OLEH KELOMPOK 3 :
A11-B
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa
penulis telah dapat membuat makalah tentang Pengurangan Resiko,Pencegahan
Penyakit,Promkes Komunikasi Dan Penyebaran Informasi walaupun banyak sekali
hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi dalam menyusun makalah ini,dan mungkin
makalah ini masih terdapat kekurangan dan belum bisa dikatakan sempurna dikaranakan
keterbatasan kemampuan penulis.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak terutama dari Bapak/Ibu dosen maupun teman-teman
sekalian supaya penulis dapat lebih baik lagi dalam menyusun sebuah makalah
dikemudian hari, dan semoga makalah ini berguna bagi siapa saja.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengurangan Resiko, Pencegahan Penyakit Dan Promosi Kesehatan ................ 3
2.1.1 Konsep Pengurangan Resiko Bencana ................................................... 3
2.1.2 Tahap Pengurangan Resiko Bencana...................................................... 11
2.1.3 Pencegahan dan Mitigasi Promosi Kesehatan ........................................ 19
2.2 Komunikasi Dan Penyebaran Informasi .............................................................. 21
2.2.1 Pengertian Umum dan Peran Komunikasi ................................................ 21
2.2.2 Fungsi Komunikasi.................................................................................... 21
2.2.3 Komunikasi Bencana ................................................................................. 22
2.2.4 Penerapan Radio Dalam Media Komunikasi Dalam Bencana .................. 25
2.2.5 Komunikasi Integratif Penanganan Bencana............................................. 26
2.2.6 Pengelolaan Data dan Informasi Penanggulangan Krisis .......................... 29
2.2.7 Mekanisme Kerja Informasi ...................................................................... 31
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
dibutuhkan. Selain itu, sebuah kondisi darurat juga tidak bisa menjadi legitimasi
kerja pemberian bantuan yang asal-asalan. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa
sumber daya sebesar apapun yang kita miliki tidak akan cukup untuk memenuhi
seluruh kebutuhan komunitas korban bencana. Di sisi lain, sekecil apapun sumber
daya yang kita miliki akan memberikan arti bila didasarkan pada pemahaman
kondisi yang baik dan perencanaan yang tepat dan cepat, mengena pada kebutuhan
yang paling mendesak.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Paradigma yang terkhir adalah paradigma pengurangan resiko.
Pendekatan ini merupakan perpaduan dari sudut pandang teknis dan ilmiah
dengan perhatian kepada faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik dalam
perencanaan pengurangan bencana. Dalam paradigma ini penanggulangan
bencana bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
mengelola dan menekan resiko terjadinya bencana. Hal terpenting dalam
pendekatan ini adalah memandang masyarakat sebaga subyek dan bukan
obyek dari penanggulangan bencana dalam proses pembangunan.
Di Indonesia, masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana
itu merupakan suatu takdir. Hal ini merupakan gambaran bahwa paradigma
konvensional masih kuat dan berakar di masyarakat. Pada umumnya mereka
percaya bahwa benana itu adalah kutukan atas dosa dan kesalahan yang
telah diperbuat, sehingga seseorang harus menerima bahwa itu sebagai
takdir akibat perbuatannya. Sehingga tidak perlu lagi berusaha untuk
mengambil langkah-langkah pencegahan dan penaggulanganya.
Paradigma penanggulangan bencana sudah beralih dari paradigma
bantuan darurat menuju ke paradigma mitigasi/preventif dan sekaligus juga
paradigma pembangunan. Karena setiap upaya pencegahan dan mitigasi
hingga rehabilitasi dan rekonstruksinya telah diintegrasikan dalam program-
program pembangunan di berbagai sektor.
Dalam paradigma sekarang, pengurangan resiko bencana yang
merupakan rencana terpadu yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah
serta meliputi aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Dalam
implementasinya kegiatan pengurangan resiko bencana nasional akan
disesuaikan dengan rencana pengurangan risiko bencana pada tingkat
regional dan internasional. Dimana masyarakat merupakan subyek, obyek
sekaligus sasaran utama upaya pengurangan resiko bencana dan berupaya
mengadopsi dan memperhatikan kearifan lokal (local wisdom) dan
pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang ada dan berkembang
dalam masyarakat. Sebagai suyek masyarakat diharapkan dapat aktif
mengakses saluran informasi formal dan non-formal, sehingga upaya
4
pengurangan risiko bencana secara langsung dapat melibatkan masyarakat.
Pemerintah bertugas mempersiapkan sarana, prasarana dan sumber daya
memadai untuk pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana.
Dalam rangka menunjang dan memperkuat daya dukung setempat,
sejauh memungkinkan upaya-upaya pengurangan risiko bencana akan
menggunakan dan memberdayakan sumber daya setempat. Ini termasuk
tetapi tidak terbatas pada sumber dana, sumber daya alam, ketrampilan,
proses-proses ekonomi dan sosial masyarakat.
