Anda di halaman 1dari 9

SELAYANG PANDANG
MENGENAL DASAR-DASAR TEORI MARXISME

Ismantoro Dwi Yuwono


_______________________________________

DAFTAR ISI
PENEGASAN PRINSIP DASAR MARXISME
Marxisme Sebagai Peta .................................................................................................................3
Cara Baca ala John Molyneux ......................................................................................................4
Meluruskan Pemahaman Istilah “Obyektif” dalam Ilmu Pengetahuan ........................................7
Program dan Teori Dasar ..............................................................................................................8

Ismantoro Dwi Yuwono, “Mengenal Dasar-Dasar Teori Marxisme,” Yogyakarta, 2016.

2

PENEGASAN PRINSIP DASAR MARXISME

Marxisme Sebagai Peta


Untuk sampai pada tempat tujuan kita harus berjalan menyusuri jalur yang akan membimbing kita
ke sana. Peta adalah hal yang sangat penting untuk dimiliki. Penunjuk jalan ini sangat berguna
untuk mengetahui jalur yang dilalui itu benar atau tidak. Jika benar, kita akan sampai ke tempat
yang kita tuju, namun jika keliru, alih-alih sampai tempat tujuan, kita akan tersesat.
Namun demikian, walau pun kita telah memiliki peta, kita belum bisa dikatakan sudah dapat
memastikan kalau penunjuk jalan itu akan membimbing kita ke tempat tujuan, karena tidak semua
peta akurat. Untuk mengetahui akurat tidaknya sebuah peta kita harus memiliki pengetahuan untuk
mengindentifikasi benar atau tidaknya peta yang telah kita miliki.
Demikian pula halnya dengan Marxisme. Ilmu pengetahuan ini ibarat sebuah peta yang akan
memandu kelas buruh (selanjutnya aku sebut Proletariat) menelusuri jalur yang akan membawa
mereka ke tempat tujuan akhir, yakni masyarakat tanpa kelas. Peta ini menunjukkan jalur atau
tahap-tahap yang harus dilalui Proletariat untuk tiba pada kondisi masyarakat nir-penindasan,
dimana alat produksi dimiliki secara kolektif.
Namun demikian, setelah wafatnya sang Nabi Proletariat, Karl Marx, 133 tahun yang lalu
(1883), telah bermunculan peta-peta palsu atau gadungan. Peta-peta yang menamakan dirinya
Marxisme itu mendeklarasikan kalau mereka adalah peta modern bahkan post-modern yang
mengaku akan memberikan arah yang benar menuju masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya.
Namun, jika dianalisis peta-peta itu adalah panduan yang sesat. Bukannya memberikan panduan
kepada Proletariat untuk mencapai tujuannya, justru panduan itu, selain menyesatkan,
“menghancurkan” Proletariat itu sendiri. Peta-peta itu tidak lebih dari perpanjangan tangan dari
kepentingan kelas kapitalis untuk menghancurkan Proletariat dengan berkedok Marxisme.
Tugas dari aktivitis atau gerakan Marxis (baca: Proletariat) adalah berpegang teguh pada peta
yang benar dan menolak berbagai peta gadungan. Tugas inilah yang membawa mereka untuk
melakukan perjuangan kelas di ranah ideologi.
Dalam proses mengindentifikasi mana Marxisme yang benar dan mana yang gadungan tidak
menutup kemungkinan kelas kapitalis akan melakukan intervensi. Tujuan mereka melakukan itu
adalah untuk menghancurkan perjuangan Proletariat. John Molyneux mencatat, untuk kepentingan
itu, kelas kapitalis tidak akan segan-segan akan mengatakan tidak ada artinya untuk mencari-cari
mana Marxisme yang benar dan mana yang gadungan. 1 Tujuan dari perkataan mereka itu adalah
agar Proletariat mengalami kekacauan dalam memahami Marxisme. Proletariat digiring untuk
menilai kalau semua Marxisme itu sama saja, sehingga dengan demikian mudah bagi kelas kapitalis
untuk mendiskreditkan Marxisme untuk tujuan mendemoralisasi perjuangan Proletariat. Selain itu,
ketika kelas kapitalis mengatakan kalau Marxisme itu dan ini sama dengan Kautskyisme,
Stalinisme, Nasionalisme Marxis, dan Marxisme-Marxisme gadungan lainnya, mereka bertujuan
memberi petunjuk palsu kalau Marxisme adalah ilmu pegetahuan yang telah usang dan patut untuk
ditinggalkan. Bagaimana pun juga, untuk mengamankan sifat-nya yang menindas, kapitalis
berkepentingan untuk mencegah terkonsolidasinya Marxisme menjadi sebuah kekuatan yang akan
menghantam dan mengahncurkan dirinya. Untuk itulah penting kiranya bagi Proletariat untuk tetap
berpegang teguh pada Marxisme yang benar dan menolak segala bentuk intervensi dari kelas
kapitalis.
Berangkat dari sini, kemudian muncul pertanyaan. Bagaimana caranya mengetahui Marxisme
yang benar dan yang gadungan? Ada 3 cara baca yang ditawarkan oleh 3 orang intelektual Marxis.
Cara pertama adalah cara sekolahan. Cara kedua adalah cara yang akan menuntun pada
sektarianisme teori. Dan, cara yang ketiga adalah cara baca yang memposisikan teori Marxis
sebagai teori yang dapat digunakan untuk melihat Marxisme secara utuh. Cara yang terakhir ini
adalah cara yang ditawarkan oleh John Molyneux, yang akan aku berikan porsi ulasan yang cukup

