Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Shivering
Shivering adalah aktifitas otot yang bersifat involunter atau
berulang-ulang untuk meningkatkan produksi metabolisme panas. Pasien
yang tidak mengalami shivering dapat disebabkan karena tidak mengalami
hipotensi atau penurunan suhu tubuh setelah mendapatkan anestesi spinal.
Hipotensi merupakan salah satu efek dari penggunaan obat anestesi.
Menggigil terjadi jika suhu di daerah preoptik hipotalamus lebih rendah
dari suhu permukaan tubuh. Peningkatan tonus otot yang yang terjadi
didaerah formasi reticular mesenfalitik, dorsolateral pons dan formasi
reticular medulla. Menggigil dapat terjadi akibat hipotermi operatif, nyeri
pasca operatif, pengaruh langsung obat anestesi, hipercapni atau alkolosis
respiratori, adanya pirogen, hipoksia, pemulihan awal dari aktivitas reflek
spinal dan overaktivitas simpatis (Alfonsi, P. 2009).
Shivering merupakan masalah yang sering dijumpai sehubungan
dengan tindakan anestesi, baik anestesi regional maupun anestesi umum.
Setelah pemberian anestesi spinal, shivering biasanya terjadi pada periode
intra operasi sampai dengan masa pasca operasi. Angka kejadiannya
sangat bervariasi antara 5% sampai dengan 65%, pada shivering
menyebabkan efek fisiologi yang sangat merugikan seperti vasokontriksi
perifer, kompensasi kebutuhan oksigen yang meningkat sampai 5 kali
meningkatkan produksi karbon dioksida, menurunkan oksigen saturasi
arteri, metabolisme obat menurun, mengganggu terbentuknya faktor
pembekuan, menurunnya respon imun, gangguan penyembuhan luka,
meningkatnya pemecahan protein dan iskemik otot jantung (Alfonsi, P.
2009).
Keadaan shivering membuat tidak nyaman bagi pasien, karena
tubuh akan berusaha beradaptasi keadaan tersebut dengan cara
meningkatkan metabolisme sampai 200-500%, peningkatan konsumsi
oksigen yang signifikan (sampai 400%), peningkatan produksi CO,
meningkatkan hipoksemia arteri, asidosis laktat, meningkatkan tekanan
intra okuler, meningkatkan tekanan intrakranial, menyebabkan artefak
pada monitor dan meningkatnya nyeri pasca bedah akibat tarikan luka
operasi. Hipoksemia paska operasi terjadi karena adanya penurunan
tekanan oksigen arterial pada anestesi umum, hal ini terjadi setelah
anestesi berlangsung lebih dari 20 menit (Lunn JN, 2009).
Shivering intra operasi akan menurunkan ambang menggigil
sampai suhu inti yang mengakibatkan hipotermi pada jam pertama atau
setelah dilakukan spinal analgesi makin tinggi blokade dilakukan maka
makin besar suhu inti tubuh dipengaruhi ambang suhu inti tubuh ini
menurun 0,15ºC untuk setiap dermatom yang berubah (Frank, S.M, 2008).
Orang yang mendapatkan oksigenasi lebih dari 2 liter per menit
dan tidak mengalami kejadian shivering. Shivering adalah aktifitas otot
yang bersifat involunter atau berulang-ulang untuk meningkatkan produksi
metabolisme panas. Menggigil dapat terjadi akibat kekurangan oksigen
pada organ dan jaringan tubuh disertai suhu di daerah preoptik
hipotalamus lebih rendah dari suhu permukaan tubuh. Peningkatan tonus
otot yang terjadi di daerah formasi reticular mesenfalitik, dorsolateral pons
dan formasi reticular medulla (Alfonsi, P. 2009).
Orang yang tidak mengalami shivering disebabkan karena
mendapatkan suplay oksigen yang cukup selama menjalani operasi.