Jadi, ada tiga hal penting terkait dengan perubahan paradigma ini, yaitu :
1. Penanggulangan bencana tidak lagi berfokus pada aspek tanggap darurat
tetapi lebih pada keseluruhan manejemen risiko.
2. Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah
merupakan wujud pemenuhan hak asasi rakyat dan bukan semata-mata
karena kewajiban pemerintah.
3. Penangulangan bencana bukan lagi hanya urusan pemerintah tetapi juga
menjadi penanggung jawab utamanya.
5
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun
kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua
tingkatan masyarakat.
4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.
5. Memperkuat kesepian menghadapi bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif.
6
A. Bahaya (hazards)
Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai
potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan
kerusakan lingkungan. Berdasarkan United International Strategy for
Disaster Reduction (UN-ISDR), bahaya ini dibedakan menjadi lima
kelompok yaitu :
1. Bahaya beraspek geologi antara lain gempa bumi, tsunami, gunung
api, gerakan tanah (mass movement) sering dikenal sebagai tanah
longsor.
2. Bahaya beraspek hidrometeorologi antara lain : banjir, kekeringan,
angin topan, gelombang pasang.
3. Bahaya beraspek bilogi antara lain : wabah penyakit, hama dan
penyakit tanaman dan hewan/ ternak.
4. Bahaya beraspek teknologi antara lain : kecelakaan transportasi,
kecelakaan industri, kegagalan teknologi.
5. Bahaya beraspek lingkungan antara lain : kebakaran hutan,
kerusakan lingkungan, pencemaran limbah.
7
Pegunungan yang terbentuk akibat proses penunjaman lempeng ini
merupakan morfologi muda dengan batuan penyusun berupa material
gunungapi muda yang mengalami pelapukan kuat akibat kondisi iklim
tropis. Keadaan ini sangat rawan terjadinya bencana tanah longsor serta
banjir khususnya banjir bandang. Perubahan lingkungan yang drastic
terutama perubahan dalam pemanfaatan lahan khususnya dari areal hutan
alam menjadi daerah budidaya (permukiman, perkebunan, pertanian,
ladang) telah berpengaruh besar terhadap terjadinya bencana pada waktu
belakangan ini.
B. Kerantanan (vulnerability)
Kerentanan (vulnerability) merupakan kondisi dari suatu komunitas
atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkna ketidakmampuan
dalam menghadapi ancaman bahaya.
Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui
sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana,
karena bemcana baru akan terjadi bila „bahaya‟ terjadi pada kondisi yang
rentan. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik
(infrastruktur), social kependudukan, dan ekonomi.
Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi fisik
(infrastruktur) yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard) tertentu.
Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai indicator sebagai
berikut: presentase kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase
bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio panjang jalan;
jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA. Wilayah
permukiman di Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi yang
sangat rentan karena presentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan
dan bangunan konstruksi darurat di perkotaan sangat tinggi sedangkan
persentase, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi,
jaringan PDAM, jalan KA sangat rendah.
8
Kerentanan social menggambarakan kondisi tingkat kerapuhan
social dalam menghadapi bahaya (hazard). Pada kondisi social yang
rentan maka jika terjadi bancana dapat dipastikan akan menimbulkan
dampak kerugian yang besar. Beberapa indikatir kerentanan social antara
lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, [ersentase
penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita. Kota-kota di Indonesia
memiliki kerentanan social yang tinggi karena memiliki porsentase yang
tinggi pada indicator-idikator tersebut.
Kerenatanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat
kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya (hazards).
Beberapa indicator kerentanan ekonomi diantaranya adalah persentase
rumah tangga yang bekerja di sector rentan (sector yang rawan terhadap
pemutusan hubungan kerja) dan persentase rumah tangga miskin
Beberapa indikator kerentanan fisik, ekonomi dan social tersebut di
atas menunjukkan bahwa wilayah Indonesia memiliki tingkat kerentanan
yang tinggi, sehingga hal ini mempengaruhi/menyebabkan tingginya
risiko terjadinya bencana di wilayah Indonesia.
9
C. Risiko Bencana (disaster risk)
Dalam disiplin penanggulangan bencana (disaster management),
risiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan
ancaman bahaya (hazard) yang ada. Ancaman bahaya, khususnya bahaya
alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika prose salami
pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga
internal maupuneksternal, sedangkan tingakt kerentanan daerah dapat
dikurangi, sehingga kemampuan dalam mengahadapi ancaman tersebut
semakin meningkat.
Secara umum, risiko dapat dirumuskan sebagai berikut:
Kemampuan
10
dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, atau peluang lainnya
yang dijanjikan oleh lokasi tersebut.
Dalam kaitannya dengan pengurangan risiko bencana, maka upaya
yang dapat dilakukan adalah melalui pengurangan tingkat kerentanan,
karena hal tersebut relative lebih mudah dibandingkan dengan
mengurangi/memperkecil bahaya/hazard.
11
dan budaya, keamanan dan ketertiban, fungsi pemerintahan dan
pelayanan publik).
Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan,
padahal justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting karena
apa yang sudah dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam
menghadapi bencana dan pasca bencana. Sedikit sekali pemerintah bersama
masyarakat maupun swasta memikirkan tentang langkah-langkah atau
kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan didalam menghadapi bencana
atau bagaimana memperkecil dampak bencana.
Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian
bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa
penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian, akan
mendapatkan perhatian penuh baik dari pemerintah bersama swasta maupun
masyarakatnya. Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak
yang menaruh perhatian dan mengulurkan tangan memberikan bantuan
tenaga, moril maupun material. Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya
merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan baik, agar setiap
bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan
terjadi efisiensi.
12
Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi
masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana
dan sarana pada keadaan semula. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan
adalah bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan harus
memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta tidak hanya melakukan
rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu diperhatikan juga rehabilitasi psikis
yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau depresi.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa titik lemah dalam Siklus Manajemen
Bencana adalah pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga hal inilah yang
perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi
dampak bencana yang terjadi.
13
Penyakit penyakit yang sering kali diderita para pengungsi di Indonesia
tidak lepas dari kondisi kedaruratan lingkungan, antara lain diare, ISPA,
campak dan malaria. WHO mengidentifikasi empat penyakit tersebut sebagai
The Big Four. Kejadian penyakit spesifik sering muncul sesuai dengan
bencana yang terjadi. Banjir di Jakarta pada awal tahun 2007 selain
menimbulkan peningkatan kasus Diareyang tinggi, juga memunculkan kasus
leptospirosis yang relative besar, yaitu 248 kasus dengan 19 kematian (CFR
7,66 %). Sedangkan, gempa di DIY dan jateng pada tahun 2006
mengakibatkan 76 penduduk menderita tetanus dan 29 di antaranya
meninggal dunia.
Meskipun dapat dikatakan dengan sepatah kata, ada bermacam-macam
penyebab bencana, kondisi kerusakannya, serta massa-massa terkena dampak,
dan lain-lain. Biasanya dalam menanggulangi bencana, maka bencana
tersebut akan dibagi menjadi 4 fase, yaitu :
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana ( prevention and
preparedne phase)
2. Fase tindakan ( response phase) yang terdiri dari fase akut ( acute phase)
dan fase sub akut (sub acute phase)
3. Fase pemulihan ( recovery phase)
4. Fase rehabilitasi / rekonstruksi.
Fase fase ini terjadi secara berurutan sebelum dan sesudah bencana, dan
tindakan terhadap bencana pertama berhubungan dengan kesiapsiagaan
untuk bencana selanjutnya, sehingga hal ini disebut siklus bencana.
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik
dengan memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalsisir berbagai
kerugian yang ditimbulkan akibat bencanadan menyusun perencanaan
agar dapat melakukan kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif
pada saat terjadi bencana. Tindakan terhadap bencana menurut PBB ada
9 kerangka, yaitu:
14
a. Pengkajian terhadap kerentanan
b. membuat perencanaan ( pencegahan bencana)
c. Pengorganisasian
d. Sistem informasi
e. Pengumpulan sumber daya
f. Sistem alarm
g. Mekanisme tindakan
h. Pendidikan dan pelatihan penduduk
2. Fase tindakan
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang
nyata untuk menjaga diri sendiri dan harta kekayaan. Aktivitas yang
dilakukan secara kongkret yaitu :
a. Instruksi pengungsian
b. Pencarian dan penyelamatan korban
c. Menjamin qkeamanan dilokasi bencana
d. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
e. Pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat,
f. Pengiriman dan penyerahan barang material
g. Menyediakan tempat pengungsian dan lain-lain.
15
(sebelum terjadi bencana), orang-orang melakukan perbaikan darurat
tempat tinggalnya, pindah kerumah sementara, mulai masuk sekolah
ataupun bekerja kembali sambil memulihkan lingkungan tempat
tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas
untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga memulai
memberikan kembali pelayanan seqqcara normal serta mulai menyusun
rencana-rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan
kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase
pemulihan dan tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti
sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini merupakan masa
peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
4. Fase Rehabilitasi / Rekonstruksi.
Jangka waktu fase Rehabilitasi / Rekonstruksi juga tidak dapat
ditentukan, namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat
berusaha menegembalikan fungsi-fungsinya seperti sebelum bencana dan
merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Tetapi, seseorang
atau masyarakat tidak dapat kembali pada keadaan yang sama seperti
sebelum mengalami bencana, sehingga dengan menggunaan
pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan individu serta keadaan
komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif.
16
maka sangat diperlukan lancarnya pelaksanaan Triage ( triase),
Treatment ( pertolongan pertama), dan transportation ( transportasi) pada
korban luka, yang dalam pelayanan medis bencana disebut dengan 3T.
selain tindakan penyelamatan secara langsung, dibutuhkan juga
perawatan terhadap mayat dan keluarga yang ditinggalkan, baik di rumah
sakit, lokasi bantuan perawatan darurat maupun ditempat pengungsian
yang menerima korban bencana.
