I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. YW
Tanggal Lahir : 10/06/2001
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Dusun Kraket, Ngadirojo, Pacitan
Agama : Islam
Tanggal Kunjungan RS : 22 Oktober 2019
No RM : 19-xx-xx
II. ANAMNESIS
II.1. Keluhan Utama
Telinga kiri berdenging
II.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Telinga kiri berdenging sejak 5 hari yang lalu, keluar cairan bening dari liang
telinga sebelah kiri, cairan lengket, tidak berbau, cairan keluar setiap bangun
tidur, telinga seperti terasa penuh dan seperti kemasukan air, nyeri (+), demam
(-), batuk (-), pilek (-).
II.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa : (+), pasien mengalami keluhan serupa 5 bulan
yang lalu, keluar cairan berwarna putih, bening, dan nyeri pada telinga kiri.
Keluhan tersebut sudah diobati dan membaik setelah 3 minggu.
Alergi : Tidak ada
Maag : Tidak ada
Riwayat trauma kepala : Tidak ada
II.4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa : Tidak ada
Alergi : Tidak ada
2
Ukuran Kepala : normochepali
Mata : tidak dilakukan pemeriksaan
Hidung : sesuai status lokalis
Mulut : sesuai status lokalis
Telinga : sesuai status lokalis
Leher : Limfonodi servikal teraba (-), nyeri tekan (-),
Pembesaran tyroid (-)
B. Thorax
Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
C. Abdomen:
Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
D. Ekstremitas
Atas : Tidak dilakukan pemeriksaan
Bawah : Tidak dilakukan pemeriksaan
STATUS LOKALIS
Telinga
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Planum mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Glandula limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Can. Aud. Externa Serumen (+), edem (-), Serumen (+), edem (-),
Hiperemis (-) Hiperemis (-),
Kolesteatoma (-)
Membrana timpani Perforasi (-), Perforasi sentral (+),
Hiperemis (-), Cone of Hiperemis (-), Cone of
light di jam 5, Retraksi light tidak terlihat,
(-) Retraksi (-)
3
Hidung dan Sinus Paranasal
Oropharynx
CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Bibir Bibir sianosis (-), kering (-), stomatitis (-)
4
Mukosa Oral Stomatitis (-), warna merah muda
Gusi dan Gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)
Atap mulut Ulkus (-), Edema palatum mole (-)
Dasar Mulut Ulkus (-)
Uvula Uvula tampak , hiperemis (-)
Tonsila Palatina hiperemis (+), detritus (+), hiperemis (+), detritus (+),
permukaan tidak rata, kripta permukaan tidak rata, kripta
melebar, sekret (-), T2 melebar, sekret (-), T2
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Faring Hiperemis (-), adenoid hipertrofi (+)
Tenggorok
Tonsil hipertrofi : T2/T2, permukaan tidak rata, kripta melebar, tampak ada adenoid
hipertrofi
5
Dendritus (+/+)
V. DIAGNOSIS BANDING
Telinga
AS Otitis Media Supuratif Kronik tipe benigna
AS Otitis Media Akut stadium Perforasi
VII. TATALAKSANA
Farmakologi
Larutan H2O2 3% selama 3-5 hari
R/ Amoksisilin tab mg 500 No. XV
S.o.8.h. tab I ( habiskan)
R/ Metilprednisolon tab mg 4 No. XV
S 3 dd tab I
R/ Mucohexine tab mg 8 No. XV
S 2 dd tab I
VIII. EDUKASI
Dokter perlu menjelaskan mengenai penyakit yang diderita dan prognosisnya
Dokter perlu menjelaskan mengenai faktor resiko yang mendasari dan
mencetuskan
Menjelaskan penatalaksanaan penyakit (obat diminum sesuai anjuran dokter)
6
Pasien tidak diperkenankan berenang, air tidak boleh masuk ke dalam telinga.
IX. PLANNING
Pemberian terapi secara oral dalam kurun waktu 1 minggu untuk melihat keluhan
dapat teratasi oleh terapi farmakologis atau tidak.
Segera Rujuk ke Sp. THT.
X. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Patofisiologi
Patofisiologi OMSK melibatkan berbagai faktor yang berhubungan
dengan tuba eutakhius, baik faktor lingkungan, faktor genetik atau faktor
anatomik. Tuba eustakhius memiliki tiga fungsi penting yang berhubungan
dengan kavum timpani:Fungsi ventilasi, proteksi dan drainase (clearance).
Penyebab endogen misalnya gangguan silianpada tuba, deformitas pada
palatum, atau gangguan otot-otot pembuka tuba. Penyebab eksogen misalnya
infeksi atau alergi yang menyebabkan inflamasi pada muara tuba.
Otitis media supuratif kronik sebagian besar merupakan sequele atau
komplikasi otitis media akut (OMA) yang mengalami perforasi. Dapat juga
terjadi akibat komplikasi pemasangan pipa timpanostomi (pipa gromet) pada
kasus otitis media efusi (OME). Perforasi membran timpani gagal untuk
menutup spontan, terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau paparan alergen
dari lingkungan, sehingga menyebabkan otorea yang persisten.
Infeksi kronis maupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorok
dapat menyebabkan gangguan fungsi hingga infeksi dengan akibat otorea
terus-menerus atau hilang timbul. Peradangan pada membran timpani
menyebabkan proses kongesti vaskuler, sehingga terjadi suatu daerah iskemi,
selanjutnya terjadi daerah nekrotik yang berupa bercak kuning, yang bila
disertai tekanan akibat penumpukan discaj dalam rongga timpani dapat
mempermudah terjadinya perforasi membran timpani. Perforasi yang menetap
akan menyebabkan rongga timpani selalu berhubungan dengan dunia luar,
8
sehingga kuman dari kanalis auditorius eksternus dan dari udara luar dapat
dengan bebas masuk ke dalam rongga timpani, menyebabkan infeksi mudah
berulang atau bahkan berlangsung terus-menerus. Keadaan kronik ini lebih
berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran patologi.
Ketidakseragaman gambaran patologi ini disebabkan oleh proses yang bersifat
kambuhan atau menetap, efek dari kerusakan jaringan,serta pembentukan
jaringan parut.
Selama fase aktif, epitel mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa
sekretorik dengan sel goblet yang mengeksresi sekret mukoid atau
mukopurulen. Adanya infeksi aktif dan sekret persisten yang berlangsung lama
menyebabkan mukosa mengalami proses pembentukan jaringan granulasi dan
atau polip. Jaringan patologis dapat menutup membran timpani, sehingga
menghalangi drainase,menyebabkan penyakit menjadi persisten.
Perforasi membran timpani ukurannya bervariasi. Pada proses penutupan
dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamus masuk ke telinga tengah, kemudian
terjadi proses deskuamasi yang akan mengisi telinga tengah dan antrum
mastoid, selanjutnya membentuk kolesteatoma akuisita sekunder, yang
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman pathogen dan bakteri
pembusuk. Kolesteatoma ini mampu menghancurkan tulang di sekitarnya
termasuk rangkaian tulang pendengaran oleh reaksi erosi dari ensim osteolitik
atau kolagenase yang dihasilkan oleh proses kolesteatom dalam jaringan ikat
subepitel. Pada proses penutupan membran timpani dapat juga terjadi
pembentukan membran atrofik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat, dimana
membran bentuk ini akan cepat rusak pada periode infeksi aktif.
d. Tatalaksana
Pengobatan untuk penyakit OMSK memerlukan waktu yang lama dan
harus kontrol rutin karena penyakit ini rentan untuk kambuh kembali. Hal ini
dikarenakan beberapa hal, ialah:
9
Adanya perforasi membran timaani permanen, sehingga telinga tengah
berhubungan dengan telinga luar
Ada sumber ingeksi di daerah faring, nasofaring, hidung, dan sinus
paranasal
Sudah terbentuk jaringan patologik ireversibel dalam rongga mastoid
Gizi dan hyigiene yang tidak tepat.
