Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas pasien

Nama : Tn. T
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 51 tahun
Alamat : Ciledug Lor
Agama : Islam
Pekerjaan : Nelayan
Tanggal pemeriksaan : 29 Januari 2019

B. Anamnesis
1. Keluhan utama: mata kiri merah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Waled dengan keluhan mata
merah di mata kiri sejak 2 hari SMRS. Pasien mengaku awalnya pasien
sedang mengemudi sepeda motor, kemudian terasa ada debu yang masuk,
pasien merasa gatal pada kedua mata kemudian mengucek-ngucek
sehingga mata tampak merah dan mata berair. Pasien menyangkal
keluahan nyeri, kotoran pada mata (belek), silau, pandangan mata kabur
dan demam. Riwayat trauma pada mata disangkal. Keluarga dan teman
yang mempunyai keluhan yang sama disangkal. Riwayat alergi disangkal.
Mata kiri pasien sudah diobati obat tetes mata rohto, namun mata masih
tetap merah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa (+) pada mata kanan 1 tahun yang lalu
Riwayat Hipertensi (+) terkontrol
Riwayat Diabetes Mellitus (-)
Riwayat Trauma (-)
2

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa disangkal.
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Diabetes Mellitus (-)
5. Riwayat Pribadi sosial
Pasien bekerja sebagai nelayan yang bisa bekerja selana 4 bulan di laut dan
kemabali ke daratan setelah 4 bulan, terpapar sinar matahari
Pasien merokok sejak usia 20 tahun, 1 bungkus/hari.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaan Umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
2. Tanda Vital : Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 76 x/menit, regular, isi kuat
Frekuensi Napas : 18 x/menit
Suhu : 36,5 0C
3. Pemeriksaan Oftalmologi
3

Oculus Dexter Pemeriksaan Oculus Sinister


20/20 Visus 20/20

Nistagmus (-) Gerak Bola Mata Nistagmus (-)

Trichiasis (-), Diskriasis Silia Trichiasis (-), Diskriasis


(-) (-)
Madarosis (-) Madarosis (-)
Edema (-), Hiperemis (-) Palpebra Edema (-), Hiperemis (-)
Entropion (-), Ektropion Entropion (-), Ektropion
(-) (-)
Ptosis (-) Ptosis (-)
Endoftalmus (-), Bulbus Okuli Endoftalmus (-),
Eksoftalmus (-), Eksoftalmus (-),
Strabismus (-) Strabismus (-)
Injeksi Konjungtiva (-), Conjungtiva Injeksi Konjungtiva (+),
sekret (-) edema (-) sekret (-), edema (-)
Ikterik (-), warna putih Sklera Ikterik (-),warna merah
(+) (+)
Jernih, sikatrik (-), Cornea Jernih, sikatrik (-),
4

infiltrat (-), ulkus (-), infiltrat (-), ulkus (-),


edema (-) edema (-)
Kedalaman cukup Camera Oculi Anterior Kedalaman cukup
Reguler, warna coklat, Iris Reguler, warna coklat,
sinekia posterior (-) sinekia posterior (-)
Bulat, sentral, reguler, Pupil Bulat, sentral, reguler,
Diameter 3mm Diameter 3mm
Direct: (+) Direct: (+)
Indirect (+) Indirect (+)
Jernih Lensa Jernih
Refleks fundus (+) Funduskopi Refleks fundus (+)
Papil bulat, batas tegas Papil bulat, batas tegas
Sesuai dengan pemeriksa, Palpasi TIO Sesuai dengan pemeriksa,
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Sesuai pemeriksa Lapang Pandang Sesuai pemeriksa

D. Resume
Pasien laki-laki usia 51 tahun Pasien datang ke poliklinik mata RSUD
Waled dengan keluhan mata merah di mata kiri sejak 2 hari SMRS. Pasien
mengaku awalnya pasien sedang mengemudi sepeda motor, kemudian terasa
ada debu yang masuk, pasien merasa gatal pada kedua mata kemudian
mengucek-ngucek sehingga mata tampak merah dan mata berair. Pasien
menyangkal keluahan nyeri, kotoran pada mata (belek), silau, pandangan
mata kabur dan demam. Riwayat trauma pada mata disangkal. Keluarga dan
teman yang mempunyai keluhan yang sama disangkal. Riwayat alergi
disangkal. Mata kiri pasien sudah diobati obat tetes mata rohto, namun mata
masih tetap merah. Pasien pernah mengalami keluhan serupa pada mata
kanan 1 tahun yang lalu. Riwayat hipertensi terkontrol.
Pada pemerikasaan fisik didapatkan tanda – tanda vital pasien tekanan
darah 160/100 mmHg. Pada status oftamologi di dapatkan VOD 20/20 dan
VOS 20/20, konjungtiva terdapat injeksi (+) dan sklera tampak merah pada
okuli sinistra.
E. Diagnosa Banding
5

 Konjungtivitis Bakteri akut non purulent OS


 Konjungtivitis Viral OS
F. Diagnosis Kerja
Konjungtivitis Bakteri akut non purulen OS
G. Saran tatalaksana
 Nonfarmakologi :
- Menghindari kontaminasi terhadap mata yang sehat dan mata orang lain.
- Tidak menggosok mata yang sakit kemudian menyentuh mata yang sehat.
- Mencuci tangan setiap kali selesai memegang mata yang sakit dan
menggunakan tisu.
 Farmakologi :
- Dexametason 0,1%, Neomisin dulfat 3,5mg/ml, Polimiksin B sulfat
6000iu/ml diberikan 6x kali/hari sebanyak 2 tetes mata di mata kanan.
- Rawat jalan.
H. Prognosis
Quo ad Vitam : ad Bonam
Quo ad Functionam : ad Bonam
Quo ad Sanasionam : ad Bonam

BAB II
ANALISIS KASUS

I. Identitas Pasien
Nama Tuan T, umur 51 tahun, jenis kelamin laki-laki, alamat Ciledug
Lor kabupaten Cirebon. Pekerjaan sebagai nelayan.
6

Berdasarkan identitas pasien yang beralamat di Ciledug memiliki faktor


risiko terkena konjungtivitis, karena banyak dilalui oleh kendaraan truk yang
membawa pasir. Konjungtivitis adalah radang konjungtiva atau radang selaput
lendir yang menutupi belakang kelopak mata dan bola mata dalam bentuk akut
maupun kronis yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, klamidia, alergi,
toksik, maupun iritasi1,2
II. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan ophthalmologi OD didapatkan visus 20/20, OS 20/20
konjungtiva terdapat injeksi (+), sclera tampak merah (+), perdarahan
subkonjungtiva (-), jaringan fibrovaskukar (-) dan.benjolan kongjuntiva (-).
Dari hasil pemeriksaan tersebut semakin mendukung ke diagnosis
konjungtivitis karena hanya terdapat injeksi konjungtiva (+) dan sclera
tampak merah.
III. Diagnosis Banding
Etiologi pada kasus ini masih mungkin bakteri dan viral. Bateri
penyebab mungkin Haemophilus aegypitus (iklim tropik) atau bisa juga
Streptococcus pneumoniaae (iklim sedang). Sehingga menimbulkan gejala
akut pada pasien tersebut.. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan fokus
infeksi, tidak ada demam sehingga faktor virus (Adenovirus tipe 3 dan 7)
dapat dieliminasi meskipun idealnya harus dilakukan pemeriksaan sitologik
dengan pewarnaan Giemsa. Pada bateri didapatkan neutrofil sedangkan pada
viral didapatkan limfosit-monosit-sel berisi nukleus sedikit plasma.
IV. Diagnosis Kerja
Berdasarkan anamnesis yaitu laki-laki usia 51 tahun keluhan keluhan
mata merah di mata kiri sejak 2 hari SMRS. Pasien mengaku awalnya pasien
sedang mengemudi sepeda motor, kemudian terasa ada debu yang masuk,
pasien merasa gatal pada kedua mata kemudian mengucek-ngucek sehingga
mata tampak merah dan mata berair. Pasien menyangkal keluahan nyeri,
kotoran pada mata (belek), silau, pandangan mata kabur dan demam. Riwayat
trauma pada mata disangkal. Keluarga dan teman yang mempunyai keluhan
yang sama disangkal. Mata kiri pasien sudah diobati obat tetes mata rohto,
7

