, dan mencegah
timbulnya cacat (Kemenkes, 2012)
Diberikan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy):
1. Pausibasilar
Dewasa
Pengobatan bulanan (hari pertama), diminum di depan petugas
(dosis supervisi)
 Rifampicin 600 mg (2 kapsul @300 mg)
 DDS 100 mg (1 tablet)
Pengobatan harian (hari 2-28 hari)
 DDS 100mg (1 tablet)
Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulan (1 blister 1
bulan) dan diselesaikan dalam waktu maksimal 9 bulan.Setelah
selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment).
Setelah RFT, tetap dilakukan pemeriksaan klinis dan bakteriologis
minimal setiap tahun selama 2 tahun. Kalau tidak ada keaktifan baru
secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC
(Release From Control)(Kemenkes RI 2012).
2. Multibasilar
Dewasa
Pengobatan bulanan hari pertama, diminum di depan petugas (dosis
supervisi)
 Rifampicin 600 mg (2 kapsul @300 mg)
 Lamprene 300 mg (3 tablet @100 mg)
 DDS 100 mg (1 tablet)
Pengobatan harian (hari ke 2-28)
 Lamprene 50 mg (1 tablet)
 DDS 100 mg (1 tablet)
Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 bulan (1 blister 1
bulan) dan diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan (Kemenkes,
2012). Setelah RFT, tetap dilakukan pemeriksaan klinis dan
bakteriologis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau tidak ada
keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka
dinyatakan RFC (Release From Control) (Kemenkes RI 2012).

Gambar : MDT http://www.who.int/lep/mdt/en/

5.11 Preventif
Pengobatan pada penderita kusta adalah salah satu cara pemutusan
mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48
jam dan ada yang berpendapat hingga 7-9 hari, tergantung dari suhu dan
cuaca di luar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepat
kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke
dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada
beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak
dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui
ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke puskesmas untuk diobati.
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian
dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar
kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh.
Jadi faktor pengobatan amat penting dimana kusta dapat dihancurkan,
sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan
penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada
penderita untuk berobat secara teratur. Dengan demikian penting sekali agar
petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi
penyuluhan kusta berisikan pengajaran bahwa :
a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
b. Sekurang-kurangya 80% dari semua orang tidak mungkin terkena
kusta
c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6
bulan secara teratur
e. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat
fisik
Salah satu masalah yang menghambat upaya penanggulangan kusta
adalah adanya stigma yang melekat pada penyakit kusta dan orang yang
mengalami kusta bahkan keluarganya. Stigma adalah pandangan negatif dan
perlakuan diskriminatif terhadap orang yang mengalami kusta, sehingga
menghambat upaya orang yang pernah terkena kusta dan keluarganya untuk
menikmati kehidupan sosial yang wajar seperti individu lainnya. Dalam
kehidupan sehari-hari, perlakuan diskriminatif dapat terjadi dalam hal
kesempatan mencari lapangan pekerjaan, beribadah dirumah-rumah ibadah,
menggunakan kendaraan umum, mendapatkan pasangan hidup, dan lain-
lain. Keadaan ini berdampak negatif secara psikologis bagi mereka, yang
mengakibatkan self stigma, frustasi, bahkan upaya bunuh diri. Dari sisi
penanggulangan penyakit, stigma kusta dapat menyebabkan seseorang yang
sudah terkena kusta enggan berobat karena takut keadaannya diketahui oleh
masyarakat sekitarnya. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan berlanjutnya
mata rantai penularan kusta, timbulnya kecacatan pada yang bersangkutan,
sehingga terjadilah lingkaran setan yang tak terselesaikan.
5.12 Prognosis
Kusta bisa menyebabkan kecacatan, namun bisa dicegah jika dikenali
dan diobati dini. Kecacatan merupakan istilah luas yang maknanya
mencakup setiap kerusakan, pembatasan aktivitas yang mengenai
seseorang. Tiap pasien baru yang ditemukan harus dicatat tingkat cacatnya.
Penyakit kusta dapat menyebabkan kecacatan namun proses
terajdinya tidak sepenuhnya diketahui. ada 2 jenis cacat kusta yaitu :
1. Cacat primer disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit terutama
kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae seperti
anestesi, claw hand dan kulit kering
2. Cacat sekunder terjadi akibat cacat primer terutama akibat adanya
kerusakan saraf seperti ulkus dan kontraktur
Proses terjadi cacat kusta
Terjadi cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak.
Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses :
- Infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan organ
(misalnya : mata)
- Melalui reaksi kusta