1
John Molyneux, Mana Tradisi Marxis yang Sejati?, Bintang Nusantara, Yogyakarta, 2015. Halaman: 10.

Ismantoro Dwi Yuwono, “Mengenal Dasar-Dasar Teori Marxisme,” Yogyakarta, 2016.

3

mendetail dalam sub-bagian tulisan ini. Namun, sebelum sampai ke sana, terlebih dahulu aku akan
memberikan sekilas tinjauan terhadap cara baca yang pertama dan kedua. Berikut ini ulasannya.
Cara baca yang pertama, menawarkan, jika kita ingin mengidentifikasi mana Marxisme yang
benar dan mana yang gadungan hal itu bisa dilakukan dengan cara menggunakan tulisan-tulisan
Karl Marx dan Friedrich Engels, termasuk titik dan komanya, sebagai ukuran untuk menilai
berbagai tulisan yang mengaku Marxis menyimpang atau tidak dengan apa yang telah ditulis oleh
dua perumus Sosialisme ilmiah itu. Jika cocok, maka dapat dikatakan benar, dan kalau tidak cocok
berarti gadungan.
Cara baca yang pertama ini ditentang oleh Marx dan Engels. Marx pada tahun 1970an pernah
mengatakan kalau dia bukanlah seorang Marxis. Artinya, dia menentang siapa saja yang
memperlakukan buah pikirannya (berbagai tulisannya) sebagai “berhala,” kaku, tidak menyesuaikan
dengan kondisi materiil perkembangan perjuangan kelas buruh. Sedangkan Friedrich Engels sendiri
dalam sebuah buku yang ditulisnya, Anti Dühring, mengatakan, Marxisme bukanlah dogma tetapi
panduan bagi Proletariat dalam perjuangan kelas. Cara baca yang kaku tersebut, tentu saja,
ditentang oleh mereka karena alih-alih mengidentifikasikan mana yang benar dan mana yang
gadungan, hal itu justru menggiring pada tindakan memandulkan materialisme dialektika yang
mengandaikan adanya interaksi antara dua entitas yang saling bertemu—teori dan praktek.
Cara baca yang pertama ini terperangkap dalam cara baca orang sekolahan yang hanya
bergulat pada teori melulu dan tidak pernah bersentuhan dengan realitas. Mereka senang berteori
tetapi ogah berpraksis. Sekali lagi, cara seperti ini ditentang oleh Karl Marx. Dalam sebuah
tulisannya, Tesis Tentang Feuerbach, dia mengatakan, para filsuf (pemikir dan orang yang hanya
doyan berteori) hanya memikirkan dunia, padahal yang utama adalah mengubah dunia (berpraksis
mengubah dunia). Dan, dengan demikian pula, cara baca yang pertama, sekali lagi, bertentangan
dengan materialisme, karena hal itu membuka jalan bagi tumbuh dan berkembangnya idealisme.
Cara baca yang kedua ditawarkan oleh Leon Trotsky dan Georg Lukacs. Trotsky mengatakan
jika kita ingin mengidentifikasi mana Marxisme yang benar dan mana yang gadungan, hal itu dapat
kita lakukan dengan cara menggunakan teori-teori Marx dan Engels sebagai alat untuk melakukan
analisis,2 bukan analisis terhadap teks-teks, tetapi yang paling utama adalah analisis terhadap
hubungan-hubungan sosial. Tawaran dari Trotsky ini ditindaklanjuti oleh Georg Lukacs. Lukacs
menggunakan teori-teori yang dirumuskan oleh Marx dan Engels persis seperti apa yang ditawarkan
oleh Trotsky tersebut. Dalam perkembangannya, setelah Lukacs melakukan hal itu, dia menarik
kesimpulan, kalau Marxisme bukan hanya dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan analisis
tetapi juga dapat dijadikan sebagai metode. Tidak hanya metode yang berkaitan dengan analisis
hubungan sosial, tetapi juga metode untuk berpikir dan berfilsafat.
Cara yang kedua ini berupaya untuk memadukan antara metode dan analisis. Cara baca yang
kedua ini memang lebih baik dari cara yang pertama. Namun, karena cara ini masih
memperlakukan teori-teori dari Marx dan Engels secara kaku, maka, menurut John Molyneux, hal
itu akan menggiring cara ini ke arah sektarianisme teori. Dengan cara ini, bisa jadi orang akan
menilai Rosa Luxemburg bukanlah seorang Marxis karena dia menentang Lenin atau Leninisme
bukanlah Marxisme karena mengkarakterkan revolusi Proletariat sebagai revolusi yang berkarakter
borjuis demokratik.