namun mata masih tetap merah. Pasien pernah mengalami keluhan serupa
pada mata kanan 1 tahun yang lalu. Riwayat hipertensi terkontrol. Pada status
oftamologi di dapatkan VOD 20/20 dan VOS 20/20, konjungtiva terdapat
injeksi (+) dan sklera tampak merah pada
VI. Tata laksana
Penatalaksanaan pada pasien ini dibagi dua yaitu medikamentosa dan
non medikamentosa. Medikamentosa yaitu Dexametason 0,1%, Neomisin
dulfat 3,5mg/ml, Polimiksin B sulfat 6000iu/ml diberikan 6x kali/hari
sebanyak 2 tetes mata di mata kanan dan rawat jalan. Non medikamentosa
yaitu menghindari kontaminasi terhadap mata yang sehat dan mata orang lain,
tidak menggosok mata yang sakit kemudian menyentuh mata yang sehat,
Mencuci tangan setiap kali selesai memegang mata yang sakit dan
menggunakan tisu, dan handuk atau sapu tangan baru yang digunakan untuk
membersihkan mata yang sakit.
VI. Prognosis
Prognosis pasien ini baik, dimana ad vitam secara keseluruhan pasien
adalah bonam, karena gangguan yang dialami pasien tidak mengancam jiwa.
Prognosis ad functionam pada mata kiri adalah bonam. Prognosis sanationam
pada mata kiri adalah ad bonam karena mata pasien bisa lebih nyaman, dan
keluhan berkurang.
8

BAB III
LANDASAN TEORI
3.1 Definisi
Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput
lendir yang menutupi belakang kelopak mata dan bola mata dalam bentuk
akut maupun kronis yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, klamidia,
alergi, toksik, maupun iritasi1,2.
3.2 Anatomi dan fisiologi
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan
kelopak bagian belakang merupakan membran mukosa tipis yang
membatasi permukaan dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang
membungkus permukaan depan dari bola mata, kecuali bagian jernih di
tengah-tengah mata (kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh darah
dan berubah merah saat terjadi inflamasi.. Konjungtiva mengandung
kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi
bola mata terutama kornea3
9

Gambar 1 Anatomi Konjungtiva dan Palpebra

Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:

1. Konjungtiva palpebralis : menutupi permukaan posterior dari palpebra


dan dapat dibagi menjadi marginal, tarsal, dan orbital konjungtiva.3
a. Marginal konjungtiva memanjang dari tepi kelopak mata sampai
sekitar 2mm di belakang kelopak mata menuju lengkung dangkal,
sulkus subtarsalis. Sesungguhnya merupakan zona transisi antara
kulit dan konjungtiva sesungguhnya.
b. Tarsal konjungtiva bersifat tipis, transparan, dan sangat vaskuler.
Menempel ketat pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata atas.
Pada kelopak mata bawah, hanya menempel setengah lebar tarsus.
Kelenjar tarsal terlihat lewat struktur ini sebagai garis kuning.
c. Orbital konjungtiva berada diantara tarsal plate dan forniks.
2. Konjungtiva bulbaris : menutupi sebagian permukaan anterior bola
mata. Terpisah dari sklera anterior oleh jaringan episklera dan kapsula
Tenon. Tepian sepanjang 3mm dari konjungtiva bulbar disekitar
kornea disebut dengan konjungtiva limbal. Pada area limbus,
konjungtiva, kapsula Tenon, dan jaringan episklera bergabung menjadi
jaringan padat yang terikat secara kuat pada pertemuan korneosklera di
bawahnya. Pada limbus, epitel konjungtiva menjadi berlanjut seperti
yang ada pada kornea.3 konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva
10

bulbar juga bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang dan


ke depan. Pembuluh darah dengan mudah dapat dilihat di bawahnya.
Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang mensekresi
musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang
memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea.3
3. Forniks : bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian
posterior palpebra dan bola mata. Forniks konjungtiva berganbung
dengan konjungtiva bulbar dan konjungtiva palpebra. Dapat dibagi
menjasi forniks superior, inferior, lateral, dan medial forniks.3

Gambar 2. Struktur anatomi dari conjungtiva


Dikutip dari Khurana AK. Disease of The Conjunctiva. Dalam:
Comprehensive Ophthalmology. 4th edition. New Delhi: New Age
International(P) Limited; 2007

Lapisan epitel konjungtiva tediri dari dua hingga lima lapisan sel
epitel silinder bertingkat,superfisial dan basal. Sel epitel superfisial
mengandung sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus
yang mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi
lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Stroma konjungtiva
dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa
(profundal). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan
dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
stratum germativum.
Struktur Histologis dari konjungtiva3
- Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari:
11

a. Marginal konjungtiva mempunyai epitel tipe stratified skuamous


lapis 5.
b. Tarsal konjungtiva mempunyai 2 lapis epitelium: lapisan
superfisial dari sel silindris dan lapisan dalam dari sel pipih.
c. Forniks dan bulbar konjungtiva mempunyai 3 lais epitelium:
lapisan superfisial sel silindris, lapisan tengan polihedral sel dan
lapisan dalam sel kuboid.
d. Limbal konjungtiva sekali lagi mempunyai banyak lapisan (5-6
lapis) epitelium stratified skuamous
- Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus).
a. Lapisan adenoid disebut dengan lapisan limfoid dan terdiri dari
jaringan ikat retikulum yang terkait satu sama lain dan terdapat
limfosit diantaranya. Lapisan ini paling berkembang di forniks. Tidak
terdapat mulai dari lahir tetapi berkembang setelah 3-4 bulan pertama
kehidupan. Untuk alasan ini, inflamasi konjungtiva pada bayi baru
lahir tidak memperlihatkan reaksi folikuler.3
b. Lapisan fibrosaTerdiri dari jaringan fiber elastik dan kolagen. Lebih
tebal daripada lapisan adenoid, kecuali di regio konjungtiva tarsal
dimana pada tempat tersebut struktur ini sangat tipis. Lapisan ini
mengandung pembuluh darah dan saraf konjungtiva. Bergabung
dengan kapsula tenon pada regio konjungtiva bulbar.3
- Konjungtiva mempunyai dua macam kelenjar, yaitu:
1. Kelenjar sekretori musin. Mereka adalah sel goblet (kelenjar uniseluler
yang terletak di dalam epitelium), kripta dari Henle (ada pada tarsal
konjungtiva) dan kelenjar Manz (pada konjungtiva limbal). Kelenjar-
kelenjar ini menseksresi mukus yang mana penting untuk membasahi
kornea dan konjungtiva.3
2. Kelenjar lakrimalis aksesorius, mereka adalah:3
12