2. Fase menengah dan panjang pada siklus bencana.
Pada fase ini, terjadi perubahan pada lingkungan tempat tinggal yaitu dari
tempat pengungsiam ke rumah sementara dan rumah yang direhabilitasi.
Hal-hal yang dilakukan diantaranya adalah : memperhatikan segi
keamanan supaya dapat menjalankan aktivitas hidup yang nyaman
dengan tenang, membantu terapi kejiwaan korban bencana, membantu
kegiatan-kegiatan untuk memulihkan kesehatan hidup dan membangun
kembali komunitas social
3. Fase tenang pada siklus bencana
Pada fase tenang diman tidak terjadi bancana, diperlukan pendidikan
penanggulangan bencana sebagai antisipasi saat bencana terjadi,
pelatihan pencegahan bencana pada komunitas dengan melibatkan
penduduk setempat, pengecekan dan pemeliharaan fasilitas peralatan
pencegahan bencana baik di daerah-daerah maupun pada fasilitas medis,
srta membangun sistem jaringan bantuan.
17
1. Sanitasi darurat.
Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan jamban
:kualitas tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai standard.
Kekurangan jumlah maupun kualitas sanitasi ini akan meningkatkan
resiko penularan penyakit.
2. Pengendalian vector.
Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka kemungkinan
terdapat nyamuk dan vector lain disekitar pengungsi. Ini termasuk
timbunann sampah dan genagan air yang memungkinkan tejadinya
perindukan vector. Maka kegiatan pengendalian vector terbatas saat
diperlukan baik dalam bentuk spraying, atau fogging, larvasiding,
maupun manipulasi lingkungan.
3. Pengendalian penyakit.
Bila dari laporan pos pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan kasus
penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka dilakukan pengendalian
melalui intensifikasi penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor
resikonya. Penyakit yang memerlukan perhatian adalah diare dan ISPA.
4. Imunisasi terbatas.
Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama orang tua,
ibu hamil, bayi dan balita. Bagi bayi dan balita perlu imunisasi campak
bila dalam catatan program daerah tersebut belum mendapatkan crash
program campak. Jenis imunisasi lain mungkin diperlukan ssuai dengan
kebutuhan setempat seperti yang dilakukan untuk mencegah kolera.
5. Surveilanse Epidemologi.
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi epidemologi
penyakit potensi KLB dan faktor resiko.atas informasi inilah maka dapat
ditentukan pengendalian penyakit, pengendalian vector, dan pemberian
imunisasi, informasi epidemologi yang harus diperoleh melalui kegiatan
surveilens epidemologi adalah :
a. Reaksi social
b. Penyakit menular
18
c. Perpindahan penduduk
d. Pengaruh cuaca
e. Makanan dan gizi
f. Persediaan air dan sanitasi
g. Kesehatan jiwa
h. Kerusakan infrastruktur kesehatan.
19
i. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
j. Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
2. Mitigasi aktif
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif
antara lain:
a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana dsb.
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang
penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain
yang berkaitan dengan pencegahan bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
d. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah
yang lebih aman.
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi
jika terjadi bencana.
g. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan
gempa dan sejenisnya.
20
2.2 KOMUNIKASI DAN PENYEBARAN INFORMASI
2.2.1 Pengertian Umum dan Peran Komunikasi
Komunikasi adalah proses penyampaian suatu maksud, tujuan ataupun
berita-berita kepada pihak-pihak lain dan mendapatkan respons/tanggapan
sehingga pada masing-masing pihak mencapai pengertian yang maksimal.
Bentuk komunikasi tersebut dapat dilakukan secara lisan, tulisan,
isyarat/tanda dan juga dapat menggunakan peralatan (misalnya; radio
dengan informasi suara, data dan gambar). Dalam suatu keadaan darurat
(disaster) baik dalam skala kecil, menengah dan besar, unsur komunikasi
adalah salah-satu komponen (sub-system) yang berperan menentukan
terhadap; berhasil atau kurang berhasil, bahkan gagalnya suatu operasi
penyelamatan (search and rescue) dan pengerahan bantuan penanganan serta
penanggulangan terhadap kejadian musibah/bencana.
Komponen-komponen yang saling menunjang dalam suatu operasi/-
pengerahan bantuan dimaksud, adalah;
1. Organisasi (mission organization);
2. Fasilitas;
3. Pelayanan gawat darurat (emergency care);
4. Komunikasi; dan
5. Dokumentasi
21
mengurangi timbulnya kerugian yang banyak (harta benda bahkan jiwa
manusia).
2. Sarana koordinasi antar semua institusi/instansi/organisasi/- potensi yang
terlibat operasi, agar menemukan cara yang tepat, cepat, efektif dan
efisien.
3. Sarana untuk mengalirkan perintah, berita-berita dan berikut
pengendalian terhadap semua unsur dan elemen yang terlibat dalam
operasi/kegiatan pertolongan/penyelamatan.