Cara Baca ala John Molyneux


Cara baca yang ketiga adalah cara baca yang ditawarkan oleh John Molyneux. Kamerad kita ini
mengatakan, agar kita tidak terjebak dalam cara baca sekolahan dan sektarianisme teori, ada
baiknya kita menggunakan teori-teori Marxis untuk melihat secara keseluruhan berbagai Marxisme
yang ada. Dengan cara ini, Marxisme diposisikan bukan sebagai dogma, tetapi sebagai panduan
untuk mengidentifikasi mana Marxisme yang benar dan mana yang gadungan. Cara ini digunakan

2
Analisis: Penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan lain sebagainya) untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan lain sebagainya); atau penguraian suatu pokok atas
berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang
tepat dan pemahaman arti keseluruhan.

Ismantoro Dwi Yuwono, “Mengenal Dasar-Dasar Teori Marxisme,” Yogyakarta, 2016.

4

dengan tetap berpegang pada prinsip mengembalikan (jika diselewengkan) Marxisme ke posisi
yang benar sebagai perjuangan kelas untuk memenangkan revolusi Proletariat.

Cara Menggunakan Peta


atau Cara Baca Marxisme

Cara Sekolah Menggunakan Marxisme Menggunakan Teori Marxis Untuk


(Dogmatis) Sebagai Metode dan Analisis Melihat Marxisme Secara Utuh

John Molyneux menunjukkan, cara baca ini, jika diskemakan, hanya terdiri dari dua cara saja,
yakni, pertama, menggunakan teori basis materiil Marxis untuk menyingkap kepentingan kelas
yang bersembunyi di balik ilmu pengetahuan dan fenomena sosial. Dan, yang kedua, menggunakan
teori tentang kontradiksi untuk memahami interaksi antar kelas.
Dua cara tersebut, sebenarnya merupakan ekspresi dari apa yang pernah dilontarkan oleh
Marx. Dia pernah berkata, “bukan kesadaran sosial yang menentukan kenyataan sosial, namun
sebaliknya, kenyataan sosiallah yang menentukan kesadaran sosial.” Perkataan dari Marx ini dapat
diterjemahkan, sebagai berikut.
Setiap ilmu pengetahuan, fenomena sosial, dan berbagai bentuk peristiwa dapat dicari basis
materiil (kenyataan sosial) yang mendorong kemunculannya. Basis materiil yang dimaksud di sini,
tidak lain adalah sisi dari perjuangan kelas-nya. Sedangkan ketika kita berbicara tentang perjuangan
kelas hal itu mengandaikan adanya pertarungan antara penindas dan yang ditindas.