a. Kelenjar dari Krause (terletak pada jaringan ikat konjungtiva di


forniks, sekitar 42mm pada forniks atas dan 8mm di forniks bawah).
Dan
b. Kelenjar dari Wolfring (terletak sepanjang batas atas tarsus superios
dan sepanjang batas bawah dari inferior tarsus).3
-Suplai arterial konjungtiva:
Konjungtiva palpebra dan forniks disuplai oleh cabang dari arcade
arteri periferal dan merginal kelopak mata. Konjungtiva bulbar
disuplai oleh dua set pembuluh darah: arteri konjungtiva posterior
yang merupakan cabang dari arcade arteri kelopak mata; dan arteri
konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri siliaris
anterior. Cabang terminal dari arteri konjungtiva posterior
beranastomose dengan arteri konjungtiva anterior untuk
membentuk pleksus perikornea.3
3.3. Definisi
Radang konjungtiva (konjungtivitis) adalah penyakit mata paling umum
di dunia. Penyakit ini bervariasi mulai dari hyperemia ringan dengan mata
berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak secret purulrn kental.
Penyebab umum biasanya eksogen tetapi bias endogen.3
3.4 Etiologi
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti :
a. infeksi oleh bakteri.
b. Klamidia
c. Viral
d. Jamur
e. Parasit
f. Imunologik (alergika)
g. Kimiawi atau iritatif
h. Etiologi tak diketahui
i. Berkaitan dengan penyakit sistemik
13

3.5 Gejala-gejala dari konjungtivitis secara umum antara lain:


1. Hiperemia
Hiperemia adalah tanda kliniskonjungtivitis akut yang paling
menyolok. Kemerahan paling jelas di forniks dan makin berkurang ke arah
limbus karena dilatasi pembuluh darah konjungtiva posterior. (dilatasi
perilimbus atau hiperemia siliaris mengesankan adanya radang kornea atau
struktur yang lebih dalam). Warna merah terang mengesankan
konjungtivitis bakteri, dan tampilan putih susu mengesankan konjungtivitis
alergika. Hiperemia tanpa infiltrasi sel mengesankan iritasi oleh penyebab
fisik seperti angin, matahari, asap dan lain-lain, tetapi sesekali bisa muncul
pada penyakit yang berhubungan dengan ketidakstabilan vaskular.3
Tipe-tipe injeksi dibedakan menjadi: 3
 Injeksi konjungtiva (merah terang, pembuluh darah yang distended
bergerak bersama dengan konjungtiva, semakin menurun jumlahnya
saat menuju ke arah limbus).
 Injeksi perikornea (pembuluh darah superfisial, sirkuler atau
cirkumcribed pada tepi limbus).
 Injeksi siliar (tidak terlihat dengan jelas, pembuluh darah berwarna
terang dan tidak bergerak pada episklera di dekat limbus).
 Injeksi komposit (sering).

Gambar 3. bentuk-bentuk injeksi pada konjungtiva


14

dikutip dari Lang GK, Lang GE. Conjunctiva. Dalam: Lang GK, Gareis O,
Amann J, Lang GE, Recker D, Spraul CW, Wagner P. Ophthalmology: a
short textbook. New York: Thieme; 2000.
2. Mata berair (epifora)
Mata berair sering kali menyolok pada konjungtivitis. Sekresi air
mata disebabkan oleh adanya sensai benda asing, sensasi terbakar atau
tergores atau oleh rasa gatalnya. Transudasi ringan juga timbul dari
pembuluh-pembuluh yang hiperemik dan menambah jumlah air mata
tersebut. Kurangnya sekresi air mata yang abnormal mengesankan
keratokonjungtivitis sika.3
3. Chemosis (edema conjunctiva)
Adanya Chemosis mengarahkan kita secara kuat pada konjungtivitis
alergik akut tetapi dapat juga muncul pada konjungtivitis gonokokkal akut
atau konjungtivitis meningokokkal, dan terutama pada konjungtivitis
adenoviral. Chemosis dari konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien
dengan trikinosis. Meskipun jarang, chemosis mungkin timbul sebelum
adanya infiltrasi atau eksudasi seluler gross. 3

Gambar 4. Kemosis pada mata


Dikutip dari
http://www.eyedoctom.com/eyedoctom/EyeInfo/Images/Chem
osis2.jpg

4. Pseudoptosis
Terkulainya pelpebra superior karena infiltrasi di otot Muller.
Keadaan ini dijumpai pada beberapa jenis konjungtivitis berat (trakoma
dan ratokonjungtivitis epidemika).3
15

5. Hipertrofi folikel
Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan limfoid dari
konjungtiva dan biasanya mengandung germinal center. Secara klinis,
folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih atau abu-abu.
Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh darah kecil dapat
naik pada tepi folikel dan mengitarinya. Terlihat paling banyak pada kasus
konjungtivitis viral dan pada semua kasus konjungtivitis klamidial kecuali
konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa kasus konjungtivitis parasit,
dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik diinduksi oleh medikasi
topikal seperti idoxuridine, dipiverin, dan miotik. Folikel pada forniks
inferior dan pada batas tarsal mempunyai nilai diagnostik yang terbatas,
tetapi ketika diketemukan terletak pada tarsus(terutama tarsus superior),
harus dicurigai adanya konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik
(mengikuti medikasi topikal). 3

Gambar 5. gambaran klinis dari folikel


Dikutip dari James B, Chew C, Bron A. Conjunctiva,
Cornea and Sclera. Dalam: Lecture Notes on
Ophthalmology. 9th edition. India: Blackwell Publishing;
2003
6. Hipertrofi papiler
Adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul karena
konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril. Ketika
pembuluh darah yang membentuk substansi dari papilla(bersama dengan
elemen selular dan eksudat) mencapai membran basement epitel,
16

pembuluh darah tersebut akan bercabang menutupi papila seperti kerangka


dari sebuah payung. Eksudat inflamasi akan terakumulasi diantara fibril,
membentuk konjungtiva seperti sebuah gundukan. Pada kelainan yang
menyebabkan nekrosis(contoh,trakoma), eksudat dapat digantikan oleh
jaringan granulasi atau jaringan ikat.3 Ketika papila berukuran kecil,
konjungtiva biasanya mempunyai penampilan yang halus dan merah
normal. Konjungtiva dengan papila berwarna merah sekali menandakan
kelainan disebabkan bakteri atau klamidia(contoh, konjungtiva tarsal yang
berwarna merah sekali merupakan karakteristik dari trakoma akut). Injeksi
yang ditandai pada tarsus superior, menandakan keratokunjungtivitis
vernal dan konjungtivitis giant papillary dengan sensitivitas terhadap lensa
kontak; pada tarsal inferior, gejala tersebut menandakan
keratokonjungtivitis atopik. Papila yang berukuran besar juga dapat
muncul pada limbus, terutama pada area yang secara normal dapat
terekspos ketika mata sedang terbuka(antara jam 2 dan 4 serta antara jam 8
dan 10). Di situ gejala nampak sebagai gundukan gelatin yang dapat
mencapai kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari
keratokonjungtivitis vernal tapi langka pada keratokonjungtivitis atopik. 3