4. Sarana bantuan administrasi dan logistik.
22
Dalam menghadapi bencana, kita memerlukan komunikasi sosial yang
melibatkan banyak masyarakat. Menurut Wilbur Schram (dalam Lestari,
2011: 90), ada empat fungsi komunikasi sosial:
1. Komunikasi sebagai radar sosial. Komunikasi sosial berfungsi untuk
memastikan atau memberi keyakinan kepada pihak lain mengenai
informasi yang sedang berlangsung, bahwa apabila ada informasi yang
baru dan relevan dengan kehidupan masyarakat, masyarakat yang
memperoleh informasi tersebut dapat menggunakannya dalam pergaulan
sehari - hari, agar tidak ketinggalan informasi.
2. Komunikasi sebagai manajemen. Komunikasi sosial berfungsi sebagai
dasar tindakan atau kegiatan komunikasi yang menjadi alat untuk
mengatur atau mengendalikan anggota komunitas dan anggota ini
mengetahui apa yang diharapkan oleh pihak lain terhadap dirinya dalam
hidup bermasyarakat.
3. Komunikasi sebagai sarana sosialisasi. Kegiatan komunikasi untuk
menyampaikan pengetahuan atau pendidikan bagi warga ataupun
generasi baru dalam kehidupan bermasyarakat. Kegiatan ini disebut juga
sebagai proses sosialisasi.
4. Kegiatan komunikasi yang berfungsi untuk menghibur masyarakat, atau
kegiatan yang dapat melepaskan ketegangan hidup bermasyarakat.
23
1. Openness
Openness atau keterbukaan, menunjukkan pada dua aspek, yaitu kita
harus terbuka pada orang yang berinteraksi dengan kita. Pertama, ada
kemauan membuka diri pada masalah-masalah umum dan kedua,
keterbukaan menunjuk pada kemauan kita untuk memberikan tanggapan
pada orang lain dengan jujur dan terus terang tentang segala sesuatu yang
dikatakannya demikian pula sebaliknya.
2. Emphaty
Emphaty atau empati, adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan
dirinya pada peranan atau posisi orang lain. Dalam arti seseorang secara
emosional dan intelektual mampu memahami apa yang dirasakan dan
dialami orang lain.
3. Supportivennes
Supportivennes atau perilaku suportif, seseorang dalam menghadapi
suatu masalah tidak bersikap bertahan. Keterbukaan dan empati tidak
akan dapat berlangsung dalam suasana yang defensif.
4. Positivennes
Positivennes atau sikap positif, sikap positif merujuk pada dua hal, yaitu
sikap positif pada diri sendiri dan sikap positif terhadap orang lain dan
dalam berbagai situasi komunikasi.
5. Equality
Equality atau kesamaan, kesamaan disini merujuk pada dua hal, yaitu
kesamaan bidang pengalaman diantara pelaku komunikasi. Komunikasi
akan efektif ketika para pelakunya memiliki nilai, sikap, perilaku dan
pengalaman yang sama. Kedua, kesamaan dalam kerangka berpikir
antara pihak yang berkomunikasi.
24
2.2.4 Penerapan Radio Dalam Media Komunikasi Dalam Bencana
Pada dasarnya semua unsur penyelenggara komunikasi yang ada di
Indonesia (milik pemerintah, milik swasta, milik perorangan, dll.) dapat
dikerahkan oleh suatu badan, lembaga atau instansi yang berwenang
mengkoordinasikan kegiatan penanggulangan dan penanganan terhadap
kejadian musibah/bencana/marabahaya (disaster), agar dapat tepat waktu
dan tepat pola tindaknya pada saat keadaan emergency tersebut.
Dalam kenyataaannya, banyak diantara pemakai dan pengguna alat dan
peralatan radio komunikasi yang belum memberikan perhatian yang agak
pantas pada suatu kegiatan/operasi penanganan korban musibah bila terjadi
keadaan darurat/marabahaya (disaster). Hal tersebut diatas dapat
disebabkan, antara lain oleh ;
1. Tidak menyadari peranan penting dirinya yang berkemampuan
menggunakan peralatan radio komunikasi dalam keharusan
keterlibatannya.
2. Tidak mempunyai minat dalam memanfaatkan kemampuan diri dan
peralatannya, dan hanya berfikir sudah cukup bila dapat menjalankan
perannya (pada waktu diminta) tanpa usaha untuk menguasai aturan-
aturannya secara baik dan optimal.
3. Tidak tahu harus berbuat apa,.. karena ketidak-tahuan dan tidak terlatih.
Dari uraian secara umum yang ditulis diatas, maka terlihat begitu
pentingnya kita semua harus paham akan posisi dan peran ORARI
(organisasi beserta anggota didalamnya), bahwa kegiatan public service
yang dilakukan ORARI dalam keadaan disaster dengan segala bentuk dan
implikasinya, akan berujung pada seberapa besar kemampuan
koordinasinya, kemampuan dan pengetahuan individu yang dilibatkan, serta
dukungan kerja-sama terpadu dari semua pihak/unit yang ikut dalam
kegiatan penanggulangan bencana tersebut.
