Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

LANDASAN PEDAGOGIK

“Pengembangan Otak Kiri Dan Otak Kanan Anak, Dan Pelatihan


Yang Seimbang Serta Hubungan Perkembangan IQ, EQ, Dan SQ
Masa Depan Anak Dengan Teori Pembelajaran
Dan Metode Yang Mutakhir”

Dosen : Prof. Dr.Rakimahwati, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 3:

Deni Husnaini : 19330004


Devi Rianti : 19330005
Eka Kusuma Wardani : 19330008
Eka Juannita : 19330026
Yurlindawati : 19330030

MAGISTER PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat limpahan
rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas

penyusunan Makalah “Pengembangan Otak Kiri Dan Otak Kanan Anak, Dan Pelatihan
Yang Seimbang Serta Hubungan Perkembangan IQ, EQ, Dan SQ Masa Depan Anak Dengan
Teori Pembelajaran Dan Metode Yang Mutakhir”
Penulis selaku penyusun makalah mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof.
Dr.Rakimahwati, M.Pd selaku dosen mata kuliah Landasa Pedagogik yang telah memberikan
kepercayaan untuk membuat makalah ini, serta pada teman-teman yang telah memberikan
bantuan dan motivasi dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi serta pengetahuan kepada pembaca. Dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, mengharapkan
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Padang, 1 November 2019

Penulis

BAB I

2
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun sebagai kelompok
anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik. Anak
usia dini memiliki rentang usia yang sangat berharga dibanding usia-usia selanjutnya karena
perkembangan kecerdasanya sangat luar biasa. Mewujudkan generasi yang unggul dan sukses
untuk kemajuan bangsa dilakukan dengan menyelenggarakan pendidikan yang memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan
potensi, bakat, minat dan kesanggupannya. Pendidikan anak usia dini merupakan pondasi
bagi perkembangan kualitas sumberdaya manusia selanjutnya. Berdasarkan kurikulum 2004
Taman Kanak-Kanak bahwa pendidikan anak usia dini merupakan suatu upaya pembinaan
yang ditujukan kepada anak usia dini yang dilakukan dengan memberikan rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani. Dengan
upaya seperti ini anak diharapkan memiliki kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Pengenalan berbagai macam bidang pendidikan akan mampu merangsang
anak dalam memahami dan menjadi acuan bakat yang dimiliki.

Prinsip pembelajaran anak usia dini menggunakan konsep bermain sambil belajar serta
belajar sambil bermain. Pembelajaran hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga
menyenangkan, membuat anak tertarik untuk ikut serta. Dengan bermain menimbulkan
perasaan senang dan aktif. Pembelajaran ini berangkat dari pandangan bahwa setiap individu
memiliki kecerdasan otak yang berbeda-beda. Perbedaan kecerdasan ini kemudian menuntut
penaganan yang berbeda-beda pula dalam mengmbangkannya.

Manusia meggunakan otak sebagai alat untuk mengetahui segala sesuatu meskipun
sangat rumit. Selain itu, otak juga sebagai media berpikir untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Otak merupakan pusat
kecedasan. Otak berfungsi untuk berpikir, mengontrol emosi dan aktivitas gerak tubuh.
Dengan demikian apabila kita mampu memahami perkembangan otak anak usia dini, maka
kita akan maka dapat memahami cara mengoptimalkan potensi yang ada pada anak usia dini.
Pertumbuhan otak pada usia dini sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Sesudah
lahir, kegiatan otak dipengaruhi dan tergantung pada kegiatan sel syaraf dan cabang-
cabangnya dalam membentuk sambungan antar sel syaraf.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan otak kiri dan otak kanan serta pelatihan yang seimbang?

3
2. Bagaimana perkembangan IQ, EQ, dan SQ masa depan anak?
3. Bagaimana permbelajaran dan metode mind mapping & CTL?
4. Bagaiman permbelajaran kontruktivistik, behavioristik, dan sibernitik?

C. Tujuan Makalah
Dari rumusan masalah tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penyusunan
makalah ini adalah untuk
1. Mengetahui dan mendeskripsikan perkembangan otak kiri dan otak kanan serta
pelatihan keseimbangan?
2. Mengetahui dan mendeskripsikan perkembangan IQ, EQ, dan SQ masa depan anak?
3. Mengetahui dan mendeskripsikan permbelajaran dan metode mind mapping & CTL?
4. Mengetahui dan mendeskripsikan permbelajaran kontruktivistik, behavioristik, dan
sibernitik?

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan
wawasan bagi pembaca mengenai pengembangan otak kiri dan otak kanan anak, dan
pelatihan yang seimbang serta hubungan perkembangan IQ, EQ, dan SQ masa depan
anak dengan teori pembelajaran dan metode yang mutakhir.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Otak Kiri Dan Otak Kanan Serta Pelatihan Keseimbangan


Menurut Hartono (2010: 13-15) Otak adalah pusat pengontrol untuk seluruh fisik
tubuh kita, setiap bagian tubuh, termasuk sstem pemikiran dan imajinasi, sangat tergantung
pada daya kerja otak. Jika otak seseorang mempunyai kinerja yang tinggi, setiap bagian dari
tubuh fisik kita juga menunjukkan kinerja yang tinggi. Sebagian besar dari kita menerima
bahwa hanya sebagian dari otak kita yang berkembang. Dan memang dimasyarakat luas
berkembang keyakinan bahwa otak kita akan lebih dominan salah satu, kanan atau kiri.
Menurut Gibran (dalam wahyudi 2017: 386) menyatakan bahwa otak merupakan
perangkat keras yang digunakan oleh pikiran seseorang untuk membentuk sikap, perasaan,
persepsi, harapan dan hasil akhir yang ia idamkan, Otak tidak membatasi diri seseorang,
tetapi ia bekerja sesuai dengan keinginannya dan berfungsi sesuai dengan instruksi darinya,
tak seorangpun yang dapat mendefinisikan secara pasti tentang adanya batasan kemampuan
dan daya cipta otak. Gibran juga menyatakan bahwa otak terbagi menjadi dua belahan,
yakni otak kanan dan otak kiri. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda dan mengatur
bagian tubuh yang berbeda pula. Temuan terbaru menyatakan bahwa otak juga memiliki
bagian atas dan bagian bawah.
Menurut Liani (2013:110) Otak manusia adalah struktur lunak yang dilindungi oleh
cangkang berupa tengkorak. Berdasarkan letaknya secara simetris, otak dibagi menjadi otak
kanan (hemisfer kanan) dan otak kiri (hemisfer kiri). Otak merupakan bagian sentral dari
fungsi dasar vital pada manusia. Kerusakan pada otak, akan sangat mengganggu aktivitas
bagi penderitanya.
Otak kiri berfokus pada teks sedangkan otak kanan berfokus pada pemaknaan
(Pink dalam Ikhwan dkk, 2017:29). Otak kiri bertanggung jawab terhadap proses berfikir
logis, berdasar realitas, dan simbolis, cara berfikirnya sesuai untuk tugas verbal, menulis,
membaca, menempatkan detail, fakta. Sedangkan cara berfkir otak kanan lebih bersifat acak,
tidak teratur, intuitif, holistik, bersifat non verbal, kearah perasaan dan emosi, kesadaran
yang berkenaan dengan perasaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang),
pengenalan bentuk, pola, musik, kepekaan warna, kreativitas, visualisasi (De Potter dalam
Ikhwan dkk, 2017:29). De Porter menjelaskan proses berpikir otak kiri bersifat logis,
linear dan rasional. Otak kiri bersifat realitas. Cara berpikirnya sesuai untuk tugas-tugas
teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, menghitung, mendefiniskan teori,
menghubungkan fakta dengan konsep yang telah terdefinisi, dan melakukan kegiatan ilmiah