Gambar 6. gambaran klinis hipertrofi papiler


Dikutip dari www.onjoph.com
17

7. Membran dan pseudomembran


Merupakan reaksi konjungtiva terhadap infeksi berat atau
konjungtivitis toksis. Terjadi oleh karena proses koagulasi kuman/bahan
toksik. Bentukan ini terbentuk dari jaringan epitelial yang nekrotik dan
kedua-duanya dapat diangkat dengan mudah baik yang tanpa
perdarahan(pseudomembran) karena hanya merupakan koagulum pada
permukaan epital atau yang meninggalkan permukaan dengan perdarahan
saat diangkat(membran) karena merupakan koagulum yang melibatkan
seluruh epitel. 3

Gambar 7. Bentukan pseudomembran yang diangkat


Dikutip dari http://www.rootatlas.com/wordpress/wp-
content/uploads/2007/08/pseudomembrane-eye.jpg
8. Granuloma
Adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan area bulat
merah dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul pada kelainan
sistemik seperti tuberkulosis atau sarkoidosis atau mungkin faktor eksogen
seperti granuloma jahitan postoperasi atau granuloma benda asing lainnya.
Granuloma muncul bersamaan dengan bengkaknya nodus limfatikus
preaurikular dan submandibular pada kelainan seperti sindroma
okuloglandular Parinaud.
18

Gambar 17 Granuloma konjungtiva disertai dengan


folikel pada sindroma okuloglandular Parinaud. Dikutip
dari Kanski JK. Conjunctiva. Dalam: Clinical
Ophthalmology: A Systematic Approach. 5th edition. hal.
63-81
9. Nodus limfatikus yang membengkak
Sistem limfatik dari regio mata berjalan menuju nodus limfatikus di
preaurikular dan submandibular. Nodus limfatikus yang membengkak
mempunyai arti penting dan seringkali dihadapi sebagai tanda diagnostik
dari konjungtivitis viral. 3
3.6. Klasifikasi
Menurut penyebab terjadinya, konjungtivitis dibagi menjadi beberapa bagian:
A. Konjungtivitis Karena agen infeksi bakteri:
1. Definisi
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang
disebabkan oleh bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang
dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan iritasi mata.
2. Etiologi dan Faktor Resiko
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu
hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut
biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N
meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering
pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan
19

Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada


konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus
nasolakrimalis.3
Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian
mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke
orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering
kontak dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi. 3
3. Patofisiologi
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal
seperti streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium.
Perubahan pada mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah
koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis.
Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi
eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun melalui aliran darah.
Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu
penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi
terhadap antibiotik.
Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan
epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan
sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan
konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air
mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya
gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat
menyebabkan infeksi pada konjungtiva.
4. Komplikasi dan Sekuel
Blefaritis marginal menahun sering menyertai konjungtiva
stafilokokus kecuali pada pasien sangat muda yang bukan sasaran
blefaritis. Parut konjungtiva dapat terjadi pada konjungtivitis
pseudomembranosa dan pada kasus tertentu yang diikuti ulserasi kornea
dan perforasi. 3
20

Ulserasi kornea marginal dapat terjadi pada infeksi N gonorroeae, N


konchii, N meningitides, H aegyptus, S gonorrhoeae berdifusi melalui
kornea masuk camera anterior, dapat timbul iritis toksik.1,3
5. Terapi
Terapi spesifik terhadap konjungtivitis bacterial tergantung temuan
agen mikrobiologiknya. Sambil menunggu hasil laboratorium, dokter
dapat mulai dengan terapi topical antimikroba. Pada setiap konjungtivitis
purulen, harus dipilih antibiotika yang cocok untuk mengobati infeksi N
gonorroeae, dan N meningitides. Terapi topical dan sistemik harus segera
dilkasanakan setelah materi untuk pemeriksaan laboratorium telah
diperoleh. 3
Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen akut, saccus
konjungtiva harus dibilas dengan larutan garam agar dapat menghilangkan
secret konjungtiva. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, pasien dan
keluarga diminta memperhatikan secara khusus hygiene perorangan. 3
6. Perjalanan dan Prognosis
Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri, infeksi
dapat berlangsung selama 10-14 hari; jika diobati dengan memadai, 1-3
hari, kecuali konjungtivitis stafilokokus (yang dapat berlanjut menjadi
blefarokonjungtivitis dan memasuki tahap mnehun) dan konjungtivitis
gonokokus (yang bila tidak diobati dapat berakibat perforasi kornea dan
endoftalmitis). Karena konjungtiva dapat menjadi gerbang masuk bagi
meningokokus ke dalam darah dan meninges, hasil akhir konjungtivitis
meningokokus adalah septicemia dan meningitis.1,4 Konjungtivitis bacterial
menahun mungkin tidak dapat sembuh sendiri dan menjadi masalah
pengobatan yang menyulitkan. 3
B. Konjungtivitis Virus
1. Konjungtivitis Folikuler Virus Akut
a). Demam Faringokonjungtival
 Tanda dan gejala
21

Demam Faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,5-40⁰C,


sakit tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada satu atau dua
mata. Folikuler sering sangat mencolok pada kedua konjungtiva dan
pada mukosa faring. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dan
kadang-kadang sedikit kekeruhan daerah subepitel. Yang khas
adalah limfadenopati preaurikuler (tidak nyeri tekan).1
 Laboratorium
Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan oleh
adenovirus tipe 3 dan kadang – kadang oleh tipe 4 dan 7. Virus itu
dapat dibiakkan dalam sel HeLa dan ditetapkan oleh tes netralisasi.
Dengan berkembangnya penyakit, virus ini dapat juga didiagnosis
secara serologic dengan meningkatnya titer antibody penetral virus.
Diagnosis klinis adalah hal mudah dan jelas lebih praktis.1,3
Kerokan konjungtiva terutama mengandung sel mononuclear,
dan tak ada bakteri yang tumbuh pada biakan. Keadaan ini lebih
sering pada anak-anak daripada orang dewasa dan sukar menular di
kolam renang berchlor. 1,3
 Terapi
Tidak ada pengobatan spesifik. Konjungtivitisnya sembuh
sendiri, umumnya dalam sekitar 10 hari. 1
b). Keratokonjungtivitis Epidemika
 Tanda dan gejala
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya
sering pada satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah.
Pada awalnya pasien merasa ada infeksi dengan nyeri sedang dan
berair mata, kemudian diikuti dalam 5-14 hari oleh fotofobia,
keratitis epitel, dan kekeruhan subepitel bulat. Sensai kornea normal.
Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas. Edema palpebra,
kemosis, dan hyperemia konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan
perdarahan konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat
22

membentuk pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau


pembentukan symblepharon. 1,3,4
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan
subepitel terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepian, dan
menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa meninggalkan
parut. 1
Keratokonjungtiva epidemika pada orang dewasa terbatas pada
bagian luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin terdapat gejala
sistemik infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media,
dan diare.
 Laboratorium
Keratokonjungtiva epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe
8, 19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia). Virus-virus
ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes
netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang
mononuclear primer; bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat
banyak neutrofil. 1
 Penyebaran
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering
terjadi melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata
yang kurang steril, atau pemakaian larutan yang terkontaminasi.
Larutan mata, terutama anestetika topical, mungkin terkontaminasi
saat ujung penetes obat menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva
atau silia. Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi
sumber penyebaran. 1,3
 Pencegahan
Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan
dengan memakai penetes steril pribadi atau memakai tetes mata
dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan secara teratur di antara
pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang
menyentuh mata khususnya tonometer juga suatu keharusan.
23