Pemilik Budak Versus Budak

Kenyataan Sosial = Basis Materiil = Perjuangan Kelas Tuan Tanah Versus Petani

Pemilik Modal Versus Buruh

Teori basis materiil tersebut tidak digunakan oleh Lenin dan Karl Kautsky ketika mereka
melakukan analisis terhadap kemunculan kaum revolusioner. Lenin di dalam buku yang ditulisnya,
What is To Be Done? (Apa yang Harus Dilakukan?), mengatakan kalau Proletariat tidak memiliki
kesadaran revolusioner. Kesadaran revolusioner hanyalah dimiliki oleh kaum intelektual
revolusioner. Oleh sebab itulah, agar Proletariat memiliki kesadaran revolusioner, hal itu harus
disuntikan dari luar. Anggapan keliru dari Lenin itu senada dengan apa yang pernah dikatakan oleh
Kautsky. Dia mengatakan kalau wahana ilmu pengetahuan itu ada di luar, terpisah dari kaum
proletariat. Dan itu artinya, sama seperti halnya Lenin, menurutnya kesadaran revolusioner harus
disuntikan dari luar. Baik anggapan dari Lenin maupun Kautsky tersebut terperangkap dalam
analisis materialisme yang bersifat kontemplatif. Dan itu artinya, bertentangan dengan teori Marxis.
Lenin sendiri pada tahun 1905, ketika Proletariat bergerak melakukan perlawanan terhadap
penindas mereka di Rusia, melakukan revisi terhadap pandangannya yang keliru itu. Pandangan
yang pada dasarnya bertentangan dengan Marxisme.
Karl Marx menunjukkan bagaimana caranya menggunakan teori basis materiil dan
kontradiksi untuk menganalisis tentang asal-usul kemunculan kaum intelektual revolusioner. Dia
mengatakan, konsekuensi dari perkembangan kapitalisme adalah lahirnya kaum intelektual. Kaum
intelektual inilah yang berperan untuk memberikan legitimasi terhadap keberadaan kapitalisme dan
juga berperan mendorong perkembangan kapitalisme melalui berbagai penemuan-penemuan ilmiah.
Melalui kaum intelektual lah alat-alat produksi dapat dikembangkan semakin canggih. Kaum

Ismantoro Dwi Yuwono, “Mengenal Dasar-Dasar Teori Marxisme,” Yogyakarta, 2016.