5
secara terstruktur. Tidak bisa dipungkiri bahwa otak bagian kiri memengang peranan yang
paling penting dalam kegiatan belajar anak.
Cara berpikir otak kanan bersifat desain, acak, tidak teratur, intuitif dan holistik.
Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal seperti
gambaran bentuk atom, perasaan dan emosi, kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan
pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi (De Potter dalam Ikhwan dkk,
2017:29). Kemampuan berpikir abstrak merupakan spesialis dari otak kanan. Berpikir
abstrak merupakan cara berpikir yang berhubungan erat dengan konten yang tidak bisa dilihat
atau kejadian yang tidak langsung dihayati. Kemampuan berpikir abstrak meliputi
mengemukakan ide, memprediksi kejadian, dan melakukan proses berpikir ilmiah, yaitu
meracancang hipotesis dan memeriksa kecocokannya dengan kesimpulan.
Pendapat lain mengatakan bahwa otak kiri biasa diidentikkan dengan rapi, perbedaan,
angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan, logika, terstruktur, analitis, matematis, sistematis,
linear dan tahap demi tahap; sedangkan otak kanan diidentikkan dengan kreativitas,
persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna, berpikir lateral,
tidak terstruktur, dan cenderung tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail (Nelva
Rolina, 2010).
Kedua belahan otak berinteraksi sepanjang kegiatan belajar (Caine & Caine Ikhwan
dkk, 2017:29). Siswa yang memanfaatkan kedua belah otak ini cenderung seimbang dalam
setiap aspek belajar (Jensen Ikhwan dkk, 2017:29). Belajar dapat dengan mudah diterima
bagi mereka karena mereka mempunyai pilihan untuk menggunakan bagian otak yang
diperlukan dalam setiap pekerjaan yang mereka hadapi. Emosi yang positif akan
mendorong kearah kekuatan otak kearah yang lebih berhasil. Keunggulannya adalah mudah
dalam menghubungkan konsep dengan pengetahuan berupa gambaran ruang.
Menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan anak dapat dilakukan dengan berbagai
upaya, banyak teori yang mengatakan bahwa otak dikembangkan dengan metode-metode
tertentu antara lain dengan metode relaksasi, metode dengan menggunakan media. Adapun
kegiatan-kegiatan yang dapat menstimulasi keseimbangan otak kanan dan otak kiri anak
adalah:
1. Brain gym
Istilah brain gym, menurut Attila Dewanti & Lely Tobing (2007), disebut senam otak
lantaran gerakannya sederhana, namun dapat membantu perkembangan otak secara
keseluruhan. Di samping itu, koordinasi mata, telinga, tangan, dan seluruh anggota tubuh
juga dapat diasah dengan melakukan rangkaian gerak tubuh yang dikembangkan oleh
Educational Kinesiology Foundation, Amerika Serikat, ini. Gerakan-gerakan brain gym
ini mulai dapat dilakukan sejak anak masih usia bayi. Tentu saja gerakan-gerakan
6
tersebut berbeda untuk setiap tingkat usia. Untuk di sekolah, brain gym dapat dilakukan
dalam kegiatan pembelajaran, baik di kegiatan awal, inti, maupun akhir. Brain gym juga
dapat diintegrasikan dalam tema-tema yang biasa digunakan dalam pembelajaran di TK.
Beberapa gerakan sederhana brain gym:

 Menggerakkan tangan kanan bersamaan dengan kaki kiri, dan kaki kiri bersamaan


dengan kaki kanan. Bergerak ke depan, ke samping, ke belakang, atau jalan di
tempat.
 Menggambar dengan kedua tangan (kiri dan kanan) pada saat yang sama. Gambarlah
bentuk bentuk sederhana, seperti lingkaran, persegi, segitiga, dan lainnya.
 Luruskan satu tangan ke atas kepala, tangan yang lain posisi ke samping kuping
sambil memegang tangan yang di atas. Buang nafas perlahan, sementara otot-otot
diaktifkan dengan mendorong tangan ke depan, ke belakang, ke dalam dan ke luar,
sementara tangan yang satu menahan dorongan tersebut.
 Pegang dan cengkram daerah yang terasa pegal atau sakit di bagian tubuhmu, seperti
pergelangan kaki, betis, atau belakang lutut secara bergantian, sambil pelan-pelan
kaki digerakkan ke atas dan ke bawah.
 Saat duduk di kursi, silangkan kaki dan tundukkan badan dengan kedua tangan ke
arah bawah.
 Pijat daun telinga secara perlahan dari atas sampai bawah sebanyak 3-5 kali secara
bergantian kanan dan kiri.

Manfaat Brain Gym :

a. Mempermudah untuk kita lebih fokus


b. Meningkatkan percaya diri
c. Meningkatkan refleks
d. Menghilangkan stress
e. Meningkatkan kemampuan mengingat
f. Meningkatkan mood
g. Meningkatkan kemampuan berbahasa

2. Stimulasi dengan kegiatan bermain


Selain brain gym, penyeimbangan otak kiri dan kanan dapat dilakukan dengan kegiatan
bermain. Mayke S Tedjasaputra (2005) mengatakan bahwa bermain merupakan wadah
bagi anak untuk merasakan berbagai pengalaman seperti emosi, senang, sedih, bergairah,
kecewa, bangga, marah dan sebagainya. Anak akan merasa senang bila bermain, dan

7
banyak hal yang didapat anak selain pengalaman. Bermain dengan kata “bermain”
memang menyenangkan. Itu pula sebabnya mengapa anak begitu unik dan
menyenangkan. Berikut kegiatan bermain untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak
kiri anak:
 Flash card
Menurut Sumardiono merupakan metode yang paling mudah dipahami oleh anak
khususnya yang masih dalam usia dini (0-8 tahun). Media flash card merupakan metode
pembelajaran yang menggunakan kartu permainan yang sangat efektif untuk
membangun anak belajar membaca dan mengenal lingungan sejak usia dini. Flash Card
sebenarnya sudah sangat popular di negara-negara maju, tetapi masih sangat sedikit
sekali dikenal di Indonesia. Flash card ini bisa diterapkan untuk anak usia 4 bulan ke
atas. manfaat media flash card antara lain:
a) Belajar membaca sejak usia sedini mungkin
b) Mengembangkan daya ingat otak kanan
c) Melatih kemampuan konsentrasi
d) Meningkatkan perbendaharaan kata dengan cepat
Menurut Sakane dalam mengenalkan flash card pada anak dengan buat jadwal khusus
dengan anak setiap hari untuk bermain flash card secara bersama-sama. Dimulai dengan
mengenalkan gambar binatang, gambar benda-benda menarik bertahap sampai anak
mengenal semua benda yang ada di sekitarnya. Awalnya tidak perlu banyak-banyak
tetapi terus-menerus kita tunjukkan maka suatu saat jika anak melihat benda yang sama
tanpa melihat kartu dia akan memberikan reaksi baik menyebut nama benda yang pernah
dia lihat atau reaksi lainnya. Setelah mengenalkan berbagai benda, kita bisa menambah
dengan mengenalkan huruf, angka, profesi atau benda-benda lainnya agar pengetahuan
anak bertambah sedikit-demi sedikit. Yang penting anak belajar dalam suasana hati yang
gembira dan tidak dipaksakan apalagi dalam kondisi tertekan.
 Bermain building block
Bermain building block ternyata tak hanya mengasyikkan, tapi juga termasuk permainan
mengasah otak yang sangat baik untuk balita. Dengan bermain building block, si kecil
akan belajar tentang bangun ruang, memperluas imajinasi, serta menajamkan fokus
sehingga otak kiri dan otak kanannya pun akan terlatih dengan sendirinya.
 Bermain puzzle
Permainan teka-teki ini ternyata baik untuk mengasah otak kiri dan kanan si kecil. Dia
akan meningkatkan fokus untuk memecahkan masalah yang ada, sekaligus melihat
kemungkinan solusi yang bisa diambil. Anak diminta memecahkan masalah rumit
dengan memvisualisasikan penempatan benda, lalu menghubungkannya dengan yang
8
lain dengan benar. Kadang puzzle tertulis punya jawaban lebih dari satu. Anak harus
bekerja keras menggunakan otak kanan untuk memperoleh jawaban yang paling masuk
akal.
 Bermain labirin
Bermain maze ini sudah terbukti dapat menjadi aktivitas yang mendorong otak balita
menjadi lebih aktif. Dengan permainan ini anak tak hanya akan mengasah skill motorik
dan belajar untuk memecahkan masalah, imajinasinya pun akan berkembang dengan
pesat.
 memory games
Anak belajar untuk membuka kartu dan mengingat penempatannya untuk membentuk
pasangan item yang sama. Untuk mendapat pasangan kartu sebanyak mungkin di waktu
yang paling singkat, balik semua kartu hingga tertutup. Ajak anak untuk menemukan dua
gambar yang sama. Hal ini akan melatih ingatan anak untuk menemukan posisi kartu
yang memiliki gambar yang sama.
 Bermain game imajinatif
Cara menyeimbangkan antara otak kanan dan kiri selanjutnya adalah melakukan hal-hal
yang imajinatif. Saat sedang istirahat atau ada waktu luang, cobalah untuk berpura-pura
menulis angka satu sampai dengan 10 menggunakan tangan kanan dan juga tangan kiri
secara bersamaan. Lakukan latihan ini sebanyak mungkin. Tujuan permainan ini pada
dasarnya adalah untuk menyeimbangkan antar saraf motorik otak kanan sekaligus saraf
motorik kiri. Dengan melakukan cara ini secara teratur, Anda akan merasakan
kemampuan otak yang semakin meningkat.