Tonometer aplanasi harus dibersihkan dengan alcohol atau


hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan
dengan hati-hati. 4
 Terapi
Sekarang ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin
akan mengurangi beberapa gejala. kortikosteroid selama
konjungtivitis akut dapat memperpanjang keterlibatan kornea
sehingga harus dihindari. Agen antibakteri harus diberikan jika
terjadi superinfeksi bacterial. 1
c). Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks
 Tanda dan gejala
Konjungtivitis virus herpes simplex biasanya merupakan
penyakit anak kecil, adalah keadaan yang luar biasa yang ditandai
pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, bertahi mata mukoid,
sakit, dan fotofobia ringan. Pada kornea tampak lesi-lesi epithelial
tersendiri yang umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau
ulkus-ulkus epithelial yang bercabang banyak (dendritik).
Konjungtivitisnya folikuler. Vesikel herpes kadang-kadang muncul
di palpebra dan tepian palpebra, disertai edema hebat pada palpebra.
Khas terdapat sebuah nodus preaurikuler yang terasa nyeri jika
ditekan. 1,3
 Laboratorium
Tidak ditemukan bakteri di dalam kerokan atau dalam biakan.
Jika konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama
mononuclear, namun jika pseudomembran, reaksinya terutama
polimorfonuklear akibat kemotaksis dari tempat nekrosis. Inklusi
intranuklear tampak dalam sel konjungtiva dan kornea, jika dipakai
fiksasi Bouin dan pulasan Papanicolaou, tetapi tidak terlihat dengan
pulasan Giemsa. Ditemukannya sel – sel epithelial raksasa
multinuclear mempunyai nilai diagnostic.3
24

Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah aplikator


berujung kain kering di atas konjungtiva dan memindahkan sel-sel
terinfeksi ke jaringan biakan.3
 Terapi
Jika konjungtivitis terdapat pada anak di atas 1 tahun atau pada
orang dewasa, umunya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu
terapi. Namun, antivirus local maupun sistemik harus diberikan
untuk mencegah terkenanya kornea. Untuk ulkus kornea mungkin
diperlukan debridemen kornea dengan hati-hati yakni dengan
mengusap ulkus dengan kain kering, meneteskan obat antivirus, dan
menutupkan mata selama 24 jam. Antivirus topical sendiri harus
diberikan 7 – 10 hari: trifluridine setiap 2 jam sewaktu bangun atau
salep vida rabine lima kali sehari, atau idoxuridine 0,1 %, 1 tetes
setiap jam sewaktu bangun dan 1 tetes setiap 2 jam di waktu malam.
Keratitis herpes dapat pula diobati dengan salep acyclovir 3% lima
kali sehari selama 10 hari atau dengan acyclovir oral, 400 mg lima
kali sehari selama 7 hari.3
Untuk ulkus kornea, debridmen kornea dapat dilakukan. Lebih
jarang adalah pemakaian vidarabine atau idoxuridine. Antivirus
topical harus dipakai 7-10 hari. Penggunaan kortikosteroid
dikontraindikasikan, karena makin memperburuk infeksi herpes
simplex dan mengkonversi penyakit dari proses sembuh sendiri yang
singkat menjadi infeksi yang sangat panjang dan berat. 1,3
d). Konjungtivitis Hemoragika Akut
 Epidemiologi
Semua benua dan kebanyakan pulau di dunia pernah mengalami
epidemic besar konjungtivitis konjungtivitis hemoregika akut ini.
Pertama kali diketahui di Ghana dalam tahun 1969. Konjungtivitis
ini disebabkan oleh coxackie virus A24. Masa inkubasi virus ini
pendek (8-48 jam) dan berlangsung singkat (5-7 hari). 3
25

 Tanda dan Gejala


Mata terasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak
mengeluarkan air mata, merah, edema palpebra, dan hemoragi
subkonjungtival. Kadang-kadang terjadi kemosis. Hemoragi
subkonjungtiva umumnya difus, namun dapat berupa bintik-bintik
pada awalnya, dimulai di konjungtiva bulbi superior dan menyebar
ke bawah. Kebanyaka pasien mengalami limfadenopati preaurikuler,
folikel konjungtiva, dan keratitis epithelial. Uveitis anterior pernah
dilaporkan, demam, malaise, mialgia, umum pada 25% kasus. 1
 Penyebaran
Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke orang dan
oleh fomite seperti sprei, alat-alat optic yang terkontaminasi, dan air.
Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari
 Terapi
Tidak ada pengobatan yang pasti.
2. Konjungtivitis Viral Kronik
a). Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum
Sebuah nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra dan alis
mata dapat menimbulkan konjungtivitis folikuler menahun unilateral,
keratitis superior, dan pannus superior, dan mungkin menyerupai
trachoma. Reaksi radang yang mononuclear (berbeda dengan reaksi
pada trachoma), dengan lesi bulat, berombak, putih mutiara, non-
radang dengan bagian pusat, adalah khas molluscum kontagiosum.
Biopsy menampakkan inklusi sitoplasma eosinofilik, yang memenuhi
seluruh sitoplasma sel yang membesar, mendesak inti ke satu sisi.3
Eksisi, insisi sederhana nodul yang memungkinkan darah tepi
memasukinya, atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitisnya.
b). Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster
 Tanda dan gejala
Hyperemia dan konjungtivitis infiltrate disertai dengan erupsi
vesikuler khas sepanjang penyebaran dermatom nervus trigeminus
26