Gambar: Timpanoplasti
10
Prinsip terapi OMSK tipe bahaya/maligna ialah pembedahan, yaitu
mastoidektomi. Jadi bila terdapat OMSK tipe bahaya, maka terapi yang tepat
ialah dengan melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa
timpanoplasti.Terapi konservatif dengan medika mentosa hanyalah terapi
sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal
retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum
mastoidektomi.
e. Komplikasi
Berbagai faktor mempengaruhi terjadinya komplikasi pada OMSK.
Komplikasi pada OMSK berhubungan erat dengan kombinasi dari destruksi
tulang, jaringan granulasi dan kolesteatom. Patogenesis primer terjadinya
komplikasi adalah interaksi antara mikroorganisme penyebab dengan host.
Host akan berespon dengan membentuk edema jaringan dan jaringan granulasi.
Lingkungan seperti ini menjadi lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan
organisme anaerob dan proses destruksi tulang.
Variasi anatomi juga penting dalam perkembangan komplikasi. Tuba
eustachius tidak hanya berperan penting dalam patogenesis penyakit namun
juga berpengaruh terhadap komplikasi. Edema mukosa tuba merusak fungsi
tuba dan menghambat resolusi infeksi. Faktor-faktor lain seperti integritas
tulang di atas nervus fasialis atau dura mempengaruhi akses infeksi ke struktur
nervus dan ruang intrakranial. Keberadaan kolesteatom sering berkaitan
dengan destruksi tulang yang mengekspos dura atau nervus fasialis.
Komplikasi pada otitis media supuratif kronik terbagi menjadi dua yaitu
komplikasi intratemporal (ekstrakranial) dan intrakranial. Komplikasi
intratemporal meliputi mastoiditis, petrositis, labirintitis, paresis nervus fasialis
dan fistula labirin. Komplikasi intrakranial terdiri dari abses atau jaringan
granulasi ekstradural, tromboflebitis sinus sigmoid, abses otak, hidrosefalus
otik, meningitis dan abses subdural.
f. Prognosis
11
B. Tonsiloadenoid Hipertrofi
a. Definisi
Tonsiloadenoid hipertrofi adalah pembesaran jaringan limfoid pada
dinding posterior dari nasofaring dan termasuk dalam cincin Waldeyer sebagai
salah satu dari sistem pertahanan tubuh.
b. Patofisiologi
Infeksi pada tonsil terjadi jika antigen baik inhalan ataupun ingestan
dengan mudah masuk masuk ke dalam tonsil dan terjadi perlawanan tubuh
kemudian terbentuk focus infeksi. Pada awalnya infeksi bersifat akut yang
umumnya disebabkan oleh virus yang tumbuh di membrane mukosa kemudian
diikuti oleh infeksi bakteri. Jika daya tahan tubuh penderita menurun, maka
peradangan tersebut akan bertambah berat. Setelah terjadi peradangan akut ini,
tonsil dapat benar-benar sembuh atau bahkan tidak dapat kembali seperti
semula. Penyembuhan yang tidak sempurna ini akan mengakibatkan perdangan
berulang pada tonsil. Bila hal ini terjadi maka bakteri pathogen akan bersarang
di dalam tonsil dan terjadi peradangan yang bersifat kronis.
Akibat peradangan kronis tersebut, maka ukuran tonsil akan membesar
akibat hyperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta
tonsil. Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil akan
menyebabkan peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam kripta,
sehingga memudahkan bakteri masuk dalam parenkim tonsil. Pada tonsillitis
kronis akan dapat dijumpai bakteri yang berlipat ganda.
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin Waldayer sangat kecil. Pada
anak berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan
adenoid merupakan organ limfoid pertama didalam tubuh yang memfagosit
kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan yang
penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun
selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian
ekstrafolikuler. Oleh karena itu hipertropi dari jaringan merupakan respon
terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen.
Adenoid dapat membesar seukuran bola pingpong, yang mengakibatkan
12
tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya
usaha yang keras untuk bernapas, sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui
mulut yang terbuka. Adenoid juga dapat menyebabkan obstruksi pada jalan
udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid dapat
menyebabkan obstruksi pada tuba Eustachius yang akhirnya menjadi tuli
konduksi karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat tuba Eustachius
yang tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan.