5

intelektual ini, dalam bahasa Marxis, disebut dengan borjuis kecil. Karena sifat anarkis dan brutal
dari sistem kapitalisme, dalam perkembangannya, kaum intelektual pun terpecah menjadi dua.
Kelompok pertama tetap berpihak pada kepentingan kelas kapitalis, dan kelompok kedua membelot
dari kelas yang melahirkannya. Kelompok yang membelot inilah yang dinamakan dengan kaum
intelektual revolusioner, kaum yang mengabdikan dirinya atau berpihak pada perjuangan Proletariat
melawan kapitalisme.
Dengan demikian, kemunculan kaum revolusioner tidak bisa dilepaskan dari kemunculan
Proletariat, kelas tertindas yang dijadikan obyek bagi keanarkisan dan kebrutalan kelas kapitalis.
Lebih jauh, Karl Marx dan Friedrich Engels di dalam, Manifesto Partai Komunis, berkata, “untuk
kepentingan akumulasi kapital (perdagangan) kelas kapitalis mengadakan hubungan dimana-mana
dan bersarang dimana-mana.” Dari apa yang dikatakan oleh mereka itu, maka dapatlah dipahami,
karena kapitalisme berkembang secara mendunia, maka Proletariat pun juga dilahirkan secara
mendunia. Dengan kata lain, Proletariat dilahirkan di setiap negara di dunia ini. Dan itu artinya,
keberpihakan kaum intelektual revolusioner dalam membebaskan Proletariat tidak hanya berhenti
pada satu negeri (bangsa), tetapi aksi pembebasan harus dilakukan oleh mereka secara mendunia.
Demikianlah Karl Marx menunjukkan bagaimana cara dia menggunakan teori basis materiil
dan kontradiksi untuk menganalisis kemunculan kaum revolusioner. Dari sini dapat pula dipahami,
cara yang digunakan oleh Marx itu tidak dapat dilepaskan dari orientasi sudut pandang Proletariat.
Orientasi ini tidak boleh dilepaskan dari Marxisme, karena ilmu pengetahuan ini ditujukan untuk
kepentingan Proletariat bukan kelas yang lain.
Cara baca dengan mendayagunakan teori basis materiil dan kontradiksi ini juga digunakan
oleh Leon Trotsky, ketika dia melakukan analisis terhadap asal-usul kemunculan Fasisme. Dari
hasil analisis yang dilakukannya, Trotsky berkesimpulan, kalau kemunculan dari Fasisme didorong
oleh posisi terjepitnya borjuis kecil diantara modal besar (imperialisme) dan tekanan dari gerakan
Proletariat.
Kita juga bisa menggunakan cara baca ini untuk menyingkap kepentingan kelas [kapitalis]
dibalik dipertahankannya sistem keluarga. Kelas kapitalis selalu menggembar-gemborkan kalau
keluarga adalah pusat dari penyemaian kasih sayang, cinta, dan keharmonisan. Namun, dalam
kenyataannya, hal itu hanya berlaku bagi orang-orang kaya saja. Di keluarga-keluarga orang kaya
pun kasih sayang, cinta, dan keharmonisan itu hanyalah ilusi belaka, karena itu semua dibangun di
atas fondasi yang bernama kekayaan yang diperoleh dari menghisap hasil kerja buruh. Massa rakyat
yang mayoritas terdiri dari buruh dan lumpen proletariat, sulit untuk mendapatkan ke tiga hal
tersebut. Terlepas dari semua itu, tujuan dipertahankannya sistem keluarga oleh kelas kapitalis agar
berbagai kepentingan kelas penindas ini dapat dipertahankan. Dengan sistem keluarga kelas
kapitalis dapat mempertahankan sistem pewarisan, sehingga hal ini akan memudahkannya untuk
mengalihkan kepemilikan pribadi. Melalui sistem ini kelas ini dapat mengalihkan biaya untuk
membesarkan dan mendidik calon-calon buruh pada setiap keluarga dan, tentu saja, dengan cara ini
kelas kapitalis dapat memperoleh calon-calon buruh tanpa mengeluarkan biaya sama sekali.
Disamping itu, dengan cara ini, kelas kapitalis dapat melanggengkan terjadinya perpecahan kelas
yang saling bertentangan. Dan dengan cara ini pula, kerja-kerja rumah tangga [dan kerja-kerja yang
bersifat domestik] tidak mengharuskan kelas kapitalis, yang didukung oleh penguasa (Negara),
untuk mengeluarkan biaya-biaya untuk itu. Dalam hal yang terakhir ini, perempuanlah yang
menjadi korban, karena mereka dianggap pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kerja-kerja
rumah tangga, seperti mengurus pekerjaan rumah dan membesarkan anak. Dan, lebih parahnya lagi,
selain dibebankan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan itu, perempuan diposisikan sebagai
budak seks di dalam rumah tangga.3
Teori basis materiil dan kontradiksi yang telah dipakai oleh kaum Marxis untuk menyingkap
kepentingan kelas tersebut dapat pula dijelaskan basis materiil kemunculannya. Teori-teori itu
muncul karena didorong oleh perkembangan kapitalisme. Perkembangan ini terjadi di setiap negara

3
Dokumen Partai Sosialis Demokratik Australia, Feminisme dan Sosialisme: Menjelaskan Penindasan
Perempuan dari Perspektif Marxisme, Bintang Nusantara, Yogyakarta, 2015.

Ismantoro Dwi Yuwono, “Mengenal Dasar-Dasar Teori Marxisme,” Yogyakarta, 2016.

6

di dunia. Dengan kata lain, perkembangan sistem ini terjadi karena sifatnya yang ekspansif, dimana
kemunculan sifat itu didorong oleh kepentingan akumulasi kekayaan.
Oleh karena itu, karena sifatnya yang mendunia, maka konsekuensinya penindasan buruh di
satu negara juga merupakan cerminan dari penindasan buruh di semua negara-negara lain di dunia.
Dan itu artinya, Proletariat sedunia memiliki kepentingan yang sama. Dengan kata lain, dalam
perjuangan kelas, kaum buruh sama-sama memiliki kepentingan memenangkan revolusi Proletariat
sedunia, revolusi permanen yang akan membawa massa rakyat dalam kondisi nir-penindasan.
Dari cara baca Marxisme, sebagaimana telah aku tunjukkan tersebut, dapatlah dipahami,
selain kita mendapatkan petunjuk dari John Molyneux tentang bagaimana cara mengidentifikasikan
Marxisme yang benar dan yang gadungan, hal itu juga menunjukkan bahwa inti dari teori Marxis,
terdiri dari 3 teori, yakni: 1. Proletariat memiliki kepentingan yang sama di seluruh dunia. 2.
Proletariat lahir dari perkembangan kapitalisme yang sifatnya ekspansif. Dan yang ke-3, teori
tentang kemenangan buruh sedunia.