cabang oftalmika adalah khas herpes zoster. Konjungtivitisnya


biasanya papiler, namun pernah ditemukan folikel, pseudomembran,
dan vesikel temporer, yang kemudian berulserasi. Limfonodus
preaurikuler yang nyeri tekan terdapat pada awal penyakit. parut
pada palpebra, entropion, dan bulu mata salah arah adalah sekuele. 3
 Laboratorium
Pada zoster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebra
mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear;
kerokan konjungtiva pada varicella dan zoster mengandung sel
raksasa dan monosit. Virus dapat diperoleh dari biakan jaringan sel –
sel embrio manusia. 3
 Terapi
Acyclovir oral dosis tinggi (800 mg oral lima kali sehari selama
10 hari), jika diberi pada awal perjalanan penyakit, agaknya akan
mengurangi dan menghambat penyakit. 3
c). Keratokonjungtivitis Morbilli
 Tanda dan gejala
Pada awal penyakit, konjungtiva tampak mirip kaca yang aneh,
yang dalam beberapa hari diikuti pembengkakan lipatan semiluner.
Beberapa hari sebelum erupsi kulit, timbul konjungtivitis eksudatif
dengan secret mukopurulen, dan saat muncul erupsi kulit, timbul
bercak-bercak Koplik pada konjungtiva dan kadang-kadang pada
carunculus. 1,3
Pada pasien imunokompeten, keratokonjungtivitis campak
hanya meninggalkan sedikit atau sama sekali tanpa sekuel, namun
pada pasien kurang gizi atau imunokompeten, penyakit mata ini
seringkali disertai infeksi HSV atau infeksi bacterial sekunder oleh S
pneumonia, H influenza, dan organism lain. Agen ini dapat
menimbulkan konjungtivitis purulen yang disertai ulserasi kornea
dan penurunan penglihatan yang berat. Infeksi herpes dapat
27

menimbulkan ulserasi kornea berat dengan perforasi dan kehilangan


penglihatan pada anak-anak kurang gizi di Negara berkembang. 1,3
Kerokan konjungtivitis menunjukkan reaksi sel mononuclear,
kecuali jika ada pseudomembran atau infeksi sekunder. Sedian
terpulas giemsa mengandung sel-sel raksasa. Karena tidak ada terapi
spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang dilakukan, kecuali jika
ada infeksi sekunder. 1
C. Konjungtivitis Klamidia Trakoma
 Etiologi
Chlamydia trachomatis serotipe A,B,Ba, atau C. 2Infeksi ini
menyebar melalui kontak langsung dengan sekret kotoran mata penderita
trakoma atau melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-
alat kecantikan dan lain-lain. Penyakit ini sangat menular dan biasanya
menyerang kedua mata.

Gambar 9. etiologi dan patofisiologi dari trakoma


Dikutip dari http://cartercenter.org/images/BLINDch_web.gif
28

 Gejala dan tanda


Awalnya merupakan konjungtivitis folikular kronik pada masa
kanak-kanak yang berprogresi menjadi konjungtival scarring. Pada kasus
berat, bulu mata yang bengkok ke arah dalam timbul pada awal masa
dewasa sebagai hasil dari konungtival scarring. Abrasi yang ditimbulkan
oleh bulu mata tersebut dan defek pada tear film akan mengakibatkan
scarring pada kornea, biasanya setelah umur tiga puluh tahun. 2
Periode inkubasinya rata-rata tujuh hari tetapi bervariasi dari lima
sampai empat belas hari. Pada anak kecil, onsetnya tidak jelan dan
penyakit dapat sembuh dengan komplikasi minimal atau tidak ada
komplikasi sama sekali. Pada dewasa, onsetnya sering subakut atau akut,
dan komplikasi dapat timbul kemudian. Pada onset, trakoma sering mirip
dengan konjungtivitis bakterial lainnya, tanda dan gejala biasanya terdiri
dari produksi air mata berlebih, fotofobia, nyeri, eksudasi, edema pada
kelopak mata, chemosis pada konjungtiva bulbar, hiperemia, hipertrofi
papiler, folikel tarsal dan limbal, keratitis superios, formasi pannus, dan
tonjolan kecil dan nyeri dari nodus preaurikular. 2
Pada trakoma yang sudah benar-benar matang, juga mungkin
terdapat keratitis epitelial superior, keratitis subepitelial, pannus, atau
folikel limbal superior, dan akhirnya terbentuk peninggalan sikatrikal yang
patognomonik dari folikel tersebut, yang dikenal dengan nama Herbert’s
pits dengan bentuk depresi kecil dari jaringan ikat pada partemuan
limbokorneal ditutupi oleh epitel. Pannus yang terkait adalah membran
fibrovaskular naik dari limbus, dengan lengkung vaskular memanjang ke
kornea. Semua tanda dari trakoma lebih parah pada konjungtiva dan
kornea superior dibandingkan dengan bagian inferior. 2
29

Gambar 10. Herbert’s pits pada trachoma


Dikutip dari
http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/atlas/thumbnails/Herberts-pits-
enhanced-through-being-pigmented.jpg
Untuk menegakkan keadaan endemik trakoma pada keluarga atau
sebuah komunitas, sejumlah anak harus mempunyai minimal dua dari
tanda berikut: 2
1. Lima atau lebih folikel pada garis konjungtiva tarsal datar kelopak mata
atas.
2. Konjungtival scarring yang khas pada konjungtiva tarsal atas.
3. Folikel limbal atau sekuelnya(Herbert’s pits).
4. Ekstensi atau perpanjangan pembuluh darah ke arah kornea, paling
sering tampak pada limbus superior.
Ketika beberapa individu akan memenuhi kriteria ini, secara luas
distribusi tanda ini pada keluarga individu dan komunitas tersebut
diidentifikasi dengan trakoma. 2
 Klasifikasi trakoma
Untuk tujuan kontrol, WHO pada tahun 1987 telah
mengembangkan metode ringkas untuk menggambarkan penyakit
Trakoma. Klasifikasi FISTO tersebut adalah: 2,3
-
TF: Five or more follicles on the upper tarsal conjunctiva(Lima atau
lebih folikel pada konjungtiva tarsal atas dengan ukuran tiap-tiap
diameter folikel >0,5mm atau lebih). 2
-
TI: Diffuse infiltration and papillary hypertrophy of the upper tarsal
conjunctiva obscuring at least 50% of the normal deep
30

vessels(Infiltrasi dan hipertrofi papiler yang difus pada konjungtiva


tarsal atas memenuhi setidaknya 50% pembuluh darah normal
dalam). 2,3
-
TS: Trachomatous conjunctival scarring(Scarring tarsal konjungtiva
mudah terlihat sebagai garis putih atau lembaran putih). 2,11
-
TT: Trichiasis or entropion(Trikiasis atau enteropion ditegakkan
apabila setidaknya satu bulu mata menggosok bola mata). 2,11
-
CO: Corneal opacity(Opasitas kornea ditegakkan apabila terjadi
opasitas yang terlihat pada pupil, biasanya menurunkan tajam
pengelihatan sampai kurang dari 6/18). 2,3
31