B. Perkembangan IQ, EQ, dan SQ Masa Depan Anak


Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari
pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli
psikologi dari Perancis pada awal abad ke 20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas
Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan
mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test
Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal
dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap
masing-masing individu tersebut.
Kecerdasan intelektual (IQ) diyakini menjadi sebuah ukuran standar kecerdasan
selama bertahun-tahun. Bahkan hingga hari ini pun masih banyak orangtua yang
mengharapkan anak-anaknya pintar, terlahir dengan IQ (intelligence quotient) di atas level
normal (lebih dari 100). Syukur-syukur kalau bisa jadi anak superior dengan IQ di atas 130.
9
Harapan ini tentu sah saja. Dalam paradigma IQ dikenal kategori hampir atau genius kalau
seseorang punya IQ di atas 140. Albert Einstein adalah ilmuwan yang IQ-nya disebut-sebut
lebih dari 160.
Namun, dalam perjalanan berikutnya orang mengamati, dan pengalaman
memperlihatkan, tidak sedikit orang dengan IQ tinggi, yang sukses dalam studi, tetapi kurang
berhasil dalam karier dan pekerjaan. Dari realitas itu, lalu ada yang menyimpulkan, IQ
penting untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi kemudian jadi kurang penting untuk menapak
tangga karier. Untuk menapak tangga karier, ada sejumlah unsur lain yang lebih berperan.
Misalnya saja yang mewujud dalam seberapa jauh seseorang bisa bekerja dalam tim,
seberapa bisa Antara IQ, EQ, dan SQ, dan seberapa luwes ia berkomunikasi dan menangkap
bahasa tubuh orang lain. Unsur tersebut memang tidak termasuk dalam tes kemampuan
(aptitude test) yang ia peroleh saat mencari pekerjaan. Pertanyaan sekitar hal ini kemudian
terjawab ketika Daniel Goleman menerbitkan buku Emotional Intelligence: Why It Can
Matter More Than IQ (1995).
Sebelumnya, para ahli juga telah memahami bahwa kecerdasan tidak semata-mata ada
pada kemampuan dalam menjawab soal matematika atau fisika. Kecerdasan bisa ditemukan
ketika seseorang mudah sekali mempelajari musik dan alat-alatnya, bahkan juga pada
seseorang yang pintar sekali memainkan raket atau menendang bola. Ada juga yang
berpendapat kecerdasan adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan
lainnya beranggapan kecerdasan adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak dan
seterusnya.

Kemudian dari berbagai hasil penelitian, telah banyak terbukti bahwa kecerdasan
emosi memiliki peran yang jauh lebih significant disbanding kecerdasan intelektual (IQ).
Kecerdasan otak (IQ) barulah sebatas syarat minimal meraih keberhasilan, namun kecerdasan
emosilah yang sesungguhnya (hampir seluruhnya terbukti) mengantarkan seseorang menuju
puncak prestasi. Terbukti banyak orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi,
terpuruk di tengah persaingan. Sebaliknya banyak orang yang kecerdasan intelektualnya
biasa-biasa saja, justru sukses menjadi bintang-bintang kinerja, pegusaha-pengusaha sukses,
dan pemimpin-pemimpin di berbagai kelompok. Di sinilah kecerdasan emosi atau emotional
quotient (EQ) membuktikan eksistensinya.
EQ adalah istilah baru yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman. Berdasarkan hasil
penelitian para neurolog dan psikolog, Goleman (1995) berkesimpulan bahwa setiap manusia
memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional
digerakkan oleh kemampuan intelektual atau yang popular dengan sebutan “Intelligence
Quotient” (IQ), sedangkan pikiran emosional degerakan oleh emosi.

10
EQ merupakan serangkaian kemampuan mengontrol dan menggunakan emosi, serta
mengendalikan diri, semangat, motivasi, empati, kecakapan sosial, kerja sama, dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Dengan berkembangnya teknologi pencritaan otak (brain-imaging), yaitu sebuah
teknologi yang kini membantu para ilmuwan dalam memetakan hati manusia, semakin
memperkuat keyakinan kita bawa otak memiliki bagian rasional dan emosional yang saling
bergantung.
Setelah itu, ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya berhasil meraih
prestasi dan kesuksesan, acapkali rang tersebut disergap oleh perasaan “kosong” dan hampa
dalam celah batin kehidupanya. Setelah prestasi puncak telah dipijak, ketika semua pemuasan
kebedaan telah diraihnya, setelah uang hasil jeri payah berada dalam genggaman, ia tak tahu
lagi ke mana harus melangkah. Untuk apa semua prestasi itu diraihnya?, hingga hampir-
hampir diperbudak oleh uang serta waktu tanpa tahu dan mengerti di mana ia harus berpijak?.
Di sinilah kecerdasan spiritual atau yang biasa disebut SQ muncul untuk melengkapi
IQ dan EQ yang ada di diri setiap orang. Danah Zohar da Ian Marshall mendefinisikan
kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas
dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan
kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja tidak dapat
menyelesaikan permasalahan yang telah dibahas sebelumnya, karena diperlukan
keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya. Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ
pada diri setiap orang mampu secara proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-
raga yang penuh keseimbangan.

 Indikator dan alat ukur IQ, EQ dan SQ.

Berdasarkan pengalaman, tidak ada indikator dan alat ukur yang jelas untuk
mengukur atau menilai kecerdasan setiap individu, kecuali untuk kecerdasan intelektual atau
IQ, dalam konteks ini dikenal sebuah tes yang biasa disebut dengan psikotest untuk
mengetahui tingkat IQ seseorang, akan tetapi test tersebut juga tidak dapat secara mutlak
dinyatakan sebagai salah satu identitas dirinya karena tingkat intelektual seseorang selalu
dapat berubah berdasarkan usia mental dan usia kronologisnya.