Menghirup oksigen 100% selama 5 menit dapat mempertahankan saturasi
oxyhemogloblin sebesar 90% selama sekitar 6 menit, atau dengan cara lain
untuk menghirup oksigen selama 5 menit, orang mungkin mengambil
empat napas kapasitas vital oksigen lebih dari 30 detik (atau delapan napas
kapasitas vital lebih dari 60 detik). Selama periode apnea karbon dioksida
alveolar 6 meningkat hal ini tidak tergantung preoksigenasi. Terapi
oksigen diberikan untuk mempertahankan penyediaan oksigen dalam
darah, misal pada tindakan bronkhoskopi, perlu tambahan oksigen pada
inspirasinya, atau pada kondisi yang menyebabkan peningkatkan konsumsi
oksigen 7 seperti pada infeksi berat, shivering (Putzu, M, dkk 2007)

B. Pemberian Oksigen Pada Pasien Dengan Anestesi Spinal


Anestesi regional menurunkan produksi panas, sementara panas
yang hilang sangat besar pada pasien yang menjalani operasi besar, lama
dan berada pada kamar operasi yang dingin. Menggigil merupakan respon
terhadap hipotermia selama pembedahan antara suhu darah dan kulit
dengan suhu inti tubuh (Putzu, M, dkk 2007)
Penurunan suhu tubuh saat operasi menyebabkan efek fisiologi
yang sangat merugikan seperti vasokontriksi perifer, kompensasi
kebutuhan oksigen yang meningkat sampai 5 kali meningkatkan produksi
karbon dioksida, menurunkan oksigen saturasi arteri, metabolisme obat
menurun, mengganggu terbentuknya faktor pembekuan, menurunnya
respon imun, gangguan penyembuhan luka, meningkatnya pemecahan
protein dan iskemik otot jantung (Alfonsi, P. 2009).
Pemberian oksigen lebih dari 2 L/menit menunjukkan bahwa
pasien operasi mempunyai risiko lebih besar mengalami penurunan suhu
tubuh selama menjalani operasi. Kondisi tersebut didukung dengan
kenyataan bahwa suhu ruang operasi lebih rendah dibandingkan dengan
suhu ruang yang normal yaitu 25ºC. Suhu kamar operasi yang lebih rendah
dari suhu ruang normal dapat menjadi faktor pendukung terjadi penurunan
suhu tubuh pasien yang menjalani operasi. Kamar operasi dengan
temperatur kurang dari 20ºC dapat menyebabkan penurunan temperatur
tubuh. Pada suhu 24-26ºC akan lebih mempertahankan suhu inti tubuh,
jika lebih besar temperatur suhu tubuh maka radiasi akan meningkatkan
panas tubuh, begitu juga sebaliknya jika temperatur ruangan kurang dari 4
temperatur tubuh (Frank, S.M, 2008).
Pemberian oksigen kurang atau sama dengan 2 L/menit dilakukan
karena suhu tubuh responden sebelum dilakukan anestesi dalam keadaan
normal suhu tubuhnya 36,5 C. Suhu normal preoperasi pada pasien adalah
36,6-37,5ºC makin rendah suhu preoperasi (<36,6ºC), maka makin
meningkatkan perubahan suhu tubuh selama spinal analgesi. Hal ini terjadi
karena inhibisi simpatis yang disebabkan peningkatan suhu regional. Pada
efek puncak 30-60 menit pertama menyebabkan penurunan suhu tubuh 1-
2ºC tergantung dari luasnya blok sensorik. Sedangkan pada suhu lebih
37,5ºC akan memicu terjadinya hipertermi maligna yang dapat
mengganggu pusat pengatur panas (hipotalamus) (Majid, A., dkk., 2011).
Berdasarkan pengamatan dalam anestesi di Zimbabwe secara rutin
suplemen oksigen kepada pasien selama operasi di bawah anestesi spinal.
Pada saat yang sama, kejadian itu hipoksemia intraoperatif pada pasien di
bawah tulang belakang anestesi dalam pengaturan lokal tidak diketahui.
Oximetry sekarang menjadi monitor standar dalam anestesi dan mampu
mengidentifikasi pasien yang desaturate dan tepat terapi oksigen (T.
Mutukwa, 2017).