Penyebab utama hipertropi jaringan adalah infeksi saluran napas atas yang
berulang. Infeksi dari bakteri-bakteri yang memproduksi betalactamase, seperti
Sreptococcus Beta Haemolytic Group A, Staphylococcus aerius, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenzae, apalagi
mengenai jaringan adenoid akan menyebabkan inflamasi dan hipertopi.
Jaringan adenoid yang seharusnya mengecil secara fisiologis sejalan dengan
pertambahan usia, menjadi membesar dan pada akhirnya menutupi saluran
pernafasan atas. Hambatan pada saluran pernapasan atas akan mengakibatkan
pernapasan melalui mulut dan pola perkembangan sindrom wajah adenoid.
Sindrom wajah adenoid diakibatkan oleh penyumbatan saluran napas atas
kronis oleh karena hipertropi jaringan adenoid. Penyumbatan saluran napas
atas yang kronis menyebabkan kuantitas pernapasan atas menjadi menurun,
sebagai penyesuaian fisiologis penderita akan bernapas melalui mulut.
Pernapasan melalui mulut menyebabkan perubahan struktur dentofasial yang
dapat mengakibatkan maloklusi yaitu posisi rahang bawah yang turun dan
elongasi, posisi tulang hyoid yang turun sehingga lidah akan cenderung ke
bawah dan kedepan, serta meningginya dimensi vertikal.
d. Tatalaksana
Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada keadaan higiene mulut dengan cara berkumur
atau obat isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat
irigasi gigi atau oral. Pemberian antibiotika pada penderita Tonsilitis
13
kronis eksaserbasi akut cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin
(terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan
asam klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).
Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil
(tonsilektomi) dan mengangkat adenoid (adenoidektomi). Tonsilektomi
dilakukan bila terapi konservatif gagal.
Indikasi Adenoidektomi
1. sumbatan :
a. sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui mulut
b. sleep apnea
c. gangguan menelan
d. gangguan berbicara
e. kelainan bentik wajah dan gigi (adenoid face)
2. infeksi
a. adenoiditis berulang / kronik
b. otitis media efusi berulang / kronik
c. otitis media akut berulang
3. kecurigaan neoplasma jinak / ganas
14
o Serangan tonsilitis berulang (4-5x/tahun) walaupun pemberian terapi
adekuat.
o Tonsilitis carier misalnya tonsilitis difteri.
o Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional.
o Riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang berhubungan
dengan tonsilitis yang berulang.
o Hipertrofi tonsil / adenoid.
o Tonsilitis kronik menetap yang respon penatalaksanaan medisnya tidak
berhasil
o Tonsilitis kronik yang berhubungan dengan adenopati servikal
persisten.
Kontraindikasi tonsilektomi
1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang
2. Infeksi sistemis atau kronis
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala obstruksi
5. Rhinitis alergika
6. Asma
7. Diskrasia darah
8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh
9. Tonus otot yang lemah
10. Sinusitis
15
dapat dicegah dengan meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan
lunak dan minuman dingin.
Komplikasi yang terjadi kemudian (intermediate complication) dapat
berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi
paru dan otalgia. Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah
24 jam pasca bedah. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan
penyebab tersering adalah infeksi serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh
karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa
tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di
bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi
karena umumnya berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara
penanganannya sama dengan perdarahan primer.
Komplikasi Lambat (Late complication) pasca tonsilektomi dapat
berupa jaringan parut di palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas
dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil.
Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak
dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil.
e. Komplikasi
Komplikasi dari tindakan operasi adalah perdarahan bila pengerokan
adenoid kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan akan terjadi kerusakan
dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius
akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan timbul tuli
konduktif. Hipertrofi adenoid merupakan salah satu penyebab tersering dari
obstruksi nasal dan dengkuran, dan merupakan salah satu penyebab terpenting
dari obstructive sleep apnoea syndrome, khususnya ketika terdapat beberapa
faktor lain yang mempengaruhi jalan napas bagian atas, antara lain seperti
anomali kraniofasial, maupun micrognathia akibat sindrom Treacher Collins.
f. Prognosis
16
DAFTAR PUSTAKA
17