Meluruskan Pemahaman Istilah “Obyektif” dalam Ilmu Pengetahuan


Ada salah satu intelektual borjuis yang menuding kalau teori Marxis hanya ditujukkan untuk
melayani satu kepentingan kelas saja, yakni Proletariat, maka teori itu tidak layak dikatakan sebagai
teori yang obyektif. Karena tidak obyektif, maka Marxisme tidak layak disebut sebagai ilmu
pengetahuan. Intelektual borjuis yang aku maksud tersebut adalah Karl Manheim.
Dan, ada pula seorang intelektual Marxis, yang mengakui tentang status ilmu pengetahuan
yang disandang oleh Marxisme, namun dia memberikan catatan, asalkan Marxisme tidak hanya
ditujukan untuk kepentingan Proletariat, jika itu dilakukan Marxisme akan turun derajatnya hanya
sebagai seonggok (sehimpunan) ideologi, bukan lagi ilmu pengetahuan. Intelektual Marxis yang
aku maksud tersebut adalah Louis Althusser.
Pandangan-pandangan itu tidak benar dan harus diluruskan. Namun, sebelum aku
meluruskannya, penting aku jelaskan terlebih dahulu pemahaman yang benar tentang istilah
“obyektif.”
Di kalangan kelas kapitalis istilah obyektif diartikan tidak berpihak. Ketika sesuatu itu
berpihak, menurut kelas penindas ini, maka sesuatu itu tidak layak untuk disebut sebagai sesuatu
yang obyektif. Lelucon ini adalah lontaran yang sangat menggelikan. Di dalam sistem kapitalisme
hanya ada dua pilihan, berpihak ke kanan atau ke kiri? Tidak mungkin berada di tengah-tengah.
Mengambil posisi di tengah sama saja bertindak konyol. Lenin pernah berkata, dalam sistem
kapitalisme, tidak ada ilmu pengetahuan yang netral. Pihak yang mengaku-aku netral sama halnya
seperti seorang kapitalis yang dimintai pertimbangan untuk menaikkan upah buruh dengan cara
menurunkan laba perusahaan. Konyol. Tidak mungkin. Permintaan dari kelas kapitalis agar ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu sosial, untuk netral ada penjelasan basis materiilnya.
Di satu pihak kelas kapitalis terus mendorong semakin berkembangnya ilmu alam. Hal itu
dilakukan untuk semakin mendorong ditemukannya ilmu-ilmu yang dapat semakin mempercanggih
kinerja alat-alat produksi, dengan tujuan agar dapat difungsikan untuk disatu sisi menekan ongkos
produksi, dan di sisi yang lain akan mendorong akumulasi kekayaan semakin meningkat. Namun,
dipihak lain, kelas kapitalis mencegah agar ilmu-ilmu sosial tidak bersifat revolusioner, tetapi
bersifat defensif. Tujuannya adalah untuk mengamankan kepentingan kelas kapitalis dalam
melakukan akumulasi kekayaan dengan cara menindas Proletariat. Agar ilmu-ilmu sosial dapat
diposisikan defensif, maka kelas kapitalis menebarkan ilusi kalau ilmu sosial yang obyektif adalah
ilmu yang tidak dicampuradukan dengan ilmu-ilmu alam. Itu yang pertama. Yang kedua, jika ilmu
sosial ingin dianggap obyektif dia harus netral, tidak boleh berpihak. Sementara itu kenetralan yang
dimaksud itu justru mengandung ketidaknetralan kelas. Dengan kata lain, berpihak pada
kepentingan kelas kapitalis. Ilmu-ilmu sosial dipaksa untuk memberikan legitimasi dan
“mengamankan” kepentingan kelas kapitalis.
Dalam perspektif Marxisme, antara ilmu-ilmu alam dan sosial ada keterkaitan yang erat. Hal
ini diilustrasikan oleh Doug Lorimer di dalam buku yang ditulisnya, “jika seorang manusia berada
di atas bukit dan kemudian dia mengepak-ngepakan kedua tangannya, berharap kalau evolusi alam,

Ismantoro Dwi Yuwono, “Mengenal Dasar-Dasar Teori Marxisme,” Yogyakarta, 2016.