Temuan studi menunjukkan bahwa ada hubungan antara penurunan
jumlah oksigen dan meningkatkan tinggi blok. Semakin tinggi tingkat
blok, semakin besar penurunan saturasi oksigen dari saturasi oksigen dasar
ke saturasi oksigen rendah selama anestesi spinal dan sebaliknya (T.
Mutukwa, 2017).

C. Konsep Anestesi Spinal


1. Pengertian Spinal Anestesi
Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang
intratekal, secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar
region lumbal di bawah level L1/2 dimana medulla spinalis berakhir
(Keat, dkk, 2013).
Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada pasien
yang masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses
konduktifitas pada ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh
tertentu (Rochimah, dkk, 2011).
2. Tujuan Spinal Anestesi
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 Spinal anestesi
dapat digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan
nyeri akut maupun kronik.
3. Indikasi Spinal Anestesi
Menurut Keat, dkk tahun 2013, indikasi pemberian spinal anestesi
ialah untuk prosedur bedah di bawah umbilicus.
4. Kontraindikasi Spinal Anestesi
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional
yang luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi
hipovolemia yang belum terkorelasi karena dapat mengakibatkan
hipotensi berat. Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi
menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010, ialah :
a. Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup
b. Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan
memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera.
c. Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung
pada besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang
digunakan.
5. Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi
Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal
yang utama digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif untuk 1
jam, dan bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam
(Reeder, S., 2011).
Berikut ini uraian obat spinal anestesi :
a. Lidokain
Onset kerja : cepat
Dosis maksimum : 3-5mg/kg
Durasi kerja ; Pendek 60-180 menit tergantung penggunaan
Efek samping : toksisitas kardiak lebih rendah dibandingkan
bupivakain
Metabolisme : di hati, n-dealkylation yang diikuti dengan
hidrolisis untuk menghasilkan metablit yang dieksresikan di
urin
Lidocain sangat popular dan digunakan untuk blok saraf, infitrasi
dan anestesi regional intravena begitu juga topical, epidural dan
itratekal. Bagaimanapun juga ini termasuk antiaritmik kelas 1B dan
dapat digunakan untuk terapi takikardi.
b. Bupivakain
Onset kerja : blok nervous 40 menit, epidural 15-20 menit,
intratekal 30 detik
Durasi kerja : blok saraf sampai 24 jam; pidural 3-4 jam;
intrakardial 2-3 jam
Efek samping : lebih cenderung mengakibatkan toksisitas
kardiak berupa penurunan tekanan darah dibandingkan obat
anestesi lokal lainnya
Eliminasi : N-dealkylation menjadi pipecolyoxylidine dan
metabolit lainnya yang diekskresikan di urin
Bupivakain lazim digunakan untuk spinal anestesi. Menggunakan
plain bupivacaine membuatnya dapat naik ke atas atau turun ke
bawah, yang dapat mengakibatkan peningkatan blok yang
membahayakan fungsi respirasi dan kardio. Jika dekstrosa
ditambahkan akan menjadi berat (heavy) dan akan mengalir lebih
dapat diprediksi turun ke tulang belakang, hanya memengaruhi saraf
yang non esensial. Larutan plain dapat menyebabkan hipotensi yang
lebih sedikit tapi pasien harus tidur terlentang (Keat, dkk., 2013).
c. Tetrakain Tetrakain (pantocaine), suatu ester amino kerja
panjang, secara signifikan lebih paten dan mempunyai durasi
kerja lebih panjang daripada anestetik lokal jenis ester lain
yang umum digunakan. Obat ini banyak digunakan pada spinal
anestesi ketika durasi kerja obat yang panjang diperlukan.
Tetrakain juga ditambahkan pada beberapa sediaan anestetik
topikal. Tetrakain jarang digunakan pada blokade saraf perifer
karena sering diperlukan dosis yang besar, onsetnya yang
lambat, dan berpotensi menimbulkan toksisitas (Brunton, dkk,
2011).