25
2.2.5 Komunikasi Integratif Penanganan Bencana
Penanganan bencana yang berlandaskan kepada peraturan, jika ditinjau
dari aspek legal, memang dapat dipertanggungjawabkan. Namun nuansa
birokratis yang berbelit – belit, tetap tidak bisa dihindari. Karena itu,
mengingat aspek legal wajib dijalankan, sedangkan penanganan bencana
harus dilakukan dengan cepat, maka peran komunikasi dalam
menyampaikan informasi secara cepat, merupakan salah satu jalan untuk
mendukung penanganan bencana yang eskalasinya meningkat.
Komunikasi dimaksudkan untuk berbagi informasi dan mengurangi
kekakuan dalam organisasi. Jadi, komunikasi dapat menciptakan suatu
fleksibilitas dalam melaksanakan kegiatan organisasi tanpa harus melakukan
penyimpangan terhadap peraturan yang ada. Dalam pemikiran
konvensional, komunikasi merupakan pengungkapan diri yang berjalan
sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku sebagai hak dan kewajiban
setiap orang yang terlibat didalamnya. Dengan demikian, komunikasi dapat
menciptakan fleksibilitas dalam pelaksanaan kegiatan, namun tetap berpijak
kepada aturan dan norma yang disepakati bersama.
Dalam implementasi penanggulangan bencana, pemerintah daerah harus
menyusun Contingency Plan Penanggulangan Bencana, yang mencakup
analisa daerah rawan bencana, identifikasi potensi dan sistem sumber yang
dapat dimobilisasi, menentukan kebijakan serta langkah strategis jika terjadi
bencana.
Pada kontek ini, masyarakat harus diposisikan sebagai subyek, bukan
sebagai obyek dalam penanggulangan bencana, sehingga mereka
mengetahui ancaman di wilayahnya dan mampu meningkatkan kapasitas
menghadapi ancaman melalui Program Penanggulangan Bencana
Berbasiskan Masyarakat. Karena itu, diperlukan deregulasi sistem
pengawasan dan pengendalian bencana dengan aturan khusus dalam kondisi
darurat, yang bisa memangkas birokrasi pemberian bantuan dan
mempersingkat proses komunikasi berjenjang menjadi pola komunikasi
yang integratif dalam waktu yang cepat.
26
Kecepatan dalam komunikasi untuk pengambilan keputusan dan sistem
komunikasi yang terhubung antar lembaga peduli bencana, akan
meminimalisir jatuhnya korban. Acuan penanggulangan bencana dapat
berjalan lancar jika manajemen informasi bencana dikelola dengan
interaktif. Acuan penanggulangan bencana (tsunami), tidak bisa lepas dari
fungsi komunikasi, yang memberikan sinyal untuk mengurangi
ketidakpastian, sebagai berikut :
1. Memasang sarana diseminasi informasi, termasuk :”dedicated
link”(saluran Komunikasi khusus), radio Internet , server untruk system
“5 in One”dan sirene, sehingga informasi dari BMG dapat diterima
secepat – cepatnya.
2. Membuat peta jalur evakuasi dan zona evakuasi dan rambu – rambu
bahaya tsunami di sepanjang pantai yang rawan tsunami.
3. Membangun shelter pengungsian yang dilengkapi dengan jalan dari
pemukiman penduduk ke shelter, serta sarana dan prasarana darurat di
pengungsian.
4. Mengadakan pelatihan evakuasi baik untuk masyarakat pesisir maupun
aparat terkait, secara berkala 2 (dua) kali setahun, dalam rangka
meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi tsunami.
5. Memfasilitasi peningkatan pemahaman masyarakat melalui Pendidikan
formal dan nonformal.
27
suatu tindakan untuk menguasai dengan memanfaatkan saluran untuk
mengirimkan pesan, mengeluarkan stimulus untuk memperoleh respon yang
diharapkan, memiliki maksud untuk mendorong munculnya perilaku yang
dikehendaki.
Mengingat komunikasi juga terkait respon yang berbeda, ketersediaan
waktu dan situasi, maka selayaknya jika institusi pemerintah sebagai pihak
yang berhubungan langsung dengan penanganan bencana, harus membuat
pusat informasi bencana yang mengeluarkan informasi standar, faktual dan
mudah diakses oleh masyarakat. Sebab bagaimanapun juga komunikasi
adalah kekuatan untuk mempengaruhi khlayak.
Standarisasi informasi bukan berarti menghentikan kebebasan
menyampaikan informasi, tetapi demi untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat, agar mereka dapat melakukan dengan bertumpu kepada
kekuatan dan pengalaman diri sendiri, dalam meminimalisir dampak negatif,
jika sewaktu – waktu muncul bencana di lingkungannya. (Susanto, 2006).
Penyebaran informasi untuk mencegah jatuhnya korban, maupun untuk
menyelamatkan nyawa manusia, tidak bisa dilakukan secara sporadis dan
kurang menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Disisi lain, hak atas
informasi adalah hak yang melekat dalam diri manusia (Haryanto, 2010:7).