Tabel 5 Tingkat cacat kusta menurut WHO (Kemenkes RI 2012)

Tingka Mata Telapak tangan/kaki


t
0 Tidak ada kelainan pada Tidak ada cacat akibat kusta
mata akibat kusta
1 Ada kerusakan karena kusta Anestesi, kelemahan otot (tidak
(anestesi pada kornea, tetapi ada cacat/keruakan yang
gangguan visus tidak berat, kelihatan akibat kusta)
visus> 6/60, masih dapat
menghitung jari dari jarak 6
meter)
2 Ada lagoftalmos, iridosiklitis, Ada cacat/kerusakan yang
opasitas pada kornea, serta kelihatan akibat kusta misalnya
gangguan visus berat (visus ulkus, jari kiring, kaki semper
<6/60, tidak mampu
menghitung jari dari jarak 6
meter)

5.13 Komplikasi
 Exposure keratitis (karena lagoftalmos)
 Kontraktur (karena kerusakan saraf perifer)
 Dermatitis statis dan ulkus tungkai (karena insufisiensi vena)
(Kemenkes RI 2012)
5.14 Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
yang sangat kronis. Reaksi kusta merupakan reaksi hipersensitivitas, yaitu
hipersensitivitas seluler (reaksi tipe 1/reaksi reversal), saat terjadinya
peningkatan cellular-mediated immunity (CMI) atau hipersensitivitas humoral
(reaksi tipe 2/eritema nodusumleprosum). Bila reaksi tidak didiagnosis dan
diobati secara cepat dan tepat maka maka dapat berakibat merugikan
pasien. Jika reaksi mengenai saraf tepi akan menyebabkan gangguan fungsi
saraf yang akhirnya dapat menyebabkan cacat(Kemenkes RI 2012).
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi
selama atau setelah pengobatan. Penyebab pasti terjadinya reaksi masih
belum jelas. Diperkirakan sejumlah faktor pencetus memegang peranan
penting.
Tabel 6 Faktor Pencetus Reaksi tipe 1 dan tipe 2 (Kemenkes RI 2012)

Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2


Pasien dengan bercak multipel Obat MDT, kecuali lampren
Bercak luas pada wajah dan lesi BI >4+
Saat puerperium (karena >> CMI), Kehamilan awal (karena stres
selama kehamilan trimester ke 3 mental), trimester ke 3 dan
(karena << CMI). Paling tinggi 6 puerperium (karena stres fisik),
bulan pertama setelah setiap masa kehamilam (karena
melahirkan/masa menyusui infeksi penyerta)
Infeksi penyerta : Hepatitis B dan C Infeksi penyerta : streptokokus,
virus
Neuritis atau riwayat nyeri saraf Stres fisik dan mental
Lain-lain seperti trauma, operasi
Reaksi kusta dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe 1 dan tipe 2
1. Reaksi tipe 1
Reaksi ini lebih bnayak terjadi pada pasien yang berada di spektrum
borderline karena merupakan tipe tidak stabil. Reaksi terjaditerutama
selama pengobatan karena adanya peningkatan hebat respons imun
selular secara tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya respons inflamasi
pada daerah kulit dan saraf dapat mengakibatkan kerusakan dan
kecacatan(Kemenkes RI 2012).
Gejala :
- Kulit : sebagian atau seluruh lesi yang ada bertambah aktif (lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, dan lesi eritema menjadi
makin eritematosa, atau lesi makula/bercak menjadi infiltrat atau
plakat, atau lesi plakat makin infiltratif, dan lesi lama menjadi
bertambah luas) dan timbul lesi baru dalam waktu relatif
singkat. Satu gejala sudah cukup untuk menegakkan diagnosa
reaksi kusta tipe 1.
- Saraf : neuritis akut berupa nyeri pada saraf (nyeri tekan atau
spontan) dan atau gangguan fungsi saraf.
- Kadang terjadi demam(Kemenkes RI 2012).
 Reaksi tipe 2
Terjadi pada pasien MB. Merupakan reaksi humoral berupa reaksi
antigen M. leprae dan antibodi pasien yang akan mengaktifkan
sistem komplemen sehingga terbentuk kompleks imun. Kompleks
imun akan menimbulkan respon inflamasi dan akan terdegradasi
dalam beberapa hari. Karena beredar di sirkulasi darah, kompleks
imun tersebut dapat mengendap ke berbagai organ, terutama pada
lokasi dimana M. leprae berada dalam konsentrasi tinggi.
Gejala :
- Kulit(ENL) : nodus, eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi
di lengan dan tungkai.
- Saraf (neuritis), limfonodus (limfadenitis), tulang (artritis), ginjal
(nefritis), dan testis (orkitis)(Kemenkes RI 2012).
Tabel 7 Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2 (Kemenkes RI 2012)
No Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
1 Tipe kusta Dapat terjadi pada Hanya pada kusta tipe
kusta tipe PB maupun MB
MB
2 Waktu timbulnya Biasanya segera Biasanya setelah
setelah pengobatan pengobatan yang lama
umumnya >6 bulan
3 Keadaan umum Umumnya baik, Ringan sampai berat
demam ringan (sub- disertai kelemahan
febris) atau tanpa umum dan demam
demam tinggi
4 Peradangan di Bercak kulit lama Timbul nodus
kulit menjadi lebih kemerahan, lunak, dan
meradang (merah), nyeri tekan. Biasanya
bengkak, berkilat, pada lengan dna
hangat. Kadang hanya tungkai. Nodus dapat
pada sebagian lesi. pecah
Dapat timbul bercak
baru
5 Saraf Sering terjadi, Dapat terjadi
umumnya berupa nyeri
saraf dan atau
gangguan fungsi saraf.
Silent neuritis (+)
6 Udem pada (+) (-)
ekstremitas
7 Peradangan pada Anestesi kornea dan Iritis, iridosiklitis,
mata lagoftalmos karena gleucoma, katarak
keterlubatan N. V dan
N. VII
8 Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada testis,
organ lain sendi, ginjal, kelenjar
getah bening

Tabel 8 Perbedaan reaksi ringan dan berat (Kemenkes RI 2012)


REAKSI TIPE I REAKSI TIPE II
GEJALA/TANDA
RINGAN BERAT RINGAN BERAT
Kulit Bercak putih Bercak putih Nodus, Nodus.
menjadi menjadi merah, merah, tebal,
merah/ merah/ panas, panas,
merah merah nyeri, dapat nyeri, sering
menjadi menjadi menjadi
menjadi semakin ulkus, ulkus, jumlah
semakin merah, jumlah banyak
merah, meninggi, sedikit
meninggi timbul bercak
baru, kadang
panas dan
malaise

Ulserasi (-) Ulserasi (+)


Edema Edema
tangan dan tangan dan
kaki (-) kaki (+)

Membesar, Membesar,
Membesar, Membesar,
tidak nyeri, tidak nyeri,
nyeri, fungsi nyeri, fungsi
Saraf Tepi fungsi saraf fungsi saraf
saraf saraf
tidak tidak
mengganggu terganggu
terganggu terganggu
Gejala konstitusi Demam: - Demam: ± Demam: ± Demam: +
Iridocyclitis,
Gangguan organ orchitis,
- - -
lain nephritis,
limfadenitis
5.15 Manajemen Reaksi Kusta
Manajemen pada reaksi kusta ini termasuk manajemen dengan
medikamentosa maupun non medikamentosa. Sebelum penanganan terlebih
dulu dilakukan identifikasi tipe reaksi dan derajat reaksinya. Hal ini dinilai dari
kesimpulan pemeriksaan formulir pencatatan pencegahan cacat (POD),
seperti :
 Adanya lagoftalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir
 Adanya nyeri raba saraf tepi
 Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir
 Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir
 Adanya bercak pecah atau nodul pecah
 Adanya bercak aktif (meradang) dia atas lokasi saraf tepi(Kemenkes
RI 2012)