6. Teknik Pemberian Spinal Anestesi Teknik pemberian spinal anestesi
menurut Gruendemann & fernsebner, tahun 2006 ialah :
a. Klien diletakkan pada satu dari beberapa posisi yang
memaksimalkan kemungkinan pungsi dicelah antara vertebra
lumbal kedua dan sakral pertama. Posisi paling sering diambil
adalah decubitus lateral, yang baik bagi klien yang mendapat
sedasi. Selain itu, posisi duduk diindikasikan untuk klien gemuk
apabila tanda – tanda patokan anatomis sulit diidentifikasi. Kadang
– kadang posisi ‘pisau lipat’ telungkup digunakan untuk klien yang
menjalani pembedahan rektum.
b. Sewaktu klien diletakkan dalam posisi decubitus lateral, klien akan
berbaring pada salah satu sisinya, sangat dekat dengan tepi tempat
tidur. Panggul, punggung, dan bahu harus sejajar dengan tepi
tempat tidur. Apabila klien ditempatkan dengan benar, sebuah garis
imajiner anatar bagian atas kedua krista iliaka akan berjalan
melalui vertebra L4 atau antar – ruang L4-5. Tanda petunjuk ini
digunakan untuk menentukan lokasi antar – ruang lumbal tempat
pungsi dilakukan.
c. Sebelum dilakukan pungsi, klien dibantu untuk menarik kedua
lututnya kearah dada dan menekuk kepala dan leher kearah dada.
Dengan demikian, punggung akan melengkung, sehingga prosesus
spinalis terbuka secara maksimum.
d. Prosedur pungsi spinal pada dasarnya sama dengan berbagai posisi
klien, baik posisi duduk atau ‘pisau lipat’. Klien dalam posisi
duduk memerlukan penopang yang kuat dibawah kaki mereka dan
harus dibantu untuk condong ke depan dengan lengan ditekuk agar
punggung melengkung. Dalam posisi ini, klien dapat ditopang oleh
perawat atau oleh sebuah cantelan mayo yang terpasang kuat.
e. Setelah pungsi dilakukan dan cairan serebrospinalis mengalir
melalui aspirasi lembut alat suntik yang dihubungkan dengan
jarum spinal, obat anestetik lokal dapat disuntikan dengan
kecepatan sekitar 1 ml sampai 5 sampai 10 detik. Penyebaran
anestetik lokal melalui cairan serebrospinalis dipengaruhi oleh
dosis total yang disuntidkkan, konsentrasi larutan, keadaan kanalis
spinalis, dan posisi klien selama dan segera, setelah suntikan
anestetik lokal.
f. Setelah obat disuntikkan di klien perlu diposisikan dengan
ketinggian anestesi yang dapat dicapai sehingga memblok serabut
yang menpersarafi kulit dan organ internal yang akan dikenal oleh
prosedur operasi.
7. Penatalaksanaan Pasien Post Operasi dengan Spinal Anestesi
Ketika pasien sudah mencapai bangsal, maka hal yang harus
dilakukan menurut Effendy tahun 2005, yaitu :
a. Monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, drainage,
tube/selang, dan komplikasi. Begitu pasien tiba di bangsal langsung
monitor kondisinya. Pemerikasaan ini merupakan pemeriksaan
pertama yang dilakukan di bangsal setelah post operasi.
b. Manajemen Luka Amati kondisi luka operasi dan jahitannya,
pastikan luka tidak mengalami perdarahan abnormal. Observasi
discharge untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Manajemen
luka meliputi perawatan luka sampai dengan pengangkatan jahitan.
c. Mobilisasi dini Mobilisasi dini yang dapat dilakukan meliputi
ROM, nafas dalam dan juga batuk efektif yang penting untuk
memaksimalkan fungsi kardiovaskuler, mengaktifkan kembali
fungsi neuromuskuler dan mengeluarkan sekret dan lendir.
d. Rehabilitasi Rehabilitasi diperlukan oleh pasien untuk memulihkan
kondisi pasien kembali. Rehabilitasi dapat berupa berbagai macam
latihan spesifik yang diperlukan untuk memaksimalkan kondisi
pasien seperti sedia kala.
e. Discharge Planning Merencanakan kepulangan pasien dan
memberikan informasi kepada klien dan keluarganya tentang hal-
hal yang perlu dihindari dan dilakukan sehubungan dengan
kondis/penyakitnya post operasi.

Anda mungkin juga menyukai