11
Sedangkan untuk kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), hingga saat
ini belum ada alat yang dpat mengukurnya dengan jelas karena dua kecerdasan tersebut
bersifat kualitatif bukan kuantitatif.
Seperti halnya dengan alat ukur kecerdasan, indikator orang yang memilki IQ, EQ dan
SQ juga tidak ada ketetuan yang jelas, sehingga untuk mengetahui seseorang tersebut
memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual biasanya
dilihat dari hal-hal yang biasanya ada pada orang yang memiliki IQ, EQ dan SQ tinggi dan
dilihat berdasarkan kompone dari klasifikasi kecerdasan tersebut.
Orang yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup tinggi dapat dilihat
selain dari hasil tes, dapat terlihat juga bawa biasanya orang tersebut memiliki kemapuan
matematis, memiliki kemampuan membayangka ruang, melihat sekeliling secara runtun atau
menyeluruh, dapat mencari hubungan antara suatu bentuk dengan bentuk lain, memiliki
kemapuan untuk mengenali, menyambung, dan merangkai katakata serta mencari hubungan
antara satu kata dengan kata yang lainya, dan juga memiliki memori yang cukup bagus.
Seseorang dengan kecerdasan emosi (EQ) tinggi diindikatori memiliki hal-hal sebagai
berikut :
1) Sadar diri, panada mengendalikan diri, dapat dipercaya, dapat beradaptasi dengan
baik dan memiliki jiwa kreatif,
2) Bisa berempati, mampu memahami perasaan orang lain, bisa mengendaikan konflik,
bisa bekerja sama dalam tim
3) Mampu bergaul dan membangun sebuah persahabatan
4) Dapat mempengaruhi orang lain
5) Bersedia memikul tanggung jawab
6) Berani bercita-cita
7) Bermotivasi tinggi
8) Selalu optimis
9) Memiliki rasa ingin tahu yang besar, dan
10) Senang mengatur dan mengorganisasikan aktivitas.
Lain halnya dengan indikator-indikator dari orang yang memiliki IQ dan S yang
cukup tinggi di atas, orang yang miliki kecerdasan spiritual yang tinggi tidak dapat dilihat
dengan mudah karena kembali ke pengertian SQ, yaitu kemampuan seseorang untuk
memecahkan persoalan makna dan nilai, untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa jalan hidup yang kita pilih
memiliki makna yang lebih daripada yang lain, dari hal tersebut dapat dilihat bahwa
kecerdasan spiritual adalah kecakapan yang lebih bersifat pribadi, sehingga semua kembali
kepada individu itu sendiri dan kepada hubungannya dengan Sang Pencipta.
12
 Upaya apa saja yang dapat kita lakukan untuk mengoptimalisasikan IQ, EQ,
dan SQ.
Selain dengan asupan gizi yang cukup dan seimbang ke dalam tubuh, ntuk
mengoptimalisasikan kecerdasan intelektual atau IQ dapat diupayakan dengan melatih 7
kemampuan primer dari inteligensi umum, yaitu :
1. Pemahaman verbal,
2. Kefasihan menggunakan kata-kata,
3. Kemampuan bilangan,
4. Kemampuan ruang,
5. Kemampuan mengingat,
6. Kecepatan pengamatan,
7. Kemampuan penalaran.
Untuk mengoptimalisasikan kecerdasan emosi (EQ) seseorang dapat dilakukan
dengan mengasah kecerdasan emosi setiap individu yang meliputi :
1. Membiasakan diri menentukan perasaan dan tidak cepat-cepat menilai orang
lain/situasi
2. Membiasakan diri menggunakan rasa ketika mengambil keputusan
3. Melatih diri untuk menggambarkan kekhawatiran
4. Membiasakan untuk mengerti perasaan orang lain
5. Melatih diri menunjukan empati
6. Melatih bertanggung jawab terhadap perasaannya sendiri
7. Melatih diri untuk mengelola perasaan dengan baik
8. Menghadapi segala hal secara positif.
Sedangkan untuk mengoptimalisasikan atau memfungsikan kecerdasan spiritual dapat
dengan upaya sebagai berikut :
1. Menggunakan aspek spiritual dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang
berkaitan dengan makna dan nilai
2. Dengan melalui pendidikan agama
3. Melatih diri untuk melihat sesuatu dengan mata hati.

C. Permbelajaran dan Metode Mind Mapping & CTL

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan
pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan
kemahiran dan tabiat , serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan

13
kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar
dengan baik. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat
berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan
pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan , guru
mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai
sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap
(aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran
memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan
pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik.

 Mind Mapping
Menurut (Doni Swadarma, 2013:2), Mind Mapping adalah teknik grafis yang kuat
yang memberikan kunci universal untuk membuka potensi otak anak. Penggunaan mapping
menggunakan keterampilan kortikal-kata, gambar, nomor, logika, ritme, warna dan ruang
kesadaran dalam satu, cara unik yang kuat. Dengan demikian dapat memberikan kebebasan
kepada peserta didik untuk menjelajahi luas tidak terbatas dari otaknya. Mapping dapat
diterapkan pada setiap aspek kehidupan dimana peningkatan belajar dan berpikir lebih jelas
akan meningkatkan kinerja manusia dalam praktiknya proses belajar mapping melibatkan
ketiga aspek, baik visual, auditori, maupun kinestetik. Hanya saja dengan mapping ide,
gagasan, permasalahan, solusi atau apa pun yang terlintas di kepala dan membebani otak
bawah sadar kita yang selama ini sulit untuk direkam, maka dapat dengan mudah langsung
dituliskan di atas selembar kertas. Dengan kata lain mapping adalah metode efektif untuk
menuangkan semua gagasan yang ada di dalam pikiran.
Mind Mapping atau pemetaan pikiran merupakan salah satu teknik mencatat tinggi.
Berupa materi pelajaran yang diterima peserta didik dapat diterima dengan bantuan catatan.
Mind mapping merupakan bentuk catatan yang tidak menonton karena mid mapping
memadukan fungsi kerja otak secara bersamaan dan saling berkaitan satu dengan lain
sehingga akan terjadi keseimbangan kerja kedua belah otak.
Dapat disimpulkan bahwa mind mapping adalah suatu teknik mencatat yang
mengembangkan gaya belajar visual. Mapping atau peta pikiran memadukan dan
mengembangkan potensi kerja otak yang ada di dalam diri seseorang. Dengan adanya
keterlibatan kedua belahan otak maka akan memudahkan seseorang untuk mengatur dan
mengingat segala bentuk informasi, baik secara tertulis maupun secara verbal. Adanya
kombinasi warna, symbol, bentuk, dan sebagianya yang memudahkan otak dalam menyerap
informasi yang diterima.

14
Teknik mind mapping didalam pembelajaran yang berlangsung, contoh : tema
pembelajaran di TK adalah rekreasi, kemudian guru mencoba menerangkan kepada anak,
rekreasi kemana? Anak menjawab ke kebun binatang, binatang apa saja yang ada di darat dan
yang ada di air ? kemudian anak saling menjawab satu persatu nama-nama binatang baik
yang ada di darat maupun di air, setelah itu guru menyuruh anak-anak untuk menulis di kertas
kosong dan menempelkan nama binatang sesuai yang diinginkan anak (Femi Olivia,
2013:21).
1. Kegunaan Mapping
a. Mengumpulkan data yang akan digunakan untuk berbagai keperluan secara
sistematis.
b. Mempermudah untuk melihat kembali sekaligus mengulang-ulang ide dan
gagasan.
c. Mempermudah proses bertukar pikiran adanya ide dan gagasan yang tidak mudah
direkam maka akan menjadi mudah apabila dituangkan di atas selembar kertas.
d. Dapat melihat gambaran besar dari suatu gagasan, sehingga membantu otak
bekerja terhadap gagasan tersebut.
e. Menyederhanakan struktur ide dan gagasan yang awalnya rumit, panjang dan
tidak mudah dilihat menjadi lebih mudah (Femi Olivia, 2013:22).

2. Keunggulan Mapping
a. Meningkatkan kinerja manajemen pengetahuan.
b. Memaksimalkan sistem kerja otak.
c. Saling berhubungan satu sama lain, sehingga semakin banyak ide dan informasi
yang dapat disajikan.
d. Memacu kraetivitas, sederhana dan mudah dikerjakan.
e. Menarik dan mudah tertangkap oleh mata (eye cotching) Femi Olivia (2013:21).