1 Prinsip pengobatan reaksi ringan:


1. Berobat jalan, istirahat di rumah
2. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3. MDT tetap diberikan dengan dosis tetap
4. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

2 Prinsip pengobatan reaksi berat:


1. Istirahat
2. Pemberikan analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3. MDT tetap diberikan dengan dosis tetap
4. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
5. Memberikan obat anti reaksi (prednison, lampren)
6. Bila ada indikasi rawat inap, kirim pasien ke rumah sakit
(indikasi : ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu tubuh tinggi,
neuritis, reaksi tipe 1 dengan bercak ulserasi atau neuritis,
reaksi dengan komplikasi penyakit lain yang berat seperti
hepatitis, DM, hipertensi.
7. Reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan prednison dan
lampren

3 Pemberian Prednison:
1. 2 minggu pertama: 40mg/hari (1x8tab) pagi sesudah makan.
2. 2 minggu kedua: 30mg/hari (1x6tab) pagi sesudah makan
3. 2 minggu ketiga: 20mg/hari (1x4tab) pagi sesudah makan
4. 2 minggu keempat: 15mg/hari (1x3tab) pagi sesudah makan
5. 2 minggu kelima: 10mg/hari (1x2tab) pagi sesudah makan
6. 2 minggu keenam: 5mg/hari (1x1tab) pagi sesudah makan

Efek sampung pemakaian jangka panjang : gangguan cairan dan


elektrolis, hiperglikemi, mudah infeksi, perdarahan pada pasien tukak
lambung, osteoporosis, Cushing syndrome(Kemenkes RI 2012).

5.16 Contact Tracing


Saat ini, manajemen kusta di Indonesia termasuk contact tracing
dengan skrining pada anggota keluarga dan tetangga, biasanya dalam 3
bulan setelah ditetapkan terdiagnosa kusta. Keberhasilan program contact
tracing dinilai dengan memantau proporsi indeks pasien yang sudah di
contact tracing (Index Patient Coverage, IPC), serta proporsi pasien yang
baru didiagnosa (Contact Examination Coverage, CEC) (Smith & Aerts 2014).
Pada tahun 2012, program contact tracing di perkenalkan di Sampang,
Jatim. Program ini telah diimplementasikan untuk 2 tahun pertama dan
dimasukkan dalam layanan kusta rutin pada tahun ke tiga. Rifampisin dosis
tunggal (RDT) diberikan pada orang yang terdeteksi (Contacts of Index
Patients) yaitu anggota rumah tangga, tetangga, atau kontak sosial sedikitnya
20 jam interaksi per minggu. Program ini bertujuan untuk melacak dan
mengobati rata-rata 20 kontak per indeks pasien (Smith & Aerts 2014).
Setelah kontak potensial teridentifikasi, petugas kesehatan
memperoleh informed consent dari indeks pasien dan orang yang terdeteksi,
kemudian melakukan skrining kusta dan diberikan kemoprofilaksis sesuai
kebutuhan. Di Sampang, Contact Tracing menghasilkan IPC 78% dengan
95% telah menerima kemoprofilaksis, hal ini menunjukkan bahwa program
tersebut telah berhasil (Smith & Aerts 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Kosasih A, I M Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi.


2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kelima. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta

Kementerian Kesehatan RI, 2012. Pedoman Nasional Program


Pengendalian Kusta. Bakti Husada.Jakarta
Kementerian Kesehatan RI, 2015. Kusta, Jakarta: Infodatin
Smith, C.& Aerts, A., 2014. Role of contact tracing and prevention
strategies in the interruption of leprosy transmission. Lepr Rev,
85, pp.2-17.
Victoria P Wert. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine
7th. McGraw- Hill Company Inc.

Anda mungkin juga menyukai