7

akan menumbuhkan sayap di kedua tangannya, yang kemudian akan membuat dia bisa terbang, hal
itu akan membuat seekor monyet tertawa terpingkal-pingkal. Hal ini berbeda halnya, jika orang itu
berada di tengah-tengah masyarakat. Bersama dengan masyarakat dia bisa berinteraksi dan
mengembangkan ilmu pengetahuan [alam dan sosial]. Dan dari interaksi tersebut kemudian dia bisa
meciptakan pesawat. Dengan demikian, tanpa menunggu jutaan tahun evolusi, manusia pun dapat
terbang.”4 Ilustrasi yang diberikan oleh Doug Lorimer tersebut menunjukkan kepada kita kalau
perkembangan ilmu alam tidak mungkin dilepaskan dari interaksi dengan ilmu sosial.
Namun demikian, bukan berarti Marxisme tidak mengakui adanya batasan-batasan
obyektifitas antara ilmu alam dan ilmu sosial. Bagaimana pun, ada tingkat obyektifitas ilmu alam
yang tidak dapat disamai oleh ilmu alam. Misalnya, gaya tarik gravitasi bumi (ilmu alam) akan
memastikan ketika buruh dan pemilik modal (kapitalis) terjatuh dari atas gedung bertingkat, lantai
ke-10, mereka akan mendapatkan konsekuensi yang sama, namun berbeda halnya dengan ilmu
ekonomi (sosial), ketika modal beroperasi buruh akan mendapatkan kesengsaraan sedangkan
pemilik modal akan mendapatkan kemakmuran.
Dalam perspektif Marxisme istilah “obyektif” mengandung arti “kebenaran yang tidak ada
campur tangan individu.” Berangkat dari pemahaman ini, maka mari kita sodorkan pertanyaan,
apakah ilmu-ilmu borjuis adalah ilmu-ilmu yang obyektif, mengingat ilmu-ilmu itu dalam
perkembangannya sudah ada campur tangan kepentingan kelas kapitalis—yang tidak lain adalah
kepentingan dari individu-individu? Dan, bukankah kepentingan modal adalah kepentingan
individu? Jawabannya, tentu saja, justru ilmu-ilmu borjuislah yang tidak obyektif. Dan, dengan
demikian pula, hanya kaum Proletariat yang dapat mendorong munculnya ilmu-ilmu alam dan
sosial yang obyektif. Dorongan yang tidak ditujukan untuk kepentingan individu-individu, tetapi
untuk kepentingan dan keselamatan bersama.

Netral/Tidak
Berpihak
Ilmu Pengetahuan
Yang Obyektif
Tidak Ada Campur Tangan
Kepentingan Individu

Program dan Teori Dasar


Marxisme sebagai panduan perjuangan kelas untuk mewujudkan revolusi Proletariat tidak dapat
dilepaskan dari program-program dan teori dasarnya. Dengan kata lain, dua hal itu adalah esensi
dari Marxisme. Berikut ini aku akan tunjukkan dua hal mendasar tersebut.
Program dalam Marxisme adalah internasionalisme dan nasionalisasi.
Internasionalisme dapat dijelaskan, seperti ini. Program utama dari Marxisme adalah
penciptaan revolusi Proletariat sedunia. Program ini lahir bukan karena, sebagaimana dilontarkan
oleh kaum borjuis, yakni berangkat dari rasa persaudaraan sedunia yang berbasiskan pada moralitas.
Program ini lahir karena adanya dorongan dari perkembangan kapitalisme secara mendunia. Dari
perkembangan ini, kemudian lahirlah buruh-buruh sedunia. Nah, karena buruh-buruh mengalami
penindasan yang sama, maka muncul kebutuhan untuk menciptakan revolusi Proletariat yang
mendunia atau yang disebut dengan internasionalisme.
Sedangakan nasionalisasi dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk menuju revolusi Proletariat
sedunia, tentu saja harus ada tahapan yang dilalui oleh Proletariat di setiap negeri, yakni
menghancurkan kapitalis-imperialisme nasional, dan kemudian memusatkan kepemilikan alat
produksi (aset-aset kapitalis-imperialisme) ke tangan negara atau yang disebut juga dengan
nasionalisasi, dimana Proletariat mempoisisikan dirinya sebagai pihak yang terorganisasi sebagai
kelas yang berkuasa. Tahapan ini disebut juga dengan penegakan “Diktator Proletariat.” Hal yang
sangat penting untuk dicatat, tahapan ini sifatnya sementara tidak permanen. Dalam tahapan ini
4
Doug Lorimer, Pokok-Pokok Materialisme Historis: Pandangan Marxis terhadap Sejarah dan Politik, Bintang
Nusantara, Yogyakarta, 2013.