Karena itu, penetapan standar informasi bencana yang terkoordinasi dengan
baik, harus disebarluaskan dengan memanfaatkan saluran komunikasi yang
ada di masyarakat, seperti media massa dan media alternatif lain.
Boykoff dan Robert (dalam Susanna Hornig Priest, 2010: 145),
menyatakan bahwa, liputan media massa menjadi kontributor utama dalam
memberikan pemahaman kepada masyarakat maupun tindakan yang harus
diambil dalam menghadapi berbagai isu tentang lingkungan, teknologi dan
resiko yang akan terjadi. Sedangkan McQuail (2005:57) menyatakan,
khalayak media massa yang berjumlah besar, tersebar luas, heterogin dan
tidak terorganisir bisa dipengaruhi oleh liputan media.
28
2.2.6 Pengelolaan Data dan Informasi Penanggulangan Krisis
Informasi penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana harus
dilakukan dengan cepat, tepat, akurat dan sesuai dengan kebutuhan. Pada
saat pra, saat dan pasca‐bencana pelaporan informasi penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana dimulai dari pengumpulan sampai penyajian
informasi dan ditujukan untuk mengoptimalisasikan upaya penanggulangan
krisis kesehatan akibat bencana.
Dalam pengumpulan data sebaiknya terpilah, sesuai dengan keharusan
untuk mengarus utamakan gender dalam semua kebijakan/program/kegiatan
yang memerlukan data terpilah.
1. Informasi Pra‐Bencana
Dalam rangka mendukung upaya‐upaya sebelum terjadi bencana
diperlukan data dan informasi yang lengkap, akurat dan terkini sebagai
bahan masukan pengelola program di dalam mengambil keputusan
terkait penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Salah satu
bentuk informasi yang cukup penting adalah adanya profil yang
mengambarkan kesiapsiagaan sumber daya dan upaya‐upaya yang telah
dilakukan terkait dengan penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana di daerah, khususnya di tingkat kabupaten/kota. Informasi yang
dikumpulkan dalam bentuk profil terdiri dari:
a. gambaran umum wilayah, yang meliputi letak geografis, aksesibilitas
wilayah gambaran wilayah rawan bencana, geomedic mapping, data
demografi, dan informasi bencana yang pernah terjadi;
b. Upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan, yang pernah
dilakukan;
c. Upaya tanggap darurat dan pemulihan, yang pernah dilakukan;
d. Gambaran pengelolaan data dan informasi.
29
2. Informasi saat dan pasca bencana
Informasi saat dan pasca‐bencana ini terdiri dari :
a. Informasi pada awal kejadian bencana;
Informasi ini harus disampaikan segera setelah kejadian awal
diketahui serta dikonfirmasi kebenarannya dengan menggunakan
formulir penyampaian informasi Form B‐1 atau B‐4 (terlampir).
Sumber informasi dapat berasal dari masyarakat, sarana pelayanan
kesehatan, dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota dan lintas sektor.:
b. Informasi penilaian kebutuhan cepat.
Informasi ini dikumpulkan segera setelah informasi awal kejadian
bencana diterima oleh Tim Penilaian Kebutuhan Cepat dengan
menggunakan formulir isian form B‐2 (terlampir). Sumber
informasinya dapat berasal dari masyarakat, sarana pelayanan
kesehatan, dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota dan lintas sektor.
c. Informasi perkembangan kejadian bencana
Informasi ini dikumpulkan setiap kali terjadi perkembangan informasi
terkait dengan upaya penanganan krisis kesehatan akibat bencana
yang terjadi. Formulir penyampaian informasinya menggunakan form
B‐3 (terlampir). Sumber informasi berasal dari sarana pelayanan
kesehatan dan dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota.
d. Sarana penyampaian informasi
1) Informasi pra‐bencana
Profil yang mengambarkan kesiapsiagaan sumber daya dan upaya‐
upaya yang telah dilakukan terkait dengan penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana di daerah, khususnya di tingkat
kabupaten/kota dapat disampaikan melalui email dan secara online
melalui website.
2) Informasi saat dan pasca‐bencana
Informasi pada awal kejadian bencana yang menggunakan Form B‐
1 dapat disampaikan melalui telepon dan melalui faksimil.
Informasi pada awal kejadian bencana yang menggunakan Form B‐
30
4 dapat disampaikan melalui sms gate‐way. Informasi penilaian
kebutuhan cepat yang menggunakan Form B‐2 dapat disampaikan
e‐mail dan secara online melalui website serta melalui faksimil.
Informasi perkembangan kejadian bencana yang menggunakan
Form B‐3 dapat disampaikan melalui e‐mail dan secara online
melalui website serta melalui faksimil.
31
Informasi tersebut bersumber dari Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan lintas
sector yang terkait dalam penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana.
Berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan tersebut kemudian
dilakukan pengolahan , dengan melakukan :
a. Penyusunan tabel bencana.
b. Penyusunan peta daerah rawan krisis kesehatan akibat bencana.
c. Penyusunan buku profil penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana yang berisi informasi tentang sumber daya baik tenaga,
dana, sarana dan prasarana dalam rangka penanggulangan krisis
dan masalah kesehatan lain.
d. Penyusunan buku informasi penanggulangan krisis kesehatan
akibat bencana yang pernah terjadi.
e. Pembuatan website.
f. Pembuatan peta jalur evakuasi sarana kesehatan pada daerah rawan
bencana (ring 1, ring 2 dan ring 3)
Informasi yang telah diolah tersebut kemudian disebarluaskan
dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk lebih memudahkan
penyampaian informasi ke seluruh pengguna yang membutuhkan
informasi secara cepat dengan biaya yang relatif murah.
2. Saat Bencana
Informasi yang dikumpulkan pada saat bencana adalah :
a. Informasi awal penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain
(Form B1 dan B4 pada Pedoman Sistem Informasi Penanggulangan
Krisis Akibat Bencana).
b. Informasi perkembangan penanggulangan krisis dan masalah
kesehatan lain (Form B2 pada Pedoman Sistem Informasi
Penanggulangan Krisis Akibat Bencana).
32
Informasi tersebut bersumber dari Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, instansi terkait,
masyarakat, media cetak dan media elektronik. Berdasarkan informasi
yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diolah, dengan melakukan :
a. Penyusunan laporan awal penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana.
b. Penyusunan laporan perkembangan penanggulangan krisis kesehatan
akibat bencana.
Sesuai dengan kebutuhan akan informasi, pemantauan dan pelaporan
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana dapat dilakukan
sesering mungkin. Semua data dan informasi yang didapatkan akan
menjadi landasan dalam pengambilan langkah dan strategi
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Pemantauan ini terus
berlangsung hingga penangulangan krisis kesehatan akibat bencana dapat
ditangani terutama pada masa tanggap darurat.
Informasi yang telah diolah tersebut kemudian disebarluaskan dengan
memanfaatkan teknologi informasi/elektronik untuk lebih memudahkan
penyampaian informasi ke seluruh pengguna yang membutuhkan
informasi secara cepat dengan biaya yang relatif murah dengan membuat
Media Center di Pos Informasi.
3. Pasca Bencana
Informasi yang dikumpulkan pada saat pasca bencana adalah :
a. Informasi pemulihan/rehabilitasi dan pembangunan
kembali/rekonstruksi sarana/prasarana kesehatan yang mengalami
kerusakan.
b. Informasi upaya pelayanan kesehatan (pencegahan KLB,
pemberantasan penyakit menular, perbaikan gizi), kegiatan surveilans
epidemiologi, promosi kesehatan dan penyelenggaraan kesehatan
lingkungan dan sanitasi dasar di tempat penampungan pengungsi
maupun lokasi sekitarnya yang terkena dampak.
33
c. Informasi relawan, kader dan petugas pemerintah yang memberikan
KIE kepada masyarakat luas, bimbingan pada kelompok yang
berpotensi mengalami gangguan stress pasca trauma dan memberikan
konseling pada individu yang berpotensi mengalami gangguan stress
pasca trauma.
d. Informasi pelayanan kesehatan rujukan dan penunjang.
e. Informasi rujukan korban yang tidak dapat ditangani dengan konseling
awal dan membutuhkan konseling lanjut, psikoterapi atau
penanggulangan lebih spesifik.
34
e. Penyusunan informasi dengan program terkait dalam rangka upaya
rujukan korban yang tidak dapat ditangani dengan konseling awal dan
membutuhkan konseling lanjut, psikoterapi atau penanggulangan lebih
spesifik.
Informasi yang telah diolah tersebut kemudian disebarluaskan dengan
memanfaatkan teknologi informasi untuk lebih memudahkan
penyampaian informasi ke seluruh pengguna yang membutuhkan
informasi secara cepat dengan biaya yang relatif murah.
35
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana.
Dengan banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap bencana
harus dilakukan dengan baik. Karena dampak yang ditimbulkan bencana
tidaklah sederhana, maka penanganan korban bencana harus dilakukan
dengan terkoordinasi dengan baik sehingga korban yang mengalami berbagai
sakit baik fisik, sosial, dan emosional dapat ditangani dengan baik dan
manusiawi.
Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan
kebencanaan dapat melakukan berbagai tindakan tanggap bencana.
Seharusnya modal itu dimanfaatkan oleh mahasiswa keperawatan agar
secara aktif turut melakukan tindakan tanggap bencana.
3.2 Saran
Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk
melakukan pelayanan kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana,
oleh karena itu diharapkan bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat
yang sudah berpengalaman dalam praktik pelayanan kesehatan mau untk
berperan dalam penanggulangan bencana yang ada di sekitar kita. Karena
ilmu yang didapat di bangku perkuliahan sangat relevan dengan yang terjadi
di masyarakat, yaitu fenomena masalah kesehatan yang biasanya muncul di
tempat yang sedang terjadi bencana.
36
37
DAFTAR PUSTAKA