Anda di halaman 1dari 2

Nama : Muhammad Agil Trianto

Kelas : XII IPS 2


Absen : 21

Bahaya Pembukaan Bioskop

PEMBERIAN izin pembukaan bioskop oleh pemerintah DKI Jakarta sungguh di luar
nalar. Tidak ada urgensi memberikan kelonggaran semacam itu saat wabah Covid-19 belum
terkendali.
Dalam dua pekan terakhir, jumlah rata-rata pasien baru Covid-19 di Ibu Kota hampir
600-an orang setiap hari. Angka itu naik drastis dibanding data pada akhir Juli lalu ketika
penambahan jumlah pasien baru masih di kisaran 400-an. Rasio positif di Jakarta dalam dua
pekan terakhir juga lebih dari 10 persen. Artinya, terdapat sepuluh orang positif dari setiap
seratus orang yang diuji usap. Situasi ini lebih buruk ketimbang bulan lalu, ketika rasio
positif di Jakarta sempat berada di ambang batas aman versi Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), yaitu 5 persen.
Karena itu, sulit memahami alasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
mengizinkan bioskop segera dibuka lagi. Memang, sejak ditutup pada Maret lalu, ribuan
karyawan sinema sudah dirumahkan. Terdapat 343 teater dengan 1.756 layar di Indonesia—
lebih dari 50 persennya berada di Jakarta dan sekitarnya. Tutupnya bioskop-bioskop itu
menyebabkan industri perfilman ikut mati suri. Pusat belanja juga sepi pengunjung. Tapi,
seyogianya, alasan ekonomi tak dijadikan pembenar untuk mengabaikan pertimbangan
kesehatan dan keselamatan publik.
Gubernur Anies beralasan pembukaan bioskop dimungkinkan selama protokol
kesehatan dipatuhi. Selain jumlah penonton yang masuk ke sinema dibatasi, posisi duduk
para penikmat film bisa diatur, seperti layaknya penumpang pesawat terbang. Hal itu
merupakan alasan yang mudah dipatahkan karena membuka bioskop sama saja dengan
mengundang pusat keramaian baru. Risiko penularan virus corona bisa melonjak ketika titik-
titik berkumpulnya warga kembali dibuka.
Pernyataan Ketua Tim Pakar Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku
Adisasmito untuk mendukung pembukaan bioskop bahkan lebih absurd. Menurut dia,
membiarkan warga beramai-ramai menonton sinema bisa meningkatkan imunitas. Penjelasan
semacam ini lebih terdengar seperti keputusasaan pemerintah dalam mengendalikan
penularan Covid-19. Seolah-olah Satgas sudah kehabisan akal untuk menekan laju pandemi
ini di Indonesia.
Gubernur Anies dan jajarannya tidak boleh menyerah di hadapan serangan
virus corona. Salah satu kelemahan utama dalam program pengendalian penularan Covid-19
di Indonesia adalah pelacakan kontak pasien positif. Saat ini kapasitas pemerintah dalam
pelacakan jejaring kontak pasien masih di bawah standar WHO. Protokol Kementerian
Kesehatan mensyaratkan 80 persen dari semua kontak pasien harus sudah terlacak dan
diisolasi dalam tiga hari selepas konfirmasi status pasien. Jika hal itu tidak dilakukan,
mustahil penyebaran virus ini bisa ditekan sampai minimal.
Ketimbang sibuk membuka bioskop, pemerintah DKI Jakarta seharusnya
menggelontorkan anggaran untuk membantu Dinas Kesehatan dan Satgas guna meningkatkan
kapasitas pelacakan. Tanpa itu, pembatasan sosial seketat apa pun bakal percuma. Jika wabah
sudah terkendali, ekonomi pasti akan pulih kembali.

Anda mungkin juga menyukai