Ismantoro Dwi Yuwono, “Mengenal Dasar-Dasar Teori Marxisme,” Yogyakarta, 2016.

8

alat-alat negara borjuis dihapuskan, dan diganti dengan alat-alat negara Proletariat. Tahapan ini
adalah masa transisi untuk menuju revolusi Proletariat sedunia dengan tujuan menggapai cita-cita
mulia, menciptakan masyarakat tanpa kelas, dimana dalam tahapan ini, secara perlahan, negara
akan melenyap. Tidak hanya negara kediktatoran proletariat pun akan melenyap, karena sudah tidak
ada lagi kelas yang harus ditindas.
Itulah dua program dasar dari Marxisme. Dua program yang muncul dari dasar teori
Marxisme, yang terdiri dari Materialisme, kerja manusia, dan teori tentang krisis kapitalisme.
Untuk memahami Marxisme akan lebih mudah apabila kita terlebih dahulu memahami
tentang materialisme, karena inilah fondasi atau dasar dari terbangunnya teori Marxis. Namun,
sebagai seorang Marxis, kita harus berhati-hati dalam memahami dan menerimanya. Terkait dengan
teori ini dalam kajiannya terpecah menjadi dua, yakni teori materialisme borjuis atau materialisme
mekanis, dan teori materialisme Marxis.
Dalam teori materialisme mekanis, materi dipahami dengan cara berkontemplasi, berpikir,
dan tenggelam dalam kemelamunan. Sedangkan materialisme Marxis adalah ekspresi dari kerja
konkret manusia secara nyata. Kekonkretan dalam materialisme inilah yang kemudian
memunculkan teori materialisme historis dalam Marxisme. Materialisme historis ini muncul karena
adanya perjuangan kelas pekerja menumbangkan penindasnya. Dan perjuangan ini muncul karena
sifat kontradiktif dari sistem kapitalisme yang melahirkannya. Di satu sisi Proletariat menciptakan
kesejahteraan dan keberlimpahan bagi kelas kapitalis. Namun, di sisi yang lain, dia menciptakan
kesengsaraannya sendiri.
Alienasi adalah salah satu kesengsaraan yang diciptakan oleh Proletariat dalam aktivitas
kerjanya di bawah sisitem kapitalisme. Dengan kata lain, alienasi adalah dampak dari kerja yang
diupah. Di dalam Naskah-Naskah Ekonomi dan Filsafat 1844 dan Das Kapital, Marx secara detail
menunjukkan bentuk-bentuk dari alienasi tersebut.
Teori mendasar lainnya dari Marxisme adalah teori tentang krisis kapitalisme, yang
disebabkan oleh jatuhnya tingkat laba dalam proses produksi. Krisis ini disebabkan oleh semakin
dominannya kerja mesin (kerja mati) dan semakin tersingkirnya kerja Proletariat (kerja hidup).
Dalam kasus ini, komoditi diproduksi secara berlebihan, sementara itu banyak buruh-buruh yang
menganggur, dan kemiskinan merajalela. Karena mayoritas konsumen didominasi oleh buruh, maka
konsekuensinya komoditi yang diproduksi secara berlebih itu gagal jual. Dan terjadilah krisis over
produksi. Dari sini, dapat diphami, kemunculan krisis tersebut didorong oleh penindasan kelas
kapitalis terhadap proletariat. Bentuk penindasannya adalah mendepak mereka dari pabrik dan
memaksa mereka dalam kondisi hidup yang miskin.

Ismantoro Dwi Yuwono, “Mengenal Dasar-Dasar Teori Marxisme,” Yogyakarta, 2016.

Anda mungkin juga menyukai