3. Langkah-langkah Mind Mapping menurut (Deporter, 2000:180) antara lain :


a. Letakkan gagasan utama di tengah-tengah kertas dan lengkapi dengan lingkaran
persegi, atau bentuk lain.
b. Tambahkan sebuah cabang dari pusatnya untuk tiap-tiap poin kunci dan gunakan
pulpen warna-warni. Warna membuat peta pikiran lebih hidup, menambah energy
pemikiran kreatif, dan menyenangkan.
c. Tulislah kata kunci pada tiap-tiap cabang, kata kunci bisa berupa tulisan dan kata
kunci bergambar agar mempermudah anak untuk mengingat.

15
d. Kembangkan untuk menambahkan detail seperti gambar-gambar atau simbol
yang mampu mengembangkan imajinasi.
e. Tulis gagasan-gagasan penting dengan huruf besar.
f. Gunakan bentuk-bentuk acak untuk menunjukkan point-point atau gagasan.

4. Manfaat Teknik Mapping bagi Anak


a. Membantu anak untuk berkonsentrasi (memusatkan perhatian) anak dalam
mengingat.
b. Meningkatkan kecerdasan visual dan keterampilan observasi.
c. Melatih kemampuan berpikir kritis dan komunikasi
d. Melatih inisiatif dan rasa ingin tahu.
e. Meningkatkan kreativitas dan daya cipta anak.
f. Membuat catatan dan ringkasan pelajaran dengan lebih baik.
g. Meningkatkan kecepatan berpikir dan mandiri.
h. Membantu mengembangkan diri serta merangsang pengungkapan pemikiran.
i. Melatih koordinasi gerakan tangan dan mata.
j. Membuat tetap fokus pada ide utama maupun semua ide tambahan (Femi
Olivia, 2013:11).
5. Contoh Mind Mapping

 CTL (Colektual Teaching Learning)

Menurut Blanchard, Berns & Erikson (dalam Dedah Jumiatin, 2015:73-81)


menyatakan, bahwa pembelajaran kontekstual adalah sebuah konsep pengajaran dan belajar
yang membantu para guru menghubungkan isi materi pelajaran dengan situasi di dunia nyata
anak, lalu memotivasi anak untuk membuat hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya
dalam kehidupan mereka.

16
Menurut Suastra (2013:113) dalam (Ketut Gading, dkk, 2019:144) menjelaskan
model pembelajaran kontekstual atau CTL merupakan suatu konsepsi pembelajaran yang
membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi di dunia nyata dan
mendorong anak membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga, warga Negara,
dan tenaga kerja. Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan
anak bekerja dan mengalami.
Dapat disimpulkan bahwa CTL adalah konsep belajar yang membantu guru
mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata anak dan mendorong
anak untuk menghubungkan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam
kehidupan sehari-hari.
1. Sugiyono (2007) berpendapat tujuan pembelajaran CTL adalah :
a. untuk memotivasi anak memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya
dengan mengaitkan materi tersebut dengan kontkes kehidupan mereka sehari-
hari.
b. Bertujuan agar dalam belajar tidak hanya sekedar menghafal tetapi perlu adanya
pemahaman.
c. Untuk mengajak anak pada suatu aktivitas yang mengaitkan materi akademik
dengan konteks kehidupan sehari-hari.
d. Model pembelajaran yang menekankan pada pengembangan minat pengalaman
anak.
e. Melatih anak dapat berpikir kritis dan trampil dalam memproses pengetahuan
agar dapat menemukan dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi diri anak
dan orang lain.
2. Beberapa karakter pembelajaran CTL , yaitu :
a. Relating (keterkaitan) pembelajaran memiliki keterkaitan dengan bekal
pengetahuan anak dan konteks pengalaman dalam kehidupan nyata. Aspek
keterkaitan meliputi keterkaitan materi pembelajaran dengan pengetahuan dan
keterampilan sebelumnya; materi pembelajaran lain, hasil pemberitaan media,
konteks lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pengalaman dunia nyata,
kebutuhan anak, keluasan materi.
b. Pengalaman langsung
Pembelajaran memberi kesempatan anak untuk memaknai pengetahuan dengan
cara menemukan dan mengalami sendiri secara langsung. Kegiatan yang relevan
seperti: eksplorasi, penemuan (discovery), investigasi, penelitian maupun
pemecahan masalah.
17
c. Applying (Aplikasi)
Pembelajaran menekankan pada penerapan konsep prinsip, dan prosedur yang
dipelajari ke dalam konteks berbeda, sehingga bermanfaat bagi kehidupan anak.
d. Cooperation (kerjasama)
Pembelajaran mendorong anak bekerja sama, baik dengan guru, sesama teman,
dan sumber belajar. Kegiatan yang relevan misalnya kelompok, diskusi,
komunikasi interaktif, toleransi terhadap perbedaan gender, suku, agama, status
social, budaya, perspektif.
e. Pengaturan diri
Pembelajaran mendorong anak untuk mengatur diri dan mandiri, seperti motivasi
mencari dan menggunakan informasi atas dasar kesadaran sendiri, melaksanakan
prinsip trial and error (coba lalu perbaiki), melakukan refleksi terhadap strategi
pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses
perbaikan dan penyempurnaan strategi.
f. Autentic assessment (penilaian otentik) . pembelajaran mengukur, memonitor,
dan menilai semua aspek hasil belajar (kognitif, afektif, psikomotorik), baik hasil
yang tampak maupun adanya perubahan atau perkembangan, menilai hasil belajar
di kelas atau di luar kelas (Komalasari, 2011:13-15).

Dapat disimpulkan Penerapan CTL pada anak usia dini meliputi kegiatan-kegiatan
yang mengandung unsur-unsur (1) pengalaman (Experience) belajar dalam konteks ekplorasi,
penemuan, dan penciptaan yang diperoleh anak melalui pembelajaran dan mengedepankan
proses berpikir kritis, (2) menerapkan (Apply) penerapan hasil belajar kedalam penggunaan
dan kebutuhan praktis, (3) kerja sama (Cooperation) anak belajar dalam bentuk informasi dan
pengalaman, saling merespon, dan saling berkomunikasi, dan (4) mentransfer (Transferring)
kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman berdasarkan
konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman belajar yang baru.

3. Komalasari (2011:16) berpendapat, adanya kelebihan dan kekurangan CTL antara


lain:

Kelebihan :

 Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan nyata.


 Terbentuknya sikap kerja sama yang baik antar individu maupun kelompok.
 Mampu menumbuhkan penguatan konsep pada anak, dalam artian seorang
anak dituntut menemukan pengetahuannya sendiri.

18
 Pendekatan pembelajaran menekankan pada aktivitas anak secara penuh, baik
fisik maupun mental.
 Kelas dalam pembelajaran kontekstual bukan sebagai tempat untuk
memperoleh informasi, tetapi sebagai tempat menguji data hasil temuan
dilapangan.
 Materi pelajaran dapat ditemukan sendiri oleh anak, bukan hasil
pemberitahuan guru.

Kekurangan :

 Bagi anak yang tidak dapat mengikuti pembelajaran tidak mendapatkan


pengetahuan dari pengalaman yang sama dengan teman lainnya.
 Anak yang kurang aktif dalam pembelajaran CTL akan kurang wawasannya
dan menutup diri, sehingga anak yang tekun akan melebihi anak yang lainnya.
 Dalam memilih materi yang mau dipelajari didasarkan pada kebutuhan anak,
akan tetapi didalam kelas tingkat kemampuan anak berbeda-beda sehingga
guru akan kesulitan dalam menentukan materi pelajaran karena tingkat
pencapaiannya anak tidak sama.
 Dalam proses pembelajaran dengan model CTL akan terlihat jelass antara
anak yang memiliki kemampuan aktif dengan anak yang memiliki
kemampuan yang kurang, sehingga menimbulkan rasa tidak percaya diri bagi
anak yang kurang kemampuannya.