Gambar 11. stadium trakoma


Dikutip dari
http://www.pyroenergen.com/articles/images/trachoma3.jpeg

Gambar 12. pembagian stadium trakoma menurut WHO


32

Dikutip dari
http://www.who.int/blindness/publications/trachoma_english1.j
pg
 Diagnosa
Inklusi klamidia dapat diketemukan pada kerokan konjungtiva
yang diwarnai dengan pengecatan giemsa, tetapi tidak selalu ditemuka.
Inklusi muncul pada preparasi Giemsa sebagai massa sitoplasma
berwarna ungu gelap atau biru yang tampak seperti topi yang menutupi
nukleus dari sel epitel. Pengecatan antibodi fluoresensi dan tres
immunoassay enzim tersedia secara komersil dan sering dipakai secara
luas pada laboratorium klinis. Tes-tes tersebut dan tes baru lainnya
termasuk PCR, telah menggantikan pengecatan giemsa pada smear
konjungtiva dan isolasi agen klamidia pada kultur sel. 2,3
 Komplikasi
Jaringan parut pada konjungtiva merupakan komplikasi yang
sering timbul dan dapat menghancurkan glandula lakrimalis dan meng-
obliterasi duktula glandula lakrimalis. Keadaan tersebut dapat
mengurangi secara drastis komponen akueus pada tear film prekorneal,
dan komponen mukus film mungkin tereduksi oleh karena hilangnya sel
goblet. Jaringan parut juga dapat menyebabkan distorsi kelopak mata
atas dengan deviasi dari bulu mata ke arah dalam(trikiasis) atau
keseluruhan pinggiran kelopak mata(enteropion), jadi bulu mata secara
kontan mengabrasi kornea. Hal ini sering menyebabkan ulserasi kornea,
infeksi bakteri korneal, dan jaringan parut kornea. 2,3
 Terapi
Perkembangan klinis yang mencenggangkan dapat diperoleh
dengan memberikan tetrasiklin, 1-1,5g per hari secara oral terbagi
dalam empat dosis untuk tiga sampai empat minggu; doksisiklin,
100mg secara oral dua kali sehari selama tiga minggu; atau eritromisin,
1g per hari dalam empat dosis terbagi untuk tiga sampai empat minggu.
Sistemik tetrasiklin tidak boleh diberikan pada anak berumur di bawah
33

tujuh tahun atau pada wanita hamil, karena tetrasiklin mengikat kalsium
sehingga mempengaruhi pertumbuhan gigi dan tulang serta dapat
mengakibatkan kelainan kongenital berupa perubahan warna gigi dan
skeletal(contoh, klavikula) menjadi warna kuning permanen. Studi
terakhir pada negara berkembang telah menunjukkan azitromisin
merupakan terapi yang efektif untuk trakoma, diberikan oral 1g pada
anak-anak. Karena efek samping yang minimal dan kemudahan
pemberian, antibiotik makrolid ini telahmenjadi obat pilihan untuk
kampanye terapi masal. 2,3
Ointment topikal atau tetes mata, termasuk preparat sulfonamid,
tetrasiklin, eritromisin, dan rifampisin, digunakan empat kali sehari
selama enam minggu ternyata mempunyai efektivitas yang sama kuat. 2
Dari pertama kali terapi diberikan, efek maksimum biasanya tidak
dapat diapai untuk sepuluh samapai 12 minggu. Persistensi folikel pada
tarsal atas untuk beberapa minggu setelah pemberian terapi tidak
seharusnya menjadi pertanda kegagalan proses terapi. 2,3
Koreksi pembedahan pada bulu mata yang masuk ke dalam
esensial untuk mencegah pembentukan jaringan parut dari trakoma
lanjut pada negara berkembang.2,3
D. Konjungtivitis Imunologik (Alergik):
Reaksi Hipersensitivitas Humoral Langsung
a. Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)
 Tanda dan gejala
Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai
demam jerami (rhinitis alergika). Bianya ada riwayat alergi terhadap
tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya. Pasien mengeluh
tentang gatal-gatal, berair mata, mata merah, dan sering mengatakan
bahwa matanya seakan-akan “tenggelam dalam jaringan sekitarnya”.
Terdapat sedikit penambahan pembuluh pada palpebra dan
konjungtiva bulbi, dan selama serangan akut sering terdapat kemosis
34

berat (yang menjadi sebab “tenggelamnya” tadi). Mungkin terdapat


sedikit tahi mata, khususnya jika pasien telah mengucek matanya.
 Laboratorium
Sulit ditemukan eosinofil dalam kerokan konjungtiva. 3
 Terapi
Meneteskan vasokonstriktor local pada tahap akut (epineprin,
larutan 1:1000 yang diberikan secara topical, akan menghilangkan
kemosis dan gejalanya dalam 30 menit). Kompres dingin membantu
mengatasi gatal-gatal dan antihistamin hanya sedikit manfaatnya.
Respon langsung terhadap pengobatan cukup baik, namun sering
kambuh kecuali anti-gennya dapat dihilangkan. 3
b. Konjungtivitis Vernalis
 Definisi
Penyakit ini, juga dikenal sebagai “catarrh musim semi” dan
“konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis musim kemarau”,
adalah penyakit alergi bilateral yang jarang.1,3 Penyakit ini lebih jarang
di daerah beriklim sedang daripada di daerah dingin. Penyakit ini
hamper selalu lebih parah selama musim semi, musim panas dan
musim gugur daripada musim gugur. 3
 Tanda dan gejala
Pasien mengeluh gatal-gatal yang sangat dan bertahi mata
berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi (demam
jerami, eczema, dan lainnya). Konjungtiva tampak putih seperti susu,
dan terdapat banyak papilla halus di konjungtiva tarsalis inferior.
Konjungtiva palpebra superior sering memiliki papilla raksasa mirip
batu kali. Setiap papilla raksasa berbentuk polygonal, dengan atap
rata, dan mengandung berkas kapiler. 1,2,3
 Laboratorium
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat
banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas. 1
 Terapi
35

Penyakit ini sembuh sendiri tetapi medikasi yang dipakai


terhadap gejala hanya member hasil jangka pendek, berbahaya jika
dipakai untuk jangka panjang. steroid sisremik, yang mengurangi rasa
gatal, hanya sedikit mempengharuhi penyakit kornea ini, dan efek
sampingnya (glaucoma, katarak, dan komplikasi lain) dapat sangat
merugikan. 3
Crmolyn topical adalah agen profilaktik yang baik untuk kasus
sedang sampai berat. Vasokonstriktor, kompres dingin dan kompres es
ada manfaatnya, dan tidur di tempat ber AC sangat menyamankan
pasien. Agaknya yang paling baik adalah pindah ke tempat beriklim
sejuk dan lembab. Pasien yang melakukan ini sangat tertolong bahkan
dapat sembuh total. 1,3
c. Konjungtivitis Atopik
 Tanda dan gejala
Sensasi terbakar, bertahi mata berlendir, merah, dan fotofobia.
Tepian palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu.
Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang
seperti pada keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di
tarsus inferior. Berbeda dengan papilla raksasa pada
keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus superior. Tanda-
tanda kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit
setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi berulangkali. Timbul
keratitis perifer superficial yang diikuti dengan vaskularisasi. Pada
kasus berat, seluruh kornea tampak kabur dan bervaskularisasi, dan
ketajaman penglihatan. 1,3
Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema)
pada pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita
dermatitis atopic sejak bayi. Parut pada lipatan-lipatan fleksura lipat
siku dan pergelangan tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti
dermatitisnya, keratokonjungtivitis atopic berlangsung berlarut-larut
dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti
36

keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif bila


pasien telah berusia 50 tahun. 3

 Laboratorium
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak
sebanyak yang terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal. 1
 Terapi
Antihistamin oral termasuk terfenadine (60-120 mg 2x sehari),
astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine (50 mg waktu
tidur, dinaikkan sampai 200 mg) ternyata bermanfaat. Obat-obat
antiradang non-steroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan
iodoxamid, ternyata dapat mengatasi gejala pada pasien-pasien ini.
Pada kasus berat, plasmaferesis merupakan terapi tambahan. Pada
kasus lanjut dengan komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan
transplantasi kornea untuk mengembalikan ketajaman penglihatannya.
1,3

E. Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat


1) Phlyctenulosis
 Definisi
Keratokonjungtivitis phlcytenularis adalah respon hipersensitivitas
lambat terhadap protein mikroba, termasuk protein dari basil tuberkel,
Staphylococcus spp, Candida albicans, Coccidioides immitis,
Haemophilus aegyptus, dan Chlamydia trachomatis serotype L1, L2,
dan L3. 1
 Tanda dan Gejala
Phlyctenule konjungtiva mulai berupa lesi kecil yang keras, merah,
menimbul, dan dikelilingi zona hyperemia. Di limbus sering berbentuk
segitiga, dengan apeks mengarah ke kornea. Di sini terbentuk pusat
putih kelabu, yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari.
Phlyctenule pertama pada pasien dan pada kebanyakan kasus kambuh
37

terjadi di limbus, namun ada juga yang di kornea, bulbus, dan sangat
jarang di tarsus. 1,3
Phlyctenule konjungtiva biasanya hanya menimbulkan iritasi dan
air mata, namun phlyctenule kornea dan limbus umumnya disertai
fotofobia hebat. Phlyctenulosis sering dipicu oleh blefaritis aktif,
konjungtivitis bacterial akut, dan defisiensi diet. 3
 Terapi
Phlyctenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein dan protein
dari infeksi sistemik lain berespon secara dramatis terhadap
kortikosteroid topical. Terjadi reduksi sebagian besar gejala dalam 24
jam dan lesi hilang dalam 24 jam berikutnya. Antibiotika topical
hendaknya ditambahkan untuk blefarikonjungtivitis stafilokokus aktif.
Pengobatan hendaknya ditujukan terhadap penyakit penyebab, dan
steroid bila efektif, hendaknya hanya dipakai untuk mengatasi gejala
akut dan parut kornea yang menetap. Parut kornea berat mungkin
memerlukan tranplantasi. 1
F. Konjungtivitis Akibat Penyakit Autoimun:
Keratokonjungtivitis Sicca
Berkaitan dgn. Sindrom Sjorgen (trias: keratokonj. sika, xerostomia,
artritis).
 Gejala:
- khas: hiperemia konjungtivitis bulbi dan gejala iritasi yang tidak
sebanding dengan tanda-tanda radang.
- Dimulai dengan konjungtivitis kataralis
- Pada pagi hari tidak ada atau hampir tidak ada rasa sakit, tetapi
menjelang siang atau malam hari rasa sakit semakin hebat.
- Lapisan air mata berkurang (uji Schirmer: abnormal)
- Pewarnaan Rose bengal Ù uji diagnostik.
 Pengobatan:
- air mata buatan Ù vitamin A topikal
- obliterasi pungta lakrimal.
38

G. Konjungtivitis Kimia atau Iritatif:


Konjungtivitis Iatrogenik Pemberian Obat Topikal
Konjungtivitis folikular toksik atau konjungtivitis non-spesifik infiltrate,
yang diikuti pembentukan parut, sering kali terjadi akibat pemberian lama
dipivefrin, miotika, idoxuridine, neomycin, dan obat-obat lain yang disiapkan
dalam bahanpengawet atau vehikel toksik atau yang menimbulakan iritasi.
Perak nitrat yang diteteskan ke dalam saccus conjingtiva saat lahir sering
menjadi penyebab konjungtivitis kimia ringan. Jika produksi air mata
berkurang akibat iritasi yang kontinyu, konjungtiva kemudian akan cedera
karena tidak ada pengenceran terhadap agen yang merusak saat diteteskan
kedalam saccus conjungtivae. 3
Kerokan konjungtiva sering mengandung sel-sel epitel berkeratin,
beberapa neutrofil polimorfonuklear, dan sesekali ada sel berbentuk aneh.
Pengobatan terdiri atas menghentikan agen penyebab dan memakai tetesan
yang lembut atau lunak, atau sama sekali tanpa tetesan. Sering reaksi
konjungtiva menetap sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan
lamanya setelah penyebabnya dihilangkan. 3
H. Konjungtivitis Pekerjaan oleh Bahan Kimia dan Iritans
Asam, alkali, asap, angin, dan hamper setiap substansi iritan yang masuk
ke saccus conjungtiva dapat menimbulkan konjungtivitis. Beberapa iritan
umum adalah pupuk, sabun, deodorant, spray rambut, tembakau, bahan-bahan
make-up, dan berbagai asam dan alkali. Di daerah tertentu,asbut (campuran
asap dan kabut) menjadi penyebab utama konjungtivitis kimia ringan. Iritan
spesifik dalam asbut belum dapat ditetapkan secara positif, dan
pengobatannya non-spesifik. Tidak ada efek pada mata yang permanen,
namun mata yang terkena seringkali merah dan terasa mengganggu secara
menahun. 1,3
Pada luka karena asam, asam itu mengubah sifat protein jaringan dan
efek langsung. Alkali tidak mengubah sifat protein dan cenderung cepat
menyusup kedalam jaringan dan menetap di dalam jaringan konjungtiva.
Disini mereka terus menerus merusak selama berjam-jam atau berhari-hari
39

lamanya, tergantung konsentrasi molar alkali tersebut dan jumlah yang


masuk. Perlekatan antara konjungtiva bulbi dan palpebra dan leokoma kornea
lebih besar kemungkinan terjadi jika agen penyebabnya adalah alkali. Pada
kejadian manapun, gejala utama luka bahan kimia adalah sakit, pelebaran
pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme. Riwayat kejadian pemicu
biasanya dapat diungkapkan. 3
Pembilasan segera dan menyeluruh saccus conjungtivae dengan air atau
larutan garam sangat penting, dan setiap materi padat harus disingkirkan
secara mekanik. Jangan memakai antidotum kimiawi. Tindakan simtomatik
umum adalah kompres dingin selama 20 menit setiap jam, teteskan atropine
1% dua kali sehari, dan beri analgetika sistemik bila perlu. Konjungtivitis
bacterial dapat diobati dengan agen antibakteri yang cocok. Parut kornea
mungkin memerlukan transplantasi kornea, dan symblepharon mungkin
memerlukan bedah plastic terhadap konjungtiva. Luka bakar berat pada
kojungtiva dan kornea prognosisnya buruk meskipun dibedah. Namun jika
pengobatan memadai dimulai segera, parut yang terbentuk akan minim dan
prognosisnya lebih baik. 3
40

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Ed 3. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2009


2. Ilyas, Sidarta, Tanzil, Muzakkir, Salamun, Azhar, Zainal. Sari Ilmu Penyakit
Mata. Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 2000.
3. Voughan, Daniel G, Asbury, Taylor. Riordan-Eva, Paul. Oftalmologi Umum
(General Ophthalmology). Ed. 14. Widya Medika, Jakarta : 2000.
4. Wijana, Nana S.D. Ilmu Penyakit Mata. Abadi Tegal, Jakarta: 1993. 42-50.14.
Ilyas, H. Sidarta Prof. dr. SpM. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI; 2003, hal
2, 134.15. Putz, R. & Pabst R. Sobotta. Jilid 1. Edisi 21. Jakarta: EGC, 2000

Anda mungkin juga menyukai