Contoh Pembelajaran Berbasis CTL untuk anak

Tema : Tanaman
Sub Tema : Tanaman Hias
Alat & Bahan : Bunga segar dan bunga layu, air ember, pupuk
Kegiatan : Merawat Tanaman

Langkah-langkah kegiatan :
1. Guru memperlihatkan bunga segar dan bunga layu pada anak, kemudian anak
diminta menyebutkan bagian-bagian bunga, dan guru menanyakan apa perbedaan
kedua bunga tersebut
2. Guru dan anak mendiskusikan apa penyebab bunga yang satu segar dan yang satu
tidak segar (layu) , bagaimana cara agar bunga tumbuh segar dan sehat, dan
bagaimana cara merawatnya

19
3. Anak melakukan kegiatan merawat tanaman bunga di sekolah seperti
membersihkan rumput liar disekitaran bunga, memberi pupuk dan menyiram
bunga secara berkelompok.

D. Permbelajaran Kontruktivistik, Behavioristik, dan Sibernitik

Teori belajar berpangkal pada pandangan hakikat manusia, yaitu hakikat manusia
menurut pandangan john locke yaitu manusia merupakan organisme yang pasif. Locke
menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu sangat
tergantung pada orang yang menulisnya.
Sedangkan menurut Leibnitz pandangan mengenai hakikat manusia adalah organism
yang aktif. Manusia merupakan sumber daripada semua kegiatan. Pada dasarnya manusia
bebas untuk berbuat, manusia bebas untuk membuat pilihan dalam setiap situasi. Titik pusat
kebebasan ini adalah kesadarannya sendiri.
 Teori Behavioristik

Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi


antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecemderungan untuk bertindak atau
hubungan antara stimulus dan respons (R-S). belajar adalah upaya untuk membentuk
hubungan stimulus dan respons sebanyak-banyaknya.
Tokoh-tokoh penting yang mengembangkan teori belajar behavioristik, dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1. Thorndike
Teori koneksionisme yang dipelopori oleh Thorndike, memandang bahwa yang
menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya asosiasi antara kesan panca indera (sense of
impression) dengan dorongan yang muncul untuk bertindak (impuls to action). Ini artinya,
toeri behaviorisme yang lebih dikenal dengan nama contemporary behaviorist ini
memandang bahwa belajar akan terjadi pada diri anak, jika anak mempunyai ketertarikan
terhadap masalah yang dihadapi. Siswa dalam konteks ini dihadapkan pada sikap untuk dapat
memilih respons yang tepat dari berbagai respons yang mungin bisa dilakukan. Menurut
Thorndike, belajar akan berlangsung pada diri siswa jika siswa berada dalam tiga macam hukum
belajar, yaitu : 1) The Law of Readiness (hokum kesiapan belajar), 2) The Law of Exercise
(hukum latihan), dan 3) The Law of Effect (hokum pengaruh). Hukum kesiapan belajar ini
merupakan prinsip yang menggambarkan suatu keadaan si pembelajar (siswa) cenderung akan
mendapatkan kepuasan atau dapat juga ketidakpuasan.
2. Pavlov
Konsep teori yang dikemukakan oleh Ivan Petrovitch Pavlov ini secara garis besar tidak
jauh berbeda dengan pendapat Thorndike. Jika Throndike ini menekankan tentang hubungan
20
stimulus dan respons, dan di sini guru sebaiknya tahu tentang apa yang akan diajarkan, respons
apa yang diharapkan muncul pada diri siswa, serta tahu kapan sebaiknya hadiah sebagai
reinforcement itu diberikan; maka Pavlov lebih mencermati arti pentingnya penciptaan kondisi
atau lingkungan yang diperkirakan dapat menimbulkan respons pada diri siswa.

3. E.R Guthrie
Pendapat Thorndike dan Pavlov ini ditegaskan lagi oleh Guthrie, di mana ia menyatakan
dengan hukumnya yaitu “The Law of Association”, yang berbunyi : “A combination of stimuli
which has accompanied a movement will on its recurrence tend to be followed by that
movement” .Secara sederhana dapat diartikan bahwa gabungan atau kombinasi suatu kelas
stimuli yang menyertai atau mengikuti suatu gerakan tertentu, maka ada kecenderungan bahwa
gerakan itu akan diulangi lagi pada situasi/stimuli yang sama.
Teori behaviorisme yang menekankan adanya hubungan antara stimulus (S) dengan
respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang penting bagi siswa untuk meraih
keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan stimulus dalam proses pembelajaran,
dan dengan cara ini siswa akan merespons secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya
reward yang berfungsi sebagai reinforcement (penguatan terhadap respons yang telah
ditunjukkan). Oleh karena teori ini berawal dari adanya percobaan sang tokoh behavioristik
terhadap binatang, maka dalam konteks pembelajaran ada beberapa prinsip umum yang harus
diperhatikan beberapa prinsip tersebut adalah:
1) Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah laku.
Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat menunjukkan
perubahan tingkah laku tertentu.
2) Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus dan
respons, sebab inilah yang dapat diamati.
Sedangkan apa yang terjadi di antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
3) Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons, merupakan
faktor penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila reinforcement (baik
positif maupun negatif) ditambah. Jika yang menjadi titik tekan dalam proses terjadinya
belajar pada diri siswa adalah timbulnya hubungan antara stimulus dengan respons, di mana
hal ini berkaitan dengan tingkah laku apa yang ditunjukkan oleh siswa, maka penting
kiranya untuk memperhatikan hal-hal lainnya di bawah ini, agar guru dapat mendeteksi atau
menyimpulkan bahwa proses pembelajaran itu telah berhasil. Hal yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
a. Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk diberikan kepada
siswa.
b. Guru juga mengerti tentang jenis respons apa yang akan muncul pada diri siswa.

21
c. Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar sesuai
dengan apa yang diharapkan, maka guru harus mampu :
a) Menetapkan bahwa respons itu dapat diamati (observable)
b) Respons yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable)
c) Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat dinyatakan secara
eksplisit atau jelas kebermaknaannya (eksplisit)
d) Agar respons itu dapat senantiasa terus terjadi atau setia dalam
ingatan/tingkah laku siswa, maka diperlukan sekali adanya semacam hadiah
(reward).
Aplikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran untuk memaksimalkan
tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan tingkah laku/kompetensi sebagaimana telah
dirumuskan), guru perlu menyiapkan dua hal, sebagai berikut:
a. Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa
b. Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan
Sedangkan langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori behaviorisme
dalam proses pembelajaran adalah :
a. Mengidentifikasi tujuan pembelajaran.
b. Melakukan analisis pembelajaran
c. Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar
d. Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar.
e. Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan, topik, dll)
f. Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media dan waktu)
g. Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan
sejenisnya)
h. Mengamati dan menganalisis respons pembelajar
i. Memberikan penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun negatif, serta
j. Merevisi kegiatan pembelajaran

 Pembelajaran Konstruktivistik
Karli (2003:2) menyatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang
proses pembelajaran yang (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif
yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar, pengetahuan
akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya.
Poedjiadi (2005:70) juga menyampaikan bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari
pembentukan pengetahuan dan rekonstruksi pengetahuan, yaitu mengubah pengetahuan yang
dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai
akibat dari interaksi dengan lingkungannya”. Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan

22
yang berpendapat bahwa pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari
orang yang sedang belajar. Maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya sendiri (Kukla,
2003: 39).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah suatu
pandangan yang mendasarkan bahwa perolehan pengetahuan atau konstruksi (bentukan) dari
orang yang sedang belajar yang diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang pada akhir
proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh melalui pengalamannya dari hasil interkasi
dengan lingkungannya. Pengetahuan berkembang dari buah pikiran manusia melalui konstruksi
berfikir, bukan melalui transfer dari guru kepada siswa. Oleh karena itu siswa tidak dianggap
sebagai tabula rasa atau berotak kosong ketika berada di kelas. Ia telah membawa berbagai
pengalaman, pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengkonstruksikan pengetahuan baru
atas dasar perpaduan pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan yang baru itu dapat menjadi
milik mereka.
Pandangan yang berkembang adalah bahwa ilmu pengetahuan merupakan hasil rekayasa
manusia, teori konstruktivisme meyakini bahwa di dalam proses pembelajaran para peserta didik
yang harus aktif membangun pengetahuan di dalam pikirannya. Para peserta didik yang pasif
tidak mungkin membangun pengetahuannya sekalipun diberi informasi oleh para pendidik
(Sarkim, 2005: 155).
Agar informasi yang diterima berubah menjadi pengetahuan, seorang peserta didik harus
aktif mengupayakan sendiri agar informasi itu menjadi bagian dari struktur pengetahuannya.
Pandangan demikian diperkirakan bersumber dari karya awal Jean Piaget yang berjudul ” The
Child’s Conception of The World ” (Sarkim, 2005: 156). Gagasan dasar konstruktivisme tentang
belajar tersebut diterima oleh kedua aliran konstruktivisme. Mengingat ilmu pengetahuan harus
dibangun secara aktif oleh peserta didik di dalam pikirannya, hal itu berarti bahwa belajar adalah
tanggungjawab subjek didik yang sedang belajar. Maka menjadi sangat penting motivasi
instrinsik yang mendorong peserta didik memiliki keinginan untuk belajar.
Dalam hal ini pendidik sebagai pengelola kegiatan pembelajaran dapat memberikan
sumbangan yang berarti dalam memotivasi para peserta didik. Secara ringkas gagasan
konsruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut (Suparno, 1997:21):
a. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan
konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek
b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan.
c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk
pengetahuan bila konsepsi itu berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

 Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivistik

23
Yuleilawati (2004:54) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran konstruktivis menurut beberapa
literatur yaitu sebagai berikut:
a. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada
sebelumnya
b. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia
c. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan
pengalaman
d. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai
informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama
dengan orang lain.
e. Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi
dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah.
Sedangkan menurut Siroj ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah:
a. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki
siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
b. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas
yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
c. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan
melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui
kenyataan kehidupan sehari-hari.
d. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu
terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan
lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
e. Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga
pembelajaran menjadi lebih efektif.
f. Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau
belajar.
Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang
diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara
sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa
sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi
perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep
ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa
berjalan mulus.
Pembelajaran berdasaskan teori konstruktivisme ialah proses pembelajaran yang
melibatkan siswa secara aktif. Ia mencoba melakukan belajar sendiri dan membina pengetahuan
sendiri. Siswa perlu mencari pengetahuan yang dibutuhkan, berinteraksi dengan teman,

24
mengkooordinasikan pengetahuan yang baru dan mengolahkannya sendiri untuk menjadikan
lebih bermakna dan kekal. konstruktivisme juga menekankan upaya siswa untuk menyelesaikan
masalah dalam kehidupan yang dihadapi.
Pembelajaran konstruktivisme memberikan ruang pada siswa untuk mengkonstruk dan
mengelola pengetahuan melalui proses pembelajaran menuju hasil belajar yang bermakna, proses
pembelajaran yang aktif yang dilakukan siswa akan mendorong terbentuknya rasa tanggung
jawab dan mampu menghadapai persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari.

 Teori Belajar Sibernetik


Sibernetik merupakan bentuk kata serapan dari kata ‘Cybernetic’ yakni sistem control
dan komunikasi yang memungkinkan feedback atau umpan balik. Kata ‘cybernetic’ yang
selanjutnya ditulis dengan kata sibernetik berasal dari bahasa Yunani yang berarti pengendali atau
pilot. Bidang ini menjadi disiplin ilmu komunikasi yang berkaitan dengan mengontrol mesin
komputer. Istilah ini dipakai pertama kali oleh Louis Couffignal tahun 1958. Kini istilah
sibernetik berkembang menjadi segala sesuatu yang berhubungan dengan internet, kecerdasan
buatan dan jaringan komputer. Istilah ‘Cybernetic’ pertama kali dikeluarkan oleh Nobert Wiener,
seorang ilmuwan dari Massachussets Institut Of Technology (MIT), untuk menggambarkan
kecerdasan buatan (artificial intellidence). Istilah ini digunakan untuk menggambarkan cara
bagaimana umpan balik (feedback) memungkinkan berlangsungnya proses komunikasi.
Uno (Thobroni: 2015:153) menjelaskan, teori belajar sibernetik adalah yang paling baru
dari semua teori belajar yang telah dikenal. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan
ilmu informasi. Menurut Teori ini, belajar adalah pengolahan informasi. Teori ini memiliki
kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan proses. Proses memang penting dalam teori
sibernetik. Namun, yang lebih penting adalah sistem informasi yang diproses karena informasi
akan menentukan proses.
Ridwan Abdullah Sani (2013: 35) berpendapat, teori sibernetik merupakan teori belajar
yang relatif baru dibandingkan dengan teori-teori belajar yang telah ada, seperti teori belajar
behavioristik, konstruktivistik, humanistik, dan teori belajar kognitif. Teori ini berkembang
sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Teori ini memiliki kesamaan dengan
teori kognitif, yaitu mementingkan proses belajar daripada hasil belajar. Perbedaannya teori ini
dengan teori belajar kognitif adalah bahwa proses belajar sangat ditentukan oleh sistem informai
yang dipelajari. Cara belajar secara sibernetik terjadi jika peserta didik mengolah informasi,
memonitornya, dan menyusun strategi berkenaan dengan informasi tersebut. Hal yang terpenting
dalam teori ini adalah “Sistem Informasi” yang akan menentukan terjadinya proses belajar.
Menurut teori ini, tidak ada satupun cara belajar yang ideal untuk segala situasi. Sebuah informasi
mungkin akan dipelajari oleh seorang peserta didik dengan satu macam proses belajar, namun

25
informasi yang sama mungkin akan dipelajari peserta didik yang lain melalui proses belajar
berbeda.
Abdul Hamid (2009: 47) menyatakan, menurut teori belajar sibernetik yang terpenting
adalah “Sistem Informasi” dari apa yang akan dipelajari pembelajar, sedangkan bagaimana proses
belajar akan berlangsung dan sangat ditentukan oleh sistem informasi tersebut. Oleh karena itu,
teori ini berasumsi bahwa tidak ada satu jenis cara belajar yang ideal untuk segala situasi. Sebab
cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
Dalam implementasinya, teori belajar sibernetik dikembangkan oleh beberapa tokoh, di
antaranya Landa, Pask dan Scot.
1. Landa Landa
Merupakan salah seorang psikologi yang beraliran sibernetik. Menurut Landa, ada dua
macam proses berpikir, yaitu sebagai berikut;
1) Proses berpikir algoritmik, yaitu proses berpikir linier, konvergent dan lurus menuju ke
satu target tertentu. Contoh; kegiatan menelpon, menjalankan mesin mobil dan lain-lain.
2) Cara berpikir heuristik, yaitu cara berpikir divergent menuju ke beberapa target sekaligus.
Contoh: operasi pemilihan atribut geometri, penemuan cara-cara pemecahan masalah dan
lain-lain. (Thobroni, 2015: 158).
Ridwan Abdillah Sani (2013: 36) berpendapat sama, penganut aliran sibernetik Landa
menggunakan model pendekatan berpikir algoritmik dan heuristic. Proses berpikir algoritmik
adalah proses berpikir yang sistematis, secara bertahap, konvergen, dan linier menuju satu
sasaran/tujuan tertentu.
Contoh anologi model algoritmik adalah kegiatan menjalankan mesin mobil, dimana dalam
menjalankan mesin mobil kegiatan yang dilakukan dijalankan secara berurutan. Proses berpikir
heuristik adalah cara berpikir divergen, menuju beberapa sasaran/tujuan sekaligus. Contoh
berpikir heuristik adalah memahami suatu konsep yang mengandung arti ganda atau multitafsir.
Pendekatan heuristik menuntut peserta didik berpikir divergen dengan memikirkan alternatif
jawaban dan beberapa sasaran. Contoh penerapan pembelajaran yang melibatkan proses berpikir
heuristik misalnya penemuan cara memecahkan masalah menggunaka metode problem solving.
Abdul Hamid (2009:48) menjelaskan, pemikiran Landa sebagai tokoh teori sibernetik tetap
dilandasi bahwa proses belajar yang penting adalah sistem informasi dari materi yang akan
dipelajari. Belajar adalah pengolahan informasi, maka guru yang baik adalah guru yang tahu
persis informasi dari materi yabng akan dibahas, tahu sistem-sistem berpikir dari pebelajar, dan
tahu cara “mengklopkan” sistem informasi materi dengan sistem pebelajar.
Menurut Landa, ada dua macam proses berpikir yaitu (1) proses berpikir algoritmik, yaitu
proses berpikir linier, konvergen,lurus menuju ke satu target tertentu, (2) cara berpikir heuristic,
yakni berpikir divergent, menuju ke beberapa target sekaligus.

26
Proses belajar akan berjalan dengan baik, jika apa yang hendak dipelajari itu atau masalah
yang hendak dipecahkan (atau dalam istilah yang lebih teknis sistem inforamsi yang hendak
dipelajari) diketahui ciri-cirinya. Satu hal lebih tepat disajikan dalam urutan teratur, linier,
sekunsi, satu hal lain lebih tepat disajikan dalam bentuk “terbuka” dan memberikan keleluasaan
kepada pebelajar untuk beriminasi dan berpikir.

2. Pask dan Scott


Tokoh sibernetik yang lain adalah Pasck dan Scott yang memperkenalkan tipe peserta didik
yang holistik dan tipe serial. Peserta didik tipe holistik cenderung mempelajari sesuatu dari tahap
yang paling umum ke tahap yang paling khusus, sedangkan peserta didik tipe serial cenderung
berpikir algoritmik. (Ridwan Abdullah Sani, 2013:36).
Selanjutnya, Pembelajaran sibernetik sering disinonimkan dengan umpan balik (feedback)
dalam konteks pendidikan. Umpan balik dari peserta didik ini memungkinkan guru untuk dapat
mengetahui apakah materi yang disampaikan telah dipahami dan apa kesulitan peserta didik
dalam memahami informasi. Berdasarkan umpan balik tersebut, siswa juga dapat memutuskan
hasil belajarnya jika kurang memuaskan.
Sementara pendekatan serialis yang diusulkan oleh Pask dan Scott sama dengan pendekatan
algoritmik. Namun, cara berpikir menyeluruh (wholist) tidak sama dengan heuristik. Cara
berpikir menyeluruh adalah berpikir dengan cenderung melompat ke dalam, langsung ke
gambaran lengkap sebuah sistem informasi. Contohnya, saat melihat lukisan, bukan detaildetail
yang diamati terlebih dahuu, melainkan seluruh lukisan itu sekaligus, baru sesudah itu ke bagian-
bagian yang lebih kecil. (Thobroni, 2015:158).
Pendekatan yang berorientasi pada pengelolahan informasi menekankan beberapa hal seperti
“ingatan jangka panjang (Long Time Memory) dan sebagainya yang berhubungan dengan apa
yang terjadi dalam otak kita dalam proses pengolahan informasi. Menurut teori sibernetik, agar
proses belajar berjalan seoptimal mungkin bukan hanya cara kerja otak yangdipahami tetapi juga
lingkungan yang memengaruhi mekanisme itu perlu diketahui. (Abdul Hamid, 2009:50- 51).

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Otak manusia adalah struktur lunak yang dilindungi oleh cangkang berupa tengkorak
yang merupakan pusat kontrol kehidupan setiap individu/ manusia. Berdasarkan letaknya
secara simetris, otak dibagi menjadi otak kanan dan otak kiri. Otak kiri sering dideskripsikan
memiliki kemampuan dominan dalam hal hitungan atau matematika, sedangkan otak kanan
identik dengan kreativitas.
Manusia dalam proses kehidupan dibekali kemampuan IQ, EQ Dan SQ. IQ merupakan
bentuk kemampuan individu untuk berpikir, mengolah, dan menguasai lingkungannya secara
maksimal serta bertindak secara terarah. Kecerdasan ini digunakan untuk memecahkan
masalah logika maupun strategis. EQ Kecerdasan emosional adalah kemampuan
pengendalian diri sendiri,semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri
sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati
dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar
beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam
orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya,
kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan
sekitarnya.

28
SQ merupakan sumber yang mengilhami dan melambungkan semangat seseorang dengan
mengikatkan diri pada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu. Kecerdasan ini digunakan
untuk membedakan baik dan buruk, benar dan salah, dan pemahaman terhadap standar moral.
Untuk mengembangkan kemampuan penting mengikuti pembelajaran yang
diselenggarakan baik didalam lingkungan sekolah maupun diluar sekolah. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan
pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat , serta pembentukan sikap dan kepercayaan
pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta
didik agar dapat belajar dengan baik. Pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan
metode mind mapping, dan CTL.
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran yaitu pendekatan
Perilaku (Behavioristik). Pendekatan Behavioristik merupakan orientasi teoretis yang
didasarkan pada premis bahwa psikologi ilmiah harus berdasarkan studi tingkah laku yang
teramati (observable behavior). Dalam behavioristik ada yang disebut dengan stimulus dan
respons, stimulus tidak lain adalah lingkungan belajar peserta didik, baik yang internal
maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Menurut pandangan konstruktivistik
belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan
si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir menyusun konsep dan memberi
makna tentang hal-hal yang dipelajari. Sebernetik merupakan teori belajar yang paling baru
dalam belajar yang mengutamakan sistem informasi. Teori ini berkembang sejalan dengan
perkembangan teknologi adalah pengolahan informasi.

B. Saran
Upaya untuk mengintegrasikan ketiga potensi kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) melalui
proses pembelajaran tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan setiap peserta didik memiliki
kekhasan masing-masing. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pendekatan yang mampu
memahami karakteristik peserta didik sehingga lingkungan sekolah benar-benar dapat
memberi kesempatan bagi pengembangan potensi peserta didik agar mencapai titik
maksimal. Selain itu, diperlukan juga kreatifitas dan inovasi dari pendidik agar proses
pembelajaran tidak menjemukan yang tentu saja akan berpengaruh pada prestasi peserta didik
tetapi menyenangkan, bermakna dan menantang.

29
30
DAFTAR PUSTAKA

Attila Dewanti & Lely Tobing. 2007. Brain Gym, Optimalkan Perkembangan Otak. Jakarta:
Klinik Neurologi Anak RSAB Harapan Kita.

Hari Wahyudi 2017. Optimalisasi Daya Kerja Otak Melalui Pemanfaatan Stimulan Eksternal.
Jurnal Pembelajaran Fisika Vol.5 No.4 2017: 384-391

Hamid, A. (2009). Teori Belajar dan Pembelajaran. Medan: Unimed Pres.

Ikhwan Khairu Sadiqin dkk. 2017. Mengoptimalkan Potensi Otak Kanan Siswa Dalam
Pembelajaran Kimia. Jawa Barat. Quantum, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains. Vol. 8
No.1. 2017:27-35

Ifa Hanifah Misbach. 2008. Antara IQ, EQ, dan SQ. Pelatihan Nasional Guru Se-Indonesia.

Mayke S Tedjasaputra. 2005. Bermain, Mainan, dan Permainan untuk Pendidikan Anak Usia
Dini. Jakarta: PT. Grasindo.

Rachmawati, Yeni dan Kurniati, Euis. 2011. Strategi Pengembangan Kreativitas Pada Anak
Usia Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Kencana.

Sangkanparan, Hartno. 2010. Dahsyatnya Otak Tengah : Jadikan Anak Anda Cerdas Saat InI
Juga. Jakarta: Visimedia.

Sulthon. 2013. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Melalui Pendekatan Konstruktivistik


Dalam Pendidikan Bagi Anak Usia Dini. Volume 1, Nomor 1, Juli-Desember 2013

Thobroni. (2015). Belajar dan Pembelajaran . Yogyakarta: Ar Ruzz Media

31

Anda mungkin juga menyukai